BIMBINGAN KONSELING ISLAM UNTUK MENGATASI MISKONSEPSI KHITHBAH PADA PASANGAN PRANIKAH DI DESA SENDANGAGUNG PACIRAN LAMONGAN.
BIMBINGAN KONSELING ISLAM UNTUK MENGATASI MISKONSEPSI KHITHBAH PADA PASANGAN PRANIKAH
DI DESA SENDANGAGUNG PACIRAN LAMONGAN
SKRIPSI
Diajukan kepada Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya untuk memenuhi Salah Satu Persyaratan dalam Memperoleh Gelar
Sarjana Sosial Islam (S.Sos.I.)
Oleh:
ARIFAH NIM. B53212071
PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING ISLAM JURUSAN DAKWAH
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA 2016
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
ABSTRAK
Arifah (B53212071), Bimbingan dan Konseling Islam untuk Mengatasi
Miskonsepsi Khithbah pada Pasangan Pranikah di Desa Sendangagung
Paciran Lamongan
Fokus penelitian adalah (1) Bagaimanakah Pelaksanaan Bimbingan dan Konseling
Islam untuk Mengatasi Miskonsepsi Khithbah pada Pasangan Pranikah di Desa
Sendangagung Paciran Lamongan? (2) Bagaimanakah Hasil Bimbingan dan
Konseling Islam untuk Mengatasi Miskonsepsi Khithbah pada Pasangan Pranikah
di Desa Sendangagung Paciran Lamongan?
Dalam menjawab permasalahan tersebut, peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif dengan analisa deksriptif komparatif, yang mana pengumpulan data dilakukan melalui observasi, wawancara, dan dokumentasi. Setelah data terkumpul, analisa dilakukan untuk mengetahui proses serta hasil dari Bimbingan dan Konseling Islam dengan cara membandingkan Bimbingan dan Koseling Islam antara teori dan lapangan serta antara kondisi klien sebelum dan sesudah mendapatkan Bimbingan dan Konseling Islam.
Dari hasil analisis data yang telah dilakukan, proses konseling yang dilakukan pada konseli yaitu memberikan bimbingan dan konseling Islam untuk
memberikan pemahaman kepada konseli terkait konsep khithbah yang benar,
sehingga konseli menyadari bahwa konsep yang selama ini difahami konseli
adalah kurang benar. Konsep khithbah yang dimaksud yaitu meminang seorang
wanita untuk melangsungkan akad nikah. Dimana keduanya masih bertatus sebagai orang asing, sehingga keduanya tidak boleh melakukan perilaku yang tidak sesuai dengan ajaran Islam dan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat, seperti berduaan tanpa didampingi mahram, melakukan kontak fisik seperti berjabat tangan, bergandengan tangan, berciuman, berpelukan, dan bahkan melakukan hubungan badan. Setelah konseli menyadari bahwa perilaku tersebut adalah salah, maka konseli diajak untuk mengubah perilakunya dan berkomitmen untuk menjaga perubahan perilaku yang telah dilakukan oleh konseli.
Hasil pelaksanaan bimbingan dan konseling Islam dalam mengatasi
miskonsepsi khithbah pada pasangan pranikah yang dilakukan oleh peneliti dapat
dikategorikan cukup berhasil dengan adanya perubahan pola pikir dan perilaku
konseli. Konseli sudah memahami konsep khithbah dengan benar dan tidak lagi
mencari kesempatan berduan dengan pasangannya tanpa didampingi mahram serta tidak lagi melakukan berbagai kontak fisik, seperti berciuman, bermesraan, dan berhubungan intim.
(7)
DAFTAR ISI
JUDUL PENELITIAN ... i
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
PENGESAHAN TIM PENGUJI ... iii
MOTTO ... iv
PERSEMBAHAN ... v
PERNYATAAN OTENTISITAS SKRIPSI ... vi
ABSTRAK ... vii
KATA PENGANTAR ... viii
DAFTAR ISI ... x
DAFTAR TABEL ... xii
BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumasan Masalah ... 6
C. Tujuan Penelitian ... 6
D. Manfaat Penelitian ... 6
E. Definisi Konsep ... 7
F. Metode Penelitian... 11
G. Sitematika Pembahasan ... 20
BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kerangka Teori... 22
1. Bimbingan dan Konseling Islam ... 22
a. Pengertian Bimbingan dan Konseling Islam ... 22
b. Tujuan Bimbingan dan Konseling Islam ... 24
c. Fungsi Bimbingan dan Konseling Islam ... 26
d. Prinsip Bimbingan dan Konseling Islam ... 29
e. Langkah-langkah Bimbingan dan Konseling Islam ... 29
f. Unsur-unsur Bimbingan dan Konseling Islam ... 30
2. Miskonsepsi Khithbah ... 33
a. Pengertian Miskonsepsi Khithbah ... 33
b. Ciri-ciri Miskonsepsi Khithbah ... 37
c. Faktor Penyebab Miskonsepsi Khithbah ... 40
d. Dampak Miskonsepsi Khithbah ... 44
e. Cara Mengatasi Miskonsepsi Khithbah ... 45
3. Pasangan Pranikah ... 50
a. Pengertian Pasangan Pranikah ... 50
(8)
B. Penelitian Terdahulu yang Relevan ... 53
BAB III PENYAJIAN DATA A. Deskripsi Umum Obyek Penelitian ... 57
1. Lokasi Penelitian ... 57
2. Deskripsi Konselor ... 61
3. Deskripsi Konseli ... 61
4. Deskripsi Masalah ... 66
B. Deskripsi Hasil Penelitian ... 69
1. Deskripsi proses pelaksanaan bimbingan dan konseling Islam untuk mengatasi miskonsepsi khithbah pada pasangan pranikah di Desa Sendangagung Paciran Lamongan ... 69
2. Deskripsi hasil akhir pelaksanaan bimbingan dan konseling islam untuk mengatasi miskonsepsi khithbah pada pasangan pranikah di Desa Sendangagung Paciran Lamongan ... 96
BAB IV ANALISIS DATA A. Analisis Proses Pelaksanaan Bimbingan dan Konseling Islam untuk Mengatasi Miskonsepsi Khithbah pada Pasangan Pranikah di Desa Sendangagung Paciran Lamongan ... 99
B. Analisis Hasil Akhir Bimbingan dan Konseling Islam untuk Mengatasi Miskonsepsi Khithbah pada Pasangan Pranikah di Desa Sendangagung Paciran Lamongan ... 105
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 108
B. Saran ... 110 DAFTAR PUSTAKA
(9)
1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
Setiap manusia dilahirkan dengan berpasang-pasangan. Sesuai dengan firman-Nya dalam Q.S. Ar-Rum ayat 21
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”(QS.ar-Rum:21).1
Agar pasangan menjadi sah dan bisa saling memadu kasih, maka sangat dianjurkan bagi mereka untuk merajut tali kasih melalui sebuah pernikahan. Pernikahan yaitu ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.2
Untuk menuju ke jenjang pernikahan, seseorang harus melalui proses khithbah, yaitu meminang seorang wanita untuk melangsungkan akad nikah dengan cara yang sudah diketahui bersama di mana keduanya masih berstatus sebagai orang asing.3
Namun, yang terjadi sekarang ini, setelah khithbah dilakukan status ‘orang asing’ tidak berlaku lagi. Setelah khithbah, pasangan tersebut malah
1 Kementrian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta: PT. Sinergi Pustaka
Indonesia, 2012), hal. 572.
2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974, Tentang Perkawinan, hal. 1.
(10)
2
lebih sering melakukan aktivitas bersama, walaupun sekedar jalan-jalan di tempat wisata sekitar desa, ataupun bertemu di rumah salah satu pasangan dan menggunakan sedikit kesempatan untuk melakukan kontak fisik.
Hal ini dapat dilihat dari intensitas pertemuan yang dilakukan oleh sebagian pasangan yang telah melakukan khithbah. Sebagian dari pasangan itu, setiap seminggu sekali (pada hari Jum’at) bertemu di Gunung Kendil, Gunung Mumpluk, ataupun di tepi Pantai Penanjan. Ada pula pasangan yang beberapa bulan sekali pergi bersama ke tempat wisata, di antaranya yaitu Wisata Bahari Lamongan, Gua Maharani & Zoo, Pantai Pasir Putih Dalegan Panceng, Pantai Mangrove Tuban, dan lain sebagainya.
Terkadang ada pula yang bertemu dengan memanfaatkan event-event besar, seperti Haflah Akhir Sanah, Ziyaroh bersama, Peringatan Haul Tokoh Agama setempat, maupun peringatan hari besar Islam. Ini biasanya dilakukan untuk menghindari tanggapan negatif dari masyarakat.
Di dalam setiap pertemuan itu, tak jarang ditemukan beberapa kontak fisik, semisal berjabat tangan atau bergandengan tangan lalu berfoto bersama. Hal ini sering dilakukan oleh sebagian besar pasangan karena dianggap sebagai sesuatu yang lumrah dilakukan saat ini dan bisa diterima oleh masyarakat. Sedangkan untuk beberapa pasangan yang sudah lama melakukan khithbah (2-3 tahun), mereka akan memilih tempat yang agak sepi, menjauh dari keramaian untuk melakukan kontak fisik yang lebih berani, seperti berciuman dan bermesraan.
(11)
3
Penyebabnya adalah berita-berita infotaiment yang setiap hari mereka lihat di televisi maupun media sosial yang senantiasa memberikan beragam info tentang kemesraan pasangan artis, sehingga secara tidak langsung mengajarkan kepada para penonton televisi maupun pembaca berita di media sosial untuk melakukan hal yang serupa. Didukung pula dengan kurangnya pengawasan dan pengarahan dari orang tua maupun masyarakat agar mereka tidak melakukan hal yang demikian mengakibatkan hal ini menjadi sebuah budaya yang berkembang di masyarakat.
Padahal semua hal yang telah dilakukan oleh pasangan yang belum menikah sebagaimana di atas sangat bertentangan dengan ajaran Islam, karena baik di dalam Al-Qur’an maupun hadits telah dijelaskan larangan untuk melakukan hal yang demikian. Sebagaimana tersurat dalam Q.S. Al-Isra’ ayat 32.
“Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk”.(QS. Al-Isra’ : 32)4
Begitu pula dengan sabda Rasulullah berikut ini.
َﻋ ُﻪﱠﻠﻟا َﻲِﺿَر ٍسﺎﱠﺒَﻋ ِﻦْﺑا ْﻦَﻋ ٍﺪَﺒْﻌَﻣ ِﰊَأ ْﻦَﻋ وٍﺮْﻤَﻋ ْﻦَﻋ ُنﺎَﻴْﻔُﺳ ﺎَﻨَـﺛﱠﺪَﺣ ٍﺪﻴِﻌَﺳ ُﻦْﺑ ُﺔَﺒْﻴَـﺘُـﻗ ﺎَﻨَـﺛﱠﺪَﺣ
َﻤُﻬْـﻨ
ﺎ
ﱠِﱯﱠﻨﻟا َﻊَِﲰ ُﻪﱠﻧَأ
ٌمَﺮَْﳏ ﺎَﻬَﻌَﻣَو ﱠﻻِإ ٌةَأَﺮْﻣا ﱠنَﺮِﻓﺎَﺴُﺗ َﻻَو ٍةَأَﺮْﻣﺎِﺑ ٌﻞُﺟَر ﱠنَﻮُﻠَْﳜ َﻻ ُلﻮُﻘَـﻳ
(
5
يرﺎﺨﺒﻟا ﻩاور
Menceritakan kepada kami, Qutaibah bin Sa’id, menceritakan kepada kami Sufyan dari ‘Amr dari Abi Ma’bad dari Ibnu Abbas RA: sesungguhnya beliau
4 Kementrian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta: PT. Sinergi Pustaka
Indonesia, 2012), hal. 388.
5 Abu Abdillah Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim bin Al Mughirah Al Ju’fi Al Bukhari,
Al-Jāmi’u Al-Musnadu Al-Ṣahīhu Al-Mukhtaṣaru Min ‘Umūri Rasūlillāhi SAW wa Sunanihi wa
(12)
4
mendengar Rasulullah SAW bersabda: Janganlah seorang laki-laki berkhalwat dengan seorang perempuan, dan janganlah seorang perempuan bepergian kecuali ada mahram bersamanya. (HR. Bukhari, no.2844).
Dalil naqli di atas dengan jelas menunjukkan bahwa pasangan yang belum menikah harus menahan diri untuk tidak melakukan hal-hal yang demikian, karena hal itu tidak sesuai dengan ajaran Islam maupun norma dan nilai yang berlaku di masyarakat.
Jika hal ini dibiarkan saja, maka akan menimbulkan dampak negatif bagi pasangan tersebut maupun keluarganya. Dampak negatif bagi pelakunya adalah menyebabkan hati gelap dan akalnya mati. Pelakunya tidak akan lagi menganggap apa yang dilakukannya sebagai perbuatan yang buruk sehingga pelakunya akan mengulanginya lagi dan pelaku akan semakin jauh dari Allah dan orang-orang yang shaleh.6
Sedangkan untuk keluarga, mereka akan merasa malu dan kecewa telah gagal dalam mendidik anaknya sehingga mereka menarik diri dari pergaulan masyarakat karena cercaan-ceraan dari orang sekitarnya,7 dan rasa kekeluargaan antara kedua keluarga pun akan semakin longgar, karena perasaan kecewa terhadap pasangan tersebut yang tidak bisa menjunjung tinggi syari’at agama, tidak bisa menjaga kesucian diri, dan tidak bisa menjaga nilai-nilai kemanusiaan.8
Berkaitan dengan fenomena di atas, ada 3 pasangan pranikah yang menjadi subjek penelitian ini yang memiliki ciri-ciri sebagaimana di atas.
6 Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, (Bogor: Pustaka Imam Syafi’i,
2015), hal. 127
7 Nurul Chomaria, Ta’aruf Cinta, (Surakarta: Ahad Books, 2014), hal. 110-112
8 Sabil Huda, Pedoman Berumah Tangga dalam Islam, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1994), hal.
(13)
5
Pasangan pertama, memiliki pandangan bahwa khithbah adalah ikatan untuk melangsungkan akad nikah dimana mereka berdua harus menahan diri dari melakukan hal-hal yang dilarang oleh agama, seperti berduaan. Namun, dalam prakteknya konseli (Toto) sering menemui pasangannya (Nana) pada malam hari setelah pulang kerja dengan alasan untuk diantarkan membeli makanan.
Pasangan kedua, memiliki pandangan tentang khithbah sama dengan pasangan pertama. Namun, dalam prakteknya konseli (Zaid) sering mengajak Zidny untuk bertemu saat ada acara-acara tertentu seperti haul pengasuh pondok pesantren dan haflah, untuk menghindari tanggapan negatif dari masyarakat, karena mereka memiliki background pondok pesantren.
Sedangkan pasangan ketiga (Mahfudz dan Alya) memiliki anggapan bahwa khithbah adalah kepemilikan yang sah meskipun akad nikah belum mereka lakukan, dimana mereka boleh untuk melakukan berbagai hal bersama seperti jalan dan makan bersama, bahkan boleh melakukan ciuman, pelukan, dan hubungan intim. Mereka bertemu setiap hari setelah pulang kerja. Keduanya juga sering menginap di salah satu rumah mereka.
Dari fenomena diatas, konselor tertarik untuk melakukan proses bimbingan dan konseling Islam kepada konseli untuk mengubah mindset konseli tentang khithbah dan memperbaiki perilaku konseli menjadi perilaku yang baik dan sesuai dengan ajaran agama Islam.
(14)
6
Oleh karena itu, konselor mengangkat penilitian dengan judul “Bimbingan dan Konseling Islam untuk Mengatasi Miskonsepsi Khithbah pada Pasangan Pranikah di Desa Sendangagung Paciran Lamongan”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka fokus penelitian yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimanakah proses pelaksanaan bimbingan dan konseling Islam dalam mengatasi miskonsepsi khithbah pada pasangan pranikah di Desa Sendangagung Paciran Lamongan?
2. Bagaimanakah hasil akhir dari proses pelaksanaan bimbingan dan konseling Islam dalam mengatasi miskonsepsi khithbah pada pasangan pranikah di Desa Sendangagung Paciran Lamongan?
C. Tujuan Penelitian
Sebagaimana rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah: 1. Mendeskripsikan proses pelaksanaan bimbingan dan konseling Islam
dalam mengatasi miskonsepsi khithbah pada pasangan pranikah di Desa Sendangagung Paciran Lamongan.
2. Mengetahui hasil akhir dari proses pelaksanaan bimbingan dan konseling Islam dalam mengatasi miskonsepsi khithbah pada pasangan pranikah di Desa Sendangagung Paciran Lamongan.
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini diharapkan sebagai berikut: 1. Secara Teoritis
(15)
7
a. Memberikan pengetahuan dan wawasan bagi peneliti lain dalam bidang Bimbingan dan Konseling Islam terkait praktik bimbingan dan konseling Islam dalam mengatasi miskonsepsi khithbah pada pasangan pranikah.
b. Sebagai sumber informasi dan referensi bagi pembaca, khususnya peneliti sendiri untuk meningkatkan pemahaman terkait konsep khithbah yang benar menurut Islam.
2. Secara Praktis
a. Penelitian ini diharapkan dapat membantu pasangan pra-nikah agar mampu memahami konsep khithbah dengan baik dan benar, sehingga tidak ada lagi miskonsepsi khithbah untuk ke depannya. b. Bahan yang dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan dan
menambah khazanah keilmuan dakwah bagi Fakultas Dakwah dan Komunikasi dalam rangka dakwah Islam melalui Bimbingan dan Konseling Islam.
E. Definisi Konsep
Adapun definisi konsep dari penelitian ini antara lain: 1. Bimbingan dan Konseling Islam
Menurut Hamdan Bakran Adz-Dzaky, Bimbingan dan Konseling Islam adalah suatu aktivitas pemberian nasehat yang berupa anjuran-anjuran dan saran-saran dalam bentuk pembicaraan yang komunikatif antara konselor dan konseli, yang mana konseli tersebut datang meminta bimbingan agar dapat mengembangkan potensi akal fikiran, kejiwaan,
(16)
8
keimanan dan keyakinan serta dapat menanggulangi problematika hidup dalam kehidupannya dengan baik dan benar secara mandiri serta berlandaskan pada Al-Qur’an dan As-Sunnah Rasulullah SAW.9
Bimbingan dan konseling Islam yang dimaksudkan oleh konselor di sini adalah memberikan nasehat kepada konseli melalui pembicaraan yang komunikatif tentang khithbah agar konseli dapat mengembangkan pengetahuannya tentang khithbah, meningkatkan keimanan dan keyakinan sehingga konseli dapat menjadi pribadi yang lebih baik sehingga bisa mengurangi dampak negatif yang ditimbulkan akibat miskonsepsi khithbah serta bisa kembali menjalani kehidupan dengan berlandaskan pada Al-Qur’an dan sunnah Rasul.
Adapun langkah-langkah yang digunakan oleh konselor dalam melakukan bimbingan dan konseling Islam terhadap para pasangan pranikah antara lain:
a. Identifikasi masalah, yaitu pengumpulan data dari berbagai sumber yang bertujuan untuk mengenali masalah dan gejala yang nampak pada diri konseli yang mengarah pada miskonsepsi khithbah melalui wawancara dan observasi.
b. Diagnosis yaitu menetapkan masalah yang dihadapi beserta latar belakangnya setelah dilakukan analisa dari semua data yang telah dikumpulkan.
9 Hamdan Bakran Adz-Dzaki, Konseling dan Psikoterapi Islam, (Yogyakarta: Fajar Pustaka
(17)
9
c. Prognosis, yaitu menetapkan jenis bantuan yang akan digunakan untuk membantu menangani masalah konseli.
d. Terapi yaitu memberikan bantuan kepada konseli berupa bimbingan dan konseling Islam sehingga konseli bisa mendapatkan pemahaman yang benar terkait dengan perilaku pasangan pasca khithbah.
e. Melakukan evaluasi untuk mengetahui hasil dari pelaksanaan bimbingan dan konseling Islam tentang apakah terjadi perubahan pada perilaku konseli dan apakah perubahan tersebut bertahan dalam kurun waktu yang lama atau hanya sementara saja.10
2. Miskonsepsi Khithbah
Kata miskonsepsi muncul pada tahun 1660-an, yang mana miskonsepsi merupakan kata benda yang mendapat awalan mis-, yang berarti ‘salah, keliru,’ dan kata konsepsi, konsep, gagasan, sebuah ringkasan atau gagasan umum yang disimpulkan atau yang berasal dari pemaknaan pada kejadian-kejadian tertentu.11 Sehingga miskonsepsi adalah sebuah kesimpulan yang salah karena didasarkan pada pemikiran yang salah atau fakta-fakta yang salah. Sedangkan khithbah adalah meminang seorang perempuan untuk melangsungkan akad nikah.12
Jadi, miskonsepsi khithbah adalah sebuah kesimpulan yang salah terhadap pengertian meminang seorang wanita karena didasarkan pada pemikiran atau fakta yang salah.
10 Djumhur dan Moh. Surya, Bimbingan dan Penyuluhan di Sekolah, (Bandung: CV.
Ilmu, 1975), hal. 104-106
11 www.vocabulary.com/misconception. Diakses pada 5 Maret 2016
(18)
10
Dalam hal ini, miskonsepsi khithbah yang dimaksud dilihat dari perilaku pasangan pasca khithbah. Pasangan tersebut melakukan sesatu sesuka hati tanpa melihat hukum dan akibatnya. Seperti sering jalan bersama tanpa didampingi mahram, berduaan di tempat-tempat sepi, berpegangan tangan dan berciuman.13
Pada beberapa pasangan, hal tersebut dianggap sebagai sesuatu yang lumrah dan diperbolehkan untuk dilakukan pasca khithbah dengan tujuan untuk lebih saling mengenal. Padahal anggapan tersebut adalah kurang benar karena tidak ada dasarnya dan tidak sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku dalam syari’at Islam maupun di masyarakat.
3. Pasangan Pranikah
Pranikah berasal dari kata ‘pra’ dan ‘nikah’. Kata ‘pra’ adalah awalan yang bermakna sebelum. Sedangkan nikah disamakan artinya dengan ‘kawin’.14 Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.15 Sehingga pranikah adalah masa sebelum adanya perjanjian antara laki-laki dan perempuan untuk bersuami istri dengan resmi menurut undang-undang perkawinan agama maupun pemerintah.
13 Syekh Muhamad Ahmad Kan’an, terj. Ali Muhdi Amnur, Kado Terindah untuk
Mempelai, (Yogyakarta Mitra Pustaka, 2011), hal. 59-60.
14 W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1993),
hal. 676-677.
(19)
11
Jadi, pasangan pranikah adalah pasangan yang belum mempunyai ikatan secara resmi menurut hukum agama maupun negara. Pasangan tersebut akan atau sedang mempersiapkan diri untuk memasuki jenjang perkawinan atau hidup berumah tangga.
Ada beberapa hal yang harus dipersiapkan oleh pasangan pranikah, yaitu aspek fisik/biologis, yaitu usia antara 20-25 tahun untuk wanita dan usia antara 25-30 tahun untuk pria, sehat jasmani rohani, perawan, dan subur; aspek mental/psikologis, yaitu kepribadian yang baik dan pendidikan-kecerdasan yang tinggi; aspek psiko-sosial, yaitu nasab yang baik, latar belakang budaya, pergaulan, dan persiapan materi; serta aspek spiritual, yaitu beragama dan berakhlak mulia,.16
F. Metode Penelitian
1. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitiann ini menggunakan pendekatan kualitatif; yaitu pendekatan yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subyek penelitian, misalnya perilaku, persepsi, motivasi, dan lain sebagainya secara holistic dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode ilamiah.17
16 Depag, Korps. Penasihatan Perkawinan dan Keluarga Sakinah, (Jakarta: Departemen
Negara RI, 2004),hal. 73-74.
17 Sugiyono, Metode Penelitian Kualitatif Kuantitatif dan R&D, (Bandung : Alfabeta,
(20)
12
Dalam pendekatan kualitatif ini, peneliti melakukan penelitian dengan apa adanya dalam memperoleh data tentang miskonsepsi khithbah yang terjadi pada pasangan pranikah tanpa memanipulasi situasi dan kondisi di lapangan. Ini dilakukan untuk memahami fenomena tentang permasalahan yang dialami oleh pasangan tersebut, mulai dari latar belakang terjadinya miskonsepsi khithbah, ciri-ciri perilaku miskonsepsi khithbah, dan dampak negatif yang ditimbulkan dari terjadinya miskonsepsi khithbah.
Data yang didapatkan adalah data kualitatif yang menghasilkan data deskripstif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari konseli, maupun informan serta perilaku konseli yang dapat diamati, sehingga dapat diketahui serta dipahami secara rinci, mendalam dan menyeluruh tentang permasalahan konseli.
Adapun jenis penelitiannya adalah studi kasus, yaitu penelitian tentang status subyek penelitian yang berkenaan dengan suatu fase spesifik atau khas dari keseluruhan personalitas.18 Peneliti menggunakan studi kasus karena peneliti ingin melakukan penelitian dengan cara mempelajari individu secara rinci dan mendalam selama kurun waktu tertentu untuk membantunya memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang konsep khithbah dalam Islam.
(21)
13
2. Sasaran dan Lokasi Penelitian
Sasaran dalam penelitian ini adalah pasangan pranikah yang telah melakukan prosesi khithbah dan sedang menunggu masa akad nikah yaitu sebanyak 3 pasang, yang selanjutnya disebut konseli. Konselornya adalah Arifah. Sedangkan informannya adalah orang tua, tetangga, kerabat, dan teman dekat konseli. Lokasi penelitiannya yaitu Desa Sendangagung, Kecamatan Paciran, Kabupaten Lamongan.
3. Jenis dan Sumber Data
Jenis data pada penelitian ini adalah data yang bersifat non statistik, di mana data yang diperleh nantinya dalam bentuk verbal atau deskriptif dan bukan dalam bentuk angka.
Adapun jenis data dan sumber data pada penelitian ini adalah : 1) Data Primer yaitu data yang langsung diambil dari sumber pertama
(subyek penelitian) di lapangan sebagai sumber informasi yang dicari. Data yang diperoleh yaitu deskripsi tentang latar belakang masalah konseli, perilaku yang dialami konseli beserta dampaknya, pelaksanaan proses dan hasil akhir bimbingan dan konseling. Sumber data primer adalah sumber data yang langsung diperoleh peneliti di lapangan yaitu informasi dari konseli yakni pasangan pranikah yang mengalami miskonsepsi khithbah.
(22)
14
2) Data Sekunder yaitu data yang diambil dari sumber kedua atau berbagai sumber guna melengkapi data primer.19 Diperoleh dari gambaran lokasi penelitian, keadaan lingkungan konseli, riwayat pendidikan konseli, lingkungan konseli, dan perilaku keseharian konseli. Hal ini dimaksudkan untuk melengkapi serta mendukung informasi terkait dengan subyek penelitian. Adapun sumber data sekunder yang digunakan untuk melengkapi data yang peneliti peroleh dari sumber data primer adalah informan seperti keluarga, kerabat, tetangga, dan teman dekat konseli.
4. Tahap-Tahap Penelitian
Tahap penelitian yang dilakukan terdiri dari tahap pra lapangan dan tahap pekerjaan lapangan.
a. Tahap Pra Lapangan
Tahap pra lapangan meliputi:
1) Menyusun Rancangan Penelitian
Rancangan penelitian yang dibuat oleh konselor adalah sebagai berikut.
a. Menggali data sebanyak-banyaknya dari konseli maupun informan untuk mengetahui permasalahan konseli.
b. Menetapkan permasalahan yang dialami konseli.
c. Menetapkan jenis bantuan yang akan diberikan sesuai dengan permasalahan konseli.
19 Burhan Bungin, Metode Penelitian Sosial: Format-format Kuantitatif dan Kualitatif,
(23)
15
d. Memberikan bantuan kepada konseli menggunakan terapi yang ditetapkan berdasarkan permasalahan konseli.
e. Melihat hasil dari proses konseling yang dilakukan melalui wawancara dengan konseli dan informan, serta observasi terhadap konseli.
2) Memilih Lapangan Penelitian
Dengan mempertimbangkan teori yang sesuai dengan fakta di lapangan, maka konselor memeilih lapangan penelitian di desa Sendangagung Paciran Lamongan.
3) Mengurus Perizinan
Konselor mengurus surat perizinan dalam pelaksanaan penelitian dari lembaga asal konselor, yakni Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan Ampel untuk diberikan kepada perangkat Desa Sendangagung selaku tempat penelitian konselor agar pengumpulan data tidak mengalami gangguan.
4) Menjajaki dan Menilai Lapangan
Konselor mencari informasi tentang lokasi penelitian untuk mengenal dan memahami kondisi fisik dan sosial lokasi penelitan, sehingga konselor bisa berbaur dengan anggota masyarakat.
5) Memilih dan Memanfaatkan Informan;
Informan adalah seseorang yang memberikan informasi tentang situasi dan kondisi latar penelitian secara suka rela dari
(24)
16
sudut pandang orang tersebut. Informan yang dipilih yaitu orang tua, kerabat, tetangga, dan teman konseli. Hal ini dimaksudkan, agar peneliti bisa mengumpulkan informasi yang banyak dalam waktu yang relatif singkat namun tetap teliti.
6) Menyiapkan Perlengkapan Penelitian
Peneliti menyiapakan segala macam perlengkapan penelitian, seperti izin mengadakan penelitian, pengaturan perjalanan, alat tulis, alat perekam, jadwal kegiatan yang rinci, serta perlengkapan yang digunakan untuk menganalisis data. 7) Persoalan Etika Penelitian
Di lokasi penelitian, konselor berusaha untuk menghormati dan mematuhi nilai dan norma masyarakat maupun pribadi, sehingga konselor bisa berbaur dengan masyarakat.
b. Tahap Pekerjaan Lapangan
Konselor melakukan persiapan untuk memasuki lapangan dengan cara memahami latar belakang penelitiannya terlebih dahulu, serta mempersiapkan diri baik fisik maupun psikis terkait dengan penyesuaian dengan norma dan nilai yang berlaku di lapangan.
Hal pertama yang dilakukan yaitu memberikan surat izin penelitian kepada perangkat desa Sendangagung. Selanjutnya, memasuki lapangan untuk mengamati fenomena yang ada di lapangan agar memperoleh banyak informasi tentang kondisi lingkungan sebelum menjalin keakraban dengan konseli atau informan lainnya.
(25)
17
Hari berikutnya, konselor melakukan penggalian data tentang lokasi penelitian dari perangkat desa dan tokoh agama setempat. Selanjutnya, konselor mencari data tentang permasalahan konseli dari konseli sendiri maupun informan dalam waktu beberapa hari sampai konselor menemukan permasalahan yang terjadi pada konseli dengan melihat gejala dan faktor yang melatarbelakangi terjadinya permasalahan tersebut.
Selanjutnya, konselor menetapkan permasalahan konseli dan menetapkan bantuan yang akan diberikan kepada konseli untuk mengatasi permasalahan tersebut. Proses konseling lalu dilakukan untuk membantu mengatasi permasalahan tersebut sehingga bisa diketahui perubahan yang terjadi pada diri konseli.
5. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang konselor gunakan yaitu: a. Observasi
Observasi adalah pengamatan secara langsung dan kontinyu juga sistematis terhadap fenomena yang diteliti pada waktu, tempat atau kegiatan yang sedang berlangsung tanpa melakukan manipulasi.20
Observasi yang dilakukan konselor yaitu pada saat proses konseling berlangsung dan sesudah proses konseling, serta saat konselor mengikuti kegiatan sehari-hari konseli.
20 Sumadi Suryabrata, Metode Penelitian, (Jakarta: PT. Remaja Grafindo Persada, 2005),
(26)
18
b. Wawancara
Wawancara adalah tanya jawab dengan seseorang yang diperlukan untuk dimintai keterangan atau pendapatnya mengenai suatu hal atau tanya jawab antara peneliti dengan narasumber.21
Wawancara digunakan untuk menemukan permasalahan secara lebih terbuka, dimana dalam prosesnya, konselor mengajak konseli untuk bertukar pendapat dan ide-ide mengenai suatu hal. Pada wawancara ini, konselor mendengarkan dan mencatat secara teliti apa yang dikemukakan oleh konseli terkait konsep khithbah dan apa yang dikemukakan informan terkait keadaan konseli, sehingga konselor mendapatkan informasi yang diinginkan.
c. Dokumentasi
Dokumentasi adalah pengambilan data yang diperoleh melalui dokumen-dokumen.22 Data yang diperoleh melalui metode ini adalah identitas konseli dan gambaran umum lokasi penelitian.
6. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data bertujuan untuk mengetahui proses dan hasil pelaksanaan bimbingan dan konseling Islam untuk mengatasi miskonsepsi khithbah pada pasangan pranikah di desa Sendangagung Paciran Lamongan.
21 Ebta Setiawan, KBBI Offline versi 1.1 mengacu pada KBBI Daring (edisi III), freeware
2010.
22 Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D, (Bandung: Alfabeta,
(27)
19
Analisis data yang digunakan adalah analisis deskriptif kualitatif dan analisis deskripstif komparatif. Analisis deskriptif kualitatif digunakan untuk mengumpulkan informasi aktual dan terperinci mengenai latar belakang terjadinya miskonsepsi khithbah yang terjadi di lapangan. Setelah itu, untuk mengetahui hasil proses pelaksanaan bimbingan dan konseling, peneliti menggunakan analisis deskriptif komparatif, yaitu membandingkan gejala yang tampak pada konseli antara sebelum dilakukan konseling dan sesudah dilakukan konseling.23 7. Teknik Keabsahan Data
Keabsahan data merupakan tingkat ketepatan antara data yang terjadi pada objek penelitian dengan data yang dapat dilaporkan oleh peneliti. Data yang diperoleh dikatakan sebagai data yang valid apabila terjadi kesesuaian antara data yang dilaporkan peneliti dengan fakta yang terjadi pada objek di lapangan. Namun, perlu diketahui bahwa kebenaran realitas data berdasarkan penelitian kuantitatif bersifat jamak, tergantung pada konstruksi manusia.24
Agar data yang terkumpul lebih akurat maka konselor melakukan interaksi dengan konseli maupun informan dalam waktu yang relatif lama. Setelah data terkumpul, konselor membandingkan data yang diperoleh melalui waktu dan cara yang berbeda, membandingkan kesamaan data yang diperoleh dengan penggunaan metode pengumpulan data melalui wawancara dan observasi, serta membandingkan fakta di
23 Jonathan Sarwono, Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif, (Yogyakarta: Graha
Ilmi. 2006), hal. 239-240.
(28)
20
lapangan dengan teori yang ada, sehingga ditemukan kesamaan data dari berbagai cara yang telah dilakukan.
G. Sistematika Pembahasan
Sistematika pembahasan digunakan untuk mempermudah dalam pembahasan dan penyusunan skripsi nanti, maka peneliti akan menyajikan pembahasan ke dalam beberapa bab dengan rincian sebagai berikut:
Bab I Pendahuluan; yang mencakup Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Definisi Konsep, Metode Penelitian dan Sistematika Pembahasan.
Bab II Kerangka Teoritik; membahas tentang Kajian Teoritik dan Penelitian Terdahulu yang Relevan. Kajian Teoritik diambil dari beberapa referensi untuk menelaah objek kajian yang dikaji. Yang mana pembahasannya meliputi: Bimbingan dan Konseling Islam, Miskonsepsi Khithbah, dan Pasangan Pranikah.
Bab III Penyajian Data; berupa deskripsi umum obyek penelitian dan deskripsi hasil penelitian. Deskripsi umum objek penelitian membahas tentang deskripsi lokasi penelitian, deskripsi konselor, deskripsi klien dan deskripsi masalah. Sedangkan deskripsi hasil penelitian membahas tentang deskripsi proses pelaksanaan bimbingan dan konseling Islam dalam mengatasi miskonsepsi khithbah pada pasangan pranikah dan deskripsi hasil yang diperoleh di lapangan.
(29)
21
Bab IV Analisis Data;menguraikan tentang analisis proses dan analisis hasil proses pelaksanaan bimbingan dan konseling islam untuk mengatasi miskonsepsi khithbah pada pasangan pranikah di Desa Sendangagung Paciran Lamongan sehingga nantinya akan diperoleh apakah bimbingan dan konseling Islam membantu memecahkan masalah atau tidak.
Bab V Penutup; merupakan bab terakhir dari skripsi yang meliputi Kesimpulan dan Saran dari hasil penelitian yang dilakukan.
(30)
22
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA A. Kajian Teoritik
1) Bimbingan dan Konseling Islam
a. Pengertian Bimbingan dan Konseling Islam
Menurut Hallen A. dikutip Syamsul Munir Amin, menyatakan bahwa bimbingan dan konseling Islam adalah proses pemberian bantuan terarah, kontinu dan sistematis kepada setiap individu agar ia dapat mengembangkan potensi atau fitrah beragama yang dimilikinya secara optimal dengan cara menginternalisasikan nilai-nilai yang terkandung dalam Al-Qur‟an dan Al-Hadits Rasulullah SAW ke dalam dirinya, sehingga ia dapat hidup selaras dan sesuai dengan tuntunan Al-Qur‟an dan Al-Hadits.1
Menurut H.M. Arifin, bimbingan dan konseling Islam adalah usaha pemberian bantuan kepada seseorang yang mengalami kesulitan, baik lahiriyah maupun batiniyah yang menyangkut kehidupannya di masa kini dan masa datang. Bantuan tersebut berupa pertolongan di bidang mental spiritual, agar orang yang bersangkutan mampu mengatasi dirinya sendiri melalui dorongan dari kekuatan iman dan takwa kepada Tuhannya.2
Dalam bukunya yang lain, H.M. Arifin memberikan pengertian bimbingan dan konseling Islam adalah segala kegiatan yang
1
Syamsul Munir Amin, Bimbingan dan Konseling Islam, (Jakarta: Amzah, 2010), hal. 23
2
H.M. Arifin, Pedoman Pelayanan Bimbingan Penyuluhan Agama, (Jakarta: Golden
Terayon, 1982), hal. 21.
(31)
23
dilakukan oleh seseorang dalam rangka memberikan bantuan kepada orang lain yang mengalami kesulitan-kesulitan rohaniah dalam lingkungan hidupnya supaya orang tersebut mampu mengatasinya sendiri karena timbul kesadaran dan/atau penyerahan diri terhadap kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa, sehingga timbul dalam diri pribadinya suatu cahaya harapan kebahagiaan hidup saat sekarang dan masa mendatang.3
Menurut Tohari Musnamar, bimbingan dan konseling Islam adalah proses pemberian bantuan terhadap individu agar menyadari kembali eksistensinya sebagai makhluk Allah yang seharusnya hidup selaras dengan ketentuan dan petunjuk Allah, sehingga dapat mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.4
Jadi, Bimbingan dan Konseling Islam adalah proses pemberian bantuan yang terarah, kontinu dan sistematis kepada setiap individu agar ia dapat mengembangkan potensi atau fitrah beragama yang dimilikinya secara optimal dengan cara menginternalisasikan nilai-nilai yang terkandung di dalam Al-Qur‟an dan hadits Rasulullah SAW ke dalam dirinya, sehingga ia dapat hidup selaras dan sesuai dengan tuntunan Al-Qur‟an dan hadits. Apabila internalisasi nilai-nilai yang terkandung dalam Al-Qur‟an dan hadits telah tercapai dan fitrah beragama tersebut telah berkembang secara optimal, maka
3
H.M. Arifin, Pokok-Pokok Pikiran tentang Bimbingan Penyuluhan Agama, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1976), hal. 25.
4
Tohari Musnamar, Dasar-Dasar Konseptual Bimbingan Konseling Islam, (Yogyakarta:
(32)
24
individu tersebut dapat menciptakan hubungan yang baik dengan Allah SWT, manusia dan alam semesta sebagai manifestasi dari perannya sebagai khalifah di muka bumi yang sekaligus berfungsi untuk mengabdi kepada Allah SWT.
b. Tujuan Bimbingan dan Konseling Islam
Menurut Hamdan Bakran Adz-Dzaky, tujuan bimbingan dan konseling Islam adalah
1) Menghasilkan suatu perbuatan, perbaikan, kesehatan dan kebersihan jiwa dan mental. Jiwa menjadi tenang, jinak dan damai, bersikap lapang dada dan mendapatkan pencerahan taufik dan hidayah Tuhannya.
2) Menghasilkan suatu perubahan, perbaikan dan kesopanan tingkah laku yang dapat memberikan manfaat baik pada diri sendiri, lingkungan keluarga, lingkungan kerja maupun lingkungan sosial dan alam sekitarnya.
3) Menghasilkan kecerdasan emosi pada individu sehingga muncul dan berkembang sikap toleransi, rasa kasih sayang, tolong-menolong, dan kesetiakawanan.
4) Menghasilkan kecerdasan spiritual pada diri individu sehingga muncul dan berkembang rasa keinginan untuk berbuat taat kepada Tuhannya, ketulusan mematuhi segala perintah-Nya serta ketabahan menerima ujian-Nya.
(33)
25
5) Menghasilkan potensi Ilahiyah, sehingga dengan potensi tersebut individu dapat melakukan tugasnya sebagai khalifah dengan baik dan benar, menanggulangi berbagai persoalan hidup dan memberikan kemanfaatan dan keselamatan bagi lingkungannya pada berbagai aspek kehidupan.
6) Mengembalikan pola pikir dan kebiasaan konseli kepada ajaran Islam yang bersumber Al-Qur‟an dan paradigma kenabian.5
Sedangkan menurut Komaruddin, tujuan bimbingan dan konseling Islam adalah
1) Manusia melaksanakan tugas-tugas keagamaan yang diberikan oleh Allah kepada dirinya sebagai khalifah dan hamba Allah dengan berbekal potensi akal, pendengaran, penglihatan dan hati sebagai petunjuk ilahiyah yang telah diberikan oleh Allah. 2) Membentuk pribadi sehat menurut Islam yang diukur
berdasarkan tingkat keimanan sebagai penentu kognitif, afektif dan psikomotorik manusia.
3) Menjaga diri dari menjadi pribadi yang tidak sehat yang disebabkan karena tidak berfungsinya iman. Karena tidak memanfaatkan potensi yang diberikan Allah, melupakan Allah, syirik, munafiq, selalu mengikuti hawa nafsu dan selalu berbuat kerusakan.
5
Hamdani Bakran Adz-Dzaki, Konseling dan Psikoterapi Islam, (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2004), hal.167-168
(34)
26
4) Pemberdayakan iman, yaitu beragama tauhid dan menerima kebenaran, karena ia terikat perjanjian dengan Allah yakni dia telah bersaksi bahwa Allah adalah Tuhannya, dibekali dengan potensi akal, pendengaran, penglihatan, hati dan petunjuk
ilahiyah sebagai khalifah, bertanggung jawab atas perbuatannya, serta diberi kebebasan menurut jalan hidupnya sesuai dengan fitrahnya.6
Jadi, tujuan bimbingan dan konseling Islam adalah individu-individu akan memiliki kesadaran yang lebih mendalam bukan saja tentang siapa mereka, tetapi juga kemampuan untuk berdiri sendiri. c. Fungsi Bimbingan dan Konseling Islam
Menurut Nidya Damayanti, bimbingan dan konseling Islam memilik fungsi sebagai berikut:
1) Fungsi Pencegahan (Preventive)
Fungsi pencegahan adalah segala usaha bimbingan yang terarah pada tujuan menciptakan kondisi, suasana serta lingkungan masyarakatyang mendukung proses internalisasi nilai-nilai keagamaan pada diri individu dalam masyarakat.7
6Komaruddin,dkk, Dakwah dan Konseling Islam, (Semarang: PT Pustaka Rizki Putra,
2008), hal 62-63
7
Nidya Damayanti, Buku Pintar Panduan Bimbingan Konseling, (Yogyakarta: ARASKA.
(35)
27
Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, Yaitu Alkitab
(Al-Qur’an) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat
mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. dan Sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadah-ibadah yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Ankabut : 45)8 2) Fungsi Perbaikan (Corrective)
Fungsi perbaikan yaitu mengatasi suatu perbuatan yang sudah terlanjur terjerumus dalam kemaksiatan dan mengarahkan konseli pada nilai-nilai ajaran Islam.9 Sesuai dengan ayat Al-Qur‟an yaitu :
Dan Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan dan menganiaya dirinya, kemudian ia memohon ampun kepada Allah, niscaya ia mendapati Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS.
An Nisa‟ : 110)10
3) Fungsi Penyaluran
Fungsi penyaluran bertujuan membantu konseli memilih program studi dan memantapkan penguasaan karir yang sesuai dengan minat, bakat, keahlian dan ciri-ciri kepribadian lainnya.
Al-Qur‟an menjelaskan bahwa :
8
Kementrian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta: PT. Sinergi Pustaka
Indonesia, 2012), hal. 566
9
Imam Sayuti Farid, Pokok-pokok Bimbingan Penyuluhan Agama sebagai Teknik Dakwah, (Surabaya: Biro Penerbitan Fakultas Dakwah IAIN Sunan Ampel, 1988), hal. 54-56.
10
Kementrian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta: PT. Sinergi Pustaka
(36)
28
Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah, taatlah dan nafkahkanlah nafkah yang baik untuk dirimu. Dan barangsiapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung. (QS. Al-Taghabun (64): 16)11
4) Fungsi Pengembangan
Fungsi pengembangan yaitu segala usaha bimbingan yang terarah pada tujuan membantu individu menguasai pengetahuan, keterampilan dan sikap yang diperlukan untuk mengembangkan nilai-nilai keagamaan pada dirinya sendiri.12 Sesuai dengan ayat Al-Qur‟an berikut.
Dan Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan lautan, Kami beri mereka rizqi dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan. (QS. Al-Isra‟ (17): 70)13
Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa fungsi bimbingan dan konseling Islam adalah untuk mengatasi segala problematika hidup yang dihadapi oleh seluruh lapisan masyarakat.
11
Kementrian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta: PT. Sinergi Pustaka
Indonesia, 2012), hal. 815.
12
H.M. Arifin, Pedoman Pelaksanaan Bimbingan Penyuluhan Agama, (Jakarta: Golden
Terayon, 1982), hal. 49.
13
Kementrian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta: PT. Sinergi Pustaka
(37)
29
d. Prinsip Bimbingan dan Konseling Islam
Di antara prinsip-prinsip bimbingan dan konseling Islam yaitu: 1) Membantu individu mengetahui, mengenal, dan memahami
keadaan dirinya sesuai dengan fitrahnya.
2) Membantu individu menerima keadaan dirinya apa adanya, baik dan buruknya, kekuatan dan kelemahannya, sebagai sesuatu yang telah ditakdirkan oleh Allah. Namun, manusia hendaknya tetap ikhtiar sehingga dirinya mampu bertawakkal kepada Allah. 3) Membantu individu memahami keadaan yang dihadapinya. 4) Membantu individu menemukan alternatif pemecahan masalah. 5) Membantu individu mengembangkan kemampuannya dalam
mengantisipasi masa depan dan memperkirakan akibat yang akan terjadi.14
e. Langkah-langkah Bimbingan dan Konseling Islam
Langkah-langkah yang dilakukan dalam proses bimbingan dan konseling Islam, antara lain:
1) Identifikasi kasus yaitu pengumpulan data dari berbagai sumber yang bertujuan untuk mengenali masalah dan gejala yang nampak yang diperoleh melalui wawancara, observasi dan analisis data.
14
Tohari Musnamar, Dasar-dasar Konseptual Bimbingan dan Konseling Islam, (Jakarta: UII Press, 1992), hal. 35-40
(38)
30
2) Diagnosa, yaitu menetapkan masalah yang dihadapi beserta latar belakangnya setelah dilakukan analisa dari semua data yang telah dikumpulkan.
3) Prognosa, yaitu menetapkan jenis bantuan ataupun terapi yang akan digunakan dalam membantu menangani masalah konseli. 4) Terapi, yaitu proses pemberian bantuan atau bimbingan pada
konseli guna meringankan beban masalah konseli terutama dalam pengambilan keputusan.
5) Evaluasi yaitu menilai atau mengetahui sampai sejauh mana keberhasilan terapi yang telah dilakukan. hendaknya konselor mengamati pula perkembangan konseli selanjutnya dalam jangka waktu yang lebih lama.15
f. Unsur-Unsur Bimbingan dan Konseling Islam 1) Konselor
Konselor adalah seseorang yang memberikan bantuan kepada orang lain yang mengalami kesulitan-kesulitan yang tidak bisa diatasi tanpa bantuan orang lain.16 Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi jika seseorang ingin menjadi seorang konselor islami, di antarnya yaitu
a) Meyakini akan kebenaran agamanya, menghayati dan mengamalkannya, karena ia menjadi pembawa norma agama
15
Djumhur dan Moh. Surya, Bimbingan dan Penyuluhan di Sekolah, (Bandung: CV. Ilmu, 1975), hal. 104-106
16
H.M. Arifin, Pedoman Pelayanan Bimbingan Penyuluhan Agama, (Jakarta: Golden
(39)
31
yang konsekuen serta menjadikan dirinya seorang yang disegani sebagai muslim lahir-batin dikalangan anak bimbingnya (konseli).
b) Memiliki sikap dan kepribadian yang menarik terhadap anak bimbing pada khususnya dan kepada orang-orang yang berada di lingkungan sekitarnya.
c) Memiliki rasa tanggung jawab dan rasa berbakti tinggi serta loyalitas terhadap anak bimbing atau loyalitas terhadap tugas pekerjaannya yang konsisten di tengah-tengah pergolakan masyarakat.
d) Memiliki kematangan jiwa dalam bertindak menghadapi permasalahan yang memerlukan pemecahan. Kematangan jiwa berarti matang dalam berpikir, berkehendak dan merasakanterhadap segala hal yang melingkupi segala kewajibannya.
e) Mempunyai keyakinan bahwa setiap anak bimbing memiliki kemampuan dasar yang baik dan dapat dibimbing menuju ke arah perkembangan yang optimal.
f) Memiliki ketangguhan kesabaran serta keuletan dalam melaksanakan tugas kewajibannya. Dengan demikian ia tidak lekas putus asa bila menghadapi kesulitan-kesulitan dalam tugas.
(40)
32
g) Jika konselor tersebut bertugas di bidang agama, maka dia harus memiliki pengetahuan agama, berakhlak mulia, serta aktif menjalankan ajaran agamanya dan lain sebagainya.17 2) Konseli
Konseli adalah seorang yang perlu mendapatkan perhatian sehubungan dengan masalah yang dihadapinya dan membutuhkan bantuan dari pihak lain untuk memecahkannya. Namun demikian, keberhasilan dalam mengatasi masalahnya sebenarnya sangat ditentukan oleh pribadi konseli itu sendiri.18
Maka, seorang klien dalam mengatasi masalahnya hendaknya memenuhi persyaratan berikut ini:
1) Konseli mempunyai motivasi dengan kesadarannya bahwa dia mempunyai masalah dan bersedia untuk membicarakan masalah tersebut kepada konselor dan mempunyai keinginan untuk menyelesaikan masalahnya.
2) Konseli mempunyai keberanian mengekspresikan diri, kemampuan mengutarakan persoalan dan perasaan, serta memberikan informasi atau data yang diperlukan.
3) Konseli bertanggung jawab atas masalahnya dan berusaha menyelesaikan masalahnya.19
17
H.M. Arifin, Pedoman Pelayanan Bimbingan Penyuluhan Agama, (Jakarta: Golden
Terayon, 1982), hal. 26-27.
18
Imam Sayuti Farid, Pokok-pokok Bimbingan Penyuluhan Agama Sebagai Teknik Dakwah (Jakarta: Bulan Bintang, 2007), hal. 14
19
(41)
33
Jadi, konseli harus mempunyai dorongan dan kepercayaan bahwa ia memiliki masalah dan ia mau mengungkapkan masalahnya kepada seseorang yang dianggapnya mampu menyelesaikan masalahnya.
3) Masalah
Masalah adalah sesuatu yang menghambat, merintangi, menghalangi dan mempersulit dalam usaha mencapai tujuan.20 Hal semacam ini perlu ditangani atau dipecahkan oleh konselor bersama-sama dengan konseli. Masalah yang ditangani antara lain, masalah dalam bidang pernikahan dan keluarga, pedidikan, sosial (kemasyarakatan), pekerjaan (jabatan), dan keagamaan.21 Selain itu, bisa juga masalah yang berhubungan dengan jasmani, psikologis, keluarga, kemasyarakatan, dan lingkungan.22
2. Miskonsepsi Khithbah
a. Pengertian Miskonsepsi Khithbah
Miskonsepsi berasal dari dua kata berbahasa Inggris, mis dan
concept. Menurut Soedjadi –dikutip oleh Clara–, pengertian konsep adalah ide abstrak yang dapat digunakan untuk mengadakan klasifikasi atau penggolongan yang pada umumnya dinyatakan dengan suatu istilah atau rangkaian kata. Sedangkan menurut Bahri –
20
W.S. Winkel, Bimbingan dan Konseling di Sekolah Menengah, (Jakarta: Gramedia,
1989), hal. 12
21
Tohari Musnamar, Dasar-dasar Konseptual Bimbingan dan Konseling Islami,
(Yogyakarta: UII Press, 1992), hal. 41-42
22
Bimo Walgito, Bimbingan dan Penyuluhan di Sekolah, (Yogyakarta: Andi Offset, 1989), hal. 65-67.
(42)
34
juga dikutip oleh Clara–, konsep adalah satuan arti yang mewakili sejumlah objek yang mempunyai ciri yang sama.23
Menurut Singarimbun dan Effendi, konsep adalah generalisasi dari sekelompok fenemona tertentu, sehingga dapat dipakai untuk menggambarkan berbagai fenomena yang sama. Konsep merupakan suatu kesatuan pengertian tentang suatu hal atau persoalan yang dirumuskan. Dalam merumuskan, kita harus mampu menjelaskan sesuai dengan maksud kita memakainya.24
Dari pengertian di atas, dapat dijelaskan bahwa konsep adalah sekumpulan gagasan atau ide yang sempurna dan bermakna; berupa abstrak, entitas mental yang universal yang bisa diterapkan secara merata untuk setiap ekstensinya, sehingga „konsep‟ membawa suatu arti yang mewakili sejumlah objek yang mempunyai ciri yang sama dan membentuk suatu kesatuan pengertian tentang suatu hal atau persoalan yang dirumuskan.
Adapun miskonsepsi itu sendiri pertama kali muncul pada tahun 1660-an, yang mana miskonsepsi merupakan kata benda yang mendapat awalan mis-, yang berarti „salah, keliru,‟ dan kata
konsepsi, konsep, gagasan, sebuah ringkasan atau gagasan umum yang disimpulkan atau yang berasal dari pemaknaan pada kejadian-kejadian tertentu „tindakan dari pemahaman‟. Miskonsepsi biasanya
23
Clara R. Pudjiyoga Yanti, Konsep Diri dalam Belajar Mengajar, (Jakarta: Arcan, 1985), hal. 2
24
Masri Singarimbun dan Sofian Effendi, Metode Penelitian Survai, (Jakarta: Pustaka
(43)
35
merupakan hasil dari pemikiran yang salah atau pemahaman yang kurang. Seperti contoh: Karena mereka tidak tahu fakta-faktanya, beberapa orang mengalami miskonsepsi tentang bagaimana penyakit-penyakit seperti AIDS ditularkan; Sebuah miskonsepsi umum bahwa Thomas Edison adalah yang menemukan bola lampu, sedangkan pada kenyataanya bukan dia yang menemukan.25
Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa miskonsepsi adalah sebuah kesimpulan yang salah karena didasarkan pada pemikiran yang salah atau fakta-fakta yang salah.
Khithbah dalam Islam berarti penawaran dari seorang laki-laki kepada perempuan untuk melangsungkan akad pernikahan.26 Tujuannya adalah untuk mengetahui pendapat perempuan yang akan dinikahi serta wali dan keluarga perempuan tersebut dengan cara mengumpulkan kedua belah pihak sesuai dengan adat yang berlaku di masyarakat.
Namun, yang banyak dilakukan sebagian orang apabila sudah melangsungkan khithbah adalah melakukan sesuatu sesuka hati tanpa mengetahui hukum dan akibatnya, seperti sering jalan bersama, begadang bersama, pergi ke mana-mana bersama. Ini bukanlah ajaran Islam, tetapi merupakan taklid kepada orang-orang Barat yang tidak terpuji, yang sengaja dihembuskan dan dipropa-gandakan untuk mengguncang dan merusak ajaran Islam.
25
www.vocabulary.com/misconception. Diakses pada 5 Maret 2016
26 Syekh Muhammad Ahmad Kan‟an, Kado Terindah untuk Mempelai, (Yogyakarta: Mitra
(44)
36
Orang-orang Barat berpendapat, dengan jalan bersama selama sekian tahun, mereka akan lebih saling mengenal dan mengetahui jati diri masing-masing, lebih saling memahami satu sama lain, agar nanti kalau dalam berkeluarga akan menjadi lebih bahagia karena sudah mengenal dan lebih memahami pasangannya.27
Pendapat semacam ini merupakan pendapat yang tidak bersandarkan pada asas kesahihan dan fakta. Yang ada hanya kerugian di salah satu pihak yang amat sering terjadi dalam kehidupan masyarakat. Islam memandang bahwa watak asli seseorang akan keluar apabila mereka sudah berkumpul dalam sebuah rumah tangga. Jadi, kalau masih dalam masa khithbah maka sifat mereka masih tersembunyi satu sama lainnya, kalau diteruskan maka akan menyesal kemudian di kala sudah menjadi suami istri. Penyesalan pada saat itulah yang sudah terlambat.
Islam mengajarkan kepada kita tentang fase-fase yang harus dilalui mulai dari khithbah sampai malam pertama dan pernikahan. Itu semua ada dasarnya sehingga dengan melalui fase-fase yang teratur seperti yang diajarkan Islam, maka kebahagiaan rumah tangga mudah dicapai karena nikahnya selalu diridhai Allah dan restu dari keluarga kedua belah pihak. Sedangkan pernikahan yang tidak melalui fase-fase yang ditentukan agama kebanyakan berakhir dengan kegagalan.
27 Syekh Muhammad Ahmad Kan‟an, Kado Terindah untuk Mempelai, (Yogyakarta: Mitra
(45)
37
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa miskonsepsi
khithbah adalah sebuah kesimpulan yang salah tentang status seseorang yang dikhithbah oleh pengkhithbah karena didasarkan pada pemikiran yang salah atau fakta-fakta yang salah.
b. Ciri-ciri Miskonsepsi Khithbah
Secara eksplisit, belum ada yang menjelaskan dengan detail terkait apa saja yang menjadi ciri-ciri miskonsepsi khithbah. Dalam hal ini ciri-ciri miskonsepsi khithbah dikaitkan dengan hal-hal yang tidak boleh dilakukan oleh seseorang yang masih dalam proses
khithbah.
Di antaranya yaitu berkhalwat (menyepi) dengan lawan jenis yang bukan muhrim, bergandengan tangan, berjabat tangan, berciuman antara dua orang yang bukan muhrim,28 memanggil dengan panggilan sayang, merayu atau mengekspresikan rasa kangen dengan kata-kata melalui SMS atau telepon, berduaan dan saling melakukan kontak fisik, serta foto-foto mesra.29
Semua yang disebutkan di atas adalah hal-hal yang bisa menimbulkan kecenderungan di dalam hati yang akan mudah membawa orang terperosok ke dalam hawa nafsu jika orang tersebut tidak dapat mengendalikan hatinya, karena setan selalu menyertai manusia untuk memperdayainya.
28 Syekh Muhammad Ahmad Kan‟an, terj. Ali Muhdi Amnur,
Kado Terindah untuk Mempelai, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2011), hal. 59-60.
(46)
38
Hal ini senada dengan penjelasan Abu Malik Kamal (yang dikutip dari Fiqh Az-Zawaj karya As-Sadlan) tentang kaidah-kaidah syariat mengenai larangan-larangan bagi khathib dan khathibah. Di antaranya yaitu
1) Tidak boleh berkhalwat (berduaan) ketika nadzar (melihat). Keduanya harus ditemani mahram wanita dari pihak laki-laki atau ada salah satu mahram wanita dari pihak yang dikhithbah. 2) Tidak boleh berjabat tangan dan menyentuh tubuh yang
dikhithbah meski hanya sedikit, karena dia masih berstatus sebagai orang asing.
3) Diperbolehkan saling berbicara dan bertanya sesuai batasan-batasan syariat dan dengan gaya bicara yang wajar.
4) Tidak boleh bertemu berkali-kali –seperti yang terjadi sekarang ini–, yaitu khathib setiap hari bertemu dengan khathibah.
5) Tidak dibolehkan pergi berdua tanpa mahram –sebagaimana yang terjadi sekarang ini di tengah masyarakat muslim– yaitu
khathib menemani makhthubah sebelum dilaksankannya akad nikah untuk pergi ke tempat hiburan atau tempat-tempat lain dengan alasan keduanya akan menjadi suami istri nanti. Keduanya pun bermesraan di hadapan keluarga pihak laki-laki maupun perempuan tanpa ada teguran dan perasaan tidak suka.30
30 Abu Malik Kamal, Fiqh as-Sunnah Li an-Nisa‟, (Solo: Pustaka Arafah, 2014), hal.
(47)
39
Larangan di atas menunjukkan bahwa seringnya hal-hal yang sedemikan dilakukan oleh pasangan pranikah, jika hal ini terus dilakukan maka akan menimbulkan prasangka orang tentang maksiat dan akan menimbulkan aib dan noda kehinaan di mata masyarakat.
Sebagaimana yang tercantum dalam kitab Ihya‟ Ulumuddin,
صحو
لي
ةيصعما ةنظم
ا ثيح ابلاغ ةيصعما عوقول هب ناسنإا ضرعتي ام ةنظماب يعنو ةيصعم
ةيصعم ىلع ا ةن ار ةيصعم ىلع ةبسح قيقحتلا ىلع و اذإف اهنع فافكناا ىلع ردقي
ةرظتنم
.
31
“Suatu perkara yang menjadikan prasangka orang tentang maksiat, maka hal itu adalah maksiat. Maksudnya, karena hal tersebut menjadi tempat maksiat karena manusia tidak bisa melepaskan dari prasangka tersebut. Jika dia benar-benar melakukan maksiat maka terbuktilah dia berdosa atau dia benar-benar melakukan maksiat”.
Selain itu, juga karena perempuan yang dikhithbah belum halal bagi yang mengkhithbah karena belum adanya akad nikah. Bahkan, sesudah terjadinya proses khithbah, masih terdapat kemungkinan terputusnya ikatan khithbah tersebut.
Oleh karena itu, ketika pasangan ingin bertemu dengan maksud untuk saling mengenal, maka harus ada mahram yang menyertai dan untuk tujuan yang baik, agar bisa terhindar dari perbuatan maksiat yang melenceng dari ajaran agama, budaya, tatakrama dan sopan santun yang dianut oleh kedua belah pihak. Karena pada dasarnya, tujuan dari adanya peraturan adalah untuk mewujudkan kebahagiaan dunia dan akhirat.
31
Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al Ghazali, Ihya’ Ulumuddin Juz 3, Maktabah
(48)
40
c. Faktor-faktor Penyebab Miskonsepsi Khithbah
Secara eksplisit, belum ada yang menjelaskan mengenai penyebab terjadinya miskonsepsi khithbah di kalangan pasangan muda-mudi zaman sekarang. Namun, penulis mengamati berdasarkan buku-buku panduan dan juga realita, bahwa diantara penyebab terjadinya miskonsepsi khithbah yaitu:
1) Lemahnya iman dan tidak adanya rasa takut kepada Allah swt. 2) Tidak memahami Islam secara keseluruhan karena tidak
tertanamnya nilai-nilai Islam dalam diri mereka, terutama tentang nilai Islam sebagai landasan berperilaku dan menjalani kehidupan di dunia.
3) Kurang efektifnya sistem pendidikan saat ini. Dilihat dari banyak siswa atau mahasiswa yang memamerkan pergaulannya dengan pasangannya, bahkan di sekolah atau universitas tempat mereka belajar.
4) Media massa yang disalahgunakan, baik media cetak elektronik sangat berperan dalam mendorong pasangan muda-mudi keluar dari kesucian dan kemuliaan akhlak mereka.
5) Taklid, yaitu sikap ikut-ikutan. Pada zaman modern yang penuh kerusakan moral, pasangan muda-mudi sangat senang bertaklid pada hal-hal yang buruk yang dianggap sebagai tren.32
32
Mushlihuddin dan Luqman Hakim, Menyingkap Akhlaq Wanita Shalihah, (Surabaya:
(49)
41
Penyebab miskonsepsi khithbah juga bisa dikarenakan terjadinya degradasi nilai-nilai yang berlaku di masyarakat. Nilai-nilai tersebut meliputi Nilai-nilai-Nilai-nilai agama, adat istiadat, sosial dan kesakralan keluarga.
1) Degradasi Nilai-Nilai Agama
Sebagian besar umat di semua agama semakin kurang taat beribadah sebagaimana yang diperintahkan oleh agamanya, karena rendahnya tingkat keimanan yang dimiliki disebabkan orientasi hidup bukan lagi untuk akhirat. Didukung tiada keteladanan dari orang tua dan pendidikan anak yang diserahkan pada orang atau lembaga yang bukan ahlinya.
2) Degradasi nilai-nilai adat istiadat
Saat ini nilai-nilai adat istiadat seakan menghilang dan lenyap dari kehidupan. Berbeda dengan zaman dahulu yang masih memegang erat nilai-nilai adat istiadat. Penyebabnya adalah kurangnya pendidikan dan teladan dari guru dan orang tua dalam hal nilai-nilai adat istiadat.
3) Degradasi nilai-nilai sosial
Degradasi nilai-nilai sosial bersumber dari pendidikan keluarga yang tidak berfungsi dengan baik disebabkan oleh kesibukan orang tua sehingga tidak sempat memberikan kasih sayang kepada anak-anaknya. Hal ini menjadikan anak-anak mencari tempat pelampiasan emosi mereka di luar rumah.
(50)
42
Selain itu, guru yang tidak berperan dalam membentuk pribadi baik siswa, sehingga moral siswa tidak terbentuk dengan baik. Serta anggota masyarakat yang tidak memberikan teladan yang baik bagi anggota masyarakat yang lain.
4) Degradasi Nilai-Nilai Kesakralan Keluarga
Masyarakat zaman modern (saat ini) amat materialistis dan egoistis. Padahal, bangsa Indonesia (zaman dulu) adalah bangsa yang terkenal dengan akhlaknya. Dari sini, dapat dilihat bahwa telah terjadi degradasi kemuliaan dan kesakralan institusi keluarga di mana kondisi keluarga dalam keadaan yang sangat labil tidak mampu lagi menjalankan fungsinya sebagai sarana penanaman nilai dan agama.
Faktanya yaitu seringnya terjadi kasus perceraian dan kekerasan yang berdampak pada anak, putusnya komunikasi di antara anggota keluarga disebabkan kesibukan maupun faktor ekonomi, serta jauhnya anggota keluarga dari agama.33
Sedangkan menurut Sri Lestari, penyebab terjadinya permasalahan di masyarakat adalah iklim globalisasi yang ditandai oleh pesatnya perkembangan teknologi dan informasi, telah menimbulkan gejala merosotnya moral kesusilan. Karena telah membuat banyak kalangan semakin mudah dalam mengekspos dan mengakses perilaku asusila yang telah mewarnai dan menjangkiti
33
(51)
43
kehidupan masyarakat, baik di kalangan dewasa maupun remaja dewasa ini. Hal ini menjadikan nilai-nilai utama yang berbasis budaya lokal yang dijunjung tinggi oleh masyarakat menjadi merosot, karena karakter masyarakat yang ke-Indonesia-an semakin melemah, seiring lemahnya individu dalam memegang nilai-nilai tersebut.34
Selain itu, kurangnya pendidikan nilai dan pembentukan karakter dalam keluarga juga menjadi penyebab terjadinya miskonsepsi khithbah di kalangan pasangan pranikah. Sehingga, keluarga sebagai lingkungan pertama dalam bidang pendidikan, hendaknya memberikan pemahaman sejak dini terhadap nilai dan norma yang berlaku di masyarakat agar anak memiliki karakter yang baik.
Jadi, penyebab terjadinya miskonsepsi khithbah di kalangan muda-mudi adalah degradasi nilai-nilai di masyarakat. Nilai-nilai tersebut meliputi nilai-nilai agama, adat istiadat, sosial dan kesakralan keluarga. Degradasi nilai terjadi karena pesatnya perkembangan teknologi dan informasi yang diakibatkan oleh iklim globalisasi, di mana segalanya mudah diakses tanpa mengindahkan nilai dan norma yang berlaku di masyarakat.
34
(52)
44
d. Dampak-dampak terjadinya miskonsepsi khithbah
Karena di dalam miskonsepsi khithbah juga terjadi maksiat, maka dampak atau akibat yang terjadi juga berkaitan dengan dampak atau akibat apabila seseorang melakukan maksiat.
Menurut Ibnu Qayyim Al-Jauziy, di antara dampaknya yaitu: menghalangi masuknya ilmu, menghalangi datangnya rezeki, menyebabkan kehampaan hati dari mengingat allah, mengakibatkan pelakunya terasa asing di antara orang-orang baik, membuat semua urusan dipersulit, menghadirkan kegelapan ke dalam hati pelakunya, melemahkan hati dan badan, menghalangi ketaatan, memperpendek umur dan menghilangkan keberkahannya, kemaksiatan satu akan mengundang maksiat lain yang semisalnya, melemahkan jiwa, menyebabkan hati tidak lagi menganggapnya sebagai perkara yang buruk, maksiat adalah penyebab kehinaan seorang hamba, menyebabkan kesialan, mewariskan kehinaan, merusak akal, dan lain sebagainya.35
Menurut Ibnu Al-Jawzy dari „Umar ibn Al-Khaththâb r.a. bahwasanya amal buruk diiringi oleh 10 hal tercela, yaitu membuat Allah murka padahal Dialah penguasa diri pelaku, membuat iblis senang, menjauhi surga, mendekati neraka, menyakiti sesuatu yang paling dicinta (diri sendiri), mengotori diri yang sebelumnya bersih, mengecewakan para malaikat pendamping, membuat Nabi saw.
35 Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, (Bogor: Pustaka Imam Syafi‟i,
(53)
45
sedih dalam kuburnya, mempersaksikan diri yang berdosa kepada jagat raya, serta berkhianat kepada seluruh manusia dan durhaka kepada Tuhan alam semesta.36
e. Cara-cara untuk mengatasi miskonsepsi khithbah
Dari penjelasan di atas mengenai penyebab terjadinya miskonsepsi khithbah, maka cara untuk mengatasinya adalah sebagai berikut:
1) Meningkatkan iman dan takwa kepada Allah swt.
Yaitu dengan memperbanyak ibadah (shalat, puasa, zakat, dan sebagainya) kepada Allah sebagai bukti ketundukan, kepatuhan, kecintaan dan rasa syukur kita kepada-Nya, dzat yang memenuhi hajat manusia.37
Selain itu, bisa juga dengan melakukan amalan yang disunnahkan oleh Nabi, seperti duduk di majlis orang-orang shaleh, shalat malam, membaca Al-Qur‟an dan berdzikir kepada Allah.38 Kita harus memperbanyak amalan ibadah sunnah karena nikmat Allah yang diberikan kepada kita sangat banyak dan tidak terukur serta agar tidak ada lagi waktu bagi kita untuk melakukan maksiat kepada-Nya.
36 Abd Al-Rahmân ibn „Alî ibn Al-Jawzî, Bahr Al-Dumû’, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta,
2007), hal. 35-36
37
Rahayu Aningtyas, Semangkuk Cocktail Cinta, (Surakarta: Era Adicitra Intermedia,
2010), hal. 33.
38
Mushlihuddin dan Luqman Hakim, Menyingkap Akhlaq Wanita Shalihah, (Surabaya:
(54)
46
Hal ini sesuai pernyataan Syaikh Ibrahim Al-Khawash bahwa obat hati ada lima macam, yaitu membaca Al-Qur‟an dengan mengangan-angan makna yang terkandung di dalamnya, mengosongkan perut, shalat malam, munajah di 1/3 malam yang akhir, dan berkumpul bersama orang-orang yang shaleh.39
2) Memahami Islam dengan lebih baik dan mendalam
Caranya yaitu dengan mengikuti ajaran Rasulullah, karena Rasulullah adalah penyampai Risalah Allah sekaligus orang yang pertama melakukan segala kebaikan yang diperintah oleh Allah dan orang yang bersegera meninggalkan larangan-Nya.
Al-Qur‟an dan hadits Nabi berisi tentang petunjuk hidup
dari Allah yang wujud pelaksanaannya sudah dicontohkan oleh Rasulullah. Belajar dan banyak membaca kedua sumber ajaran Islam akan menjadikan manusia mengetahui mana yang terbaik untuk dirinya dan yang diridha-Nya. Sehingga, belajar mengenai
Al-Qur‟an dan hadits menjadi sebuah kewajiban bagi setiap
muslim yang tidak bisa diwakilkan kepada orang lain, agar amal yang dikerjakan tidak rusak oleh kebodohan ataupun kesalahfahaman.40
39
Abi Zakariya Yahya bin Syarof An-Nawawi, Al-Adzkar, (Surabaya: Haromain, tt), hal.
100.
40
Rahayu Aningtyas, Semangkuk Cocktail Cinta, (Surakarta: Era Adicitra Intermedia,
(55)
47
3) Bersegera Meninggalkan Kemaksiatan
Bersegera meninggalkan kemaksiatan adalah sesuatu yang harus dilakukan, karena karunia Allah yang diberikan kepada manusia sangat banyak. Jadi tidak pantas bagi seorang manusia yang beriman kepada-Nya melakukan maksiat di muka bumi ini. Sebagaimana nasihat yang disampaikan Ibrahim bin Adham ketika beliau dimintai nasihat oleh seseorang yang gemar bermaksiat. Nasihat Ibrahim bin Adham adalah sebagai berikut:
“Ada 5 syarat, apabila kamu mampu melaksanakannya, maka kamu boleh melakukan maksiat. Syarat-syarat tersebut adalah: 1) Jika kamu bermaksiat kepada Allah, jangan memakan rezeki-Nya; padahal Allah adalah dzat yang memberi rezeki kepada semua makhluk yang ada di muka bumi ini; 2) Jika ingin bermaksiat, jangan tinggal dibumi-Nya; 3) Jika kamu masih ingin bermaksiat, carilah tempat tersembunyi yang tidak dapat dilihat oleh-Nya; 4) Jika malaikat maut datang hendak mencabut rohmu, kamu mampu mengatakan ini kepadanya, “Mundurkan kematianku, aku masih hendak bertobat dan melakukan amal
saleh”; dan 5) Jika malaikat Zabaniyah datang hendak
menggiringmu ke api neraka di hari kiamat nanti, kamu mampu untuk tidak ikut bersamanya.41
4) Bertaubat dan Memperbanyak Istighfar
Bertaubat dan istighfar (memohon ampun kepada Allah) tidak hanya setelah melakukan suatu kedzaliman dan maksiat besar saja, tidak pula menunggu usia semakin tua. Bertaubatlah selagi muda, badan sehat dan selagi keimanan masih
41
Ibrahim Muhammad Jamal, terj. Banani Bahrul Hasan, Membentuk Pemuda Saleh, (Jakarta: Penerbit Azan, 2001), hal. 71-73
(56)
48
membimbing ke arah kebaikan, karena manusia bisa saja melakukan kekhilafan yang tidak disadarinya.42
Rasulullah adalah orang yang ma’shum (terjaga dari kesalahan). Namun, beliau setiap hari bertaubat lebih dari 70 kali. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, bahwa Rasulullah bersabda, “Demi Allah, aku beristighfar dan bertaubat kepada Allah secara serius lebih dari 70 kali setiap harinya”.
Jadi, sebagai manusia yang banyak khilafnya, sudah seharusnya segera bertaubat dan memperbanyak membaca istighfar karena Allah selalu membuka pintu taubat bagi hamba-Nya selagi ia masih hidup di dunia. Sebagaimana firman Allah berikut ini: ...
Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya).
Mudah-mudahan Rabbmu akan menutupi
kesalahan-kesalahanmu dan memasukkan-mu ke dalam surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai,.... (Q.S. At-Tahrim : 8)43
42
Rahayu Aningtyas, Semangkuk Cocktail Cinta, (Surakarta: Era Adicitra Intermedia,
2010), hal. 35
43
Kementrian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta: PT. Sinergi Pustaka
(57)
49
5) Instropeksi dan Motivasi diri
Terkadang kita masih merasakan kesulitan dan berat dalam melakukan semua hal yang telah disebutkan di atas. Hal ini karena kita malas untuk mencoba memperoleh ampunan dari Allah. Tidak masalah jika perasaan seperti itu masih ada. Minimal kita tahu dan sadar diri bahwa diri (psikis dan hati) kita sedang sakit dan penyakitan. Kita jujur saja kepada Allah dan pada diri kita sendiri bahwa upaya maksimal kita dalam melakukan semua hal itu belum mampu kita lakukan. Ini adalah salah satu kelemahan kita yang harus kita akui dan ratapi ketika menghadap-Nya sebagai salah satu batu loncatan untuk lebih mendekat lagi kepada-Nya.44 Dengan begitu, maka kita telah menjadi motivator untuk diri kita sendiri.
Selain itu, cara mengatasi miskonsepsi adalah hendaknya sejak dini orang tua maupun guru di lembaga pendidikan, juga semua warga masyarakat mengajarkan kepada anak-anak tentang agama dan nilai-nilai sosial yang meliputi nilai-nilai kemanusiaan, kesopanan, tanggung jawab dan rasa belas kasih kepada orang lain. Sehingga dalam diri mereka akan terpatri nilai-nilai tersebut agar terwujud masyarakat yang damai dan sejahtera.
44
(1)
110
Pada konseli pasangan 2, yakni Zaid dan Zidny, mereka juga mulai mengaplikasikan konsep khithbah yang telah mereka fahami dalam aktivitas sehari-hari. Konseli sudah tidak mengajak pasangannya untuk mengikuti acara-acara pengajian maupun ziyarah ke makam wali. Jika pun ingin mengikuti acara pengajian, maka mereka selalu membawa mahram perempuan dari pihak laki-laki ataupun perempuan, sehingga mereka tidak hanya berdua saja.
Pada konseli pasangan 3, yakni Mahfudz dan Alya, mereka akhirnya mau untuk memahami konsep khithbah dengan baik, dan mereka mau untuk mengaplikasikan konsep khithbah tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga konseli tidak lagi saling menginap di rumah pasangan masing-masing, dan mereka juga tidak melakukan kembali kontak fisik seperti berciuman, berpelukan, dan berhubungan badan. Sekarang mereka mendekatkan diri kepada Allah untuk mendapatkan ampunan dari Allah atas kemungkaran yang telah mereka lakukan.
B. Saran
Pada penelitian ini, peneliti menyadari bahwa penelitian ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis berharap kepada peneliti selanjutnya untuk lebih menyempurnakan hasil penelitian yang merujuk pada hasil penelitian sebelumnya dengan harapan agar penelitian yang dihasilkan dapat menjadi lebih baik. Adapun untuk saran-saran yang bisa diberikan oleh peneliti antara lain:
(2)
111
1. Bagi keluarga
Diharapkan untuk selalu memantau perkembangan konseli serta memberikan motivasi dan dukungan terhadap segala hal yang dilakukan konseli agar konseli selalu hidup selaras dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah.
2. Bagi konseli
Hendaknya konseli senantiasa menambah wawasan keilmuan (dengan berdiskusi, mengikuti kajian-kajian Islam, membaca buku-buku Islami dan lain sebagainya) tentang makna khithbah dan cara bersikap, berperilaku atau berinteraksi dalam jedaantara khithbah dan akad nikah, sehingga dapat hidup selaras dengan ajaran Islam serta agar kelak dapat mewujudkan cita-cita untuk menjalin cinta kasih dalam rumah tangga yang bahagia serta memiliki generasi yang berakhlakul karimah.
3. Bagi konselor
Konselor diharapkan untuk terus memantau konseli meskipun proses konseling telah selesai supaya konseli senantiasa semangat dalam berperilaku baik yang selaras dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Sehingga di masa yang akan datang semakin banyak generasi yang memiliki akhlakul karimah, karena perilaku tersebut ditularkan kepada generasi selanjutnya. Selain itu, konselor juga diharapkan untuk senantiasa menambah pengetahuan dan wawasan tentang teori konseling agar dalam memberikan bantuan terhadap konseli bisa dilaksanakan dengan lebih efektif dan efisien.
(3)
112
4. Bagi peneliti selanjutnya
Peneliti selanjutnya hendaknya mencoba teknik-teknik lain yang sekiranya lebih efektif dan efisien dalam proses pelaksanaan konseling supaya hasil akhir dari proses konseling bisa mencapai target yang diinginkan.
(4)
DAFTAR PUSTAKA
Adz-Dzaki, Hamdani Bakran. 2004. Konseling dan Psikoterapi Islam. Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru.
Al-Bukhari, Abu Abdillah Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim bin Al-Mughirah Al-Ju’fi. 1422. Al-Jāmi’u Al-Musnadu Al-Ṣahīhu Al-Mukhtaṣaru Min ‘Umūri Rasūlillāhi SAW wa Sunanihi wa Ayyāmihi Juz 3. t.tp.: Dār Thauqin Najah.
Al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad. Ihya’ Ulumuddin juz 3. Kitab Digital: Maktabah Asy-Syaamilah Al-Ishdaary Ats-Tsaanii.
Al-Jauziyah, Ibnu Qayyim. 2015. Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’. Bogor: Pustaka Imam Syafi’i.
Amin, Syamsul Munir. 2010. Bimbingan dan Konseling Islam. Jakarta: Amzah. Aningtyas, Rahayu. 2010. Semangkuk Cocktail Cinta. Surakarta: Era Adicitra
Intermedia.
An-Nawawi, Abi Zakariya Yahya bin Syarof. tt. Al-Adzkar. Surabaya: Haromain. Arifin, H.M. 1976. Pokok-pokok Pikiran tentang Bimbingan Penyuluhan Agama.
Jakarta: Bulan Bintang.
Arifin, H.M. 1982. Pedoman Pelaksanaan Bimbingan Penyuluhan Agama. Jakarta: Golden Terayon.
Aswadi. 2006. Tafsir Al-qur’an Dimensi Dakwah dan Konseling. Sidoarjo: Biro Penerbitan Fakultas Dakwah IAIN Sunan Ampel.
Bungin, Burhan. 2001. Metode Penelitian Sosial: Format-format Kuantitatif dan Kualitatif. Surabaya: Universitas Airlangga.
Bungin, Burhan. 2012. Penelitian Kualitatif. Jakarta: Kencana. Chomaria, Nurul. 2014. Ta’aruf Cinta. Surakarta: Ahad Books.
Damayanti, Nidya. 2012. Buku Pintar Panduan Bimbingan Konseling. Yogyakarta: ARASKA.
Depag. 2004. Korps. Penasihatan Perkawinan dan Keluarga Sakinah. Jakarta: Departemen Negara RI.
(5)
Djumhur dan Moh. Surya. 1985. Bimbingan dan Penyuluhan di Sekolah. Bandung: CV. Ilmu.
Faqih, Aunur Rahim. 2001. Bimbingan dan Konseling dalam Islam. Jakarta: UII press.
Farid, Imam Sayuti. 1988. Pokok-pokok Bimbingan Penyuluhan Agama sebagai Teknik Dakwah. Surabaya: Biro Penerbitan Fakultas Dakwah IAIN Sunan Ampel.
Farid, Imam Sayuti. 2007. Pokok-pokok Bimbingan Penyuluhan Agama Sebagai Teknik Dakwah. Jakarta: Bulan Bintang.
Huda, Sabil. 1994. Pedoman Berumah Tangga dalam Islam. Surabaya: Al-Ikhlas. Ibnu Al-Jawzî, Abd Al-Rahmân ibn ‘Alî. 2007. Bahr Al-Dumû’. Jakarta: Serambi
Ilmu Semesta.
Jamal, Ibrahim Muhammad. 2001. Membentuk Pemuda Saleh. Jakarta: Penerbit Azan.
Kamal, Abu Malik. 2014. Fiqh as-Sunnah Li an-Nisa’. Solo: Pustaka Arafah. Kan’an, Syekh Muhammad Ahmad. 2011. Kado Terindah untuk Mempelai.
Yogyakarta: Mitra Pustaka.
Kementrian Agama RI. 2012. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Jakarta: PT. Sinergi Pustaka Indonesia.
Komaruddin, dkk. 2008. Dakwah dan Konseling Islam. Semarang: PT Pustaka Rizki Putra.
Lestari, Sri. 2014. Psikologi Keluarga. Jakarta: Kencana.
Moleong, Lexy J. 2014. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Mubarok, Ahmad. 2002. Al-Irsyad an-Nafsy, Konseling Agama Teori dan Kasus. Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru.
Mushlihuddin dan Luqman Hakim. 1994. Menyingkap Akhlaq Wanita Shalihah. Surabaya: Karya Ilmu.
Musnamar, Tohari. 1992. Dasar-dasar Konseptual Bimbingan dan Konseling Islam. Jakarta: UII Press.
(6)
Nawawi, Hadari dan Martini Hadari. 1995. Instrumen Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Nazir, Moh. 1988. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Prayitno. 2004. Dasar-dasar Bimbingan dan Konseling Islam. Jakarta: Rineka Cipta.
Poerwadarminta, W.J.S. 1993. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Saleh, Abdul Rahman. 2003. Fiqih Munakahat. Jakarta: Kencana.
Sarwono, Jonathan. 2006. Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif. Yogyakarta: Graha Ilmi.
Setiawan, Ebta. 2010. KBBI Offline versi 1.1 mengacu pada KBBI Daring (edisi III), freeware.
Singarimbun, Masri dan Sofian Effendi. 1989. Metode Penelitian Survai. Jakarta: Pustaka LP3ES.
Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta.
Sugiyono. 2014. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta.
Suryabrata, Sumadi. 2005. Metode Penelitian. Jakarta: PT. Remaja Grafindo Persada.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974, Tentang Perkawinan. Walgito, Bimo. 1989. Bimbingan dan Penyuluhan di Sekolah. Yogyakarta: Andi
Offset.
Willis, Sofyan S. 2011. Konseling Keluarga. Bandung: Alfabeta.
Winkel, W.S. 1987. Bimbingan Konseling di Sekolah. Jakarta: Gramedia.
Winkel. W.S. 1989. Bimbingan dan Konseling di Sekolah Menengah. Jakarta: Gramedia.
Yanti, Clara R. Pudjiyoga. 1985. Konsep Diri dalam Belajar Mengajar. Jakarta: Arcan.