ANAK KANDUNG MENJADI WALI NIKAH IBU : ANALISIS HADIS SUNAN AL-NASA’I NO. INDEKS 5396.

(1)

ANAK KANDUNG MENJADI WALI NIKAH IBU

(Analisis Hadis Sunan al-Nasa>

’i

No. Indeks 5396)

Skripsi:

Disusun untuk Memenuhi Tugas Akhir Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S-1) dalam Ilmu Ushuluddin dan Filsafat

Oleh:

IMAM HASANUDIN NIM : E03212054

JURUSAN ILMU AL-QURAN DAN TAFSIR FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA 2016


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

x ABSTRAK

Hasanudin, Imam. 2016. Anak Kandung Menjadi Wali Nikah Ibu (Analisis Hadith al-Nasa>’i No Indeks 5396). Skripsi, Jurusan Tafsir Hadis, Fakultas Ushuluddin dan filsafat, Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel Surabaya, Prof. Zainul Arifin, MA.

Kata Kunci: Anak kandung, wali nikah ibu, hadith nabi

Anak kandung menjadi wali nikah ibu merupakan permasalahan yang masih diperselisihkan oleh para ulama. Jumhur ulama (madzhab Hanafi, Maliki, dan Hanbali) dan Imam al-Muzani dari kalangan Syafi‟iyyah memperbolehkan

seorang anak menjadi wali nikah ibu. Berbeda dengan pandangan imam Syafi‟i

dan ulama-ulama yang berafiliasi kepada madzhab Syafi‟i yang tidak memperbolehkan seorang anak menjadi wali nikah ibunya kecuali anak tersebut kedudukannya sebagai anak anaknya paman (ibn ibni ammiha), orang yang memerdekakan, hakim atau penghulu, dan wakil dari walinya ibu.

Mengingat kedua pendapat di atas sama-sama berangkat dari interpretasi yang berbeda terhadap hadis Nabi yang salah satunya adalah hadith yang berbunyi ر ع اي هجو ف ه لوسر جو ف مق maka penelitian ini diarahkan pada tiga kajian pokok yaitu menyangkut validitas keshahihan hadis هجو ف ه لوسر جو ف مق ر ع اي dalam tinjauan ilmu hadis, begitu juga mengenai kandungan dan implikasi hukum yang dapat ditimbulkan dari pemahaman terhadap hadith tersebut.

Dengan demikian, maka penelitian ini termasuk ke dalam kategori penelitian perpustakaan (library research), tentu saja data-data yang dibutuhkan berupa literatur yang mempunyai relevansi terhadap tema kajian dengan menggunakan metode dokumentasi, yakni metode pengumpulan data melalui penelusuran terhadap data-data kepustakaan, baik yang berupa sumber data primer, sekunder, atau bahkan data-data yang bersifat tersier. Kemudian data tersebut dipahami dengan menggunakan pendekatan historis, tekstual, dan kontekstual. Pendekatan historis digunakan untuk melihat sisi validitas hadis هجو ف ه لوسر جو ف مق ر ع اي dari sisi sanad maupun matannya. Sementara analisis tekstual digunakan untuk memberikan pemaknaan terhadap hadis yang dimaksudkan dari sisi redaksi maupun gramatikanya, sedangkan analisis kontekstual dimaksudkan sebagai pisau analisis untuk menelaah setting historis pada saat hadis هجو ف ه لوسر جو ف مق ر ع اي disabdakan oleh Nabi Muhammad Saw.

Melalui tiga pendekatan di atas, diperoleh kesimpulan bahwa hadis tentang anak kandung menjadi wali nikah ibu yang dalam hal ini adalah hadis yang


(7)

berbunyiهجو ف ه لوسر جو ف مق ر ع اي kesahihannya masih diperselisihkan oleh para ulama. Imam al-Nasa>‟i misalnya, mengatakan bahwa hadis tersebut bernilai sahih dan dapat dijadikan sebagai hujjah. Sementara Nashiruddin al-Albani mengatakan hadis tersebut merupakan hadis majhul dan bernilai dha‟if dan tidak dapat dijadikan sebagai hujjah. Menurut saya sendiri hadis ini adalah hasan, karena ada satu perawi yang dinilai tidak tsiqah. Sedangkan kandungan hukum dalam hadis tersebut adalah bahwa seorang anak boleh menjadi wali nikah ibunya menurut madzhab Hanafi, Maliki, dan Hanbali. Sementara menurut ma{hab Syafi‟i, anak tidak boleh menjadi wali nikah ibu kecuali anak tersebut kedudukannya sebagai anak anaknya paman (ibnu ibni ‘ammiha), orang yang memerdekakan, hakim atau penghulu, dan wakil dari walinya ibu. Dan implikasi hukum dari hadis tersebut dengan zaman sekarang adalah bahwa mengingat hukum yang dipakai di Indonesia mayoritas adalah madzhab Syafi‟i dan dalam permasalahan ini madzhab

Syafi‟i tidak melarang secara mutlak anak menjadi wali nikah ibu, maka hendaknya pemerintah membuat “pasal baru” yang mengatur tentang anak

menjadi wali nikah ibu. Hal ini karena dimungkinkan ada seseorang menikahi saudara sepupu dari jalur ayah dan mempunyai anak laki-laki. Kemudian suami wanita tersebut meninggal dan wanita tersebut ingin menikah lagi namun ia tidak mempunyai wali kecuali anaknya, maka dalam hal ini yang bertindak sebagai wali adalah anaknya karena kedudukannya sebagai as{abah (ibnu ibni ‘ammiha) bukan sebagai anak.


(8)

xii

DAFTAR ISI

SAMPUL DALAM ... i

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

PENGESAHAN SKRIPSI ... iii

PERNYATAAN KEASLIAN ... iv

MOTTO ... v

PERSEMBAHAN ... vi

PEDOMAN TRANSLITERASI ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

ABSTRAK ... x

DAFTAR ISI ... xii

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Identifikasi Masalah dan Batasan Masalah ... 8

C. Rumusan Masalah ... 9

D. Tujuan Penelitian ... 10

E. Kegunaan Penelitian ... 10

F. Kajian Pustaka ... 11

G. Penegasan Judul ... 11

H. Metode Penelitian ... 13

I. Sistematika Pembahasan ... .... 17

BAB II : HADIS NABAWI SERTA PANDANGAN ANAK MENJADI WALI NIKAH IBU A.Hadis ... 19

B. Kritik Hadis: Perspektif Definitif-Historis ... 21

C. Kritik Sanad dan Standarisasi Keshahihan ... 29


(9)

E. Unsur Metodologis Dalam Kritik Hadis ... 46

F. Pendekatan Dalam Kritik dan Fiqh al-Hadis ... 55

G.Tinjauan Hukum Terhadap Status Anak Menjadi Wali Nikah Ibu 59 BAB III : IMAM AL-NASA’I DAN HADIS TENTANG ANAK KANDUNG MENJADI WALI NIKAH IBU A.Biografi Imam al-Nasa’i ... 86

B. Hadith Tentang Anak Kandung Menjadi Wali Nikah Ibu ... 96

C. Takhrij al-Hadis ... 97

D.Skema Sanad Hadis ... 100

E. I‟tibar al-Sanad ... 102

F. Data Biografi Perawi Hadis Tentang Anak Kandung Menjadi Wali Nikah Ibu ... 103

BAB IV : ANALISIS VALIDITAS HADIS TENTANG ANAK KANDUNG MENJADI WALI NIKAH IBU NO. INDEKS 5396 ... A.Analisis Kualitas Hadis Anak Kandung Menjadi Wali Nikah Ibu ... 112

B. Analisis Kandungan Hadis Anak Kandung Menjadi Wali Nikah Ibu ... 124

C. Analisis Implikasi Hukum Hadis Anak Kadung Menjadi Wali Nikah Ibu ... ... 127

BAB V : PENUTUP A.Kesimpulan ... 130

B. Saran ... ... 131


(10)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Islam adalah agama yang komprehensif yang mengatur segala aspek kehidupan baik yang berhubungan dengan dimensi individual maupun dimensi sosial, vertikal maupun horizontal, dunia maupun akhirat. Semua ajaran dalam Islam bersumber dari

dua asas dasar yaitu al-Qur‟an dan al-Hadis.

Syari‟at Islam merupakan bentuk rahmat dan kemas{lahatan yang diperuntukkan

bagi manusia baik di dunia maupun di akhirat. Dan semua hukum-hukum syari‟at

selalu didasarkan pada kemaslahatan manusia. Hal ini sesuai dengan tujuan awal dari

diutusnya Rasulullah SAW yaitu sebagai rahmat bagi semesta alam, sebagaimana yang difirmankan Allah dalam surat al-Anbiya‟: 107

َْيِمَلاَعْلِل ًةََْْر اِّإ َكاَْلَسْرَا اَمَو

.1

“Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) kecuali sebagai rahmat bagi seluruh alam.”

Al-„Allamah al-Qurt{ubi mengatakan: “ tidak ada pertentangan diantara

orang-orang yang berakal bahwa shari‟at para nabi bertujuan untuk kemas{lahatan makhluk,

baik yang berhubungan dengan agama maupun dunia.”2

1QS. Al-Anbiya (21): 107.


(11)

2

Hal senada juga disampaikan oleh Imam al-Shat{ibi dalam kitabnya

“al-Muwafaqat”:

ٍقاَفِ تاِب ِحِلاَصَمْلا ِراَبِتْعا ىَلَع َةَعْ يِراشلا َعَضَو ُعِرااشلا

3

“Shari‟ (Allah dan Rasul-Nya) meletakkan shari‟ah berdasarkan atas

kemaslahatan menurut kesepakatan para ulama.”

Menurut Imam al-Ghazali, tujuan dari penshari‟atan itu ada lima yaitu menjaga

agama (hifz{ al-di<n), menjaga jiwa (hifz{ al-nafs), menjaga akal (hifz{ al-„aql), menjaga

keturunan (hifz{ al-nasl), dan menjaga harta (hifz{ al-ma>l). Oleh karena itu segala

sesuatu yang memuat atas terjaganya kelima dasar tersebut dinamakan maslahah. Dan

segala sesuatu yang bisa menyebabkan ketiadaanya disebut mafsadah, dan

menghilangkan mafsadah merupakan bentuk dari kemaslahatan.4

Dari keterangan di atas dapat diketahui bahwa menjaga keturunan (hifz{ al-nasl)

merupakan salah satu dari tujuan penshari‟atan ( al-maqas{id shar‟iyyah

al-Khamsah). Dan demi terjaganya keturunan, Islam telah menshari‟atkan pernikahan

dan mengharamkan zina. Hal ini dimaksudkan untuk kemas{lahatan manusia itu

sendiri, yaitu demi kelangsungan hidupnya di dunia dan untuk mengharap ridha Allah SWT.

2 Abu Abdillah Muhammad ibn Ahmad al-Qurthubi, al-Jami‟ li Ahkam al-Qur‟an, (Riyadh:

Dar „Alam al-Kutub, 2003), jilid II: 64.

3 Al-Syathibi, al-Muwafaqat, (Madinah: Da>r Ibni Affan, 1997), jilid I: 221

4 Muhammad ibn Muhammad al-Ghazali, al-Mustashfa fi „Ilmi al-Ushul, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1413), 147


(12)

3

Dengan disyari‟atkannya pernikahan, maka akan diketahui nasab dari seseorang,

apakah dinisbatkan kepada si fulan ataukah kepada si fulan yang lain. Dan hal ini berbeda dengan zina.

Dalam masalah pernikahan tentu tidak bisa lepas dari syarat dan rukun. Dan diantara syarat sah nikah adalah wali. Abdurrahman al-Jaziri mendevinisikan wali nikah sebagai berikut:

ِِنْوُدِب ُحِصَي َََف ِدْقَعْلا ُةاحِص ِْيَلَع ُفاقَوَ تَ ي ْيِذالا َوُ ِحاَكِلا ِِ َُِِوْلَا

5

“Wali nikah adalah sesuatu yang menjadikan sahnya suatu akad, maka akad dipandang tidak sah tanpa adanya sesuatu tersebut.”

Terlepas dari pendapat Imam Abu Hanifah, wali nikah merupakan suatu hal yang harus ada dalam akad nikah. Oleh karena itu nikah tanpa wali menurut jumhur ulama dipandang tidak sah.

Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam kitab-kitab fiqh, bahwa wali nikah itu

ada yang disepakati (mujma‟ alaih) seperti ayah, kakek, dan saudara laki-laki

kandung. Dan ada pula yang diperselisihkan (mukhtalaf fih) seperti anak.

Dalam masalah anak menjadi wali nikah, para ulama berbeda pendapat. Maz{hab

Syafi‟i menjelaskan bahwa seorang anak tidak bisa menjadi wali nikah ibunya,

sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Syafi‟i dalam kitab al-Umm.

ِو َََف ٍدَلَو ُدَلَو وأ ٌدَلَو ِةَجاوَزُمْلِل ناك ْنِإَو ِبَْْا ِلَبِق نم اّإ ِحاَكِلا ي ِةَباَرَقْلِل َةَي َِّو َّ

مه َةَي َّ

اَِِ اهيف

ةَبَصَعْلاِب ُةَي َِّوْلا مه َنوُكَتَ ف ًةَبَصَع اوُنوُكَي ْنَأ اّإ ٍل

6

5Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqh „ala al-Madh>ahib al-Arba‟ah, (Beirut: Da>r Kutub al-Islamiyah, tt), 29


(13)

4

“Tidak ada perwalian dalam nikah bagi kerabat kecuali dari silsilah ayah. Jika wanita yang dinikahi mempunyai anak atau cucu, maka sama sekali tidak ada perwalian bagi mereka kecuali mereka menjadi waris „ashabah, maka mereka berhak menjadi wali sebab „ashabah tersebut.”

Begitu juga yang terdapat dalam Hashiyah Bujayrami diterangkan:

ِةَث ََاثلا ِةامِئَْْا َعَم ِ َِِزُمْلِل اًف ََِخ ) ُامُأ ٌنْبا ُجِوَزُ ي ََّو ُُلْوَ ق (

7

“perkataan mus{annif: anak tidak boleh menjadi wali nikah ibunya, hal ini

berbeda dengan pendapat al-Muzani dan imam ketiga maz{hab (Hanafi, Maliki,

Hanbali).”

Sedangkan menurut selain maz{hab Syafi‟i, seorang anak itu bisa menjadi wali

nikah ibunya, sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibn Syihab dari kalangan Malikiyah,

ْمُهْ ِم ، ٍضْعَ ب ْنِم اَِِ ُدَعْ قَأ ْمُهُضْعَ بَو ْمُهُلُك اًروُضُح اَُؤاَيِلْوَأ ُنوُكَي َةَأْرَمْلا َتْيَأَرَأ : ُتْلُ ق

ْلا

ُمَع

ْوَْْا ُرِئاَسَو اَُدَلَو َرَكْنَأَف ، ُمَعْلا اَهَجاوَزَ ف ، ُُسْفَ ن ُدَلَوْلاَو ِدَلَوْلا ُدَلَوَو ُدَْْاَو ُخَْْاَو

، اَهَجِوْزَ ت ِءاَيِل

كِلاَم َدِْع ِءاَيِلْوَْْا ىَلَع ٌزِئاَج َكِلَذ : َلاَق ؟ ُةَأْرَمْلا ْتَيِضَر ْدَقَو

8

“Ibn Syihab berkata: apakah kamu pernah melihat wanita yang dinikahkahkan dan para walinya hadir semua yang mana sebagian lebih dekat dari pada yang lain. Diantara mereka adalah paman, saudara laki-laki, kakek, cucu laki-laki, dan anaknya sendiri. Kemudian yang menikahkan pamannya, kemudian anak dan para wali yang lainnya mengingkari pernikahan tersebut, walaupun perempuan

itu sudah merid{ainya? Maka jawaban Ibn Syihab: yang demikian itu boleh

menurut Imam Malik.”

Bahkan menurut Imam Malik, seorang anak itu lebih utama dalam menikahkan ibunya dibanding ayah,

اَهِحاَكْنِإِب ََْوَأ ُنْب ِّا : ٌكِلاَم َلاَق : َلاَق ؟ ُبَْْا ْمَأ ُنْب ِّا اَهِحاَكْنِإِب ََْوَأ ْنَمَف : ُتْلُ ق

اَهْ يَلَع ِة ََاصلاِبَو

9

7 Sulaiman ibn Umar al-Bujairami, Hasyiyah al-Bujairami „ala Sharh Minhaj al-T{ulab, (Turki: al-Maktabah al-Islamiyah, tt), 341


(14)

5

“Ibn Syihab ditanya, siapakah yang lebih utama menikahkan wanita tersebut, anaknya atau ayahnya? Ibn Syihab menjawab, Imam Malik berkata, anak lebih utama dalam menikahkan dan menshalatinya.”

Perbedaan pendapat tersebut didasarkan pada perbedaan pemahaman dan

penilaian terhadap hadis dari Ummu Salamah riwayat al-Nasa>‟i, yaitu:

َمَلَس ِنْب دااَْ ْنَع ُدْيِزَي اََ ثادَح َلاَق َةايَلُع ِنْب َمْيِاَرْ بِإ ِنْب َلْيِعاَِْْإ ُنْب ٌدامَُُ اَنَرَ بْخَأ

ٍتِباَث ْنَع َة

َِِْأ ِنْب َرَمُع ُنْب َِِْثَدَح َلاَق ْ ِِاََ بْلا

اَهْ يَلِإ َثَعَ ب اَهُ تادِع ْتَضَقْ نا اامَل َةَمَلَس ِمُأ ْنَع ِْيِبَأ ْنَع َةَمَلَس

ص ِها َلْوُسَر ِِْْخَأ ْتَلاَقَ ف ِْيَلَع اَهُ بُطََْ ِبااطَْْا َنْب َرَمُع َمالَسَو ِْيَلَع ها ىالص ِها ُلْوُسَر

ها ىل

ْوَأ ْنِم ٌدَحَأ َسْيَلَو ملسو يلع

َُل َكِلَذ َرَكَذَف ملسو يلع ها ىلص ِها َلْوُسَر ىَتَأَف ٌدِاَش ْيِئاَيِل

ِم ٌدَحَأ َسْيَلَ ف ٌدِاَش ْيِئاَيِلْوَأ ْنِم ٌدَحَأ َسْيَل ُانَأ ِكُلْوَ ق اامَأَو اََه ْلُقَ ف اَهْ يَلِإ ْعِجْرِا َلاَقَ ف

ِكِئاَيِلْوَأ ْن

َذ َُرْكَي ٌبِئاَغ ََّو ٌدِاَش

ملسو يلع ها ىلص ِها َلْوُسَر ْجِوَزَ ف ْمُق ُرَمُع اَي اَهِْب ِّ ْتَلاَقَ ف َكِل

َُجاوَزَ ف

10

“Telah memberi kabar kepadaku Muhammad ibn Isma‟il ibn Ibrahim ibn

„Ulaiyyah berkata, telah bercerita kepadaku Yazid dari Hammad ibn Salamah dari Thabit al-Banani berkata, telah bercerita kepadaku Ibn Umar ibn Abu Salamah dari ayahnya dari Ummu Salamah, ketika masa iddahnya selesai

Rasulullah menyuruh Umar bin Khat{ab untuk melamarkannya, kemudian Ummu

Salamah berkata: beritahu Rasulullah bahwa tidak seorang pun wali-waliku ada yang hadir. Kemudian Umar menemui Rasulullah dan menceritakan semuanya, lalu Rasulullah berkata kepada Umar, kembalilah dan katakan kepadanya, “ Adapun ucapanmu bahwa tidak seorang pun wali-waliku ada yang hadir, maka tidak ada seorang pun dari wali-walimu yang hadir maupun yang ghaib yang tidak menyukai pernikahan ini.” Kemudian Ummu Salamah berkata kepada anak laki-lakinya: hai Umar, bangkitlah kemudian kawinkanlah Rasulullah saw, lalu ia pun mengawinkannya.”

Mengenai hadis tersebut, ulama Syafi‟iyah mengatakan bahwa hadis tersebut

tidak bisa dijadikan hujjah tentang kebolehan anak menjadi wali nikah ibunya,

9ibid

10 Abu Abdurrahman Ahmad al-Nasa>i, al-Sunan al-Kubra, Cetakan I “Bab Inkah al-Ibni Ummahu” (Beirut: Muassasah al-Risalah. 2001), jilid III: 286


(15)

6

dengan beberapa alasan. Pertama, bahwa Nabi saw dalam pernikahannya tidak

membutuhkan wali. Kedua, pada waktu itu Umar bin Abu Salamah masih berusia 2

tahun. Ibn Sa‟d mengatakan bagaimana mungkin anak usia 2 tahun menjadi wali

nikah ibunya?11

Sedangkan ulama Hanafiyah, Malikiyah, dan Hanabilah memperbolehkan

seorang anak menikahkan ibunya berdasarkan pada d{ahirnya nash hadis tersebut.

Tentu saja jika ditelusuri secara seksama perbedaan tersebut berangkat dari interpretasi yang berbeda terhadap salah satu sumber hukum Islam yang dalam hal ini adalah hadis Nabi yang berbicara tentang anak menjadi wali nikah ibu. Sehingga pada hakikatnya kedua pandangan di atas sama-sama memiliki sandaran hukum yakni hadis Nabi. Statemen ini diperkuat oleh posisi hadis yang ditempatkan sebagai

sumber hukum kedua setelah al-Qur‟an yang berfungsi sebagai penjelas terhadap

kandungan al-Qur‟an, bahkan hadis –sekalipun masih diperselisihkan para ulama-

dapat menasakh al-Qur‟an.

Namun bagaimanapun urgensi kedudukan hadis, pada kenyataannya tidak semua

hadis yang disandarkan kepada Nabi SAW mencapai validitas keshahihan sesuai

dengan parameter yang ditetapkan oleh para pakar ilmu hadis tentang keshahihan

sebuah hadis baik dari sisi internal hadis (matn al-hadis) maupun dari sisi

eksternalnya (sanad al-hadis), tidak terkecuali hadith mengenai anak menjadi wali

nikah ibu, yang juga menjadi ajang perdebatan seputar validitas keshahihannya.


(16)

7

Di satu sisi, hadis tersebut menurut al-Hakim adalah hadis yang bernilai shahih

(shahih al-isnad), sehingga implikasi hukumnya seorang anak boleh menjadi wali nikah ibunya. Sementara di sisi lain hadis tentang anak yang menjadi wali nikah

ibunya menurut Syekh Nashiruddin al-Albani adalah dha’if, sehingga implikasi

hukumnya seorang anak tidak boleh menjadi wali nikah ibunya.12

Persoalan selanjutnya sekalipun terhadap hadis yang dinilai shahih baik secara

eksternal maupun internal masih menimbulkan problem tersendiri dalam hal pemahaman atas kandungan hadith, mengingat hadis yang merupakan upaya

faktualisasi ajaran Islam melalui ucapan, tindakan, ataupun ketetapan (taqrir) Nabi

Muhammad SAW tidaklah berangkat dari ruang hampa melainkan sangat erat

kaitannya dengan kearifan lokal (local wisdom) masyarakat Arab saat itu.

Melihat kenyataan ini, untuk menelusuri akar perbedaan dan duduk permasalahan tentang anak menjadi wali nikah ibunya, dianggap perlu untuk

dilakukan penelitian terhadap hadis tersebut baik menyangkut kes{ahihan dari sisi

eksternal (sanad al-hadis) maupun internalnya (matn al-hadis).

Persoalan lain yang menjadi alasan dilakukannya penelitian terhadap hadis yang berbicara tentang anak kandung yang menjadi wali nikah ibunya disebabkan persoalan tersebut adalah persoalan hukum yang tidak dapat disandarkan pada hadis

12 Muhammad Nashiruddin al-Albani, Irwa‟ al-Ghalil fi Takhrij Aha>disi Manar al-Sabil, (Beirut: al-Maktab al-Islami, 1985), jld VI: 220


(17)

8

yang bernilai dha’if. Imam Nawawi mengatakan bahwa hadith dha’if hanya bisa

dijadikan hujjah dalam hal-hal yang bersifat fad{ail al-a‟mal.13

Berangkat dari persoalan itulah penulis tertarik untuk meneliti keshahihan hadis

yang berbicara tentang anak kandung yang menjadi wali nikah ibunya serta implikasi hukum yang terkandung didalamnya yang kemudian tema tersebut penulis rumuskan ke dalam sebuah judul “ANAK KANDUNG MENJADI WALI NIKAH IBU

(ANALISIS HADIS Al-NASA>‟I NOMOR INDEKS 5396)”

B.IDENTIFIKASI MASALAH DAN BATASAN MASALAH

Hadis yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah hadis riwayat al-Nasa>‟i dalam

Kitab al-sunan al-Kubra li al-Nasa>‟i nomor indeks 5396 . Maka dalam skripsi ini,

dapat diidentifikasi beberapa masalah yang akan dibahas, di antaranya:

1. Persoalan anak kandung menjadi wali nikah ibu.

2. Gambaran mengenai kitab al-Sunan al-Kubra beserta pengarangnya (Imam Abu

Abdurrahman Ahmad al-Nasa>‟i ).

3. Kualitas hadis dalam kitab al-sunan al-Kubra li al-Nasa>‟i nomor indeks 5396.

4. Kehujjahan hadis dalam kitab al-sunan al-Kubra li al-Nasa>‟i nomor indeks 5396.

5. Pemaknaan hadis tentang anak kandung menjadi wali nikah ibu dalam kitab

al-sunan al-Kubra li al-Nasa>‟i nomor indeks 5396.

13Ahmad Abd. Majid, Muhad}arat fi> Ushul al-Fiqh, (Pasuruan, Garoeda Buana Indah, 1994), 63


(18)

9

Agar mendapat hasil penelitian yang maksimal, diperlukan adanya batasan masalah untuk meghindari perluasan dalam penelitian, dengan demikian penulisan skripsi ini bisa terfokus pada batasan masalah yang ingin dibahas. Dari beberapa masalah yang sudah teridentifikasi, peneliti membatasi pada 3 permasalahan, diantaranya:

1. Bagaimanakah kualitas hadis tentang anak kandung menjadi wali nikah ibu

dalam hadis nomor indeks 5396 pada kitab sunan al-Nasa>‟i?

2. Bagaimanakah kandungan hadis tentang anak kandung menjadi wali nikah ibu

dalam hadis nomor indeks 5396 pada kitab sunan al-Nasa>‟i?

3. Bagaimanakah implikasi hukum dari hadis tentang anak kandung menjadi wali

nikah ibu dalam hadis nomor indeks 5396 pada kitab sunan al-Nasa>‟i?

C. RUMUSAN MASALAH

Untuk memperjelas masalah yang akan dikaji dalam studi ini, maka dirumuskanlah masalah tersebut dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah kualitas hadis tentang anak kandung menjadi wali nikah ibu

dalam hadis nomor indeks 5396 pada kitab sunan al-Nasa>‟i?

2. Bagaimanakah kandungan hadis tentang anak kandung menjadi wali nikah ibu


(19)

10

3. Bagaimanakah implikasi hukum dari hadis tentang anak kandung menjadi wali

nikah ibu dalam hadis nomor indeks 5396 pada kitab sunan al-Nasa>‟i?

D. TUJUAN PENELITIAN

Berdasarkan rumusan masalah di atas, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui:

1. kualitas hadis tentang anak kandung menjadi wali nikah ibu dalam hadis nomor

indeks 5396 pada kitab sunan al-Nasa>‟i.

2. kandungan hadis tentang anak kandung menjadi wali nikah ibu dalam hadis

nomor indeks 5396 pada kitab sunan al-Nasa>‟i

3. implikasi hukum dari hadis tentang anak kandung menjadi wali nikah ibu dalam

hadis nomor indeks 5396 pada kitab sunan al-Nasa>‟i

E. KEGUNAAN PENELITIAN

Kegunaan penelitian terhadap hadis tentang anak kandung menjadi wali nikah ibu sebagai fokus kajian meliputi kegunaan secara teoritis dan kegunaan secara praktis. Secara teoris, penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan informasi dalam penelitian terhadap hadis Nabi, mengingat tidak semua hadis yang

disandarkan pada Nabi SAW bernilai shahih baik secara sanad maupun matannya.

Sehingga dengan demikian diharapkan adanya sikap selektif dalam menggunakan hadith nabi sebagai hujjah dalam penetapan suatu hukum.


(20)

11

Secara praktis, penelitian ini diharapkan mampu memberikan pemahaman atau

setidaknya dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan oleh lembaga yang concern

terhadap urusan pernikahan semisal Kantor Urusan Agama (KUA) atau Lembaga Peradilan Agama dalam menyelesaikan kasus yang muncul dalam masalah pernikahan terlebih masalah perwalian.

F. KAJIAN PUSTAKA

Menurut data yang saya dapat dari perpustakaan jurusan maupun perpustakaan kampus, bahwasannya hadis tentang anak menjadi wali nikah ibu dalam sunan an-nasa>‟i ini belum ada yang membahas atau meneliti baik hukum maupun kualitasnya.

G. PENEGASAN JUDUL

Skripsi ini berjudul “ANAK KANDUNG MENJADI WALI NIKAH IBU

(ANALISIS HADIS SUNAN AL-NASA>’I NO. INDEKS 5396)”, oleh karena itu untuk memperoleh persamaan persepsi dan menghindari terjadinya penafsiran yang berbeda, maka penulis memandang sangat perlu untuk menegaskan judul tersebut diatas, adalah sebagai berikut:

STUDI : Kajian, telaah, penelitian, penyelidikan ilmiah.14

ANALISIS : penguraian suatu pokok atas berbagai bagiannya dan penelaahan bagian itu sendiri serta hubungan antar bagian

14 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Tim penyusun: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cetakan III (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), 860


(21)

12

untuk memperoleh pengertian yang tepat dan pemahaman arti keseluruhan.

SUNAN AN-NASA>’I : Kitab hadis yang dikarang oleh Abu Abdurrahman

Ahmad ibn Syuaib ibn Ali al-Khurasani al-Nasa>‟i.

ANAK KANDUNG :

ْنِم ْوَا ٍحاَكِن ْنِم ٌءاَوَس ُُمُا ُْتَدَلَو ٍرَكَذ ُلُك ِمُِْْل ِةَبْسِلاِب ُنْبِّْا

ٍحاَفِس

15

“Anak laki-laki ketika dinisbatkan pada ibu adalah setiap laki-laki yang telah dilahirkan ibunya, baik dari pernikahan maupun dari hasil zina.”

WALI NIKAH :

ُحِصَي َََف ِدْقَعْلا ُةاحِص ِْيَلَع ُفاقَوَ تَ ي ْيِذالا َوُ ِحاَكِلا ِِ َُِِوْلَا

ِِنْوُدِب

16

“Wali nikah adalah sesuatu yang menjadikan sahnya suatu akad, maka akad dipandang tidak sah tanpa adanya sesuatu tersebut.”

IBU : 17

ًةَقْ يِقَح َكُمُأ َيِهَف َكْتَدَلَو ْنَم ُلُك َيِ ُمُّا

“Ibu adalah setiap orang yang melahirkanmu, maka ia adalah ibumu yang sesungguhnya.”

15 Muhammad bin Ibrahim al-Tuwajuri, Mawsu>‟ah al-Fiqh al-Islami, (Mesir: Bait al-Afkar al-Dauliyah, 2009), 37

16 al-Jaziri, al-Fiqh „ala al-Madhahib, 29

17 Muhammad al-Syarbini al-Khathib, al-Iqna‟ fi Hilli Alfaz}i Abi Shuja‟, (Beirut: Da>r al-Fikri, 1445), jld II: 416


(22)

13

Dengan adanya upaya penafsiran yang telah penulis jelaskan diatas, maka yang dimaksud dengan judul tersebut adalah suatu penggunaan waktu dan pikiran untuk memperoleh pengetahuan dengan jalan menganalisa hadis tentang anak kandung menjadi wali nikah ibunya.

H. METODE PENELITIAN

1. Jenis Penelitian

Untuk menjawab persoalan seperti yang telah diuraikan pada rumusan masalah, maka dalam penelitian ini dibutuhkan data-data deskriptif yang berupa kata-kata tertulis bukan berupa angka. Maka dari itu penelitian ini tergolong pada penelitian kualitatif.

Mengingat dalam penelitian ini dibutuhkan data-data tertulis untuk mengetahui status hadis yang sedang diteliti yaitu hadis tentang anak kandung menjadi wali nikah ibu baik dari sisi validitas sanad, matan, maupun implikasi hukum dari hadis tersebut, maka tentu saja data-data tersebut diperoleh dari hasil bacaan terhadap buku-buku literatur yang berhubungan dengan hal tersebut. Dengan demikian jika dilihat dari

tempatnya, penelitian ini tergolong pada penelitian perpustakaan (library research).18

2. Pendekatan Penelitian

Pada dasarnya penelitian terhadap hadis tentang anak kandung menjadi wali nikah ibu ini meliputi tiga hal pokok yang menjadi fokus kajiannya yaitu menyangkut

18 Masyhuri dan M. zainuddin, Metodologi Penelitian, (Bandung: Refika Aditama, 2008), 50, Jonathan Sarwono, Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2006), 18


(23)

14

penelitian terhadap otentisitas sanad dan matan maupun pemahaman terhadap kandungan matan, serta implikasi hukum yang dikandungnya. Untuk menjawab ketiga persoalan tersebut tentu dibutuhkan sebuah pendekatan yang tentu saja haruslah pendekatan yang relevan dengan masalah yang sedang dikaji sebagai perangkat analisisnya.

Dalam hal ini penulis menggunakan dua pendekatan yaitu pendekatan historis yang digunakan sebagai perangkat analisis untuk melacak keotentikan sanad maupun matan hadith yang sedang diteliti. Pendekatan selanjutnya adalah pendekatan tekstual yang digunakan sebagai pisau analisis terhadap pemaknaan hadith secara tekstual.

3. Sumber Data

Sumber data seperti yang telah didefinisikan oleh Suharsimi Arikunto adalah

objek dari mana sebuah data bisa diperoleh.19 Penelitian apapun jenisnya pasti

membutuhkan sebuah data dalam rangka mencari jawaban atas persoalan yang menjadi pertanyaan sebagai pendorong dilakukannya sebuah penelitian, tentu saja data yang dibutuhkan bisa saja didapatkan dari lapangan melalui obsevasi ataupun interview serta bisa diperoleh dari perpustakaan melalui pembacaan dan pentelaahan terhadap buku-buku literature.

Karena penelitian ini merupakan penelitian perpustakaan (library reseach), maka sudah dapat dipastikan bahwa data-data yang dibutuhkan adalah data-data yang

19 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2006), 129


(24)

15

diperoleh dari perpustakaan melalui penelusuran terhadap buku-buku literatur, baik

yang bersifat primer maupun yang bersifat sekunder.20

Data primer dalam penelitian ini adalah:

a) Kitab al-Sunan al-Kubra karya al-Nasa‟i

Sumber yang sekunder berasal dari Karya-karya para ulama lain sebagai pelengkap dalam penelitian ini diantaranya adalah:

a) Kitab Tafsir Mus{t{alah al-Hadith karya Mahmud Thahhan

b) Kitab Musnad Ahmad bin Hanbal karya Ahmad bin Hanbal al-Syaibani

c) Kitab Tahz{ib al-Tahz{ib karya Syihab Din Ahmad bin Ali bin Hajar

al-Asqalany

d) Kitab Tahz{ib al-Kamal fi al-Asma‟ al-Rijal karya Jamal al-Din Abi al-Hajjaj

Yusuf al-Mizzi

e) Kitab al-Umm karya Imam al-Syafi‟i

f) Kitab al-Mudawwanah al-Kubra karya Imam Malik

g) Dan buku-buku lain yang berhubungan dengan pembahasan penelitian ini.

4. Teknik Pengumpulan Data

Seperti yang telah diketahui, penelitian ini merupakan penelitian perpustakaan (library reseach) sehingga data yang dibutuhkan adalah data yang diperoleh dari hasil telaah terhadap berbagai literature yang mempunyai relevansi dengan tema

20 Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif (Bandung: CV Alfabeta, 2008), 62, dan Husein Umar, Metode Penelitian untuk Skripsidan Tesis Bisnis, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), 42.


(25)

16

pembahasan, maka instrument pengumpulan terhadap data-data tersebut adalah

dengan menggunakan dokumentasi.21

Dalam melakukan pengumpulan terhadap data-data yang dibutuhkan, terlebih dahulu mengidentifikasi sumber data yang dapat dijadikan sebagai objek telaah dalam penelitian kemudian dilanjutkan dengan upaya pengumpulan data-data dari berbagai sumber yang telah ditentukan baik sumber primer maupun sekunder dengan cara menghimpun hadith-hadith yang mempunyai tema sejenis dengan hadith yang sedang diteliti yaitu hadith tentang anak kandung menjadi wali nikah ibu.

5. Teknik Analisis Data

Setelah semua data terkumpul, langkah selanjutnya adalah melakukan telaah dan analisis data.

Dalam penelitian sanad, digunakan metode kritik sanad dengan pendekatan

keilmuan rija>l al-h}adith dan al-jarh} wa al-ta’di>l serta mencermati silsilah guru murid

dan proses penerimaan hadis tersebut (tah}ammul wa al-ada‟).22 Sedangkan analisis

terhadap matan hadis yaitu dengan cara membandingkan hadis tentang anak kandung

menjadi wali nikah ibu dengan al-Qur‟an atau hadis lain yang dinilai shahih atau

lebih shahih, ataupun dengan cara membandingkannya dengan fakta sejarah maupun

pertimbangan rasional sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan sehingga

21Jonathan Sarwono, Op. Cit, 225; Suharsimi Arikunto, Op. Cit, 158.


(26)

17

diperoleh kesimpulan mengenai validitas keshahihan hadis tersebut ditinjau dari segi

matannya.23

Tahapan selanjutnya adalah analisis matan, yaitu menelaah kandungan hadis yang dimaksud sehingga dapat diketahui dan ditentukan implikasi hukumnya yang dalam penelitian ini adalah mengenai anak kandung menjadi wali nikah ibu.

I. SISTEMATIKA PEMBAHASAN

Penelitian ini akan disusun dalam beberapa bab dan sub bab sesuai dengan keperluan kajian yang akan dilakukan.

Bab satu adalah pendahuluan yang membahas tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, kerangka teoretik, kajian pustaka, metode penelitian serta sistematika pembahasan.

Bab dua memuat tentang tinjauan pustaka, meliputi pengertian hadis dan pembagiannya, pengertian maupun sejarah kritik hadis. Selain itu juga dibahas

mengenai takhrij al-h}adith, I‟tibar, maupun kritik sanad hadis yang meliputi

pengertian kritik sanad, al-jarh} wa al-ta’di>l, serta kriteria keshahihan sanad hadis.

Begitu juga menyangkut kritik matan hadis yang meliputi pengertian dan kriteria

keshahihan matan hadis. Dan bab ini juga memuat tentang pembahasan mengenai pendekatan yang digunakan dalam kritik dan fiqh al-hadis.

Bab tiga merupakan bab yang berisi data yang dibahas dalm skripsi ini. Adapun

isi dari bab ini mengenai biografi Imam an-Nasa>‟i, data hadis yang dibahas, takhrij


(27)

18

al-h}adith, skema sanad hadis dari masing-masing mukharrij al-h}adith, I‟tibar al-sanad (gabungan seluruh al-sanad hadis yang dibahas dari beberapa kitab hadis yang

mencantumkan hadis tersebut), dan terakhir mengenai biografi perawi Sunan

al-Nasa>‟i.

Bab empat merupakan bab utama atau intisari dari skripsi ini yang menyertakan analisa dari seluruh pembahasan skripsi ini. Analisis pertama membahas analisis dari

segi sanad yang menjelaskan kritik sanad dengan cara meneliti ke-muttas}i>l-an sanad,

meneliti kredibilitas perawi hadis, meneliti „illat, meneliti kejanggalan dalam sanad.

Kedua, menyertakan analisis dalam matan yang menelaah matan dari berbagai penelitiannya. Ketiga, menganalisa kandungan hadis sendiri dengan menyertakan sharah} dari matan hadis, penjelasan dari beberapa buku yang membahas hal yang serupa serta mencantumkan analisis pribadi.

Bab lima merupakan final dari pembahasan skripsi ini yang mencakup beberapa kesimpulan. Adapun kesimpulan tersebut merupakan jawaban dari beberapa rumusan masalah pada bab pendahuluan, dan yang terakhir, penulis menyertakan saran sebagai masukan untuk pembaca agar penelitian ini dapat dikembangkan dan diteruskan atau lebih disempurnakan.


(28)

19

BAB II

HADIS NABAWI SERTA PANDANGAN TENTANG ANAK

MENJADI WALI NIKAH IBU

A. Hadis

1. Pengertian Hadis

Kata h}adi>th berasal dari bahasa Arab, yaitu al-h}adi>th, jamaknya al-ah}a>di>th, al-h}adi>than, dan al-h}udthan. Secara etimologis, kata ini mempunyai banyak arti, diantaranya al-jadid (segala sesuatu yang baru) lawan dari al-qadim (sesuatu yang lama), dan al-khabar yang berarti (berita).1 Kata tersebut juga telah masuk ke dalam bahasa Indonesia. Kamus Besar Bahasa Indonesiasecara bahasa mengartikan “hadis” dengan “1. Sabda dan perbuatan Nabi Muhammad saw. Yang diriwayatkan atau diceritakan oleh sahabat-sahabat Nabi (untuk menjelaskan dan menentukan hukum Islam); 2. Sumber ajaran agama Islam yang kedua selain Al-Qur‟an.”2

Adapun para ulama ahli hadis mendefinisikan h}adi>th dengan “segala sesuatu yang diriwayatkan dari Nabi saw. baik berupa sabda, perbuatan, taqrir, sifat-sifat maupun hal ihwal Nabi.3

1

Muhammad bin Makram Ibn Mandzur, Lisan al-„Arab, (Kairo: Da>r al-Ma‟arif, 1992), jld II: 131–134

2

Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), 513

3 Agus Sholahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis, (Bandung: Pustaka Setia, 2011), 15. Lihat Juga Muhammad Ajaj al-Khatib al-Sunah Qabla al-Tadwi>n, (Kairo: Maktabah Wahbah, 1975), 19


(29)

20

2. Pembagian Hadis

Pada perkembangan selanjutnya para ulama hadis berusaha melakukan klasifikasi terhadap hadis baik berdasarkan kuantitas maupun berdasarkan kualitas hadis. Hadis jika ditinjau dari segi kuantitas perawinya, maka akan di dapatkan dua bagian terbesar yaitu, hadis mutawatir adalah Hadis Mutawatir adalah hadis yang diriwayatkan oleh banyak rawi dari awal sanad hingga akhirnya, yang secara adat mustahil bagi mereka untuk bersepakat bohong4 dan hadis ahad adalah khabar yang tidak memenuhi syarat mutawatir. Hadis ahad terbagi menjadi tiga: Pertama, mashhur, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh tiga atau lebih rawi di setiap tingkatan (tabaqah) namun belum sampai batas mutawatir. Kedua, hadis „aziz, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh dua rawi disetiap tabaqah-nya. Ketiga, hadis gharib, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh seorang rawi saja.5

Sedangkan hadis jika ditinjau dari segi kualitas perawinya, maka dapat diklasifikasikan pada dua bagian yaitu, hadis Maqbul hadis yang diterima sebagai dalil dan hadis Mardud hadis yang tertolak sebagai dalil. Hadis Maqbul terbagi menjadi dua yaitu: Pertama, Hadis Shahih adalah Hadis yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh perawi „adl dan d{abt mulai dari awal sanad hingga terakhirnya, serta tidak terdapat shadz dan „illah.6 Kedua, Hadis Hasan adalah hadis yang memenuhi syarat hadis shahih kecuali hadis hasan diriwayatkan oleh rawi yang tidak

4

Muhammad Ajjaj Al-Khatib, Us}u>l al-H}adi>th: „Ulumuh wa Must}alahuh, (Beirut: Da>r al-Fikr, 1971), 301

5

Mahmud al-Thahan , Taisi>r Mus}t}alah} al-H}adi>th, (Surabaya: Bungkul Indah, tt), 22-31. Lihat juga al-Khatib, Us}u>l, 302

6 Ibid.,34


(30)

21

sempurna sifat dabt-nya.7 Sedangkan yang termasuk dalam hadith Mardud salah satunya adalah hadis d{aif, yaitu hadis yang tidak memenuhi sifat hadis shahih dan hadis hasan dikarenakan ketiadaan satu atau beberapa syaratnya.8

B. Kritik Hadis: Perspektif Definitif – Historis

1. Pengertian Kritik Hadis

Menurut bahasa istilah kritik merupakan terjemahan dari bahasa Arab yaitu dari

fi‟il

ادقنَ دق يَ دقن

yang berarti mengkritik ataupun melakukan penelitian secara seksama9. Kata tersebut seringkali ditemukan dalam literatur Arab, misalnya seperti

ungkapan

روعشلاَ دقنوَ مَكلاَ دقن

(ia telah mengkritik bahasa dan sya‟irnya)10, atau semakna dengan kata tamyiz11 seperti pada ayat yang berbunyi

َنَُثيبْاَزيمَّح

بيطلا

(sehingga ia mampu membedakan antara keburukan dan kebaikan)12. Sehingga tidak salah jika seorang pakar hadis abad 3 H, Imam Muslim (w.261 H / 875 M) memberi judul bukunya yang membahas tentang metode kritik hadis dengan judul al-Tamyiz.

7

Ibid., 46

8

Ibid., 63

9 Adib Bisri dan Munawir A. Fatah, Kamus al-Bisri, (Surabaya : Pustaka Progresif, 1999), 733. Dan A. W. Munawwir, Kamus al-Munawwir (Yogyakarta: Unit PBIK PP. al-Munawwir, 1984), 1551 10 Umi Sumbulah, Buku Ajar Ulum al-Hadis, (Malang: Fak. Syari‟ah, 2007), 26

11 Bustamin dan M. Isa H.A Salam, Metodologi Kritik Hadis, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), 5


(31)

22

Sedang istilah kritik secara terminology berarti berusaha menemukan kekeliruan atau kesalahan dalam rangka menemukan kebenaran13. Jika istilah tersebut dikaitkan dengan hadis Nabi SAW, maka yang dimaksud adalah upaya pengkajian dan penelitian secara seksama terhadap hadis Nabi dalam rangka untuk menemukan orisinalitas hadis-hadis Rasulullah SAW baik dari sisi sanad maupun matan14. Tampaknya devinisi inilah yang dimaksudkan dalam istilah kiritik hadis, Karena memang istilah kritik hadis dalam perbincangan para muhaddithin seperti yang didevinisikan oleh Abu Hatim ar-Razi yang selanjutnya dikutip oleh MM. Azami adalah upaya menyelidiki (membedakan) antara hadis shahih dan dha’if serta menetapkan status perawinya dari segi jarh}dan ta’di>lnya.15

Begitu juga dengan definisi yang dimajukan oleh Muhammad Tahir al-Jawaby, beliau mendefinisikan ilmu kritik hadis sebagai langkah untuk memberikan ketentuan terhadap para periwayat hadis baik kecacatan atau keadilannya dengan menggunakan ungkapan-ungkapan tertentu yang dikenal oleh ulama hadis, kemudian meneliti matan hadis yang telah dinyatakan shahih dari aspek sanad untuk menentukan keabsahan atau ke-dha’ifan matan hadis tersebut, serta untuk mengatasi kesulitan pemahaman dari hadis yang telah dinyatakan sahih maupun untuk mengatasi kontradiksi pemahaman hadith dengan pertimbangan yang mendalam.

Dari pengertian di atas, maka istilah kritik hadis bukan sebuah upaya pendistorsian melainkan sebagai upaya pelestarian terhadap hadis Nabi, atau dengan

13 WJS. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta, Balai Pustaka, 1976), 965 14 Bustamin dan M. Isa H.A Salam, Metodologi, 179


(32)

23

kata lain istilah kritik tidaklah berkonotasi negatif melainkan sebaliknya berkonotasi positif.16 Dan tidak pula bertujuan untuk menguji ajaran Rasulullah melainkan untuk menguji daya tangkap dan kejujuran para perawi, sehingga penolakan terhadap hadis tidak berarti menolak Rasulullah tetapi menolak klaim bahwa hadis tersebut berasal dari Rasulullah.17

Tentu saja kritik hadis perspektif ulama hadis sangatlah berbeda kritik hadis perspektif para orientalis. Jika dalam perspektif ulama hadis, kritik hadis tidak lebih dari upaya penyeleksian hadis Nabi sehingga dapat dibedakan hadis-hadis yang bernilai shahih ataupun sebaliknya.18 Sedangkan dalam perspektif orientalis,kritik hadis dimaksudkan sebagai upaya memberikan semacam kecaman sehingga berujung pada skeptisisme umat Islam terhadap otentisitas dan orisinalitas hadis sebagai kontekstualisasi Rasulullah terhadap ajaran Islam.19

2. Telaah Historis Kemunculan Kritik Hadis

Seperti telah diuraikan dalam pembahasan sebelumnya, bahwa penelitian terhadap hadis nabi merupakan sebuah upaya dalam melestarikan dan memelihara orisinalitas hadis Nabi, sehingga aktivitas dalam penelitian hadis merupakan sebuah keniscayaan yang perlu dikembangkan secara berkesinambungan.

Sehubungan dengan persoalan tersebut, M. Syuhudi Ismail menguraikan pandangan argumentatif yang dijadikan sebagai pijakan dalam memandang

16 Umi Sumbulah, Buku Ajar, 26

17 Muh. Zuhri, Telaah Matan Hadis: Sebuah Tawaran Metodologis, (Yogyakarta: LESFI, 2003), 42 18 Umi Sumbulah, Buku Ajar, 26


(33)

24

pentingnya untuk dilakukan sebuah penelitian terhadap hadis Nabi. Menurutnya, terdapat beberapa hal yang menuntut dilakukannya penelitian terhadap hadis Nabi yaitu, adanya fakta sejarah yang membuktikan bahwa tidak semua hadis telah ditulis pada zaman Nabi20 dan yang terpenting adalah mengingat hadis Nabi secara hirarkis menempati urutan kedua sebagai sumber tas}ri’ setelah al-Qur‟an. Selain itu, adanya kebutuhan masyarakat terhadap hadis yang terus meningkat berimplikasi pada periwayatan hadis baik secara tertulis maupun secara lisan dengan sendirinya akan mengalami perkembangan pula. Namun satu hal yang tak dapat dipungkiri seiring banyaknya periwayatan hadis yaitu tingkat kekeliruan dan kesalahan semakin meningkat baik kekeliruan dan kesalahan itu berupa salah mendengar dan memahami riwayat atau bahkan dengan sengaja memalsukan hadith dengan mengatasnamakan Rasulullah.21

Berdasarkan pada realitas historis di atas, dapat kita pahami bahwa urgensi penyeleksian terhadap sebuah hadis muncul seiring dengan munculnya hadis itu sendiri sehingga dapatlah dikatakan bahwa aktifitas penelitian terhadap hadis (baca: kritik hadis) telah muncul pada masa Rasulullah masih hidup sebagai aktor sejarah sekalipun dengan metode yang sangat sederhana, terlebih jika kritik hadis dimaksudkan sebagai upaya untuk memilah-milah antara yang shahih dan yang tidak.

20 M. Syuhud Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, (Jakarta: PT. Karya Unipress, 1992), 11 21 Badri Khaeruman, Otentisitas Hadis: Studi Kritis Atas Kajian Hadis Kontemporer, (Bandung: PT.


(34)

25

22 sekalipun seperti dikatakan oleh Muhammad Shalih Ahmad al-Farsi, bahwa penelitian hadis khususnya yang berkaitan dengan sanad belum dikenal pada masa Rasulullah SAW dan Khulafa‟ al-Rashidin dengan sebuah argumen bahwa pada kedua masa tersebut para muh}addithi>n telah bersepakat pada sebuah kaidah

ةباحصلا

لودعَمهلك

(semua sahabat Nabi adalah orang yang adil).23

Pernyataan di atas tampaknya tidak sepenuhnya benar karena memang bertentangan dengan bukti historis yang dilakukan oleh sahabat Nabi terhadap informasi yang masih meragukan diantara kalangan sahabat. Misalnya apa yang dilakukan oleh Umar ibn al-Khathab, beliau menanyakan kembali kepada Nabi SAW tentang berita yang diterima dari salah seorang tetangganya yang mengatakan bahwa Nabi telah menceraikan istri-istrinya. Dari hasil konfirmasinya, diperoleh penjelasan dari Nabi bahwa beliau tidak melakukan hal tersebut melainkan hanya tidak mengumpulinya saja.24 Sekalipun memang seperti yang dikatakan A‟zami, pada masa Nabi kritik hadis dilakukan hanya sebatas konfirmasi yang berarti pergi menemui Rasulullah untuk membuktikan sesuatu yang dilaporkan telah dikatakan oleh beliau, tidaklah berarti bahwa kritik hadis belum dikenal pada masa Nabi mengingat banyaknya sahabat yang melakukan penyelidikan terhadap berita yang dikabarkan

22 Muhammad Musthafa A‟zami, “Studies in Hadis Methodology and Literature”, diterjemahkan A. Yamin, Metodologi Kritik Hadis, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1996), 82

23 Bustamin dan M. Isa H. A.Salim, Metodologi, 6

24 Lihat kata pengantar dalam, Usman Sya‟roni, Otentisitas Hadis Menurut Ahli Hadis dan Kaum Sufi, (Jakarta:Pustaka Firdaus, 2002), vii


(35)

26

berasal dari Nabi seperti Ali ibn Abi Thalib, Ubay ibn Ka‟ab, Abdullah ibn Umar, Umar ibn al-Khatab, bahkan Zainab yang merupakan istri dari Ibn Mas‟ud.25 Sebagai contoh yang perlu diungkap sebagai bukti bahwa kritik sanad telah muncul pada masa Rasulullah masih hidup adalah sebuah kasus yang terjadi dimana Dhimam ibn

Tsa‟labah datang menemui Rasulullah dan berkata, Muhammad, utusanmu telah mengatakan begini dan begitu, kemudian Nabi menjawab, dia berkata benar.26

Bentuk konfirmasi yang dilakukan oleh sahabat sebagai cikal bakal munculnya disiplin ilmu kritik sanad dalam bidang hadis. Hal ini terus berlanjut hingga wafatnya Rasulullah SAW. Kemudian pada perkembangan selanjutnya, praktek penilaian terhadap sanad hadis tidak hanya sekedar konfirmasi melainkan telah melangkah pada tahap komparasi. Hal ini dapat dikuatkan dengan fakta sejarah yang terjadi pada Abu Bakar di saat seorang nenek mendatanginya untuk menanyakan warisan dari harta yang ditinggalkan cucunya. Menghadapi kasus tersebut Abu Bakar dengan tegas menyatakan bahwa dirinya tidak pernah mendapatkan ketentuan dalam al-Quran dan tidak pula mendengar dari Rasulullah. Lalu Abu Bakar menanyakannya kepada para sahabat yang lain, pada saat itulah tampil Mughirah dengan mengatakan bahwa bagian seorang nenek atas warisan cucunya adalah seperenam. Mendengar hal tersebut Abu Bakar tidak merta mempercayainya melainkan masih menanyakannya kepada sahabat yang lain sebagai penguat terhadap apa yang telah dikatakan oleh Mughirah. Beberapa saat kemudian datanglah Muhammad bin Maslamah untuk

25 Muhammad Musthafa A‟zami, “Studies in Hadis methodology and Literature”, diterjemahkan A. Yamin, Metodologi kritik Hadis, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1996), 82-83


(36)

27

menguatkan pernyataan Mughirah, sehingga dari situlah Abu Bakar akhirnya menyimpulkan bahwa bagian seorang nenek atas warisan cucunya adalah seperenam.27

Begitu pula mengenai kritik matan hadis. Aktivitas pengujian terhadap matan hadis sebenarnya telah dilakukan oleh generasi sahabat semisal Umar ibn Khathab, Ali ibn Abi Thalib, maupun Abdullah bin Mas‟ud. Bahkan yang paling masyhur adalah Sayyidah Aisyah ketika melakukan verivikasi terhadap hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah yang berbunyi “sesungguhnya mayit itu akan disiksa disebabkan oleh ratapan keluarganya”, begitu juga dengan sebuah hadis yang menyatakan bahwa anak hasil zina tidak masuk surga.28

Hadis yang pertama menurut Aisyah, perawi telah melakukan kesalahan dalam periwayatannya mengingat hadis tersebut diucapkan Rasulullah pada saat beliau melewati sebuah kuburan orang Yahudi dan beliau melihat keluarga si mayit sedang meratap di atasnya. Melihat hal tersebut Rasulullah bersabda yang artinya: “mereka sedang meratapi si mayit, sedang si mayit sendiri sedang diazab dalam kuburnya”. Selain faktor kesalahan dalam periwayatan, menurut Aisyah, hadis tersebut dianggap bertentangan dengan al-Quran yang artinya: “dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain”.29 Sementara hadis kedua tentang anak zina tidak akan masuk surga menurut Aisyah, asbab al-wurud hadis tersebut adalah suatu ketika Rasulullah berjalan dengan seseorang kemudian diejek oleh orang munafik, lalu

27Ibid., 38

28 M. Zuhri, Telaah Matan, 43


(37)

28

Rasulullah bertanya kepada orang munafik tersebut, siapakah yang menghalangi jika aku bersama si fulan ini? kemudian orang munafik itu berkata, ia punya anak zina. Lalu Rasulullah menyatakan bahwa “yang berzina itulah yang punya tiga keburukan, diantaranya adalah terancam tidak masuk surga”. Jadi menurut Aisyah hadis tersebut tidak menunjukkan bahwa anak hasil zina tidak akan masuk surga melainkan adalah si pelakunya.30

Upaya verivikasi terhadap matan hadith yang dilakukan oleh Aisyah seperti diuraikan di atas menjadi bukti bahwa kritik terhadap matan hadis telah dilakukan oleh generasi sahabat sekalipun memang harus diakui bahwa penelitian terhadap matan hadis termasuk kajian yang jarang dilakukan oleh muh}addithi>n jika dibandingkan dengan perhatiannya terhadap penelitian sanad. Hal itu cukup beralasan karena bagaimana mungkin dapat dikatakan hadis Nabi jikalau tidak didukung oleh adanya silsilah yang menghubungkannya sampai kepada Rasululah sebagai sumber hadis.31

Namun demikian tidak serta merta kita katakana bahwa dalam melakukan penelitian terhadap hadis Nabi, para ulama hanya memperhatikan aspek sanadnya dan mengesampingkan terhadap kritik matan hadis seperti yang dituduhkan oleh para orientalis semisal Ignaz Goldziher (1850-1921), A.J. Wensinck (1882-1939), maupun Joseph Schacht (1902-1969)32

30 Muh. Zuhri, Telaah Matan, 44

31 Bustamin dan M. Isa H.A Salam, Metodologi, 59 32 Umi Sumbulah, Buku Ajar, 95


(38)

29

C. Kritik Sanad Dan Standarisasi keshahihan

1. Pengertian Kritik Sanad

Sanad merupakan salah satu unsur penting yang sekaligus dijadikan sebagai objek dalam kegiatan penelitian terhadap hadis Nabi. Kata sanad menurut bahasa adalah sandaran atau sesuatu yang dijadikan sandaran. Dikatakan demikian karena setiap hadis selalu bersandar kepadanya. Sementara dari sisi terminologi, terdapat beragam pendapat yang dikemikakan oleh para ulama mengenai pengertian sanad. Namun jika ditelaah pada intinya keragaman tersebut hanya dalam tataran redaksi sehingga dapat disimpulkan bahwa sanad dapat diartikan sebagai

لولاَردصَُنعَن اَاولقنَنيذلاَةاورلاَةلسلسَواَن اَقرط

“jalan yang menyampaikan kepada matan hadis atau silsilah perawi yang menukil matan hadis dari sumbernya yang pertama.”33

Dari definisi di atas , kritik sanad hadis dapat diartikan sebagi penelitian, penilaian, dan penelusuran terhadap rangkaian perawi dalam sanad dengan cara mengetahui biografi perawi yang terlibat dalam tranmisi periwayatan serta proses penerimaan hadis dari guru mereka masing-masing. 34 definisi ini memberikan pemahaman bahwa dalam penelitian sanad hadis, dua hal pokok yang menjadi bahasannya adalah menyangkut nama-nama perawi yang terlibat dalam periwayatan

33 Nurudin „Itr, Manhaj al-Naqd fi> Ulu>m al-H}adi>th, (Damaskus: Da>r al-Fikr, 2006), 321 34 Bustamin dan M. Isa H.A Salam, Metodologi, 6-7


(39)

30

hadis yang bersangkutan serta lambang periwayatan hadis yang digunakan oleh masing-masing perawi dalam meriwayatkan hadis yang diterima dari gurunya.35

Penelitian terhadap sanad hadis merupakan sebuah keniscayaan karena bagaimanapun sebuah hadis tidak akan pernah dikatakan berasal dari Rasulullah tanpa disertai adanya tranmisi periwayatan yang jelas, sehingga sangatlah wajar jika persoalan sanad seakan menjadi anak emas dalam kegiatan penelitian hadis. Bahkan Abdullah ibn al-Mubarak mengatakan bahwa sanad hadis merupakan bagian dari agama sehingga ketiadaan sebuah sanad akan menimbulkan peluang bagi siapa saja untuk mengatak bahwa apa yang dikatakannya adalah hadis yang berasal dari Rasulullah.36

Perlakuan istimewa terhadap sanad hadis seperti di atas, tentunya berlawanan dengan pandangan orientalis sekalipun mereka menyadari bahwa sanad hadis merupakan penentu validitas sebuah hadis, namun kesimpulannya seperti dikatakan oleh Schacht bahwa sekalipun secara keseluruhan sistem isnad mungkin valid untuk melacak hadis-hadis nabi sampai pada ulama abad kedua, tetapi periwayatan yang merentang kebelakang sampai kepada Nabi SAW dan para sahabat adalah palsu belaka dengan alasan sistem isnad dimulai pada awal abad kedua atau paling awal akhir abad pertama.

35 M. Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan, 25 36 Nurudun „Itr, Manhaj al-Naqd, 344


(40)

31

2. Standarisasi Keshahihan Sanad Hadis

Tidak ada perbadaan pendapat ulama hadis tentang definisi hadis shahih, yaitu hadis yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh orang yang adil, diriwayatkan oleh orang yang d}abit{, tidak terdapat shad{ dan illat.37 Uraian mengenai syarat keshahihan hadis pada bab II ini adalah untuk menjadi barometer ketika menilai hadis yang akan diteliti dan dibuktikan keshahihannya pada bab berikutnya.

a. Ittis{a>l al-sana>d (persambungan sanad hadis)

Persambungan sanad hadis adalah adanya hubungan antara penerima hadis dengan penyampai hadis atau antara murid dengan guru. Indikator persambungan sanad hadis, sebagaimana yang dijelaskan oleh Burhan Djamaluddin, tergantung pada ungkapan yang digunakan oleh penulis buku-buku mengenai ilmu hadis, khususnya buku-buku rijal al-h}adi>th (buku-buku yang khusus membicarakan sanad atau perawi hadis, serta pertalian antara guru dengan murid ketika meriwayatkan hadis) tentang ketersambungan hadis tersebut.38

Dalam buku-buku rijal al-h}adi>th, seperti Tahdhib al-Tahdhib karya al-Asqalani atau Tahdhib al-Kamal karya al-Suyuthi, pasti ditemukan ungkapan yang menjadi indikator ketersambungan sanad hadis dari satu perawi kepada perawi lainnya.

37 Muhammad Ajjaj al-Khatib, Us}u>l al-H}adi>th Ulu>muhu wa Mus}t}alahuh, (Beirut: Da>r al-Fikr, 1995), 19

38 Burhan Djamaluddin, Qunut Subuh Bid‟ah? Kajian Komprehensif Tentang Hadis-Hadis Qunut


(41)

32

Ungkapan yang populer tersebut diantaranya adalah rawa „an (ia meriwayatkan hadis dari) dan rawa „anhu (orang yang meriwayatkan hadis darinya).39

Istilah rawa „an, al-Asqalani misalnya, setelah selesai mengungkap nama lengkap perawi seperti Salamah ibn Abd. Rahman, beliau menyebut Abu Hurairah setelah menyebut istilah rawa „an. Istilah rawa „an Abi Hurairah menunjukkan bahwa Salamah ibn Abd. Rahman pernah menerima hadis dari Abu Hurairah, dengan kata lain Abu Hurairah merupakan guru dari Salamah ibn Abd. Rahman. Sedangkan istilah rawa „anhu yang menyertai nama Salamah ibn Abd. Rahman, misalnya rawa „anhu al-Bukhari, menunjukkan bahwa al-Bukhari menerima hadis dari Salamah ibn Abd. Rahman. Dengan kata lain al-Bukhari adalah murid dari Salamah ibn Abd. Rahman.

Lebih lanjut, Burhan Djamaluddin mengatakan, bahwa ketersambungan sanad hadis bisa diketahui dengan melihat dari dua sisi. Pertama,dari sisi atas atau dari guru kepada murid. Dari contoh diatas, untuk mengetahui hubungan antara Abu Hurairah dengan Salamah ibn Abd. Rahman dapat dilihat dari riwayat hidup Abu Hurairah. Seandainya dalam riwayat hidupnya terdapat nama Salamah bin Abd. Rahman – sebagai orang yang pernah menerima hadis darinya- maka itu menjadi indikator ketersambungan sanad antara Abu Hurairah dengan Salamah ibn Abd. Rahman. Kedua, dari sisi bawah atau sisi murid dari guru. Seandainya dalam riwayat hidup Salamah bin Abd. Rahman terdapat nama Abu Hurairah, sebagai orang yang pernah


(42)

33

menyampaikan hadis padanya, maka hal tersebut juga menjadi indikator ketersambungan sanad antara Salamah ibn Abd. Rahman dengan Abu Hurairah.40

Namun dalam buku-buku rijal al-h}adi>th, tidak selalu ditemukan istilah yang menjadi indikator ketersambungan sanad tersebut dari dua sisi, seperti yang dikemukakan di atas, tetapi hanya ditemukan pada satu sisi saja. Misalnya, dalam riwayat hidup Abu Hurairah terdapat nama Salamah ibn Abd. Rahman (sebagai orang yang pernah menerima hadis darinya), tetapi nama Abu Hurairah belum tentu ditemukan dalam riwayat hidup Salamah ibn Abd. Rahman.

Indikator lain untuk membuktikan ketersambungan sanad adalah tahun lahir atau tahun wafat dari masing-masing perawi. Misalnya, Abu Hurairah wafat pada tahun 56 H dan Salamah ibn Abd. Rahman lahir pada tahun 40 H, maka hal itu menjadi indikator ketersambungan sanad antara Abu Hurairah dengan Salamah ibn Abd. Rahman, sebab dimungkinkan Abu Hurairah pernah menyampaikan hadis kepada Salamah ibn Abd. Rahman. Sebaliknya, bila Abu Hurairah wafat pada tahun 56 H dan Salamah ibn Abd. Rahman lahir pada tahun 57 H, maka hal ini tidak bisa menjadi indikator ketersambungan sanad antara keduanya, karena tidak masuk akal Abu Hurairah yang telah wafat menyampaikan hadis kepada Salamah ibn Abd. Rahman yang belum lahir. Informasi mengenai tahun wafat atau tahun lahir para perawi hadis dapat ditemukan pada buku-buku rijal al-h}adi>th, seperti Tahdhib al-Tahdhib dan Taqrib al-Tahdhib keduanya karya Ibn Hajar al-Asqalani atau Tahdhib al-Kamal karya al-Suyuthi.

40 Burhan Djamaluddin,Qunut Subuh, 17


(43)

34

Dikalangan mukharrij hadis (para ahli hadis yang mengumpulkan hadis ke dalam buku-buku hadis, seperti al-Bukhari, Muslim, al-Nasa>‟i, al-Tirmidzi, dan lain-lain) ada yang dapat dikategorikan sangat selektif dalam menilai perawi hadis atau dalam bahasa hadis disebut mutashaddid, ada yang sedang-sedang saja atau mutawassith, dan ada yang mudah atau mutasahhil. Kelompok mutashadd ia menetapkan kriteria yang ketat untuk menentukan ketersambungan sanad hadis, yaitu harus hidup satu masa, sebab hal ini memungkinkan sanad yang satu dengan sanad lainnya dapat bersambung, apakah penerima hadis mendengar langsung dari gurunya, menemukan catatan, atau menerima wasiat gurunya. Bahkan Imam al-Bukhari mensyaratkan bahwa antara guru dengan murid harus betul-betul bertemu. Lebih jauh lagi, al-Bukhari bahkan menggunakan cara-cara spiritual untuk mendukung keyakinannya akan ketersambungan sanad hadis yang akan diriwayatkannya. Menurut Muhammad Zafzaf, sebagaimana yang telah dinukil oleh Burhan Djamaluddin, al-Bukhari melakukan shalat istikharah sebelum memutuskan untuk menerima atau menolak sebuah hadis yang ia dapatkan. Sedangkan ulama lain tidak mengharuskan bertemu antara guru dengan murid, tetapi cukup hidup satu masa.41

Ketatnya persyaratan yang ditentukan oleh Imam al-Bukhari, dibanding dengan syarat yang ditetapkan imam hadis lainnya, menempatkan kitab shahih al-Bukhari pada posisi teratas dalam nilai hadis yang termuat di dalamnya.

41 Burhan Djamaluddin,Qunut Subuh, 19


(44)

35

b. Adil

Syarat kedua yang harus ada dalam hadis shahih adalah adil, yaitu seorang perawi harus istiqamah (konsisten) dalam menjalankan agama, memiliki moral yang baik, tidak melakukan kefasikan, dan menjaga muru‟ah (harga diri).42 Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ukuran konsistensi dalam menjalankan agama, seperti pertentangan antara al-Bukhari dengan al-Nasa>‟i mengenai seorang perawi hadis bernama Abu Laila. Walaupun dalam kitab ulu>m al-h}adi>th tidak dijelaskan secara rinci mengenai kriteria adil yang mereka perselisihkan, namun ternyata al-Bukhari menerima hadis riwayat Abu Laila karena menurutnya Abu Laila merupakan seorang perawi yang adil. Sedangkan al-Nasa>‟i tidak menerima hadis riwayat Abu Laila kerena menganggap ia bukan seorang perawi yang adil. Ukuran konsistensi dalam menjalankan agama mencakup bidang yang cukup luas, baik bidang ibadah maupun mu‟amalah. Sebagai contoh misalnya perawi A, karena ia tidak selalu menjalankan ibadah sunah, bisa saja ia dinilai tidak konsisten menjalankan agama. Sebaliknya, perawi hadis tersebut dapat dinilai adil oleh kritikus lainnya.

Lebih jauh lagi, yang dapat membuka peluang untuk berbeda pendapat dalam menilai seorang perawi hadis adalah moralnya. Bagi seorang kritikus hadis yang mengutamakan etika, seorang perawi dapat dinilai tidak adil pada saat ia tidak mengucapkan salam ketika berjumpa dengan orang lain. Sedangkan menurut kritikus hadis yang tidak begitu mengutamakan etika, bisa saja menilai perawi tersebut sebagai perawi yang adil walaupun ia tidak mengucapkan salam. Apalagi yang


(45)

36

dipakai oleh kritikus hadis tersebut adalah standar hukum fiqh. Dalam hukum fiqh, mengucap salam tidak wajib, dan hanya menjawabnya saja yang wajib. Dan masih banyak lagi masalah moral sebagai salah satu syarat yang harus dipenuhi oleh seorang perawi hadis, yang memberi peluang untuk diperdebatkan.

Kriteria yang paling rumit dari sekian banyak kriteria adilnya seorang perawi adalah menjaga muru‟ah. Bagi seorang kritikus hadis yang selektif, seorang perawi yang tidak memakai kopiah saja dapat dinilai tidak adil, karena ia tidak menjaga muru‟ah. Sebagai dampak dari penilaian tersebut, banyak perawi yang tidak memenuhi syarat sebagai perawi hadis shahih. Berbeda dengan kritikus yang pertama, kritikus kedua yang tidak terlalu selektif dalam menilai perawi hadis, dapat menerima hadis dari perawi yang tidak menutup kepala, karena tidak menutup kepala tidak menjatuhkan harga diri (murawu‟ah). Begitu juga makan dan minum dengan cara berdiri. Hal tersebut bisa saja menimbulkan pertentangan pendapat di kalangan kritikus hadis, seperti halnya pertentangan mereka dalam masalah menutup kepala.

c. D{abit{

Syarat ketiga adalah d{abit{ (kuat hafalan). Para kritikus hadis menetapkan bahwa seorang perawi hadis haruslah orang yang d{abit{, yaitu perawi yang mampu menghafal hadis yang ia terima dari gurunya dan mampu menyampaikan lagi kepada orang lain persis seperti yang ia terima dari gurunya. Perawi yang d{abit{ juga mampu


(46)

37

mengetahui kesalahan yang terjadi, baik berupa penambahan maupun pengurangan matan hadis yang ia riwayatkan.43

Dalam kitab-kitab rijal al-h}adi>th, adil dan d{a>bit{ biasanya digabung dalam satu istilah, yaitu thiqah. Dan thiqah itu sendiri memiliki beberapa tingkatan, dari tingkat yang paling tinggi sampai kepada tingkatan yang paling rendah. Adanya tingkatan kethiqahan seorang perawi membawa dampak kepada bertingkatnya nilai hadis Nabi. Ajjaj al-Khathib, sebagaimana yang dititurkan oleh Burhan Djamaluddin, membagi urutan kethiqahan perawi hadis kepada enam tingkat, yaitu:44

Pertama, tingkat kethiqahan yang paling tinggi, yaitu yang ditandai oleh kata yang menunjuk pada arti mubalaghah (tingkat paling atau superlative), seperti authaq al-nas (orang yang terpercaya), ad{bat{ al-nas (orang yang paling kuat hafalannya), laisa lahu naz{ir (orang yang tidak ada tandingannya dalam kethiqahan).

Kedua, tingkat kethiqahan yang ditandai dengan istilah la> yus‟alu „anhu (tidak perlu dipertanyakan lagi) atau la> yus‟alu „an mithlih (tidak perlu dicari orang seperti dia). Perawi yang mendapat nilai kedua ini, maka keshahihan hadis yang diriwayatkan kedudukannya lebih rendah dari keshahihan hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang memiliki nilai tingkat pertama.

Ketiga, tingkat kethiqahan yang ditandai dengan mengulang kata thiqah, seperti: thiqah-thiqah atau ditandai dengan istilah thiqah ma‟mun atau thiqah hafiz.

43Ibid


(47)

38

Keempat, kethiqahan yang ditandai oleh kata thabat, mutqin, hujjatun, imam fi al-hadis, „adlun hafid, dan „adlun d{abit{un. Secara berurutan, urutan keempat ini masih termasuk kategori shahih, tetapi menempati urutan di bawah keshahihan urutan ke tiga.

Kelima, kethiqahan yang ditandai dengan kata seperti s{aduq, ma‟mun, la> ba‟sa bih. Tingkatan ke lima ini mengindikasikan bahwa perawi adalah orang yang adil tetapi hafalannya kurang kuat. Lafaz{ lain yang semakna dengan ini adalah mahalluh al-s{idqu (pantas dikategorikan perawi yang adil), s{alih al-h}adi>th (hadis yang diriwayatkannya baik untuk dijadikan hujjah). Namun sebagian ulama ahli hadis menempatkan dua istilah terakhir ini pada urutan ke enam.

Keenam, kethiqahan yang ditandai dengan istilah seperti syaikh, laisa bi ab‟ad min al-s{awab (tidak jauh dari kebenaran), s{uwailih (hadisnya agak baik), dan s{aduq insya Allah (insya Allah perawinya seorang yang benar).

d. Tidak terdapat shadh

Syarat ke lima yang harus ada pada hadis shahih adalah hadis tersebut tidak shadh, yaitu perawi hadis tersebut tidak bertentangan dengan perawi lain yang lebih thiqah. Dengan kata lain tidak ada pertentangan secara substansial bukan redaksional antara hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang thiqah dengan riwayat hadis dari perawi yang lebih thiqah, serta pertentangan tersebut tidak dapat dikompromikan sehingga dengan sendirinya hadis yang diriwayatkan oleh pertama dianggap shaz.


(48)

39

e. Tidak terdapat illat

Syarat ke enam dari hadis shahih adalah hadis tersebut tidak cacat, misalnya hadis yang sanadnya tampak bersambung (muttas{il) dan sampai pada Nabi (marfu‟) namun ternyata hanya sampai pada sahabat (mawquf), hadis munqat{i’ (hadis yang tidak bersambung sanadnya) dianggap hadis maws{u>l(bersambung sanadnya).

Ajjaj al-Khatib menyebut cacadnya seorang perawi hadis ada enam tingkatan, yaitu:45

Pertama, cacat yang paling parah yang ditandai dengan istilah yang menunjukkan arti paling (superlative), seperti akz{ab al-nas (orang yang paling bohong). Kedua, cacat yang ditandai dengan istilah yang berarti bohong, seperti kaz{z{ab (pembohong) atau wad{d{a’ (orang yang senang membuat-buat berita). Ketiga, cacat yang ditandai oleh kata yang merujuk bahwa ia dituduh berbohong, seperti muttah}amun bi al-kaz{ib (dituduh berbohong), muttah}amun bi al-wad}‟i (dituduh membuat hadis), sariqa al-h}adi>th (mencuri hadis), atau laisa bi thiqah (dia tidak thiqah). Keempat, cacat yang ditandai oleh kata-kata seperti rudda hadithuh (hadisnya ditolak), d{a’if jiddan (lemah sekali), laisa bi shai‟in (tidak ada apa-apanya), atau la> yuktabu h}adithuh (hadis yang diriwayatkannya tidak boleh ditulis atau diriwayatkan). Kelima, cacat yang ditandai oleh kata-kata seperti mud{t{arib al-h}adi>th (hadis yang diriwayatkannya mud{t{arib), la> yuhtajju bih (hadisnya tidak dapat dijadikan hujjah), d{a’if (lemah), atau lahu manakir (hadis yang diriwayatkannya termasuk hadis munkar). Keenam, cacat yang merujuk

45Ibid, 27-28


(49)

40

pada arti lemah, tetapi mendekati thiqah, seperti laisa bi z{aka al-qawiyyi (tidak begitu kuat), fihi maqal (hadis yang diriwayatkannya masih perlu diperdebatkan), atau laisa bi h}ujjatin(hadis yang diriwayatkannya tidak dapat dijadikan hujjah), atau fihi d{a’fun (hadis yang diriwayatkannya terdapat kelemahan), atau ghairuhu authaq minhu (orang lain lebih thiqah dari pada dia).

Kecacatan perawi tingkat pertama menunjuk pada beratnya kelemahan yang dimiliki seorang perawi. Dan urutan yang paling bawah dalam urutan kecacatan perawi mengarah pada kethiqahan, sebab semakin ringan kelemahan yang terdapat pada seorang perawi tersebut, semakin mengarah kepada kethiqahan.

3. Al-Jarh} wa al-Ta’di>l: Instrumen Penguji Kredibilitas Perawi

Pengetahuan tentang jarh} wa ta’di>l merupakan sebuah keniscayaan dalam penelitian terhadap hadis Nabi, mengingat jarh} wa ta’di>l merupakan satu disiplin ilmu yang sangat terkait dalam menentukan kualitas sebuah hadis. Kedua term ini jika didekati secara definitive baik secara etimologi maupun terminology akan didapatkan pendapat yang beragam yang telah diajukan oleh para ulama.

Kata jarh} merupakan bentuk mas{dar dari kata kerja ja-ra-h}a yang berarti membuat luka pada tubuh orang lain yang ditandai dengan mengalirnya darah, seperti

dalam ungkapan orang Arab

د اشلاَمكاْاَحرج

(hakim telah melukai seorang saksi).46 Sedangkan secara terminology al-jarh}u berarti munculnya suatu sifat dalam diri perawi yang dapat menodai sifat adilnya atau mencacatkan hafalan dan ingatannya


(50)

41

yang dapat menyebabkan riwayat yang disampaikannya menjadi gugur, lemah, atau bahkan tertolak.47

Sedangkan kata ta’di>l secara bahasa berasal dari kata „a-da-la yaitu sesuatu yang dapat dirasakan dalam keadaan benar dan lurus, sehingga kata ini tampak berlawanan dengan kata al-jarh}u. Sementara secara istilah terdapat pendapat yang beragam diantara para ulama. Misalnya al-Khatib mendefinisikannya sebagai upaya mensifati perawi dengan sifat-sifat yang dapat menyucikan diri dari sifat-sifat tercela sehingga tampak keadilannya.48 Dalam redaksi yang berbeda dengan definisi di atas, ta’di>l juga diartikan sebagai upaya pensifatan terhadap seseorang dengan suatu sifat yang menjadikan riwayatnya dapat diterima.49

Dari definisi dua term di atas, al-jarh} dan ta’di>l dapat dipahami bahwa ilmu jarh} wa ta’di>l seperti didefinisikan oleh Subhi al-Shalih adalah suatu disiplin ilmu yang membahas tentang para perawi dari segi kepribadiannya baik mengenai sifat-sifat yang tercela maupun sifat yang terpuji dengan menggunakan kata-kata khusus.50 Dengan kata lain ilmu ini membahas tentang hal ikhwal para perawi dari segi diterima ataupun ditolaknya riwayat mereka.51

Kata-kata khusus sebagai penyifatan terhadap seorang perawi seperti terdapat pada definisi diatas, sesuai dengan tipologi yang dilakukan oleh Abu Hatim al-Razi

47 M. Agus Solahuddin dan Agus Suyadi, Ulum al-Hadis..., 157 48 Umi Sumbulah, Buku Ajar,..., 78

49 Zeid B. Smeer, Ulumul Hadis,...,133

50 Abdul Majid Khon, Ulum al-Hadis, (Jakarta: Amzah, 2008), 85 51 M. Agus Solahuddin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis..., 158


(51)

42

dalam karyanya yang berjudul al-Jarh} wa Ta’di>l yang selanjutnya dikutip oleh Mahmud Thahan terklasifikasi ke dalam bagian berikut ini.

Tingkatab jarh} serta lafaz{ yang digunakan di dalamnya terbagi ke dalam enam tingkatan, yaitu sebagai berikut:

a. Tingkatan pertama yang menunjuk pada kelemahan dan tingkatan jarh} yang paling rendah digunakan kata

ثيدْاَ ْل

(hadisnya lemah) atau

لاقَُ يف

(dalam perbincangan).

b. Tingkatan kedua yang menunjuk pada kelemahan terhadap perawi dengan

menggunakan kata

بَّجتحَََنَف

(si fulan tidak dapat dijadikan hujjah) atau

َ

فيعض atau

َركا َُ ل

(dia adalah perawi yang lemah atau memiliki sejumlah hadis munkar). c. Tingkatan ketiga menunjuk pada kelemahan yang menyebabkan hadis yang diriwayatkan tidak boleh ditulis. Hal tersebut ditunjuk dengan penggunaan kata

ثيدحَبتكيَََنَف

atau هنع

ةياورلاَلحََ

atau ا

دجَفيعضَنَف

dan adakalanya dengan menggunakan kata (orang yang sering menduga-duga).

d. Tingkatan keempat menunjuk pada tuduhan dusta atau pemalsu hadis dengan

penggunaan kata

بذكلابَمهتَُنَف

(fulan dituduh berdusta) atau

عضولابَمهتَُنَف

(dituduh pemalsu hadis) atau

ثيدْاَقرس

(mencuri hadis) atau

طقاس

(perawi yang


(1)

131

karena kedudukannya sebagai ashabah (ibnu ibni ‘ammiha) bukan sebagai anak.

B.Saran

Dari hasil penelitian ini terdapat beberapa hal yang perlu ditindak lanjuti, yaitu:

1. Dalam memahami nash-nash agama termasuk di dalamnya hadis Nabi sangat diperlukan pendekatan-pendekatan yang mengarah pada usaha kontekstualisasi yang memungkinkan hadith Nabi tetap mampu berdialog dan kompatibilitas dengan tantangan zamannya.

2. Diperlukan upaya untuk membedakan antara hadis-hadis Nabi yang bermuatan normatif-doktrin dan hadis Nabi yang mengalami dialektika dengan budaya lokal pada saat hadis tersebut muncul.

3. Khusus kepada pemerintah, hendaknya membuat “PASAL” baru yang mengatur tentang anak menjadi wali nikah ibu, mengingat Syafi‟iyah dalam hal ini juga membolehkan “anak menjadi wali nikah ibu” walaupun tidak secara mutlak.

Demikian hasil penyusunan skripsi ini, tentunya dalam penulisan banyak sekali kekurangan dan kekeliruan. Oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun dari para cendekia sangat penulis harapkan demi perbaikan skripsi ini serta dapat menjadi acuan dalam penelitian selanjutnya.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

DEPAG (2002) al-Quran dan Terjemahnya

Abbas, Hasjim (2004) Kritik Matan Hadis. Yogyakarta: Teras

Abdullah, M. Amin (1996) “Hadis dalam Khazanah Intelektual Muslim”, dalam Yunahar Ilyas dan M. Mas‟udi (ed), Pengembangan Pemikiran Terhadap Hadis. Yogyakarta: LPPI

Abidin, Ibn (2000) Hasyiyah Radd al-Mukhtar. Beirut: Dar al-Fikr

Ahmad, Muhammad dan M. Mudzakir (2004) Ulumul Hadis. Bandung: Pustaka Setia

Al-Albani, Muhammad Nashiruddin (1985) Irwa’ al-Ghalil fi Takhrij Ahadits Manar al-Sabil. Beirut: al-Maktab al-Islami

Al-Ashbahi, Malik bin Anas, Mudawwanah Kubra. Beirut: Dar Kutub al-Ilmiyah

Al-Asqalani, Ibn Hajar, Nukhbah al-Fikr. Beirut: Dar al-Ihya‟ al-Turats al-Arab ________________ (1379) Fath Bari Syarh Shahih Bukhari. Beirut: Dar

al-Makrifah

________________ (1995) Tahdzib al-Tahdzib. Beirut: Dar al-Fikr

Al-Asy‟ats, Abu Dawud Sulaiman, Sunan Abi Dawud. Beirut: Dar Kitab al-Arab

Al-Bujairami, Sulaiman bin Umar, Hasyiyah al-Bujairami ‘ala Syarh Minhaj al -Thullab. Turki: al-Maktabah al-Islamiyah

____________ (1996) Tuhfah al-Habib ‘ala Syarh al-Khathib. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah

Al-Daruquthni, Ali bin Umar Abu al-Hasan (1966) Sunan al-Daruquthni. Beirut: Dar al-Ma‟rifah

Al-Dasuqi, Muhammad, Hasyiyah al-Dasuqi. Beirut: Dar al-Fikr

Al-Dimyathi, Abu Bakar Syatha (2005) Hasyiyah I’anah al-Thalibin. Beirut: Dar Ibn „Ashashah

Al-Ghazali, Muhammad bin Muhammad (1413) al-Mustashfa fi Ilmi al-Ushul. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah


(3)

133

Al-Hadi, Syamsuddin bin Muhammad bin Ahmad bin Abd (1998) Tanqih Tahqiq Ahaditsi al-Ta’liq. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah

Al-Hakim, Muhammad bin Abdullah Abu Abdillah (1990) al-mustadrak ‘ala al -Shahihaini. Beirut: Dar al-Kutub Ilmiyah

Al-Jauzi, Jamaluddin Abu Faraj Abd. Rahman (1415) Tahqiq fi Ahaditsi al-Khilaf. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah

Al-Jaziri, Abdurrahman (2003) al-Fiqh ‘ala al-madzahib al-Arba’ah. Beirut: Dar al-Kutub al-Islamiyah

Al-Kasani, „Alauddin (1982) Badai’ al-Shanai’ fi Tartib al-Syarai’. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah

Al-Khathib, Muhammad Ajjaj (1975) al-Sunah Qabla al-Tadwin. Kairo: Maktabah Wahbah

_________________ (1971) Ushul al-Hadis Ulumuhu wa Mushthalahuh. Beirut: Dar al-Fikr

Al-Maliki, Muhammad bin Alwi (1397) al-Qawa’id al-Asasiyah fi Ilm Mushthalah al-Hadis. Jakarta: Syirkah Dinamika Berkah Utama

Al-Mardawi, „Alauddin Abu al-Hasan Ali (1419) al-Inshaf. Beirut: Dar al-Ihya‟ al-Turats al-Arabi

Al-Nafrawi, Ahmad Ghanim (1997) al-Fawakih al-Dawwani. Beirut: Dar al-Fikr Al-Nasa‟i, Abu Abdurrahman (2001) Sunan Kubra. Beirut: Muassasah

al-Risalah

Al-Nawawi (1405) Raudhah al-Thalibin. Beirut: al-Maktabah al-Islamiyah Al-Qalyubi, Syihabuddin Ahmad, Hasyiyah al-Qalyubi. Beirut: Dar al-Fikr Al-Qusairi, Abu Hasan Muslim bin al-Hajjaj, Shahih Muslim. Surabaya:

al-Hidayah

Al-Qurthubi, Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad (2003) al-Jami’ li Ahkam al -Quran. Riyadh: Dar al-„Alam al-Kutub

Al-Qazwini, Muhammad bin Yazid Abu Abdillah, Sunan Ibn Majah. Beirut: Dar al-Fikr

Al-Ramli (1984) Nihayah al-Muhtaj. Beirut: Dar al-Fikr

Al-Suyuthi, Abdurrahman (1403) al-Asybah wa al-Nadzair. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah


(4)

134

Al-Syarbini, Muhammad al-Khathib, Mughni al-Muhtaj. Beirut: Dar al-Fikr ______________________ (1445) al-Iqna’ fi Hilli Alfadzi Abi Syuja’. Beirut: Dar

al-Fikr

Al-Syathibi (1997) al-Muwafaqat. Madinah: Dar Ibn „Affan

Al-Syathiri, Muhammad bin Ahmad (1997) Syarh al-Yaqut al-Nafis. Beirut: Dar al-Hawi

Al-Tirmidzi, Muhammad Isa, Sunan al-Tirmidzi. Beirut: Dar al-Ihya‟ al-Turats al-Arabi

Al-Thahawi, Ahmad bin Muhammad (1399) Syarh Ma’ani al-Atsar. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah

Al-Tuwajuri, Muhammad bin Ibrahim (2009) Mausu’ah al-Fiqh al-Islami. Mesir: Bait al-Afkar al-Dauliyah

Arikunto, Suharsimi (2006) Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: PT. Rineka Cipta

Bisri, Adib dan Munawir A. Fatah (1999) Kamus al-Bisri. Surabaya: Pustaka Progresif

Bustamin dan M. Isa H. A. Salam (2004) Metodologi Kritik Hadis. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada

Dahlan, Abdul Aziz (2000) Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta : PT Ichtiar Van Hoeve

Djamaluddin, Burhan (2005) Qunut Subuh Bid’ah? Kajian Komprehensif Tentang Hadis- Hadis Qunut Subuh. Surabaya: Pustaka Hikmah Perdana dan Mihzab

Dosen Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (2009), M. Alfatih Suryadilega (ed), Studi Kitab Hadis. Yogyakarta: Teras

Hanbal, Ahmad bin, Musnad Ahmad bin Hanbal. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah Ham, Musahadi (2000) Evolusi Konsep Sunah. Semarang: Aneka Ilmu

Hidayat, Komarudin (2004) Menafsirkan Kehendak Tuhan. Jakarta: Teraju

Ismail, M. Syuhudi (1994) Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual. Jakarta: PT. Bulan Bintang

_______________ (2005) Kaidah Kesahihan Sanad Hadis. Jakarta: PT. Bulan Bintang


(5)

135

„Itr, Nuruddin (2006) Manhaj al-Naqd fi Ulum al-Hadis. Damaskus: Dar al-Fikr Katsir, Ibn, al-Baits al-Hatsits fi Ikhtishar Ulum al-Hadis. Beirut: Dar al-Kutub

al-Islamiyah

Khaeruman, Badri (2004) Otentisitas Hadis: Studi Kritis Atas Kajian Hadis Kontemporer. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya

Khalil, Syauqi Abu (2007) Atlas Hadis. Jakarta: al-Mahira Khon, Abd. Majid (2008) Ulumul Hadis. Jakarta: Amzah

Majid, Ahmad Abdul (1994) Muhadharat fi Ushul al-Fiqh. Pasuruan: Garoeda Buana Indah

Mandzur, Muhammad bin Makram Ibn (1992) Lisan Arab. Kairo: Dar al-Ma‟arif

Mansyur, M. dkk (2007) Metodologi Penelitian Living Quran dan Hadis. Yogyakarta: Teras

Mughniyah, Muhammad Jawad (1992) Fiqh Lima Madzhab. Jakarta: Lentera Mukhtar, Kamal (1993) Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan. Jakarta:

PT. Bulan Bintang

Munawar, Said Agil Husin dan Abdul Mustaqim (2001) Studi Kritis Hadis Nabi: Pendekatan Sosio-Historis-Kontekstual. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Munawir, A.W (1984) Kamus al-Munawir. Yogyakarta: Unit PBIK PP.

Al-Munawir

Mursi, Muhammad Said (2008) Tokoh-Tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah, terj. Khoirul Amru Harahab dan Ali Fauzan. Jakarta: Pustaka al-Kautsar Poerwadarminta, W.J.S (1976) Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai

Pustaka

Rusyd, Ibn, Bidayah Mujtahid wa Nihayah Muqtashid. Surabaya: al-Haramain

Sholahuddin, Agus dan Agus Suyadi (2011) Ulumul Hadis. Bandung: Pustaka Setia

Slamet, Abidin (1999) Fiqh Munakahat I. Bandung: CV. Pustaka Setia Smeer, Zeid B (2008) Ulumul Hadis. Malang: UIN Press

Sumbulah, Umi (2008) Kritik Hadis. Malang: UIN Press


(6)

136

Thahhan, Mahmud, Tafsir Mushthalah al-Hadis. Surabaya: Bungkul Indah

Tim Penyusun (1990) Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka

Yuslem, Nawir (2006) Sembilan Kitab Induk Hadis. Jakarta: Hijri Pustaka Utama Zenrif, MF (2008) Sintesis Paradigma Studi al-Quran. Malang: UIN Press

Zuhri, Muh (2003) Telaah Matan Hadis: Sebuah Tawaran Metodologis. Yogyakarta: LESFI