PROPOSAL PENELITIAN MANAJEMEN PENDIDIKAN DAN

I.

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah

Pendidikan karakter sudah menjadi kebutuhan dan cita-cita fundamental
bangsa Indonesia yang dikenal sebagai bangsa yang religius atau beragama, di
mana dalam setiap Agama diajarkan karakter atau akhlak mulia kepada
pemeluknya. Mengingat pentingnya pendidikan karakter ini, pemerintah pun
mengaturnya di dalam undang-undang pendidikan nasional. Secara eksplisit
dikatakan pendidikan nasional memiliki fungsi dan tujuan antara lain membentuk
watak dan mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan, serta berakhlak mulia (Undang-Undang
Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 tahun 2003 bab II pasal 3).
Kemendesakan pendidikan karakter tidak hanya didorong oleh cita-cita
dan undang-undang di atas, melainkan didorong juga oleh situasi dan kondisi
jaman sekarang yang sedang mengalami perubahan tata nilai. Terjadinya perilaku
menyimpang dari norma-norma sosial dan nilai-nilai budaya, meningkatnya pola
hidup konsumeristis dan hedonistis, gaya hidup serba instan, dan berfoya-foya
menjadi indikator bergesernya nilai-nilai moral dan menurunnya kualitas karakter
generasi muda.

Tidak sedikit orang tua mengeluh tentang tingkah laku anak remajanya
yang sulit diatur. Begitu pula guru yang sehari-hari harus berhadapan dengan
perilaku siswa remaja yang sangat kompleks. Dahulu para siswa masih
menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran, sekarang nilai-nilai itu digilas oleh nilainilai yang lebih praktis dan efisien. Mereka tidak perlu lagi bekerja keras untuk
1

mendapatkan nilai yang bagus, sebab dengan menyontek saja nilai yang bagus itu
akan bisa dicapai dan naik kelas. Tuntutan sosial dan keinginan mempertahankan
harga diri di mata teman-teman sebaya telah mendorong kegiatan menyontek
menjadi hal yang biasa dan wajib dilakukan. Nilai efektivitas telah menggantikan
nilai kejujuran (Koesoema, 2015). Tidak hanya menyontek, tetapi perilaku
menyimpang lainnya seperti pergaulan bebas, merokok di sekolah, minum
minuman keras dan narkoba (drugs), terlibat perkelahian, hamil di luar nikah,
menonton film porno, serta perilaku lainnya yang mengancam rusaknya tata nilai,
merupakan persoalan atau tantangan yang menghantui pergaulan remaja.
Tanggung jawab yang besar untuk membantu remaja menghadapi
tantangan-tantangan di atas umumnya dilimpahkan kepada sekolah. Sekolah
diharapkan menjadi pusat perubahan masyarakat atau tempat berlangsungnya
revolusi mental (Johanis Ohoitimur, Lokakarya Pendidikan Yayasan Pendidikan
Lokon SMP & SMA Lokon St. Nikolaus, 20-21 Juni 2016). Oleh karena

pentingnya tanggung jawab ini, maka diperlukan perencanaan, pelaksanaan, dan
evaluasi pendidikan karakter secara sistematis, integral dan holistik.
Salah satu sekolah yang berupaya untuk mengimplementasikan pendidikan
karakter adalah SMA Kristen 2 Binsus Tomohon (kata Binsus adalah singkatan
dari Binaan Khusus). Sekolah ini bernaung di bawah Yayasan GMIM Ds. A.Z.R.
Wenas dan terletak di jalan Kampus, Talete Dua Kota Tomohon.
Kata ‘binsus’ menandakan bahwa siswa-siswi SMA Kristen 2 Tomohon
dididik dan dibina secara khusus baik di sekolah maupun di asrama. Semua siswa
diwajibkan tinggal di asrama agar proses binaan khusus yang meliputi aspek
intelektual dan karakter dapat terlaksana secara integral-holistik. Ciri khas lain
2

yang dimiliki oleh sekolah ini adalah penampilan para siswanya. Keseragaman di
atur dari ujung rambut sampai ujung kaki. Tidak hanya pakaian yang harus
seragam, tetapi potongan rambut wanita harus sama pendek dan potongan rambut
pria juga harus sama modelnya. Penampilan mereka terlihat sangat rapih dan
elegan.
Namun, idealisme pendidikan karakter yang komprehensif dan konsisten
belum sepenuhnya terlaksana. Berdasarkan informasi dari salah seorang guru
yang mengajar di sekolah ini, beberapa masalah yang menarik perhatian dan

menjadi pergumulan pihak sekolah antara lain, pacaran, kesombongan,
menganggap remeh orang lain, terlalu agresif (termasuk menjurus ke kekerasan),
dan tertutup. Berdasarkan informasi awal ini, peneliti tertarik untuk mendalami
manajemen pendidikan karakter pada SMA Kristen 2 Binsus Tomohon.

B. Fokus Penelitian dan Rumusan Masalah
Fokus penelitian ini adalah manajemen pendidikan karakter pada SMA
Kristen 2 Binsus Tomohon. Untuk itu dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana perencanaan pendidikan karakter pada SMA Kristen 2 Binsus
Tomohon?
2. Bagaimana pelaksanaan pendidikan karakter pada SMA Kristen 2 Binsus
Tomohon?
3. Bagaimana evaluasi pendidikan karakter pada SMA Kristen 2 Binsus
Tomohon?
4. Apa saja faktor pendukung pendidikan karakter pada SMA Kristen 2
Binsus Tomohon?

3

5. Apa saja faktor penghambat pendidikan karakter pada SMA Kristen 2

Binsus Tomohon?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh deskripsi yang rinci dan
jelas tentang:
1. Perencanaan pendidikan karakter pada SMA Kristen 2 Binsus Tomohon.
2. Pelaksanaan pendidikan karakter pada SMA Kristen 2 Binsus Tomohon.
3. Evaluasi pendidikan karakter pada SMA Kristen 2 Binsus Tomohon.
4. Faktor-faktor pendukung pendidikan karakter pada SMA Kristen 2 Binsus
Tomohon.
5. Faktor-faktor penghambat pendidikan karakter pada SMA Kristen 2
Binsus Tomohon.

D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik teoretik dan
praktis.
1. Manfaat Teoretik
Secara teoretik penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk:
-

Mengembangkan keilmuan dalam bidang manajemen pendidikan dan

mengembangkan model pendidikan karakter yang integral-holistik.

-

Menjadi bahan acuan bagi penelitian-penelitian selanjutnya.

2. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada:
4

-

Pimpinan yayasan sebagai pemangku kebijakan pendidikan dalam
merumuskan kebijakan pendidikan karakter.

-

Pimpinan sekolah, guru, dan seluruh warga sekolah dalam merumuskan
perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pendidikan karakter.


-

Para pemerhati pendidikan tentang pedoman manajemen pendidikan
karakter.

5

II.

ACUAN TEORETIK

A. Manajemen Pendidikan
1. Konsep Dasar Manajemen
1.1.

Pengertian Manajemen

Kata manajemen sering dihubungkan dengan istilah bahasa Italia
maneggiare yang berarti ‘mengendalikan’. Kata ini mendapat pengaruh dari
bahasa Perancis manège yang berarti ‘kepemilikan kuda’ (yang berasal dari

Bahasa Inggris yang berarti seni mengendalikan kuda). Bahasa Perancis lalu
mengadopsi kata ini dari bahasa Inggris menjadi ménagement, yang memiliki arti
seni melaksanakan dan mengatur. Berdasarkan etimologinya, istilah manajemen
sebenarnya berasal dari bahasa Latin manus yang berati ‘tangan’ dan agere yang
berarti ‘melakukan’. (http://id.wikipedia.org/wiki/Indonesia.manajemen, diakses 5
April 2013). Jadi, secara harafiah manajemen berarti mengatur, melaksanakan
dan mengendalikan sesuatu.
Dalam perkembangannya, istilah manajemen mendapatkan pengertian
yang lebih spesifik dan variatif dari para ahli. Harold Koontz dan Hein Weirich
dalam Kambey (2006: 2), mendefinisikan manajemen sebagai “proses mendisain
dan memelihara lingkungan di mana orang-orang bekerja bersama dalam
kelompok-kelompok untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu secara efisien”.
Sementara itu, Sanches dalam Kambey (2006: 2), mendefinisikan manajemen
sebagai “proses mengembangkan manusia”.
Manajemen bukan sekedar proses melakukan sesuatu, melainkan sebagai
seni. Mary Parker Follet dalam Sule dan Saefullah (2010: 5) menegaskan
6

“manajemen is the art of getting things done through people” (manajemen adalah
seni menyelesaikan sesuatu melalui orang lain). Manajemen sebagai proses

ataupun seni senantiasa terarah pada suatu tujuan yang hendak dicapai dan
melalui tahapan-tahapan yang pasti, yakni perencanaan, pengorganisasian,
pengarahan dan pengendalian. Hal ini dikuatkan oleh pernyataan Nickels dkk.
dalam Sule dan Saefullah (2010: 6). Mereka menyebutkan pengertian manajemen
sebagai “the process used to accomplish organizational goals through planning,
organizing, directing, and controlling people and other organizational goals”
(proses yang digunakan untuk mencapai tujuan organisasi melalui perencanaan,
pengorganisasian, pengarahan, dan pengontrolan orang dan tujuan organisasi
lainnya).
Definisi dari kata manajemen ternyata banyak, tergantung pada persepsi
masing-masing ahli. Namun, terdapat salah satu definisi klasik tentang
manajemen yang dirumuskan oleh George Terry dalam Indrajit dan Djokopranoto
(2011: 315), yakni “management is a distinct process consisting of planning,
organizing, actuating, and controlling, performed to determine and accomplish
stated objetctives by the use of human beings and other resources”. Dari kutipan
ini ditegaskan manajemen sebagai suatu proses perencanaan, pengorganisasian,
pelaksanaan, dan pengontrolan melalui orang atau sumber daya lain untuk
mewujudkan tujuan. Proses yang dikemukakan Terry inilah yang secara populer
dikenal dengan singkatan POAC (planning, organizing, actuating, controlling).
Berdasarkan pengertian yang diberikan oleh para ahli di atas, maka

manajemen dapat diartikan sebagai suatu proses yang terdiri dari rangkaian

7

kegiatan perencanaan, pengorganisasian, pengarahan dan pengendalian sumber
daya organisasi untuk mencapai tujuan secara efektif dan efisien.
1.2.

Fungsi Manajemen

Fungsi manajemen sebenarnya telah tertuang dalam definisi manajemen
yang

dikemukan

oleh

para

ahli,


yaitu

perencanaan,

pengorganisasian,

pelaksanaan, dan pengendalian/pengawasan. Pembagian fungsi-fungsi manajemen
ini bertujuan agar sistematik urutan pembahasannya lebih teratur, analisis
pembahasannya lebih mudah dan lebih mendalam, dan sebagai pedoman bagi
manajer dalam melaksanakan proses manajemen (Hasibuan, 2005).

1.2.1. Perencanaan
Perencanaan merupakan suatu proses memikirkan dan menetapkan secara
matang arah, tujuan dan tindakan sekaligus mengkaji berbagai sumber daya dan
metode yang tepat. Gibson dalam Sagala (2010: 56) mengemukakan pengertian
perencanaan sebagai berikut “perencanaan mencakup kegiatan menentukan
sasaran dan alat yang sesuai untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan”.
Sergiovanni dalam Sagala (2010: 57) menegaskan: “plans are guides,
approximation, goal post, and compass setting not irrevocable commitments or

dicision commandments”. Artinya perencanaan yang dibuat secara matang akan
berfungsi sebagai kompas atau penunjuk arah untuk mencapai tujuan organisasi.
Lebih lanjut Mulyati dan Komariah dalam Tim Dosen (2011: 93-95)
mengemukakan fungsi perencanaan sebagai berikut:
a. Menjelaskan dan merinci tujuan yang ingin dicapai.
8

b. Memberikan pegangan dan menetapkan kegiatan-kegiatan yang harus
dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut.
c. Organisasi memperoleh standar sumber daya terbaik dan
mendayagunakan sesuai tugas pokok fungsi yang telah ditetapkan.
d. Menjadi rujukan anggota organisasi dalam melaksanakan aktivitas yang
konsisten prosedur dan tujuan.
e. Memberikan batas kewenangan dan tanggung jawab bagi seluruh
pelaksana.
f. Memonitor dan mengukur berbagai keberhasilan secara intensif
sehingga bisa menemukan dan memperbaiki penyimpangan secara dini.
g. Memungkinkan untuk terpeliharanya persesuaian antara kegiatan
internal dengan situasi eksternal.
h. Menghindari pemborosan.
Aktivitas perencanaan dimulai dengan meramalkan proyeksi yang akan
datang. Setelah proyeksi sudah diramalkan, maka langkah selanjutnya adalah
menetapkan sasaran dan kondisinya, menyusun program kegiatan, proses
pelaksanaan yang tertuang dalam jadwal kegiatan, anggaran dan alokasi sumber
daya, mengembangkan prosedur standar, dan menetapkan serta menginterpretasi
kebijaksanaan. (Syafiie dalam Kompri, 2015).
Berdasarkan jangkauan waktunya, perencanaan dapat dibagi menjadi
perencanaan jangka pendek, misalnya satu minggu, satu bulan, satu semester dan
satu tahun, perencanaan jangka menengah yaitu perencanaan yang dibuat untuk
jangka waktu tiga sampai tujuh tahun, dan perencanaan jangka panjang dibuat
untuk jangka waktu delapan sampai dua puluh lima tahun (Sagala, 2010).
1.2.2. Pengorganisasian
Mengorganisasikan

adalah

proses

mengatur,

mengalokasikan

dan

mendistribusikan pekerjaan, wewenang, dan sumber daya di antara anggota
organisasi untuk mencapai tujuan organisasi. Stoner dalam Tim Dosen (2011: 94)
menyatakan bahwa mengorganisasikan adalah “proses mempekerjakan dua orang
9

atau lebih untuk bekerjasama dalam cara terstruktur guna mencapai sasaran
spesifik atau beberapa sasaran”.
Proses pengorganisasian terdiri dari tiga langkah. Pertama, rincian seluruh
tugas atau pekerjaan yang harus dilaksanakan untuk mencapai tujuan. Kedua,
pembagian beban pekerjaan untuk dilaksanakan oleh masing masing-masing
orang yang dilibatkan. Ketiga, pengadaan dan pengembangan suatu mekanisme
kerja untuk mengkoordinasikan pekerjaan setiap anggota menjadi kesatuan yang
harmonis (Fattah, 2004).
Di pihak lain, Marno dalam Kompri (2015: 22) menyebutkan aktivitas
pengorganisasian dilakukan dengan memperhatikan langkah-langkah seperti
“menentukan

sasaran

atau

tujuan,

penentuan

kegiatan-kegiatan

dan

pengelompokkannya, pendelegasian wewenang, jumlah personil, perincian tugas
dan tanggung jawab, tipe organisasi dan bagan atau struktur organisasi”.
1.2.3. Pelaksanaan
Pelaksanaan merupakan proses implementasi program sebagaimana telah
ditentukan dalam kegiatan perencanaan agar bisa dijalankan oleh seluruh pihak
dalam organisasi serta proses memotivasi agar semua pihak dapat bertanggungjawab dengan penuh kesadaran dan produktivitas yang tinggi (Sule dan Saefulla,
2010).
Aktivitas pelaksanaan mencakup upaya menggerakkan setiap anggota
untuk mengimplementasikan apa yang sudah direncanakan sehingga tujuan
organisasi dapat tercapai. Hal ini ditegaskan oleh Terry dalam Kambey (2006:
70), “Actuating is setting all members of the group to want to achieve and to
10

strike to achieve the objective willingly and keeping with the managerial planning
and organizing the efforts”. Dari kutipan ini pelaksanaan berarti upaya mengatur
setiap anggota kelompok agar memiliki keinginan dan usaha untuk mencapai
tujuan sebagaimana telah diatur dan diusahakan oleh organisasi.
Cara terbaik untuk menggerakkan para anggota organisasi adalah dengan
pemberian petunjuk, perintah, arahan, tugas dan tanggung jawab dari
pemimpinnya (Kompri, 2004). Dalam hal ini peranan pemimpin atau manajer
memang sangat menentukan keberhasilan suatu organisasi.

1.2.4. Pengawasan
Pengawasan merupakan upaya untuk mengukur ketercapaian suatu
kegiatan. Pengawasan berkaitan dengan proses menilai apakah kegiatan yang
telah dilaksanakan sudah sesuai dengan rencana dan seberapa jauh tujuan
organisasi telah dicapai. Pengawasan bertujuan untuk memperoleh masukan
apakah pelaksanaan dan hasil yang sudah dicapai sudah sesuai dengan
perencanaan, apakah itu suatu keberhasilan ataupun kegagalan, bila belum sesuai
target, di mana letak kelemahan, kesalahan dan kesulitan-kesulitan yang dialami
(Kambey, 2006).
Sagala (2010) merangkum beberapa pengertian pengawasan dari beberapa
pakar berikut. Pertama, Oteng Sutisna menghubungkan fungsi pengawasan
dengan tindakan administrasi. Baginya pengawasan dilihat sebagai proses
administrasi melihat apakah apa yang terjadi itu sesuai dengan apa yang
seharusnya terjadi, jika tidak maka penyesuaian yang perlu dibuatnya. Kedua,
Hadari Nawawi menegaskan bahwa pengawasan dalam administrasi berarti
11

kegiatan menukur tingkat efektivitas kerja personal dan tingkat efesiensi
penggunaan metode dan alat tertentu dalam usaha mencapai tujuan. Ketiga,
Johnson mengemukakan pengawasan sebagai fungsi sistem yang melakukan
penyesuaian terhadap rencana, mengusahakan agar penyimpangan-penyimpangan
tujuan sistem hanya dalam batas-batas yang dapat ditoleransi.

2. Konsep Manajemen Pendidikan
2.1.

Pengertian Manajemen Pendidikan

Istilah manajemen dalam arti luas dipahami sebagai suatu proses kegiatan
untuk mencapai tujuan tertentu melalui kerjasama dengan orang lain. Dalam
kaitannya dengan pendidikan, istilah manajemen pendidikan diartikan sebagai
suatu upaya mencapai tujuan pendidikan melalui aktivitas perencanaan,
pengorganisasian,

penyusunan

staf,

pembinaan,

pengkoordinasian,

pengkomunikasian, pemotivasian, penganggaran, pengendalian, pengawasan,
penilaian, dan pelaporan secara sistematis (Engkoswara dan Komariah, 2010).
Usman (2011: 13) menambahkan tujuan dan manfaat manajemen
pendidikan, antara lain:
a. Terwujudnya suasana belajar dan proses pembelajaran yang aktif,
kreatif, efektif, menyenangkan dan bermakna;
b. Terciptanya peserta didik yang aktif mengembangkan potensi dirinya.
c. Terpenuhinya salah satu dari 5 kompetensi tenaga kependidikan, yaitu
kompetensi manajerial.
d. Tercapainya tujuan pendidikan secara efektif dan efisien.
e. Terbekalinya tenaga kependidikan dengan teori tentang proses dan
tugas administrasi pendidikan.
f. Teratasinya masalah mutu pendidikan.
g. Terciptanya perencanaan pendidikan yang merata, bermutu, relevan,
dan akuntabel.
h. Meningkatnya citra positif pendidikan.
12

Adapun ruang lingkup manajemen pendidikan sebagaimana disebutkan
oleh Kompri (2015) terdiri dari manajemen kurikulum, ketenagaan pendidikan,
peserta

didik,

sarana-prasarana,

keuangan/pembiayaan

pendidikan,

administrasi/perkantoran, unit-unit penunjang pendidikan, layanan khusus
pendidikan, tata lingkungan dan keamanan sekolah, dan hubungan dengan
masyarakat.

2.2.

Fungsi Manajemen Pendidikan

2.2.1. Perencanaan
Banghart

dan

Trull

dalam

Sagala

(2010:

56)

mengemukakan:

“Educational planning is first of all a rational process”. Artinya perencanaan
pendidikan adalah langkah paling awal dari semua proses rasional. Dalam lingkup
satuan pendidikan atau sekolah, perencanaan ini tertuang dalam RKAS (rencana
kegiatan dan anggaran sekolah) yang dibuat oleh pimpinan sekolah secara
kolaboratif, yakni melibatkan warga sekolah tentang program-program yang akan
dilaksanakan baik dalam jangka waktu tertentu, seperti satu minggu, satu bulan,
satu semester dan satu tahun, atau lebih dari itu.
Menurut Sagala (2010: 57) lingkup perencanaan meliputi “administrasi
sekolah dalam kurikulum, supervisi, kemuridan, keuangan, sarana dan prasarana,
personal, layanan khusus, hubungan masyarakat, fasilitas proses belajar mengajar,
dan ketatausahaan sekolah”. Jadi, dapat disimpulkan melalui aktivitas
perencanaan, sekolah menentukan sasaran melalui program-program yang jelas
dan terukur.
13

2.2.2. Pengorganisasian
Aktivitas pengorganisasian merupakan aktivitas menentukan siapa yang
akan melaksanakan tugas atau bertanggung jawab atas kegiatan-kegiatan yang
telah diprogramkan dalam perencanaan, bagaimana menjalin hubungan atau
kerjasama satu sama lain agar proses pelaksanaan kegiatan nantinya dapat
berjalan sukses.
Kepala sekolah bersama guru dan tenaga kependidikan melalui aktivitas
pengorganisasian harus bisa menentukan struktur tugas, wewenang dan tanggung
jawab (job description), serta menentukan fungsi-fungsi setiap personal secara
seimbang sesuai tupoksi (tugas pokok dan fungsi) (Sagala, 2010).
Aktivitas pengorganisasian memiliki manfaat yang signifikan, sebab
melalui aktivitas ini dapat diketahui dan dipahami batasan-batasan terhadap
bidang kerja yang satu dengan bidang kerja yang lain, wewenang dan kewajiban
dari tiap-tiap personil menjadi jelas, dan hubungan vertikal dan horizontal, baik
dalam jalur struktural maupun fungsional dapat diketahui. (Kompri, 2015)
Adapun prinsip yang harus dipenuhi agar tujuan pengorganisasian dapat
tercapai antara lain memiliki tujuan yang jelas yang dipahami dan diterima oleh
seluruh anggota, dan memiliki struktur organisasi yang menggambarkan adanya
satu perintah, keseimbangan tugas, wewenang dan tanggung jawab (Kompri,
2015).

14

2.2.3. Pelaksanaan
Fungsi pelaksanaan terkandung di dalamnya fungsi pengarahan yang
menjadi tanggung jawab kepala sekolah. Dalam menjalankan fungsinya, kepala
sekolah perlu mengadakan orientasi sebelum seseorang memulai melaksanakan
tugas, memberikan petunjuk dan penjelasan mengenai pekerjaan yang akan
dilakukan, memberikan kesempatan untuk berpartisipasi berupa pemberian
gagasan, usul atau saran, mengikut sertakan guru dan pegawai, dan memberikan
nasehat dan motivasi (Kompri, 2015).
Selanjutnya

dalam

fungsi

pelaksanaan

terdapat

juga

pengkoordinasian. Koordinasi dapat diwujudkan melalui pertemuan

fungsi
lengkap

yang mewakili unit kerja di sekolah, pertemuan berkala untuk pejabat-pejabat
tertentu, pembentukan panitia,

pembentukan badan koordinasi staf untuk

mengkoordinir kegiatan, mewawancarai personal sekolah untuk mengetahui hal
yang penting berkaitan dengan tugas dan tanggungjawabnya, memorandum, atau
tersedianya buku pedoman organisasi dan tatakerja (Sagala, 2010).

2.2.4. Pengawasan
Sagala (2010: 65) menegaskan bahwa “pengawasan adalah salah satu
kegiatan mengetahui realisasi perilaku personal sekolah dan apakah tingkat
pencapaian tujuan pendidikan sesuai yang dikehendaki, kemudian dari hasil
pengawasan apakah dilakukan perbaikan”. Aktivitas pengawasan melibatkan
beberapa pihak, yaitu: kepala sekolah untuk pengawasan sekolah, supervisor

15

untuk pengawasan layanan belajar, dan tenaga kependidikan yang berwenang
untuk pengawasan layanan teknis kependidikan.
Pengawasan bisa berlangsung secara internal oleh kepala sekolah melalui
kegiatan supervisi struktural ataupun klinis, dan eksternal oleh supervisor atau
pengawas dari dinas pendidikan setempat. Di samping itu, dikenal juga model
pengawasan akreditasi yang dilakukan oleh badan akreditasi yang menilai seluruh
aktivitas sekolah berdasarkan kedelapan standar pendidikan (kompetensi lulusan,
isi, proses, pendidik dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan,
pembiayaan dan penilaian pendidikan).
Mockler dalam Kompri (2015: 106) menyebutkan langkah-langkah dalam
menyusun pengawasan sebagai berikut:
a. Memetakan standar dan metode mengukur prestasi kerja dimulai dari
menetapkan tujuan atau sasaran secara spesifik dan mudah diukur.
b. Pengukuran prestasi kerja secara berulang melalui pengamatan
langsung atau penggunaan instrument survey yang berisi indikator
efektivitas kerja.
c. Menetapkan apakah prestasi kerja sesuai dengan standar.
d. Mengambil tindakan korektif bila hasil pengukuran menunjukkan
terjadi penyimpangan-penyimpangan.
Jadi, pengawasan bertujuan untuk mengendalikan kegiatan agar sesuai
dengan rencana yang telah ditetapkan. Dengan kata lain, melalui pengawasan apa
yang telah ditetapkan dalam rencana dan program, pembagian tugas dan tanggung
jawab, dan pelaksanaannya senantiasa dipantau dan diarahkan sehingga tetap
berada pada jalurnya demi tercapainya tujuan yang diharapkan (Kompri, 2015).

16

B. Konsep Pendidikan Karakter
1. Pengertian Pendidikan
Kata bahasa Inggris education yang diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia menjadi pendidikan, secara etimologis berasal dari kata kerja bahasa
Latin educare. Koesoema (2010: 53) mengemukakan bahwa bisa jadi secara
etimologis, kata pendidikan berasal dari dua kata kerja yang berbeda, yaitu dari
kata educare dan educere. Kata educare memiliki konotasi ‘melatih’,
‘menjinakkan’, atau ‘menyuburkan’. Dalam konteks ini pendidikan dipahami
sebagai “sebuah proses yang membantu menumbuhkan, mengembangkan,
mendewasakan, membuat yang tidak tertata atau liar menjadi semakin tertata,
semacam proses penciptaan kultur dan tata keteraturan dalam diri maupun dalam
diri orang lain”. Pengertian pendidikan seperti ini senada dengan pendapat kaum
behavioris seperti Watson dan Skinner yang menekankan pendidikan sebagai
proses perubahan tingkah laku (Mudyahardjo, 2001: 7). Pendidikan juga berarti
“proses pengembangan berbagai macam potensi yang ada dalam diri manusia,
seperti kemampuan akademis, relasional, bakat, talenta, kemampuan fisik atau
daya-daya seni”.
Di pihak lain, menurut John Dewey dalam Muslich (2011: 67) pendidikan
adalah “proses pembentukan kecapakan fundamental secara intelektual dan
emosional ke arah alam dan sesama manusia. Sementara itu dalam konteks
Indonesia, pengertian pendidikan secara sistematis tertuang dalam Undang17

Undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, Pasal 1 ayat 1 ditegaskan sebagai berikut:
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia,
serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan
negara.
Jadi, pengertian pendidikan mencakup keseluruhan aspek kehidupan
manusia. Bahkan, pendidikan adalah hidup itu sendiri, sebab pendidikan
berlangsung seumur hidup (lifelong education), mencakup segala lingkungan dan
situasi hidup yang mempengaruhi pertumbuhan individu (Mudyahardjo, 2001).

2. Pengertian Karakter
Secara etimologis istilah “karakter” berasal dari bahasa Yunani karasso,
berarti ‘cetak biru’, ‘format dasar’, atau ‘sidik’ seperti dalam sidik jari. Wynne
dalam Mulyasa (2011: 3) mengemukakan bahwa karakter berasal dari Bahasa
Yunani yang berarti to mark ‘menandai’ dan memfokuskan pada bagaimana
menerapkan nilai-nilai kebaikan dalam tindakan nyata atau perilaku sehari-hari.
Menurut Pusat Bahasa Depdiknas dalam Kemendiknas (2010: 12) karakter
diartikan sebagai “bawaan, hati, jiwa, kepribadian, budi pekerti, perilaku,
personalitas,

sifat,

tabiat,

temperamen,

watak.”

Berkarakter

berarti

“berkepribadian, berperilaku, bersifat, bertabiat, dan berwatak”. Individu yang
berkarakter baik atau unggul adalah seseorang yang berusaha melakukan hal-hal
yang terbaik terhadap Tuhan, dirinya, sesama dan lingkungannya dengan cara

18

mengoptimalkan potensi dirinya dan disertai dengan kesadaran, emosi dan
motivasinya.
Tadkiroatun Musfiroh dalam Kemendiknas (2010: 12) menambahkan
“karakter

mengacu

kepada

serangkaian

sikap,

perilaku,

motivasi

dan

keterampilan”.
Di pihak lain, Mounier dalam Koesoema (2010: 90-91) mengajukan dua
cara interpretasi tentang istilah karakter. Pertama, karakter sebagai “sekumpulan
kondisi yang telah diberikan begitu saja, atau telah ada begitu saja, yang lebih
kurang dipaksakan dalam diri kita” (karakter bawaan atau given character).
Kedua, karakter sebagai “tingkat kekuatan melalui mana seorang individu mampu
menguasai kondisi tersebut. Karakter adalah sebuah proses yang dikehendaki”
(willed).
Senada dengan pengertian karakter di atas, Ohoitimur dalam Rataq dan
Korompis (2011: 11), menegaskan bahwa “karakter personal terdiri dari dua unsur
yakni karakter bawaan dan karakter binaan”. Karakter bawaan merupakan
karakter

yang

kepribadiannya.

secara

hereditas

Sedangkan

(faktor

karakter

keturunan)

binaan

menjadi

merupakan

ciri

khas

karakter

yang

berkembang melalui pembinaan dan pendidikan secara sistematis. Dalam
pengertian karakter binaan inilah, pendidikan karakter adalah sesuatu yang pasti
bisa diwujudnyatakan.

3. Pengertian Pendidikan Karakter
Elkind dan Sweet dalam Kemendiknas (2010: 13) menyebutkan
pendidikan karakter dimaknai sebagai berikut: “character education is the
19

deliberate effort to help people understand, care about, and act upon core ethical
values”. Pendidikan karakter adalah suatu usaha sengaja untuk membantu orang
memahami, peduli dan bertindak menurut nilai-nilai etika. Sementara itu menurut
Ramli dalam Kemendiknas (2010), pendidikan karakter memiliki esensi dan
makna yang sama dengan pendidikan moral dan pendidikan akhlak. Tujuannya
adalah membentuk pribadi anak, supaya menjadi manusia yang baik, warga
masyarakat, dan warga negara yang baik.
Koesoema (2010) menyebutkan bahwa pendidikan karakter sebenarnya
dicetuskan pertama kali oleh pedagog Jerman F.W. Foerster (1869-1966).
Foerster menyebutkan empat ciri dasar pendidikan karakter. Pertama, keteraturan
interior melalui mana setiap tindakan diukur berdasarkan hierarki nilai. Kedua,
koherensi yang memberikan keberanian melalui mana seseorang dapat
mengakarkan diri teguh pada prinsip, tidak mudah terombang-ambing pada situasi
baru atau takut risiko. Ketiga, otonomi atau kemampuan seseorang untuk
menginternalisasikan aturan dari luar sehingga menjadi nilai-nilai bagi pribadi.
Keempat, keteguhan dan kesetiaan, yakni daya tahan seseorang untuk mengingini
apa yang dipandang baik, sedangkan kesetiaan merupakan dasar bagi
penghormatan atas komitmen yang dipilih.
Lickona (1991: 51) menegaskan pendidikan karakter dimengerti sebagai
“upaya habituasi atau pembiasaan untuk mengetahui/memikirkan yang baik
(moral knowing), menghayati yang baik (moral feeling) dan melaksanakan yang
baik (moral action)”. Dalam pengajaran kita kenal dengan ketiga ranah, kognitif,
afektif dan psikomotorik.

20

Secara detail disebutkan tujuh belas nilai dalam pendidikan karakter, yaitu
religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa
ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/
komunikatif, gemar membaca, peduli lingkungan, dan peduli sosial, serta
tanggung jawab (Kemendiknas, 2011).

C. Manajemen Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter yang utuh dan menyeluruh akan terwujud jika
dikelola dengan tepat. Pengelolaan yang dimaksudkan di sini terkait dengan
fungs-fungsi manajemen, yaitu perencanaan (planning), pelaksanaan (actuating),
dan evaluasi (evaluation) pendidikan karakter di sekolah.

1. Perencanaan Pendidikan Karakter
Penyusunan perencanan pendidikan karakter perlu mengacu pada nilainilai yang hendak dicapai, tujuan, bentuk kegiatan, materi, jadwal, fasilitator,
pihak-pihak terkait, pendekatan pelaksanaan, evaluasi dan fasilitas pendukung
pelaksanaan program pendidikan karakter di sekolah. Perencanaan program dan
kegiatan sekolah dilakukan melalui pengembangan dan penyusunan Rencana
Kerja Sekolah (RKS) untuk jangka menengah/panjang dan Rencana Kegiatan dan
Anggaran Sekolah (RKAS) untuk jangka pendek dan tahunan (Kemendiknas,
2011).
Perencanaan pendidikan karakter di sekolah dapat didesain dalam tiga
basis, yakni kelas, kultur sekolah dan komunitas (Koesoema, 2012).

21

a. Pendidikan karakter berbasis kelas
Desain kurikulum pendidikan karakter berbasis kelas terjadi melalui dua
ranah yang berjalan seiring, yaitu instruksional dan non-instruksional. Pertama,
ranah instruksional yang dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu bersifat
pengajaran tematis dan non-tematis. Pendidikan karakter berbasis kelas
instruksional tematis adalah diberikannya materi pembelajaran tertentu tentang
pendidikan karakter melalui proses belajar mengajar. Pendidik memilih satu tema
tertentu untuk dibahas bersama. Sekolah mengalokasikan waktu khusus untuk
pengembangan pembentukan karkater, baik melalui pengajaran tradisional,
dialogis, diskusi kelompok, maupun pada pembuatan proyek bersama.
Selanjutnya, pendidikan karakter berbasis kelas instruksional non-tematis.
Ini adalah sebuah model pendekatan pembelajaran bagi pembentukan karakter
dengan mempergunakan momen-momen pembelajaran yang sifatnya terintegrasi
dalam kurikulum, proses pembelajaran dan terkait secara inheren dalam materi
pembelajaran. Sebagai contoh konkretnya, guru diminta membuat silabus, yang di
dalamnya dimasukkan kolom ‘karakter’. Sehingga, di dalam Rencana Pelaksanaan
Pembelajaran (RPP), beberapa nilai yang bisa dibentuk, diajarkan dalam proses
pembelajaran mesti disebut secara eksplisit.
Hal serupa dikemukakan juga oleh Ahmad Tafsir (2009: 85). Menurutnya
proses pengintegrasian pendidikan karakter dapat melalui beberapa cara berikut:
a. Pengintegrasian materi pelajaran, yaitu mengintegrasikan konsep nilainilai karakter ke dalam materi pembelajaran yang sedang diajarkan.
b. Pengintegrasian proses, yaitu guru menanamkan teladan kepada peserta
didik dengan nilai-nilai karakter tersebut.
c. Pengintegrasian dalam memilih bahan ajar, yaitu guru-guru memilih
materi yang memuat nilai-nilai.
22

d. Pengintegrasaian dalam memilih media pembelajaran, yaitu guru dapat
mengintegrasikan nilai-nilai karakter dalam memilih media pembelajaran.
Kedua, ranah non-instruksional bagi pendidikan karakter berbasis kelas
tertuju pada penciptaan lingkungan belajar yang nyaman dan kondusif bagi
pembentukkan atau pengembangan karakter siswa. Penciptaan lingkungan yang
dimaksud meliputi manajemen kelas, pendampingan perwalian, dan membangun
konsensus kelas.
b. Pendidikan karakter berbasis kultur sekolah
Dalam mengembangkan pendidikan karakter berbasis kultur sekolah,
berbagai macam momen dalam dunia pendidikan dapat menjadi titik temu.
Momen pendidikan ini dapat bersifat struktural, polisional, dan eventual. Momen
pendidikan yang struktural adalah peristiwa yang berkaitan erat dengan proses
regulasi dan administrasi sekolah. Momen struktural ini di antaranya adalah
proses pembentukan kesepakatan kerja, peraturan yayasan, peraturan sekolah, job
description setiap jabatan dan kedudukan.
Momen pendidikan yang bersifat polisional adalah kebijakan pendidikan
on the spot yang dilaksanakan secara rutin dan sifatnya tradisional. Kebijakan
yang bersifat rutin adalah berbagai keputusan dan tindakan yang diambil dalam
kerangka pengembangan mutu sekolah. Misalnya, kebijakan tentang penerimaan
siswa baru, ujian sekolah, pengaturan jadwal pelajaran, kegiatan ekstrakurikuler,
perwalian dan pengembagan professional guru. Sedangkan, yang bersifat
tradisional adalah kebijakan rutin dalam rangka pengembangan pendidikan yang
senantiasa berulang setiap tahun, seperti rapat-rapat kerja, pertemuan orang tua
murid, penerimaan rapor, dan lain-lain.
23

Momen pendidikan yang bersifat eventual adalah peristiwa-peristiwa
pendidikan yang terjadi secara khas dan muncul karena terjadinya peristiwa
tertentu yang merupakan tanggapan nyata sekolah atas peristiwa di luar lembaga
pendidikan, dan memengaruhi kinerja lembaga pendidikan. Momen pendidikan
eventual ini tidak dapat diprediksi, namun membutuhkan keputusan dan
tanggapan langsung dari pihak sekolah untuk menyikapinya.
Di samping itu, menumbuhkan kultur demokratis dalam lingkungan
sekolah merupakan salah satu strategi pengembangan pendidikan karkater
berbasis kultur sekolah. Beberapa momen yang dapat menjadi praksis strategis
pengembangan kultur demokratis di sekolah, di antaranya momen pengembangan
diri seperti kelompok diskusi, jurnalistik, karya ilmiah, seni teater, menggambar,
perayaan dan kekeluargaan, dies natalis sekolah, atau syukuran kelulusan,
apresiasi dan pengakuan akan prestasi orang lain, masa orientasi sekolah,
pemilihan para pengurus OSIS, dewan kelas, kebijakan pendidikan, kolegialitas
antarguru, pengembangan professional guru dan merawat tradisi sekolah ataupun
komite sekolah.
c. Pendidikan karakter berbasis komunitas
Pendidikan karakter berbasis komunitas berusaha merancang berbagai
macam corak kerja sama dan keterlibatan antara lembaga pendidikan dengan
komunitas-komunitas dalam masyarakat. Tujuannya adalah agar kehadiran
lembaga pendidikan semakin bermakna dan bermutu, mampu menjawab aspirasi
setiap anggota komunitas tentang harapan mereka, fungsi, dan peran lembaga
pendidikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

24

Perencanaan pendidikan karakter dapat didasarkan pada beberapa tipe
konservasi. Pertama, pendidikan karakter berbasis nilai religius yang bersumber
pada kebenaran wahyu (konservasi moral). Kedua, pendidikan karakter berbasis
nilai budaya, antara lain berupa budi pekerti, pancasila, apresiasi sastra,
keteladanan tokoh-tokoh sejarah dan para pemimpin bangsa (konservasi
lingkungan). Ketiga, pendidikan karakter berbasis lingkungan (konservasi
lingkungan). Keempat, pendidikan karakter berbasis kompetensi diri, yaitu sikap
pribadi dan pemberdayaan potensi diri (konservasi humanis) (Khan, 2010).

2. Pelaksanaan Pendidikan Karakter
Kemendiknas (2011: 23) menyebutkan implementasi pendidikan karakter
harus memperhatikan beberapa prinsip berikut:
a. Mempromosikan nilai-nilai dasar etika sebagai basis karakter.
b. Mengidentifikasi karakter secara komprehensif supaya mencakup
pemikiran, perasaan, dan perilaku.
c. Menggunakan pendekatan yang tajam, proaktif dan efektif.
d. Menciptakan komunitas sekolah yang memiliki kepedulian.
e. Memberi kesempatan kepada peserta didik untuk menunjukkan perilaku
yang baik.
f. Memiliki cakupan terhadap kurikulum yang bermakna dan menantang
yang menghargai semua peserta didik, membangun karakter mereka,
dan membantu mereka untuk sukses.
g. Menghapus tumbuhnya motivasi diri pada para peserta didik.
h. Memfungsikan seluruh staf sekolah sebagai komunitas moral yang
berbagi tanggung jawab untuk pendidikan karakter dan setia pada nilai
dasar yang sama.
i. Adanya pembagian kepemimpinan moral dan dukungan luas dalam
membangun inisiatif pendidikan karakter.
j. Memfungsikan keluarga dan anggota masyarakat sebagai mitra dalam
usaha membangun karakter.
k. Mengevaluasi karakter sekolah, fungsi staf sekolah sebagai guru-guru
karakter, dan manifestasi karakter positif dalam kehidupan peserta didik.
Prinsip-prinsip pendidikan karakter juga dikemukakan oleh Koesoema
(2010: 218-220) seperti di bawah ini:
25

a. Karaktermu ditentukan oleh apa yang kamu lakukan, bukan apa yang
kamu katakan atau kamu yakini.
b. Setiap keputusan yang kamu ambil menentukan akan menjadi orang
macam apa dirimu.
c. Karakter yang baik mengandaikan bahwa hal yang baik itu dilakukan
dengan cara-cara yang baik, bahkan seandainya pun kamu harus
membayarnya secara mahal, sebab mengandung risiko.
d. Jangan pernah mengambil perilaku buruk yang dilakukan oleh orang lain
sebagai patokan bagi dirimu. Kamu dapat memilih patokan yang lebih
baik dari mereka.
e. Apa yang kamu lakukan itu memiliki makna dan transformatif. Seorang
individu bisa mengubah dunia.
f. Bayaran bagi mereka yang memiliki karakter baik adalah bahwa kamu
menjadi pribadi yang lebih baik, dan ini akan membuat dunia menjadi
tempat yang lebih baik untuk dihuni.
Di pihak lain Dasyim Budimasyah dalam Gunawan (2012: 36) berpendapat
bahwa “program pendidikan karakter di sekolah perlu dikembangkan dengan
berlandaskan pada prinsip kontinuitas (berkelanjutan), terintegrasi di dalam semua
mata pelajaran dan berlangsung secara aktif dan menyenangkan (active
learning)”.
Implementasi pendidikan karakter di sekolah dapat dilakukan dengan
beberapa metode berikut ini:
a.

Mengajarkan. Pendidikan karakter mengandaikan pengetahuan teoretis
tentang konsep-konsep nilai tertentu. Proses ini terintegrasi dalam
kurikulum. Cara lain adalah dengan mengundang pembicara tamu dalam
sebuah seminar, diskusi, publikasi, dll, untuk secara khusus membahas
nilai-nilai utama yang dipilih sekolah dalam kerangka pendidikan
karakter bagi para siswa.

b. Keteladanan. Pendidikan karakter merupakan tuntutan terutama bagi
para pendidik sendiri. Guru menjadi teladan dalam sikap dan perilaku

26

yang benar, sehingga ada kesesuaian antara apa yang diajarkan dengan
apa yang dilakukan.
c. Menentukan prioritas. Sekolah perlu menetapkan standar nilai dengan
indikator-indikatornya

yang

jelas

dan

terukur.

Penting

untuk

menentukan sejumlah perilaku standar yang diketahui dan dipahami oleh
segenap komponen sekolah.
d. Praksis prioritas. Sekolah konsisten dengan verifikasi di lapangan
tentang karakter yang ditetapkan. Verifikasi tidak lain adalah penetapan
sanksi terhadap pelanggaran atas kebijakan sekolah.
e. Refleksi. Dengan refleksi dimaksudkan sekolah mengadakan semacam
evaluasi untuk menilai capaian keberhasilan ataupun kegagalan dalam
implementasi pendidikan karakter (Koesoema, 2010).
Di samping kelima unsur di atas, Koesoema pada bukunya yang lain
(2012: 70-82) menambahkan berbagai metode berikut:
(a) Menyerambah ke seluruh kehidupan sekolah, (b) prioritas nilai dan
keutamaan, (c) mengembangkan tiga dimensi pengolahan hidup, olah
pikir, olah hati, olah raga, (d) pengembangan organisasi dan manajemen,
(e) pengembangan kultur sekolah yang menumbuhkan (caring
community), (f) eksplisit, direncanakan, terpadu, (g) pertumbuhan
motivasi individu, (h) pengembangan profesional, (i) kerja sama dengan
banyak pihak, (j) terintegrasi dalam kurikulum, (k) memberikan ruang
bagi tindakan, (l) kepemimpinan pendidikan berkarakter, (m) sistem
evaluasi berkesinambungan.
Metode pendidikan karakter juga dikemukakan oleh Mulyasa (2011: 165)
sebagai berikut: “pembiasaan, keteladanan, pembinaan disiplin, hadiah dan
hukuman, CTL (Contextual Teaching and Learning), bermain peran (Role
Playing) dan pembelajaran pastisipatif (Participative Instruction).”

27

3. Evaluasi Pendidikan Karakter
Evaluasi pendidikan karakter dilakukan untuk memantau, menilai, atau
mengukur efektivitas program pendidikan karakter berdasarkan target yang
hendak dicapai. Hasil evaluasi akan sangat berguna sebagai feedback atau umpan
balik untuk menyempurnakan proses pelaksanaan program pendidikan karakter.
Kemendiknas (2011: 31-32) menegaskan tujuan evaluasi pendidikan karakter
sebagai berikut:
a. Melakukan pengamatan dan pembimbingan secara langsung
keterlaksanaan program pendidikan karakter di sekolah.
b. Memperoleh gambaran mutu pendidikan karakter di sekolah secara
umum.
c. Melihat kendala-kendala yang terjadi dalam pelaksanaan program dan
mengidentifikasi masalah yang ada, dan selanjutnya mencari solusi yang
komprehensif agar program pendidikan karakter dapat tercapai.
d. Mengumpulkan dan menganalisis data yang ditemukan di lapangan
untuk menyusun rekomendasi terkait perbaikan pelaksanaan program
pendidikan karakter ke depan.
e. Memberikan masukan kepada pihak yang memerlukan untuk bahan
pembinaan dan peningkatan kualitas program pembentukan karakter.
f. Mengetahui tingkat keberhasilan implementasi program pembinaan
pendidikan karakter di sekolah.
Sasaran evaluasi pendidikan karakter terdiri dari empat hal, yaitu: (1)
evaluasi program yang telah dilaksanakan, (2) evaluasi struktural kelembagaan
guna perbaikan sistem dan struktur yang membingkai cakupan tanggung jawab
individu (pengorganisasian tugas dan tanggung jawab), (3) evaluasi individual
yang sifatnya personal oleh siswa itu sendiri berdasarkan indikator-indikator yang
telah ditetapkan, serta (4) evaluasi komunitas menyangkut relasi antar siswa
dengan siswa, siswa dengan guru, orang tua dengan guru, ataupun sekolah dengan
masyarakat (Koesoema, 2012).
28

Evaluasi pendidikan karakter bisa mengacu pada penilaian sikap yang
dilakukan secara berkelanjutan oleh guru mata pelajaran, guru Bimbingan dan
Konseling (BK), wali kelas dengan menggunakan observasi dan informasi yang
valid dan relevan dari berbagai sumber. Selain itu, dapat dilakukan penilaian diri
(self assessment) dan penilaian antarteman (peer assessment) dalam rangka
pembentukan karakter siswa yang hasilnya dapat dijadikan sebagai salah satu data
untuk konfirmasi hasil penilaian sikap oleh guru. Ditambahkan juga penilaian
sikap yang dilakukan oleh guru mata pelajaran, guru BK, dan wali kelas, melalui
observasi dicatat dalam jurnal. Format jurnal penilaian sikap harus memuat butir
nilai, seperti tanggung jawab, disiplin, jujur disertai indikator-indikator pada
setiap butirnya (Kemendikbud tentang Panduan Penilaian Sekolah Menengah
Atas, 2015).
Evaluasi pendidikan karakter perlu dilakukan secara objekftif artinya
berdasarkan pada data-data seperti kuantitas kehadiran, ketepatan menyerahkan
tugas, menurunnya perilaku kekerasan, kerjasama dengan lembaga lain, prestasi
akademis, dihargai kerja keras dan kejujuran, serta persoalan kedisplinan. Dalam
melaksanakan evaluasi ini diperlukan sikap yang terbuka, jujur, dan latihan terus
menerus dari semua pihak yang terlibat. Metode yang ditawarkan antara lain
observasi, penilaian diri, portofolio, refleksi pribadi, kuesioner, wawancara,
jurnal, pembuatan indikator-indikator penilaian atau menggunakan standar kendali
mutu yang telah dibuat oleh sekolah (Koesoema, 2012).

29

D. Kajian Hasil Penelitian yang Terdahulu
Penelitian tentang manajemen pendidikan karakter sudah pernah dilakukan
oleh beberapa pihak. Pertama, peneletian dengan judul “Manajemen Pendidikan
Karakter Siswa Berasrama: Studi Kasus Pada SMA Lokon St. Nikolaus
Tomohon” oleh Riny Cintya Kumendong (2012). Penelitian ini menyoroti tentang
bagaimana perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pendidikan karakter siswa
berasrama. Dari penelitian tersebut diperoleh hasil sebagai berikut:
(1) Perencanaan pendidikan karakter di SMA Lokon St. Nikolaus Tomohon dibuat
oleh masing-masing unit dan sub-unit yang ada di lembaga pendidikan Lokon dan
kemudian dirumuskan bersama dalam rapat koordinasi antarunit, yakni sekolah,
asrama, dan yayasan. (2) Pelaksanaan pendidikan karakter di SMA Lokon St.
Nikolaus Tomohon dilaksanakan dengan cara mengimplementasikan program
pendidikan karakter yang telah dirumuskan sebelumnya ke dalam kegiatan
konkret sesuai dengan waktu yang ditentukan. Di sekolah pendidikan karakter
diintegrasikan dalam tiap-tiap mata pelajaran. Sedangkan di asrama pendidikan
karakter dilaksanakan dalam bentuk pembinaan dan pendampingan personal
maupun kelompok. (3) Evaluasi pendidikan karakter di SMA Lokon St. Nikolaus
Tomohon, dilakukan dengan menggunakan catatan data-data yang secara valid
dibuat berdasarkan observasi. Sementara itu, asrama menggunakan rapor yang
dengan indikator-indikator yang didasarkan pada tiga nilai utama (motto sekolah
dan asrama), veritas, virtus, fides (kebenaran, kebajikan, iman) Nilai pendidikan
karakter dibuat dalam bentuk penilaian kualitatif, bukan kuantitatif.

30

Relevansinya dengan penelitian yang akan peneliti laksanakan adalah
terletak pada konsep dasar manajemen dan fungsi-fungsi manajemen, serta konsep
pendidikan karakter yang akan digunakan, diterapkan dan dikembangkan pada
lingkungan pendidikan formal seperti sekolah yang merupakan inti dari objek
penelitian ini. Perbedaannya terletak pada objek dan lokasi penelitian.
Kedua, penelitian dengan judul “Manajemen Pendidikan Karakter
Terintegrasi dalam Pembelajaran dan Pembudayaan Sekolah (Studi Deskriptif di
SD Muhammadiyah Wirobrajan 3 Yogyakarta” oleh Asniyah Nailasariy (2013).
Hasil penelitiannya adalah sebagai berikut: (1) Manajemen pendidikan karakter
yang berlangsung di SD Muhammadiyah Wirobrajan 3 Yogyakarta melalui
optimalisasi

fungsi

manajemen,

yaitu

perencanaan,

pengorganisasian,

penggerakan, pengawasan dan tidak lanjut. (2) Pelaksanaan pendidikan karakter
di SD Muhammadiyah Wirobrajan terintegrasi dalam semua mata pelajaran,
melalui pesan moral, dan pendampingan. Metode yang digunakan adalah
keteladanan, pembiasaan, kegiatan ekstrakurikuler, pembudayaan dalam bentuk
fisik, dan pembudayaan melalui pemberian reward dan punishment. (3)
Implementasi pendidikan karakter di SD Muhammadiyah Wirobrajan mengalami
hambatan-hambatan seperti kurangnya komitmen guru dan karyawan dalam
pelaksanaan pendidikan karakter, terkendalanya sarana dan prasarana berkaitan
dengan pengembangan karakter dan kurangnya partisipasi orang tua dalam
pendampingan anak.
Relevansi penelitian ini terhadap penelitian yang akan dilakukan di SMA
Kristen 2 Binsus Tomohon terletak pada optimalisasi fungsi manajemen dalam
perencanaan, pengorganisasian, penggerakan dan pengawasan pendidikan
31

karakter. Sedangkan perbedaannya terletak pada salah satu rumusan masalah.
Penelitian

Nailasariy menyoroti semua fungsi manajemen dan hambatan-

hambatan dalam pelaksanaan pendidikan karakter, sementara penelitian pada
SMA Kristen 2 Binsus Tomohon lebih bertitik tolak pada ketiga fungsi
manajemen, perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi.
Ketiga, penelitian tentang “Manajemen Pendidikan Karakter di Sekolah
Menengah Atas Negeri 5 Semarang”. Penelitian ini dilaksanakan oleh Arif
Widiatmo (2013), dengan hasil sebagai berikut: (1) Perencanaan pendidikan
karakter

di

SMA

Negeri

5

Semarang

melibatkan

semua

guru.

(2)

Pengorganisasian pendidikan karakter di SMA Negeri 5 Semarang melibatkan
semua komponen sekilah. (3) Pelaksanaan pendidikan karakter di SMA Negeri 5
Semarang terjalin baik karena komunikasi dalam bergaul berjalan baik. (4)
Pengawasan terhadap pendidikan karakter di SMA Negeri Negeri 5 Semarang
saling bekerjasama seluruh komponen yang ada.
Relevansi peneltian tersebut terhadap penelitian Manajemen Pendidikan
Karakter pada SMA Kristen 2 Binsus Tomohon terletak pada upaya manajemen
pendidikan karakter, baik dari segi perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi.
Sedangkan perbedaannya terletak pada objek penelitian.
Widiatmo melakukan penelitian pada sekolah negeri, sedangkan objek
penelitian yang akan dilakukan di sini adalah sekolah swasta yang sangat
mengedepankan nilai-nilai kristiani.

32

III. METODOLOGI PENELITIAN
A. Metode dan Alasan Penggunaan Metode
Penelitian ini akan menggunakan metode kualitatif, yakni penelitiannya
dilakukan pada kondisi yang alamiah (natural setting) (Sugiyono, 2011: 14).
Alasan menggunakan metode ini adalah calon peneliti bermaksud mendapatkan
pemahaman secara lebih mendalam tentang manajemen pendidikan karakter pada
SMA Kristen 2 Binsus Tomohon.
B. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan pada SMA Kristen 2 Binsus Tomohon.
Waktu penelitian direncanakan akan dilaksanakan selama 5 (lima) bulan terhitung
sejak penyusunan proposal penelitian hingga perbaikan tesis (Juni-Oktober 2016).

C. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini dikelompokkan menjadi dua, yaitu
sumber data primer dan sumber data sekunder (Moleong, 2007).
-

Sumber data primer diperoleh dari informan yaitu kepala sekolah, wakil
kepala sekolah, guru mata pelajaran dan guru bimbingan dan konseling
serta perwakilan siswa.

-

Sumber data sekunder bersumber dari dokumen-dokumen resmi yang
ada berupa catatan, gambar, foto serta bahan lain yang dapat mendukung
penelitian ini.

33

D. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang akan dilakukan adalah triangulasi
(Sugiyono, 2011) atau gabungan dari tiga teknik sekaligus, yaitu observasi
partisipatif, wawancara mendalam dan studi dokumentasi terhadap perencanaan,
pelaksanaan, dan evaluasi pendidikan karakter pada SMA Kristen Binsus 2
Tomohon.

E. Teknik Analisis Data