URGENSI DALAM SISTEM REFORMASI PERADILAN
BAB I
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG MASALAH
Dalam lingkungan Angkatan Perang diperlukan adanya badan-badan peradilan yang dalam
melaksanakan tugasnya mampu menegakkan keadilan dan hukum dan mampu menilai segala
sesuatu yang berhubungan dengan tujuan pembentukan Angkatan Perang. Yaitu Tentara Nasional
Indonesia (TNI) adalah Suatu organisasi yang berperan sebagai alat pertahanan Negara Kesatuan
Republik Indonesia, bertugas melaksanakan kebijakan pertahanan Negara untuk menegakkan
kedaulatan Negara, mempertahankan keutuhan wilayah, dan melindungi keselamatan bangsa,
menjalankan operasi militer untuk perang dan operasi militer selain perang, serta ikut secara aktif
dalam tugas pemeliharaan perdamaian regional dan internasional.
Namun akhir-akhir ini Peradilan Militer semakin menjadi sorotan publik , karena dinilai
belum disesuaikan dengan semangat reformasi nasional dan reformasi TNI itu sendiri. Beberapa
isu penting yang terkait adalah mengenai penerapan prinsip perlakuan sama di depan hukum dan
pemerintahan, serta potensial terjadinya praktek pelanggaran Hak Asasi Manusia. Dalam hal ini
saya mengemukakan pentingnya perubahan terhadap UU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan
Militer untuk disesuaikan dengan semangat reformasi dan amanat UU No. 34 Tahun 2004
tentang Tentara Nasional Indonesia, terutama mengenai kewenangan Peradilan Militer untuk
mengadili Anggota TNI yang melakukan tindak pidana umum diubah menjadi kewenangan
peradilan umum. Selain itu dalam hal pelaksanaan pemasyarakatan napi militer yang masih
belum sesuai dengan ketentuan Undang-Undang pasca UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI.
Kendala yang di temui antara lain pengaturan lembaga pemasyarakatan militer yang masih
menggunakan Surat Keputusan Panglima ABRI Nomor: Skep/792/XII/1997 Tanggal 31
Desember 1997 Tentang Naskah Sementara Buku Petunjuk Teknik Tentang Penyelenggaraan
Pemasyarakatan Militer, Bidang Organisasi yang masih tumpang tindih antara pembinaan dan
pelatihan yang dilakukan oleh sipir, Sumber daya manusia yang masih terbatas, sarana prasarana
yang sangat memprihatinkan dan minimnya peran serta masyarakat; Upaya yang ditempuh untuk
mengatasi kendala mencapai tujuan pembinaan antara lain: merevisi UU Nomor 41 Tahun 1947
tentang Kepenjaraan Tentara sehingga memberikan kepastian dalam pelaksanaan pembinaan
Pemasyarakatan Nara pidana Prajurit TNI menjadi optimal, meningkatkan kwalitas/ sumber daya
1
manusia para sipir dengan dengan berbagai macam pelatihan dan kursus, memberikan saran
kepada Panglima TNI untuk segera merenovasi sarana prasarana Masmil yang sangat
memprihatinkan. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, disarankan perlu segera dibuat
Ketentuan setingkat perundang-undangan yang bersifat nasional tentang Pemasyarakatan Militer
yang sesuai dengan standar ketentuan nasional maupun internasional tentang pemasyarakatan.
RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakaqng masalah sebagaimana dikemukakan diatas, maka dapat
dirumuskan masalahnya sebagai berikut:
1. Bagaimana Implementasi dan komitmen UU Peradilan Militer terhadap Reformasi dan
Perlindungan Hak sipil dan politik ?
2. Bagaimana Penerapan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional
Indonesia terhadap Pemasyarakatan Narapidana Tentara Nasional Indonesia ?
2
BAB II
PEMBAHSAN
1. Implementasi dan Komitmen UU Peradilan Militer terhadap Reformasi dan
Perlindungan Hak Sipil dan Politik
Penegakan hukum di Indonesia sebagai wujud dari penyelenggaraan kekuasaan kehakiman
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam
Lingkungan Peradilan Umum, Lingkungan Peradilan Agama, Lingkungan Peradilan Militer,
Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Dalam Undang-undang No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman ditetapkan
bahwa salah satu penyelenggara kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh pengadilan dalam
lingkungan Peradilan Militer, termasuk susunan serta acaranya diatur dalam undang-undang
tersendiri. Eksistensi pengadilan di lingkungan peradilan Militer juga dimuat dalam Pasal 24 ayat
(2) UUD 1945 amandemen keempat yang berbunyi kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh
sebuah Mahkamah Agung dan Badan Peradilan dibawahnya dalam lingkungan Peradilan Militer,
lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, lingkungan Peradilan
Umum dan Mahkahmah Konstitusi.
Hukum militer dan peradilan militer, terkait pula dengan soal perang dan pengertianpengertian mengenai hukum keadaan darurat yang mengandung aspek-aspek yang berkaitan
dengan hukum internasional. Seperti dikemukakan oleh Robert Barros dalam tulisannya tentang
Dictatorship and the rule of law: rules and military power in pinochet’s chile”,
“should be associate the rule of law only with democratic legal system or can we conceive of the
rule of the law as an independent phenomenon that may aqually be associated with other from
form of regime? In parlicular, can we speak of an authocratic or dictatorial rule of law? In
principle, under specific conditions, both are compatible with non democratic forms of rule.”
Sebagai suatu bidang hukum yang tersendiri dapat dikatakan bahwa hukum militer itu
berisi norma-norma hukum yang berlaku bagi mereka yang tergolong sebagai organisasi militer
atau setidaknya orang-orang sipil tertentu yang terhadapnya berdasarkan ketentuan undangundang, diberlakukan hukum militer.
3
Dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Peradilan Militer juga ditentukan
demikian. Pasal 9 (1) Undang-Undang ini menentukan bahwa pengadilan dalam lingkungan
peradilan militer berwenang mengadili tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang yang pada
melakukan tindak pidana adalah:
a. Prajurit;
b. Yang berdasarkan undang-undang dipersamakan dengan prajurit;
c. Anggota suatu golongan atau jawatan atau badan atau dipersamakan
sebagai prajurit berdasarkan Undang-Undang;
d. Seorang yang tidak masuk golongan pada huruf a, huruf b, huruf
c,tetapi atas keputusan panglima dengan persetujuan menteri
kehakiman(sekarang menteri hukum dan HAM) harus di adili oleh
pengadilan militer.
Suatu kekhususan dalam penyelesaian suatu perkara yang dilakukan oleh seorang militer
ialah bahwa peran komandan yang bersangkutan tidak boleh diabaikan, bahkan adakalanya
(misalnya dalam daerah pertempuran) lebih diutamakan daripada peran petugas penegak
hukum.Suatu negara yang menjunjung tinggi hukum tanpa mengabaikan salah satu kepentingan
sudah sewajarnya apabila diadakan keseimbangan antara asas unity of command (kesatuan
komando) dan kesatuan penuntutan ( de een en ondeelbaarheid van het parket).
Hukum Acara Pidana Militer dalam penerapannya memberlakukan asas-asas khusus yang
merupakan norma-norma dalam tata kehidupan militer, yaitu asas kesatuan komando, asas
komandan bertanggung jawab terhadap anak buah dan asas kepentingan militer. Dalam
penyelenggaraan fungsi pertahanan negara, prinsip kepentingan militer harus lebih diutamakan
dari pada kepentingan golongan atau perorangan, termasuk dalam proses peradilan militer
kepentingan militer lebih diutamakan dan diseimbangkan dengan tidak mengesampingkan
kepentingan hukum.
Norma substantif yang mengatur tindak pidana yang dilakukan oleh militer adalah Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana Militer. Menurut KUHPM, tindak pidana yang dilakukan oleh
militer adalah ; tindak pidana yang diatur KUHPM, dan yang tidak diatur dalam KUHPM.
Berarti secara juridis menurut KUHPM, tindak pidana umum yang dilakukan oleh militer juga
merupakan tindak pidana militer. Oleh karena itu bagi militer diadakannya peradilan khusus,
4
diakui bahwa kekhususan itu bukan merupakan keistimewan akan tetapi suatu ketentuan yang
lebih memperhatikan faktor khusus yang terdapat dalam bidang kemiliteran.
Reformasi TNI, bagian akhirnya adalah reformasi peradilan militer. TNI netral, tidak berpolitik,
tidak berbisnis, semuanya sudah dilakukan oleh TNI. Namun yang masih dipersoalkan adalah
peradilan militernya.
Karena akhir-akhir ini semakin kuat masyarakat terutama pemerhati HAM menghendaki
terjadinya proses reformasi peradilan militer sebagai langkah untuk memutus satu mata rantai
impunitas, sehingga perlu mendapat perhatian DPR-RI sebagai pemegang kekuasaan membentuk
undang-undang. Sebagai contoh Kasus penyerangan oleh anggota Komando Pasukan Khusus
(Kopassus) terhadap tahanan di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas IIB Cebongan, Sleman
dapat menjadi momentum untuk merevisi UU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer,
Selain kasus tersebut Berbagai permasalahan dalam UU No. 31 Tahun 1997 yaitu, pertama,
aturan hukum tersebut merupakan produk perundang-undangan yang dibangun oleh rezim Orde
Baru (ORBA) dalam dominasi militer. Kedua, lemahnya praktek peradilan yang adil (fair trial)
dan independensi peradilan. Kelemahan yang sangat mendasar ini menjadi penghalang untuk
memenuhi kepuasan korban pelanggaran HAM atas rasa keadilan. Jika merujuk pada undangundang tersebut, sampai saat ini segala tindak kejahatan yang dilakukan oleh anggota TNI (baik
tindakan pidana militer ataupun pidana umum) akan diadili melalui pengadilan militer.
Pengecualian diterapkan kepada para anggota militer yang terlibat dalam tindak pelanggaran
HAM berat, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 49 UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan
HAM atau tindak pidana korupsi seperti yang diatur dalam UU No. 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan undang-undang revisinya. Ketiga, UU No. 31 Tahun
1997 dalam implementasinya masih terbentur dengan kuatnya status quo logika militer di tengah
arus utama demokrasi yang mengutamakan supremasi hukum dan penghormatan terhadap HAM.
Dengan demikian, perubahan UU No. 31 Tahun 1997 merupakan urgensi dalam agenda prioritas
legislasi nasional bidang pertahanan dan keamanan di DPR-RI. Permasalahan utama dalam UU
No. 31 Tahun 1997 adalah peradilan militer yang masih memiliki kewenangan mengadili tindak
pidana umum yang dilakukan oleh anggota prajurit Tentara Republik Indonesia (TNI). Oleh
karena itu, polisi militer memiliki kewenangan-kewenangan serta fungsi atasan yang berhak
menghukum (Ankum) dan perwira penyerah perkara (Papera) dalam tahap penyelidikan dan
penyidikan yang seharusnya dilakukan oleh Kepolisian Negara RI (Polri). Selain itu oditur
5
militer, memiliki kewenangan penuntutan yang seharusnya merupakan kewenangan kejaksaan
dalam perkara pidana. Sesungguhnya, agenda reformasi peradilan militer sudah menjadi mandat
dari UU No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia sebagaimana tercantum dalam
Pasal 65 ayat (2) yang berbunyi;
“Prajurit tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana
militer dan tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana
umum yang diatur dengan undang-undang”.
Urgensi reformasi terhadap peradilan militer sangat relevan ditempatkan pada komitmen
terhadap reformasi dan perlindungan hak sipil dan politik. Salah satu dokumen politik
kenegaraan yang penting buah reformasi adalah TAP MPR No. VII/MPR/2000 tentang Peran
TNI dan POLRI. DPR-RI sebagai salah suatu lembaga yang menjiwai semangat dan spirit
reformasi tersebut, perlu secara konsisten melanjutkan amanat TAP MPR No. VII/ MPR/2000
tentang Peran TNI dan POLRI. Keputusan politik tersebut, telah membagi peran TNI dan POLRI
dan telah meletakan dasar penundukan prajurit TNI dalam peradilan militer umum apabila
melakukan tindak pidana umum. Walaupun keputusan ini telah ditindaklanjuti dalam Pasal 65
ayat (2) UU No. 34 Tahun 2004, namun belum cukup apabila perubahan tersebut tidak
menyentuh langsung pada undang-undang yang khusus mengatur Peradilan Militer, yaitu UU
No. 31 Tahun 1997.
Di samping itu, Indonesia telah meratifikasi Kovenan Internasional Hak- Hak Sipil dan
Politik atau Kovenan Sipol, (International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) atau
Instrumen HAM pokok internasional lainnya, Kovenan Sipol ini tidak mengatur secara khusus
sistem peradilan militer. Dalam kerangka reformasi peradilan militer kedepan, pasal-pasal dalam
UU No. 31 Tahun 1997 harus dapat mengadopsi Pasal 14 Kovenan Sipol yang menganut prinsip
persamaan di muka hukum (equality before the law) dalam administrasi peradilan
(administration of justice) tentang prinsip-prinsip utama suatu peradilan, khususnya soal
independensi institusi peradilan dan jaminan fair trial bagi mereka yang menjadi tersangka,
terdakwa, atau terpidana.
Pasal 14 Kovenan Sipol ini dapat menggugat keberadaan praktek peradilan militer yang
menyangkut asas non-diskriminasi. Penafsiran pasal ini secara implisit tidak membenarkan suatu
peradilan khusus bagi kelompok khusus berdasarkan suatu perbedaan; ras, warna kulit, jenis
kelamin, bahasa, agama, politik atau pendapat lain, asal-usul kebangsaan atau sosial, kekayaan,
6
kelahiran, atau status lainnya. Selanjutnya, penafsiran Pasal 26 Kovenan Sipol tentang prinsip
persamaan perlindungan oleh hukum (equal protection of law) mempunyai makna bahwa semua
orang harus diperlakukan sama dalam suatu produk hukum dan legislasi. Sementara itu,
perlakuan sama bukan berarti bentuk perlakuannya harus identik. Makna dari prinsip ini adalah
suatu perlakuan yang sama harus diterapkan kepada suatu fakta yang polanya sama dan
perlakuan yang berbeda harus diterapkan pada suatu fakta yang polanya berbeda.
Reformasi peradilan militer juga harus memperkuat secara kelembagaan jaminan
indepedensi dan imparsialitas sistem peradilan militer dengan memperkuat hak dari tersangka
dan hak-hak korban dan dapat diajukan banding terhadap putusan ke peradilan sipil yang lebih
tinggi, misalnya ke Mahkamah Agung (MA).
Tuntutan DPR-RI untuk melakukan penyempurnaan terhadap sistem peradilan militer telah
dilakukan dengan mengajukan RUU perubahan atas UU No. 31 Tahun 1997 oleh DPR-RI
periode 2004–2009. Namun, terjadi perdebatan yang berkepanjangan antara DPR-RI dan
Pemerintah mengenai substansi kewenangan peradilan militer sampai akhir masa periode DPRRI 2004–2009. Kini perubahan tersebut mendapat dukungan yang kuat dari DPR-RI, tidak saja
dari Anggota Komisi I, tetapi juga dari Komisi III. Anggota Komisi III DPR-RI Deding Ishak
misalnya prihatin terhadap terjadinya kasus Cebongan dan penanganan tindak pidana yang
dilakukan oleh anggota militer dalam kasus tersebut. Pendirian Deding Ishak didasarkan pada
pertimbangan aspek sosiologis dan yuridis merevisi UU No. 31 Tahun 1997.
Dari aspek sosiologis, maraknya tindak pidana yang dilakukan anggota militer menjadi
kekhawatiran tersendiri bagi masyarakat, jika penanganannya masih dilakukan oleh pengadilan
militer dan bukan pengadilan umum. Sedangkan dari aspek yuridis, perundangan peradilan
militer dinilai sudah tidak sesuai dengan konteks kekinian, serta semangat reformasi dan
demokrasi negara ini. Namun, perbedaan yang tajam dalam pembahasan perubahan UU No. 31
Tahun 1997 pada DPR-RI periode 2004–2009 serta sikap Pemerintah yang belum menghendaki
revisi terhadap kewenangan peradilan militer, mengakibatkan RUU perubahan atas UU No. 31
Tahun 1997 tersebut tidak diagendakan oleh DPR-RI dan Pemerintah pada saat ini.
7
2. Penerapan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional
Indonesia terhadap Pemasyarakatan Narapidana Tentara Nasional Indonesia
Prajurit TNI yang telah dijatuhi pidana penjara atau kurungan dan telah mempunyai kekuatan
hukum tetap serta tidak dijatuhi pidana tambahan berupa pemecatan dari dinas militer pada
prinsipnya pelaksanaan pidananya dilaksanakan di tempat bangunan-bangunan yang dikuasai
oleh militer sesuai dengan Pasal 10 KUHPM, yang berbunyi;
“Pidana penjara sementara atau pidana kurungan termasuk pidana kurungan pengganti yang
dijatuhkan kepada militer, sepanjanjang dia tidak dipecat dari dinas militer dijalani di
bangunan-bangunan yang dikuasai oleh militer”.
Pelaksanaan kepenjaraan diatur dengan Undang-undang No. 41 Tahun 1947 tentang
Kepenjaraan Tentara merupakan penjabaran dari Staatsblad 1934 No. 169 dan 170 merupakan
peninggalan Hindia Belanda yang bersifat penjeraan yang sudah tidak sesuai lagi dengan
kelembagaan pemasyarakatan militer dan tujuan pembinaan narapidana militer.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer diatur bahwa
pidana penjara atau kurungan dilaksanakan di lembaga pemasyarakatan militer atau ditempat lain
menurut ketentuan peraturan perundang-undangan dengan tujuan untuk pembinaan. Pelaksanaan
penyelenggaraan pemasyarakatan militer saat ini dilakukan berdasarkan peraturan-peraturan
internal TNI yang bersifat sementara. Penyelenggaraan pemasyarakatan militer khususnya
pembinaan narapidana militer sampai saat ini tidak semua narapidana ditempatkan di lembaga
pemasyarakatan militer, namun masih ada narapidana yang melaksanakan pidananya di Instalasi
Tahanan Militer yang merupakan bagian dari struktur organisasi Polisi Militer dan di lembaga
pemasyarakatan umum, mengingat tidak semua daerah tersedia fasilitas pelaksanaan pidana yang
memenuhi syarat sebagai lembaga pemasyarakatan militer.
Saat ini lembaga pemasyarakatan militer di lingkungan TNI yaitu: Lembaga Pemasyarakatan
Militer Medan, Cimahi, Surabaya, Makassar, dan Jayapura. Apabila dibandingkan dengan jumlah
perkara prajurit TNI yang tersebar di pengadilan militer seluruh Indonesia tidak mampu
menampung jumlah narapidana dan terkendala oleh jauhnya jarak antara satuan TNI dengan
Lembaga Pemasyarakatan Militer, sehingga tujuan pemidanaan sebagai pembinaan prajurit tidak
tercapai.
8
Pembinaan narapidana militer di lima Lembaga Pemasyarakatan Militer belum sepenuhnya
menggunakan sistem pembinaan narapidana militer yang bertujuan untuk membentuk prajurit
TNI yang memiliki jati diri TNI sebagai Tentara Rakyat, Tentara Pejuang, Tentara Nasional dan
Tentara Profesional.
Dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI dan Peraturan Presiden
RI Nomor 10 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi TNI, maka kedudukan, tugas dan fungsi
lembaga pemasyarakatan militer sebagaimana diatur dalam undang-undang Nomor 41 Tahun
1947 tentang Kepenjaraan Tentara yang semula di bawanh Menteri Pertahanan Keamanan,
beralih di bawah Panglima TNI.
Di dalam Undang-Undang Pemasyarakatan Militer Nomor 41 tahun 1947 tentang
Kepenjaraan Tentara, kewenangan pengawasan umum dan pengawasan tertinggi ada di Menteri
Pertahanan, hal ini tidak sesuai dengan perubahan peraturan perundang-undangan yang mengatur
tentang TNI dan tidak sesuai dengan adanya perubahan organisasi yang mengatur tentang tugas
dan tanggung jawab Panglima TNI.
Kebijakan TNI yang menjadi dasar penyelenggaraan pemasyarakatan militer ditujukan untuk
membina dan mengembalikan disiplin Napi TNI tertuang dalam Surat Keputusan Panglima
Angkatan Bersenjata (Pangab) Nomor Skep/792/XII/1997 tanggal 31 Desember 1997 pada
Naskah Sementara Buku Petunjuk Teknis Penyelenggaraan Pemasyarakatan Militer yaitu:
“Bahwa penyelenggaraan pemasyarakatan militer merupakan suatu usaha dan kegiatan yang
berhubungan dengan pembinaan terhadap Napi TNI dengan tujuan setelah menjalani pidananya
dapat kembali menjadi prajurit TNI yang berjiwa Pancasila dan Sapta Marga”.
Saat ini pedoman Penyelenggaraan Pemasyarakatan Militer masih mengacu pada Naskah
Sementara Buku Petunjuk Teknik tentang Penyelenggaraan Pemasyarakatan Militer yang
disahkan dengan Surat Keputusan Panglima Angkatan Bersenjata Nomor Skep/792/XII/1997,
tanggal 31 Desember 1997, yang sudah tidak relevan lagi dengan kondisi saat ini. Pada buku
pedoman naskah sementara tersebut masih terdapat penyebutan ABRI yang terdiri dari Angkatan
Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara dan Polri, padahal TNI dan Polri telah memisahkan diri
sesuai dengan fungsi, peran dan tugas pokok masing-masing. Sejak tahun 2000 Narapidana Polri
tidak lagi menjalani pidana di Masmil sejalan dengan kebijakan pemerintah mengenai pemisahan
TNI dan Polri.
9
Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, khususnya pada
Pasal 65 ayat (2) yang menyatakan :
"Prajurit tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum militer dan
tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum yang
diatur dalam UU".
Dengan telah diundangkannya didalam suatu peraturan perundangundangan memiliki
pengertian bahwa ketentuan tersebut telah memiliki ketentuan hukum yang mengikat, yang harus
dilaksanakan isi dari amanat tersebut. TNI sebagai alat negara suka atau tidak suka, cepat atau
lambat harus menghormati dan melaksanakan isi dari ketentuan Pasal 65 ayat (2) UU Nomor 34
Tahun 2004. Selama ini prajurit TNI yang melakukan tindak pidana baik pidana umum maupun
militer tunduk pada yurisdiksi Peradilan Militer sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, namun dengan adanya ketentuan Pasal 65 ayat
(2) bagi prajurit TNI yang melakukan tindak pidana umum merupakan kompetensi dari peradilan
umum. Ketentuan pasal 65 ayat (2) UU Nomor 34 Tahun 2004 tidak serta merta langsung dapat
diterapkan karena untuk dapat dilaksanakan terlebih dahulu harus diterbitkan peraturan
pelaksanaannya. Selain itu dalam rangka pelaksanaan Pasal 65 ayat (2) masih harus dipersiapkan
beberapa perangkat hukum yang harus disesuaikan (direvisi) terlebih dahulu antara lain, KUHP,
KUHPM, KUHAP dan HAPMIL, serta Undang-Undang Pemasyarakatan Militer.
Di lingkungan Lembaga Pemasyarakatan Umum, pola pembinaan Napi sudah mengacu pada
Undang-Undang RI Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, sedangkan di lingkungan
Pemasyarakatan Militer masih mengacu pada Peraturan Penjara Staatblad 1934 Nomor 169 dan
170 yang merupakan peninggalan Kolonial Belanda sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang Nomor 41 Tahun 1947 tentang Kepenjaraan Tentara.
Kondisi Saat ini, Pemasyarakatan Militer masih mengunakan Istilah Penjara didalam
Undang-Undang RI No.41 Tahun 1947 sudah tidak sesuai dengan perkembangan organisasi TNI,
juga bila ditinjau dari segi hukum dan HAM, istilah tersebut mengandung pengertian balas
dendam dan penyiksaan dimana hal ini bertentangan dengan prikemanusiaan. Dalam UndangUndang RI No.41 Tahun 1947 pelaksanaan pidana penjara bagi orang tangkapan masih
dimungkinkan pelaksanaannya dirumah penjara tentara dan di rumah Provost sedangkan dalam
Undang-Undang RI No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer Pasal 256 secara tegas
10
menjelaskan pidana penjara atau kurungan dilaksanakan di Lembaga Pemasyarakatan Militer
atau ditempat lain menurut ketentuan Perundang-undangan.
11
BAB III
PENUTUP
SIMPULAN
1. Bahwa Perbedaan pandangan politik hukum kewenangan atas tindak pidana umum yang
dilakukan oleh anggota militer merupakan suatu bentuk perbedaan antara pandangan
yang konsisten dan yang tidak konsisten untuk melanjutkan reformasi nasional yang
dimulai dari tahun 1998. Substansi dari agenda perubahan atau reformasi peradilan
militer adalah memastikan bahwa semua orang sama di hadapan hukum dan prinsipprinsip HAM serta tidak ada perlakuan khusus terhadap anggota TNI yang melakukan
tindak pidana umum atas warga negara lain dalam bentuk kompetensi peradilan militer.
Revisi terhadap UU No. 31 Tahun 1997 merupakan sesuatu yang urgen untuk menjamin
proses peradilan yang adil dengan mengubah ketentuan Pasal 9 UU No. 31 Tahun 1997
yang mendasarkan kewenangan peradilan militer pada tempat terjadinya tindak pidana
yang dilakukan oleh prajurit menjadi kewenangan atas tindak pidana militer dalam arti,
bukan mengadili tindak pidana umum yang dilakukan oleh prajurit TNI. Ketentuan ini
dimaksudkan supaya selaras dengan prinsip persamaan di depan hukum serta Kovenan
Sipol yang berlaku secara universal.
2. Bahwa pelaksanaan Pemasyarakatan Napi Militer di Lembaga Pemasyarakatan Militer
belum sesuai dengan ketentuan Undang-Undang pasca UU No. 34 Tahun 2004 tentang
TNI, yang mana pelaksanaanya masih memakai UU No. 41 Tahun 1947 tentang
kepenjaraan tentara. Sehingga hal tersebut menimbulkan ketidakpastian sehingga
pelaksanaan sistem Pemasyarakatan Nara pidana Prajurit TNI tidak akan optimal. Selain
itu terdapat kendala dalam pemasyarakatan Napi TNI pasca UU No. 34 Tahun 2004
antara lain pengaturan lembaga pemasyarakatan militer yang masih menggunakan Surat
Keputusan Panglima ABRI Nomor: Skep/792/XII/1997 Tanggal 31 Desember 1997
Tentang
Naskah
Sementara
Buku
Petunjuk Teknik Tentang
Penyelenggaraan
Pemasyarakatan Militer, Bidang Organisasi yang masih tumpang tindih antara pembinaan
dan pelatihan yang dilakukan oleh sipir, Sumber daya manusia yang masih terbatas,
sarana prasarana yang sangat memprihatinkan dan minimnya peran serta masyarakat.
12
SARAN
1. Seharusnya setiap TNI yang melakukan suatu tindak pidana umum selaian dihukum
didalam Peradilan Militer juga harus dihukum didalam Persidangan Umum karena
menyangkut masalah umum atau masyarakat sipil/biasa, sehingga terbukanya prinsip
persamaan perlindungan oleh hukum (equal protection of law) mempunyai makna bahwa
semua orang harus diperlakukan sama di muka hukum.
2. Perlu segera direvisi UU No.41 tahun 1947 tentang kepenjaraan tentara dan segera
disesuaikan dengan UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI. Sehingga Pemasyarakatan
Militer akan sesuai dengan standar ketentuan nasional maupun internasionai tentang
pemasyarakatan
tanpa
menghilangkan
makna
yang
terkandung
dalam
tujuan
Pemasyarakatan Militer itu sendiri, yaitu dapat kembali menjadi prajurit Sapta Marga
yang mampu melaksanakan tugasnya di satuan.
13
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Bagir Manan (eds). (1996). Kedaulatan Rakyat, Hak Asasi Manusia dan Negara
Hukum.Kumpulan
Essai
Guna
Menghormati
Prof.
Dr.
Sri
Soemantri
Martosoewignyo,SH.,Jakarta : Gaya Media Pratama.
Barda Nawawi Arief (2006).Barda Nawawi Arief, Menuju Sistem Peradilan Militer yang Sesuai
dengan Reformasi Hukum Nasional dan Reformasi Hukum TNI, Makalah disampaikan
pada Workshop Peradilan Militer,Dephan RI-Kerdutaan besar Jerman-FRR Law Office,
Hotel Salak Bogor,Maret.2006
Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar Negara RI 1945.
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1947 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer.
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.
Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia.
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Undang-Undang No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and
Political Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-hak Sipil dan Politik).
Artikel
Inosentius Samsul. Urgensi Reformasi Peradilan Militer. Info Singkat Vol. V. No.
18/II/P3DI/September/2013.
Eko Karyadi. (2011). Implementasi Pemasyarakatan Narapidana Tentara Nasional Indonesia di
Lembaga Pemasyarakatan Militer Pasca Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 Tentang
Tentara Nasional Indonesia. Tesis Program Pascasarjana Universitas Andalas Padang:
diterbitkan.
Dini D.H, Elsa R.M.T, Firdaus. (2011). Konstruksi Model Sistem Integratif Peradilan Militer
Dalam Prespektif Pembaruan Sistem Peradilan Militer di Indonesia. ISSN 2089-3590
14
MAKALAH
URGENSI DALAM SISTEM REFORMASI PERADILAN MILIER DAN
SISTEM PEMASYARAKATAN NARAPIDANA TENTARA NASIONAL
INDONESIA
Disusun
Anggy Eka Cahya Nugraha
E0011023
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2014
15
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG MASALAH
Dalam lingkungan Angkatan Perang diperlukan adanya badan-badan peradilan yang dalam
melaksanakan tugasnya mampu menegakkan keadilan dan hukum dan mampu menilai segala
sesuatu yang berhubungan dengan tujuan pembentukan Angkatan Perang. Yaitu Tentara Nasional
Indonesia (TNI) adalah Suatu organisasi yang berperan sebagai alat pertahanan Negara Kesatuan
Republik Indonesia, bertugas melaksanakan kebijakan pertahanan Negara untuk menegakkan
kedaulatan Negara, mempertahankan keutuhan wilayah, dan melindungi keselamatan bangsa,
menjalankan operasi militer untuk perang dan operasi militer selain perang, serta ikut secara aktif
dalam tugas pemeliharaan perdamaian regional dan internasional.
Namun akhir-akhir ini Peradilan Militer semakin menjadi sorotan publik , karena dinilai
belum disesuaikan dengan semangat reformasi nasional dan reformasi TNI itu sendiri. Beberapa
isu penting yang terkait adalah mengenai penerapan prinsip perlakuan sama di depan hukum dan
pemerintahan, serta potensial terjadinya praktek pelanggaran Hak Asasi Manusia. Dalam hal ini
saya mengemukakan pentingnya perubahan terhadap UU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan
Militer untuk disesuaikan dengan semangat reformasi dan amanat UU No. 34 Tahun 2004
tentang Tentara Nasional Indonesia, terutama mengenai kewenangan Peradilan Militer untuk
mengadili Anggota TNI yang melakukan tindak pidana umum diubah menjadi kewenangan
peradilan umum. Selain itu dalam hal pelaksanaan pemasyarakatan napi militer yang masih
belum sesuai dengan ketentuan Undang-Undang pasca UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI.
Kendala yang di temui antara lain pengaturan lembaga pemasyarakatan militer yang masih
menggunakan Surat Keputusan Panglima ABRI Nomor: Skep/792/XII/1997 Tanggal 31
Desember 1997 Tentang Naskah Sementara Buku Petunjuk Teknik Tentang Penyelenggaraan
Pemasyarakatan Militer, Bidang Organisasi yang masih tumpang tindih antara pembinaan dan
pelatihan yang dilakukan oleh sipir, Sumber daya manusia yang masih terbatas, sarana prasarana
yang sangat memprihatinkan dan minimnya peran serta masyarakat; Upaya yang ditempuh untuk
mengatasi kendala mencapai tujuan pembinaan antara lain: merevisi UU Nomor 41 Tahun 1947
tentang Kepenjaraan Tentara sehingga memberikan kepastian dalam pelaksanaan pembinaan
Pemasyarakatan Nara pidana Prajurit TNI menjadi optimal, meningkatkan kwalitas/ sumber daya
1
manusia para sipir dengan dengan berbagai macam pelatihan dan kursus, memberikan saran
kepada Panglima TNI untuk segera merenovasi sarana prasarana Masmil yang sangat
memprihatinkan. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, disarankan perlu segera dibuat
Ketentuan setingkat perundang-undangan yang bersifat nasional tentang Pemasyarakatan Militer
yang sesuai dengan standar ketentuan nasional maupun internasional tentang pemasyarakatan.
RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakaqng masalah sebagaimana dikemukakan diatas, maka dapat
dirumuskan masalahnya sebagai berikut:
1. Bagaimana Implementasi dan komitmen UU Peradilan Militer terhadap Reformasi dan
Perlindungan Hak sipil dan politik ?
2. Bagaimana Penerapan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional
Indonesia terhadap Pemasyarakatan Narapidana Tentara Nasional Indonesia ?
2
BAB II
PEMBAHSAN
1. Implementasi dan Komitmen UU Peradilan Militer terhadap Reformasi dan
Perlindungan Hak Sipil dan Politik
Penegakan hukum di Indonesia sebagai wujud dari penyelenggaraan kekuasaan kehakiman
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam
Lingkungan Peradilan Umum, Lingkungan Peradilan Agama, Lingkungan Peradilan Militer,
Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Dalam Undang-undang No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman ditetapkan
bahwa salah satu penyelenggara kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh pengadilan dalam
lingkungan Peradilan Militer, termasuk susunan serta acaranya diatur dalam undang-undang
tersendiri. Eksistensi pengadilan di lingkungan peradilan Militer juga dimuat dalam Pasal 24 ayat
(2) UUD 1945 amandemen keempat yang berbunyi kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh
sebuah Mahkamah Agung dan Badan Peradilan dibawahnya dalam lingkungan Peradilan Militer,
lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, lingkungan Peradilan
Umum dan Mahkahmah Konstitusi.
Hukum militer dan peradilan militer, terkait pula dengan soal perang dan pengertianpengertian mengenai hukum keadaan darurat yang mengandung aspek-aspek yang berkaitan
dengan hukum internasional. Seperti dikemukakan oleh Robert Barros dalam tulisannya tentang
Dictatorship and the rule of law: rules and military power in pinochet’s chile”,
“should be associate the rule of law only with democratic legal system or can we conceive of the
rule of the law as an independent phenomenon that may aqually be associated with other from
form of regime? In parlicular, can we speak of an authocratic or dictatorial rule of law? In
principle, under specific conditions, both are compatible with non democratic forms of rule.”
Sebagai suatu bidang hukum yang tersendiri dapat dikatakan bahwa hukum militer itu
berisi norma-norma hukum yang berlaku bagi mereka yang tergolong sebagai organisasi militer
atau setidaknya orang-orang sipil tertentu yang terhadapnya berdasarkan ketentuan undangundang, diberlakukan hukum militer.
3
Dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Peradilan Militer juga ditentukan
demikian. Pasal 9 (1) Undang-Undang ini menentukan bahwa pengadilan dalam lingkungan
peradilan militer berwenang mengadili tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang yang pada
melakukan tindak pidana adalah:
a. Prajurit;
b. Yang berdasarkan undang-undang dipersamakan dengan prajurit;
c. Anggota suatu golongan atau jawatan atau badan atau dipersamakan
sebagai prajurit berdasarkan Undang-Undang;
d. Seorang yang tidak masuk golongan pada huruf a, huruf b, huruf
c,tetapi atas keputusan panglima dengan persetujuan menteri
kehakiman(sekarang menteri hukum dan HAM) harus di adili oleh
pengadilan militer.
Suatu kekhususan dalam penyelesaian suatu perkara yang dilakukan oleh seorang militer
ialah bahwa peran komandan yang bersangkutan tidak boleh diabaikan, bahkan adakalanya
(misalnya dalam daerah pertempuran) lebih diutamakan daripada peran petugas penegak
hukum.Suatu negara yang menjunjung tinggi hukum tanpa mengabaikan salah satu kepentingan
sudah sewajarnya apabila diadakan keseimbangan antara asas unity of command (kesatuan
komando) dan kesatuan penuntutan ( de een en ondeelbaarheid van het parket).
Hukum Acara Pidana Militer dalam penerapannya memberlakukan asas-asas khusus yang
merupakan norma-norma dalam tata kehidupan militer, yaitu asas kesatuan komando, asas
komandan bertanggung jawab terhadap anak buah dan asas kepentingan militer. Dalam
penyelenggaraan fungsi pertahanan negara, prinsip kepentingan militer harus lebih diutamakan
dari pada kepentingan golongan atau perorangan, termasuk dalam proses peradilan militer
kepentingan militer lebih diutamakan dan diseimbangkan dengan tidak mengesampingkan
kepentingan hukum.
Norma substantif yang mengatur tindak pidana yang dilakukan oleh militer adalah Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana Militer. Menurut KUHPM, tindak pidana yang dilakukan oleh
militer adalah ; tindak pidana yang diatur KUHPM, dan yang tidak diatur dalam KUHPM.
Berarti secara juridis menurut KUHPM, tindak pidana umum yang dilakukan oleh militer juga
merupakan tindak pidana militer. Oleh karena itu bagi militer diadakannya peradilan khusus,
4
diakui bahwa kekhususan itu bukan merupakan keistimewan akan tetapi suatu ketentuan yang
lebih memperhatikan faktor khusus yang terdapat dalam bidang kemiliteran.
Reformasi TNI, bagian akhirnya adalah reformasi peradilan militer. TNI netral, tidak berpolitik,
tidak berbisnis, semuanya sudah dilakukan oleh TNI. Namun yang masih dipersoalkan adalah
peradilan militernya.
Karena akhir-akhir ini semakin kuat masyarakat terutama pemerhati HAM menghendaki
terjadinya proses reformasi peradilan militer sebagai langkah untuk memutus satu mata rantai
impunitas, sehingga perlu mendapat perhatian DPR-RI sebagai pemegang kekuasaan membentuk
undang-undang. Sebagai contoh Kasus penyerangan oleh anggota Komando Pasukan Khusus
(Kopassus) terhadap tahanan di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas IIB Cebongan, Sleman
dapat menjadi momentum untuk merevisi UU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer,
Selain kasus tersebut Berbagai permasalahan dalam UU No. 31 Tahun 1997 yaitu, pertama,
aturan hukum tersebut merupakan produk perundang-undangan yang dibangun oleh rezim Orde
Baru (ORBA) dalam dominasi militer. Kedua, lemahnya praktek peradilan yang adil (fair trial)
dan independensi peradilan. Kelemahan yang sangat mendasar ini menjadi penghalang untuk
memenuhi kepuasan korban pelanggaran HAM atas rasa keadilan. Jika merujuk pada undangundang tersebut, sampai saat ini segala tindak kejahatan yang dilakukan oleh anggota TNI (baik
tindakan pidana militer ataupun pidana umum) akan diadili melalui pengadilan militer.
Pengecualian diterapkan kepada para anggota militer yang terlibat dalam tindak pelanggaran
HAM berat, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 49 UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan
HAM atau tindak pidana korupsi seperti yang diatur dalam UU No. 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan undang-undang revisinya. Ketiga, UU No. 31 Tahun
1997 dalam implementasinya masih terbentur dengan kuatnya status quo logika militer di tengah
arus utama demokrasi yang mengutamakan supremasi hukum dan penghormatan terhadap HAM.
Dengan demikian, perubahan UU No. 31 Tahun 1997 merupakan urgensi dalam agenda prioritas
legislasi nasional bidang pertahanan dan keamanan di DPR-RI. Permasalahan utama dalam UU
No. 31 Tahun 1997 adalah peradilan militer yang masih memiliki kewenangan mengadili tindak
pidana umum yang dilakukan oleh anggota prajurit Tentara Republik Indonesia (TNI). Oleh
karena itu, polisi militer memiliki kewenangan-kewenangan serta fungsi atasan yang berhak
menghukum (Ankum) dan perwira penyerah perkara (Papera) dalam tahap penyelidikan dan
penyidikan yang seharusnya dilakukan oleh Kepolisian Negara RI (Polri). Selain itu oditur
5
militer, memiliki kewenangan penuntutan yang seharusnya merupakan kewenangan kejaksaan
dalam perkara pidana. Sesungguhnya, agenda reformasi peradilan militer sudah menjadi mandat
dari UU No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia sebagaimana tercantum dalam
Pasal 65 ayat (2) yang berbunyi;
“Prajurit tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana
militer dan tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana
umum yang diatur dengan undang-undang”.
Urgensi reformasi terhadap peradilan militer sangat relevan ditempatkan pada komitmen
terhadap reformasi dan perlindungan hak sipil dan politik. Salah satu dokumen politik
kenegaraan yang penting buah reformasi adalah TAP MPR No. VII/MPR/2000 tentang Peran
TNI dan POLRI. DPR-RI sebagai salah suatu lembaga yang menjiwai semangat dan spirit
reformasi tersebut, perlu secara konsisten melanjutkan amanat TAP MPR No. VII/ MPR/2000
tentang Peran TNI dan POLRI. Keputusan politik tersebut, telah membagi peran TNI dan POLRI
dan telah meletakan dasar penundukan prajurit TNI dalam peradilan militer umum apabila
melakukan tindak pidana umum. Walaupun keputusan ini telah ditindaklanjuti dalam Pasal 65
ayat (2) UU No. 34 Tahun 2004, namun belum cukup apabila perubahan tersebut tidak
menyentuh langsung pada undang-undang yang khusus mengatur Peradilan Militer, yaitu UU
No. 31 Tahun 1997.
Di samping itu, Indonesia telah meratifikasi Kovenan Internasional Hak- Hak Sipil dan
Politik atau Kovenan Sipol, (International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) atau
Instrumen HAM pokok internasional lainnya, Kovenan Sipol ini tidak mengatur secara khusus
sistem peradilan militer. Dalam kerangka reformasi peradilan militer kedepan, pasal-pasal dalam
UU No. 31 Tahun 1997 harus dapat mengadopsi Pasal 14 Kovenan Sipol yang menganut prinsip
persamaan di muka hukum (equality before the law) dalam administrasi peradilan
(administration of justice) tentang prinsip-prinsip utama suatu peradilan, khususnya soal
independensi institusi peradilan dan jaminan fair trial bagi mereka yang menjadi tersangka,
terdakwa, atau terpidana.
Pasal 14 Kovenan Sipol ini dapat menggugat keberadaan praktek peradilan militer yang
menyangkut asas non-diskriminasi. Penafsiran pasal ini secara implisit tidak membenarkan suatu
peradilan khusus bagi kelompok khusus berdasarkan suatu perbedaan; ras, warna kulit, jenis
kelamin, bahasa, agama, politik atau pendapat lain, asal-usul kebangsaan atau sosial, kekayaan,
6
kelahiran, atau status lainnya. Selanjutnya, penafsiran Pasal 26 Kovenan Sipol tentang prinsip
persamaan perlindungan oleh hukum (equal protection of law) mempunyai makna bahwa semua
orang harus diperlakukan sama dalam suatu produk hukum dan legislasi. Sementara itu,
perlakuan sama bukan berarti bentuk perlakuannya harus identik. Makna dari prinsip ini adalah
suatu perlakuan yang sama harus diterapkan kepada suatu fakta yang polanya sama dan
perlakuan yang berbeda harus diterapkan pada suatu fakta yang polanya berbeda.
Reformasi peradilan militer juga harus memperkuat secara kelembagaan jaminan
indepedensi dan imparsialitas sistem peradilan militer dengan memperkuat hak dari tersangka
dan hak-hak korban dan dapat diajukan banding terhadap putusan ke peradilan sipil yang lebih
tinggi, misalnya ke Mahkamah Agung (MA).
Tuntutan DPR-RI untuk melakukan penyempurnaan terhadap sistem peradilan militer telah
dilakukan dengan mengajukan RUU perubahan atas UU No. 31 Tahun 1997 oleh DPR-RI
periode 2004–2009. Namun, terjadi perdebatan yang berkepanjangan antara DPR-RI dan
Pemerintah mengenai substansi kewenangan peradilan militer sampai akhir masa periode DPRRI 2004–2009. Kini perubahan tersebut mendapat dukungan yang kuat dari DPR-RI, tidak saja
dari Anggota Komisi I, tetapi juga dari Komisi III. Anggota Komisi III DPR-RI Deding Ishak
misalnya prihatin terhadap terjadinya kasus Cebongan dan penanganan tindak pidana yang
dilakukan oleh anggota militer dalam kasus tersebut. Pendirian Deding Ishak didasarkan pada
pertimbangan aspek sosiologis dan yuridis merevisi UU No. 31 Tahun 1997.
Dari aspek sosiologis, maraknya tindak pidana yang dilakukan anggota militer menjadi
kekhawatiran tersendiri bagi masyarakat, jika penanganannya masih dilakukan oleh pengadilan
militer dan bukan pengadilan umum. Sedangkan dari aspek yuridis, perundangan peradilan
militer dinilai sudah tidak sesuai dengan konteks kekinian, serta semangat reformasi dan
demokrasi negara ini. Namun, perbedaan yang tajam dalam pembahasan perubahan UU No. 31
Tahun 1997 pada DPR-RI periode 2004–2009 serta sikap Pemerintah yang belum menghendaki
revisi terhadap kewenangan peradilan militer, mengakibatkan RUU perubahan atas UU No. 31
Tahun 1997 tersebut tidak diagendakan oleh DPR-RI dan Pemerintah pada saat ini.
7
2. Penerapan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional
Indonesia terhadap Pemasyarakatan Narapidana Tentara Nasional Indonesia
Prajurit TNI yang telah dijatuhi pidana penjara atau kurungan dan telah mempunyai kekuatan
hukum tetap serta tidak dijatuhi pidana tambahan berupa pemecatan dari dinas militer pada
prinsipnya pelaksanaan pidananya dilaksanakan di tempat bangunan-bangunan yang dikuasai
oleh militer sesuai dengan Pasal 10 KUHPM, yang berbunyi;
“Pidana penjara sementara atau pidana kurungan termasuk pidana kurungan pengganti yang
dijatuhkan kepada militer, sepanjanjang dia tidak dipecat dari dinas militer dijalani di
bangunan-bangunan yang dikuasai oleh militer”.
Pelaksanaan kepenjaraan diatur dengan Undang-undang No. 41 Tahun 1947 tentang
Kepenjaraan Tentara merupakan penjabaran dari Staatsblad 1934 No. 169 dan 170 merupakan
peninggalan Hindia Belanda yang bersifat penjeraan yang sudah tidak sesuai lagi dengan
kelembagaan pemasyarakatan militer dan tujuan pembinaan narapidana militer.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer diatur bahwa
pidana penjara atau kurungan dilaksanakan di lembaga pemasyarakatan militer atau ditempat lain
menurut ketentuan peraturan perundang-undangan dengan tujuan untuk pembinaan. Pelaksanaan
penyelenggaraan pemasyarakatan militer saat ini dilakukan berdasarkan peraturan-peraturan
internal TNI yang bersifat sementara. Penyelenggaraan pemasyarakatan militer khususnya
pembinaan narapidana militer sampai saat ini tidak semua narapidana ditempatkan di lembaga
pemasyarakatan militer, namun masih ada narapidana yang melaksanakan pidananya di Instalasi
Tahanan Militer yang merupakan bagian dari struktur organisasi Polisi Militer dan di lembaga
pemasyarakatan umum, mengingat tidak semua daerah tersedia fasilitas pelaksanaan pidana yang
memenuhi syarat sebagai lembaga pemasyarakatan militer.
Saat ini lembaga pemasyarakatan militer di lingkungan TNI yaitu: Lembaga Pemasyarakatan
Militer Medan, Cimahi, Surabaya, Makassar, dan Jayapura. Apabila dibandingkan dengan jumlah
perkara prajurit TNI yang tersebar di pengadilan militer seluruh Indonesia tidak mampu
menampung jumlah narapidana dan terkendala oleh jauhnya jarak antara satuan TNI dengan
Lembaga Pemasyarakatan Militer, sehingga tujuan pemidanaan sebagai pembinaan prajurit tidak
tercapai.
8
Pembinaan narapidana militer di lima Lembaga Pemasyarakatan Militer belum sepenuhnya
menggunakan sistem pembinaan narapidana militer yang bertujuan untuk membentuk prajurit
TNI yang memiliki jati diri TNI sebagai Tentara Rakyat, Tentara Pejuang, Tentara Nasional dan
Tentara Profesional.
Dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI dan Peraturan Presiden
RI Nomor 10 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi TNI, maka kedudukan, tugas dan fungsi
lembaga pemasyarakatan militer sebagaimana diatur dalam undang-undang Nomor 41 Tahun
1947 tentang Kepenjaraan Tentara yang semula di bawanh Menteri Pertahanan Keamanan,
beralih di bawah Panglima TNI.
Di dalam Undang-Undang Pemasyarakatan Militer Nomor 41 tahun 1947 tentang
Kepenjaraan Tentara, kewenangan pengawasan umum dan pengawasan tertinggi ada di Menteri
Pertahanan, hal ini tidak sesuai dengan perubahan peraturan perundang-undangan yang mengatur
tentang TNI dan tidak sesuai dengan adanya perubahan organisasi yang mengatur tentang tugas
dan tanggung jawab Panglima TNI.
Kebijakan TNI yang menjadi dasar penyelenggaraan pemasyarakatan militer ditujukan untuk
membina dan mengembalikan disiplin Napi TNI tertuang dalam Surat Keputusan Panglima
Angkatan Bersenjata (Pangab) Nomor Skep/792/XII/1997 tanggal 31 Desember 1997 pada
Naskah Sementara Buku Petunjuk Teknis Penyelenggaraan Pemasyarakatan Militer yaitu:
“Bahwa penyelenggaraan pemasyarakatan militer merupakan suatu usaha dan kegiatan yang
berhubungan dengan pembinaan terhadap Napi TNI dengan tujuan setelah menjalani pidananya
dapat kembali menjadi prajurit TNI yang berjiwa Pancasila dan Sapta Marga”.
Saat ini pedoman Penyelenggaraan Pemasyarakatan Militer masih mengacu pada Naskah
Sementara Buku Petunjuk Teknik tentang Penyelenggaraan Pemasyarakatan Militer yang
disahkan dengan Surat Keputusan Panglima Angkatan Bersenjata Nomor Skep/792/XII/1997,
tanggal 31 Desember 1997, yang sudah tidak relevan lagi dengan kondisi saat ini. Pada buku
pedoman naskah sementara tersebut masih terdapat penyebutan ABRI yang terdiri dari Angkatan
Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara dan Polri, padahal TNI dan Polri telah memisahkan diri
sesuai dengan fungsi, peran dan tugas pokok masing-masing. Sejak tahun 2000 Narapidana Polri
tidak lagi menjalani pidana di Masmil sejalan dengan kebijakan pemerintah mengenai pemisahan
TNI dan Polri.
9
Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, khususnya pada
Pasal 65 ayat (2) yang menyatakan :
"Prajurit tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum militer dan
tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum yang
diatur dalam UU".
Dengan telah diundangkannya didalam suatu peraturan perundangundangan memiliki
pengertian bahwa ketentuan tersebut telah memiliki ketentuan hukum yang mengikat, yang harus
dilaksanakan isi dari amanat tersebut. TNI sebagai alat negara suka atau tidak suka, cepat atau
lambat harus menghormati dan melaksanakan isi dari ketentuan Pasal 65 ayat (2) UU Nomor 34
Tahun 2004. Selama ini prajurit TNI yang melakukan tindak pidana baik pidana umum maupun
militer tunduk pada yurisdiksi Peradilan Militer sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, namun dengan adanya ketentuan Pasal 65 ayat
(2) bagi prajurit TNI yang melakukan tindak pidana umum merupakan kompetensi dari peradilan
umum. Ketentuan pasal 65 ayat (2) UU Nomor 34 Tahun 2004 tidak serta merta langsung dapat
diterapkan karena untuk dapat dilaksanakan terlebih dahulu harus diterbitkan peraturan
pelaksanaannya. Selain itu dalam rangka pelaksanaan Pasal 65 ayat (2) masih harus dipersiapkan
beberapa perangkat hukum yang harus disesuaikan (direvisi) terlebih dahulu antara lain, KUHP,
KUHPM, KUHAP dan HAPMIL, serta Undang-Undang Pemasyarakatan Militer.
Di lingkungan Lembaga Pemasyarakatan Umum, pola pembinaan Napi sudah mengacu pada
Undang-Undang RI Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, sedangkan di lingkungan
Pemasyarakatan Militer masih mengacu pada Peraturan Penjara Staatblad 1934 Nomor 169 dan
170 yang merupakan peninggalan Kolonial Belanda sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang Nomor 41 Tahun 1947 tentang Kepenjaraan Tentara.
Kondisi Saat ini, Pemasyarakatan Militer masih mengunakan Istilah Penjara didalam
Undang-Undang RI No.41 Tahun 1947 sudah tidak sesuai dengan perkembangan organisasi TNI,
juga bila ditinjau dari segi hukum dan HAM, istilah tersebut mengandung pengertian balas
dendam dan penyiksaan dimana hal ini bertentangan dengan prikemanusiaan. Dalam UndangUndang RI No.41 Tahun 1947 pelaksanaan pidana penjara bagi orang tangkapan masih
dimungkinkan pelaksanaannya dirumah penjara tentara dan di rumah Provost sedangkan dalam
Undang-Undang RI No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer Pasal 256 secara tegas
10
menjelaskan pidana penjara atau kurungan dilaksanakan di Lembaga Pemasyarakatan Militer
atau ditempat lain menurut ketentuan Perundang-undangan.
11
BAB III
PENUTUP
SIMPULAN
1. Bahwa Perbedaan pandangan politik hukum kewenangan atas tindak pidana umum yang
dilakukan oleh anggota militer merupakan suatu bentuk perbedaan antara pandangan
yang konsisten dan yang tidak konsisten untuk melanjutkan reformasi nasional yang
dimulai dari tahun 1998. Substansi dari agenda perubahan atau reformasi peradilan
militer adalah memastikan bahwa semua orang sama di hadapan hukum dan prinsipprinsip HAM serta tidak ada perlakuan khusus terhadap anggota TNI yang melakukan
tindak pidana umum atas warga negara lain dalam bentuk kompetensi peradilan militer.
Revisi terhadap UU No. 31 Tahun 1997 merupakan sesuatu yang urgen untuk menjamin
proses peradilan yang adil dengan mengubah ketentuan Pasal 9 UU No. 31 Tahun 1997
yang mendasarkan kewenangan peradilan militer pada tempat terjadinya tindak pidana
yang dilakukan oleh prajurit menjadi kewenangan atas tindak pidana militer dalam arti,
bukan mengadili tindak pidana umum yang dilakukan oleh prajurit TNI. Ketentuan ini
dimaksudkan supaya selaras dengan prinsip persamaan di depan hukum serta Kovenan
Sipol yang berlaku secara universal.
2. Bahwa pelaksanaan Pemasyarakatan Napi Militer di Lembaga Pemasyarakatan Militer
belum sesuai dengan ketentuan Undang-Undang pasca UU No. 34 Tahun 2004 tentang
TNI, yang mana pelaksanaanya masih memakai UU No. 41 Tahun 1947 tentang
kepenjaraan tentara. Sehingga hal tersebut menimbulkan ketidakpastian sehingga
pelaksanaan sistem Pemasyarakatan Nara pidana Prajurit TNI tidak akan optimal. Selain
itu terdapat kendala dalam pemasyarakatan Napi TNI pasca UU No. 34 Tahun 2004
antara lain pengaturan lembaga pemasyarakatan militer yang masih menggunakan Surat
Keputusan Panglima ABRI Nomor: Skep/792/XII/1997 Tanggal 31 Desember 1997
Tentang
Naskah
Sementara
Buku
Petunjuk Teknik Tentang
Penyelenggaraan
Pemasyarakatan Militer, Bidang Organisasi yang masih tumpang tindih antara pembinaan
dan pelatihan yang dilakukan oleh sipir, Sumber daya manusia yang masih terbatas,
sarana prasarana yang sangat memprihatinkan dan minimnya peran serta masyarakat.
12
SARAN
1. Seharusnya setiap TNI yang melakukan suatu tindak pidana umum selaian dihukum
didalam Peradilan Militer juga harus dihukum didalam Persidangan Umum karena
menyangkut masalah umum atau masyarakat sipil/biasa, sehingga terbukanya prinsip
persamaan perlindungan oleh hukum (equal protection of law) mempunyai makna bahwa
semua orang harus diperlakukan sama di muka hukum.
2. Perlu segera direvisi UU No.41 tahun 1947 tentang kepenjaraan tentara dan segera
disesuaikan dengan UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI. Sehingga Pemasyarakatan
Militer akan sesuai dengan standar ketentuan nasional maupun internasionai tentang
pemasyarakatan
tanpa
menghilangkan
makna
yang
terkandung
dalam
tujuan
Pemasyarakatan Militer itu sendiri, yaitu dapat kembali menjadi prajurit Sapta Marga
yang mampu melaksanakan tugasnya di satuan.
13
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Bagir Manan (eds). (1996). Kedaulatan Rakyat, Hak Asasi Manusia dan Negara
Hukum.Kumpulan
Essai
Guna
Menghormati
Prof.
Dr.
Sri
Soemantri
Martosoewignyo,SH.,Jakarta : Gaya Media Pratama.
Barda Nawawi Arief (2006).Barda Nawawi Arief, Menuju Sistem Peradilan Militer yang Sesuai
dengan Reformasi Hukum Nasional dan Reformasi Hukum TNI, Makalah disampaikan
pada Workshop Peradilan Militer,Dephan RI-Kerdutaan besar Jerman-FRR Law Office,
Hotel Salak Bogor,Maret.2006
Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar Negara RI 1945.
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1947 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer.
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.
Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia.
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Undang-Undang No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and
Political Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-hak Sipil dan Politik).
Artikel
Inosentius Samsul. Urgensi Reformasi Peradilan Militer. Info Singkat Vol. V. No.
18/II/P3DI/September/2013.
Eko Karyadi. (2011). Implementasi Pemasyarakatan Narapidana Tentara Nasional Indonesia di
Lembaga Pemasyarakatan Militer Pasca Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 Tentang
Tentara Nasional Indonesia. Tesis Program Pascasarjana Universitas Andalas Padang:
diterbitkan.
Dini D.H, Elsa R.M.T, Firdaus. (2011). Konstruksi Model Sistem Integratif Peradilan Militer
Dalam Prespektif Pembaruan Sistem Peradilan Militer di Indonesia. ISSN 2089-3590
14
MAKALAH
URGENSI DALAM SISTEM REFORMASI PERADILAN MILIER DAN
SISTEM PEMASYARAKATAN NARAPIDANA TENTARA NASIONAL
INDONESIA
Disusun
Anggy Eka Cahya Nugraha
E0011023
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2014
15