Konversi Nilai Piksel Citra Satelit ke Besaran Fisika.

(1)

KARYA TULIS ILMIAH

KONVERSI NILAI PIKSEL CITRA SATELIT

KE BESARAN FISIKA

Oleh :

I Made Yuliara, S.Si., M.T I Gde Antha Kasmawan, S.Si., M.Si

Jurusan Fisika

Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

Universitas Udayana


(2)

(3)

Kata Pengantar

Puji syukur kami ucapkan ke hadapan Tuhan Yang Maha Kuasa atas rahmatNya karya ilmiah ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya. Karya ilmiah ini disusun untuk dapat dipergunakan sebagai bahan rujukan atau tambahan ilmu pengetahuan bagi mahasiswa/ pembaca.

Terimakasih kami sampaikan kepada rekan-rekan staf dosen Jurusan Fisika FMIPA UNUD yang telah banyak memberikan masukkan dan mendiskusikan karya ini.

Karya ilmiah ini tidaklah sempurna, untuk itu segala bentuk kritik dan saran yang konstruktif sangat diharapkan untuk memperbaiki karya ini.

Akhirnya kami ucapkan terimakasih semoga dapat menambah cakrawala ilmu pengetahuan dan bermanfaat bagi pembaca.

Desember 2015 Penyusun,


(4)

DAFTAR ISI

Kata pengantar ………...…..…………...i

Daftar isi ………...………….………….ii

Bab I Pendahuluan 1.1. Latar Belakang...1

1.2. Rumusan Masalah ...2

1.3. Tujuan...2

Bab II Pembahasan 2.1. Konversi DN Ke Nilai Radiansi Pada Citra Satelit...…….…3

2.2. Iluminasi Sinar Surya………...………..…….3

2.3. Permukaan Lambertian………4

2.4. Jalur Radiansi (Path Radiance)………..……….6

2.5. Efek Iluminasi, Gains, Offset Dan Jalur Radiansi Dalam Penginderaan Jauh……7

2.6. Penggunaan Area Referensi………...10

2.7. Albedo……..………….……….13

Bab III Penutup 3.1. Kesimpulan...15

3.2. Saran...15 Daftar Pustaka


(5)

BAB I PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Dalam beberapa kasus, tetapi tidak semua, akan lebih baik mengkonversi data mentah citra satelit gelombang pendek ke kuantitas-kuantitas fisika, sebelum data tersebut digunakan untuk menginterpretasi kondisi lanskap atau obyek di permukaan bumi. Konversi nilai-nilai piksel citra, yang dikenal dengan nilai digital dari piksel (Digital Number, DN), melibatkan beberapa

kuantitas fisika, diantaranya adalah radiansi ( radiances ) baik di tanah ataupun di satelit,

reflektansi ( reflectance ) dan Albedo.

Sebagai contoh, nilai pantulan (reflektansi) dari tanah akan merepresentasikan karakteristik dari jenis permukaan tertentu, dan tidak bergantung pada karakteristik pencahayaan/ iluminasi ( illumination ) maupun karakteristik atmosfer.

Nilai radiansi menunjukkan besarnya energi gelombang elektromagnetik per satuan luas bidang yang terpancar dari suatu obyek. Proses konversi ke nilai radiansi akan mengubah nilai-nilai digital piksel ( bilangan integer, untuk grey scale nilainya antara 0 sampai 255)

menjadi bilangan riil dengan kisaran nilai yang berbeda pada setiap panjang gelombang atau masing-masing band.

Secara visual, citra hasil konversi terhadap DN pada tingkat keabuan (grey scale),

sebenarnya tidak mengalami perubahan rona, akan tetapi hanya DNnya yang berubah. Beberapa pendekatan dapat dipergunakan untuk mengembangkan data spasial DN dengan membentuk kuantitas data fisika.

1.2. Rumusan Masalah

Bagaimanakah komputasi konversi DN ke besaran radiansi, reflektansi dan albedo ?

1.3. Tujuan

Membahas beberapa pendekatan komputasi radiansi, reflektansi dan albedo untuk pengembangan data spasial DN secara fisika.


(6)

BAB II PEMBAHASAN

2.1. Konversi DN Ke Nilai Radiansi Pada Satelit

Sebagai contoh, misalkan untuk Landsat (lihat secara online Landsat Science Data User

Handbook), radiansi pada satelit harus dihitung berdasarkan fungsi kalibrasi instrumennya.

Dalam hal ini besarnya radiansi diekspresikan oleh :

I = a(DN) + b ………...………..(1)

yang mana DN adalah nilai piksel (Digital Number)

a dan b adalah gain dan offset.

Setiap band spektral akan memiliki nilai-nilai gain dan offset yang berbeda. Satuan

radiansi adalah Watts per meter persegi per steradian per mikron ( W m-2sr-1μm-1 ).

2.2. Iluminasi Sinar Surya

Dalam banyak situasi, fluks yang masuk ke dalam suatu celah sempit didominasi oleh sinar radiasi yang datang langsung dari matahari. Kekuatan berkas-berkas sinar matahari tersebut pada masing-masing panjang gelombang dikenal dengan "Irradiansi Spektral Surya" ( S ). Sebagai contoh, yaitu nilai Irradiansi Spektral Surya untuk panjang gelombang pada band 1

dari Landsat ETM adalah S = 1969 Watts per meter persegi per mikrometer ( Wm-2μm-1). Catatan bahwa perhitungan nilai irradiansi dapat diselesaikan secara angular atau tidak bergantung sudut ( tidak "per radian"). Besarnya sudut berkas-berkas radiasi adalah sekitar 0,5244 derajat (sekitar 31 menit), namun nilai ini biasanya tidak diperlukan dalam perhitungan. Nilai irradiansi surya di luar atmosfer bumi berubah sedikit sesuai dengan musim dan orbit bumi yang elips. Irradiansi berbanding terbalik dengan kuadrat jarak bumi-matahari. Jika jarak bumi-matahari meningkat sebesar 1%, maka irradiasi menurun sebesar 2%.

Iluminasi dari permukaan horizontal bumi bergantung pada sudut zenithmatahari (φ) yang diekspresikan oleh persamaan :


(7)

Saat matahari mulai terbenam, iluminasi akan menjadi berkurang, hingga mencapai nol. Jika permukaan pantul miring, maka iluminasi dihitung bukan menggunakan sudut zenith

melainkan menggunakan sudut antara vektor permukaan normal dengan matahari. Suatu contoh, misalnya untuk target hutan kompleks, iluminasi dari daun-daun tertentu mungkin akan sama besarnya dengan Sλ. Akan tetapi iluminasi rata-rata tetap diberikan oleh persamaan (2). Iluminasi hutan pada lereng bukit dapat dihitung dengan persamaan (2) dengan permukaan bukit sebagai vektor normalnya.

2.3. PERMUKAAN LAMBERTIAN

Ketika berkas sinar surya tiba/ menyentuh pada permukaan yang kompleks, maka secara umum radiasi yang dipantulkan dapat dijelaskan oleh medan-medan radiansi, yaitu harus memperhitungkan sudut yang dibentuk oleh medan radiasi. Ini bukan sinar sempit lagi. Deskripsi umum tentang bagaimana permukaan yang kompleks memantulkan radiasi, dijelaskan dalam Bi-directional Reflectance Distribution Function (BRDF). Rasio dari radiansi

yang dipantulkan terhadap irradiansi yang datang diekspresikan oleh : R(θ,,θF,F) = I(θ,)/ F

yang memiliki satuan steradians terbalik. Secara umum terdapat dua sudut, yaitu sudut radiasi yang datang dan sudut radiasi yang dipantulkan. Dalam beberapa kasus, ketika radiasi berada pada medan isotropik, maka seluruh subjek akan lebih mudah memantulkan radiasi.

Menurut asumsi Lambertian (isotropic), radiasi yang dipantulkan tidak bergantung pada sudut pantul dan sudut di mana obyek diterangi (iiluminated). Dalam kasus distribusi radiasi

isotropik (over the upper hemisphere ), irradiansi ke atas berkaitan dengan radiansi ke atas

yang diekspresikan oleh :

Fλ= ∫ Iλ(θ,) cos dΩ……….………. (3) yang mana dΩ adalah sudut solid yang meliputi belahan bumi. Jika radiansi tak bergantung pada sudut puncaknya (zenith angle), maka persamaan (3) akan menjadi :


(8)

Demikian juga R = π-1. Rumus ini cukup terkenal dan banyak digunakan. Dengan

menggunakan persamaan (4), hubungan antara iiradiansi illuminasi dengan radiansi yang dipantulkan diekspresikan oleh :

I = ρF / π………..………(5) yang mana ρ adalah reflektansi spektral. Pemecahan persamaan (5) untuk reflektansi dan dengan menggunakan persamaan (2) akan memberikan :

ρ= πI / F= πd / Scos ……….(6) Ini adalah rumus yang sering ditemukan pada textbooks dan dalam Landsat Science Data Users

Handbook. Kadang-kadang koreksi jarak bumi-matahari diikutsertakan dalam perhitungan.

Jika diketahui irradiasi spektral surya dan radiansi yang dipantulkan, maka persamaan (6) dapat dihitung. Untuk membuktikan asumsi Lambertian, dapat dilakukan dengan meletakkan selembar kertas putih di meja. Kemudian lihatlah kertas tersebut dari sudut yang berbeda. Apakah tampak terjadi perubahan kecerahan ?

2.4. Jalur Radiansi (Path Radiance)

Atmosfir bumi memodifikasi radiansi illuminasi pada objek dan juga memodifikasi radiansi yang dipantulkan ke satelit. Dalam banyak situasi, efek atmosfer yang dominan dalam penginderaan jauh adalah jalur radiansi/ jalan radiasi, hamburan radiasi dari sinar matahari ke arah satelit oleh molekul udara atau oleh partikel-partikel tersuspensi. Berikut adalah asumsi-asumsi yang dapat dibuat ketika kita fokus hanya pada jalur radiansi.

a) Abaikan penyerapan dan emisi radiasi oleh gas

b) Abaikan semua efek pada pencahayaan (illumination) objek

c) Abaikan hamburan radiasi yang dipantulkan diluar tangkapan sensor

d) Anggaplah bahwa hanya hamburan radiasi matahari yang ditangkap oleh sensor.

Jika sebuah objek tampak dalam keadaan terang (misalnya lapangan salju), maka radiasi yang dipantulkan akan intens dan hamburan diluar jalur/jalan radiansi akan melebihi hamburan yang masuk. Sebaliknya, jika sebuah objek gelap (misalnya hutan), radiasi yang dipantulkan


(9)

akan menjadi lemah dan hamburan yang masuk akan melebihi hamburan keluar. Hamburan terbesar terjadi pada benda-benda bumi yang cukup gelap (misalnya tanah, air, vegetasi), kecuali untuk salju (80%) dan pasir yang cerah (50%). Selain itu, kabut juga menyebabkan jalur/jalan radiansi bervariasi dari hari ke hari. Jadi, jika tidak dikoreksi, maka akan melemahkan setiap hasil studi deteksi perubahan. Untuk pendekatan, jalur radiansi dianggap merupakan efek aditif. Radiansi yang diterima di satelit diberikan oleh jumlah radiansi yang dipantulkan ke atas dan jalur radiansi. Jadi, berlaku :

Isat = Isurf + IPR………..(7)

pada setiap panjang gelombang (subscript lambda dihilangkan). Jalur radiansi akan tergantung pada kekuatan iluminasi/ pencahayaan dan kerapatan hamburan partikel di bidang pandang.

2.5. Efek Iluminasi, Gains, Offset Dan Jalur Radiansi Dalam Penginderaan Jauh

Seringkali dianggap bahwa aspek-aspek kalibrasi sensor tidak akan menimbulkan masalah jika kita selalu menggunakan rasio band, peningkatan kontras ataupun metode klasifikasi.

Beberapa hal dapat dipakai menyelidiki kondisi ini, yaitu (Song et al., 2001) :

a. Normalized Diference Vegetasi Index (NDVI)

Anggaplah kuantitas pertama yang dinormalisasi adalah NDVI. Jika dinyatakan dalam bentuk reflektansi permukaan, maka NDVI dapat ditulis :

1 2 1 2       

NDVI ………(8)

Sepertinya kuantitas ini dapat ditentukan dengan menggunakan spektrometer portabel. Akan tetapi, dapatkah nilai ini ditentukan dengan menggunakan data satelit ? Apakah kuantitas ini yang harus dimasukkan dalam rumus: DN, radiansi di tanah atau radiansi di-satelit? Jika kita menggunakan persamaan (1) dan (6) serta faktor π (pi) diabaikan, maka persamaan (8) menjadi :

…..… (9)

Persamaan (9) mengidentifikasi keadaan khusus yang mana nilai-nilai DN dapat digunakan untuk memperoleh nilai kuantitatif NDVI: tidak ada jalur radiansi atau offset dan


(10)

gain atau iluminasi yang sama. Hanya dalam hal ini mau tidak mau NDVI dari persamaan (8, 9) akan sama dengan :

1 2 1 2 DN DN DN DN NDVI  

 ………(10)

Dalam kondisi tertentu, NDVI dari permukaan yang identik harus tetap konstan dari waktu ke waktu. Seperti dengan pendefinisian sebelumnya, setidaknya memungkinkan melakukan perubahan NDVI. Jika NDVI didefinisikan dikalibrasi dengan reflektifitas pada-satelit (Isat),

maka dengan menggunakan persamaan (7), NDVI akan menjadi :

..……….. (11) Sekarang, jika diasumsikan Isurf dan IPR sebanding dengan irradiasi iluminasi, demikian

juga Isurf2 = ρ2 F2 dan IPR2 = h2 F2, maka kita mendapatkan :

 

 

1 1 2 2 1 1 2 2

h

h

h

h

NDVI

………(12)

dimana h adalah beberapa ukuran dari kerapatan kabut (haze density) dan efisiensi hamburan.

Menurut persamaan (12), definisi NDVI pada persamaan (11) memberikan nilai yang bervariasi dan bergantung pada iluminasi. Perubahan nilai h mengakibatkan NDVI berubah. Jika jalan/ jalur radiasi diabaikan (misalnya h = 0, hari yang cerah), maka persamaan (12) kembali ke persamaan (8).

Masalah khusus muncul dengan awan. Dalam awan atau bayangan gunung misalnya, NDVI dapat bergeser (berkurang) karena iluminasi skylight piksel lebih banyak dalam cahaya

biru, dan sangat kurang dalam NIR.

b. Peregangan Kontras

Dapatkah prosedur peregangan kontras mengoreksi iluminasi, gain, offset dan jalur radiansi/ jalan cahaya yang belum diketahui ? Ya dapat, pada prinsipnya!. Setiap transformasi linear pada radiansi (seperti menambahkan jalan cahaya persamaan (7)) atau dalam mengkonversi nilai DN Radiance (gain dan offset, persamaan (1)) dapat dengan mudah dihilangkan oleh peregangan kontras linier yang sesuai. Jadi, misalnya, citra yang diambil


(11)

dalam suasana yang ada kabut atmosfer, dapat ditampilkan seperti tanpa kabut dengan menggunakan peregangan kontras. Dalam hal ini, diasumsikan bahwa resolusi radiometrik dan nilai saturasi sensor, dapat mencegah terjadinya kehilangan informasi dengan transformasi aslinya. Peranan mata juga diperlukan, harus bisa menyesuaikan peregangan kontras yang menggunakan nilai-nilai tertentu untuk mengimbangi faktor-faktor lingkungan maupun instrumennya.

c. Klasifikasi

Sekarang kita mempertimbangkan dampak dari suatu transformasi linear pada klasifikasi (Song et al., 2001). Sebagaimana transformasi linear yang hanya akan menggeser dan meregangkan titik pada diagram pencar ( scatter diagram ), hasil dari banyak algoritma

klasifikasi tidak akan demikian. Sebagai contoh, pertimbangkanlah suatu algoritma maximum

likelihood. Seperti menormalkan, jarak Euclidean antara piksel-piksel dengan varians dihitung

dengan cara Euclidean yang sama, dan hasil klasifikasi tidak akan diubah oleh suatu

transformasi linear ( shift atau peregangan).

2.6. Penggunaan Area Referensi

Ketika radiansi di-tanah atau data reflektansi tidak tersedia, daerah/ area referensi kadang-kadang dapat digunakan untuk mengembangkan hasil kuantitatif penginderaan jauh. Sebagai contoh:

a. Dark Object Substraction (DOS)

Sebuah piksel gelap/ hitam didefinisikan sebagai piksel yang memiliki reflektansi nol pada salah satu atau semua band ( Iref = 0). Sesuai dengan persamaan (7), maka untuk suatu piksel

gelap akan diperoleh :

Isat = IPR………..(13)

Dengan mendefinisikan Idark = Isat untuk piksel tersebut, maka nilai-nilai radiansi lainnya

dalam suatu scene dapat dikoreksi dengan menggunakan :


(12)

Jika iluminasi di tanah diketahui, maka reflektansi di tanah dapat dihitung dengan persamaan (14) dan (6). Bintik-bintik hitam merupakan air jernih yang dalam, hutan lebat, bayangan awan/ kabut dan pembakaran biomassa. Bahkan akan lebih baik bila terjadi bayangan awan di atas air jernih yang dalam atau hutan yang gelap.

b. Dark Spot / Scaling White Spot Untuk Mendapatkan Reflektansi

Jika gelap sempurna (DND) dan bintik putih (DNW) teridentifikasi, maka nilai DN untuk

piksel lainnya dapat dikonversi ke nilai reflektansi menggunakan persamaan :

D W

D

DN DN

DN DN

  

 ………(15)

Untuk memperoleh persamaan (15), gunakan persamaan (1), (6) dan (14), sehingga reflektansi untuk ketiga piksel diekspresikan sebagai :

………...(16) ……….(17)

………...(18) Persamaan (17) memberikan b – IPR = – aDND. Substitusi persamaan (17) ke (18)

memberikan a(DNW = DND) = F/ π. Penerapan kedua ekspresi (17) dan (18) untuk persamaan

(16) akan menghasilkan persamaan (15). Perhatikan bahwa, jika dua piksel referensi tidak hitam dan putih sempurna, tetapi reflektansinya diketahui, maka didapat rumus seperti persamaan (15).

Dalam prakteknya, sulit untuk menemukan piksel dengan reflektansi yang sempurna. Pilihan terbaik dalam interval tampak akan menjadi awan yang sangat tebal. Hal ini berlaku juga untuk salju yang bersih. Dalam daerah tampak, reflektansi yang dapat melebihi 90%, tetapi menurun dengan cepat di daerah NIR. Sulit untuk menemukan permukaan alami yang memiliki reflektansi melebihi 70% di NIR, sehingga persamaan (15) mungkin akan bekerja lebih baik dalam VIS daripada di NIR. Sedikit masalah dengan Landsat (dan kadang-kadang


(13)

MODIS) adalah bahwa sensor akan jenuh (misalnya DN = 255) untuk piksel yang sangat reflektif. Piksel ini terlalu terang untuk sensor. Jadi tidak ada piksel dengan reflektansi yang mendekati sempurna yang ada pada citra.

c. Daerah Referensi Untuk Deteksi Perubahan

Ketika membandingkan dua citra yang diambil pada tanggal yang berbeda, mungkin akan terjadi perbedaan jalan sinar / jalur radiansi akibat adanya kabut. Selain itu, pencahayaan (illumination) mungkin juga akan berbeda karena sudut matahari yang berbeda.

Perbedaan-perbedaan ini akan mengakibatkan beberapa kesalahan dalam teknik deteksi perubahan. Perbedaan ini dapat dihapus jika dua daerah invarian dapat diidentifikasi dalam scene. Kita

mungkin memilih danau, hutan berdaun jarum atau bidang kerikil kering.

Untuk menghindari kesalahan numerik, dua daerah harus dipergunakan sebagai referensi spektral yang mungkin berbeda (namun tetap invarian). Jika kita mendefinisikan dua nilai invariant DN sebagai DN1 dan DN2, maka nilai DN skala diberikan oleh :

1 2 1 DN DN DN DN DNsca led

 

 ………...(19)

Jika DN2 > DN1, maka piksel yang lebih cerah dari piksel 2 akan memiliki nilai DN skala yang lebih besar daripada satu. Sebuah piksel yang lebih gelap dari piksel 1, akan memiliki nilai DN skala kurang dari nol. Ketika layer-layer nilai DN skala dihitung untuk setiap scene,

maka mereka dapat dibandingkan untuk mendeteksi perubahan. Dengan metode ini, nilai-nilai DN skala pada dua piksel referensi tidak akan berubah antara dua tanggal tersebut (misalkan 0 dan 1). Metode tambahan untuk deteksi perubahan dapat juga dilihat pada Song et al, 2001.

2.7. Albedo

Albedo merupakan kuantitas yang penting dalam teori iklim. Albedo didefinisikan sebagai rasio dari total irradiasi yang dipantulkan terhadap irradiasi yang datang. Secara matematis besaran albedo dapat diekspresikan sebagai :

Albedo = total irradiasi yang dipantulkan / total iiradiasi yang datang……..…(20) Di lapangan, pengukuran yang akurat dari Albedo akan memerlukan dua hemispheric


(14)

irradiansi yang ke bawah atau ke atas (insiden/ yang datang atau dipantulkan) dapat dihitung dengan rumus :

F = ∫ ∫ Icos dd……….(21) Dalam aplikasi cuaca, penentuan pola global Albedo dilakukan menggunakan data satelit. Sebetulnya hal ini sulit dilakukan, karena dua alasan (Liang dan Strahler, 1999). Pertama, satelit hanya mengukur reflektansi dalam beberapa band spektral sempit. Untuk Albedo, perlu reflektansi di semua panjang gelombang di mana matahari bersinar. Kedua, satelit biasanya mengukur reflektansi hanya pada satu sudut datang, dan satu sudut pantul. Jika permukaan itu Lambertian, ini berarti satu sudut saja sudah cukup. Namun, asumsi dari permukaan Lambertian tidak cukup akurat untuk beberapa perhitungan Albedo. Masalah ketiga dapat timbul dalam kaitannya dengan sudut. Dalam dunia nyata, sifat sudut iluminasi/ pencahayaan dapat bervariasi dari jam ke jam. Jika langit cerah, radiasi yang datang/ insiden akan menyentuh permukaan bumi dengan berkas sempit sinar matahari. Jika langit berawan, radiasi yang datang/ insiden akan menyebar, hampir isotropik. Dalam kasus yang terakhir ini, satelit tidak akan bisa digunakan untuk mengamati proses reflektif. Namun masalah ini dapat diatasi.

Bi-directional Reflection Distribution Function (BRDF) yang mendeskripsikan reflektansi

sebagai fungsi dari sudut datang/insiden dan sudut refleksi, merupakan properti konstan dari permukaan tanah setempat. Ini adalah invarian dalam perubahan kondisi iluminasi/ pencahayaan. Jika hal ini dapat disimpulkan dari pengukuran multi-sudut satelit selama hari-hari langit cerah, maka Albedo total dapat dihitung untuk setiap distribusi sudut radiasi yang datang.

Keadaan khusus untuk Albedo :

• Dark Sky Albedo: Albedo permukaan di bawah kondisi iluminasi matahari langsung

• White Sky Albedo: Albedo permukaan di bawah kondisi iluminasi difusi isotropik Jika kedua medan Albedo dikenal secara global, maka Albedo aktual untuk setiap situasi meteorologi dapat ditentukan dengan interpolasi (Schaaf et al., 2002).


(15)

BAB III PENUTUP 3.1. Kesimpulan

Dari pembahasan mengenai konversi nilai digital piksel (DN) citra satelit ke besaran radiansi, reflektansi dan albedo dapat disimpulkan bahwa :

Komputasi konversi DN ke besaran fisika bergantung pada beberapa hal, yaitu nilai piksel citra dan faktor kalibrasi instrumennya, kondisi sinar matahari sebagai sumber energi, permukaan dan sudut pantul, jalur radiansi dan kondisi atmosfer.

3.2. Saran

Untuk pengembangan, disarankan memberikan lebih banyak contoh aplikasi yang khusus dan lebih detail terkait dengan masalah konversi nilai piksel.


(16)

DAFTAR PUSTAKA

Liang, S., A.H. Strahler, C. Waltall, 1999, Retrieval of Land Surface Albedo from Satellite Observations: A simulation study, J. Appl. Met., 38, 713-725

Rees, W.G., 2001, Physical principles of remote sensing, Cambridge, 343p

Schaaf. C.B. et al., 2002, First operational BRDF, albedo nadir reflectance products from MODIS, Remote, Sens. Envir., 83, 135-148

Song, C., et al., 2001, Classification and change detection using Landsat TM data: When and How to correct atmospheric effects, Remote Sensing of Environment, 75, 230-244


(1)

dalam suasana yang ada kabut atmosfer, dapat ditampilkan seperti tanpa kabut dengan menggunakan peregangan kontras. Dalam hal ini, diasumsikan bahwa resolusi radiometrik dan nilai saturasi sensor, dapat mencegah terjadinya kehilangan informasi dengan transformasi aslinya. Peranan mata juga diperlukan, harus bisa menyesuaikan peregangan kontras yang menggunakan nilai-nilai tertentu untuk mengimbangi faktor-faktor lingkungan maupun instrumennya.

c. Klasifikasi

Sekarang kita mempertimbangkan dampak dari suatu transformasi linear pada klasifikasi (Song et al., 2001). Sebagaimana transformasi linear yang hanya akan menggeser dan meregangkan titik pada diagram pencar ( scatter diagram ), hasil dari banyak algoritma klasifikasi tidak akan demikian. Sebagai contoh, pertimbangkanlah suatu algoritma maximum likelihood. Seperti menormalkan, jarak Euclidean antara piksel-piksel dengan varians dihitung dengan cara Euclidean yang sama, dan hasil klasifikasi tidak akan diubah oleh suatu transformasi linear ( shift atau peregangan).

2.6. Penggunaan Area Referensi

Ketika radiansi di-tanah atau data reflektansi tidak tersedia, daerah/ area referensi kadang-kadang dapat digunakan untuk mengembangkan hasil kuantitatif penginderaan jauh. Sebagai contoh:

a. Dark Object Substraction (DOS)

Sebuah piksel gelap/ hitam didefinisikan sebagai piksel yang memiliki reflektansi nol pada salah satu atau semua band ( Iref = 0). Sesuai dengan persamaan (7), maka untuk suatu piksel

gelap akan diperoleh :

Isat = IPR………..(13)

Dengan mendefinisikan Idark = Isat untuk piksel tersebut, maka nilai-nilai radiansi lainnya

dalam suatu scene dapat dikoreksi dengan menggunakan :


(2)

Jika iluminasi di tanah diketahui, maka reflektansi di tanah dapat dihitung dengan persamaan (14) dan (6). Bintik-bintik hitam merupakan air jernih yang dalam, hutan lebat, bayangan awan/ kabut dan pembakaran biomassa. Bahkan akan lebih baik bila terjadi bayangan awan di atas air jernih yang dalam atau hutan yang gelap.

b. Dark Spot / Scaling White Spot Untuk Mendapatkan Reflektansi

Jika gelap sempurna (DND) dan bintik putih (DNW) teridentifikasi, maka nilai DN untuk

piksel lainnya dapat dikonversi ke nilai reflektansi menggunakan persamaan :

D W

D DN DN

DN DN

  

 ………(15)

Untuk memperoleh persamaan (15), gunakan persamaan (1), (6) dan (14), sehingga reflektansi untuk ketiga piksel diekspresikan sebagai :

………...(16) ……….(17)

………...(18) Persamaan (17) memberikan b – IPR = – aDND. Substitusi persamaan (17) ke (18)

memberikan a(DNW = DND) = F/ π. Penerapan kedua ekspresi (17) dan (18) untuk persamaan

(16) akan menghasilkan persamaan (15). Perhatikan bahwa, jika dua piksel referensi tidak hitam dan putih sempurna, tetapi reflektansinya diketahui, maka didapat rumus seperti persamaan (15).

Dalam prakteknya, sulit untuk menemukan piksel dengan reflektansi yang sempurna. Pilihan terbaik dalam interval tampak akan menjadi awan yang sangat tebal. Hal ini berlaku juga untuk salju yang bersih. Dalam daerah tampak, reflektansi yang dapat melebihi 90%, tetapi menurun dengan cepat di daerah NIR. Sulit untuk menemukan permukaan alami yang memiliki reflektansi melebihi 70% di NIR, sehingga persamaan (15) mungkin akan bekerja lebih baik dalam VIS daripada di NIR. Sedikit masalah dengan Landsat (dan kadang-kadang


(3)

MODIS) adalah bahwa sensor akan jenuh (misalnya DN = 255) untuk piksel yang sangat reflektif. Piksel ini terlalu terang untuk sensor. Jadi tidak ada piksel dengan reflektansi yang mendekati sempurna yang ada pada citra.

c. Daerah Referensi Untuk Deteksi Perubahan

Ketika membandingkan dua citra yang diambil pada tanggal yang berbeda, mungkin akan terjadi perbedaan jalan sinar / jalur radiansi akibat adanya kabut. Selain itu, pencahayaan (illumination) mungkin juga akan berbeda karena sudut matahari yang berbeda. Perbedaan-perbedaan ini akan mengakibatkan beberapa kesalahan dalam teknik deteksi perubahan. Perbedaan ini dapat dihapus jika dua daerah invarian dapat diidentifikasi dalam scene. Kita mungkin memilih danau, hutan berdaun jarum atau bidang kerikil kering.

Untuk menghindari kesalahan numerik, dua daerah harus dipergunakan sebagai referensi spektral yang mungkin berbeda (namun tetap invarian). Jika kita mendefinisikan dua nilai invariant DN sebagai DN1 dan DN2, maka nilai DN skala diberikan oleh :

1 2 1 DN DN DN DN DNsca led

 

 ………...(19)

Jika DN2 > DN1, maka piksel yang lebih cerah dari piksel 2 akan memiliki nilai DN skala yang lebih besar daripada satu. Sebuah piksel yang lebih gelap dari piksel 1, akan memiliki nilai DN skala kurang dari nol. Ketika layer-layer nilai DN skala dihitung untuk setiap scene, maka mereka dapat dibandingkan untuk mendeteksi perubahan. Dengan metode ini, nilai-nilai DN skala pada dua piksel referensi tidak akan berubah antara dua tanggal tersebut (misalkan 0 dan 1). Metode tambahan untuk deteksi perubahan dapat juga dilihat pada Song et al, 2001. 2.7. Albedo

Albedo merupakan kuantitas yang penting dalam teori iklim. Albedo didefinisikan sebagai rasio dari total irradiasi yang dipantulkan terhadap irradiasi yang datang. Secara matematis besaran albedo dapat diekspresikan sebagai :

Albedo = total irradiasi yang dipantulkan / total iiradiasi yang datang……..…(20) Di lapangan, pengukuran yang akurat dari Albedo akan memerlukan dua hemispheric receivers, yang mengumpulkan data dari semua sudut dan semua panjang gelombang. Total


(4)

irradiansi yang ke bawah atau ke atas (insiden/ yang datang atau dipantulkan) dapat dihitung dengan rumus :

F = ∫ ∫ Icos dd……….(21) Dalam aplikasi cuaca, penentuan pola global Albedo dilakukan menggunakan data satelit. Sebetulnya hal ini sulit dilakukan, karena dua alasan (Liang dan Strahler, 1999). Pertama, satelit hanya mengukur reflektansi dalam beberapa band spektral sempit. Untuk Albedo, perlu reflektansi di semua panjang gelombang di mana matahari bersinar. Kedua, satelit biasanya mengukur reflektansi hanya pada satu sudut datang, dan satu sudut pantul. Jika permukaan itu Lambertian, ini berarti satu sudut saja sudah cukup. Namun, asumsi dari permukaan Lambertian tidak cukup akurat untuk beberapa perhitungan Albedo. Masalah ketiga dapat timbul dalam kaitannya dengan sudut. Dalam dunia nyata, sifat sudut iluminasi/ pencahayaan dapat bervariasi dari jam ke jam. Jika langit cerah, radiasi yang datang/ insiden akan menyentuh permukaan bumi dengan berkas sempit sinar matahari. Jika langit berawan, radiasi yang datang/ insiden akan menyebar, hampir isotropik. Dalam kasus yang terakhir ini, satelit tidak akan bisa digunakan untuk mengamati proses reflektif. Namun masalah ini dapat diatasi. Bi-directional Reflection Distribution Function (BRDF) yang mendeskripsikan reflektansi sebagai fungsi dari sudut datang/insiden dan sudut refleksi, merupakan properti konstan dari permukaan tanah setempat. Ini adalah invarian dalam perubahan kondisi iluminasi/ pencahayaan. Jika hal ini dapat disimpulkan dari pengukuran multi-sudut satelit selama hari-hari langit cerah, maka Albedo total dapat dihitung untuk setiap distribusi sudut radiasi yang datang.

Keadaan khusus untuk Albedo :

• Dark Sky Albedo: Albedo permukaan di bawah kondisi iluminasi matahari langsung

• White Sky Albedo: Albedo permukaan di bawah kondisi iluminasi difusi isotropik Jika kedua medan Albedo dikenal secara global, maka Albedo aktual untuk setiap situasi meteorologi dapat ditentukan dengan interpolasi (Schaaf et al., 2002).


(5)

BAB III PENUTUP 3.1. Kesimpulan

Dari pembahasan mengenai konversi nilai digital piksel (DN) citra satelit ke besaran radiansi, reflektansi dan albedo dapat disimpulkan bahwa :

Komputasi konversi DN ke besaran fisika bergantung pada beberapa hal, yaitu nilai piksel citra dan faktor kalibrasi instrumennya, kondisi sinar matahari sebagai sumber energi, permukaan dan sudut pantul, jalur radiansi dan kondisi atmosfer.

3.2. Saran

Untuk pengembangan, disarankan memberikan lebih banyak contoh aplikasi yang khusus dan lebih detail terkait dengan masalah konversi nilai piksel.


(6)

DAFTAR PUSTAKA

Liang, S., A.H. Strahler, C. Waltall, 1999, Retrieval of Land Surface Albedo from Satellite Observations: A simulation study, J. Appl. Met., 38, 713-725

Rees, W.G., 2001, Physical principles of remote sensing, Cambridge, 343p

Schaaf. C.B. et al., 2002, First operational BRDF, albedo nadir reflectance products from MODIS, Remote, Sens. Envir., 83, 135-148

Song, C., et al., 2001, Classification and change detection using Landsat TM data: When and How to correct atmospheric effects, Remote Sensing of Environment, 75, 230-244