HADIS TENTANG WANITA HAID MASUK MASJID (KAJIAN MUKHTALIF AL-HADIS DALAM SUNAN ABI DAWUD NO. INDEKS 232 DAN 261).

(1)

HADIS TENTANG WANITA HAID MASUK MASJID

(Kajian

Mukhtalif Al-H{adi>th

dalam Kitab Sunan

Abi> Da>wud

No.

Indeks 232 dan No. Indeks 261)

Skripsi:

Disusun untuk Memenuhi Tugas Akhir Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S-1) dalam Ilmu Ushuluddin dan Filsafat

Oleh:

LAILI NUR ROCHMAH E03212021

JURUSAN AL-QUR’AN DAN HADIS

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA 2016


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

xii

ABSTRAK

Laili Nur Rochmah. Hadis Tentang Wanita Haid Masuk Masjid (Kajian

Mukhtalif al-Hadi>th dalam Kitab Sunan Abi> Da>wud No. Indeks 232 dan No. Indeks 261.

Penelitian ini dilakukan karena terdapat dua hadis yang sama-sama diriwayatkan oleh ‘ A<’ishah ra namun memiliki kandungan makna yang berbeda, tentunya hal ini menimbulkan pertentangan, terlebih lagi mengenai wanita haid yang masuk masjid merupakan hal yang kerap terjadi. Bekal ini sewajarnya mampu menjadi penuntun manusia agar lebih berhati-hati dan berpegang teguh kepada hadis yang s}ah}i>h} dalam menerapkan suatu hukum atau permasalahan.

Skripsi ini adalah hasil penelitian kepustakaan untuk menjawab permasalahan mengenai kualitas dan keh}ujjahan hadis tentang wanita haid masuk masjid dalam kitab Sunan Abi> Da>wud yakni antara hadis yang melarang (no. indeks 232) dan membolehkan (no. indeks 261), serta penyelesaian kedua hadis tersebut dengan menggunakan kajian keilmuan mukhtalif al-Hadi>th. Sifat dari penelitian ini adalah kepustakaan (library research) dengan menggunakan metode penyajian secara deskriptif dan analitis. Sesuai dengan permasalahan yang akan dibahas, maka pengumpulan data diperoleh dengan meneliti kitab Sunan Abi> Da>wud dan dibantu dengan kitab standar lainnya, kemudian dianalisa dengan menggunakan metode takhri>j dan yang terakhir adalah dengan menerapkan kajian keilmuan mukhtalif al-Hadi>th dalam memecahkan kedua hadis tersebut.

Adapun hasil dari penelitian ini adalah bahwa kedua hadisnya yakni hadis no. Indeks 232 yang berkualitas s}ah}ih secara sanad dan matn dan termasuk kategori maqbu>l ma’mulun bih yang bisa dijadikan h}ujjah. Dan hadis no. Indeks 261 yang berkualitas s}ah}ih secara keseluruhan, baik sanad ataupun matn dan termasuk kategori maqbu>l ma’mulun bih yang dapat dijadikan h}ujjah dan dapat diamalkan sesuai dengan konteksnya, kemudian setelah mengkaji kedua hadis tersebut dengan menggunakan kajian keilmuan mukhtalif al-Hadi>th, dapat diketahui bahwa metode yang tepat adalah dengan jalan al-Jam’u wa al-Tawfiq (memadukan dan mengkompromikan) yakni Wanita Haid dilarang masuk masjid jika dia berdiam lama di dalam masjid dan dia khawatir akan dapat mengotori masjid. Kemudian wanita haid diperbolehkan masuk masjid jika dia ada keperluan dan tidak berdiam lama di dalam masjid dan juga dia tidak khawatir akan dapat mengotori masjid.

Kata Kunci: Hadis, Wanita Haid, Masuk Masjid, Mukhtalif al-Hadi>th, Sunan Abi>


(7)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

PENGESAHAN SKRIPSI ... iii

PERNYATAAN KEASLIAN ... iv

MOTTO ... v

PERSEMBAHAN ... iv

PEDOMAN TRANSLITERASI ... viii

KATA PENGANTAR ... x

ABSTRAK ... xii

DAFTAR ISI ... xiii

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 7

C. Rumusan Masalah ... 8

D. Tujuan Penelitian ... 8

E. Kegunaan Penelitian ... 9

F. Kerangka Teori ... 9

G. Telaah Pustaka ... 10

H. Metode Penelitian ... 11


(8)

xiv

BAB II : HAID DALAM ISLAM DAN KAIDAH MUKHTALIF AL-HADIS

A. Pengertian Haid ... 19

B. Hukum dan Larangan Bagi Wanita Haid ... 25

C. Kaidah Kes}ah}ih}an Hadis ... 26

D. Kaidah Keh}ujjahan Hadis ... 36

E. Kaidah Ma’ani al-H{adi>s ... 39

F. Mukhtalif al-H{adis ... 43

BAB III : HADIS TENTANG WANITA HAID MASUK MASJID DALAM KITAB SUNAN ABI< DA<WUD NO. INDEKS 232 DAN 261 A. Biografi Imam Abi> Da>wud ... 53

B. Kitab Sunan Abi> Da>wud ... 57

C. Hadis Tentang Larangan Wanita Haid Masuk Masjid Abi> Da>wud ... 62

D. Hadis Tentang Pembolehan Wanita Haid Masuk Masjid ... 81

BAB IV : KEH{UJJAHAN DAN PENYELESAIAN HADIS TENTANG WANITA HAID MASUK MASJID A. Kualitas Hadis Larangan Wanita Haid Masuk Masjid dalam Sunan Abi> Da>wud no. Indeks 232 ... 100

B. Keh}ujjahan Hadis Larangan Wanita Haid Masuk Masjid dalam Sunan Abi> Da>wud no. Indeks 232 ... 105


(9)

C. Kualitas Hadis Pembolehan Wanita Haid Masuk Masjid dalam Sunan Abi> Da>wud no. Indeks 261 ... 106 D. Keh}ujjahan Hadis Pembolehan Wanita Haid Masuk Masjid dalam Sunan Abi> Da>wud no. Indeks 261 ... 109 E. Sharh} dan Penyelesaian Hadis Mukhtalif tentang Wanita Haid Masuk Masjid ... 109

BAB V : PENUTUP

A. Kesimpulan ... 116 B. Saran-Saran ... 117


(10)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Islam memiliki sumber dasar dalam menetukan hukum yaitu dengan berpedoman kepada al-Qur’an dan Hadis. Dua hal tersebut merupakan peninggalan Rasulullah SAW kepada ummatnya. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah SAW: “Sesungguhnya telah saya tinggalkan untuk kalian dua hal yang apabila kalian berpegang teguh pada keduanya, niscaya kalian tidak bakal tersesat, yakni kitab Allah SWT (Alquran) dan sunnah Rasulullah SAW”.1

Hadis sebagai sumber kedua dalam menentukan hukum Islam selalu berintegrasi dengan al-Qur’an.2 Hadis menjadi sumber kedua sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat al-Nisa’ ayat 59:

ََي

ْيِذِلا اَهَ ي

ْ يِطَأ اوَُمآ َن

ْ يِطَأَو ََِا اوُع

ْوُسِرلا اوُع

ْمُكِْم ِرْمَْأا ِِوُأَو َل

ِْي ْمُتْعَزاََ ت ْنِإَف

ْوَدُرَ ف ٍءْيَش

ُ

ِرلاَو َِِا ََِإ

ْوُس

ْوُ ِمْؤُ ت ْمُتْ ُك ْنِإ ِل

ِرِخ ْآا ِمْوَ يْلاَو ََِِِ َن

َذ

ْيِوََْ ُنَسْحَأَو ٌرْ يَخ َكِل

ًل

۝

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah SAW dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.3

Ayat diatas telah jelas mengatakan bahwa hadis adalah sumber kedua setelah al-Qur’an. Meksipun demikian, hadis pada masa Rasulullah SAW belum

1Muslihah, “Hadis Pengobatan Al-Kayy”, (Skripsi tidak diterbitkan, Jurusan Tafsir Hadis Fakultas

Ushuluddin IAIN Sunan Ampel, 2012), 1.

2Muh. Zuhri, Hadis Rasulullah, (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 1997), 1.


(11)

2

banyak mendapatkan perhatian dari para sahabat, terutama dalam masalah penulisan dan pembukuannya, hal ini disebabkan karena adanya dua macam riwayat yang didapatkan pada masa Rasulullah SAW. Riwayat yang pertama menerangkan adanya larangan Rasulullah SAW untuk mencatat apapun selain Alquran, karena dikhawatirkan akan terjadi bercampurnya antara Alquran dengan hadis, sebagaimana diriwayatkan oleh Abu> Sa‘i>d al-Khuz}ri>: “Janganlah kalian mencatat sesuatu yang berasal dariku selain Alquran, dan barang siapa mencatat sesuatu yang berasal dari ku selain Alquran, hendaklah menghapusnya”.4

Baru setelah dapat dibedakan dengan tegas antara ayat Alquran dan hadis, maka Rasulullah SAW membolehkan pencatatan hadis, sebagaimana riwayat dari

‘Abdulla>h Ibnu ‘Amr Ibnu al-‘A<s}:

Saya menulis semua yang saya dengar dari Rasulullah SAW dan saya bermaksud untuk menghafalnya tetapi orang-orang melarangnya sambil berkata, engkau tulis semua yang engkau dengar dari Rasulullah SAW padahal ia juga manusia, ia berbicara baik waktu senang atau marah, lalu aku berhenti menulisnya, kemudian hal ini aku sampaikan pada Rasulullah SAW, lalu Rasulullah SAW mengisyaratkan kemulutnya dengan jarinya sambil berkata: Tulislah, Demi zat yang diriku dalam kekuasaannya, tidaklah keluar dari mulutku kecuali yang benar.5

Dalam kajian keislaman, hadis memang memiliki posisi yang amat penting, sebab selain berfungsi sebagai penjelas Alquran, Juga sebagai sarana untuk menjelaskan segala hal-hal yang berkaitan dengan hukum Islam.6

Haid atau menstruasi merupakan fitrah bagi para wanita dari Allah SWT. Wanita yang sudah mulai mengalami haid adalah pertanda bahwa wanita tersebut

4Hasbi ash-Shiddiqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis (Semarang: PT Pustaka Rizki Putra,

1999), 35.

5Ibid., 36.


(12)

3

sudah memasuki masa baligh. Allah SWT telah menjelaskan masalah haid di dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 222:

ِضْيِحَمْلا ِنَع َكَنْوُلَ ئْسَيَو

َوُ ْلُق

ىًذَا

اَف

اَسِّلا اوُلِزَتْع

ِضْيِحَمْلا ِ َء

َنْرُهْطَي ََِح ِنُْوُ بَرْقَ ت َاَو

ِإَف

ِنُْوُ ت ْأَف َنْرِهَطَت اَذ

ُه ُمُكَرَمَا ُثْيَح ْنِم

ِإ

َُِ َه ِن

ََُِو َِْْباِوِ تلا َب

َنْيِرِّهَطَتُمْلا َب

۝

Dan mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang haid. Katakanlah, itu adalah sesuatu yang kotor, karena itu, hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang telah ditentukan oleh Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang yang bertobat dan menyukai orang yang menyucikan diri.7

Wanita yang sedang haid, hukumnya sama dengan wanita yang sedang nifas dan orang yang dalam keadaan junub, karena sama-sama berhadas besar. Wanita yang dalam keadaan seperti ini, telah ditetapkan dalam hukum fiqih Islam bahwa ada larangan-larangan melakukan beberapa hal yang menyangkut ibadah, diantaranya yaitu: shalat, sujud tilawah, puasa, menyentuh al-Qur’an, membaca al-Qur’an, tawaf, dan masuk masjid. Begitu pula dengan Wanita haid. Hal ini telah ditetapkan dalam firman Allah surat al-Nisa ayat 43:

ََي

َهَ يا

َنْيِذِلا

ُبَرْقَ تَا اْوُ َماَء

او

َلِصلا

ُس ْمُتْ نَأَو َة

َكا

ْيِرِباَع ِاِإ اًبُ ُج َاَو َنْوُلْوُقَ ت اَم اْوُمَلْعَ ت ََِح ىَر

اْوُلِسَتْغَ ت ََِح ٍلْيِبَس

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan. (jangan pula hampiri masjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi.8

Ayat diatas menjelaskan bahwa orang yang sedang dalam keadaan junub tidak diperbolehkan masuk masjid kecuali hanya berlalu saja. Dalam ayat ini terdapat perbedaan pendapat mengenai arti kata’a>biri> sabi>l (sekedar berlalu),

7Perpustakaan Nasional RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, Vol 1, . . ., 329. 8Perpustakaan Nasional RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, Vol 2, . . ., 180.


(13)

4

sebagaimana terjadi perbedaan pula tentang makna mendekati shalat yang dilarang tersebut.9

Mengenai lafad la> taqrab al-s}ala>t, ada satu pendapat yang mengatakan bahwa yang dimaksud adalah tidak mendekati (masuk) masjid atau berdiam di dalamnya bagi orang yang dalam keadaan junub, sehingga ia mandi, kecuali hanya berlalu saja. Adapun pendapat lain yang mengatakan bahwa yang dimaksud yaitu shalat itu sendiri. Jadi, yang dilarang yaitu menunaikan shalat bagi orang yang dalam keadaan junub.10

Berhubungan dengan ayat di atas, wanita haid juga tidak diperbolehkan masuk ke masjid karena masjid merupakan tempat suci yang digunakan ibadah oleh orang Islam. Masjid merupakan salah satu tempat yang istimewa bagi orang Islam, oleh karena itu kebersihannya adalah salah satu hal yang senantiasa garus terjaga. Sehingga orang yang terkena najis atau yang sedang dalam keadaan berhadas tidak dperkenankan masuk.

Wanita haid tidak diperbolehkan memasuki majid dikarenakan disamakan hukumnya dengan orang yang dalam keadan junub, karena sama-sama dalam keadaan hadas besar. Akan tetapi, jika dilihat dari fenomena yang ada pada saat ini, keluar masuk masjid merupakan hal yang biasa bagi wanita haid. Seakan-akan tidak ada larangan bagi mereka untuk masuk ke dalam masjid.

Para ulama memiliki perbedaan pendapat mengenai hal ini. Dalam hal ini ulama terbagi menjadi tiga kelompok. Pertama, ulama yang mutlak melarang perempuan haid masuk masjid, baik itu sebentar atau lama. Pandangan ini diikuti

9Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, Vol 2, Terj. As’ad Yasin, dkk, (Jakarta: Gema Insani

Press, 2001), 373.


(14)

5

oleh Malikiah. Kedua, golongan yang melarang perempuan haid memasuki masjid tapi membolehkan jika sekedar lewat, jika tidak ditakutkan akan mengotori masjid. Karena haram mengotori masjid dengan najis yang disebabkan oleh tinggalnya perempuan haid di masjid. Pendapat ini dianut oleh Syafi’iyah. Sedangkan pendapat ketiga, membolehkan perempuan haid diam ataupun melewati masjid dan ini merupakan pendapat Dahiriah.11 Sedangkan Hanabilah membolehkannya dengan syarat berwudhu terlebih dahulu setelah mengeluarkan darah haid, untuk menghindari kekhawatiran menetesnya darah di masjid.12

Perbedaan pendapat ulama’ tersebut bermula dari adanya hadis yang menyatakan bahwa wanita haid dilarang masuk ke dalam masjid dan adanya hadis lain yang menyatakan bahwa wanita haid diperbolehkan masuk ke dalam masjid.

Adapun hadis yang melarang wanita haid masuk masjid yakni diriwayatkan dari Sunan Abi> Da>wud sebagai berikut:

ْ فأا ا ث ,ٍدََِز نب ِدِحاَوْلا ُدْبَع ا ث ,ٌدِدَسُم ا ثّدح

: ْتَلاَق َةَجاَجِد ُتِْب ُةَرْسَج َِِثِدَح :لاق تَل

ع ه يضر َةَشِئاَع ُتْعََِ

ِه ُلْوُسَر َءاَج :ُلْوُقَ ت اه

,ِدِجْسَمْلا ي ٍةَعِراَش ِهِباَحْصَأ ِتوُيُ ب ُوُجُوَو

: َلاقف

ُُ

ِدِجْسَمْلا نع َتوُيُ بْلا ِِذَ اوُهِّجَو

ََ

َِِِلا َلَخَد ُِ ,

َلِزَْ ي ْنَأ َءاَجَر اًئْ يَش ُمْوَقْلا ِعَْصَي َََْو

ِإ َجَرَخَف ,ُةَصْخُر مهيف

ُدْعَ ب ْمِهْيَل

:لاقف

ُُ

ِإَف ِدِجْسَمْلا نع َتوُيُ بْلا اوُهِّجَو

ٍضِئ اَِِ َدِجْسَمْلا ُلِحُأ َا ِّّ

.ََ ٍبُُج َاَو

13

Musaddad telah menceritakan kepada kami, Abdul Wa>h}id bin Ziya>d telah menceritakan kepada kami, al-Aflat, menceritakan kepada kami, dia berkata telah menceritakan kepada saya Jasrah bint Dija>jah berkata, saya mendengar, A<ishah RA. berkata: Rasulullah SAW telah datang dan rumah para sahabat menghadap ke masjid, Nabi bersabda palingkan rumah ini dari

11Ibnu Rusyd, Bida>yah al-Mujtahid wa Niha>yah al-Muqtas>id, Vol. 1, Terj. Imam Ghozali Said

dan A. Zaidun, (Jakarta: Pustaka Amani, 1995), 88.

12Muhammad Utsman al-Khasyt, Fikih Wanita Empat Mazhab, terj. Teguh Sulistyowati, (Jakarta:

Niaga Swadaya, 2014), 88-89.


(15)

6

masjid. Kemudian Nabi masuk dan para sahabat membiarkan rumahnya seperti dulu untuk mengharap turunnya rukhs}ah. Maka Nabi keluar dan bersabda: palingkan rumah ini dari masjid, sesungguhnya aku tidak menghalalkan masjid bagi perempuan haid dan orang junub.

Hadis diatas merupakan salah satu hadis yang digunakan dalil oleh para ulama’ dalam hal larangan wanita yang sedang haid masuk ke dalam masjid. Sedangkan ulama’ yang membolehkan wanita yang sedang haid masuk masjid menggunakan dalil hadis yang juga diriwayatkan oleh Sunan Abi> Da>wud yakni:

,ِم ِس اَقْلا نع ,ِدْيَ بُع نب ِتِب ََ نع ,ِشَمْعأا نع ,َةَيِو اَعُم وبأ ا ث ,ِدََرْسُم نب ُدِدَسُم ا ثدح

:تلاق ةشئاع نع

ِه ُلوُسَر ِِ َلاَقُُ

.ٌضِئ اَح ِِّّإ :ُتْلُ ق .ََِدِجْسَمْلا َنِم َةَرْمُخا ِِيِلِو ََ :

ِه ُلرُسَر لاقف

ُُ :

.ََِكِدَي ِي ْتَسْيَل ِكِتَضْيَح ِنِإ

14

Musaddad bin Musrah}ad telah bercerita kepada kami, Abu> Mu’awiyah telah bercerita kepada kami, dari A’mash, dari Tha>bit bin ‘Ubaid, dari Qa>sim, dari ‘A<isyah berkata: Rasulullah bersabda padaku, ambilkanlah aku al-khumrah (sajadah) dari masjid, ‘A<isyah berkata: sesungguhnya aku sedang haid, Nabi bersabda: sesungguhnya haidmu bukan di tanganmu.

Secara lahiriyah kedua hadis di atas tampak saling bertentangan. Oleh karena itu, para ulama’ memiliki pemahaman yang berbeda mengenai wanita haid masuk masjid, hingga muncullah penetapan yang berbeda dari para ulama’.

Adanya hadis yang melarang dan membolehkan wanita haid masuk majid ini, merupakan indikator yang memberi informasi bahwa seolah-olah ada kejanggalan dan ketidak konsistenan seorang Rasulullah SAW ketika mengeluarkan hadis. Hal tersebut tentunya perlu diluruskan dengan melakukan penelusuran dan penelitian lebih mendalam, sebab jika tidak, maka implikasinya


(16)

7

akan sangat negatif terutama bagi kaum inka>r al-sunnah (kelompok Islam yang tidak menganggap hadis sebagai salah satu sumber hukum Islam).15

Dengan adanya perbedaan dalil hadis tersebut yang dianggap sebagai sesuatu yang rancu dan rumit. Kerancuan yang seakan-seakan mempersulit tersebut akan ditemukan benang merah dan titik terang yang akhirnya akan memperjelas permasalahan yang terdapat dalam hadis tersebut maka, dapat diadakannya penelitian mulai dari kualitas sanadnya hingga matan dari kedua hadis tersebut dan penyelesaian dari keduanya melalui metode kritik hadis yang ada. Agar penelitian ini mendalam dan menyeluruh, maka objek kajian dilakukan dalam enam kitab hadis yang dikenal dengan kutub al-sittah. Dari upaya tersebut akan didapatkan mana hadis yang dapat dijadikan h}ujjah dan mana yang tidak. Setelah itu, dilakukan analisis dengan menghubungkan dengan konteks masyarakat kekinian. Agar bisa dijadikan sebagai landasan dalam beramal dan dalam penilaian hadis-hadis yang lain.

B. Identifikasi dan Batasan Masalah

Dari latar belakang di atas, maka dapat diketahui identifikasi masalahnya yaitu sebagai berikut:

1. Bagaiamana pengertian dari haid dalam Islam?

2. Bagaimana ketapan hukum Islam tentang wanita haid dalam hal ibadah? 3. Bagaimana larangan-larangan bagi wanita haid?

4. Bagaimana bagaimana hukum wanita haid masuk masjid (sebagai tempat ibadah)?

5. Bagaimana perbedaan pendapat ulama tentang wanita haid masuk masjid?

15Ahmad Husnan, Gerakan Inkaru As-Sunnah Dan Jawabannya, (Jakarta Pusat: Media Da’wah,


(17)

8

6. Bagaimana metode mukhtalif al-hadith dalam memecahkan

permasalahan?

Dalam penelitian ini, penulis hanya membatasi pada satu permasalahan saja, yaitu hadis tentang wanita haid masuk masjid dalam kitab Sunan Abi> Daw>ud no. Indeks 232 dan no. Indeks 261. Kemudian mengkaji kedua hadis tersebut dengan menggunakan metode mukhtalif al-hadith.

C. Rumusan Masalah

Berangkat dari identifikasi tersebut, maka rumusan masalah yang sesuai dengan hal tersebut adalah:

1. Bagaimana kualitas hadis tentang wanita haid masuk masjid dalam kitab Sunan Abi> Daw>ud nomor indeks 232 dan 261?

2. Bagaimana kehujjahan hadis tentang wanita haid masuk masjid dalam kitab Sunan Abi> Daw>ud nomor indeks 232 dan 261?

3. Bagaimana penyelesaian hadis tentang wanita haid masuk masjid dalam kitab Sunan Abi> Daw>ud nomor indeks 232 dan 261?

D. Tujuan Penelitian

1. Untuk mendeskripsikan kualitas hadis tentang wanita haid masuk masjid dalam kitab Sunan Abi> Daw>ud nomor indeks 232 dan 261.

2. Untuk mendeskripsikan kehujjahan hadis tentang wanita haid masuk masjid dalam kitab Sunan Abi> Daw>ud nomor indeks 232 dan 261.

3. Untuk mendeskripsikan penyelesaian hadis tentang wanita haid masuk masjid dalam kitab Sunan Abi> Daw>ud nomor indeks 232 dan 261.


(18)

9

E. Kegunaan Penelitian

Hasil dari penelitian ini mempunyai kegunaan secara praktis dan teoritis. Adapun kegunaan tersebut ialah sebagai berikut:

1. Kegunaan secara teoritis

Sebagai tambahan pemikiran dan upaya guna memperkaya wawasan keilmuan pengetahuan Islam khususnya dalam bidang hadis.

2. Kegunaan secara praktis

Menemukan suatu landasan hukum yang memang ada dalam bentuk teks yang telah terjadi pada zaman Rasulullah SAW, sehingga ke depannya dapat dijadikan landasan sebuah sikap yang benar dalam menentukan pilihan arah yang dituju, yang pada akhirnya dapat memberikan perubahan paradigma yang lebih baik.

F. Kerangka Teori

Penelitian ini merupakan penelitian dalam bidang hadis, oleh karena itu landasan teori yang diutamakan adalah teori untuk menguji kualitas hadis, yang kemudian dilanjutkan dengan teori-teori yang diperlukan untuk merasionalkan maksud yang terkandung dalam hadis. Setiap bagian hasil penelitian ini akan dilandaskan terhadap pendapat ulama, sebab dalam penelitian hadis memang harus terpaku pada pengokohan teori.

Hal yang pertama dilakukan adalah mengumpulkan data dengan menggunakan metode takhrij yang berguna untuk mencari hadis-hadis dari berbagai kitab. Setelah itu dilanjutkan dengan metode i’tibar terhadap hadis-hadis


(19)

10

yang telah ditemukan dalam berbagai kitab untuk mengetahui tawa>bi’ dan shawa>hidnya, kemudian dilanjutkan dengan membuat skema sanad lengkap beserta biografi dari tiap-tiap perawi dari berbagai kitab yang ditemukan guna untuk mengetahui jarh} wa al-ta’di>l dari tiap perawi tersebut.

Setelah melakukan pada penelitian sanad dan matn hadis guna untuk mengetahui kualitas hadis, maka dari kualitas tersebut dapat ditarik penilaian mengenai kelayakan hadis, yang mana hadis itu dapat dijadikan h}ujjah atau tidak. Setelah melakukan hal tersebut dilanjutkan dengan menganalisa data yang sudah terkumpul baik yang berkaitan dengan sanad ataupun matnnya dengan menggunakan teori-teori kritik hadis, kemudian dilanjutkan lagi dengan penelitian ma'ani al-h}adith untuk mengetahui kandungan makna yang terdapat dalam hadis, yaitu dengan menggunakan teori pendekatan kebahasaan dan mencoba untuk menyelaraskan hadis dengan pendapat ulama dengan tahapan-tahapan yang tertera dalam ilmu ma’ani al-h}adith.

Setelah mendapatkan penjelasan dari beberapa sharh} al-h}adith, kemudian diselesaikan dengan menggunakan kajian keilmuan mukhtalif al-h}adith supaya di antara kedua hadis terdapat penyelesaian yang baik dan sesuai dengan penjelasan dalam al-Qur’an, guna landasan bagi umat islam selanjutnya.

G. Telaah pustaka

Terdapat karya yang membahas masalah yang serupa dengan penelitian ini, yaitu skripsi yang berjudul “Kualitas Hadis Sunan Abu> Da>wud No. Indeks 261 tentang Wanita Haid Masuk Masjid, yang ditulis oleh Fathurroji pada tahun 2010.


(20)

11

Karya tersebut berisi tentang kritik ulama terhadap sanad hadis, kualitas sanad hadis dan nilai kehujjahan hadis tentang wanita haid masuk masjid dalam Sunan Abu> Da>wud no. Indeks 261. Namun karya tersebut masih dalam pembahasan yang luas, dan berbeda dengan apa yang akan dibahas dalam penelitian ini, yang lebih fokus pada kajian hadis wanita haid masuk masjid yang bertujuan untuk memberikan perubahan kebenaran dan pemahaman objektif tentang dua hadis yang sama-sama dari Rasulullah SAW namun mengandung pemahaman yang berbeda.

Karya lain lagi yang berhubungan dengan penelitian ini yaitu berjudul “Nilai Hadis tentang Menstruasi dalam Sunan an-Nasa’I” yang ditulis oleh Kuswatin pada tahun 1995. Dalam hal ini peneliti tidak dapat menemukan karya tersebut dikarenakan sudah tidak diterbitkan lagi. Oleh sebab itu peneliti tidak dapat memaparkan sekilas mengenai hasil penelitian dari karya ini.

H. Metode Penelitian 1. Model Penelitian

Penelitian ini menggunakan model penelitian kualitatif, yaitu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata yang tertulis dari suatu objek yang dapat di amati dan diteliti16, untuk mendapatkan data yang komprehensif mengenai mukhtalif al-hadith.


(21)

12

Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian yang menggunakan metode library research (penelitian kepustakaan),17 dan kajiannya disajikan secara deskriptif analitis. Oleh karena itu, berbagai sumber data yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari buku-buku baik berupa literatur yang berbahasa Indonesia, maupun berbahasa Arab yang dimungkinkan memiliki hubungan dengan penelitian ini.

2. Sumber Data Penelitian

Dalam penelitian ini, penulis memperoleh sumber data yang mengarah pada tujuan penelitian, yakni sebagai berikut:

a. Sumber data primer, yaitu sumber data yang berfungsi sebagai sumber data asli, dalam hal ini sumber data tersebut berupa:

1) Kitab Sunan Abi> Da>wud karya Abi> Da>wud Sulayman al-Sijista>niy (1416 H).

2) ‘Awn al-Ma‘bu>d Sharh} Sunan Abi> Da>wud, karya Abi> al-T{ayyib Muh}ammad Shams H{aq wa Shams Di>n Ibn Qayyim al-Jawziyyah.

b. Sumber data sekunder, yaitu data-data yang melengkapi atau mendukung dari data primer, yakni berupa bahan pustaka yang berkaitan dengan pokok permasalahan di atas. Data-data tersebut adalah sebagai berikut:

1) Manhaj al-Naqd fi> ‘ulu>m al-H{adith karya Nuruddin ‘It>r 2) Kajian Kritik Ilmu Hadis karya Umi Sumbulah


(22)

13

3) Ulumul Hadis karya Abdul Majid Khon

4) Us}u>l al - H{adi>th 'Ulumu wa Must}alah}uhu karya Muh}ammad Ajjaj

al-Kha>t}ib.

5) Kehujjahan Hadis-Hadis Mukhtalif dalam perspektif Imam Syafi’I

karya Liliek Channa dalam Jurnal al-Khoziny

6) Asbab al wurud karya Ibnu Hamzah al-Husaini

7) Mu’jam al-Mufahras li alfa>z} al-Hadi>th, karya A. J. Wensinck

8) Fath}} al-Ba>ri> fi Sharh} Sah}i>h} al-Bukha>ri>, karya Ibn H}ajr

al-‘Asqola>ni>.

9) Syarh} S{ah}ih} Muslimkarya al-Nawawiy

10)Tuh}fah al-Ah}wadhiy Syarh} Sunan al-Tirmidhi>y karya abi> al-‘Ula>

Muh}ammad bin ‘Abd al-Rah}i>m

11)Mis}ba>h al-Zuja>jah Syarh} Sunan Ibn Ma>jah karya al-Suyu>t}iy 12)Kaedah Kesah>ih>an Hadis; Telaah Kritis Dan Tinjauan Dengan

Pendekatan Ilmu Sejarah, karya M. Syuhudi Ismail

13)Kajian Hadis Metode Takhrij, karya Ahmad Husnan

14)Metodologi Penelitian Hadis Rasulullah karya M. Syuhudi Ismail,

15)Metode Tahrij dan Penelitian Sanad Hadis karya Mahmud

al-Tahhan

16)Metodologi Penelitian karya beberapa dosen Fakultas Ushuluddin

dan lain-lain.

c. Sumber data tersier, yaitu data dari kitab digital, karya ilmiyah, dan data yang terkait dengan judul skripsi yang diteliti oleh penulis.


(23)

14

3. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data penelitian ini menggunakan metode dokumentasi. Metode ini diterapkan hanya pada benda-benda tertulis seperti buku, jurnal ilmiah atau dokumentasi tertulis lainnya. Dalam penelitian hadis, penerapan metode dokumentasi ini dilakukan dengan dua cara pengumpulan data, yaitu takhri>j al-Hadis dan I’tiba>r al-Hadis.

a. Takhri>j al-Hadith

Takhri>j al-Hadith adalah suatu kegiatan untuk menampakkan atau mengeluarkan hadis dari sumber asli.18 Yang dimaksud disini yaitu siapa saja para imam ahli hadis yang mengeluarkan atau mencatat hadis yang menjadi topik kajian dan ada di dalam kitab-kitab apa saja hadis ini dimuat.19

Hal ini dilakukan agar dapat diketahui banyak sedikitnya jalur periwayatan suatu hadis yang menjadi topik kajian atau penelitian. Hal ini dilakukan juga untuk mengetahui kuat dan tidaknya periwayatan hadis tersebut, karena semakin banyak jalur periwayatan, semakin bertambah kekuatan riwayatnya. Begitupun sebaliknya, tanpa adanya dukungan periwayatan lain, kekuatan periwayatan tidak akan bertambah. Dengan ini, kekaburan suatu periwayatan juga dapat diperjelas dari periwayatan dari jalur isna>d lain, baik dari segi rawi, isna>d maupun matn hadis.20

18M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Rasulullah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), 41. 19Ahmad Husnan, Kajian Hadis Metode Takhrij, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1993), 97.


(24)

15

b. I’tiba>r

I’tiba>r yaitu menyertakan sanad-sanad yang lain untuk suatu hadis tertentu, yang mana pada bagian sanadnya tampak hanya terdapat seorang periwayat saja, dan dengan menyertakan sanad-sanad yang lainnya tersebut, maka dapat diketahui apakah ada periwayat yang lain atau tidak untuk menjadi bagian sanad dari sanad hadis yang dimaksud.21

Dengan dilakukannya I’tiba>r, maka akan dapat diketahui dengan jelas seluruh jalur dari sanad hadis yang diteliti, dan juga nama-nama periwayat hadis tersebut dan metode periwayatan yang digunakan oleh masing-masing periwayat. Jadi, fungsi dari I’tiba>r adalah untuk mengetahui keadaan sanad hadis secara keseluruhan yang dilihat dari ada atau tidaknya pendukung yang berupa periayat yang berstatus sebagai tawa>bi’, yaitu periwayat yang berstatus pendukung pada periwayat yang bukan sahabat Rasulullah SAW, ataupun shawa>hid, yaitu periwayat yang berstatus sebagai pendukung yang berkedudukan sebagai sahabat Rasulullah SAW.22

4. Metode Analisis Data

Dalam penelitian ini, analisis data akan dilakukan dengan menggunakan analisis isi (content analysis) untuk menjelaskan data-data yang diperoleh melalui penelitian. Dari penelitian hadis yang secara mendasar terbagi dalam

21Ismail, Metode Penelitian. . ., 51. 22Ismail, Metode Penelitian. . ., 52.


(25)

16

dua kompenen, yakni sanad dan matn, maka analisis data hadis akan meliputi dua kompenen tersebut. Dalam hadis yang akan diteliti ini pendekatan keilmuan yang digunakan untuk analisis ini meliputi asba>b al-wu>ru>d al-ha>di>th yang digunakan untuk mengungkap suatu fakta dari sejarah turunnya hadis sehingga dapat pemahaman suatu hadis yang komprehensif.

a. Kritik Sanad

Setelah takhri>j dan I’tiba>r dilakukan, selanjutanya adalah melakukan kritik sanad. Dalam hal ini penulis melakukan penelitian dan penelusuran sanad hadis tentang individu para perawi dan proses penerimaan hadis dari guru mereka masing-masing (tah}ammul wa

al-ada’) dengan berusaha menemukan kekeliruan dan kesalahan dalam rangkaian sanad untuk menemukan kebenaran, yakni kualitas hadis.

Metode yang digunakan untuk meneliti sanad adalah dengan menggunakan kelimuan ta>rikh al-Ruwah dan al-jarh wa al-ta’dil. Hal ini dilakukan tidak hanya untuk mengetahui biografi perawi tersebut, tapi juga untuk mengetahui integritas dan tingkat intelektual seorang rawi serta keabsahan pertemuan antara mereka selaku guru dan murid dalam periwayatan hadis.

b. Kritik Matn

Suatu hadis dapat dijadikan hujjah apabila hadis tersebut sah}i>h} dalam segi sanad dan matn, sehingga perlu dilakukannya kritik matn dalam penelitian untuk mengetahui kualitas matn hadis. Pengevaluasian atas kebenaran matn diuji pada tingkat kesesuaian


(26)

17

hadis (isi beritanya) dengan penegasan dalam al-Qur’an, logika, fakta sejarah, hadis-hadis lain yang berkualitas sah}i>h} serta hal-hal yang oleh masyarakat umum diakui sebagai bagian dari ajaran Islam.23

Untuk memahami suatu matn hadis, perlunya digunakan metode ma’ani al-h}adith dengan pendekatan-pendekatan yang ditetapkan oleh ulama dalam memahami hadis yang tidak hanya secara tekstual saja, tetapi juga dapat dipahami secara kontekstual dengan menggunakan berbagai teori ilmu ma’ani al-h}adith, sehingga dapat dicapai pemahaman yang lebih komprehensif.

I. Sistematika Pembahasan

Menimbang pentingnya struktur yang terperinci dalam penelitian ini, maka peneliti akan menyajikan sistematika penulisan karya ini dengan sistematika yang jelas, sehingga hasil penelitian hadis tentang wanita haid masuk masjid ini lebih baik dan terarah seperti yang diharapkan peneliti dan semua orang. Adapun sistematika penelitian ini sebagai berikut:

1. Bab I: Pendahuluan. Pada bab ini peneliti mencantumkan beberapa sub-judul sebagai pengantar bagi pembaca. Meliputi latar belakang masalah, identifikasi masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, kerangka teori, telaah pustaka, metodologi penelitian, dan sistematika pembahasan.

2. Bab II: Landasan Teori. Pada bab ini lebih didominasi oleh teori-teori yang mengarah pada kualitas hadis dan teori dalam memahami hadis tentang


(27)

18

wanita haid masuk masjid, yakni mengenai pengertian haid dalam hukum Islam, kaidah kes}ah}i>h}an hadis, kaidah keh}ujjahan hadis, kaidah ma’ani al-H{adith dan seputar mengenai mukhtalif al-h}adi>th.

3. Bab III: Sajian Data. Pada bab ini lebih didominasi oleh hadis tentang wanita haid masuk masjid dan kitab yang membahas, yakni meliputi biografi Abi> Da>wud, kitab sunan Abi> Da>wud, hadis tentang larangan wanita haid masuk masjid No. indeks 232, hadis tentang pembolehan wanita haid masuk masjid No. indeks 261.

4. Bab IV: Analisa Data. Pada bab ini lebih mengedepankan analisis dari hasil penelusuran BAB II dan BAB III, termasuk menjelaskan kualitas hadis tentang larangan wanita haid masuk masjid No. indeks 232, kualitas hadis tentang pembolehan wanita haid masuk masjid No. indeks 261, keh}ujjahan hadis tentang larangan wanita haid masuk masjid, keh}ujjahan hadis tentang pembolehan wanita haid masuk masjid No. indeks 261 dan juga penyelesian hadis tentang wanita haid masuk masjid.

5. BAB V: Penutup. Bab ini merupakan bagian penutup yang mengemukakan kesimpulan sebagai jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dalam pokok permasalahan dan saran-saran guna pengembangan ilmu pengetahuan dan penelitian.


(28)

19

BAB II

HAID DALAM ISLAM DAN KAIDAH

MUKHTALIF

AL-H}ADI<TH

A. Pengertian Haid

1. Pengertian Haid

Haid secara bahasa artinya adalah banjir atau mengalir. Oleh sebab itu, apabila terjadi banjir pada suatu lembah, maka orang Arab menyebutnya sebagai h}a>d}a al-wa>di.1Secara syara’ haid adalah darah yang keluar dari ujung Rahim perempuan ketika dia dalam keadaan sehat, bukan semasa melahirkan bayi atau semasa sakit, dan darah tersebut keluar dalam masa yang tertentu.2

Adapun definisi lain dari haid adalah

َهُضُقْ َ ي ٌمَد َوُ ُضْيََِْا

ْنِم َوَُو سََِْْا ِنِس ْغُلْ بَ ت َََْو ٌلْبَحَاَو اَِِ ٌءاَدَا ٍةَغِلََ ٍةَأَرْما ُمِحَر

غْوُلُ بْلا ِتاَمَلَع

Haid yaitu darah yang keluar dari rahimnya seorang wanita yang telah menginjak baligh atau dewasa, bukan darah penyakit juga bukan kehamilan dan bukan mulai tua. Darah itu termasuk tanda-tanda seseorang sudah baligh.3

Masalah haid juga telah dijelaskan di dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 222:

ِضْيِحَمْلا ِنَع َكَنْوُلَ ئْسَيَو

َوُ ْلُق

ىًذَا

اَف

اَسِّلا اوُلِزَتْع

ِضْيِحَمْلا ِ َء

َنْرُهْطَي ََِح ِنُْوُ بَرْقَ ت َاَو

ِإَف

ِم ِنُْوُ ت ْأَف َنْرِهَطَت اَذ

ُه ُمُكَرَمَا ُثْيَح ْن

ِإ

َنْيِرِّهَطَتُمْلا َبََُِو َِْْباِوِ تلا َبَُِ َه ِن

۝

1Wahbah Zuhaili, al-fiqh al-Isla>miy wa adillatuh, Vol. 1, Terj. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2010), 508.

2Ibid.

3Muhammad Rawwas Qal’ahji, “Haidl”, Ensiklopedi Fiqih Umar bin Khattab, Terj. M. Abdul


(29)

20

Dan mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang haid. Katakanlah, itu adalah sesuatu yang kotor, karena itu, hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang telah ditentukan oleh Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang yang bertobat dan menyukai orang yang menyucikan diri.4 Asbab al-Nuzul dari ayat di atas dijelaskan dalam hadis riwayat Ahmad bin Hanbal dari Anas. Dalam hadis tersebut diceritakan bahwa pada zaman Yahudi jika perempuan sedang haid memasak, maka masakannya tersebut tidak dimakan dan ia tidak diperbolehkan berkumpul bersama keluarganya di rumah. Salah seorang sahabat menanyakan hal itu kepada Nabi, kemudian Nabi berdiam sementara maka turunlah ayat di atas.5

Setelah ayat tersebut turun, Rasulullah SAW bersabda, “lakukanlah segala sesuatu (kepada istri yang sedang haid) kecuali bersetubuh”. Pernyataan Rasulullah ini sampai kepada orang Yahudi, lalu orang-orang Yahudi dan orang-orang yang pernah menganut Yahudi semacam terkejut dengan mendengar pernyataan tersebut. Apa yang selama ini dianggap tabu oleh mereka, tiba-tiba dianggap sebagai hal yang alami. Kalangan orang Yahudi bereaksi dengan mengatakan bahwa apa yang disampaikan oleh Rasulullah SAW adalah suatu penyimpangan dari tradisi besar mereka. Usayd bin Hudayr dan Ubbad bin Basyr menyampaikan reaksi tersebut kepada Rasulullah SAW, lalu wajah Rasulullah SAW berubah karena merasa kurang enak terhadap reaksi tersebut sampai-sampai Usayd bin Hudayr dan Ubbad bin Basyr mengira Rasulullah SAW marah kepada mereka berdua. Mereka pun langsung keluar (sebelumnya) beliau menerima air susu hadiah dari

4Perpustakaan Nasional RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, Vol 1, (Jakarta: Widya Cahya, 2011), 329. 5A. Mudjab Mahali, Asbabun Nuzul, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002), 97-98.


(30)

21

mereka berdua. Kemudian Rasulullah SAW mengutus orang untuk mengejar Usayd bin Hudayr dan Ubbad bin Basyr dan memberi mereka minum susu, sehingga mereka berdua tahu bahwa Rasulullah SAW tidak marah pada mereka.6

Sebelum Islam datang, orang-orang Jahiliyah dan orang-orang Yahudi tidak mau memergauli istri-istrinya yang sedang haid, tidak mau makan bersamanya, bahkan tidak mau bertempat tinggal dalam satu rumah. Wanita haid pada masa itu seolah-olah diasingkan dari pergaulan dengan masyarakat, hingga tidak tau sampai kapan haid itu berhenti dan bagaimana cara bersucinya. Sedangkan orang-orang Nasrani berbuat sebaliknya.7

Setelah Nabi Muhammad SAW berada di Madinah dengan membawa agama Islam, datanglah sahabat Anshar yang bernama Tsabit bin Addahdah dan beberapa sahabat lainnya kepada Nabi SAW untuk menanyakan tentang haid, maka dijelaskanlah firman Allah surat al-Baqarah ayat 222 tersebut oleh Nabi SAW kepada mereka.8

Nabi Muhammad SAW pernah bersabda kepada Fathimah binti Abu Hubaisy mengenai darah haid, yaitu:

ْاا َناَك اَذِإَو ِةَلِصلا ِنَع ىِكِسْمَأَف َكِلَذ َناَك اَذِإَف ُفَرْعُ ي ُدَوْسَأ ِضْيَِْا َمَد ِنِإ

ِئِضَوَ تَ ف ُرَخ

َو

ٌقْرِع َوُ اََِِإَف ىِّلَص

Sesungguhnya darah haid itu warnanya kehitam-hitaman sebagaimana yang sudah dikenal. Jika yang keluar dengan ciri-ciri seperti itu, maka jangan kerjakan shalat. Namun jika yang keluar darah selain itu, maka berwudhulah lalu kerjakanlah shalat, sebab itu hanyalah darah yang

6Ibnu katsir, Tafsir Ibnu Katsir, Vol. 2, Terj. Bahruddin Abu Bakar et. Al. (Bandung: Sinar Baru

Algensindo), 425-426.

7Muh. Choeza’i Aliy, Risalah Haid dan Istihadah, (Solo: Ramdhani, 1995), 13. 8Ibid.


(31)

22

keluar dari urat (karena adanya gangguan). (HR. Ahmad, Hakim, Abu Dawud, dan lainnya)9

Adapun definisi menurut ilmu medis, para ilmuwan mengatakan bahwa haid adalah sekresi rutin darah yang disertai lendir dan sel-sel usang yang keluar dari mucosa yang tersembunyi di dalam rahim.10

Hadis Rasulullah SAW menjelaskan bahwa warna darah haid adalah merah kehitam-hitaman. Adapun warna lainnya adalah kekuning-kuningan, kekeruh-keruhan, atau warna debu. Imam Syafi’i berpendapat bahwa warna darah haid itu ada lima yaitu: kehitam-hitaman, merah, mirip warna debu, kekuning-kuningan, dan kekeruh-keruhan. Sedangkan menurut madzhab Hanafi, warna darah haid ada enam yaitu: kehitam-hitaman, merah, kekuning-kuningan, kekeruh-keruhan, kehijau-hijauan, dan mirip warna debu.11

Pada umumnya wanita pertama kali mengalami haid ketika telah mencapai umur sembilan tahun, akan tetapi ada juga yang pertama kali mengalami haid lebih dari umur tersebut. Keadaan seperti ini tergantung dari kondisi fisik dan psikisnya. Sedangkan darah yang keluar sebelum mencapai umur sembilan tahun, maka hal tersebut bukanlah disebut darah haid melainkan darah istihadhah atau darah penyakit.12

Para ulama berbeda pendapat mengenai batasan umur untuk wanita haid, sehingga ketika ada wanita mengalami haid sebelum atau sesudah batasan usia tersebut bisa dikatakan bahwa darah yang keluar dari rahim

9Muhammad Utsman al-Khasyt, Fikih Wanita Empat Mazhab, terj. Teguh Sulistyowati, (Jakarta:

Niaga Swadaya, 2014), 53.

10Ibid.

11Muhammad Utsman al-Khasyt, Fikih Wanita Empat Mazhab, 57. 12Muh. Choeza’i Aliy, Risalah Haid dan Istihadah, 27.


(32)

23

wanita adalah darah penyakit dan bukanlah darah haid. Perbedaan tersebut disebabkan karena tidak adanya penjelasan dari nas} mengenai hal tersebut. Para ulama menetapkan batasan berdasarkan kebiasaan dan keadaan wanita.

Menurut madzhab Hanafi usia wanita ketika pertama kali haid adalah sembilan tahun qamariyah atau tiga ratus lima puluh empat hari dan umur berhentinya haid adalah lima puluh lima tahun. Sedangakan menurut madzhab Maliki, perempuan mengalami haid dari umur sembilan tahun sampai tujuh puluh tahun.13

Menurut madzhab Syafi’i tidak ada batasan umur bagi terhentinya darah haid, selama wanita itu masih hidup haid masih mungkin terjadi padanya. Akan tetapi biasanya terjadi pada umur enam puluh dua tahun. Dan menurut madzhab Hambali batas akhir dari umur wanita haid adalah lima puluh tahun, hal ini berdasarkan ucapan ‘Aisyah “ketika wanita sampai umur lima puluh tahun, ia sudah keluar dari batasan haid” dan ia juga menambahkan bahwa “wanita tidak hamil setelah berumur lima puluh tahun.”14

Al-Darimi berpendapat bahwa perbedaan pendapat ulama mengenai hal tersebut menurutnya semua salah, karena semua pendapat itu didasarkan pada keluarnya darah haid. Maka, jika sudah keluar darah dari rahim wanita dalam keadaan bagaimanapun atau usia berapapun tetaplah darah haid namanya. Pendapat tersebut juga dipakai oleh Ibnu Taimiyah, kapan saja wanita haid walaupun usianya kurang dari sembilan tahun atau lebih dari lima puluh

13Wahbah Zuhaili, al-fiqh al-Isla>miy wa adillatuh, 509. 14Ibid.


(33)

24

tahun tetap dihukumi haid. Karena hukum haid itu dikaitkan dengan keluarnya darah tersebut bukan pada usia tertentu.15

2. Masa Haid dan Masa Suci

Lamanya masa haid antara satu wanita dengan wanita yang lainnya adalah berbeda-beda. Perbedaan tersebut bisa saja dipengaruhi oleh faktor keturunan, lingkungan, kondisi tubuh, dan juga bisa dipengaruhi faktor perbedaan cuaca dan gaya hidup.16

Para ulama berbeda pendapat mengenai lamanya masa haid. Menurut madzhab Syafi’I dan Hambali lamanya masa haid paling sedikit adalah sehari semalam, pada umumnya enam atau tujuh hari, dan paling lamanya adalah lima belas hari. Menurut madzhab Hanafi, paling sedikitnya masa haid adalah tiga hari tiga malam, pada umumnya lima hari, dan paling lamanya 10 hari. Sedangkan menurut madzhab Maliki, tidak ada batasan minimal dan batasan maksimal masa haid, walau hanya keluar satu tetes sudah terhitung haid.17

Masa sucinya atau terbebasnya wanita haid juga berbeda-beda. Hal ini ditandai oleh berhentinya aliran darah haid atau darahnya sudah mengering. Dan bisa juga dengan ditandainya cairan bening yang muncul di akhir masa haid.18

Menurut madzhab Syafi’I, Maliki, dan Hanafi, minimalnya masa suci adalah lima belas hari dan mengenai batasan maksimalnya masa suci para fuqaha’

15Abu Ubaidah Usamah bin Muhammah al-Jamal, Shahih Fiqih Wanita, (Surakarta: Insan Kamil,

2010), 33-34.

16Muhammad Utsman al-Khasyt, Fikih Wanita Empat Mazhab, 61. 17Ibid., 62.


(34)

25

sepakat tentang ketiadannya. Sementara menurut madzhab Hambali, minimalnya masa suci diantara dua haid adalah tiga belas hari.19

B. Hukum dan Larangan Bagi Wanita Haid

1. Hukum wanita haid

Ketetapan hukum di dalam fiqih bagi wanita haid yang telah dirumuskan oleh para ahli fiqih yaitu ada lima hukum, yakni sebagai berikut: a. Wanita haid wajib mandi setelah darah haidnya berhenti.

b. Haid digunakan sebagai pertanda baligh dan bertanggung jawab atas segala kewajiban syara’.

c. Penentuan kosongnya rahim seorang wanita pada masa iddah dengan haid. Sebab, pada dasarnya hikmah iddah adalah untuk mengetahui kosongnya rahim.

d. Perhitungan mulainya masa iddah dengan haid.

e. Ditetapkan kafarah atau hukuman karena melakukan jima’ pada masa haid.20

2. Larangan-Larangan Bagi Wanita Haid

Larangan-larangan bagi wanita dalam masa haid ada beberapa hal, diantaranya yakni sebagai berikut:

a. Shalat b. Puasa c. Thawaf

19Muhammad Utsman al-Khasyt, Fikih Wanita Empat Mazhab, 68. 20Wahbah Zuhaili,al-Fiqh al-Islam wa adillatuh, 519.


(35)

26

d. Menyentuh dan membawa mushaf al-Qur’an e. Membaca al-Quran

f. Sujud tilawah

g. I’tikaf dan masuk masjid h. Bersetubuh21

C. Kaidah Kes}ah}i>h} -an Hadis

1. Kriteria kes}ah}i>h}-an sanad hadis

a. Kes}ah}i>h}-an sanad hadis

Suatu hadis dianggap s}ah}i>h} , apabila sanad-nya memenuhi lima syarat, yaitu:

1) Sanad muttas}i>l.

Adapun yang dimaksud dengan bersambung sanadnya adalah bahwa setiap rawi yang bersangkutan benar-benar menerimanya dari rawi yang berada di atasnya dan begitu selanjutnya sampai kepada pembicara yang pertama.22

Cara untuk mengetahui sebuah hadis yang sanadnya bersambung atau tidak, biasanya ulama hadis menempuh tata kerja penelitian seperti berikut:23

a) Mencatat semua nama rawi dalam sanad yang diteliti.

21Wahbah Zuhaili,al-Fiqh al-Islam wa adillatuh, 519-525..

22Muhid dkk., Metodologi Penelitian Hadits, (Surabaya: IAIN SA Press, 2013), 55. 23Ibid., 56.


(36)

27

b) Mempelajari sejarah hidup masing-masing periwayat melalui kitab Rija>l al-H{adi>th.

c) Meneliti kata-kata yang menghubungkan antara para rawi dan rawi yang terdekat dengan sanad.

2) Perawi yang ‘adl

Mayoritas ulama berpendapat bahwa pada dasarnya semua sahabat Nabi SAW dinilai ‘adl kecuali apabila terbukti telah melakukan sesuatu yang menyalahi ketentuan ke’adlannya. Menurut al-Razi>y pengertian ‘adl adalah tenaga jiwa yang mendorong untuk selalu bertindak taqwa, menjauhi dosa-dosa besar, menghindari kebiasaan-kebiasaan melakukan dosa-dosa kecil dan meninggalkan perbuatan-perbuatan mubah yang dapat menodai muru’ah (kehormatan diri), seperti makan di jalan umum, buang air kecil di sembarang tempat, dan bersenda gurau secara berlebihan.24

Adilnya perawi menurut Imam Muhyidin dilihat dari beberapa aspek, diantaranya yaitu:25

a) Islam. Dalam hal ini periwayatan orang kafir tidak diterima, karena dianggap tidak dapat dipercaya.

b) Mukallaf. Periwayatan dari anak yang belum dewasa, menurut pendapat yang lebih sah}ih} tidak dapat diterima, karena belum terbebas dari kedustaan. Demikian pula dengan periwayatan orang gila.

24Dzulmani, Mengenal Kitab-kitab Hadis, (Yogyakarta: Insan Madani, 2008), 9. 25Umi Sumbulah, Kajian Kritis Ilmu Hadis, (Malang: UIN MALIKI Press, 2010), 185.


(37)

28

c) Selamat dari sebab-sebab yang menjadikan seseorang fasik dan mencacatkan kepribadian.

Adapun cara untuk mengetahui ke’adlan perawi, pada umumnya ulama hadis mendasarkan pada:26

a) Popularitas keutamaan pribadi periwayat di kalangan ulama hadis.

b) Penilaian dari para kritikus hadis tentang kelebihan dan kekurangan pribadi periwayat hadis.

c) Penerapan kaidah al-Jarh} dan al-Ta’di>l terdapat hadis yang berlainan kualitas pribadi periwayat hadis tersebut.27

3) Perawi yang d}a>bit}

Perawi yang dikatakan d}a>bit} atau kuat hafalannya Adalah perawi

yang mampu menghafal hadis yang didengarnya serta

menyampaikannya kepada orang lain. ked{a>bit}an perawi terdiri dari dua unsur yaitu:28

a) Pemahaman dan hafalan yang baik atas riwayat yang telah didengarnya.

b) Mampu menyampaikan riwayat yang dihafalnya dengan baik kepada orang lain kapanpun yang dikehendaki.29

Kriteria perawi yang d}a>bit} yakni:30

a) Tidak pelupa.

26Muhid dkk, Metodologi Penelitian Hadits, 56. 27Ibid., 57.

28Ibid. 29Ibid.


(38)

29

b) Hafal terhadap apa yang didiktekan kepada muridnya bila ia memberikan hadis dengan hafalan dan terjaga kitabnya dari kelemahan bila ia meriwayatkan dari kitabnya.

c) Menguasai apa yang diriwayatkan, memahami maksudnya dan mengetahui makna yang dapat mengalihkan maksud, bila ia meriwayatkan menurut maknanya saja.

4) Matn-nya tidak janggal (sha>dh)

Dalam memaknai sha>dh pada suatu hadis, ulama memiliki pendapat masing-masing:31

a) Imam al-Syafi’i: sha>dh berarti hadis yang diriwayatkan oleh orang yang thiqah, tetapi riwayatnya bertentangan dengan riwayat yang dikemukakan oleh banyak riwayat yang thiqah juga.

b) Al-H{akim al-Naisaburi>: sha>dh berarti hadis yang diriwayatkan oleh orang yang thiqah, tetapi orang-orang yang thiqah lainnya tidak meriwayatkan hadis tersebut.

c) Abu> Ya’la> al-Khalili>: sha>dh berarti hadis yang sanadnya hanya satu jalur saja, baik periwayatnya bersifat thiqah maupun tidak bersifat thiqah.

5) Tidak mengandung ‘illa>h

Pengertian ‘Illa>h hadis adalah cacat yang tersembunyi yang dapat merusak kualitas suatu hadis.32

Pada umumnya ‘illa>h sering ditemukan pada:33

31M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), 86. 32Umi Sumbulah, Kajian Kritis Ilmu Hadis, 186.


(39)

30

a) Sanad yang tampak muttas}il (bersambung) dan marfu’ (bersandar kepada Nabi), tetapi kenyatannya mauqu>f (bersandar kepada sahabat Nabi), walaupun sanadnya dalam keadaan muttas}il. b) Sanad yang tampak muttas}il (bersambung) dan marfu’ (bersandar

kepada Nabi), tetapi kenyatannya mursal (bersandar kepada ta>bi’in, orang Islam generasi setelah sahabat Nabi dan sempat bertemu dengan sahabat Nabi), walaupun sanadnya dalam keadaan muttas}il.

c) Dalam hadis itu telah terjadi kerancuan karena bercampur dengan hadis yang lain.

d) Dalam sanad hadis telah terjadi kekeliruan penyebutan nama periwayat yang memiliki kemiripan atau kesamaan dengan periwayat lain yang kualitasnya berbeda.

b. Penilaian kesah}ih}an sanad hadis

Untuk meneliti sanad hadis, dibutuhkan mempelajari ilmu rija>l al-h}adith, yaitu ilmu yang secara spesifik mengupas keberadaan para perawi hadis. Dengan ilmu ini, akan terungkap data-data perawi hadis tersebut.34 Ilmu ini terbagi menjadi dua macam, yakni:35

33Ismail, Metodologi Penelitian, 89.

34Suryadi, Metodologi Ilmu Rijalil Hadis, (Yogyakarta: Madani Pustaka Hikmah, 2003), 6. 35Rahman, Ikhtisar Mushthalah Hadis, 293.


(40)

31

1) Ilmu ta>ri>kh al-ruwah

Yaitu ilmu untuk mengetahui para rawi dalam hal-hal yang bersangkutan dengan meriwayatkan hadis.36 Dengan mempelajari ilmu ini, dapat diketahui informasi yang terkait dengan hal ihwal perawi hadis, mulai dari tanggal lahir dan wafat mereka, domisili, hingga kapan mereka menerima hadis dari guru-guru mereka, baik dari kalangan sahabat, para tabi’i>n, para tabi’i al-tabi’i>n sampai mukharrij hadis.

2) Ilmu al-jarh} wa al-ta’di>l

Jarh} menurut Bahasa merupakan bentuk masdar dari kata kerja jarrah}a yang berarti melukai.37 Sedangkan menurut istilah jarh} berarti tersifatinya seorang rawi dengan sifat-sifat tercela, sehingga tertolak riwayatnya.38

Ta’dil dalam tinjauan Bahasa berasal dari kata ‘adlun yang berarti sifat lurus yang tertanam dalam jiwa. Sedangkan menurut istilah adalah orang yang memiliki prinsip keagamaan yang teguh. Sehingga berita dan kesaksiannya dapat diterima, tetapi juga disertai dengan terpenuhinya syarat-syarat kelayakan ada’.39

36Rahman, Ikhtisar Mushthalah Hadis, 295.

37M. Abdurrahman dan Elan Sumarna, Metode Kritik Hadis, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya

Offset, 2011), 54.

38Ibid., 96.

39Muh}ammad Ajjaj al-Kha>t}ib, Us}u>l al - H{adi>th 'Ulumu wa Must}alah}uhu, (Beirut, Dar al-Fikr,


(41)

32

Menurut Muh}ammad ‘Ajja>j al - Khat}ib ilmu ini merupakan ilmu yang membahas hal ihwal para rawi hadis dari segi diterima atau ditolak periwayatannya.40

Terdapat beberapa kaidah dalam menjarh} dan menta‘di>l -kan perawi, di antaranya:41

a)

ِحْرَِْا ىَلَع ُمِدَقُم ُل

ْي

ِدْعِ تلا

(Penilaian ta’dil didahulukan atas penilaian jarh}). Kaidah ini dipakai apabila ada kritikus yang memuji seorang rawi dan ada juga yang mencelanya, maka yang dipilih adalah pujian atas rawi tersebut, sebab sifat terpuji merupakan sifat dasar perawi dan sifat tercela adalah sifat yang datang kemudian. Ulama yang memakai kaidah ini adalah al-Nasa>’ i>>y , namun pada umumnya ulama hadis tidak menerimanya.

b)

ِلْيِدْعِ تلا ىَلَع ُمِدَقُم ِحْرَِْا

(Penilaian jarh didahulukan atas penilaian

ta’di>l). Dalam kaidah ini yang didahulukan adalah kritikan yang berisi celaan tersebut, karena didasarkan pada asumsi bahwa pujian timbul karena persangkaan, baik dari pribadi kritikus hadis, sehingga harus dikalahkan bila ternyata ada bukti tentang ketercelaan yang dimiliki oleh perawi yang bersangkutan. Kaidah ini banyak didukung oleh ulama hadis, ulama fiqh dan us}u>l fiqh.42

40Rahman, Ikhtisar Mushthalah Hadis, 307. 41Ismail, Metodologi Penelitian, 77. 42Ibid., 79.


(42)

33

c)

ُرِسَفُمْلا ُحْرَِْا َتَب

َ ث اَذِإ ِاِإ ِلِدَعُمْلِل َمْكُِْاَف ُلِّدَعُمْلاَو

ُحِراَِْا َضَراَعَ ت اَذِإ

(Apabila terjadi pertentangan antara pujian dan celaan, maka yang harus dimenangkan adalah kritikan yang memuji, kecuali bila celaan itu disertai dengan penjelasan tentang sebab-sebabnya). Kaidah ini banyak dikemukakan oleh ulama kritikus hadis dengan catatan, penjelasan tentang ketercelaan itu harus sesuai dengan upaya penelitian.

d)

ٍةِقِثِل ُهُحْرَج ٌلَبْقُ ي َلَف اًفْ يِعَض ُحِراَِْا َناَك اَذِإ

(Apabila kritikus yang mengemukakan ketercelaan adalah golongan orang yang d}a’i>f, maka kritikannya terhadap orang yang thiqah tidak diterima). Kaidah ini juga banyak didukung oleh ulama ahli kritik hadis.43 e)

َِْْحْوُرْجَمْلا

ِ ُاِبُشَْأا َةَيِشَخ ِتُبْ ثِ تلا َدْعَ ب ِاِإ ُحْرَِْا ُلَبْقُ ي َا

( jarh} tidak

diterima, kecuali setelah ditetapkan (diteliti secara cermat) dengan adanya kekhawatiran terjadinya kesamaan tentang orang-orang yang dicelanya). Hal ini terjadi bila ada kemiripan nama antara periwayat yang dikritik dengan periwayat yang lain, sehingga harus diteliti secara cermat agar tidak terjadi kekeliruan. Kaidah ini juga banyak digunakan oleh para ulama ahli kritik hadis.


(43)

34

f)

ِهِب َدَتْعَ يَا ِةَيِوَيْ نُد ِةَواَدَع ْنَع ِئِشاِلا ُحْرَِْا

( jarh} yang dikemukakan oleh orang yang mengalami permusuhan dalam masalah keduniawian tidak perlu diperhatikan). Hal ini jelas berlaku, karena pertentangan pribadi dalam masalah dunia dapat menyebabkan lahirnya penilaian yang tidak obyektif.44

Meskipun banyak ulama yang berbeda dalam memakai kaidah al-jarh} wa al-ta‘di>l namun ke-enam kaidah di atas yang banyak terdapat dalam kitab ilmu hadis, dan yang terpenting adalah bagaimana menggunakan kaidah-kaidah tersebut dengan sesuai dalam upaya memperoleh hasil penelitian yang lebih mendekati kebenaran.

2. Kriteria kesah}i>h}an matn hadis

Kata dasar matn dalam bahasa arab berarti punggung jalan atau bagian tanah yang kuat dan menonjol ke atas. Apabila dirangkai menjadi matn al h}adi>th menurut al-T{ibbi, adalah lafadz-lafadz hadis yang mengandung berbagai makna dan pengertian. Hal yang perlu diperhatikan pada penelitian matn hadis adalah mengetahui kualitas matn tersebut. Ketentuan kualitas ini adalah dalam hal kes}ah}i>h}-an sanad hadis atau minimal tidak termasuk berat ked}a>’if -nya.45

44Ismail, Metodologi Penelitian, 81. 45Ismail, Metodologi Penelitian, 123.


(44)

35

Dalam hal ini kes}ah}i>h}-an matn hadis tercapai ketika telah memenuhi dua kriteria, yakni terhindar dari kejanggalan (sha>dh) dan kecacatan (‘illah).46

Para ulama berbeda pandangan dalam menjabarkan kedua kriteria tersebut, seperti yang diungkapkan oleh al-Khat}i>b al-Baghda>di>y, bahwa kedua unsur tersebut menunjukkan arti:47

a. Tidak bertentangan dengan akal sehat. b. Tidak bertentangan dengan hukum al-Qur’an. c. Tidak bertentangan dengan hadis mutawattir.

d. Tidak bertentangan dengan amalan yang telah menjadi kesepakatan. e. Tidak bertentangan dengan dalil yang pasti.

f. Tidak bertentangan dengan hadis ah}ad yang kualitasnya lebih kuat. Sedangkan menurut S{alah al-Di>n al-Ad}ibi> ada beberapa hal yang menjadikan suatu matn layak untuk dikritik, antara lain:48

a. Lemahnya kata pada hadis yang diriwayatkan. b. Rusaknya makna.

c. Berlawanan dengan Alquran yang tidak ada kemungkinan ta'wil padanya. d. Bertentangan dengan kenyataan sejarah yang ada pada masa nabi.

e. Sesuai dengan mazab rawi yang giat mempropagandakan madzabnya. f. Hadis itu mengandung sesuatu urusan yang mestinya orang banyak

mengutipnya, namun ternyata hadis tersebut tidak dikenal dan tidak ada yang menuturkannya kecuali satu orang.

46Ismail, Metodologi Penelitian, 124. 47Ibid., 126.


(45)

36

g. Mengandung sifat yang berlebihan dalam soal pahala yang besar untuk perbuatan yang kecil.

D. Kaidah Keh}ujjahan Hadis

Menurut bahasa, h}ujjah berarti alasan atau bukti, yakni sesuatu yang menunjukkan kepada kebenaran atas tuduhan atau dakwaan, dikatakan juga h}ujjah dengan dalil.49

Keh}ujjahan hadis pada hakikatnya adalah pengakuan resmi dari Alquran mengenai potensi dalam menunjukkan ketetapan syari’at.50 Pada hadis ah}ad

yang tidak mencapai derajat mutawatir) apabila dipandang dari segi kualitas terbagi menjadi s}ah}i>h}, h}asan dan d}a’>if, masing-masing mempunyai tingkat keh}ujjahan, sedang apabila dinilai dari segi jumlah (kualitas) terbagi menjadi mashhu>r, dan gha>rib, jumhur ulama sepakat bahwa hadis ah}ad yang thiqah adalah h}ujjah dan wajib diamalkan.51

Para ulama mempunyai pendapat sendiri mengenai teori keh}ujjahan hadis s}ah}i>h}, hadis h}asan dan hadis d}a>’if , yaitu:

1. Keh}ujjahan hadis s}ah}ih

Hadis yang dinilai s}ah}ih meunurut para ulama us}u>liyyi>n dan fuqaha>’ adalah hadis yang harus diamalkan karena dapat dijadikan sebagai dalil syara’. Hanya saja banyak peneliti hadis yang langsung mengklaim hadis yang diteliti adalah sah}ih} hanya berdasarkan pada penelitian sanad saja.

49Rahman, Ikhtisar Mushthalah Hadis, 142.

50‘Abba>s Mutawalli> H{amadal, Al-Sunnah al-Naba>wiyah wa Ma‘natuhu fi al-Tashri‘ , (Mesir: Da>r

al-Wa>uniyah, 1965), 24.


(46)

37

Padahal untuk menentukan kesah}ih}an sebuah hadis tidak hanya berpegang pada kesah}ih}an sanad, tetapi juga pada kesah}ih}an matn supaya terhindar dari kecacatan dan kejanggalan.52

Apabila ditinjau dari sifatnya, klasifikasi hadis s}ah}i>h terbagi dalam dua bagian, yakni:53

a. Hadis maqbul ma‘mu>lun bih, dengan syarat:54

1) Hadis tersebut muh}kam, yakni dapat digunakan untuk memutuskan hukum, tanpa subhat sedikitpun.

2) Hadis tersebut mukhtali>f (berlawanan) yang dapat dikompromikan, sehingga dapat diamalkan kedua-duanya.

3) Hadis tersebut rajih} yaitu hadis tersebut merupakan hadis terkuat diantara dua buah hadis yang berlawanan maksudnya.

4) Hadis tersebut naskh, yakni datang lebih akhir sehingga mengganti kedudukan hukum yang terkandung dalam hadis sebelumnya.

b. Hadis maqbul ghairu ma‘mulun bih , yakni hadis yang mempunyai kriteria sebagai berikut:55

1) Mutashabbih (sukar dipahami).

2) Mutawaqqaf fih (saling berlawanan namun tidak dapat dikompromikan).

3) Marjuh} (kurang kuat dari pada hadis maqbul lainnya).

4) Mansukh (terhapus oleh hadis maqbul yang datang berikutnya).

52Muh. Zuhri, Hadis Nabi, (Yogyakarta: t.p, t.t), 91. 53Rahman, Ikhtisar Mushthalah Hadis, 144. 54Ibid., 145.


(47)

38

5) Hadis maqbul yang maknanya berlawanan dengan Alquran, hadis mutawattir , akal sehat dan i jma ‘ para ulama.

2. Keh}ujjahan hadis h}asan.

Pada dasarnya hadis h}asan hampir sama dengan hadis s}ah}i>h}. Hal ini sejalan dengan pendapat al-Tirmidhi>y, hadis pada dasarnya adalah hadis s}ah}i>h} akan tetapi menjadi turun derajatnya, dikarenakan kualitas ked}ab>it}an perawi hadis h}asan lebih rendah dari perawi hadis s}ah}i>h}.

Para ulama ahli hadis, us}l fiqh dan fuqaha>’ dalam menyikapi keh}ujjahan hadis h}asan hampir sama seperti saat menyikapi hadis s}ah}i>h}, yaitu menerima dan dapat dijadikah h}ujjah shar‘iyah, namun al-H{a>ki>m, Ibnu H{ibban, dan Ibnu H{uzaimah yang lebih memprioritaskan hadis s}ah}i>h} karena jelas statusnya. Hal ini dikarenakan sikap kehati-hatian ulama tersebut agar tidak sembarangan dalam mengambil dalil hukum.56

3. Kehujjahan hadis d}a’i>f

Para ulama berbeda pendapat dalam menyikapi dan mengamalkan hadis

d}a’i>f :57

a. Hadis d}a’i>f tidak dapat diamalkan secara mutlak baik dalam keutamaan amal (fad}a>’il al-a‘mal) atau dalam hukum.

b. Hadis d}a’i>f dapat diamalkan secara mutlak baik dalam keutamaan amal (fad}a>’il al-a‘mal), sebab hadis d}a’i>f lebih kuat dari pada pendapat ulama.58

56Muh. Zuhri, Hadis Nabi, 93. 57Majid Khon, Ulumul Hadis, 165. 58Ibid.


(48)

39

c. Hadis d}a’i>f dapat diamalkan dalam fad}a>’il al-a‘mal, mau‘id}ah, targhi>b (janji-janji yang menggemarkan), dan tarhi>b (ancaman yang menakutkan), jika memenuhi beberapa persyaratan, yakni:

1) Tidak terlalu d}a’i>f, seperti jika di antara perawinya pendusta (hadis

maud}u>’) atau dituduh dusta (hadis matru>k), orang yang daya ingat hafalannya sangat kurang, dan berlaku fasiq dan bid‘ah baik dalam perkataan atau perbuatan (hadis munka>r ).59

2) Masuk ke dalam kategori hadis yang diamalkan (ma’mul bih) seperti hadis muh}kam (hadis maqbu>l yang tidak terjadi pertentangan dengan hadis lain), naskh (hadis yang membatalkan hukum pada hadis sebelumnya), dan rajh} (hadis yang lebih unggul dibandingkan oposisinya).

3) Tidak diyakini secara yakin kebenaran hadis dari Nabi, tetapi karena berhati-hati semata atau ikhtiya>t}.

E. Kaidah Ma’ani al-H{adi>s 1. Pendekatan Kebahasaan

Pendekatan bahasa dalam memahami hadis memang diperlukan mengingat bahwa bahasa arab yang digunakan Nabi Muhammad dalam menyampaikan hadis selalu dalam susunan yang baik dan benar atau dalam ungkapan lain, Rasulullah dalam berbahasa sangat fasih dan mustah}i>l bersabda dengan tatanan kalimat yang rancu.


(49)

40

Selain itu, adanya periwayatan hadis secara makna juga menjadikan pendekatan bahasa menjadi penting dilakukan. Disamping dapat digunakan untuk meneliti makna hadis, pendekatan bahasa juga dapat digunakan untuk meneliti nilai sebuah hadis jika terdapat perbedaan lafal.

Penelitian bahasa dalam upaya mengetahui kualitas hadis tertuju pada beberapa objek. Pertama, struktur bahasa artinya apakah susunan kata dalam matan hadis yang menjadi objek penelitian sesuai dengan kaidah bahasa arab atau tidak. Kedua, kata-kata yang terdapat dalam matan hadis, apakah menggunakan kata-kata yang lumrah dipergunakan bangsa arab pada masa Nabi Muhammad atau menggunakan kata-kata baru, yang muncul dipergunakan dalam literatur arab modern. Ketiga, matan hadis tersebut menggambarkan bahasa kenabian. Keempat, menelusuri makna kata-kata yang terdapat dalam matan hadis dan apakah makna kata tersebut ketika diucapkan oleh Nabi Muhammad sama makna yang dipahami oleh pembaca atau peneliti.60

Dalam bahasannya, kajian kebahasaan ini meliputi beberapa sub materi, seperti ilmu bayan, atau ma’ani> dan juga tashbih. Tashbih itu ada beberapa macam, dari segi ada tidaknya salah satu dari rukun yang ada dalam tashbih, pembagian tashbih ada lima macam:61

a. Tashbih mursal, yaitu suatu tashbih yang di dalamnya disebutkan adat tashbih.

60Bustamin, M. Isa H A Salam, Metodologi Kritik Hadis, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,

2004), 76.


(50)

41

b. Tashbih muakkad, yaitu tashbih yang di dalamnya membuang adat tashbih.

c. Tashbih mujaml, yaitu suatu tashbih yang di dalamya membuang wajah syibih.

d. Tashbih mufas}s}al, yaitu suatu tashbih yang di dalamnya disebutkan wajah syibih.

e. Tashbih ba>ligh, yaitu suatu tashbih yang di dalamnya membuang adat tashbih dan wajah syibih.62

Selain tashbih dan majaz, dalam balaghoh juga terdapat pembahasan tentang kinayah, yang dimkasud dengan kinayah adalah lafal yang menetapi pada makna lafal yang seharusnya (hakiki) serta membolehkan menggunakan makna tersebut.63 Keikutsertaan ilmu ini, dikarenakan ilmu balaghoh merupakan cabang dari ilmu adab (sastra) yang menjadi alat dalam kajian hadis dan juga literatur yang berbahasa arab.

2. Metode dalam Memahami Sebuah Hadis

Menurut Yus>uf al-Qard}a>wi>, ada beberapa petunjuk dan ketentuan umum untuk memahami hadis dengan baik agar mendapat pemahaman yang benar, jauh dari penyimpangan, pemalsuan dan penafsiran yang tidak sesuai, di antara petunjuk-petunjuk umum tersebut adalah:

a. Memahami sunnah berdasarkan petunjuk al-Quran b. Menghimpun hadis yang topik pembahsannya sama. c. Memadukan atau mentarjih hadis-hadis yang bertentangan.

62Ali al-Jarimi dan Mus}tafa Amin, Bala>ghoh Wa>d}ih{ah, 25. 63Ibid., 125.


(51)

42

d. Memahami hadis berdasarkan latar belakang, kondisi, dan tujuannya. e. Membedakan sarana yang berubah-berubah dan tujuan yang bersifat tetap

dari setiap hadis.

f. Membedakan makna hakiki dan makna majazi dalam memahmi Sunnah. g. Membedakan antara yang ghaib dan yang nyata.

h. Memastikan makna peristikahan yang digunakan oleh hadis.64

Sedangkan menurut Bustamin dan M. Isa, langkah-langkah yang ditempuh dalam memahami hadis antara lain:

a. Dengan menghimpun hadis-hadis yang terjalin dengan tema yang sama. b. Memahami hadis dengan bantuan hadis sahih.

c. Memahami kandungan hadis dengan pendekatan al-Qur’an. d. Memahami makna hadis dengan pendekatan kebahasaan.

e. Memahami makna hadis dengan pendekatan sejarah (Teori asba>b al Wuru>d al-H}adi>th).65

Berdasarkan teori di atas, maka langkah-langkah yang bisa ditempuh untuk memahami makna hadis adalah:66

a. Dengan pendekatan al-Qur’an. Sebagai penjelas makna al-Qur’an, makna hadis harus sejalan dengan tema pokok al-Qur’an.

b. Dengan menghimpun hadis-hadis yang terjalin dalam tema yang sama. c. Dengan menggunakan pendekatan bahasa, untuk mengetahui bentuk

ungkapan hadis dan memahami makna kata-kata yang sulit.

64Yusuf Qardawi, Studi Kritis al-Sunnah, terj. Bahrun Abu Bakar (Bandung: trigenda Karya,

1995), 96.

65Bustamin, M. Isa H A Salam, Metodologi, 64.

66M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi Yang Tekstual dan Kontekstual: Telaah Ma’ani alHadis tentang


(52)

43

d. Dengan memahami maksud dan tujuan yang menyebabkan hadis tersebut disabdakan (teori asba>b al-Wuru>d al-H}adi>th).

e. Dengan mempertimbangkan kedudukan Nabi ketika menyabdakan suatu hadis (teori maqa>mah).

F. Mukhtalif al-H{adis\th

1.Pengertian Mukhtalif al-H{adith

Kata mukhtalif secara Bahasa berarti perselisih atau bertentangan. Sedangkan dalam dunia ‘ulum al-hadis istilah ini digunakan nama dari adanya dua hadis yang sama-sama s}ah}i>h} yang secara lahir bertentangan, namun pada subtansinya tidak.67

Adapun definisi menurut al-Nawaw>y, dikutip oleh al-Sayu>t}y bahwa hadis mukhtalif ialah

امدحأ حجري وأ امه يب قفويف ار اظ ىعما ي ناداضتم ناثيدح يي نأ

Dua buah hadis yang saling bertentangan pada makna zahirnya, maka kedua hadis tersebut dikompromikan ataupun di tarji>h} (untuk diambil mana yang terkuat dari salah satunya).68

Al-Nawa>wy dalam definisinya, memasukkan semua hadis yang secara zahirnya tampak bertentangan antara satu dengan yang lainnya, ke dalam makna hadis mukhtalif.69

Menurut al-T{ah}awiy, hadis mukhtalif adalah

67Salamah Noorhidayati, “ Hadis-Hadis Kontradiktif dan Metode Penyelesaiannya”, Kontemplasi

Jurnal Ke-Ushuluddinan, Vol. 08 No. 01 (Juni, 2011), 48.

68Ibid.

69Kaizal Bay, “Metode Penyelesaian Hadis-Hadis Mukhtalif Menurut al-Syafi’I”, Jurnal


(53)

44

ىعما ي ناضراعتما ناوبقما ناثيدِا

فسعت ْغب امهيلولدم ْب عمِا نكمو ار اظ

Dua hadis maqbu>l yang saling bertentangan pada makna zahirnya, dimana memungkinkan untuk dikompromikan maksud yang dituju oleh kedua hadis tersebut dengan cara tidak dipaksakan (tidak dicari-cari).70 Sedangkan menurut Ajjaj al-Kha>tib dalam Us}ul al-H{adi>th, adalah:

اَهَ ْ يَ ب ُفِقَوُ يْوَأ ,اَهَضُراَعَ ت ُلْيِزُيَ ف ٌضِراَعَ تُم اََرِاَظ َِِلا ِثْيِداَحَأا ِ ُثَحْبَ ي ىِذِلا ُمْلِعْلا

اَمَك

ِثْيِداَحَأا ِ ُثَحْبَ ي

.اَهُ تَقْ يِقَح ُحِّضَوُ يَو ,اَهَلَكْشَأ ُعَفْدَيَ ف ,اَُرَوَصَت ْوَأ اَهُمْهَ ف ُلُكْشَي َِِلا

Ilmu yang membahas hadis-hadis yang menurut lahiriyahnya tampak saling bertentangan, untuk kemudian menghilangkan pertentangan tersebut atau untuk dapat menemukan pengkompromian keduanya. sebagaimana pembahasan tentang hadis-hadis yang sulit dipahami atau diambil isinya dan kemudian dihilangkan kesulitan tersebut serta menjelaskan hakikat pemahamannya.71

Namun menurut yu>suf Qard}awy ,bahwa h}adi>th d}ai’f (mardud) tidak termasuk ke dalam bidang hadis mukhtalif. Berdasarkan definisi di atas, dapatlah dipahami bahwa yang dimaksud dengan hadis mukhtalif adalah h}adi>th s}ah}i>h} dan h}adi>th h}asan, secara zahirnya terlihat saling bertentangan dengan h}adi>th s}ah}i>h} dan h}adi>th h}asan lainnya. Namun maksud yang dituju oleh hadis-hadis tersebut tidaklah bertentangan, karena satu dengan yang lainnya pada prinsipnya dapat dikompromikan atau dapat dicari penyelesaiannya dengan cara nasakh dan tarji>h}.72

Dengan menguasai ilmu mukhtalif al-h}adis, hadis-hadis yang nampaknya bertentangan dapat diatasi dengan menghilangkan pertentangan dimaksud. Begitu juga ke-mushkil-an yang terlihat dalam suatu hadis, akan

70Salamah Noorhidayati, “ Hadis-Hadis Kontradiktif dan Metode Penyelesaiannya”, 48. 71Ibid., 48-49.


(1)

117

masjid dalam sunan Abi> Da>wud no. Indeks 261 juga bisa dijadikan h}ujjah atau landasan dalam pengambilan sebuah hukum serta bisa diamalkan sesuai dengan konteksnya.

3. Adapun penyelesaian yang relevan dengan hadis tersebut, penulis lebih cenderung menggunakan metode al-Jam’u wa al-Tawfiq (memadukan dan mengkompromikan). Yakni Wanita Haid dilarang masuk masjid jika dia berdiam lama di dalam masjid dan dia khawatir akan dapat mengotori masjid. Kemudian wanita haid diperbolehkan masuk masjid jika dia ada keperluan dan tidak berdiam lama di dalam masjid dan juga dia tidak khawatir akan dapat mengotori masjid seperti halnya Aisyah yang masuk masjid hanya untuk mengambilkan Rasulullah sajadah dari dalam masjid tanpa harus berdiam di dalamnya.

B. Saran-saran

1. Berdasarkan penelitian dan pembahasan tentang hadis yang tampak bertentangan mengenai meminang pinangan orang lain, maka diharapkan dapat menambah khazanah pengetahuan serta mengharapkan kritik dan saran yang membangun.

2. Hasil akhir dari penelitian di atas belum bisa dianggap sempurna. Bahkan mungkin masih banyak hal-hal yang tertinggal atau terlupakan. Diharapkan ada orang lain yang melanjutkan penelitian ini dan mengembangkan kembali serta mengkaji lebih luas isi kandungan dari judul skripsi ini hingga bisa dijadikan teori yang bermanfaat pada ummat.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

‘Alimi, Ibnu Ahmad. Tokoh dan Ulama Hadis. Sidoarjo: Mashun. 2008.

A{ba}diy, Abu> al-T{ayyib Muh}ammad Shams al-H{aq al-‘az}i>m dan Sharh} al-H{a>fiz}

Shams al-Di>n ibn Qayyi>m al-Jawziyyah. ‘Awn al-Ma’bu>d Sharh} Sunan Abi> Da>wud. terj. Asmuni. Jakarta: Pustaka Azzam. 2007.

Abbas, Hasjim. Pembakuan Redaksi. Yogyakarta: Teras. 2004.

Abdurrahman, M. dan Elan Sumarna. Metode Kritik Hadis. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Offset. 2011.

Aliy, Muh. Choeza’i. Risalah Haid dan Istihadah. Solo: Ramdhani. 1995. Arifin, Zainul. Studi Kitab Hadis. Surabaya: al-Muna. 2010.

Armando, Nina M. Ensiklopedia Islam. Vol. 1. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve. 2005.

Assa’idi, Sa’dullah. Hadis-Hadis Sekte. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 1996.

al-‘Asqala>ni>, Al-H}a>fiz} shiha>b al-Di>n ah}mad ibn ‘Ali> ibn H}ajar Tahdhi>b al-Tahdhi>b. Beirut: Da>r al-Fikr, 1995.

___________. Taqri>b al-Tahdhi>b. Bierut: Muassasahal-Risa>lah. 1999.

Bay, Kaizal. “Metode Penyelesaian Hadis-Hadis Mukhtalif Menurut al-Syafi’I”. Jurnal Ushuluddin. Vol. XVII. No. 2 Juli. 2011

Bustamin, M. Isa H A Salam. Metodologi Kritik Hadis. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2004.


(3)

al-Dhahabiy, Abi> ‘Abdillah Shams al-Di>n ibn Muh}ammad ibn Ah}mad ibn ‘Uthma>n. Mi>za>n al-I’tida>l fi Naqd al-Rija>l. Beirut: Da>r Risa>lah

al-‘Alamiyah. 2009.

Dzulmani. Mengenal Kitab-kitab Hadis. Yogyakarta: Insan Madani. 2008.

Farid, Ahmad. Enam Puluh Biografi Ulama Salaf. Terj. Masturi Irham. Jakarta: Pustaka al-Kautsar. 2006.

H{amadal, ‘Abba>s Mutawalli>. Al-Sunnah Naba>wiyah wa Ma‘natuhu fi

al-Tashri‘. Mesir: Da>r al-Wa>uniyah. 1965.

H{amma>d, Na>fiz Husayn. Mukhtalif H{adi>th Bain Fuqaha>’ wa al-Muh}addithi>n (Mesir: Dar al-Wafa. 1993.

H{anbal, Ah}mad ibn. Musnad Ima>m Ah}mad ibn H}anbal. Beirut: Da>r al-Fikr. t.t.

Hashi>m, Ah}mad ‘Umar. Qawa>’id Us}u>l Al-Hadith. Beirut: Dar al-Kutub al-Arabi. 1984.

al-Husaini, Ibn Hamzah. Asbabul Wurud. Terj. Suwarta Wijaya et. Al. Jakarta: Kalam Mulia. 2011.

Husnan, Ahmad. Gerakan Inkar As-Sunnah Dan Jawabannya. Jakarta Pusat:

Media Da’wah.1995.

___________. Kajian Hadis Metode Takhrij. Jakarta: Pustaka al-Kautsar. 1993 Ismail, M. Syuhudi. Hadis Nabi Menurut Pembela, Pengingkar dan Pemalsunya.

Jakarta: Gema Insani Press. 1995.

___________. Hadis Nabi Yang Tekstual dan Kontekstual: Telaah Ma’ani alHadis tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal, dan Lokal. Jakarta: Bulan Bintang. 1994.


(4)

___________. Metodologi Penelitian Hadis Nabi. Jakarta: Bulan Bintang.1992 al-Jamal, Abu Ubaidah Usamah bin Muhammah. Shahih Fiqih Wanita. Surakarta:

Insan Kamil. 2010.

al-Jarimi, Ali dan Mus}tafa Amin. Bala>ghoh Wa>d}ih{ah. Surabaya: al-Hidayah. 1961.

Juned, Daniel. Ilmu Hadis Paradigma Baru dan Rekonstruksi Ilmu Hadis. Jakarta: Erlangga. 2010.

Katsir, Ibnu. Tafsir Ibnu Katsir. Vol. 2. Terj. Bahruddin Abu Bakar et. Al. Bandung: Sinar Baru Algensindo.

al-Khasyt, Muhammad Utsman. Fikih Wanita Empat Mazhab. terj. Teguh Sulistyowati. Jakarta: Niaga Swadaya. 2014.

al-Kha>t}ib, Muh}ammad Ajjaj. Us}u>l al-H{adi>th 'Ulum wa Must}alah}uh. Beirut, Dar al-Fikr. 1989.

Khon, Abdul Majid. Ulum al-Hadits, Jakarta: Amzah. 2008.

Ma>jah, Ibn. Sunan Ibn Ma>jah. Vol. 1. Beirut: Da>r al-Fikr. t.t.

Mahali, A. Mudjab. Asbabun Nuzul. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 2002.

al-Mazzi, Al-h}afiz} Jama>l al-Di>n Abi> al-H}ajja>j Yus>uf. Tahdhi>b al-Kama>l fi> Asma> al-Rija>l. Beirut: Da>r al-Fikr. 1994.

Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya. 2002.

Muhid dkk. Metodologi Penelitian Hadits. Surabaya: IAIN SA Press. 2013.

Muslihah. “Hadis Pengobatan Al-Kayy”. Skripsi tidak diterbitkan, Jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Ampel. 2012.


(5)

Mustaqim, Abdul. Ilmu Ma’ani al-Hadits. Yogyakarta: Idea Press. 2008.

al-Nawawiy, Abi> Zakariya> Yah}ya ibn Sharaf. Sharh} S}ah}i>h} Muslim. Kairo:

Maktabah al-Tawfi>qiyyah. 2008.

Noorhidayati, Salamah. “Hadis-Hadis Kontradiktif dan Metode Penyelesaiannya”. Kontemplasi Jurnal Ke-Ushuluddinan. Vol. 08 No. 01 Juni. 2011.

Perpustakaan Nasional RI. Al-Qur’an dan Tafsirnya. Jakarta: Widya Cahya. 2011.

Qal’ahji, Muhammad Rawwas. “Haidl”. Ensiklopedi Fiqih Umar bin Khattab. Terj. M. Abdul Mujib AS, et. Al. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 1999. Qardawi, Yusuf. Studi Kritis al-Sunnah. terj. Bahrun Abu Bakar. Bandung:

trigenda Karya. 1995.

Quthb, Sayyid. Tafsir Fi Zhilalil Qur’an. Vol 2. Terj. As’ad Yasin, dkk. Jakarta: Gema Insani Press.2001.

Rahman, Fatkhur. Ikhtisar Musthalah al Hadits. Bandung: PT al-Ma’arif. 1995. Ridwan, A. Muhtadi. Studi Kitab-Kitab Hadis Standar. cet. II. Malang: UIN

Maliki Press. 2012.

Rusyd, Ibnu. Bida>yah al-Mujtahid wa Niha>yah al-Muqtas>id. Terj. Imam Ghozali Said dan A. Zaidun. Jakarta: Pustaka Amani. 1995.

as-Shalih, Subhi. Membahas Ilmu-Ilmu Hadis. Jakarta: Pustaka Firdaus. 2002. ash-Shiddiqy, Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis. Semarang: PT Pustaka

Rizki Putra. 1999

Sumbulah, Umi. Kajian Kritis Ilmu Hadis. Malang: UIN MALIKI Press. 2010. Suryadi. Metodologi Ilmu Rijalil Hadis. Yogyakarta: Madani Pustaka Hikmah.


(6)

Syuaib, Abu> Abdurrahman Ahmad bin. Sunan al Nasa>‘iy. Beirut: Da>r al-Fikr. 2005.

al-Tirmidhi>, Muh}ammad bin ‘I<sa>. Sunan al-Titmidhiy. Beirut: Da>r al-Fikr. t.t Wensik, AJ. al-Mu’jam al -Mufahras li alFa>dh al-H}adi>th al-Nabawy. Vol. 1.

Madinah Leiden: Brill. 1969.

Zuhaili, Wahbah. al-fiqh al-Isla>miy wa adillatuh. Vol. 1. Terj. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk. Jakarta: Gema Insani. 2010.