T1__BAB II Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengaturan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah di Daerah: Studi Kondisi Perda RTRW di Kab. Semarang dan Kota Salatiga T1 BAB II

BAB II PEMBAHASAN

A. Kajian Teori

1. Filosofi Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan Dan Penataan Ruang

  Sesuai dengan yang telah disebutkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bahwa tujuan bernegara adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Oleh karena itu, perlindungan segenap bangsa dan peningkatan kesejahteraan umum merupakan tanggung jawab penting bernegara. Salah satu bentuk perlindungan tersebut adalah terjaminnya hak atas pangan bagi segenap rakyat yang merupakan hak asasi manusia yang sangat fundamental sehingga menjadi tanggung jawab negara untuk memenuhinya.

  Di dalam Negara Republik Indonesia, yang susunan kehidupan rakyatnya, termasuk perekonomiannya, terutama masih bercorak agraris, bumi, air dan ruang angkasa, sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa mempunyai fungsi yang amat penting untuk membangun masyarakat yang adil dan makmur sebagai yang kita cita-citakan. Untuk mencapai cita-cita tersebut, diperlukanlah suatu hukum agraria yang nasional, yang tidak lagi bersifat dualisme, yang sederhana dan yang menjamin kepastian hukum bagi seluruh rakyat Indonesia. Hukum agraria harus

  memberi kemungkinan akan tercapainya fungsi bumi, air dan ruang angkasa sebagai yang dimaksud di atas dan harus sesuai pula dengan kepentingan rakyat dan negara serta memenuhi keperluannya menurut permintaan zaman dalam segala soal agraria. Lain dari itu hukum agraria nasional harus mewujudkan penjelmaan daripada asas kerohanian negara dan cita-cita bangsa yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Perikemanusiaan, Kebangsaan, Kerakyatan dan Keadilan Sosial serta khususnya harus merupakan pelaksanaan daripada ketentuan dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar dan Garis-garis Besar Haluan Negara yang tercantum di dalam Manifesto Politik Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1959 dan ditegaskan di dalam Pidato Presiden tanggal 17 Agustus 1960. Maka, pada pokoknya tujuan Undang-Undang Pokok Agraria adalah:

  a) Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional, yang akan merupakan alat untuk membawakan kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi negara dan rakyat, terutama rakyat tani, dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur;

  b) Meletakkan dasar-dasar bagi untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan;

  c) Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya.

  Pemerintah memperoleh kewenangan untuk mengatur bidang pertanahan berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa “bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar- besar kemakmuran rakyat.” Ketentuan ini selanjutnya diturunkan dan dijabarkan Pemerintah memperoleh kewenangan untuk mengatur bidang pertanahan berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa “bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar- besar kemakmuran rakyat.” Ketentuan ini selanjutnya diturunkan dan dijabarkan

  dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur. 1 Wewenang yang didapat oleh negara ini bersumber dari hak menguasai sumber daya alam oleh negara yang

  bersifat publik. Artinya, disini negara hanya memiliki wewenang untuk mengatur (wewenang regulasi) dan bukan untuk menguasai tanah secara fisik dan menggunakan tanahnya sebagaimana wewenang pemegang hak atas tanah yang bersifat pribadi. Adapun kekuasaan negara itu mengenai semua bumi, air, dan ruang angkasa, jadi baik yang sudah dihaki oleh seseorang maupun yang tidak. Kekuasaan negara mengenai tanah yang sudah dipunyai orang dengan sesuatu hak dibatasi oleh isi hak itu, artinya sampai seberapa negara memberi kekuasaan kepada yang mempunyainya untuk menggunakan haknya, sampai disitulah batas kekuasaan negara tersebut.

  1 Hak menguasai dari negara tersebut memberi wewenang untuk: a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang

  angkasa; b. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa; c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi. Air dan ruang angkasa. Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Pokok Agraria.

2. Asas dan Tujuan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan

  Dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan dan kedaulatan pangan perlu diselenggarakan pembangunan dan perlindungan pertanian berkelanjutan. Terkait hal tersebut, pemerintah telah membentuk Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 149). Dengan adanya undang- undang tersebut, pemerintah telah mengupayakan untuk melindungi keberadaan lahan untuk kepentingan pertanian pangan dari laju pertumbuhan penduduk dan perekonomian di berbagai wilayah Indonesia. Kata berkelanjutan seringkali digunakan dalam berbagai konteks, termasuk diantaranya adalah pembangunan. Makna yang sesungguhnya dari kata berkelanjutan adalah menjaga agar suatu proses terus berlangsung atau juga dapat diartikan sebuah kemampuan untuk

  bertahan dan menjaga agar tidak terjadi penurunan atau degradasi. 2

  Menurut Satjipto Rahardjo, asas hukum merupakan jantungnya ilmu hukum. Karena merupakan landasan yang paling luas bagi lahirnya suatu peraturan hukum dan sebagai alasan bagi lahirnya peraturan hukum, ini berarti bahwa peraturan-

  peraturan hukum itu pada akhirnya bisa dikembalikan pada asas-asas tersebut. 3

  Berdasarkan ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan terdapat 13 asas yang menjadi dasar diselenggarakannya perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan yaitu:

  2 Abdul Sukur, Pertanian Berkelanjutan, Malang, 2008, hal. 25 3 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, cetakan keenam, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hal. 45 2 Abdul Sukur, Pertanian Berkelanjutan, Malang, 2008, hal. 25 3 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, cetakan keenam, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hal. 45

  b) Asas keberlanjutan dan konsisten; Yang dimaksud dengan keberlanjutan dan konsisten adalah perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan yang Fungsi, pemanfaatan, dan produktivitas lahan dipertahankan secara konsisten dan lestari untuk menjamin terwujudnya kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan nasional dengan memperhatikan generasi masa kini dan masa mendatang.

  c) Asas keterpaduan; Yang dimaksud dengan keterpaduan adalah perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan yang diselenggarakan dengan mengintegrasikan berbagai kepentingan yang bersifat lintas sektor, lintas wilayah, dan lintas pemangku kepentingan.

  d) Asas keterbukaan dan akuntabilitas; Yang dimaksud dengan keterbukaan dan akuntabilitas adalah perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan yang diselenggarakan dengan memberikan akses yang seluas-luasnya untuk mendapatkan informasi yang berkaitan dengan perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan.

  e) Asas kebersamaan dan gotong royong; Yang dimaksud dengan kebersamaan dan gotong royong adalah perlindungan lahan pertanian pangan diselenggarakan secara bersama-sama baik antara pemerintah, pemerintah daerah, pemilik lahan, petani, kelompok tani, dan dunia usaha untuk meningkatkan kesejahteraan petani.

  f) Asas partisipatif; Yang dimaksud dengan partisipatif adalah perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan yang melibatkan masyarakat dalam perencanaan, pembiayaan, dan pengawasan.

  g) Asas keadilan; Yang dimaksud dengan keadilan adalah perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan yang harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara tanpa terkecuali.

  h) Asas keserasian, keselarasan, dan keseimbangan; Yang dimaksud dengan keserasian, keselarasan, dan keseimbangan adalah perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan yang harus mencerminkan keserasian, keselarasan, h) Asas keserasian, keselarasan, dan keseimbangan; Yang dimaksud dengan keserasian, keselarasan, dan keseimbangan adalah perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan yang harus mencerminkan keserasian, keselarasan,

  i) Asas kelestarian lingkungan dan kearifan lokal; Yang dimaksud dengan kelestarian lingkungan dan kearifan lokal adalah perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan yang harus memperhatikan kelestarian lingkungan dan ekosistemnya serta karakteristik budaya dan daerahnya dalam rangka mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan.

  j) Asas desentralisasi;

  Yang dimaksud dengan desentralisasi adalah perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan yang diselenggarakan di daerah dengan memperhatikan kemampuan maksimum daerah.

  k) Asas tanggung jawab negara;

  Yang dimaksud dengan tanggung jawab negara adalah perlindungan lahan pertanian yang dimiliki negara karena peran yang kuat dan tanggung jawab terhadap keseluruhan aspek pengelolaan perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan.

  l) Asas keragaman;

  Yang dimaksud dengan keragaman adalah perlindungan lahan pertanian pangan

  keankearagaman pangan pokok, misalnya padi, jagung, sagu, dan ubi kayu.

  m) Asas sosial dan budaya.

  Yang dimaksud dengan sosial dan budaya adalah perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan yang memperhatikan fungsi sosial lahan dan pemanfaatan lahan sesuai budaya yang bersifat spesifik lokasi dan kearifan lokal misalnya jagung sebagai makanan pokok penduduk Pulau Madura dan sagu sebagai makanan pokok penduduk Kepulauan Maluku.

  Lahan adalah bagian daratan dari permukaan bumi sebagai suatu lingkungan fisik yang meliputi tanah beserta segenap faktor yang mempengaruhi penggunaannya seperti iklim, relief, aspek geologi, dan hidrologi yang terbentuk

  secara alami maupun akibat pengaruh manusia. 4 Lahan merupakan sumber daya alam yang bersifat langka karena jumlahnya tidak bertambah, tetapi kebutuhan

  4 Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan 4 Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan

  fungsi yang strategis bagi masyarakat Indonesia yang bercorak agraris karena terdapat sejumlah besar penduduk Indonesia yang menggantungkan hidup pada sektor pertanian. Dengan demikian, lahan tidak saja memiliki nilai ekonomis, tetapi juga sosial, dan bahkan memiliki nilai religius. Dalam rangka pembangunan pertanian yang berkelanjutan, lahan merupakan sumber daya pokok dalam usaha pertanian, terutama pada kondisi yang sebagian besar bidang usahanya masih bergantung pada pola pertanian berbasis lahan. Maka, tujuan dibentuknya

  Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 ini adalah: 6

  a. melindungi kawasan dan lahan pertanian pangan secara berkelanjutan;

  b. menjamin tersedianya lahan pertanian pangan secara berkelanjutan;

  c. mewujudkan kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan;

  d. melindungi kepemilikan lahan pertanian pangan milik petani;

  e. meningkatkan kemakmuran serta kesejahteraan petani dan masyarakat;

  f. meningkatkan perlindungan dan pemberdayaan petani;

  g. meningkatkan penyediaan lapangan kerja bagi kehidupan yang layak;

  h. mempertahankan keseimbangan ekologis; dan

  i. mewujudkan revitalisasi pertanian.

  Sementara itu alih fungsi lahan pertanian merupakan ancaman terhadap pencapaian ketahanan dan kedaulatan pangan. Alih fungsi lahan merupakan perubahan fungsi sebagian atau seluruh kawasan lahan dari fungsinya yang direncanakan semula menjadi fungsi lain. Alih fungsi lahan mempunyai implikasi

  5 Ibid. Pasal 1 angka 2 6 Ibid. Pasal 3 5 Ibid. Pasal 1 angka 2 6 Ibid. Pasal 3

  negatif secara ekonomi, sosial dan lingkungan. 7 Alih fungsi lahan-lahan pertanian subur selama ini kurang diimbangi oleh upaya-upaya terpadu mengembangkan

  lahan pertanian melalui pencetakan lahan pertanian baru yang potensial. Di sisi lain, alih fungsi lahan pertanian pangan menyebabkan makin sempitnya luas lahan yang diusahakan dan sering berdampak pada menurunnya tingkat kesejahteraan petani. Oleh karena itu, pengendalian alih fungsi lahan pertanian pangan melalui perlindungan lahan pertanian pangan merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan ketahanan dan kedaulatan pangan, dalam rangka meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan petani dan masyarakat pada umumnya.

  Ancaman terhadap ketahanan pangan telah mengakibatkan Indonesia harus sering mengimpor produk-produk pangan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Dalam keadaan jumlah penduduk yang masih terus meningkat jumlahnya, ancaman-ancaman terhadap produksi pangan telah memunculkan kerisauan akan terjadi keadaan rawan pangan pada masa yang akan datang. Akibatnya dalam waktu yang akan datang Indonesia membutuhkan tambahan ketersediaan pangan dan lahan pangan.

  7 Bambang Irawan, “Konversi Lahan Sawah: Potensi Dampak, Pola Pemanfaatannya, dan Faktor Determinan”. Forum Penelitian Agroekonomi, 2005, Vol. 23 (1): 1-18.

  Perlindungan lahan pertanian pangan merupakan upaya yang tidak terpisahkan dari reforma agraria, yang mencakup upaya penataan yang terkait dengan aspek penguasaan atau pemanfaatan sebagaimana yang ditetapkan dalam Pasal 2 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IXMPR-RI2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.

  Aspek penguasaanpemilikan berkaitan dengan hubungan hukum antara manusia dan lahan, sedangkan aspek penggunaanpemanfaatan terkait dengan kegiatan pengambilan manfaat atau nilai tambah atas sumber daya lahan. Ketentuan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dimaksudkan agar bidang-bidang lahan tertentu hanya boleh digunakan untuk aktifitas pertanian pangan yang sesuai. Untuk mengimplementasikannya, diperlukan pengaturan- pengaturan

  lahannya agar

  penguasaanpemilikan lahan terdistribusikan secara efisien dan berkeadilan. Pada saat yang sama diharapkan luas lahan yang diusahakan petani dapat meningkat secara memadai sehingga dapat menjamin kesejahteraan keluarga petani serta tercapainya produksi pangan yang mencukupi kebutuhan.

  Seperti halnya dalam rangka program pemerintah untuk menunjang pelaksanaan pembangunan pada umumnya dan PELITA II pada khususnya, perlu digariskan kebijaksanaan dan ditetapkan ketentuan-ketentuan mengenai penyediaan dan pemberian tanah untuk keperluan perusahaan-perusahaan, baik yang diselenggarakan dengan maupun tanpa fasilitas-fasilitas penanaman modal, dibentuklah Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 Tahun 1974 tentang Ketentuan-Ketentuan Mengenai Penyediaan Dan Pemberian Tanah Untuk

  Keperluan Perusahaan jo. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 1987 tentang Penyediaan Dan Pemberian Hak Atas Tanah Untuk Keperluan Perusahaan Pembangunan Perumahan. Pengaturan ini tidak terlepas dari keberadaan tanah yang merupakan salah satu modal pokok Bangsa Indonesia dan adalah salah satu unsur utama dalam pembangunan menuju terbentuknya masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Sehubungan dengan hal tersebut, kebijaksanaan dan ketentuan-ketentuan untuk mengatur pemberian tanah untuk keperluan perusahaan haruslah dapat menciptakan suasana dan keadaan yang menguntungkan dan serasi untuk menunjang kegiatan-kegiatan pembangunan, dengan tujuan agar pada satu pihak kebutuhan pengusaha akan tanah dapat dicukupi dengan memuaskan dan pada pihak lain sekaligus terselenggara tertib penguasaan dan penggunaan tanah berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, hingga tanah yang tersedia benar-benar dapat dimanfaatkan sesuai dengan fungsi sosialnya.

  Seperti pendapat Bambang Irawan, bahwa alih fungsi lahan pertanian yang terbesar adalah untuk lahan industri. 8 Pembangunan dan pengembangan kawasan

  industri ini secara umum telah diatur melalui kebijakan pemerintah dengan dibuatnya Keputusan Presiden Nomor 53 Tahun 1989 tentang Kawasan Industri. Tujuan yang ingin dicapai oleh pemerintah dengan membuat Keputusan Presiden Nomor 53 Tahun 1989 tentang Kawasan Industri ini adalah untuk mendorong serta mengatur perkembangan kegiatan industri di Indonesia untuk dapat lebih maju serta pengembangan kegiatan industri yang akan terjadi lebih dapat teratur dengan menempati kawasan-kawasan industri yang telah ditentukan lebih lanjut.

  8 Ibid.

  Kebijakan ini diperlukan untuk mengatur penguasaan kawasan industri secara produktif dan efisien dalam rangka mempercepat pertumbuhan industri, baik untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri maupun untuk ekspor.

  Dalam rangka pelaksanaan kegiatan pembangunan yang berkelanjutan, hal yang terkait dengan penggunaan tanah perlu selalu diarahkan sehingga dapat berlangsung sesuai dengan rencana tata ruang wilayah yang telah ditentukan. Maka, pemerintah menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 33 Tahun 1990 tentang Penggunaan Tanah Bagi Pembangunan Kawasan Industri untuk menghindari salah penafsiran mengenai penggunaan tanah. Keputusan Presiden Nomor 33 Tahun 1990 tentang Penggunaan Tanah Bagi Pembangunan Kawasan Industri ini bertujuan sebagai tindak lanjut serta pedoman penggunaan tanah bagi kawasan industri sebagaimana apa yang telah dimaksud dalam ketentuan Keputusan Presiden Nomor 53 Tahun 1989 tentang Kawasan Industri.

  Jadi pada dasarnya penyelenggaraan perlindungan lahan pertanian ini berdasarkan pada asas keberlanjutan dan konsisten agar fungsi serta pemanfaatan lahan pertanian yang ada dapat dipertahankan secara konsisten dan lestari dengan melindungi kawasan lahan pertanian pangan secara berkelanjutan. Hal ini tidak terlepas dari tujuan penyelenggaraan perlindungan lahan pertanian pangan yang menjamin bahwa kesediaan lahan pertanian pangan dijamin secara berkelanjutan serta demi terwujudnya kemandirian, ketahanan, serta kedaulatan pangan. Dan pada akhirnya kesejahteraan dan kemakmuran para petani serta masyarakat akan meningkat.

3. Asas Dan Tujuan Penataan Ruang

  Perlindungan lahan pertanian pangan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam penataan ruang, dalam hal ini terdapat dalam rencana tata ruang wilayah di daera. Maka pemerintah membentuk Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 4725). Berdasarkan ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, penyelenggaraan penataan ruang ini berdasarkan pada asas:

  a) Keterpaduan Yang dimaksud dengan “keterpaduan” adalah bahwa penataan ruang diselenggarakan dengan mengintegrasikan berbagai kepentingan yang bersifat lintas sektor, lintas wilayah, dan lintas pemangku kepentingan. Pemangku kepentingan, antara lain, adalah Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat.

  b) Keserasian, keselarasan, keseimbangan Yang dimaksud dengan “keserasian, keselarasan, dan keseimbangan” adalah bahwa penataan ruang diselenggarakan dengan mewujudkan keserasian antara struktur ruang dan pola ruang, keselarasan antara kehidupan manusia dengan lingkungannya, keseimbangan pertumbuhan dan perkembangan antardaerah serta antara kawasan perkotaan dan kawasan perdesaan.

  c) Keberlanjutan Yang dimaksud dengan “keberlanjutan” adalah bahwa penataan

  ruang diselenggarakan dengan menjamin kelestarian dan kelangsungan daya dukung dan daya tampung lingkungan dengan memperhatikan kepentingan generasi mendatang.

  d) Keberdayagunaan dan keberhasilgunaan Yang dimaksud dengan “keberdayagunaan dan keberhasilgunaan”

  adalah bahwa penataan ruang diselenggarakan dengan mengoptimalkan manfaat ruang dan sumber daya yang terkandung di dalamnya serta menjamin terwujudnya tata ruang yang berkualitas.

  e) Keterbukaan Yang dimaksud dengan “keterbukaan” adalah bahwa penataan

  ruang diselenggarakan dengan memberikan akses yang seluas- ruang diselenggarakan dengan memberikan akses yang seluas-

  

  f) Kebersamaan dan kemitraan Yang dimaksud dengan “kebersamaan dan kemitraan” adalah bahwa penataan ruang diselenggarakan dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan

  g) Perlindungan kepentingan umum Yang dimaksud dengan “pelindungan kepentingan umum” adalah bahwa penataan ruang diselenggarakan dengan mengutamakan kepentingan masyarakat.

  h) Kepastian hukum dan keadilan Yang dimaksud dengan “kepastian hukum dan keadilan” adalah bahwa penataan ruang diselenggarakan dengan berlandaskan hukumketentuan peraturan perundang-undangan dan bahwa penataan ruang dilaksanakan dengan mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat serta melindungi hak dan kewajiban semua pihak secara adil dengan jaminan kepastian hukum.

  i) Akuntabilitas Yang dimaksud dengan “akuntabilitas” adalah bahwa penyelenggaraan penataan ruang dapat dipertanggungjawabkan, baik prosesnya, pembiayaannya, maupun hasilnya.

  Sedangkan berdasarkan pada Pasal 3 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, penyelenggaraan penataan ruang ini bertujuan untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan wawasan nusantara dan ketahanan nasional dengan:

  a) Terwujudnya keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan;

  b) Terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia; dan

  c) Terwujudnya pelindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang.

  Ruang yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi, sebagai tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya, pada dasarnya ketersediaannya tidak tak terbatas. Berkaitan dengan hal tersebut, dan untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan wawasan nusantara dan ketahanan nasional, undang-undang tentang penataan ruang ini mengamanatkan perlunya dilakukan penataan ruang yang dapat mengharmoniskan lingkungan alam dan lingkungan buatan, yang mampu mewujudkan keterpaduan penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan, serta yang dapat memberikan pelindungan terhadap fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan hidup akibat pemanfaatan ruang. Kaidah penataan ruang ini harus dapat diterapkan dan diwujudkan dalam setiap proses perencanaan tata ruang wilayah.

  Ruang sebagai sumber daya pada dasarnya tidak mengenal batas wilayah. Namun, untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional, serta sejalan dengan kebijakan otonomi daerah yang nyata, luas, dan bertanggung jawab, penataan ruang menuntut kejelasan pendekatan dalam proses perencanaannya demi menjaga keselarasan, keserasian, keseimbangan, dan keterpaduan antar daerah, antara pusat dan daerah, antar sektor, dan antar pemangku kepentingan. Dalam Undang-Undang ini, penataan ruang didasarkan pada pendekatan sistem, fungsi utama kawasan, wilayah administratif, kegiatan kawasan, dan nilai strategis kawasan.

  Berkaitan dengan kebijakan otonomi daerah tersebut, wewenang penyelenggaraan penataan ruang oleh Pemerintah dan pemerintah daerah, yang mencakup kegiatan pengaturan, pembinaan, pelaksanaan, dan pengawasan penataan ruang, didasarkan pada pendekatan wilayah dengan batasan wilayah administratif. Dengan pendekatan wilayah administratif tersebut, penataan ruang seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia terdiri atas wilayah nasional, wilayah provinsi, wilayah kabupaten, dan wilayah kota, yang setiap wilayah tersebut merupakan subsistem ruang menurut batasan administratif. Di dalam subsistem tersebut terdapat sumber daya manusia dengan berbagai macam kegiatan pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya buatan, dan dengan tingkat pemanfaatan ruang yang berbeda-beda, yang apabila tidak ditata dengan baik dapat mendorong ke arah adanya ketidakseimbangan pembangunan antarwilayah serta ketidaksinambungan pemanfaatan ruang. Berkaitan dengan penataan ruang wilayah kota, Undang-Undang ini secara khusus mengamanatkan perlunya penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka hijau, yang proporsi luasannya ditetapkan paling sedikit 30 (tiga puluh) persen dari luas wilayah kota, yang diisi oleh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam.

  Penataan ruang dengan pendekatan kegiatan utama kawasan terdiri atas penataan ruang kawasan perkotaan dan penataan ruang kawasan perdesaan. Kawasan perkotaan, menurut besarannya, dapat berbentuk kawasan perkotaan kecil, kawasan perkotaan sedang, kawasan perkotaan besar, kawasan metropolitan, dan kawasan megapolitan. Penataan ruang kawasan metropolitan dan kawasan megapolitan, khususnya kawasan metropolitan yang berupa kawasan

  perkotaan inti dengan kawasan perkotaan di sekitarnya yang saling memiliki keterkaitan fungsional dan dihubungkan dengan jaringan prasarana wilayah yang terintegrasi, merupakan pedoman untuk keterpaduan perencanaan tata ruang wilayah administrasi di dalam kawasan, dan merupakan alat untuk mengoordinasikan pelaksanaan pembangunan lintas wilayah administratif yang bersangkutan. Penataan ruang kawasan perdesaan diselenggarakan pada kawasan perdesaan yang merupakan bagian wilayah kabupaten atau pada kawasan yang secara fungsional berciri perdesaan yang mencakup 2 (dua) atau lebih wilayah kabupaten pada 1 (satu) atau lebih wilayah provinsi. Kawasan perdesaan yang merupakan bagian wilayah kabupaten dapat berupa kawasan agropolitan.

  Dalam hal ini, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang memerintahkan perlunya perlindungan terhadap kawasan lahan abadi pertanian pangan yang pengaturannya dengan Undang-Undang. Untuk itu, perlindungan lahan pertanian pangan perlu dilakukan dengan menetapkan kawasan-kawasan pertanian pangan yang perlu dilindungi. Kawasan pertanian pangan merupakan bagian dari penataan kawasan perdesaan pada wilayah kabupaten. Dalam kenyataannya lahan-lahan pertanian pangan berlokasi di wilayah kota juga perlu mendapat perlindungan. Perlindungan kawasan pertanian pangan dan lahan pertanian pangan meliputi perencanaan dan penetapan, pengembangan, penelitian, pemanfaatan dan pembinaan, pengendalian, pengawasan, pengembangan sistem informasi, perlindungan dan pemberdayaan petani, peran serta masyarakat, dan pembiayaan. Perlindungan kawasan dan lahan pertanian pangan dilakukan dengan menghargai kearifan budaya lokal serta hak- hak komunal adat.

  Maka sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor

  26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, strategi dan arahan kebijaksanaan pemanfaatan ruang wilayah nasional perlu dijabarkan ke dalam rencana tata ruang provinsi dan rencana tata ruang wilayah kabupatenkota. Sebagai pelaksanaan peraturan perundang-undangan tersebut, maka Pemerintah Kabupaten Semarang telah membuat Peraturan Daerah Kabupaten Semarang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Semarang Tahun 2011-2031. Kota Salatiga juga telah membuat Peraturan Daerah Kota Salatiga Nomor 4 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Salatiga Tahun 2010-2030. Hal ini bertujuan agar pembangunan di Kabupaten Semarang dan Kota Salatiga perlu diarahkan dengan memanfaatkan ruang wilayah secara berdaya guna, berhasil guna, serasi, selaras, seimbang, dan berkelanjutan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan pertahanan keamanan. Selain itu, dalam rangka mewujudkan keterpaduan pembangunan antar sektor, daerah, dan masyarakat maka rencana tata ruang wilayah merupakan arahan lokasi investasi pembangunan yang dilaksanakan pemerintah, masyarakat, danatau dunia usaha. Dalam hal ini, pelaksanaan pembangunan di Kabupaten Semarang dan Kota Salatiga harus sesuai dengan rencana tata ruang, agar dalam pemanfaatan ruang tidak bertentangan dengan substansi RTRW daerah yang telah disepakati.

  Jadi pada dasarnya asas dan tujuan penyelenggaraan penataan ruang didasarkan pada asas keberlanjutan dimana kelestarian dan kelangsungan daya dukung dan daya tampung lingkungan yang ada selalu memperhatikan kepentingan generasi mendatang, tidak hanya kepentingan di masa sekarang saja dengan mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif dan Jadi pada dasarnya asas dan tujuan penyelenggaraan penataan ruang didasarkan pada asas keberlanjutan dimana kelestarian dan kelangsungan daya dukung dan daya tampung lingkungan yang ada selalu memperhatikan kepentingan generasi mendatang, tidak hanya kepentingan di masa sekarang saja dengan mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif dan

  manfaat ruang untuk manusia generasi mendatang. 9

B. Hasil Penelitian

1. Isi Pengaturan Tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan

  Keberhasilan pembangunan pertanian tidak lepas dari upaya secara berkelanjutan untuk melakukan pemanfaatan lahan dengan sebaik-baiknya. Lahan memiliki fungsi yang sangat penting dalam pengembangan usaha pertanian. Oleh karena itu, keberadaan lahan pertanian perlu dilindungi, dijaga serta dikembangkan secara terus menerus sehingga mampu mendukung peningkatan produksi dan ketahanan pangan nasional.

  Akan tetapi, muncul suatu persoalan bahwa ketersediaan lahan pertanian, terutama lahan untuk sawah, semakin lama malah semakin berkurang. Ketersediaan luas lahan yang ada bersifat tetap, sedangkan jumlah pengguna akan lahan ini semakin meningkat seiring dengan lajunya pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan ekonomi. Yang terjadi kemudian adalah sulitnya untuk menghindari alih fungsi lahan. Alih fungsi lahan yaitu perubahan fungsi sebagian atau seluruh kawasan lahan dari fungsinya seperti yang direncanakan semula. perubahan

  9 Herman Hermit, Pembahasan Undang-Undang Penataan Ruang (UU No. 26 Tahun 2007), Mandar Maju, Bandung, 2008, hal. 57.

  penggunaan lahan. Alih fungsi lahan yang terjadi di tingkat daerah ini seolah-olah tidak terbendung. Oleh karena itu, pemerintah telah mengeluarkan peraturan perundang-undangan baik itu di tingkat pusat, provinsi, maupun di daerah sebagai acuan pelaksanaan dalam rangka untuk melindungi lahan pertanian serta menekan lajunya alih fungsi lahan pertanian ke non-pertanian.

a. Peraturan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan Di Tingkat Pusat

  Terdapat 14 peraturan perundang-undangan yang terkait dengan upaya perlindungan lahan pertanian. Peraturan tersebut diantaranya adalah sebagai berikut:

  1) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan Isi dari ketentuan undang-undang ini dapat dibagi ke dalam:

  a) Perlindungan lahan pertanian berkelanjutan Pasal 1 ayat (3):

  Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan adalah bidang lahan pertanian yang ditetapkan untuk dilindungi dan dikembangkan secara konsisten guna menghasilkan pangan pokok bagi kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan nasional.

  Pasal 6: Perlindungan lahan pertanian pangan mencakup lahan pertanian pangan dan lahan cadangan pangan berkelanjutan yang berada di dalam atau di luar kawasan pertanian pangan.

  Pasal 18: Perlindungan lahan pertanian berkelanjutan dilakukan dengan penetapan:

  (a) kawasan pertanian pangan berkelanjutan (b) lahan pertanian pangan berkelanjutan di dalam dan di luar

  kawasan pertanian pangan berkelanjutan (c) lahan cadangan pertanian pangan berkelanjutan di dalam dan

  di luar kawasan pertanian pangan berkelanjutan.

  b) Pengaturan alih fungsi lahan Pasal 44 ayat (1), (2) dan (3):

  (1) Lahan yang sudah ditetapkan sebagai lahan pertanian pangan

  berkelanjutan dilarang dialihfungsikan. (2) Dalam hal untuk kepentingan umum, lahan pertanian pangan

  berkelanjutan dapat dialihfungsikan dan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

  (3) Pengalihfungsian lahan yang telah ditetapkan sebagai lahan

  pertanian pangan berkelanjutan hanya dapat dilakukan dengan syarat yaitu:

  (a) dilakukan kajian kelayakan strategis, (b) disusun rencana alih fungsi lahan, (c) dibebaskan kepemilikan haknya dari pemilik, dan (d) disediakan lahan pengganti terhadap lahan pertanian

  pangan berkelanjutan yang dialihfungsikan. Pasal 46 ayat (1):

  (1) Penyediaan lahan pengganti terhadap Lahan Pertanian Pangan

  Berkelanjutan yang dialihfungsikan dilakukan atas dasar kesesuaian lahan, dengan ketentuan sebagai berikut:

  (a) Paling sedikit tiga kali luas lahan dalam hal yang

  dialihfungsikan lahan beririgasi (b) Paling sedikit dua kali luas lahan dalam hal yang

  dialihfungsikan lahan reklamasi rawa pasang surut dan nonpasang surut (lebak), dan

  (c) Paling sedikit satu kali luas lahan dalam hal yang

  dialihfungsikan lahan tidak beririgasi.

  Pasal 49: Lahan pengganti lahan pertanian pangan berkelanjutan ditetapkan dengan: (a) Peraturan daerah kabupatenkota dalam hal lahan pengganti

  terletak di dalam satu kabupatenkota pada satu provinsi, (b) Peraturan daerah provinsi dalam hal lahan pengganti terletak di

  dalam dua kabupatenkota atau lebihpada satu provinsi, dan (c) Peraturan pemerintah dalam hal lahan pengganti terletak di

  dalam dua provinsi atau lebih. Pasal 50 ayat (1) dan (2):

  (1) Segala bentuk perizinan yang mengakibatkan alih fungsi lahan

  pertanian pangan berkelanjutan batal demi hukum, kecuali untuk kepentingan umum;

  (2) Setiap orang yang melakukan alih fungsi lahan pertanian pangan

  berkelanjutan di luar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mengembalikan keadaan tanah lahan pertanian pangan berkelanjutan ke keadaan semula.

  2) Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2011 tentang Penetapan Dan alih Fungsi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan

  Pasal 35: (1) Lahan yang sudah ditetapkan sebagai Lahan Pertanian Pangan

  Berkelanjutan dilindungi dan dilarang dialihfungsikan. (2) Alih fungsi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan hanya dapat

  dilakukan oleh pemerintah atau pemerintah daerah dalam rangka pengadaan tanah untuk kepentingan umum atau terjadi bencana.

  Pasal 38: (1) Penyediaan lahan pengganti lahan pertanian pangan berkelanjutan

  dilakukan oleh pihak yang mengalihfungsikan (2) Dalam hal alih fungsi lahan pertanian pangan berkelanjutan

  dilakukan karena terjadi bencana, lahan pengganti wajib disediakan oleh pemerintah danatau pemerintah daerah.

  3) Keputusan Presiden Republik Indonesia No 53 Tahun 1989 Tentang Kawasan Industri

  Pasal 7: Pembangunan Kawasan Industri tidak mengurangi areal tanah pertanian dan tidak dilakukan di atas tanah yang mempunyai fungsi utama untuk melindungi sumber daya alam dan warisan budaya.

  4) Keputusan Presiden Nomor 33 Tahun 1990 Tentang Penggunaan Tanah Bagi Pembangunan Kawasan Industri

  Pasal 1 ayat (1): Pencadangan tanah danatau pemberian ijin lokasi dan ijin pembebasan tanah bagi setiap perusahaan kawasan industri, dilakukan dengan ketentuan tidak mengurangi areal tanah pertanian

  Pasal 2 huruf (a): Pelaksanaan kegiatan pembangunan kawasan industri juga tidak dapat dilakukan pada kawasan pertanian .

  5) Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 59011108SJ tanggal 24 Oktober 1984 Tentang Perubahan Tanah Pertanian ke Non Pertanian

  Menginstruksi kepada semua Gubernur untuk melaksanakan koordinasi antar instansi Pemerintah Daerah untuk mencegah terjadinya alih fungsi tanah pertanian sehingga tidak mengganggu Menginstruksi kepada semua Gubernur untuk melaksanakan koordinasi antar instansi Pemerintah Daerah untuk mencegah terjadinya alih fungsi tanah pertanian sehingga tidak mengganggu

  6) Surat Menteri Negara AgrariaKepala BPN Nomor 410-1851 tanggal 15 Juni 1994 Tentang Pencegahan Penggunaan Tanah Sawah Beririgasi Teknis Untuk Penggunaan Non Pertanian Melalui Penyusunan Rencana Tata Ruang

  Menginstruksikan kepada semua Gubernur dan semua BupatiWalikota untuk menghindarkan ketidakcocokan antara Rencana Tata Ruang dan larangan penggunaan tanah sawah beririgasi teknis untuk non pertanian, maka dalam menyusun Rencana Tata Ruang wilayah agar tidak memperuntukkan tanah sawah beririgasi teknis untuk penggunaan non pertanian. apabila terpaksa harus memperuntukkan tanah sawah beririgasi teknis untuk kegiatan non pertanian karena pertimbangan-pertimbangan tertentu, agar terlebih dahulu dikonsultasikan kepada Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional yang diberi tugas antara lain untuk menangani masalah tata ruang yang terjadi di daerah.

  7) Surat Edaran Menteri Negara AgrariaKepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 410-2261 tanggal 22 Juli 1994 tentang Pencegahan Penggunaan Tanah Sawah Beririgasi Teknis untuk Penggunaan Tanah Non-Pertanian

  Memberikan petunjuk kepada Kepala Kantor Pertanahan KabupatenKota untuk tidak melakukan tindakan yang mengarah kepada pengurangan lahan sawah beririgasi teknis dengan tidak memberikan izin lokasi untuk pembangunan non-pertanian di areal sawah beririgasi teknis, tidak memberikan persetujuan izin pengeringan lahan sawah beririgasi teknis, serta secara aktif membantu Pemda dalam menyusun RTRW KabupatenKota, dan tidak memperuntukkan lahan sawah beririgasi teknis bagi penggunaan lahan non-pertanian dalam RTRW tersebut.

  8) Surat Menteri Negara Perencanaan Pembangunan NasionalKetua Bappenas Nomor: 5334MK91994 Tanggal 29 September 1994 tentang Perubahan Penggunaan Tanah Sawah Beririgasi Teknis untuk Penggunaan Non-Pertanian yang ditujukan kepada Menteri Negara AgrariaKepala Badan Pertanahan Nasional Jo. Surat Edaran Menteri Negara AgrariaKepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 460-3346 Tanggal 31 Oktober 1994 tentang Perubahan Penggunaan Tanah Sawah Beririgasi Teknis untuk Penggunaan Tanah Nonpertanian

  Menyampaikan petunjuk agar dalam rangka pemberian izin pemanfaatan ruang atau izin lokasi harus mengacu ke RTRW tang telah ada dan tidak memberikan izin lokasi kepada lahan sawah beririgasi teknis. Terhadap izin lokasi yang terlanjur diterbitkan, diberlakukan pembatasan-pembatasan sampai izin lokasinya habis dan tidak dapat diperpanjang lagi, dengan memperhatikan kemajuan pembebasan tanah dan kegiatan pembangunan dimaksud.

  9) Surat Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional Ketua BAPPENAS Nomor 5335MK91994 tanggal 29 September 1994 tentang Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah tingkat KabupatenKota

  Menginstruksikan kepada Menteri Dalam Negeri untuk mencegah perubahan penggunan sawah beririgasi teknis untuk penggunaan diluar pertanian. Dalam menegakkan ketentuan tersebut maka Rencana Tata Ruang Wilayah yang didalamnya tercantum rencana penggunaan tanah sawah beririgasi teknis untuk penggunaan bukan pertanian perlu disempurnakan. Selain itu Rencana Tata Ruang Wilayah yang telah ada dan yang sedang dipersiapkan agar sungguh-sungguh sesuai dengan kaidah-kaidah tata ruang yang benar.

  10) Surat Menteri Negara Perencanaan PembangunanKetua BAPPENAS Nomor 5417MK101994 tanggal 4 Oktober 1994 tentang Efisiensi Pemanfaatan Lahan Bagi Pembangunan Perumahan

  Ditujukan kepada Menteri Negara Perumahan Rakyat untukmengarahkan lokasi pengembangan perumahan pada lahan- lahanyang telah diberikan izin lokasi yang telah ada serta menghindari lahan sawah beririgasi teknis.

  11) Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 4744263SJ tanggal 27 Desember 1994 tentang Peninjauan Kembali RTRW Provinsi dan KabupatenKota

  Ditujukan kepada Gubernur serta tembusannya kepada BupatiWalikota se-Indonesia, menyampaikan petunjuk agar keberadaan lahan sawah beririgasi teknis dipertahankan, dengan cara tidak mengijinkan perubahan penggunaan lahan pertanian irigasi teknis menjadi penggunaan lahan non-pertanian, mengamankan jaringan beririgasi teknis yang ada serta memanfaatkannya semaksimal mungkin untuk peningkatan produksi pertanian. Bagi RTRW KabupaenKota yang didalamnya tercantum rencana alih fungsi penggunaan lahan sawah beririgasi teknis ke penggunaan lahan non-pertanian, maka RTRW tersebut agar disempurnakan atau ditinjau kembali dengan mengikuti kaidah-kaidah tata ruang yang benar.

  12) Surat Menteri Negara AgrariaKepala BPN Nomor 460-1594 tanggal 5 Juni 1996 tentang Pencegahan Konversi Tanah Sawah Irigasi Teknis Menjadi Tanah Kering

  Ditujukan kepada Gubernur dan BupatiWalikota seluruh Indonesia untuk memberikan petunuk kepada masyarakat agar tidak menutup saluran-saluran irigasi, tidak mengeringkan sawah beririgasi teknis dan menjadikannya untuk penggunaan pertanian lahan kering, serta tidak merubah sawah beririgasi teknis miliknya untuk keperluan bangunan. Bagi yang telah mengubah lahan sawah beririgasi teknis bagi penggunaan non-pertanian, agar mengembalikannya menjadi lahan sawah beririgasi teknis seperti semula.

b. Peraturan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan Di Tingkat Provinsi

  Terdapat 3 peraturan perundang-undangan di tingkat Provinsi Jawa Tengah yang terkait dengan upaya perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan. Peraturan tersebut diantaranya adalah sebagai berikut:

  1) Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 2 Tahun 2013 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Berkelanjutan Provinsi Jawa Tengah

  Pasal 23: Pemerintah Daerah melindungi luasan lahan pertanian pangan berkelanjutan dan dilarang untuk dialihfungsikan. Larangan alih fungsi tersebut dikecualikan lahan pertanian pangan berkelanjutan dalam rangka pengadaan tanah untuk kepentingan umum atau terjadi bencana. Setiap orang yang melakukan alih fungsi pada lahan pertanian pangan berkelanjutan di luar ketentuan wajib mengembalikan keadaan tanah lahan pertanian pangan berkelanjutan ke keadaan semula.

  2) Peraturan Gubernur Jawa Tengah Nomor 47 Tahun 2013 tentang Petunjuk Teknis, Kriteria, Persyaratan, Dan Tata Cara Alih Fungsi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan Provinsi Jawa Tengah

  Pasal 11: Lahan yang sudah ditetapkan berdasarkan kriteria dan persyaratan sebagai Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dilindungi dan dilarang dialihfungsikan serta hanya dapat dilakukan oleh pemerintah atau pemerintah daerah dalam rangka pengadaan tanah untuk kepentingan umum atau terjadi bencana.

  3) Instruksi Gubernur Jawa Tengah Nomor 5901071985 tanggal 25 Maret 1985 tentang Pencegahan Perubahan Tanah Pertanian ke Non Pertanian yang Tidak Terkendalikan

  Berdasarkan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri tanggal 24 Oktober 1984 Nomor 59011108SJ perihal perubahan tanah pertanian ke non pertanian, bahwa disinyalir adanya kecenderungan terjadinya alih fungsi tanah pertanian ke non pertanian yang tidak

  terkendali sehingga dapat mengganggu usaha peningkatan produksi pangan. Berhubung dengan itu, dipandang perlu mengeluarkan instruksi untuk pencegahan terjadinya hal tersebut. Menginstruksikan kepada semua BupatiWalikota untuk melaksanakan upaya pencegahan terjadinya alih fungsi tanah pertanian ke non pertanian yang tidak terkendali, juga menginstruksikan kepada Kepala BPN Propinsi untuk membantu BupatiWalikota dalam melaksanakan instruksi tersebut dan mengeluarkan petunjuk teknis instruksi tersebut serta melakukan pengawasan atas pelaksanaan instruksi tersebut. Setiap perubahan tanah pertanian ke non pertanian harus dengan ijin dari BupatiWalikota. Dalam rangka penyelesaian permohonan ijin perubahan tanah pertanian ke non pertanian, harus memperhatikan pertimbangan dari Panitia Pertimbangan Perubahan Penggunaan Tanah Pertanian ke Non Pertanian yang dibentuk oleh BupatiWalikota. BupatiWalikota melakukan pengawasan terhadap terjadinya atau kemungkinan terjadinya perubahan tanah pertanian ke non pertanian di secara koordinatif dengan instansi- instansi pemerintah yang ada di daerah. BupatiWalikota dan Kepala Kantor Pertanahan KabupatenKota selalu memonitor dan melakukan pendataan terhadap pelaksanaan ijin perubahan penggunaan tanah pertanian ke non pertanian.

c. Peraturan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan Di Kabupaten Semarang

  Pemerintah Kabupaten Semarang belum menetapkan peraturan daerah tentang perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan. Pengaturan terkait perlindungan lahan pertanian di Kabupaten Semarang hanya dapat ditemukan di dalam Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Semarang yang akan dibahas dalam sub bab berikutnya dalam penelitian ini.

d. Peraturan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan Di Kota Salatiga

  Terdapat 1 peraturan perundang-undangan di Kota Salatiga yang terkait dengan upaya perlindungan lahan pertanian. Peraturan tersebut adalah sebagai berikut:

  1) Surat Keputusan Walikota Salatiga Nomor 591.05232002 tanggal 1 Februari 2002 tentang Panitia Pertimbangan Perubahan Penggunaan Tanah Pertanian ke Non Pertanian

  Memperhatikan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 59011108SJ tanggal 24 Oktober 1984 tentang Perubahan Tanah Pertanian ke Non Pertanian dan Instruksi Gubernur Jawa Tengah Nomor 5901071985 tanggal 25 Maret 1985 tentang Pencegahan Perubahan Tanah Pertanian ke Non Pertanian yang Tidak Terkendali, Walikota Salatiga memutuskan Panitia Pertimbangan Perubahan Penggunaan Tanah Pertanian ke Non Pertanian yang memiliki tugas yaitu:

  a. Membantu Walikota dalam pengendalian dan penyelesaian ijin perubahan penggunaan tanah pertanian ke non pertanian dari seseorangbadan hukum dengan menyajikan bahan- bahan pertimbangan tentang tanah yang menjadi obyek permohonan,

  b. Mengadakan peninjauan lapangan dan wawancara dengan pemohon menyangkut status tanah, keadaan fisik tanah dan lingkungan hidup sekitarnya,

  c. Membuat Berita Acara hasil-hasil sidang dan pemeriksaan tanah,

  d. Bertanggung jawab dan melaporkan hasilnya kepada Walikota.

2. Isi Pengaturan Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah

  Tujuan dari diadakannya suatu pembangunan berkelanjutan adalah dalam rangka mencapai sebuah kualitas kehidupan yang lebih baik bagi semua secara adil dan seimbang untuk saat ini, esok dan juga generasi mendatang. Dalam tingkat pelaksanaannya, pembangunan nasional dihadapkan pada tantangan Tujuan dari diadakannya suatu pembangunan berkelanjutan adalah dalam rangka mencapai sebuah kualitas kehidupan yang lebih baik bagi semua secara adil dan seimbang untuk saat ini, esok dan juga generasi mendatang. Dalam tingkat pelaksanaannya, pembangunan nasional dihadapkan pada tantangan

  Dalam upaya mencapai tujuan nasional, dilakukanlah kegiatan pembangunan nasional sebagai rangkaian upaya pembangunan yang berkesinambungan yang meliputi seluruh aspek kehidupan masyarakat, bangsa

  dan negara. 10 Dampak dari dilakukannya kegiatan tersebut adalah memungkinkan terjadinya pemanfaatan lingkungan secara berlebihan sehingga dapat

  mengakibatkan pengrusakan dan pencemaran lingkungan secara global. Maka, dalam rangka untuk mengurangi kemungkinan timbulnya dampak negatif dari kegiatan pembangunan nasional tersebut diperlukanlah suatu perencanaan pembangunan yang baik.

Dokumen yang terkait

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

DEKONSTRUKSI HOST DALAM TALK SHOW DI TELEVISI (Analisis Semiotik Talk Show Empat Mata di Trans 7)

21 290 1

MANAJEMEN PEMROGRAMAN PADA STASIUN RADIO SWASTA (Studi Deskriptif Program Acara Garus di Radio VIS FM Banyuwangi)

29 282 2

PENILAIAN MASYARAKAT TENTANG FILM LASKAR PELANGI Studi Pada Penonton Film Laskar Pelangi Di Studio 21 Malang Town Squere

17 165 2

MOTIF MAHASISWA BANYUMASAN MENYAKSIKAN TAYANGAN POJOK KAMPUNG DI JAWA POS TELEVISI (JTV)Studi Pada Anggota Paguyuban Mahasiswa Banyumasan di Malang

20 244 2

PERANAN ELIT INFORMAL DALAM PENGEMBANGAN HOME INDUSTRI TAPE (Studi di Desa Sumber Kalong Kecamatan Wonosari Kabupaten Bondowoso)

38 240 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

PEMAKNAAN MAHASISWA TENTANG DAKWAH USTADZ FELIX SIAUW MELALUI TWITTER ( Studi Resepsi Pada Mahasiswa Jurusan Tarbiyah Universitas Muhammadiyah Malang Angkatan 2011)

59 326 21

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24