KONSEP SYIAH DALAM ISLAM. docx

TUGAS MAKALAH SIYASAH
“ KONSEP SYIAH IMAMIYAH ”
DOSEN PENGAMPU :Drs. Yusdani, M.Pd

OLEH :
Aris Romadhoni ( 12421009)
Suryaningsih Hidayat ( 12421022)
Fachrunnisa Moulidhya ( 13421051 )

FAKULTAS ILMU AGAMA ISLAM
PROGRAM STUDI HUKUM ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
YOGYAKARTA
2015

BAB I
PENDAHULUAN
Membincangkan Wilayah al-Faqih (Wilayat-e faqih) tidak bisa terlepas dari konsep
Imamah dan wilayah. Imamah dan wilayah adalah konsep kepemimpinan yang diyakini oleh
umat syiah. Mayoritas syiah terdapat di Iran (Persia). Iran lewat perjuangan Ayatullah
Khomeini telah menjadikan konsep Wilayah al-Faqih sebagai konstitusi negaranya setelah

revolusi 1979. Karenanya, sebelum membahas fokus kajian ini, penulis terlebih dahulu
menguraikan konsep Imamah dan wilayah tersebut sebagai faktor perumusan wilayah alfaqih.
Pada permasalahan ini penulis bermaksud membahas tentang hal tersebut yakni
pemaaparan tentang konsep syiah dan doktrin tentangnya
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apakah pengertian imamah itu?
2. Jeaskan sejarah Imamah!
3. Bagaimanakah konsep dan doktrin syiah?

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Imamah
Imamah merupakan bahasa Arab yang berakar dari kata amma, menurut Ibnu
Mandzur berarti yang berada di depan atau ketua. Serupa dengan penjelasan dalam al-mu’jam
asy-syamil limustholahat al-falsafah karya Dr. Abdul Mun’im Al-Hifny, imam ialah yang
memiliki kekuasaan tertinggi didalam agama dan dunia,yang harus diikuti oleh seluruh umat. 1
Jadi, orang yang menjadi pemimpin harus selalu di depan untuk diteladani sebagai contoh.
Kedudukan imam sama dengan penanggung jawab urusan umat. Sedangkan menurut
Muhammad Rasyid Ridho dalam bukunya Al Khilafah, kata Imamah, khilafah, serta amirul

mukminin ketiganya mempunyai makna yang sama yaitu kepemimpinan satu pemerintahan
Islam yang bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan bagi umatnya.
Adapun pengertian Imamah menurut ulama Syi’ah, bahwa kepemimpinan spiritual
atau rohani, pendidikan, agama dan politik bagi umat Islam telah ditentukan Allah secara
turun-temurun sampai imam ke-12. Sementara menurut al-Hilly, salah seorang ulama Syi’ah,
imamah merupakan kepemimpinan umum dalam urusan dunia dan agama, oleh seseorang
maupun beberapa orang, sebagai pengganti kepemimpinan Nabi SAW. Muhammad AlHusein Ali Kasyiful Ghita’, juga mengatakan dalam bukunya Ashlusy-Syi’ah wa
Ushuluha,masalah Imamah merupakan dasar utama yang hanya dimiliki oleh Syi’ah
Imamiyah dan menjadikan Syi’ah Imamiyah berbeda dari aliran-aliran dalam Islam lainnya.
Ia adalah perbedaan yang bersifat dasar atau asasi, perbedaan lainnya hanya furu’iyah, tak
ubahnya dengan perbedaan antar Madzahib (Hanafi, Syafi’i dan lain-lain). Lebih lanjut lagi,
ia menyatakan bahwa Imamah semata-mata ialah anugerah Tuhan yang telah dipilih Allah
dari zaman azali terhadap hambaNya, seperti Allah memilih Nabi dan memerintahkan kepada
Nabi untuk menyampaikan kepada umat agar mereka mengikutinya. Syi’ah Imamiah
berkeyakinan bahwa Allah telah memerintahkan kepada Nabi Muhammad SAW untuk
menentukan ‘Ali r.a dan mengangkatnya sebagai pemimpin umat manusia setelah beliau.2
Dengan dimasukkannya Imamah (kepala negara dan pemerintahan) dalam bagian
keimanan yang harus diyakini kebenarannya, tentu saja berlainan dengan Ahlu Sunnah wal
Jama’ah. Karena sesuai dengan metode pemahaman Ahlu Sunnah wal Jama’ah bahwa
1 Abdul Mun’im Al-Hifny, al-mu’jam asy-syamil limustholahat al-falsafah, (Mesir:

Maktabah Al-Madbuly, 2000), hal: 35
2 Muhammad Al-Husein Ali Kasyiful Ghita’, Ashlusy-Syi’ah wa Ushuluha, (Beirut: Darul alAdhwa, 1999)Hal: 145

penetapan dasar aqidah menggunakan At-Taufiq bainan-naqli wal-‘aqli (Alqur’an, hadist dan
An-Nazhar), maka dasar-dasar keimanan yang enam itu diambil sepenuhnya dari nash
Alqur’an dan hadist-hadist Nabi SAW, terutama hadist yang dikenal dengan hadist Jibril.
B. Sejarah Imamah
Ide tentang hak Ali dan anak keturunannya untuk menduduki Jabatan Khalifah atau
Imam telah ada sejak saat setelah wafatnya Nabi. Dalam pembicaraan di Tsaqifah Bani
Sa’idah telah ada usul bahwa yang dikehendaki untuk menduduki jabatan khalifah pengganti
Nabi haruslah diambil dari kalangan Ahlul Bait. Disamping itu ada pula berita, bahwa
bersamaan waktunya dengan berlangsungnya Muktamar Tsaqifah Bani Sa’idah terjadi pula
sebuah rapat di rumah Fathimah putri Nabi yang dipimpin oleh Ali dengan dihadiri oleh
seluruh warga Bani Hasyim. Bahkan ketika Nabi sedang sakit pun Al-Abbas telah mendesak
Ali untuk meminta kepastian Nabi siapa yang akan ditunjuk sebagai penggantinya.Ali
menolak desakan Al-Abbas itu karena khawatir Nabi akan menunjuk orang lain sehingga
tertutup kemungkinan baginya untuk memangku jabatan khalifah kelak,disamping Ali sendiri
belum yakin bahwa sakit Nabi itu berakhir dengan kewafatannya. Memang,pada saat Nabi
wafat masyarakat muslim di Madinah terpecah dalam tiga kelompok yaitu3:
1. Banu Hasyim,termasuk Ali diantara mereka yang menghendaki hak legitimasi

kekhalifahan .
2.

Muhajirin yang dipimpin oleh Abu Bakar dan Umar

3. Anshar dibawah pimpinan Ubadah.
Dalam masalah kepemimpinan negara,kelompok pertama dikembangkan oleh
Syi’ah,kelompok kedua oleh Sunni dan kelompok ketiga oleh Khawarij.
Isyu politik hak legitimasi Ahlul Bait untuk jabatan khalifah meemang mereda sejak
Ali memberikan Bai’atnya kepada Abu Bakar As-Siddiq sampai dengan berakhirnya masa
pemerintahan Umar bin Khattab. Memasuki masa pemerintahan Utsman bin Affan isyu ini
mulai mengeras lagi.Abdullah Bin Saba’, seorang asal Yahudi,dengan maksudnya
sendiri,berkampanye bahwa hak Ali telah terampas oleh orang lain. Dalam kampanyenya,
Abdullah bin Saba’ tidak tanggung-tanggung,sampai-sampai dia mengatakan bahwa Ali
bukan saja orang yang paling berhak untuk jabatan Imam bahkan Ali adalah Tuhan.
3 Dr. Nourouzzaman Shiddiqi,MA, Syi’ah dan Khawarij dalam Perspektif Sejarah
( Yogyakarta : PLP2M, 1985),Hal : 8-10

Setelah Ali wafat, terbunuh pada bulan Januari 41 Hijriyah/ 661 M, terjadilah
pertarungan berebut kekuasaan politik antara pendukung-pendukung Ali dengan pendukung

Muawiyah, atau jika dilihat dari segi lokasi pertarungan ntara penduduk Iraq (Ali) dengan
penduduk Syiria (Muawiyah). Orang-orang Kuffah menuntut agar kelak jabatan Keimaman
tetap dipegang oleh keluarga Ali (Ahlul Bait). Mereka merealisasikan tuntutannya ini dengan
mengangkat Al-Hasan putera Ali sebagai khalifah (Imam). Peristiwa pengangkatan Hasan
sebagai Imam inilah yang menjadi awal doktrin politik Syi’ah.4
Golongan Imamiyah pada prinsipnya berpegang bahwa yang berhak menduduki
jabatan Imam haruslah anak keturunan Ali yang dilahirkan oleh Fathimah puteri Rasulullah.
Golongan ini kiranya tidak melihat Ali sebagai puncak, tetapi Ali hanyalah sebagai penerus
keturunan Nabi. Berbeda dengan Kaisaniyah yang melihat Alilah sebagai titik awalnya.
C. Konsep Imamah Menurut Pandangan Syi’ah
Bagi Syi’ah Imam atau khalifah adalah satu kepentingan agama, bukan hanya
kelayakan politik semata. Lembaga keimanan adalah satu rukun agama fundamental, yang
sama pentingnya dengan Al-Qur’an dan As-sunnah. Tanpa adanya seorang Imam, bukan saja
dunia ini akan hancur, bahkan dunia ini sendiri tidak pernah ada. Imam, apakah ia diketahui
atau tersembunyi adalah seorang hujjat, wakil Tuhan di bumi. Sejak dari zaman Adam a.s.
sampai hari kiamat harus selalu ada seorang imam. Jika tidak ada Imam tak akan ada
penyembahan kepada Tuhan di bumi, sebab cara penyembahan kepada Tuhan haruslah
belajar dari Imam. Hanya dengan perantaraan seorang Imam sajalah, maka Tuhan dapat
dikenal. Inilah yang mereka maksudkan bahwa tanpa kehadiran seorang Imam di bumi, maka
dunia akan hancur. Mereka berpendapat pula bahawa Imam itu adalah seorang yang Ma’shum

(suci dari dosa).5
Bagi mereka pula, Imam itu adalah seorang yang pandai dalam segala macam cabang
ilmu pengetahuan, khususnya di lapangan ilmu pengetahuan agama. Dia juga seorang yang
berkualitas luhur dan mulia dan tidak ternoda dengan dosa seperti juga halnya para Nabi.
Pebedaan antara Nabi dengan Imam hanya terletak pada penerimaan wahyu. Jika Nabi
menerima pesan dan aturan-aturan agama melalui wahyu, Imam menerimanya melalui Nabi
dan menjadi kewajibannya untuk membimbing manusia ke arah kehendak Allah dan Sunnah
4 Sayyid Muhibuddin Al-Khatib,Mengenal Pokok-pokok Ajaran Syi’ah Al-Imamiyah
( Surabaya: PT. Bina Ilmu,1984) Hal : 25
5 Dr. Nourouzzaman Shiddiqi,MA, Syi’ah dan Khawarij dalam Perspektif Sejarah
( Yogyakarta : PLP2M, 1985),Hal : 62

Nabi. Al-Imamah dalam madzhab pemikiran Syi’ah adalah kepemimpinan progresif dan
revolusioner yang bertentangan dengan rezim-rezim politik lainnya ,guna membimbing
manusia serta membangun masyarakat diatas pondasi yang benar dan kuat, yang bakal
mengarahkan menuju kesadaran, pertumbuhan dan kemandirian dalam mengambil
keputusan.6
Otoritas seorang imam berhak menuntut ketaatan dari para pengikutnya kendatipun ia
tidak memiliki kekuasaan politis. Dalam hal ini terlihat jelas dalam kemampuan seorang
imam untuk menginterpretasikan wahyu ilahi secara otoritatif. Apa yang diputuskan para

imam, wakil-wakil yang dapat membangkitkan suatu kepercayaan baik dikalangan biasa
(awam) maupun elit (alim) Syi’ah untuk mencapai otoritatif dalam kosmologi mereka yaitu
sistem keagamaan mereka.Kaum Syi’ah memandang adanya imamah dalam suatu wilayah,
sangat penting. Karena hal ini menyangkut perinsip agama dan turut menentukan status
seseorang disebut sebagai pengikut Syiah atau tidak. Dalam kultur Safawi, imamah sama
artinya dengan beriman kepada dua belas imam yang suci dan supranatural, yang setiap orang
harus memuja dan memulyakannya dan mengikutinya dan menjadikan mereka sebagai suri
teladan dalam segenap prilaku personal dan sosial mereka.7
Persoalan keimaman menurut Syi’ah harus bersendikan kepada pokok-pokok dasar
agama yaitu kepada rukun iman yaitu ke-Esaan Allah, keadilan Allah dan rasul-nya, keimana
kepada Rasulullah setelah itu kepada Ali ra. Iman kepada hari kebangkitan dan keimanan
kepada dua belas imam. Kata imam menurut mereka berarti pemimpin dan itu hanya
ditujukan kepada dua belas imam saja. Dan mereka-lah yang akan memimpin manusia
sampai hari kiamat dan mereka itulah yang harus memerintah manusia sampai hari
kiamat. Mereka adalah:
1)

Ali bin Abi Thalib (Abu al Hasan) Bergelar “al Murtadla”. Lahir pada 10
tahun sebelum kenabian dan syahid pada tahun 40 Hijriyah. Khalifah Muslim
keempat, sepupu dan anak mantu Rasulullah.


2)

Hasan bin Ali (Abu Muhammad) Bergelar “az Zaki”. Hidup antara tahun 3 –
50 Hijriyah. Putera Ali dan Fatimah.

3)

Husein bin Ali (Abu Abdillah) Bergelar “Penghulu para Syahid”. Hidup
antara tahun 4 – 61 Hijriyah. Karakter yang paling disukai Syi’ah Iran, putera
termuda Ali dan Fatimah.

6 Ali Syariati, Islam Madzhab Pemikiran dan Aksi, Mizan, Bandung, hlm 4
7 Ibid, hal : 67

4)

Ali bin Husein (Abu Muhammad) Hidup antara tahun tahun 38 – 95 Hijriyah.
Putera dari Imam Husein, memiliki dua nama julukan: Sajjad (Ahli Sujud),
dan Zein al-Abedin (penyembah terbaik)


5)

Muhammad bin Ali al Baqir (Abu Ja’far) Hidup antara tahun 57 – 114
Hijriyah. Putera Ali bin Husein, dipanggil baqir (secara harfiah berarti
pembuka) karena ia secara kiasan membedah pelajaran Islam, memiliki
otoritas yang memiliki pengetahuan dan tradisi Islam.

6)

Ja’far bin Muhammad ash Shadiq (Abu Abdillah) Hidup antara tahun 83 –
148 Hijriyah. Putera dari Muhammad bin Ali, bergelar Sadeq (kebenaran dan
adil).

7)

Musa bin Ja’far al Kadzim (Abu Ibrahim) Hidup antara tahun 128 – 183
Hijriyah. Putera Imam Ja’far ash Shadiq, bergelar Kazem (menyembunyikan
amarahnya)


8)

Ali bin Musa ar Ridla (Abu al Hasan) Hidup antara tahun 148 – 202/203
Hijriyah. Putera Musa al-kadzim, satu-satunya imam Syi’ah yang dimakamkan
di Iran, di juluki Reza/Ridla (senang dan melawan)

9)

Muhammad bin Ali al Jawad (Abu Ja’far) Hidup antara tahun 195 – 220
Hijriyah. Putera imam Reza, memiliki gelar Javad / Jawad (Murah Hati)

10) Ali Bin Muhammad al Hadi (Abu al Hasan) Hidup antara tahun 212 – 254
Hijriyah. Putera Imam Javad, memiliki julukan Hadi (penuntun).
11) Hasan bin Ali al Askari (Abu Muhammad) Hidup antara tahun 232 – 260
Hijriyah. Putera imam Hadi, bergelar Asgari/askari (diawasi oleh kaum
militan) karena ia dijaga secara ketat untuk memiliki keturunan.
12) Muhammad bin Hasanal Mahdi (Abu al Qasim) Inilah yang disebut “Imam
yang ghaib” dan “dinantikan kedatangannya” untuk menegakkan keadilan di
muka bumi. Dikatakan bahwa “al Mahdi” (dijaga Allah) lahir pada tahun 256
Hijriyah mengalami “masa ghaib kecil (Ghaibah Shugra)” pada tahun 260

Hijriyah, dan “masa ghaib besar (Ghaibah Kubro)” pada tahun 329 Hijriyah. Ia
hidup sampai hari kiamat sehingga bumi tidak sunyi dari Imam. Dan keimanan
terhadap Imamah tidak sempurna kecuali dengan meyakini adanya Imam
Mahdi. Ia merupakan orang yang dipercayai tidak dapat meninggal dan orang
yang dijanjikan juru selamat agama Ibrahim. Ia dikenal dengan julukan ValiyeAsr atau sahibal-Zaman (penguasa zaman)

D. Kriteria Imamah Menurut Syi’ah
Imam yang menggantikan Nabi Saw bukanlah sembarang orang, tetapi harus
memiliki sejumlah sifat yang dimiliki Nabi Saw. Oleh karena itu, persyaratan menjadi Imam
tidak cukup harus seorang Quraisy, seperti yang diyakini sahabat ketika itu, tetapi harus pula
memiliki syarat-syarat lain, yaitu ‘ismah (kemampuan menjaga diri dari dosa walau sekecil
apa pun) dan ilm (ilmu yang sempurna). Dalam hal ini, berdasarkan pada nas-nas yang
shahih, syiah menegaskan bahwa orang yang memiliki sifat demikian hanyalah orang-orang
tertentu (bukan semuanya) dari ahlul bait yang memiliki kedekatan dengan Nabi Saaw. Ahlul
bait nabi yang dimaksud sebagaimana disebutkan di dalam al-Quran (Q.S. al-Ahzab: 33)
diantaranya adalah Imam Ali bin Abi Thalib dan kedua anaknya, Imam Hasan dan Imam
Husain.
Imamah yang memiliki sifat ‘ismah perlu, karena syariat tidak akan dapat berjalan
tanpa adanya kekuasaan mutlak yang berfungsi memelihara serta menafsirkan pengertian
yang benar dan murni (tanpa melakukan kesalahan) terhadap syariat itu. Begitu pula dengan
ilmu imam, mestilah suci dan bersifat hudhuri (kehadiran langsung objek ilmu) dan syuhudi
(tersaksikan dengan mata batin) atau bantuan gaib dan taufik ilahiah. Selain itu, struktur
jasmani, otak serta urat syaraf, dan potensi ilmiah para imam sempurna dan senantiasa
mendapat pertolongan ilahi. Semua itu, mutlak diperlukan untuk sampainya pesan-pesan ilahi
secara jelas dan sempurna, tanpa cacat dan kesalahan.Jadi, bagi syiah, orang yang memenuhi
syarat untuk berperan sebagai penafsir hukum Tuhan hanyalah perantara ‘supra manusiawi’
yang diberi petunjuk oleh pencipta hukum tersebut, yaitu para Imam. Karenanya, syiah
mengembangkan teori tentang Imamah sesuai dengan ketentuan imam yang dipilih oleh
Tuhan dan bukan hasil pilihan umat manusia.8
Ishmah dan ilmu berjalan seiring dan saling dukung. Maksudnya, ishmah diperoleh
salah satunya melalui ilmu yang sempurna. Dengan ilmunya, seorang imam mengetahui
hukum-hukum agama dan akibat-akibat yang ditimbulkan karena melanggar ajaran-ajaran
agama tersebut. Dengan ilmu yang yakin (ilmu al-yakin) dan menyaksikan konsekuensi
perbuatannya (ain al-yakin), seorang imam akan senantiasa menjaga dirinya dari perbuatan
maksiat dan dosa. Layaknya seperti orang yang mengetahui dengan ilmunya yang pasti
bahwa minyak panas akan dapat melukai dan menghancurkan kulitnya, maka ia tidak akan

8 http://www.alhassanain.com/ di kutip pada : Kamis.8 Oktober 2015 pukul 17.15

mau mencelupkan tangannya ke dalam kuali yang berisi minyak panas, walaupun hal itu
belum pernah dicobanya.
Syiah, selain menggunakan dalil akal untuk menetapkan ‘ishmah para Imam, juga
mengajukan dalil naqli, Al-Quran dan hadits. Diantaranya yang cukup jelas adalah firman
Allah kepada Nabi Ibrahim as, bahwa imam akan diangkat dari keturunannya, “Dan
(ingatlah) ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat, lalu Ibrahim
menunaikannya. Allah berfirman, “sesungguhnya Aku menjadikan engkau Imam bagi seluruh
manusia.’ Ibrahim berkata: “(Dan saya mohon juga) dari keturunanku.” Allah berfirman:
“Janjiku (ini) tidak berlaku untuk orang yang zalim. (Q.S. al-Baqarah: 124). Frase terakhir
dari ayat di atas menegaskan bahwa ketetapan Allah tidak akan mengenai orang-orang yang
zalim. Allamah Thabathabai menjelaskan bahwa dalam hal ini, secara terperinci kelompok
manusia dibagi pada empat posisi, yaitu9 :
1. Manusia yang zalim sepanjang umurnya.
2. Manusia yang tidak zalim sepanjang umurnya.
3. Manusia yang zalim di awal umurnya, dan tidak diakhir umurnya.
4. Manusia yang tidak zalim di awal umurnya, tetapi zalim diakhirnya.
Merujuk pada pembagian ini, maka kelompok manusia yang kedualah yang berhak
mendapat dan diangkat menjadi imam, karena tidak pernah berbuat zalim alias maksum,
seperti ditegaskan oleh ayat di atas. Sebab seseorang yang berbuat dosa adalah orang zalim
atas dirinaya, sesuai dengan firman Allah, “…di antara mereka ada yang manganiaya diri
mereka sendiri.” (Q.S. Fatir: 32).
Selain ayat di atas, Allah juga menegaskan kepada manusia untuk mematuhi
pemimpin melalui firman-Nya, “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah
rasul-(Nya), dan ulil amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang
sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan rasul, jika kamu benar-benar beriman
kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya.” (Q.S. al-Nisa’: 59).

9 inpasonline.com, dikutip pada Sabtu, 10 Oktober 2015 pukul: 21.25

Sedangkan ayat yang secara jelas menyebutkan ahlul bait adalah ayat tathir, “Sesungguhnya
Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu hai ahlul bait dan mensucikan kamu
sesuci-sucinya.” (Q.S. al-Ahzab: 33)
E. Doktrin Imamah
Salah satu Imam Syi’ah yakni Ja’far memiliki tugas strategis yakni menyelamatkan
cita-cita pokok Syi’isme dari penyerapan oleh sintesis yang muncul di satu pihak, dan di
pihak lain, membersihkannya dari kecenderungan yang menjurus ekstrimisme.Kini, setelah
menyisihkan para saingan dari kancah, Ja’far mendapat kedudukan yang menguntungkan
secara strategis ,dan bertugas mengulas doktrin Imamah serta menguraikannya dalam bentuk
yang praktis.
Dalam usaha ini, Ja’far meletakkan tekanan yang sangat pada dua landasan penting :10
1. Yang pertama adalah Nash, yakni Imamah adalah suatu prerogatif yang dilimpahkan
Allah kepada orang pilihan dari keluarga rasul, yang sebelum kematiannya dan denga
tuntunan Allah,mengalihkan Imamah kepada yang lain melalui pengangkatan yang
eksplisit ( Nash ). Berdasar otoritas Nash, Imamah dibatasi dengan keadaan politis,
hanya pada individu tertentu di antara seluruh keturunan Ali dan Fathimah,baik yang
mengklaim pemerintahan duniawi bagi dirinya,maupun yang tidak.
Dengan sendirinya pemindahan Imamah melalui Nash akan tidak lengkap dan sia-sia
kecuali dapat dilacak mundur pada diri Ali, yang tentunya dipercaya untuk jabatan
Imamah oleh rasul ,turun dari Ali kepada Hasan,dari Hasan kepada Husain dan
kemudian bertahan di garis Husain melalui Nash, berturut-turut sampai pada Ja’far.
2. Prinsip dasar kedua,yang dimasukkan dalam doktrin Imamah sebagai yang dirinci
dan ditekankan oleh Ja’far adalah ‘Ilm. Ini berarti bahwa seorang Imam harus
memiliki pengetahuan agama yang khusus diterimanya secara Ilahiah,dan hanya
dapat dipindahkan kepada Imam nerikutnya sebelum kematiannya. Dengan demikian,
Imam zaman itu merupakan sumber ilmu keagamaan yang otoratif secara khusus.
Tanpa tuntunannya,tiada serangpun yang dapat berjalan di jalan yang benar.Ilmu
khusus ini termasuk makna eksternal ( Dlahir ) dan esoterik ( Bathin ) dan Qur’an.
Keduanya tidak hanya dipadukan atau saling ditambahkan, tetapi difusikan demikian padat ke
dalam kesatuan pandangan terhadap kepemimpinan keagamaan, sehingga memisahkan antara
10 S.H.M Jafri,Awal dan Sejarah Perkembangan Islam Syi’ah Dari Saqifah sampai Imamah
( Jakarta:Pustaka Hidayah, 1989 ),hal : 384

keduanya.Dalam doktrin Imamahnya,tidak perlu sama sekali Imam yang diangkat secara
Ilahiah untuk bangkit memberontak dan berusaha untuk menjadi penguasa.Kedudukan Imam
berada di atas penguasa,yang hanya menjalankan apa yang diputuskan Imam sebagai
penguasa tertinggi agama. Adapun orang-orang Syi’ah Waqifiah berpendirian,bukan saja
seorang Imam itu diangkat oleh Imam yang mendahuluinya, bahkan ruh Imam yang
sebelumnya itu berpindah ke diri Imam yang diangkatnya.Orang-orang ini menganut doktrin
transmigrasi . Perpindahan ruh atau jiwa dari seorang Imam ke Imam penggantinya terus
berlangsung dan baru berhenti sampai lahirnya seorang yang telah diperuntukkan menjadi
Imam yang terkhir yakni Al-Mahdi. Doktrin ini sama seperti yang dianut oleh orang-orang
Tibet terhadap Dhalai Lhamanya.
Bagi orang-orang Syi’ah harapan tentang kedatangan Al-Mahdi ini diidentifikasikan
dengan Raj’a ( kembali ) dari Imam yang sedang bersembunyi. Pada waktu sekarang sang
Imam sedang berada dalam persembunyiannya yang diyakini akan kembali.Doktrin ini
berintikan bahwa sang Imam tidaklah wafat.Tuhan hanya menghilangkannya dari penglihatan
manusia.Tuhanlah yang memperpanjang hidupnya. Begitulah pendirian orang-orang Syi’i
Waqifiyah yang menggunakan Al-Qur’an tentang Al-Khidr sebagai dasar pegangan mereka.
F. Sistem Pemilihan Imamah Menurut Pandangan Syi’ah
Dalam masalah keimanan, Syi’ah menganut teori hak legitimasi berdasarkan Hak
Suci Tuhan. Oleh karena itu seseorang yang memangku jabatan Imam haruslah berdasarkan
Nash ( dalil agama ) dan Washiyat ( wasiat/testamen ) dari Imam yang sebelumnya. Tuhan
telah mendelegasikan hak suciNya itu kepada para Nabi dan Muhammad SAW telah
mewasiatkannya kepada Ali. Maka Ali lah orang pertama yang menerima wasiat untuk
menjadi Imam.Selanjutnya setiap Imam yang telah mendapat wasiat mempunyai hak mutlak
untuk mewasiatkannya lagi kepada seseorang yang dikehendakinya.11
Mengingat kedudukan Imam itu begitu mulia dan agung,penting serta tinggi,maka
menurut kepercayaan orang-orang Syi’ah,tidaklah sepantasnya masalah pemilihan dan
pengangkatan seorang Imam dipercayakan pada orang banyak ( hak pilih rakyat ) yang bukan
Nabi atau Imam, seperti pemilihan terhadap Abu Bakar,pengangkatan Umar dan pemilihan
terhadap Utsman yang dilakukan oleh sebuah komisi. Tetapi haruslah jelas diangkat oleh
Tuhan melalui Nabi atau melalui Ali, atau oleh seorang Imam yang mendahuluiny, sebagai
11 Dr. Nourouzzaman Shiddiqi,MA, Syi’ah dan Khawarij dalam Perspektif Sejarah
( Yogyakarta : PLP2M, 1985),Hal : 62

pemangku hak suci.Adalah menjadi kewajiban yang tak boleh dialpakan oleh seorang Nabi
untuk menunjuk dan mengangkat seorang Imam untuk memimpin kaum Muslimin.
Jadi menurut pandangan Syi’ah, kecuali Zaidiyah, bahwa pengangkatan Imam itu
adalah hak suci Tuhan, bukan berdasarkan prinsip pemilihan demokratis. Setiap Imam, sejak
dari Ali adalah orang-orang yang memangku jabatannya berdasarkan Nash dan Washiyat.
Orang yang diangkat dinamakan Manshush. Ali diangkat oleh Nabi, Imam sesudah Ali
diangkat oleh Ali,sedang Imam-imam berikutnya diangkat oleh Imam yang mendahuluinya.
Para Imam itu mempunyai kewenangan mengangkat penggantinya adalah karena dia
mempunyai kewenangan untuk menetapkan hukum dan memimpin Ibadah.12

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Imamah merupakan bahasa Arab yang berakar dari kata amma, menurut Ibnu
Mandzur berarti yang berada di depan atau ketua. Serupa dengan penjelasan dalam al-mu’jam
12 Ibid, Hal:66

asy-syamil limustholahat al-falsafah karya Dr. Abdul Mun’im Al-Hifny, imam ialah yang
memiliki kekuasaan tertinggi didalam agama dan dunia,yang harus diikuti oleh seluruh umat.
Bagi Syi’ah Imam atau khalifah adalah satu kepentingan agama, bukan hanya
kelayakan politik semata. Lembaga keimanan adalah satu rukun agama fundamental, yang
sama pentingnya dengan Al-Qur’an dan As-sunnah. Tanpa adanya seorang Imam, bukan saja
dunia ini akan hancur, bahkan dunia ini sendiri tidak pernah ada. Imam, apakah ia diketahui
atau tersembunyi adalah seorang hujjat, wakil Tuhan di bumi.
Imam yang menggantikan Nabi Saw bukanlah sembarang orang, tetapi harus
memiliki sejumlah sifat yang dimiliki Nabi Saw. Oleh karena itu, persyaratan menjadi Imam
tidak cukup harus seorang Quraisy, seperti yang diyakini sahabat ketika itu, tetapi harus pula
memiliki syarat-syarat lain, yaitu ‘ismah (kemampuan menjaga diri dari dosa walau sekecil
apa pun) dan ilm (ilmu yang sempurna).
Salah satu Imam Syi’ah yakni Ja’far membuat dua landasan yang penting yakni :
1. Yang pertama adalah Nash, yakni Imamah adalah suatu prerogatif yang dilimpahkan
Allah kepada orang pilihan dari keluarga rasul, yang sebelum kematiannya dan denga
tuntunan Allah,mengalihkan Imamah kepada yang lain melalui pengangkatan yang
eksplisit ( Nash ).
2. Prinsip dasar kedua,yang dimasukkan dalam doktrin Imamah sebagai yang dirinci
dan ditekankan oleh Ja’far adalah ‘Ilm. Ini berarti bahwa seorang Imam harus
memiliki pengetahuan agama yang khusus diterimanya secara Ilahiah,dan hanya
dapat dipindahkan kepada Imam nerikutnya sebelum kematiannya.
Dalam masalah keimanan, Syi’ah menganut teori hak legitimasi berdasarkan Hak
Suci Tuhan. Oleh karena itu seseorang yang memangku jabatan Imam haruslah berdasarkan
Nash ( dalil agama ) dan Washiyat ( wasiat/testamen ) dari Imam yang sebelumnya.
DAFTAR PUSTAKA

Dr. Nourouzzaman Shiddiqi,MA, Syi’ah dan Khawarij dalam Perspektif Sejarah (Yogyakarta
: PLP2M, 1985
S.H.M Jafri,Awal dan Sejarah Perkembangan Islam Syi’ah Dari Saqifah sampai Imamah
Jakarta:Pustaka Hidayah, 1989

Abdul Mun’im Al-Hifny, al-mu’jam asy-syamil limustholahat al-falsafah, (Mesir: Maktabah
Al-Madbuly, 2000)
Muhammad Al-Husein Ali Kasyiful Ghita’, Ashlusy-Syi’ah wa Ushuluha, (Beirut: Darul alAdhwa, 1999)
Ali Syariati, Islam Madzhab Pemikiran dan Aksi, Mizan, Bandung
Sayyid Muhibuddin Al-Khatib,Mengenal Pokok-pokok Ajaran Syi’ah Al-Imamiyah
(Surabaya: PT. Bina Ilmu,1984)
inpasonline.com, dikutip pada Sabtu, 10 Oktober 2015 pukul: 21.25
http://www.alhassanain.com/ di kutip pada : Kamis.8 Oktober 2015 pukul 17.15