MENGIKUTSERTAKAN RANAH AFEKTIF DALAM KRI
MENGIKUTSERTAKAN RANAH AFEKTIF DALAM
KRITERIA KELULUSAN UJIAN NASIONAL DENGAN
MENINGKATKAN KUALITAS PENDIDIKAN SPIRITUAL
Disusun Guna Memenuhi Tugas Akhir Semester 4 Mata Kuliah Pendidikan
Inklusi
Dibimbing Oleh Drs. Sukarno, M.Pd
Disusun oleh
Nama : Nurul Istiqomah
Kelas : 4c
NIM
: K7110125
PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2012
MENGIKUTSERTAKAN RANAH AFEKTIF DALAM
KRITERIA KELULUSAN UJIAN NASIONAL DENGAN
MENINGKATKAN KUALITAS PENDIDIKAN SPIRITUAL
(Nurul Istiqomah, K7110125, 4c, Pendidikan Inklusi)
Abstrak
Sebuah
pendidikan
pada
hakikatnya
mempunyai
tujuan
untuk
membangun manusia seutuhnya sebagaimana yang tertulis dalam GBHN tahun
1998 bahwa tujuan pendidikan adalah membentuk manusia seutuhnya, maksud
dari manusia seutuhnya adalah meliputi berbagai aspek tidak hanya aspek
intelektual saja, tetapi juga aspek spiritual. Namun pada kenyataannya yang
terjadi di dunia pendidikan masa kini lebih mengedepankan aspek intelektual
sebagai tolok ukur keberhasilan dari sebuah proses pendidikan.
Dalam penentuan criteria kelulusan Ujian Nasional pun, aspek inteketual
ini sangat mendominasi untuk menyatakan kelulusan seorang siswa. Aspek
intelektual ini berkaitan dengan aspek kognitif yang dimiliki siswa selama proses
pembelajaran. Padahal kenyataannya dalam perencanaan tujuan pembelajaran,
terdapat 3 ranah yang harus dicapai. Yaitu ranah kognitif, afektif, dan psikomotor.
Namun, untuk menentukan criteria kelulusan aspek afektif sering ditinggalkan.
Sehingga penulisan karya ilmiah “Mengikutsertakan Ranah Afektif dalam
Kriteria Kelulusan Ujian Nasional dengan Meningkatkan Kualitas Pendidikan
Spiritual” ditulis. Yaitu bertujuan agar semua kalangan mengingat pentingnya
pendidikan spiritual sangat berperan penting dalam penentuan kepribadian anak.
Agar kelak lulusan diharapkan tidak hanya pintar dalam bidang pengetahuan
umum saja, tetapi juga diimbangi pengetahuan spiritual untuk membimbing dalam
menjalani kehidupan.
Kata Kunci : Ranah Afektif, Kriteria Kelulusan UN, Pendidikan Spiritual
I. Pendahuluan
Memasuki abad ke-21 dunia pendidikan di Indonesia sangat ironis.
Di saat negara-negara lain berlomba untuk meningkatkan kualitas
pendidikannya, Indonesia masih saja dihadapkan pada persoalan mengenai
Ujian Nasional yang dijadikan polemik di tengah masyarakat. Sebagian
masyarakat mendukung adanya Ujian Nasional sebagai sarana untuk
mengukur tingkat ketercapaian belajar siswa, sedangkan sebagian lagi
menolak adanya Ujian Nasional ini. Adanya pihak-pihak yang pro dan
kontra ini sering dijadikan bahan perdebatan saat Ujian Nasional akan
berlangsung setiap tahunnya. Namun, akan luntur sendirinya seiring
dengan pengumuman kelulusan tanpa adanya kejelasan dari Kementrian
Pendidikan Nasional mengenai tingkat keberhasilan Ujian Nasional di
tahun ini. Serta kejelasan untuk Ujian Nasional di tahun mendatang,
apakah mempunyai great yang sama dengan Ujian Nasional tahun ini atau
tidak. Hal demikian, menyebabkan kesimpangsiuran informasi di
masyarakat.
Terkait dengan pihak-pihak yang pro dan kontra adanya Ujian
Nasional mereka mempunyai alasan masing-masing. Untuk pihak yang
pro Ujian Nasional menilai Ujian Nasional memang harus dilakukan.
Karena bertujuan untuk mengukur, menilai, dan mengevaluasi tingkat
ketercapaian pembelajaran yang dilakukan selama anak belajar pada
tingkatan masing-masing.
Sedangkan pihak-pihak yang kontra adanya Ujian Nasional ini,
merasa bahwa Ujian Nasional tidak adil bagi anak. Karena selama 6 tahun
untuk pendidikan dasar dan 3 tahun untuk pendidikan menengah dan
kejuruan, hasilnya masing-masing hanya ditentukan dalam waktu 3 dan 4
hari. Dari 3 ranah dalam tujuan pembelajaran yang dicapai, yaitu kognitif,
afektif, dan psikomotor. Hanya ranah kognitif saja yang seolah
diutamakan. Padahal ranah afektif dan psikomotor juga tidak kalah
penting. Terlebih ranah afektif, karena ranah afektif ini berkaitan dengan
sikap, karakter, kepribadian, dan watak yang dibentuk dalam proses
pembelajaran.
Padahal sejatinya kita tahu bahwa pembentukan sikap, karakter,
kepribadian, dan watak anak lebih susah serta membutuhkan waktu yang
tidak sebentar. Serta hasilnya pun tidak langsung diketahui dalam jangka
waktu
yang
pendek.
Berbeda
halnya
dengan
pengetahuan
dan
keterampilan anak yang dapat langsung diketahui setelah ia mencapai
criteria kelulusan. Pembentukan kepribadian tidak semudah “membalikkan
telapak tangan”. Namun, untuk pembentukan karakter yang kuat dan
kepribadian yang mulia membutuhkan proses.
Berkaitan
dengan
hal
tersebut,
maka
karya
ilmiah
“Mengikutsertakan Ranah Afektif dalam Kriteria Kelulusan Ujian
Nasional dengan Meningkatkan Kualitas Pendidikan Spiritual” bermaksud
membuka cakrawala bahwasanya ranah afektif dapat digunakan sebagai
criteria kelulusan Ujian Nasional. Yaitu dengan menginngkatkan kualitas
pendidikan spiritual.
II.Pembahasan
A. Ranah Afektif Membentuk Kepribadian
Tiga ranah yang harus dicapai dalam tujuan pembelajaran,
yaitu ranah kognitif, afektif, dan psikomotor. Mengenai ranah kognitif
dan psikomotor bukan lagi ranah yang asing di telinga masyarakat. Di
mana ranah kognitif berhubungan dengan pengetahuan anak dan ranah
psikomotor berhubungan dengan keterampilan anak yang ingin dicapai
sebagai hasil dari pembelajaran yang dilakukan. Sedangkan ranah
afektif mungkin sedikit asing di telinga masyarakat karena terkadang
kurang diperhatikan dalam perencanaan tujuan pembelajaran. Padahal
ranah afektif ini merupakan ranah yang sangat penting sebagai hasil
pelaksanaan pembelajaran. Karena ranah afektif ini berkaitan dengan
sikap kepribadian yang terbentuk melalui proses pembelajaran yang
dilakukan. Ranah afektif mempunyai 5 tingkatan yaitu receiving,
responding, valuing, organization, characterization by evalue or calue
complex.
Sjarkawi (2006 : 11) menyatakan bahwa kepribadian,
adalah ciri atau karakteristik atau gaya atau sifat khas dari
diri seseorang yang bersumber dari bentukan-bentukan
yang diterima dari lingkungan, misalnya keluarga pada
masa kecil, dan juga bawaan seseorang sejak lahir.
Maka, dari pernyataan di atas dapat dikatakan bahwa
kepribadian anak dapat terbentuk dari lingkungan yang dimasukinya.
Untuk anak lingkungan yang pertama kali dimasuki adalah lingkungan
keluarga. Sehingga lingkungan keluarga ini dapat berperan besar
dalam pembentukan kepribadian anak.
Namun, demikian kepribadian anak yang mulai terbentuk
ssejak ia lahir sampai berinteraksi dalam lingkungan keluarga dapat
berubah seiring dengan lingkungan lain yang dimasukinya. Yaitu
lingkungan sekolah dan lingkungan masyarakat. Terutama lingkungan
sekolah ini, sangat berpengaruh dalam pembentukan kepribadian anak
setelah lingkungan keluarga. Karena pada lingkungan sekolah ia mulai
berinteraksi dengan teman-temannya dan guru dalam melakukan
proses pembelajaran.
Pembentukan kepribadian anak, sangat dipengaruhi oleh
bagaimana seorang guru mendidik anak. Sebab kita tahu bahwa anak
sangat mematuhi apa saja yang dikatakan guru dibandingkan apa yang
dikatakan orang tuanya. Apapun yang dikatakan guru selalu
dianggapnya paling benar. Untuk pembentukan kepribadian ini juga
dapat direncanakan guru sebelum proses pembelajaran berlangsung.
yaitu lewat tujuan pembelajaran dalam ranah afektif.
B. Posisi Guru dalam Pembentukan Kepribadian
Proses pembentukan kepribadian anak melalui kegiatan
pembelajaran, dapat digambarkan sebagai berikut :
Orang
Tua
Siswa
Pendekatan
Guru
Metode
Pertimbangan
Moral
Strategi
Orang
Tua
Kepribadian
(Personality)
Gambar A.1 Posisi guru dalam mengembangkan kepribadian moral menuju
terbentuknya suatu kepribadian
Siswa adalah suatu kelompok yang masih sangat kental
berinteraksi
dan
berkomunikasi
dengan
orang
tuanya
guna
memperoleh pendidikan kepribadiannya pada awal kehidupannya.
Siswa sebelum dan sampai saat disekolahkan adalah seorang
yang terikat dan dipengaruhi oleh orang tuanya. Setiap orang tua dari
mereka merasa bertanggung jawab untuk membentuk kepribadian
anak-anak
mereka. Baik guru kelas maupun guru mata pelajaran
mendapat amanat untuk membentuk kepribadian siswa. Pembentukan
kepribadian direncanakan dandirumuskan dalam tujuan pembelajaran,
yaitu pada ranah afektif. Selanjutnya dilakukan dengan menggunakan
pendekatan, metode, dan strategi yang tepat. Perubahan cara berpikir
moral siswa akan tampak pada tahapan pertimbangan moral yang ada
padanya. Kualitas perilaku moral yang didasarkan pada pertimbangan
moral tersebut menjadi perilaku keseharian dalam kehidupan siswa,
sehingga tampak sebagai suatu cirri khas yang melekat pada
kepribadian orang tersebut.
C. Kelulusan Ujian Nasional
Menurut H. A. R. Tilaar (2006 : 79), menyatakan bahwa
dalam teori perencanaan pendidikan dikenal tiga komponen
besar yang menetukan standar pendidikan, yaitu komponen
standar kurikulum atau standar isi, standardisasi
performance (unjuk kerja), dan kesempatan belajar.
Mengenai standar isi, di dalam kurikulum ditentukan mata-mata
pelajaran untuk masing-masing jenjang pendidikan serta mengenai
peraturan alokasi waktu setiap minggu, bulan, tahun. Selain itu,
kurikulum disusun berdasarkan berbagai sudut pandang seperti
kurikulum yang berorientasi pada mata pelajaran, kurikulum yang
berorientasi pada kebutuhan anak, kurikulum yang berdasarkan
kebutuhan kehidupan nyata,. Demikian pula penyusunan kurikulum
berdasarkan kepada falsafah mengenai manusia.
Standardisasi performance, tuntutan yang dimajukan kepada anak
untuk dikuasai. Tingkat penguasaan materi yang disodorkan kepada
anah bahkan sangat menentukan standar proses pendidikan. Suatu ujian
yang dilaksanakan sewaktu-waktu ,erupakan profil sekejap dan isi
kompetensi ini.
Dan kesempatan belajar, termasuk biaya yang tersedia untuk
melaksanakan tugas rutin dan tugas inovatif dalam lingkungan sekolah.
Apabila kita mengamati pelaksanaan Ujian Nasional yang dilaksanakan,
berkaitan dengan mata pelajaran yang diujiankan semuanya lebih
mementingkan pengetahuan umumnya saja. Baik itu, Matematika,
Bahasa Indonesia, IPA, maupun IPS. Pemerintah sepertinya buta akan
pentingnya pendidikan spiritual yang tercermin dalam mata pelajaran
agama.
Jika
dilihat
dari
hal
tersebut,
pemerintah
seolah
hanya
menginginkah keluaran yang hanya pandai akan ilmu pengetahuannya
saja.
Keluaran
yang
hanya
asal
pintar
pengetahuan,
tanpa
memertimbangkan mengenai spiritualnya. Padahal sejatinya spiritual ini
sangat penting, karena berkaitan dengan kepribadian yang terbentuk
melalui pendidikan spiritual ini. Walaupun kepribadian tidak hanya
terbentuk dari pendidikan spiritual saja, tetapi juga dari setiap mata
pelajaran.
Sungguh sangat ironi. Sehingga tidak heran, apabila Ujian
Nasional banyak ditentang oleh banyak pihak. Salah satunya karena
hanya mementingkan ranah kognitif dan psikomotornya saja, tanpa
adanya perhatian yang nampak untuk ranah afektif. Dan tidak heran
pula, apabila kini kita banyak melihat keluaran pendidikan di Indonesia
banyak yang melupakan nilai-nilai ketuhanan yang didapatkan dari
pendidikan agama. Misal terlihat dari anggota DPR yang mempunyai
gelar pendidikan sampai S-3 pun masih saja mau memakan uang rakyat.
Hal tersebut membuktikan bahwa tingkat pendidikan umum bukan
jaminan memeliki kepribadian yang baik. Sehingga tidak salah jika ada
orang yang mengatakan bahwa pelaksaan Ujian Nasional selama ini
hasilnya tidak dapat optimal.
D. Pendidikan Spiritual
Menurut Sayid Mujtaba Musawi Lari (2001 : 64) menyatakan
bahwa
… pendidikan spiritual diterapkan untuk membimbing
manusia menuju kehidupan bahagia dan bebas.
Dengan demikian, dapat dikatakan pendidikan spiritual ini bukan
hanya sekadar pendidikan yang mengutamakan pengetahuan saja.
Tetapi lebih dari sekadar itu, pendidikan spiritual dapat digunakan
untuk
membimbing
kehidupannya
dan
mengarahkan
saat
mereka
kelak
anak
deewasa.
dalam
menapaki
Membimbing
dan
mengarahkan anak setelah mereka lulus dari lingkungan sekolah dan
mulai terjun di masyarakat. Sehingga dengan bekal pendidikan yang
pernah diterima saat berada dibangku sekolah dapat digunakan untuk
mengendalikan anak dari kepribadian yang kurang mulia. Diharapkan
kelak dengan adanya peningkatan kualitas pendidikan spiritual, aka
nada keseimbangan dalam hal pengetahuan akademik dengan spiritual.
Menurut
Profesor
Khalil
A.
Khavari (dalam Aldina Awin
Septanti, 2010 : 51) menyatakan bahwa “Ada beberapa aspek yang
menjadi dasar pendidikan spiritual, yaitu Sudut pandang spiritualkeagamaan, relasi sosial-keagamaan, dan etika sosial.”
Sudut pandang spiritual-keagamaan, artinya semakin harmonis
relasi spiritual-keagamaan kita kehadirat Tuhan, “semakin tinggi
pula tingkat dan kualitas pendidikan spiritual kita. Sudut pandang
relasi
sosial-keagamaan,
artinya
pendidikan
spiritual
harus
direfleksikan
pada
sikap-sikap
sosial
yang
menekankan
segi
kebersamaan dan kesejahteraan sosial. Sudut pandang etika sosial.,
artinya semakin beradab etika sosial manusia semakin berkualitas
pendidikan spiritualnya.
Indonesia berada dalam budaya yang secara spiritual rendah
yang ditandai oleh materialisme, ketergesaan, egoisme diri yang
sempit, kehilangan makna dan komitmen. Namun, tidak ada salahnya
sebagai individu calon pendidik, berusaha meningkatkan pendidikan
spiritual anak didik dengan melakukan evolusi.
Secara
umum, meningkatkan pendidikan spiritual dengan
meningkatkan
penggunaan
proses
tersier
psikologis yaitu
kecenderungan membiasakan anak untuk bertanya mengapa, untuk
mencari keterkaitan antara segala sesuatu, untuk membawa ke
permukaan asumsi-asumsi mengenai makna dibalik atau di dalam
sesuatu, menjadi lebih suka merenung, bertanggung jawab, lebih
sadar diri, lebih jujur terhadap diri sendiri, dan lebih pemberani dalam
kegiatan pembelajaran.
Melalui penggunaan pendidikan spiritual secara lebih terlatih dan
melalui
kejujuran serta keberanian diri yang dibutuhkan bagi
pelatihan semacam itu, dapat berhubungan kembali dengan sumber
dan
makna
terdalam
di
dalam
diri.
Dapat
menggunakan
penghubungan itu untuk mencapai tujuan dan proses yang lebih luas
dari
diri.
keselamatan.
Dalam pengabdian semacam itu, akan menemukan
III.Penutup
A. Kesimpulan
Dalam pendidikan di Indonesia tingkat kesadaran mengenai
pentingnya aspek afektif masih rendah. Sehingga dalam pembentukan
kepribadian anak kurang diperhatikan. Terlebih dalam pelaksanaan
Ujian Nasional, aspek afektif seolah dinomorsekiankan. Terbukti
dalam
penentuak
Kriteria
Kelulusan
Ujian
Nasional,
hanya
mengutamakan pendidikan intelektualnya berupa aspek kognitif saja.
Sangat ironi memang.
Padahal apabila semua pihak terutama Kementrian Pendidikan
Nasional menyadari pentingnya peningakatan mutu pendidikan
spiritual, maka kelak akan terlihat bagaimana kualitas hasil lulusan.
Hasil lulusan yang tidak hanya pandai secara akademik, tetapi juga
pandai spiritual. Sehingga kualitas lulusan tidak seperti saat ini yang
pandai dala bidang akademik, tapi kepribadiannya nol. Terbukti
dengan banyaknya praktisi-praktisi diberbagai bidang melakukan
KKN.
B. Saran
1. Bagi guru kelas maupun guru mata pelajaran, diharapkan dalam
melakukan kegiatan pembelajaran tidak hanya menekankan pada
ranah kognitif saja. Tetapi juga mencakup ranah afektif dan
psikomotor. Terutama ranah afektif yang sangat berperan dengan
pembentukan kepribadian anak. Salah satunya dapat dilakukan
dengan
peningkatan
membiasakan
anak
kualitas
untuk
pendidikan
menjalankan
spiritual.
kewajiban
Misal
kepada
Tuhannya, memberikan penjelasan dan pemahaman bahwa Tuhan
selalu mengawasi semua gerak-gerik kita sehingga kita harus
berperilaku yang mulia, dll.
2. Bagi pemerintah, seharusnya dalam penentuan kelulusan Ujian
Nasional jangan hanya mengujikan mata plejaran yang terkait
dengan pengetahuan umum saja. Misalnya Matematika, IPA, IPS,
dan Bahasa Indonesia. Sebaiknya Pendidikan Agama juga
diikutkan dalam mata pelajaran yang diujikan. Diharpakan
kedudukan
Pendidikan
spiritual
juga
dapat
sama
rata
kedudukannya dengan matematika, IPA, IPS, dan Bahasa
Indonesia. Karena pendidikan spiritual ini tidak kalah penting.
DAFTAR PUSTAKA
Lari, Sayid Mujtaba Musawi. 2001. Etika & Pertumbuhan Pendidikan
Spiritual. Jakarta : Lentera
Septanti, Aldina Awin. 2010. Aktualisasi Kecerdasan Emosional (EQ)
dan Kecerdasan Spiritual (SQ) Siswa ebagai Upaya
Meningkatkan Kualitas Diri dalam Proses Pembelajaran di
SMAN
1
Malang
Kelas
X.
Diakses
dari
www.aldinaawins.blogspot.com Tanggal 29 Mei 2012
Sjarkawi. 2005. Pembentukan Kepribadian Anak. Jambi : Bumi Aksara
Sukidi. 2002 Rahasia Sukses Hidup
Bahagia :Kecerdasan
Spiritual” mengapa SQ lebih penting daripada EQ. Jakarta : PT
Gramedia Pustaka Utama
Tilaar, H.A.R. 2006. Standardisasi Pendidikan Nasional. Jakarta :
Rineka Cipta
KRITERIA KELULUSAN UJIAN NASIONAL DENGAN
MENINGKATKAN KUALITAS PENDIDIKAN SPIRITUAL
Disusun Guna Memenuhi Tugas Akhir Semester 4 Mata Kuliah Pendidikan
Inklusi
Dibimbing Oleh Drs. Sukarno, M.Pd
Disusun oleh
Nama : Nurul Istiqomah
Kelas : 4c
NIM
: K7110125
PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2012
MENGIKUTSERTAKAN RANAH AFEKTIF DALAM
KRITERIA KELULUSAN UJIAN NASIONAL DENGAN
MENINGKATKAN KUALITAS PENDIDIKAN SPIRITUAL
(Nurul Istiqomah, K7110125, 4c, Pendidikan Inklusi)
Abstrak
Sebuah
pendidikan
pada
hakikatnya
mempunyai
tujuan
untuk
membangun manusia seutuhnya sebagaimana yang tertulis dalam GBHN tahun
1998 bahwa tujuan pendidikan adalah membentuk manusia seutuhnya, maksud
dari manusia seutuhnya adalah meliputi berbagai aspek tidak hanya aspek
intelektual saja, tetapi juga aspek spiritual. Namun pada kenyataannya yang
terjadi di dunia pendidikan masa kini lebih mengedepankan aspek intelektual
sebagai tolok ukur keberhasilan dari sebuah proses pendidikan.
Dalam penentuan criteria kelulusan Ujian Nasional pun, aspek inteketual
ini sangat mendominasi untuk menyatakan kelulusan seorang siswa. Aspek
intelektual ini berkaitan dengan aspek kognitif yang dimiliki siswa selama proses
pembelajaran. Padahal kenyataannya dalam perencanaan tujuan pembelajaran,
terdapat 3 ranah yang harus dicapai. Yaitu ranah kognitif, afektif, dan psikomotor.
Namun, untuk menentukan criteria kelulusan aspek afektif sering ditinggalkan.
Sehingga penulisan karya ilmiah “Mengikutsertakan Ranah Afektif dalam
Kriteria Kelulusan Ujian Nasional dengan Meningkatkan Kualitas Pendidikan
Spiritual” ditulis. Yaitu bertujuan agar semua kalangan mengingat pentingnya
pendidikan spiritual sangat berperan penting dalam penentuan kepribadian anak.
Agar kelak lulusan diharapkan tidak hanya pintar dalam bidang pengetahuan
umum saja, tetapi juga diimbangi pengetahuan spiritual untuk membimbing dalam
menjalani kehidupan.
Kata Kunci : Ranah Afektif, Kriteria Kelulusan UN, Pendidikan Spiritual
I. Pendahuluan
Memasuki abad ke-21 dunia pendidikan di Indonesia sangat ironis.
Di saat negara-negara lain berlomba untuk meningkatkan kualitas
pendidikannya, Indonesia masih saja dihadapkan pada persoalan mengenai
Ujian Nasional yang dijadikan polemik di tengah masyarakat. Sebagian
masyarakat mendukung adanya Ujian Nasional sebagai sarana untuk
mengukur tingkat ketercapaian belajar siswa, sedangkan sebagian lagi
menolak adanya Ujian Nasional ini. Adanya pihak-pihak yang pro dan
kontra ini sering dijadikan bahan perdebatan saat Ujian Nasional akan
berlangsung setiap tahunnya. Namun, akan luntur sendirinya seiring
dengan pengumuman kelulusan tanpa adanya kejelasan dari Kementrian
Pendidikan Nasional mengenai tingkat keberhasilan Ujian Nasional di
tahun ini. Serta kejelasan untuk Ujian Nasional di tahun mendatang,
apakah mempunyai great yang sama dengan Ujian Nasional tahun ini atau
tidak. Hal demikian, menyebabkan kesimpangsiuran informasi di
masyarakat.
Terkait dengan pihak-pihak yang pro dan kontra adanya Ujian
Nasional mereka mempunyai alasan masing-masing. Untuk pihak yang
pro Ujian Nasional menilai Ujian Nasional memang harus dilakukan.
Karena bertujuan untuk mengukur, menilai, dan mengevaluasi tingkat
ketercapaian pembelajaran yang dilakukan selama anak belajar pada
tingkatan masing-masing.
Sedangkan pihak-pihak yang kontra adanya Ujian Nasional ini,
merasa bahwa Ujian Nasional tidak adil bagi anak. Karena selama 6 tahun
untuk pendidikan dasar dan 3 tahun untuk pendidikan menengah dan
kejuruan, hasilnya masing-masing hanya ditentukan dalam waktu 3 dan 4
hari. Dari 3 ranah dalam tujuan pembelajaran yang dicapai, yaitu kognitif,
afektif, dan psikomotor. Hanya ranah kognitif saja yang seolah
diutamakan. Padahal ranah afektif dan psikomotor juga tidak kalah
penting. Terlebih ranah afektif, karena ranah afektif ini berkaitan dengan
sikap, karakter, kepribadian, dan watak yang dibentuk dalam proses
pembelajaran.
Padahal sejatinya kita tahu bahwa pembentukan sikap, karakter,
kepribadian, dan watak anak lebih susah serta membutuhkan waktu yang
tidak sebentar. Serta hasilnya pun tidak langsung diketahui dalam jangka
waktu
yang
pendek.
Berbeda
halnya
dengan
pengetahuan
dan
keterampilan anak yang dapat langsung diketahui setelah ia mencapai
criteria kelulusan. Pembentukan kepribadian tidak semudah “membalikkan
telapak tangan”. Namun, untuk pembentukan karakter yang kuat dan
kepribadian yang mulia membutuhkan proses.
Berkaitan
dengan
hal
tersebut,
maka
karya
ilmiah
“Mengikutsertakan Ranah Afektif dalam Kriteria Kelulusan Ujian
Nasional dengan Meningkatkan Kualitas Pendidikan Spiritual” bermaksud
membuka cakrawala bahwasanya ranah afektif dapat digunakan sebagai
criteria kelulusan Ujian Nasional. Yaitu dengan menginngkatkan kualitas
pendidikan spiritual.
II.Pembahasan
A. Ranah Afektif Membentuk Kepribadian
Tiga ranah yang harus dicapai dalam tujuan pembelajaran,
yaitu ranah kognitif, afektif, dan psikomotor. Mengenai ranah kognitif
dan psikomotor bukan lagi ranah yang asing di telinga masyarakat. Di
mana ranah kognitif berhubungan dengan pengetahuan anak dan ranah
psikomotor berhubungan dengan keterampilan anak yang ingin dicapai
sebagai hasil dari pembelajaran yang dilakukan. Sedangkan ranah
afektif mungkin sedikit asing di telinga masyarakat karena terkadang
kurang diperhatikan dalam perencanaan tujuan pembelajaran. Padahal
ranah afektif ini merupakan ranah yang sangat penting sebagai hasil
pelaksanaan pembelajaran. Karena ranah afektif ini berkaitan dengan
sikap kepribadian yang terbentuk melalui proses pembelajaran yang
dilakukan. Ranah afektif mempunyai 5 tingkatan yaitu receiving,
responding, valuing, organization, characterization by evalue or calue
complex.
Sjarkawi (2006 : 11) menyatakan bahwa kepribadian,
adalah ciri atau karakteristik atau gaya atau sifat khas dari
diri seseorang yang bersumber dari bentukan-bentukan
yang diterima dari lingkungan, misalnya keluarga pada
masa kecil, dan juga bawaan seseorang sejak lahir.
Maka, dari pernyataan di atas dapat dikatakan bahwa
kepribadian anak dapat terbentuk dari lingkungan yang dimasukinya.
Untuk anak lingkungan yang pertama kali dimasuki adalah lingkungan
keluarga. Sehingga lingkungan keluarga ini dapat berperan besar
dalam pembentukan kepribadian anak.
Namun, demikian kepribadian anak yang mulai terbentuk
ssejak ia lahir sampai berinteraksi dalam lingkungan keluarga dapat
berubah seiring dengan lingkungan lain yang dimasukinya. Yaitu
lingkungan sekolah dan lingkungan masyarakat. Terutama lingkungan
sekolah ini, sangat berpengaruh dalam pembentukan kepribadian anak
setelah lingkungan keluarga. Karena pada lingkungan sekolah ia mulai
berinteraksi dengan teman-temannya dan guru dalam melakukan
proses pembelajaran.
Pembentukan kepribadian anak, sangat dipengaruhi oleh
bagaimana seorang guru mendidik anak. Sebab kita tahu bahwa anak
sangat mematuhi apa saja yang dikatakan guru dibandingkan apa yang
dikatakan orang tuanya. Apapun yang dikatakan guru selalu
dianggapnya paling benar. Untuk pembentukan kepribadian ini juga
dapat direncanakan guru sebelum proses pembelajaran berlangsung.
yaitu lewat tujuan pembelajaran dalam ranah afektif.
B. Posisi Guru dalam Pembentukan Kepribadian
Proses pembentukan kepribadian anak melalui kegiatan
pembelajaran, dapat digambarkan sebagai berikut :
Orang
Tua
Siswa
Pendekatan
Guru
Metode
Pertimbangan
Moral
Strategi
Orang
Tua
Kepribadian
(Personality)
Gambar A.1 Posisi guru dalam mengembangkan kepribadian moral menuju
terbentuknya suatu kepribadian
Siswa adalah suatu kelompok yang masih sangat kental
berinteraksi
dan
berkomunikasi
dengan
orang
tuanya
guna
memperoleh pendidikan kepribadiannya pada awal kehidupannya.
Siswa sebelum dan sampai saat disekolahkan adalah seorang
yang terikat dan dipengaruhi oleh orang tuanya. Setiap orang tua dari
mereka merasa bertanggung jawab untuk membentuk kepribadian
anak-anak
mereka. Baik guru kelas maupun guru mata pelajaran
mendapat amanat untuk membentuk kepribadian siswa. Pembentukan
kepribadian direncanakan dandirumuskan dalam tujuan pembelajaran,
yaitu pada ranah afektif. Selanjutnya dilakukan dengan menggunakan
pendekatan, metode, dan strategi yang tepat. Perubahan cara berpikir
moral siswa akan tampak pada tahapan pertimbangan moral yang ada
padanya. Kualitas perilaku moral yang didasarkan pada pertimbangan
moral tersebut menjadi perilaku keseharian dalam kehidupan siswa,
sehingga tampak sebagai suatu cirri khas yang melekat pada
kepribadian orang tersebut.
C. Kelulusan Ujian Nasional
Menurut H. A. R. Tilaar (2006 : 79), menyatakan bahwa
dalam teori perencanaan pendidikan dikenal tiga komponen
besar yang menetukan standar pendidikan, yaitu komponen
standar kurikulum atau standar isi, standardisasi
performance (unjuk kerja), dan kesempatan belajar.
Mengenai standar isi, di dalam kurikulum ditentukan mata-mata
pelajaran untuk masing-masing jenjang pendidikan serta mengenai
peraturan alokasi waktu setiap minggu, bulan, tahun. Selain itu,
kurikulum disusun berdasarkan berbagai sudut pandang seperti
kurikulum yang berorientasi pada mata pelajaran, kurikulum yang
berorientasi pada kebutuhan anak, kurikulum yang berdasarkan
kebutuhan kehidupan nyata,. Demikian pula penyusunan kurikulum
berdasarkan kepada falsafah mengenai manusia.
Standardisasi performance, tuntutan yang dimajukan kepada anak
untuk dikuasai. Tingkat penguasaan materi yang disodorkan kepada
anah bahkan sangat menentukan standar proses pendidikan. Suatu ujian
yang dilaksanakan sewaktu-waktu ,erupakan profil sekejap dan isi
kompetensi ini.
Dan kesempatan belajar, termasuk biaya yang tersedia untuk
melaksanakan tugas rutin dan tugas inovatif dalam lingkungan sekolah.
Apabila kita mengamati pelaksanaan Ujian Nasional yang dilaksanakan,
berkaitan dengan mata pelajaran yang diujiankan semuanya lebih
mementingkan pengetahuan umumnya saja. Baik itu, Matematika,
Bahasa Indonesia, IPA, maupun IPS. Pemerintah sepertinya buta akan
pentingnya pendidikan spiritual yang tercermin dalam mata pelajaran
agama.
Jika
dilihat
dari
hal
tersebut,
pemerintah
seolah
hanya
menginginkah keluaran yang hanya pandai akan ilmu pengetahuannya
saja.
Keluaran
yang
hanya
asal
pintar
pengetahuan,
tanpa
memertimbangkan mengenai spiritualnya. Padahal sejatinya spiritual ini
sangat penting, karena berkaitan dengan kepribadian yang terbentuk
melalui pendidikan spiritual ini. Walaupun kepribadian tidak hanya
terbentuk dari pendidikan spiritual saja, tetapi juga dari setiap mata
pelajaran.
Sungguh sangat ironi. Sehingga tidak heran, apabila Ujian
Nasional banyak ditentang oleh banyak pihak. Salah satunya karena
hanya mementingkan ranah kognitif dan psikomotornya saja, tanpa
adanya perhatian yang nampak untuk ranah afektif. Dan tidak heran
pula, apabila kini kita banyak melihat keluaran pendidikan di Indonesia
banyak yang melupakan nilai-nilai ketuhanan yang didapatkan dari
pendidikan agama. Misal terlihat dari anggota DPR yang mempunyai
gelar pendidikan sampai S-3 pun masih saja mau memakan uang rakyat.
Hal tersebut membuktikan bahwa tingkat pendidikan umum bukan
jaminan memeliki kepribadian yang baik. Sehingga tidak salah jika ada
orang yang mengatakan bahwa pelaksaan Ujian Nasional selama ini
hasilnya tidak dapat optimal.
D. Pendidikan Spiritual
Menurut Sayid Mujtaba Musawi Lari (2001 : 64) menyatakan
bahwa
… pendidikan spiritual diterapkan untuk membimbing
manusia menuju kehidupan bahagia dan bebas.
Dengan demikian, dapat dikatakan pendidikan spiritual ini bukan
hanya sekadar pendidikan yang mengutamakan pengetahuan saja.
Tetapi lebih dari sekadar itu, pendidikan spiritual dapat digunakan
untuk
membimbing
kehidupannya
dan
mengarahkan
saat
mereka
kelak
anak
deewasa.
dalam
menapaki
Membimbing
dan
mengarahkan anak setelah mereka lulus dari lingkungan sekolah dan
mulai terjun di masyarakat. Sehingga dengan bekal pendidikan yang
pernah diterima saat berada dibangku sekolah dapat digunakan untuk
mengendalikan anak dari kepribadian yang kurang mulia. Diharapkan
kelak dengan adanya peningkatan kualitas pendidikan spiritual, aka
nada keseimbangan dalam hal pengetahuan akademik dengan spiritual.
Menurut
Profesor
Khalil
A.
Khavari (dalam Aldina Awin
Septanti, 2010 : 51) menyatakan bahwa “Ada beberapa aspek yang
menjadi dasar pendidikan spiritual, yaitu Sudut pandang spiritualkeagamaan, relasi sosial-keagamaan, dan etika sosial.”
Sudut pandang spiritual-keagamaan, artinya semakin harmonis
relasi spiritual-keagamaan kita kehadirat Tuhan, “semakin tinggi
pula tingkat dan kualitas pendidikan spiritual kita. Sudut pandang
relasi
sosial-keagamaan,
artinya
pendidikan
spiritual
harus
direfleksikan
pada
sikap-sikap
sosial
yang
menekankan
segi
kebersamaan dan kesejahteraan sosial. Sudut pandang etika sosial.,
artinya semakin beradab etika sosial manusia semakin berkualitas
pendidikan spiritualnya.
Indonesia berada dalam budaya yang secara spiritual rendah
yang ditandai oleh materialisme, ketergesaan, egoisme diri yang
sempit, kehilangan makna dan komitmen. Namun, tidak ada salahnya
sebagai individu calon pendidik, berusaha meningkatkan pendidikan
spiritual anak didik dengan melakukan evolusi.
Secara
umum, meningkatkan pendidikan spiritual dengan
meningkatkan
penggunaan
proses
tersier
psikologis yaitu
kecenderungan membiasakan anak untuk bertanya mengapa, untuk
mencari keterkaitan antara segala sesuatu, untuk membawa ke
permukaan asumsi-asumsi mengenai makna dibalik atau di dalam
sesuatu, menjadi lebih suka merenung, bertanggung jawab, lebih
sadar diri, lebih jujur terhadap diri sendiri, dan lebih pemberani dalam
kegiatan pembelajaran.
Melalui penggunaan pendidikan spiritual secara lebih terlatih dan
melalui
kejujuran serta keberanian diri yang dibutuhkan bagi
pelatihan semacam itu, dapat berhubungan kembali dengan sumber
dan
makna
terdalam
di
dalam
diri.
Dapat
menggunakan
penghubungan itu untuk mencapai tujuan dan proses yang lebih luas
dari
diri.
keselamatan.
Dalam pengabdian semacam itu, akan menemukan
III.Penutup
A. Kesimpulan
Dalam pendidikan di Indonesia tingkat kesadaran mengenai
pentingnya aspek afektif masih rendah. Sehingga dalam pembentukan
kepribadian anak kurang diperhatikan. Terlebih dalam pelaksanaan
Ujian Nasional, aspek afektif seolah dinomorsekiankan. Terbukti
dalam
penentuak
Kriteria
Kelulusan
Ujian
Nasional,
hanya
mengutamakan pendidikan intelektualnya berupa aspek kognitif saja.
Sangat ironi memang.
Padahal apabila semua pihak terutama Kementrian Pendidikan
Nasional menyadari pentingnya peningakatan mutu pendidikan
spiritual, maka kelak akan terlihat bagaimana kualitas hasil lulusan.
Hasil lulusan yang tidak hanya pandai secara akademik, tetapi juga
pandai spiritual. Sehingga kualitas lulusan tidak seperti saat ini yang
pandai dala bidang akademik, tapi kepribadiannya nol. Terbukti
dengan banyaknya praktisi-praktisi diberbagai bidang melakukan
KKN.
B. Saran
1. Bagi guru kelas maupun guru mata pelajaran, diharapkan dalam
melakukan kegiatan pembelajaran tidak hanya menekankan pada
ranah kognitif saja. Tetapi juga mencakup ranah afektif dan
psikomotor. Terutama ranah afektif yang sangat berperan dengan
pembentukan kepribadian anak. Salah satunya dapat dilakukan
dengan
peningkatan
membiasakan
anak
kualitas
untuk
pendidikan
menjalankan
spiritual.
kewajiban
Misal
kepada
Tuhannya, memberikan penjelasan dan pemahaman bahwa Tuhan
selalu mengawasi semua gerak-gerik kita sehingga kita harus
berperilaku yang mulia, dll.
2. Bagi pemerintah, seharusnya dalam penentuan kelulusan Ujian
Nasional jangan hanya mengujikan mata plejaran yang terkait
dengan pengetahuan umum saja. Misalnya Matematika, IPA, IPS,
dan Bahasa Indonesia. Sebaiknya Pendidikan Agama juga
diikutkan dalam mata pelajaran yang diujikan. Diharpakan
kedudukan
Pendidikan
spiritual
juga
dapat
sama
rata
kedudukannya dengan matematika, IPA, IPS, dan Bahasa
Indonesia. Karena pendidikan spiritual ini tidak kalah penting.
DAFTAR PUSTAKA
Lari, Sayid Mujtaba Musawi. 2001. Etika & Pertumbuhan Pendidikan
Spiritual. Jakarta : Lentera
Septanti, Aldina Awin. 2010. Aktualisasi Kecerdasan Emosional (EQ)
dan Kecerdasan Spiritual (SQ) Siswa ebagai Upaya
Meningkatkan Kualitas Diri dalam Proses Pembelajaran di
SMAN
1
Malang
Kelas
X.
Diakses
dari
www.aldinaawins.blogspot.com Tanggal 29 Mei 2012
Sjarkawi. 2005. Pembentukan Kepribadian Anak. Jambi : Bumi Aksara
Sukidi. 2002 Rahasia Sukses Hidup
Bahagia :Kecerdasan
Spiritual” mengapa SQ lebih penting daripada EQ. Jakarta : PT
Gramedia Pustaka Utama
Tilaar, H.A.R. 2006. Standardisasi Pendidikan Nasional. Jakarta :
Rineka Cipta