LPG MENJADI PRIMADONA BAHAN BAKAR DI SEK

LPG MENJADI PRIMADONA BAHAN BAKAR DI SEKTOR RUMAH TANGGA DAN
INDUSTRI SETELAH KONVERSI MINYAK TANAH
Dwi Yuliarto
Program Studi Sistem Informasi
STIKOM Yos Sudarso Purwokerto
ABSTRAK
Sebagian besar industri di Indonesia terutama industri menengah ke bawah menggunakan minyak tanah
sebagai bahan bakar untuk memproduksi. Namun akhir-akhir ini minyak tanah menjadi sulit didapatkan
dan kalaupun ada harganya juga relatif mahal, sehingga banyak industri menjadi kesulitan untuk
memperolehnya, kelangkaan dan mahalnya harga minyak tanah ini terjadi karena adanya pengurangan
supply dan pengurangan subsidi pada minyak tanah sehubungan dengan adanya kebijakan pemerintah
tentang Program Konversi Minyak Tanah ke Gas LPG. Pada tahun 2008, besarnya penggunaan minyak
tanah sebagai bahan bakar di rumah tangga mencapai 7,82 juta keluarga. Di Indonesia, cadangan gas alam
jauh lebih banyak dibandingkan cadangan minyak bumi. Sehingga pemerintah mengalihkan pemakaian
Bahan Bakar Minyak (BBM) ke Bahan Bakar Gas (BBG) yang jauh lebih banyak pasokannya untuk
menantisipasi kelangkaan bahan bakar yang berasal dari sumber alam tak terbarukan tersebut.

Kata kunci : LPG, distribusi, BBM, BBG, Konversi

Minyak bumi merupakan penopang kebutuhan energi yang utama di dunia saat ini. Hampir di
seluruh belahan dunia membutuhkan energi yang berasal dari sumber daya alam tak terbarukan

tersebut. Berdasarkan data yang diperoleh dari Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral
(ESDM), pada tahun 2006 pemakaian minyak bumi mendominasi 52,5% pemakaian energi di
Indonesia. Sedangkan penggunaan gas bumi sebesar 19%, batu bara 21,5%, air 3,7%, panas bumi
sebesar 3% dan energi terbarukan hanya sekitar 2% dari total penggunaan energi. Padahal menurut
data ESDM 2006, cadangan minyak bumi Indonesia hanya sekitar 500 juta barel per tahun. Hal
ini berarti minyak bumi jika terus dipergunakan dan tidak ditemukan cadangan minyak baru atau
tidak ditemukan teknologi baru, diperkirakan cadangan minyak bumi Indonesia akan habis dalam
waktu dua puluh tiga tahun mendatang (Hidayat, 2007 dalam Vikalista, 2012, pp. 40-41). Ini
merupakan konsekuensi logis dari pemakaian besar-besaran bahan bakar fosil tanpa dibarengi
ketersediaan bahan bakar fosil demi memenuhi kebutuhan manusia. Berarti apabila sekarang tahun
2011 maka menipisnya cadangan minyak bumi tersebut diestimasikan akan habis pada tahun 2030.
(Vikalista, 2012, p. 41)
Pada awalnya LPG dipasarkan oleh Pertamina bagi kalangan terbatas dengan produk tabung 12
kg dan 50 kg, dimana produk ini dikenal dengan merek “ELPIJI”. Namun seiring dengan
permasalahan yang dihadapi dalam penyediaan energi, dimana subsidi bahan bakar minyak tanah
semakin lama semakin besar dan adanya arah kebijakan energi nasional yang baru, maka sejak
tahun 2007 Pemerintah melakukan program konversi minyak tanah ke LPG dalam bentuk LPG 3
kg. Hal ini antara lain dilakukan untuk mereduksi subsidi minyak tanah yang semakin
membengkak seiring dengan tingginya harga minyak dunia, kemudian pemerintah menggantinya
dengan subsidi LPG yang harganya relatif lebih murah. Akibat dari subsidi ini kemudian di pasar

LPG muncul varian produk baru LPG yakni LPG 3 kg dengan harga subsidi yang dipastikan lebih
murah dari LPG yang telah tersedia di pasar yaitu LPG 12 dan 50 kg yang harganya lebih mahal.
Di Indonesia, minyak tanah memang lebih familiar untuk digunakan sebagai bahan bakar rumah
tangga. Harga LPG yang tergolong premium membuat masih sedikit masyarakat yang

menggunakannya. Berdasarkan kegunaannya sebagai bahan bakar rumah tangga, penggunaan
LPG di Indonesia masih kecil yaitu sekitar 10%. Mayoritas penduduk Indonesia masih
menggunakan minyak tanah untuk memasak (lebih dari 60%). (Subakdo & Nugroho, 2016, p. 2)
Pada tahun 2008, besarnya penggunaan minyak tanah sebagai bahan bakar di rumah tangga
mencapai 7,82 juta keluarga. Di Indonesia, cadangan gas alam jauh lebih banyak dibandingkan
cadangan minyak bumi. Namun dalam hal pemanfaatannya justru sebaliknya. Pemakaian minyak
tanah sektor rumah tangga mencapai 17,35% sedangkan gas bumi hanya 0,05%. Selama ini
minyak tanah merupakan bahan bakar yang disubsidi hingga mencapai Rp. 48,2 Triliun (2008).
Untuk itu diupayakan penggunaan gas alam untuk mengurangi beban subsidi dimana subsidi untuk
gas alam lebih kecil jika dibandingkan dengan subsidi untuk minyak tanah. (Subakdo & Nugroho,
2016, p. 3)
Sebagian besar industri di Indonesia terutama industri menengah ke bawah menggunakan
minyak tanah sebagai bahan bakar untuk memproduksi. Namun akhir-akhir ini minyak tanah
menjadi sulit didapatkan dan kalaupun ada harganya juga relatif mahal, sehingga banyak industri
menjadi kesulitan untuk memperolehnya, kelangkaan dan mahalnya harga minyak tanah ini terjadi

karena adanya pengurangan supply dan pengurangan subsidi pada minyak tanah sehubungan
dengan adanya kebijakan pemerintah tentang Program Konversi Minyak Tanah ke Gas LPG
(Elpiji). (MASKUR, NURSAN, & PATRA, 2012)
Aktivitas ekonomi juga terjadi dalam jalur distribusi LPG sejak dari lapangan produksi ataupun
impor hingga konsumen. Selain berupa pembangunan infrastruktur , termasuk kapal pengangkut,
juga memacu investasi bidang pengangkutan, stasiun pengisian, penyaluran dan pemeliharaan
SPBE, rantai usaha juga membuka peluang usaha berupa pembukaan penyalur atau agen, dan Sub
penyalur atau Pangkalan. Bahkan saat ini, di jalur paling ujung sebelum konsumen juga
berkembang usaha penjualan LPG 3 Kg eceran. baik oleh toko kelontong maupun pedagang
keliling yang sebelumnya menjajakan Minyak Tanah, berapapun kegiatan ini telah menjadi nilai
tambah ekonomi dalam rantai penyaluran LPG 3 Kg. (MASKUR, NURSAN, & PATRA, 2012)

DAFTAR PUSTAKA
MASKUR, K., NURSAN, & PATRA, I. (2012). ANALISIS DAMPAK KONVERSI MINYAK
TANAH KE GAS ELPIJI TERHADAP PENINGKATAN PENDAPATAN INDUSTRI
BAGEA DI KOTA PALOPO. Jurnal Equilibrium, 2(1), 123-129.
Subakdo, W. A., & Nugroho, Y. A. (2016). IN-BOUND DAN OUT-BOUND LOGISTIC PADA
DISTRIBUSI LPG 3KG DI INDONESIA. Seminar Nasional Sains dan Teknologi 2016,
1-10.
Vikalista, E. (2012). Implementasi Kebijakan Konversi Minyak Tanah Ke LPG (Liquified

Petroleum Gas) Di Kecamatan Banjarmasin Utara Kota Banjarmasin. Jurnal Ilmu Politik
dan Pemerintahan Lokal, I(2), 40-57.