PERAN STRATEGI NASIONAL DALAM IMPLEMENTA

PERAN STRATEGI NASIONAL DALAM IMPLEMENTASI UNDANGUNDANG NOMOR 20 TAHUN 2003 TENTANG SISTEM PENDIDIKAN
NASIONAL

DISUSUN OLEH:
MUHAMMAD BERLIAN NUANSA .A
1510411116

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI
UPN “VETERAN” JAKARTA
2016
i

KATA PENGANTAR

Puji serta syukur saya ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang atas berkat dan
rahmatnya lah saya dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini. Ucapan terima kasih juga tak
lupa saya ucapkan kepada pihak-pihak yang telah membantu proses penyusunan makalah ini
sampai selesai.
Saya tentunya sangat menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Namun
saya sangat berharap bahwa dengan terwujudnya makalah ini, saya dapat menambah

pengetahuan dan informasi bagi yang membacanya.
Dengan banyaknya kekurangan tersebut, saya sangat mengharapkan kritik dan saran dari
pembaca.

Jakarta, 22 Mei 2016

Penyusun

ii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................ii
DAFTAR ISI............................................................................................................iii

I.

PENDAHULUAN
1. LATAR BELAKANG...............................................................................................1
2. RUMUSAN MASALAH...........................................................................................1

3. TUJUAN PENULISAN............................................................................................2

II.
1.
2.
3.
4.
5.

III.

PEMBAHASAN
KONDISI PENDIDIKAN DI INDONESIA...........................................................3
PERAN AKTIF MASYARAKAT TERHADAP PENDIDIKAN ANAK............4
PERAN STRATEGI NASIONAL TERHADAP PENDIDIKAN TINGKAT
DASAR SAMPAI PERGURUAN TINGGI............................................................5
UPAYA PEMERINTAH PUSAT UNTUK BERSINERGI DENGAN
PEMERINTAH DAERAH.......................................................................................5
IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2003 TENTANG
SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL PADA PENDIDIKAN TINGKAT DASAR

SAMPAI PERGURUAN TINGGI..........................................................................6

PENUTUP
KESIMPULAN.........................................................................................................8

DAFTAR PUSTAKA................................................................................................9

iii

I.

PENDAHULUAN
1. Latar Belakang

Pendidikan merupakan hajat hidup setiap manusia. Pendidikan memberi kita bekal untuk
terjun ke dalam kehidupan bermasyarakat. Dengan pendidikan, kita mampu meraih status sosial
di dalam masyarakat. Sehingga melihat adanya urgensi-urgensi dalam masyarakat mengenai
persoalan pendidikan, pemerintah pun mebentuk aturan-aturan supaya masyarakat bisa mendapat
pendidikan yang mampu memenuhi kebutuhan mereka. Di samping itu, pendidikan juga
merupakan cita-cita kebangsaan kita yang terkandung dalam konstitusi, sehingga dalam

perwujudannya perlu dilakukan usaha-usaha tertentu.
Sebagai usaha dalam pemenuhan tujuan di atas, pemerintah membentuk strategi nasional
dalam bidang pendidikan. Salah satu strategi dalam bidang pendidikan tersebut adalah
disusunnya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam
UU ini pemerintah secara kompleks menjabarkan berbagai macam definisi, tata kelola, serta
tahap prosedural berbagai unsur-unsur pendidikan. Hal ini dilakukan agar UU ini dapat menjadi
pedoman utama bagi seluruh penyelenggara pendidikan yang ada di Indonesia.
Kenyataannya, di masyarakat masih sering terjadi ketidaksamaan persepsi mengenai
pendidikan itu sendiri. Masih sering dijumpai lembaga-lembaga pendidikan yang tidak
mengikuti cara-cara dan pola-pola yang telah dijabarkan dalam Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2003. Kesalahan implementasi inilah yang menyebabkan terjadinya ketidakmerataan
pendidikan di dalam masyarakat. Baik secara alokasi pendidikan itu sendiri maupun dari segi
kualitas pengajarannya.
Karena itulah penulis merasa perlu mengangkat tema ini supaya pembaca mampu
memahami bagaimana peran strategi nasional kita dalam konteks pengimplementasian UU No.
20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional ini.

2. Rumusan Masalah
a. Bagaimanakah kondisi pendidikan di Indonesia secara umum?
b. Seperti apakah peran orang tua dalam pendidikan anak?

c. Bagaimana peran strategi nasional tentang pendidikan dasar sampai perguruan tinggi?
d. Apa upaya-upaya yang telah dilakukan pemerintah pusat untuk bersinergi dengan
pemerintah daerah dalam rangka perbaikan tata kelola pendidikan?
e. Bagaimana implementasi UU No. 20 Tahun 2003 dalam konteks pendidikan dasarperguruan tinggi?

1

3. Tujuan Penulisan
Penulis menulis makalah ini bertujuan untuk mengungkapkan seberapa besar pengaruh
strategi nasional dalam pengimplementasian UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional. Selain itu, penulisan makalah ini juga bertujuan untuk menggambarkan realita
pendidikan di Indonesia.

2

II.

PEMBAHASAN
1. Kondisi Pendidikan di Indonesia


Pendidikan merupakan sebuah rangkaian proses yang harus melewati berbagai macam
tahapan-tahapan. Proses ini pun memerlukan berbagai macam unsur-unsur supaya bisa berjalan.
Tirtarahardja dan Sulo dalam bukunya (Tirtarahardja dan Sulo, 2005) merumuskan unsur-unsur
tersebut sebagai berikut:
a. Subjek yang dibimbing (peserta didik).
b. Orang yang membimbing. (pendidik).
c. Interaksi antara peserta didik dengan pendidik (interaksi edukatif).
d. Ke arah mana bimbingan ditujukan (tujuan pendidikan).
e. Pengaruh yang diberikan dalam bimbingan (materi pendidikan).
f. Cara yang digunakan dalam bimbingan (alat dan metode).
g. Tempat di mana peristiwa bimbingan berlangsung (lingkungan pendidikan).
Unsur-unsur di atas adalah variabel-variabel yang mutlak ada untuk menjalankan suatu
proses pendidikan dalam bentuk kegiatan belajar mengajar. Masing-masing dari unsur-unsur di
atas perlu di standarisasi oleh pemerintah, agar proses yang terbentuk memiliki kualitas yang
konsisten.
Banyak lembaga pendidikan di Indonesia tidak menjaga kualitas dari setiap unsur-unsur
ini. Sehingga karenanya, tidak terwujud proses pembelajaran yang baik pula.
Misalnya dari segi kualitas peserta didik. Di mana masih banyak peserta didik di
Indonesia yang belum memiliki kesadaran akan pentingnya ilmu pengetahuan. Banyak dari
peserta didik di Indonesia hanya menganggap bahwa pendidikan formal hanyalah sebuah

formalitas agar dapat diterima di masyarakat. Atau banyak juga yang menempuh pendidikan
formal karena merasa dipaksa oleh orang tua. Hal ini mengacu pada fakta bahwa hampir semua
orang yang tidak menyelesaikan pendidikan formalnya akan sangat sulit untuk mendapatkan
status sosial yang mapan di masyarakat. Kenyataan ini membuat motivasi belajar yang dimiliki
kebanyakan peserta didik jadi tidak seperti yang seharusnya, sehingga sangat sedikit peserta
didik yang motivasi belajarnya murni untuk memenuhi rasa haus akan ilmu pengetahuan.
Hal seperti di atas menimbulkan praktek-praktek tidak baik di kalangan peserta didik.
Misalnya praktek mencontek, berbuat curang saat ujian, menyogok tenaga pengajar, dan
sejenisnya. Tindakan-tindakan seperti ini bisa timbul karena orientasi peserta didik yang hanya
mengacu kepada kelulusan semata. Sehingga selama bisa lulus dan melanjutkan ke jenjang
selanjutnya, banyak yang bisa menghalalkan segala cara.

3

Orientasi keliru peserta didik bukanlah murni bentukan dari masing-masing peserta didik
itu sendiri. Melainkan sebagai dampak dari sistem yang terlalu mengacu pada nilai akademik
masing-masing peserta didik sebagai indikator keberhasilan pengajaran.
Dari segi pendidik, yang paling menjadi masalah adalah kurangnya tenaga pendidik di
daerah-daerah pelosok dan perbatasan. Dalam artian, pemerintah belum mampu mendistribusi
jumlah tenaga pendidik dengan baik ke semua daerah. Masih banyak ketidakjelasan prosedural

bagi pendidik-pendidik yang ditugaskan di daerah-daerah pelosok. Hal ini menyebabkan banyak
tenaga pendidik yang enggan untuk mengajar di daerah-daerah pelosok.
Terlepas dari beberapa contoh akan kekurangan praktek pendidikan di Indonesia seperti
yang telah diungkapkan di atas, pendidikan di Indonesia pada dasarnya sudah mampu
menghasilkan kader-kader bangsa yang dapat meneruskan kegiatan kebangsaan dan kenegaraan
dengan baik. Sehingga meskipun masih banyak yang perlu dibenahi, pendidikan di Indonesia
setidaknya sudah menuju arah yang benar.

2. Peran Aktif Masyarakat terhadap Pendidikan Anak
Dalam pendidikan anak-anak bangsa, perlu dibangun kepedulian, tidak hanya dari orang
tuanya saja tetapi juga dari lingkungan sekitarnya. Misalnya pada masyarakat yang mayoritasnya
adalah nelayan di suatu daerah pelosok yang belum terlalu maju, sebagian masyarakatnya
menganggap bahwa anak-anak tidak perlu sekolah tinggi-tinggi, karena ujung-ujungnya akan
melaut juga. Contoh lainnya di masyarakat Jawa pedalaman yang menganggap bahwa anak
perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi karena pada akhirnya hanya akan mengurusi suami
dan rumah tangganya saja. Kedua contoh ini mencerminkan betapa kebiasaan-kebiasaan di
masyarakat mampu mempengaruhi tingkat pendidikan yang akan diterima oleh seorang anak
yang hidup di masyarakat tersebut,
Peran aktif masyarakat dalam pendidikan anak bisa dilakukan melalui berbagai macam
cara. Seperti dengan mengadakan kegiatan-kegiatan penyuluhan, seminar, dan lain sebagainya

yang bisa dikoordinasi oleh aparat pemerintah di daerah masing-masing. Pada intinya
masyarakat harus menjadi pelaksana, pengawas, dan pengevaluasi pendidikan itu sendiri dengan
peranan-peranan tertentu dari anggota-anggota masyarakat. Seperti yang disebutkan dalam UU
No. 20 tahun 2003 Bab IV Pasal 8 “Masyarakat berhak berperan serta dalam perencanaan,
pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan.”
Perlu dipahami juga bahwa pendidikan adalah investasi bangsa untuk masa depan,
sehingga tidak boleh terlalu dikaitkan dengan konteks bisnis atau pun keuntungan. Walaupun
kedua hal tersebut tidak bisa dilepaskan dari praktek pendidikan pada umumnya, namun
setidaknya tenaga pendidik yang bertugas harus mendasarkan sikapnya kepada prinsip-prinsip
profesionalisme seorang pengajar yang non-materiil.

4

3. Peran Strategi Nasional terhadap Pendidikan Tingkat Dasar sampai Perguruan
Tinggi
Untuk mewujudkan cita-cita kebangsaan kita yang sudah kita patenkan di dalam
konstitusi, perlulah pengimplementasian strategi-strategi nasional dalam segala aspek kehidupan,
termasuk dalam bidang pendidikan.
Strategi nasional harus mencakup peningkatan pelayanan pendidikan. Oleh karena itu,
pembentukan sistem yang baik, peningkatan standar kualitas pendidik, pernyesuaian kurikulum,

dan segala hal yang berkaitan dengan teknis pelaksanaan pendidikan haruslah diatur dalam
strategi nasional.
Dalam setiap jenjang, diperlukan model pendidikan yang berbeda. Dari pendekatan
kepada peserta didik, motede mengajar, kurikulum, sampai karakteristik tenaga pendidiknya pun
berbeda-beda, sesuai dengan kebutuhan jenjangnya masing-masing.
Misalnya di jenjang Sekolah Dasar, diperlukan tenaga pendidik yang mampu
membangun kedekatan personal dengan peserta didik, serta mampu memberi nilai-nilai afeksi
seperti orang tua peserta didik itu sendiri. Di sisi lain, tenaga pendidik dalam tingkat ini tidak
memiliki urgensi untuk memiliki latar belakang pendidikan yang terlalu tinggi, asalkan
memenuhi standar minimal dan memiliki sertifikasi mengajar. Sebaliknya, untuk tenaga pendidik
di Perguruan Tinggi diperlukan pendidik yang mengedepankan aspek profesionalisme dan
memakai pendekatan keilmuan kepada peserta didiknya, serta memiliki syarat latar belakang
pendidikan yang cukup tinggi.
Pembaruan sistem pun merupakan hal yang harus dilakukan saat dianggap perlu oleh
pemerintah. Hal ini sudah pernah dilakukan pemerintah dengan penggantian UU No. 2 Tahun
1989 menjadi UU No. 20 Tahun 2003 sebagai UU dasar dari sistem pendidikan nasional. Melalui
hal ini saja, pemerintah secara umum sudah bisa dinilai cukup peka terhadap perubahan dan
kebutuhan pendidikan rakyat yang tidak stagnan.
Kualitas lembaga-lembaga pendidikan juga harus menjadi salah satu fokus pemerintah.
Di mana pemerintah harus mampu menjadikan lembaga –lembaga pendidikan sebagai lembaga

yang profesional dan independen. Dalam artian bebas dari pengaruh politik praktis, kepentingan
golongan tertentu, dan bersih dari praktek-praktek tidak baik. Sehingga praktek pendidikan yang
bertujuan murni untuk mencerdaskan kehidupan bangsa bisa dimungkinkan.

4. Upaya Pemerintah Pusat untuk Bersinergi dengan Pemerintah Daerah
Sinergi antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah yang dimaksud di sini adalah
seperti yang disebutkan dalam UU No. 20 Tahun 2003 “Pemerintah dan pemerintah daerah
berhak mengarahkan, membimbing, membantu, dan mengawasi penyelenggaraan pendidikan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Sinergi yang dimaksud adalah
dalam perihal penyelenggaraan pendidikan dan kontrol terhadap kegiatan pendidikan tersebut.
5

Upaya-upaya yang telah dilakukan pemerintah demi bersinergi dengan pemerintah daerah
adalah sebagai berikut:
a. Sistem pemerintahan daerah atau yang biasa dikenal dengan istilah otonomi daerah,
memungkinkan pemerintah di daerah untuk lebih leluasa mengatur kebijakan-kebijakan
daerahnya. Bentuk sinergi pemerintah pusat dalam hal ini adalah bagaimana kebijakankebijakan yang dikeluarkan pemerintah pusat dapat dijabarkan oleh pemerintah daerah
dengan sesuai seperti apa yang dimaksudkan.
b. Melalui otonomi daerah, pemerintah daerah memiliki lembaga-lembaga dinas di berbagai
bidang, sehingga penanganan aspek-aspek kehidupan bisa ditangani sendiri oleh
pemerintah daerah. Meski begitu, pemerintah pusat juga memiliki lembaga-lembaga yang
secara umum mengurus berbagai aspek-aspek kehidupan tersebut dan mendirikan
perwakilan-perwakilannya di daerah. Sehingga pengurusannya dapat lebih menyeluruh
dan terpantau.
c. Dan lain sebagainya.

5. Implementasi Undang Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan
Nasional pada Pendidikan Tingkat Dasar Sampai Perguruan Tinggi
UU No. 20 Tahun 2003 telah memberikan aturan-aturan yang terbilang cukup
menyeluruh dan sesuai dengan konteks kebangsaan. Namun pada dasarnya, UU ini tidak dapat
membawa manfaat apapun jika tidak diimplementasikan dengan baik di masyarakat. Proses
pengimplementasian ini aktor utamanya adalah pemerintah dengan lembaga-lembaga
pendidikannya. Masih sering ditemui lembaa-lembaga yang menyalahi aturan proseduralnya.
Tapi sebagian besar, terutama di kota-kota besar, lembaga pendidikan sudah mampu menyajikan
praktek pendidikan yang secara prosedural sudah sesuai dengan apa yang dijabarkan dalam UU
No. 20 Tahun 2003.
Kegiatan prosedural yang baik ternyata tidak semata-mata menentukan bahwa kegiatan
pendidikan yang dilaksanakan dapat menghasilkan output yang diharapkan. Hal ini dikarenakan
kegiatan prosedural yang dilaksanakan seringkali kehilangan esensi utamanya, yaitu orientasi
untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Kebanyakan lembaga pendidikan dan tenaga
pengajarnya terlalu terfokus untuk menyelenggarakan kegiatan pendidikan yang memenuhi
standar tahapan prosedur, sehingga dalam kegiatannya terkesan hanya sebatas untuk memenuhi
kewajiban lembaga pendidikan untuk memberikan pendidikan yang diberhaki oleh anak bangsa.
Padahal tujuan diadakannya pendidikan ini sendiri adalah untuk mencerdaskan kehidupan
bangsa, sehingga jika hal ini tidak disadari oleh lembaga-lembaga pendidikan yang ada, kegiatan

6

pendidikan tidak lebih dari formalitas semata, dengan output lulusan-lulusan yang memiliki gelar
dan ijazah namun tidak memiliki kecintaan terhadap ilmu pengetahuan.
Dalam praktikalnya, tenaga pendidik juga terlalu mementingkan aspek kognitif dari para
peserta didik. Hal ini wajar saja mengingat indikator-indikator yang ditentukan dalam menilai
seberapa sukses proses pendidikan yang terlaksana masih menjadikan sendi-sendi kognitif
sebagai dasar dari penilaian utama. Ini terbukti dari banyaknya tahap-tahap ujian tertulis yang
harus dilewati oleh peserta didik sebagai bukti bahwa peserta didik yang bersangkutan telah
menguasai pengajaran yang diajarkan. Sehingga wajar saja tenaga pendidik baru dianggap sukses
jika mampu membuat peserta didik yang diajarkannya melewati ujian-ujian tertulis ini dengan
nilai akademik yang bagus. Akhirnya pola perilaku yang terbentuk di kalangan peserta didik pun
adalah bagaimana dirinya mampu mendapatkan nilai yang bagus, tidak peduli apakah dirinya
memahami esensi dari ilmu yang diajarkan atau tidak.
Contoh di atas merupakan kesalahan persepsi dari UU No. 20 Tahun 2003. Hal yang
belum disadari oleh kebanyakan lembaga pendidikan saat ini adalah bahwa UU No. 20 Tahun
2003 adalah upaya untuk mewujudkan salah satu point dari alinea ke IV pembukaan UUD 1945,
yaitu “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Sehingga UU No. 20 Tahun 2003 tidak bisa dilihat
secara terpisah dari alinea IV pembukaan UUD 1945, karena dapat menimbulkan kesalahan
persepsi atasnya. UU No. 20 Tahun 2003 tidak lain adalah usaha untuk mewujudkan cita-cita
kebangsaan yang tertuang dalam konstitusi, sehingga pelaksanaannya pun mengacu kepada
konstitusi.
Jadi pada prinsipnya, pengimplementasian UU No. 20 Tahun 2003 tidak terlepas dari
konstitusi itu sendiri. Pengimplementasian yang sesuai secara esensi dan praktikal lah yang
mampu menghasilkan output yang diharapkan.

7

III.

PENUTUP
Kesimpulan

Sebagai upaya untuk mencapai kesejahteraan, pemerintah menyusun strategi nasional di
berbagai bidang kehidupan sebagai upaya pencapaian akan hal itu. Termasuk juga dalam bidang
pendidikan. Upaya ini salah satunya diwujudkan melalui dikeluarkannya undang-undang yang
mengatur mengenai sistem pendidikan nasional. Undang-undang yang pertama dikeluarkan
mengenai perihal ini adalah UU No. 2 Tahun 1989. Kemudian diganti dengan UU No. 20 Tahun
2003 yang masih berlaku hingga saat ini. Undang-Undang ini sendiri merupakan penjabaran dari
tujuan kebangsaan yang tertuang di pembukaan UUD 1945 alinea IV, yaitu untuk
“mencerdaskan kehidupan bangsa” sehingga dalam pelaksanaannya tidak boleh lepas dari point
tersebut, sehingga mampu mengeluarkan output yang diharapkan, yaitu tercerdaskannya
kehidupan bangsa.
Kondisi pendidikan di Indonesia telah mencapai titik di mana lembaga-lembaga
pendidikan yang diatur oleh pemerintah sudah bisa menyelenggarakan kegiatan pendidikan yang
cukup baik. Setidaknya realita ini terjadi di kota-kota besar, meskipun di beberapa daerah masih
banyak sekali di temui ketidakkonsistenan kualitas pendidikan yang dijalankan, namun
setidaknya pendidikan di Indonesia sudah menuju arah yang benar.
Peran masyrakat sendiri dalam pendidikan anak bangsa juga masih menemui banyak
masalah seperti pola pikir masyarakat di banyak daerah pelosok yang masih kurang memahami
urgensi pendidikan di era globalisasi dan sejenisnya. Pada dasarnya, masyarakat juga memiliki
hak dan memang berkewajiban untuk menjadi pelaksana dan pengawas proses pendidikan yang
berjalan. Sehingga masyarakat perlu memahami urgensi pendidikan di era global seperti saat ini
dan ikut aktif berkontribusi pada dunia pendidikan.
Dalam pelaksanaannya, adalah tidak mungkin di masyarakat yang majemuk dan tersebar
seperti di Indonesia untuk murni mengandalkan pemerintah pusat semata untuk mewujudkan
pendidikan yang merata. Karena itulah diperlukan sinergi antara pemerintah pusat dengan
pemerintah daerah agar pendistribusian kelengkapan pendidikan dapat lebih mudah berlangsung.
Selain itu, pemerintah daerah juga diperlukan untuk menjadi miniatur pemerintah pusat di
daerah-daerah, sehingga pengurusan birokrasi yang berhubungan dengan pendidikan pun lebih
mudah dilakukan sesuai dengan karakteristik daerahnya.
Akhirnya, pendidikan Indonesia telah mampu menjanjikan kita pada suatu pembaruan
yang bisa membawa bangsa ini lebih dekat kepada cita-cita kebangsaannya untuk
”mencerdaskan kehidupan bangsa”-nya. Yang dibutuhkan adalah pembaruan dan pemerataan
pendidikan di seluruh wilayah negara Indonesia. Sehingga kualitas pendidikan yang ada di kotakota besar maupun di daerah pelosok bisa mencapai tingkat yang sama atau minimal berdekatan.
Dan perlu dipahami bahwa hal ini bukan hanya menjadi tugas pemerintah saja, namun juga
menjadi tugas kita semua sebagai bagian dari bangsa ini untuk terus meng-improve kualitas
pendidikan yang akan diberikan kepada anak-anak bangsa di generasi mendatang.

8

DAFTAR PUSTAKA

Tirtarahardja, dan Sulo. 2005. Pengantar Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
http://kemenag.go.id/file/dokumen/UU2003.pdf

9