TUJUAN KURIKULUM PAI DALAM UNDANG UNDANG

TUJUAN KURIKULUM PAI
DALAM UNDANG-UNDANG SISTEM PENDIDIKAN
(Tahun 1950, 1989 dan 2003)
Mohamad Iqbal / 1440101217
Mahasiswa Magister Pendidikan Agama Islam
Program Pascasarjana IAIN Sultan Maulana Hasanudin Banten
saepulaep16@gmail.com

Abstrak
Sejak kemerdekaan RI sampai sekarang, pendidikan Islam terus
berkembang seiring perkembangan zaman, Akomodasi madrasah kedalam sistem
pendidikan nasional menjadi cikal bakal madrasah sebagai penyelenggara
pendidikan Islam yang tunduk kepada sistem pendidikan nasional, madrasah
akhirnya dimodifikasi menjadi sekolah yang berciri khas Agama Islam.
Setidaknya ada tiga periode pemberlakuan UU Sistem Pendidikan Nasional di
Indonesia sejak Tahun 1950 s.d. sekarang. Tulisan ini akan mengupas sisi tujuan
kurikulum Pendidikan Agama Islam menurut UU Sistem Pendidikan Nasional
tahun 1950, tahun 1989 dan tahun 2003, semenjak sebelum pemberlakuan
kurikulum secara nasional, kurikulum tahun 1973, 1976, 1984, 1994, 2004, 2006
dan 2013.
Tujuan Pendidikan yang dirumuskan dalam Undang-Undang Pendidikan

Nasional, baik UU No. 4 Tahun 1950 jo UU No 12 Tahun 1954 yaitu menciptakan
manusia terdidik Indonesia sebagai “Manusia susila yang cakap dan demokratis
serta bertanggungjawab tentang kesejahteraan masyarakat dan tanah air” atau UU
No. 2 tahun 1989 yang mencitakan wujud manusia Indonesia seutuhnya, yaitu
“manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi
pekerti luhur, sehat jasmani dan rohani, memiliki pengetahuan dan keterampilan,
berkepribadian yang mantap dan mandiri serta mempunyai rasa tanggungjawab
kemasyarakatan dan kebangsaan”, dan yang terakhir UU No 20 tahun 2003 yang
mencitakan “manusia yang beriman, bertaqwa dan berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggungjawab”. antara tujuan pendidikan dalam Undang-undang pendidikan
tahun 1950, tahun 1989 dan tahun 2003, terdapat pergeseran scara jelas kearah
perbaikan (penyempurnaan).
Kata Kunci : Kurikulum, Tujuan, Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional

1

2

Abstract

Since the independence of Indonesian Republic until now , Islamic
education continues to evolve with the times, Accommodation madrassah into the
national education system became the forerunner of Islamic madrassah as
education providers who are subject to the national education system, madrassah
eventually modified into distinctively Islamic. At least three periods of the
implementation of the National Education System Law in Indonesia since 1950
until now. This journal will discuss the objectives of the curriculum of Islamic
education in the National Education System Law 1950, 1989 and 2003, since
before the implementation of the national curriculum, the curriculum in 1973,
1976, 1984, 1994, 2004, 2006 and 2013 .
Educational objectives formulated in the National Education Act, both
Law No. 4 Year 1950 jo Law No. 12 of 1954 which created the human being
educated Indonesia as "Humans are capable and democratic decency and
responsibility about the welfare of society and the homeland" or Law No. 2 1989
idealize Indonesian fully human beings, the "man who is faithful and devoted to
God Almighty and noble character, physically and mentally healthy, have the
knowledge and skills, personality steady and independent and have a sense of
civic responsibility and nationality", and the latter Act No. 20 of 2003 which
aspires "man who is faithful, pious and noble, healthy, knowledgeable, capable,
creative, independent, and become citizens of a democratic and responsible".

Among the goals of education in education law in 1950, 1989 and 2003, there is a
clear shift towards improvement.
Keyword : Curriculum , goal, Law on National Education System
Pendahuluan
Pendidikan di Indonesia dewasa ini telah diatur dalam Undang-Undang
Nomor 20 tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS). Dalam
penjelasan atas UU RI No 20 tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional
dikemukakan bahwa Pendidikan Nasional mempunyai visi terwujudnya sistem
pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk
memberdayakan semua warga Negara Indonesia berkembang menjadi manusia
yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang
selalu berubah1.
Untuk mencapai visi misi dan tujuan pendidikan nasional tersebut harus
ada suatu alat yang disebut dengan kurikulum. Sehingga kurikulum merupakan
alat untuk mencapai tujuan pendidikan. Disinilah awal dari kedudukan kurikulum
dalam sistem Pendidikan Nasional. Kedudukan ini sekaligus menunjukkan peran
strategis kurikulum dalam pendidikan baik pendidikan formal, pendidikan non
formal maupun pendidikan informal pada setiap jenis dan jenjang pendidikan.
Kedudukan strategis kurikulum dalam sistem pendidikan nasional karena
kurikulum akan mengarahkan semua kegiatan pendidikan, termasuk sarana


3

prasarana serta orang-orang yang terlibat didalamnya untuk mencapai tujuan
pendidikan2.
Kurikulum menyangkut rencana dan pelaksanaan pendidikan baik dalam
lingkup kelas, sekolah, daerah, wilayah maupun nasional3. Semua orang
berkepentingan dengan kurikulum, sebab kita sebagai orang tua, sebagai warga
masyarakat, sebagai pemimpin formal ataupun informal selalu mengharapkan
tumbuh dan berkembangnya anak, pemuda, dan generasi muda yang lebih baik,
lebih cerdas, lebih berkemampuan. Kurikulum mempunyai andil yang cukup
besar dalam melahirkan harapan tersebut.
Kurikulum sebagai rancangan pendidikan mempunyai kedudukan yang
cukup sentral dalam keseluruhan kegiatan pembelajaran, menentukan proses
pelaksanaan dan hasil pendidikan. Mengingat pentingnya peran kurikulum dalam
pendidikan dan dalam perkembangan kehidupan peserta didik nantinya, maka
pengembangan kurikulum tidak bisa dikerjakan sembarangan harus berorentasi
kepada tujuan yang jelas sehingga akan menghasilkan hasil yang baik dan
sempurna4.
Disamping itu, program pendidikan harus dirancang sesuai dengan

kebutuhan masyarakat dan diorientasikan pada pengembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi yang sedang dan akan terjadi. Oleh karena itu, kurikulum sekarang
harus dirancang oleh guru bersama-sama masyarakat pemakai.
Untuk bisa merancang kurikulum yang demikian, guru harus memiliki
peranan yang amat sentral. Oleh karena itu pula, kompetensi manajemen
pengembangan kurikulum perlu dimiliki oleh setiap guru disamping kompetensi
teori belajar.
Pendidikan Islam adalah sistem pendidikan yang sengaja didirikan dan
diselenggarakan dengan hasrat dan niat (rencana yang sungguh-sungguh) untuk
mengejawantahkan ajaran dan nilai-nilai Islam, sebagaimana tertuang atau
terkandung dalam visi, misi, program kegiatan maupun pada praktik pelaksanaan
pendidikannya. Pengembangan kurikulum pendidikan agama Islam (PAI)
merupakan salah satu perwujudan dari pengembangan sistem pendidikan Islam5.
Sejak kemerdekaan RI sampai sekarang, pendidikan Islam terus
berkembang seiring perkembangan zaman, hal ini tidak biasa dipisahkan dengan
sejarah perkembangan madrasah dan pesantren sebagai basis pendidikan Islam di
Indonesia, yang menemui titik klimaks ketika madrasah diakomodir menjadi
pendidikan formal. Akomodasi madrasah ini menjadi cikal bakal madrasah
sebagai penyelenggara pendidikan Islam yang tunduk kepada sistem pendidikan
nasional, madrasah akhirnya dimodifikasi menjadi sekolah yang berciri khas

Agama Islam dan opsi-opsi lain yang berlaku pada masanya. Setidaknya ada tiga
periode pemberlakuan UU Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia sejak Tahun
1950 s.d. sekarang. Makalah ini akan mengupas sisi tujuan kurikulum Pendidikan
Agama Islam menurut UU Sistem Pendidikan Nasional tahun 1950, tahun 1969
dan tahun 2003.
TUJUAN KURIKULUM PAI DALAM UNDANG-UNDANG PENDIDIKAN
Sebelum mengkaji lebih jauh tentang Tujuan Kurikulum kurikulum PAI,
perlu dikemukakan terlebih dahulu apa itu kurikulum.

4

Kata “Kurikulum” berasal dari kata Yunani yang semula digunakan dalam
bidang oleh raga, yaitu currere yang berarti jarak tempuh lari, yakni jarak yang
harus ditempuh dalam kegiatan berlari mulai dari Start hingga finish. Jarak dari
start sampai finish ini kemudian yang disebut dengan currere6.
Dalam bahasa Arab, istilah “kurikulum” diartikan dengan manhaj, yakni
jalan yang terang, atau jalan yang terang yang dilalui oleh manusia pada bidang
kehidupannya7. Dalam konteks pendidikan, kurikulum berarti jalan terang yang
dilalui oleh pendidik / guru dengan peserta didik untuk mengembangkan
pengetahuan, keterampilan dan sikap serta nilai-nilai8. Al-khauly menjelaskan

bahwa al-manhaj sebagai seperangkat rencana dan media untuk mengantarkan
lembaga pendidikan dalam mewujudkan tujuan pendidikan yang diinginkan.
Sementara itu menurut E. Mulyasa9 bahwa kurikulum adalah seperangkat
rencana dan pengaturan mengenai tujuan, kompetensi dasar, materi standar, dan
hasil belajar, serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan
kegiatan pembelajaran untuk mencapai hasil kompetensi dasar dan tujuan
pendidikan.
Berdasarkan studi yang telah dilakukan oleh banyak ahli, dapat
disimpulkan bahwa pengertian kurikulum dapat ditinjau dari dua sisi yang
berbeda, yakni menurut pandangan lama dan pandangan baru.
Pandangan lama, atau sering juga disebut pandangan tradisinal,
merumuskan bahwa kurikulum adalah ‘sejumlah mata pelajaran yang harus
ditempuh murid untuk memperoleh ijazah’10.
Pengertian kurikulum secara tradisional di atas mempunyai implikasi
sebagai berikut : (1). Kurikulum terdiri atas sejumlah Mata Pelajaran. Mata
Pelajaran sendiri pada hakikatnya adalah pengalaman nenek moyang di masa
lampau. Berbagai pengalaman tersebut dipilih, dianalisis, serta disusun secara
sistematis dan logis, sehingga muncul Mata Pelajaran seperti sejarah, ilmu bumi,
ilmu hayat, dan sebagainya; (2). Mata Pelajaran adalah sejumlah informasi atau
pengetahuan, sehingga penyampaian mata pelajaran pada siswa akan membentuk

mereka menjadi manusia yang mempunyai kecerdasan berfikir.(3). Mata pelajaran
menggambarkan kebudayaan masa lampau. Adapun pengajaran berarti
penyampaian kebudayaan kepada generasi muda. (4). Tujuan mempelajari mata
pelajaran bagi siswa adalah untuk memperoleh ijazah. Ijazah diposisikan sebagai
tujuan, sehingga menguasai mata pelajaran berarti telah mencapai tujuan belajar.
(5). Adanya aspek keharusan bagi setiap siswa untuk mempelajari mata pelajaran
yang sama. Akibatnya, faktor minat dan kebutuhan siswa tidak dipertimbangkan
dalam penyususunan kurikulum. (6). Sistem penyampaian yang digunakan oleh
guru adalah sistem penuangan (imposisi). Akibatnya, dalam kegiatan belajar
gurulah yang lebih banyak bersikap aktif, sedangkan siswa hanya bersifat pasif
belaka11.
Sebagai perbandingan, ada baiknya kita kutip pula pendapat lain seperti
yang dikemukakan oleh Romine (1954). Pandangan ini dapat digolongkan sebagai
pendapat yang baru (modern), yang dirumuskan sebagai berikut : “Curiculum is
interpreted to mean all of the organized courses, activities, and experiences which
pupils have under direction of the school, whether in classroom or not”

5

Implikasi perumusan di atas adalah sebagai berikut : (1). Tafsiran tentang

kurikulum bersifat luas, karena kurikulum bukan hanya terdiri dari mata pelajaran
(cources), tetapi meliputi semua kegiatan dan pengalaman yang menjadi tanggung
jawab sekolah.(2). Sesuai dengan pandangan ini, berbagai kegiatan di luar kelas
(yang dikenal dengan ekstrakurikuler) sudah tercakup dalalm pengertian
kurikulum. Oleh karena itu, tidak ada pemisahan anatara intra dan ekstra
kutrikulum. (3). Pelaksanaan kurikulum tidak hanya dibatasi pada keempat
dinding kelas saja, melainkan baik di dalam maupun di luar kelas, sesuai dengan
tujuan yang hendak dicapai. (4). Sistem penyampaian yang dipergunakan oleh
guru disesuaikan dengan kegiatan atau pengalaman yang disampaikan. Oleh
karena itu, guru harus mengadakan berbagai kegiatan belajar mengajar yang
bervariasi, sesuai dengan kondisi siswa. (5). Tujuan pendidikan bukanlah untuk
menyampaikan mata pelajaran (cources) atau bidang pengetahuan yang tersusun
(subject), melainkan pembentukan pribadi anak dan belajar cara hidup di dalam
masyarakat12.
Dari dua sudut pandangan kurikulum di atas bahwa pengertian yang lama
tentang kurikulum lebih menekankan pada isi pelajaran atau mata kuliah, dalam
arti sejumlah mata pelajaran atau kuliah di sekolah atau perguruan tinggi, yang
harus ditempuh untuk mencapai suatu ijazah atau tingkat, juga keseluruhan
pelajaran yang disajikan oleh suatu lembaga pendidikan. Demikian pula definisi
yang tercantum dalam UU Sisdiknas nomor 2 tahun 1989.

Definisi kurikulum yang tertuang dalam UU Sisdiknas Nomor 20 tahun
2003 dikembangkan ke arah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai
tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman
penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan
tertentu. Dengan demikian, ada tiga komponen yang termuat dalam kurikulum,
yaitu tujuan, isi dan bahan pelajaran, serta cara pembelajaran, baik yang berupa
strategi pembelajaran maupun evaluasinya13.
Konsep Kurikulum
Kurikulum adalah rencana tertulis tentang kemampuan yang harus dimiliki
berdasarkan standar nasional, materi yang perlu dipelajari dan pengalaman belajar
yang harus dijalani untuk mencapai kemampuan tersebut, dan evaluasi yang perlu
dilakukan untuk menentukan tingkat pencapaian kemampuan peserta didik, serta
seperangkat peraturan yang berkenan dengan pengalaman belajar peserta didik
dalam mengembangkan potensi dirinya pada satuan pendidikan tertentu.
Standar Nasional pendidikan adalah pernyataan mengenai kualitas hasil
dan komponen-komponen sistem yang berkenaan dengan penyelenggaraan
pendidikan di seluruh wilayah hukum R.I. pada jenjang, jenis atau jalur
pendidikan tertentu. Standar Nasional Pendidikan mencakup standar isi, standar
pembelajaran, standar pengembangan tenaga kependidikan, standar sarana dan
prasarana, dan standar evaluasi pendidikan yang wajib dicapai oleh masingmasing satuan pendidikan pada setiap jenis dan jenjang pendidikan.

Pengajaran adalah proses interaksi peserta didik dan sumber belajar di
suatu lingkungan belajar tertentu dalam upaya pendidikan tertentu.

6

Peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan
potensi dirinya melalui pengalaman belajar yang bersedia pada jalur, jenis dan
jenjang pendidikan tertentu.
Satuan pendidikan adalah lembaga penyelenggaraan pendidikan, seperti
kelompok bermain, tempat penitipan anak, taman kanak-kanak, sekolah,
perguruan tinggi, kursus dan kelompok belajar14.
Kurikulum sebagai program studi, Pengertiannya adalah seperangkat mata
pelajaran yang mampu dipelajari oleh anak didik di sekolah atau di instansi
pendidikan lainnya.
Kurikulum sebagai konten, Pengertiannya adalah data atau insformasi
yang tertera dalam buku-buku kelas tanpa dilengkapi dengan data atau informasi
lainnya yang memungkinkan timbulnya belajar.
Kurikulum sebagai kegiatan berencana, Kegiatan yang direncanakan
tentang hal-hal yang akan diajarkan dan dengan cara bagaimana hal itu dapat
diajarkan dengan berhasil.
Kurikulum sebagai hasil belajar, Seperangkat tujuan yang utuh
memperoleh suatu hasil tertentu tanpa menspesifikasikan cara-cara yang dituju
untuk memperoleh hasil-hasil itu, atau seperangkat hasil belajar yang
direncanakan dan diinginkan.
Kurikulum sebagai reproduksi kultural, Transfer dan refleksi butir-butir
kebudayaan masyarakat, agar dimiliki dan difahami anak-anak generasi muda
masyarakat tersebut.
Kurikulum sebagai pengalaman pelajar, Keseluruhan pengalaman belajar
yang direncanakan di bawah pimpinan sekolah.
Kurikulum sebagai produksi, Seperangkat tugas yang harus dilakukan ntuk
mencapai hasil yang ditetapkan terlebih dahulu15.
Dalam sistem pendidikan, kurikulum sebagai salah satu komponen namun
kurikulum itu sendiri juga mempunyai beberapa komponen. Hasan Langgulung
memandang bahwa kurikulum mempunyai empat komponen utama, yaitu : (1).
Tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh pendidikan itu. Dengan lebih tegas lagi
orang yang bagaimana yang ingin kita bentuk dengan kurikulum tersebut. (2).
Pengetahuan (Knowledge), informasi-informasi, data-data, aktifitas-aktifitas, dan
pengalaman-pengalaman dari mana terbentuk kurikulum itu. Bagian inilah yang
disebut dengan mata pelajaran. (3). Metode dan cara-cara mengajar yang dipakai
oleh guru-guru untuk mengajar dan memotivasi murid untuk membawa mereka
kearah yang dikehendaki oleh kurikulum. (4). Metode dan cara penilaian yang
dipergunakan dalam mengukur dan menilai kurikulum dan hasil proses
pendidikan yang direncanakan kurikulum tersebut16.
Dasar Kurikulum Pendidikan Islam
Kurikulum sebagai salah satu komponen pendidikan yang sangat berperan
dalam mengantarkan pada tujuan` pendidikan yang diharapkan, harus mempunyai
dasar-dasar yang merupakan kekuatan utama yang mempengaruhi dan
membentuk materi kurikulum, susunan dan organisasi kurikulum.
Herman H. Horne memberikan dasar bagi penyusunan kurikulum dengan
tiga macam, yaitu : (1). Dasar Psikologis, yang digunakan untuk memenuhi dan

7

mengetahui kemampuan yang diperoleh dari pelajar dan kebutuhan anak didik
(the ability and needs of children ).(2). Dasar Sosiologis, yang digunakan untuk
mengetahui tuntunan yang sah dari masyarakat (the legitimate demands of
society), (3). Dasar Filosofis, yang digunakan untuk mengetahui keadaan alam
semesta tempat kita hidup (the kind of universe in which we live)17.
Sementara itu Al-Syaibani menawarkan dasar-dasar kurikulum sebagai
berikut : (1). Dasar Agama, tujuan dan kurikulumnya pada dasar agama Islam
dengan segala aspeknya. Dasar agama ini dalam kurikulum pendidikan Islam jelas
harus berdasarkan pada al-Qur’an, as- Sunnah dan sumber-sumber yang bersifat
furu’ lainnya. (2). Dasar Falsafah, dasar ini memberikan pedoman bagi tujuan
pendidikan Islam secara filosofis, sehingga tujuan, isi dan organisasi kurikulum
mengandung suatu kebenaran dan pandangan hidup dalam bentuk nilai-nilai yang
diyakini sebagai suatu kebenaran, baik ditinjau dari sisi ontology, epistemologi,
maupun aksiologi. (3). Dasar psikologi, dasar ini memberikan landasan dan
perumusan bahwa dalam perumusan kurikulum yang sejalan dengan ciri-ciri
perkembangan psikis peserta didik, sesuai dengan tahap kematangan dan
bakatnya. (4). Dasar Sosial, dasar ini memberikan gambaran bagi kurikulum
Pendidikan Islam yang tercermin pada dasar sosial yang mengandung ciri-ciri
masyarakat Islam dan kebudayaannya. Baik dari segi pengetahuan, nila-nilai
ideal, cara berfikir dan adat kebiasaaan, seni dan sebagainya. Kaitannya dengan
kurikulum pendidikan Islam sudah tentu kurikulum ini harus mengakar terhadap
masyarakat dan perubahan dan perkembangannya18.
Pengembangan Kurikulum PAI
Pengembangan kurikulum pendidikan Islam (PAI) dapat diartikan sebagai:
(1). Kegiatan menghasilkan kurikulum PAI atau (2). Proses yang mengaitkan satu
komponen dengan yang lainnya untuk menghasilkan kurikulum PAI yang lebih
baik; dan atau (3). Kegiatan penyusunan (desain), pelaksanaan, penilaian dan
penyempurnaan kurikulum PAI.
Dalam realitas sejarahnya, pengembangan kurikulum PAI tersebut ternyata
mengalami perubahan-perubahan paradigma19, walaupun dalam beberapa hal
tertentu paradigma sebelumnya masih tetap dipertahankan hingga sekarang. Hal
ini dapat dicermati dari fenomena berikut : (1) perubahan dari tekanan pada
hafalan dan daya ingatan tentang teks-teks dari ajaran-ajaran agama Islam, serta
disiplin mental spiritual sebagaimana pengaruh dari timur tengah, kepada
pemahaman tujuan, makna dan motivasi beragama Islam untuk mencapai tujuan
pembelajaran PAI ; (2) perubahan dari cara berfikir tekstual, normatif, absolutis
kepada cara berfikir historis, empiris, dan konstektual dalam memahami dan
menjelaskan ajaran-ajaran dan nilai-nilai agama Islam; (3) perubahan dari tekanan
pada produk atau hasil pemikiran keagamaan Islam dari para pendahulunya
kepada proses atau metodologinya sehingga menghasilkan produk tersebut; (4)
perubahan dari pola pengembangan kurikulum PAI ke arah keterlibatan yang luas
dari pakar, guru, peserta didik, masyarakat untuk mengdentifikasi tujuan PAI dan
cara-cara mencapainya20.

8

Fungsi Kurikulum PAI
Bagi sekolah / madrasah yang bersangkutan : (a). Sebagai alat untuk
mencapai tujuan pendidikan agama Islam yang diinginkan atau dalam istilah KBK
disebut standar kompetensi PAI, meliputi fungsi dan tujuan Pendidikan Nasional,
kompetensi lintas kurikulum, kompetensi tamatan / lulusan, kompetensi bahan
kajian PAI, kompetensi mata pelajaran PAI (TK, SD / MI, SMP / MTs, SMA /
MA), kompetensi mata pelajaran kelas (I, II, III, IV, V, VI, VII< VIII, IX, X, XI,
XII). (b). Pedoman untuk mengatur kegiatan-kegiatan pendidikan agama Islam di
sekolah / madrasah.
Bagi Sekolah / Madrasah diatasnya : (a). Melakukan penyesuaian, (b).
Menghindari keterulangan sehingga bros waktu, (c). Menjaga kesinambungan.
Bagi masyarakat : (a). Masyarakat sebagai pengguna lulusan (users),
sehingga sekolah / madrasah harus mengetahui hal-hal yang menjadi kebutuhan
masyarakat dalam konteks pengembangan PAI. (b). Adanya kerjasama yang
harmonis dalam hal pembenahan dan pengembangan kurikulum PAI21.
Tujuan Pengembangan Kurikulum
Istilah yang digunakan untuk menyatakan tujuan pengembangan
kurikulum adalah goals dan objectives. Makna tujuan, khususnya tujuan
pendidikan nasional adalah berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggung jawab22.
Secara lebih jauh, tujuan berfungsi sebagai pedoman bagi pengembangan
tujuan-tujuan spesifik (objectives), kegiatan belajar, implementasi kurikulum, dan
evaluasi untuk mendapatkna balikan (feedback).
Mengingat pentingnya tujuan, tidak heran jika perumusan tujuan menjadi
langkah pertama dalam pengembangan kurikulum. Filosofi yang dianut
pendidikan atau sekolah biasanya menjadi dasar pengembangan tujuan. Oleh
karena itu, tujuan hendaknya merefleksikan kebijakan, kondisi masa kini dan
masa depan, prioritas, sumber-sumber yang sudah tersedia, serta kesadaran
terhadap unsur-unsur pokok dalam pengembangan kurikulum23.
Kurikulum dan Tujuan Pendidikan
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa dalam pencapaian akhir
pendidikan tidak dapat dilakukan sekaligus, akan tetapi secara bertahap, dan
setiap tahap atau menuju sasaran yang sama. Tahap-tahap yang dikembangkan
dalam pendidikan umum adalah berakhir pada Tujuan Nasional sebagai tujuan
umum yang secara terbatas ditentukan pula oleh falsafah Negara itu masingmasing. Bahkan pada zaman modern ini kita dapati pendidikan merupakan
pantulan dari falsafah suatu bangsa dan ialah yang merupakan juru bicara dari
semangat bangsa tersebut. Oleh karena itu sesuai dengan kepentingan setiap
Negara, berdasarkan falsafah bangsa itu, maka kesitu pulalah pendidikan itu

9

diarahkan. Selanjutnya untuk mencapai tujuan pendidikan, sekolah menyusun
kurikulum tertentu sebagai pedoman dalam proses pembelajaran24.
Perkembangan Tujuan Kurikulum PAI sesuai dengan UU SISDIKNAS
Proklamasi kemerdekaan Negara Republik Indonesia tanggal 17 Agustus
1945 merupakan tonggak awal dimulainya pembangunan negara pada segala
bidang, termasuk pendidikan. Pada masa awal kemerdekaan tersebut, tingkat
pendidikan penduduk Indonesia sangat rendah. Betapa tidak, saat itu sekitar 70
juta jumlah penduduk Indonesia, hanya sekitar 5% yang melek huruf. Sisanya
95% buta aksara25.
Para pendiri negara sangat menyadari pentingnya aspek pendidikan dalam
pembangunan bangsa. Oleh karenanya, mereka dengan sadar meletakan dasardasar yang kokoh sebagai landasan pembangunan pendidikan. Hal ini tertuang
dalam Pembukaan UUD 1945 yang menyebutkan secara tersurat bahwa salah
tujuan nasional adalah “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Selanjutnya, dalam
batang tubuh UUD 1945 pasal 31 secara eksplisit ditegaskan bahwa “setiap warga
negara berhak mendapat pengajaran”.
Tujuan Pendidikan yang dirumuskan dalam Undang-Undang Pendidikan
Nasional, baik UU No. 4 Tahun 1950 jo UU No 12 Tahun 1954 yang menciptakan
manusia terdidik Indonesia sebagai “Manusia susila yang cakap dan demokratis
serta bertanggungjawab tentang kesejahteraan masyarakat dan tanah air”26 atau
UU No. 2 tahun 1989 yang mencitakan wujud manusia Indonesia seutuhnya, yaitu
“manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi
pekerti luhur, sehat jasmani dan rohani, memiliki pengetahuan dan keterampilan,
berkepribadian yang mantap dan mandiri serta mempunyai rasa tanggungjawab
kemasyarakatan dan kebangsaan”27, dan yang terakhir UU No 20 tahun 2003 yang
mencitakan “manusia yang beriman, bertaqwa dan berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggungjawab”28.
Bila dibandingkan secara detail, antara tujuan pendidikan dalam Undangundang pendidikan tahun 1950, tahun 1989 dan tahun 2003, terdapat pergeseran
scara jelas kearah perbaikan (penyempurnaan)29.
UU No 4 Tahun 1950 jo. UU Nomor 12 Tahun 1954
UU No 4 Tahun 1950 jo. UU Nomor 12 Tahun 1954 merupakan UndangUndang tentang sistem Pendidikan Nasional yang pertama di Indonesia. Tentu
saja, penyelenggaraan pendidikan tidak lahir begitu saja tanpa melalui proses
perjalanan panjang; proses pendidikan itu sendiri. Meski Undang-Undangnya
telah terbentuk pada tahun 1950, tetapi proses pendidikan masih berlangsung
dengan sistem kolonial, dan baru mengalami perubahan setelah undangundangnya mulai berlaku, dari UUD RIS menjadi UUD Negara Kesatuan, dari
sistem pendidikan bagi negara kesatuan30.
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 4 tahun 1950 inilah
yang telah mengatur proses pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan di
Indonesia pada awal kemerdekaan nya. Undang-Undang Sistem Pendidikan yang
kita miliki baru terbit setelah Indonesia berusia lima tahun. Inilah undang-undang

10

tentang sistem pendidikan nasional yang pertama kita miliki. Undang-Undang ini
secara revolusi dapat direvisi setelah negara ini berjalan empat tahun, karena
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional lahir dengan Undang-Undang
tentang Pendidikan dan Pengajaran Nomor 12 Tahun 1950 sampai dengan
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1954, pendidikan di Indonesia memang
mengalami perubahan dari sistem pendidikan kolonial menjadi sistem pendidikan
yang lebih memperhatikan rakyat yang baru saja merdeka. Meski setelah
mencapai kemerdekaan pada tahun 1945, dengan sistem pendidikan kolonial yang
masih bercokol kuat, pemerintah berusaha sekuat tenaga untuk memenuhi amanat
proklamasi “Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain akan
dilaksanakan dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya”.
Dalam urusan pendidikan, pada tanggal 29 desember 1945 BPKNIP
(Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat) telah mengusulkan kepada
Kementrian Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan (PP dan K) satu rencana
pokok pendidikan dan pengajaran yang baru akhirnya melahirkan UU Nomor 4
Tahun 1950 tentang Sistem Pendidikan Nasional. BPKNIP telah membuat surat
Keputusan Tanggal 1 Maret 1946 Nomor 104/Bg. 0, untuk membentuk Panitia
Penyelidik Pengajaran RI dibawah pimpinan Ki Hajar Dewantara yang dibantu
seorang penulis Soegarda Poerbakwatja yang menghasilkan “kurikulum” baru
bagi bagi Sistem Pendidikan yang masih berbau kolonialistik pada saat itu31.
Hasil karya Panitia Penyelidik Pengajaran inilah yang kemudian menjadi
cikal bakal kurikulum petama di Indonesia yang ketika itu istilah “kurikulum”
belum diadopsi dalam Bahasa Indonesia. Itulah sebabnya kurikulum pertama
terkenal dengan nama “Rencana Pelajaran 1947”, yang kemudian menjadi cikal
bakal tersusunnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1950 yang sekaligus menjadi
Undang-Undang Sistem Pendidikan dan Pengajaran yang pertama di Indonesia
pada tanggal 2 April 1950.
Dalam Bab II Pasal 4 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1950, dasar
pendidikan dirumuskan sebagai berikut “manusia yang beriman dan bertaqwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan
dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan
mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan”32.
Tujuan pendidikan berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1950
Dalam Bab III Pasal 3 disebutkan bahwa tujuannya pendidikan nasional adalah
“Membentuk manusia susila yang cakap dan warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab tentang kesejahteraan masyarakat dan tanah air”33.
Pada sisi Pendidikan Islam, kondisi kurikulum sejak diberlakukan UU
system pendidikan Nasional Tahun 1950, sebelum tahun 1973 kurikulum
madrasah sebagai pengembang pendidikan agama Islam yang utama menurut
Muhajir belum muncul secara nasional. Praktis kurikulum madrasah masih
ditentukan oleh lembaga madrasah masing-masing, tentunya terjadi perbedaan
antar satu madrasah dengan madrasah lainnya. Dari sisi content kurikulum
Pendidikan Islam (Madrasah) masih didominasi muatan agama dengan prosentasi
muatan agama lebih besar dari pada muatan umum34.
Tujuan Kurikulum sebelum muncul secara Nasional; Dalam dunia
pendidikan Islam, dalam rangka merealisasikan Undang-Undang Pendidikan

11

pertama tahun 1950, salah satu pasalnya berrbunyi : ”belajar di sekolah Agama
yang telah mendapat pengakuan Menteri Agama dianggap telah memenuhi
kewajiban belajar”. Diikuti dengan pendirian Madrasah Wajib Belajar oleh
Departemen Agama dengan tujuan untuk pembangunan jiwa bangsa guna
kemajuan di lapangan ekonomi, industrialisasi dan swadaya. Di MWB anak tidak
hanya dididik pengetahun umum dan agama35, tetapi juga keterampilan untuk
mendukung kesiapan siswa berproduksi dengan swadaya dan keterampilan yang
diperoleh di MWB36.
Kurikulum madrasah pada zaman ini belum tersusun secara nasional,
sehingga tujuan kurikulumnya pun belum teridentifikasi, kecuali melalui
peraturan menteri Agama dan MWB nya.
Tujuan Kurikulum Pendidikan Agama Islam Tahun 1973, belum
teridentifikasi secara jelas, hanya ada sedikit kemajuan tentang posisi madrasah
sebagai motor pendidikan Agama Islam, yaitu posisi kurikulum madrasah telah
diakui secara nasional, sehingga posisi madrasah secara politis menjadi kuat di
bawah otoritas Departemen Agama.
Tujuan Kurikulum 1976, kurikulum ini tersusun berdasarkan SKB tiga
menteri pada tahun 1975. Mukti Ali sebagai Menteri Agamanya berusaha
memodernisasi berbagai aspek politik keagamaan di Indonesia, antara lain;
konsep negara modern yang cocok dengan kultur keagamaan di Indonesia,
pembaharuan pemikiran, dialog antar umat beragama, modernisasi lembaga
keagamaan sampai pembaharuan kurikulum lembaga pendidikan Agama Islam37.
Tujuan Kurikulum 1984, tidak mengubah semua hal dalam kurikulum
1975, meski mengutamakan proses tapi faktor tujuan tetap dianggap penting.
Oleh karena itu kurikulum 1984 disebut kurikulum 1975 yang disempurnakan.
Posisi Siswa dalam kurikulum 1984 diposisikan sebagai subyek belajar. Dari halhal yang bersifat mengamati, mengelompokkan, mendiskusikan, hingga
melaporkan, menjadi bagian penting proses belajar mengajar, inilah yang disebut
konsep Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) atau Student Active Leaming (SAL)38.
Dalam sisi pendidikan Islam, menteri Agama ketika adalah Munawir
Sadzali terkenal dengan terobosannya ‘mendamaikan’ kaum nasionalis dan agama
di Indonesia, dengan inti pemikiran bahwa “tidak ada ketetapan doktrinal yang
mengharuskan kaum muslimin untuk mendirikan negara islam”. Sehingga
kehadiran Munawir sadzali dapat mencairkan ketegangan ideologis masa itu39.
UU SISDIKNAS No. 2 Tahun 1989
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan
Nasional menjadi pemicu lahirnya kurikulum 1994. Dalam UU sistem pendidikan
Nasional pasal 37 nomor 2 tahun 1989, menyatakan bahwa : “Kurikulum disusun
untuk mewujudkan tujuan pendidikan Nasional dengan memperhatikan tahap
perkembangan siswa dan kesesuaiannya dengan lingkungan, kebutuhan
pembangunan nasional, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta
kesenian, sesuai dengan jenis dan jenjang masing-masing satuan pendidikan”40.
Dalam pasal 4 ayat 3 Peraturan pemerintah nomor 28 tahun 1990 tentang
pendidikan dasar menyatakan bahwa, SD dan SLTP yang berciri khas agama

12

islam yang diselenggarakan oleh Departemen Agama masing-masing disebut
Madrasah Ibtidaiyah (MI) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs) 41.
Uraian diatas menunjukan bahwa UU SPN No. 2 tahun 1989 memberikan
warna baru untuk lembaga pendidikan Islam dimana dengan diberlakukannya
UUSPN No 2 tahun 1989 madrasah-madrasah mendapat perlakuan yang sama
dengan sekolah umum lainnya karena dalam UUSPN tersebut madrasah dianggap
sebagai sekolah umum yang berciri khas Islam dan kurikulum madrasah sama
persis dengan sekolah umum plus pelajaran agama islam sebanyak tujuh mata
pelajaran42.
Selanjutnya dalam UU Sisdiknas no 2 tahun 1989 yang diatur oleh PP No.
28 dan 29 dan diikuti oleh SK menteri pendidikan dan Menteri Agama,
menyebutkan bahwa madrasah adalah sekolah yang beciri khas agama Islam.
Maka Mi, MTs dan MA memiliki kurikulum yang sama dengan sekolah pada
tingkat pendidikan dasar dan pedidikan menengah, ditambah dengan ciri
keislamannya yang ada pada kurikulum Madrasah yaitu memiliki pelajaran agama
yang lebih dari sekolah43.
Dari uraian-uraian diatas dapat disimpulkan bahwa implementasi UU
Sisdiknas Nomor 2 Tahun 1989 semakin mengukuhkan Madrasah kedalam Sistem
pendidikan Nasional dengan mengakomodir menjadi disamakan dengan sekolah
pada levelnya dengan penambahan ciri khas agama Islam yang berakibat
penambahan jam mata pelajaran agama disamping mata pelajaran umum. Maka
jika tantangan ini dihadapi dan direalisasikan secara konsekuen, maka Madrasah
akan menjadi Sekolah Plus, tetapi kalau tidak justeru akan sebaliknya tidak
berkualitas pada pelajaran umum secara kualitatif juga ketinggalan pada
pendidikan agama yang tidak bisa mengejar lulusan pesantren secara kualitatif
pula44.
UU SISDIKNAS No 20 Tahun 2003
Kedudukan madrasah sebagai penyelenggaraan pendidikan berciri khas
Islam semakin kokoh dengan diundangkannya UU sisdiknas nomor 20 tahun
2003, yang merupakan bagian dari system pendidikan nasional secara utuh.
Tujuan Kurikulum tahun 2004; pada kurikulum tahun 2004 biasa
disebut dengan kurikulum berbasis kompetensi (KBK), disebutkan bahwa
kurikulum dikembangkan dengan mengacu pada standar nasional pendidikan
untuk mewujudkan tujuan nasional pendidikan, potensi daerah dan peserta didik.
Kerangka dasar dan struktur kurikulum pendidikan dasar dan menengah
ditetapkan oleh pemerintah.
Perbedaan kurikulum tahun 1973, 1984, 1994 dan 2004 adalah sangat
tajam pada kurikulum 2004, karena beralih ke kompetensi dan berorientasi proses
serta tujuan (hasil). Ini yang membedakan dengan kurikulum sebelumnya.
Tujuan Kurikulum tahun 2006, biasa disebut dengan Kurikulum Tingkat
satuan Pendidikan (KTSP); inti tujuan pada kurikulum tahun 2006 antara lain ;
(1). Menekankan kepada efisiensi dan efektivitas dalam hal daya dan waktu, (2).
Menganut pendekatan sistem instruksional yang dikenal dengan Prosedur
Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI). Sistem yang senantiasa mengarah
kepada tercapainya tujuan yang spesifik, dapat diukur dan dirumuskan dalam

13

bentuk tingkah laku siswa.(3). Dipengaruhi psikologi tingkah laku dengan
menekankan kepada stimulus respon (rangsang-jawab) dan latihan Tujuan, (4).
Berorientasi kepada tujuan instruksional. Didasari oleh pandangan bahwa
pemberian pengalaman belajar kepada siswa dalam waktu belajar yang sangat
terbatas di sekolah harus benar-benar fungsional dan efektif. Oleh karena itu,
sebelum memilih atau menentukan bahan ajar, yang pertama harus dirumuskan
adalah tujuan apa yang harus dicapai siswa. (5). Materi pelajaran dikemas dengan
menggunakan pendekatan spiral. Spiral adalah pendekatan yang digunakan dalam
pengemasan bahan ajar berdasarkan kedalaman dan keluasan materi pelajaran.
Semakin tinggi kelas dan jenjang sekolah, semakin dalam dan luas materi
pelajaran yang diberikan45.
Uraian diatas, dapat dianalisis bahwa perkembangan dan pergeseran tujuan
pendidikan Agama Islam sejak tahun 1973 sampai dengan kurikulum tahun 2006
bergeser secara dinamis, kearah perbaikan dan penyempurnaan. Karena tujuan
pendidikan Agama telah muncul secara nasional.
Tujuan Kurikulum tahun 2013; adalah pengembangan dari kurikulum
tahun 2006, dengan penambahan pendidikan karakter di dalamnya.
Tujuan pendidikan ini berbeda dengan taksonomi tujuan pedidikan
menurut Benjamin S. Bloom. Ranah tujuan pendidikan yang digunakan dalam
Kurikulum 2013 adalah ranah sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Sementara
taksonomi tujuan pendidikan menurut Bloom adalah ranah kognitif, afektif, dan
psikomotor. Sama-sama tiga ranah, tetapi penyebutannya yang berbeda, karena
ranah sikap mendapatkan tempat pertama dalam Kurikulum 2013. Penjabaran
ketiga ranah tujuan menurut Bloom menjadi K1 sampai K6, A1 sampai A5, dan
P1 sampai dengan P7 sebenarnya untuk menjadi acuan bagi guru untuk
menetapkan tujuan secara operasional dalam ketiga ranah tersebut, yang tentu
saja kesemuanya akan menjadi mempribadi dalam diri pesera didik 46.
Dalam tiga ranah tujuan pendidikan menuurut Bloom, ranah kognitifnya
telah direvisi dari ranah kognitif lama menjadi ranah kognitif baru, yakni dari
rumusan kata benda dalam ranah kognitif lama menjadi kata kerja dalam ranah
kognitif baru. Di samping itu juga dalam aspek urutan kategori ke-5 menjadi
ke-6, yakni dari “synthesis-evaluation” menjadi “evaluating-creating 47’.
Dari sisi Emosional kegamaan pendidikan Islam, menurut analisis Ahmad
Farhan Syaddad, umat Islam dalam kaitannya dengan pendidikan islam banyak
diuntungkan dengan UU sisdiknas no 20 tahun 2003, anatara lain :(a). Tujuan
Pendidikan Nasional sangat memberikan peluang untuk meralisasikan nilai-nilai
Al- Qur’an yang menjadi tujuan pendidikan Islam yaitu terbentuknya manusia
yang beriman dan bertaqwa (pasal 3).(b). Anak-anak Muslim yang sekolah di
lembaga pendidikan Non Islam akan terhindar dari pemurtadan, karena anak-anak
tesebut akan mempelajari mata pelajaran agama sesuai dengan yang dianut oleh
siswa tersebut dan diajarkan oleh guru yang seagama dengan dia(Pasal 12 ayat
1a), (c). Madrasah-madrasah dari semua jenjang terintegrasi dalam system
pendidikan nasional secara penuh (Pasal 17 dan 18). (d) Pendidikan keagamaan
seperti Madrasah diniyah dan pesantren mendapat perhatian khusus pemerintah,
karena pendidikan keagamaan tidak hanya diselenggarakan oleh kelompok
masyarakat tetapi juga diselenggarakan oleh pemerintah (Pasal 30). (e).

14

Pendidikan Agama diajarkan mulai dari jenjang pendidikan dasar sampai dengan
pendidikan tinggi (Pasal 37)48.
PENUTUP
Dewasa ini, pentingnya peran dan fungsi kurikulum memang sudah sangat
disadari dalam sistem pendidikan nasional. Ini dikarenakan kurikulum merupakan
alat yang krusial dalam merealisasikan program pendidikan , baik formal maupun
nonformal, sehingga gambaran sistem pendidikan dapat terlihat jelas dalam
kurikulum tersebut. Dengan kata lain sistem kurikulum pada hakikatnya adalah
sistem pendidikan itu sendiri.
Sejalan dengan tuntunan zaman, perkembangan masyarakat, serta
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, dunia pendidikan sudah menginjakan
kakinya ke dalam dunia inovasi. Inovasi dapat berjalan dan mencapai sasarannya,
jika program pendidikan tersebut direncanakan dan dilaksanakan sesuai dengan
kondisi dan tuntunan zaman.
Hubungan antara pendidikan dan kurikulum adalah hubungan antara
tujuan dan isi pendidikan. Suatu tujuan baru akan tercapai bila isi pendidikan tepat
dan relevan dengan tujuan tersebut. Dengan kata lain bahwa isi yang tepat atau
kurikulum yang sesuai yang akan mengantarkan ke area rahapai tujuan
pendidikan.
Kondisi kurikulum Pendidikan Islam sejak diberlakukan UU sisdiknas
nomor 4 tahun 1950 jo UU nomor 12 tahun 1954, UU sisdiknas nomor 2 tahun
1989 sampai dengan UU sisdiknas nomor 20 tahun 2003, menempatkan
kurikulum pendidikan agama yang dalam hal ini di motori oleh pendidikan
madrasah sebagai sesuatu yang mewarnai sistem pendidikan Nasional di
Indonesia, semenjak dominasi pendidikan agama yang sangat kental, kemudian
diminimalisir pada periode yang sama, akhirnya semakin diakomodir dan diakui
eksistensinya oleh UU sisdiknas tahun 2003. Semakin meneguhkan keyakinan
kita bahwa pendidikan agama memang sangat penting dalam konsepsi pendidikan
nasional bangsa kita sebagaimana amanat UUD 1945.

15

DAFTAR PUSAKA
Ahmad, Dkk, Pengembangan Kurikulum, (Bandung : PT. Pustaka setia, 1998)
Arifin, Zainal, Konsep dan model pengembangan Kurikulum ( Bandung : PT.
Remaja Rosdakarya, 2011)
Depdiknas, Wajib Belajar Pendidikan Dasar 1945-2007, (Jakarta; Depdiknas,
2007).
Farhan, Syaddad Ahmad, analisis terhadap kebikakan perubahan UUSPN no 2
Tahun 1989 menjadi UU SISDIKNAS Nomor 20 tahun 2003 dalam
www.suarapembaharuan,com
Hamalik, Oemar, Dasar-dasar Pengembangan Kurikulum, (Bandung : PT.
Remaja Rosdakarya , 2007).
________________ Manajemen Pengembangan Kurikulum, (Bandung : PT.
Remaja Rosda Karya, 2006)
Himpunan Peraturan Perundang-undangan, Standar Nasional Pendidikan,
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005, (Bandung : PT. Fokus
Media, 2005)
Himpunan Peraturan Perundang-undangan, Standar Nasional Pendidikan,
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005, (Bandung; PT. Fokus
Media, 2005), hal. 98.
http://reyfan13.blog.com/2011/12/17/perbedaan-kurikulum-1984-1994-20042006/
http://suparlan.com/1535/2014/04/14/reorientasi-tujuan-pendidikan-nasional-kita/
http:www/husnirahim.com, dalam Muhajir, Pergeseran Kurikulum,
Jumhur dan Dana Saputra, Sejarah Pendidikan di Indonesia Khusus Madrasah,
(Bandung; CV. Ilmu, 1976)
Langgulung, Hasan, Asas-asas Pendidikan Islam, (Jakarta; PT. Pustaka al-Husna,
1988)
Maksum, Madrasah Sejarah dan Perkembangannya (Ciputat; Logos Wacana
Ilmu, 1999)
Muhaimin dan Mujib, abdul, Pemikiran Pendidikan Islam; Kajian Filosofis dan
Kerangka Dasar Operasionalisasinya, (Bandung : PT. Trigenda Karya,
1993).
___________ Pendidikan dan Peradaban Islam, (Jakarta: PT. Pustaka al-Husna).
___________ Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam; di sekolah,
Madrasah, dan Perguruan Tinggi, (Jakarta : PT.Raja Grafindo Persada
2005).
Muhajir, Pergeseran kurikulum Madrasah, Dalam Undang-Undang Sistem
Pendidikan Nasional, (Jakarta : hartomo Media Pustaka, 2013)

16

Mulyasa, E, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, (Bandung, : PT. Remaja
Rosdakarya, 2006)
Muslihah, Eneng Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta; PT. Diadit Media, 2010), hal.
73
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta : PT. Kalam Mulia, 2004).
Sofan Amri, dan Ahmadi, Iif khoiru, Kontruksi Pengembangan pembelajaran;
Pengaruhnya Terhadap Mekanisme dan Praktik Kurikulum, ( Jakarta : PT.
Prestasi Pustaka Publisher, 2010)
Syaodih, Nana, sukmadinata, Pengembangan Kurikulum; Teori dan Praktek,
(Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 2006).
Undang-Undang Sisdiknas No 20 tahun 2003
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nomor 2 tahun 1989, pasal 4.

End Note

1 Zainal Arifin, Konsep dan Model Pengembangan Kurikulum (Bandung; PT. Remaja Rosda Karya, 2011) h.
21.
2 Ibid.
3 Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum ; Teori dan Praktek (Bandung, PT. Remaja Rosda
Karya, 2006). Hal.v.
4 Sofan Amri dan Iif Khoiru Ahmadi, Kontruksi Pengembangan Pembelajaran; Pengaruhnya Terhadap
Mekanisme dan Praktik Kurikulum (Jakarta; PT. Prestasi Pustaka Publisher, 2010), hal 61-62.
5 Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam; di Sekolah, Madrasah dan Perguruan
Tinggi, (Jakarta; PT. Raja Grafindo Persada, 2005), hal.1.
6 M. Ahmad, dkk. Pengembangan Kurikulum, (Bandung; PT. Pustaka Setia, 1989) hal. 9
7 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta; PT. Kalam Mulia, 2004), hal. 128.
8 Muhaimin, op.cit, hal 1.
9 E. Mulyasa, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, (Bandung; PT. Remaja Rosda Karya, 2006), hal. 46.
10 Oemar Hamalik, Dasar-dasar Pengembangan Kurikulum, (Bandung; PT. Remaja Rosda Karya, 2007), hal.
3.
11 Ibid, hal. 4.
12 Ibid, hal.5.
13 Muhaimin, Op.cit. hal.2.
14 Oemar Hamalik, Manajemen Pengembangan Kurikulum, (Bandung, PT. Remaja Rosda Karya, 2006) hal.
91.
15 Muhaimin dan Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam; Kajian Filosofis dan Kerangka Dasar
Operasionalisasinya, (Bandung; PT Trigenda Karya, 1993) hal. 185.
16 Hasan Langgulung, Asas-asas Pendidikan Islam, (Jakarta; PT. Pustaka al-Husna, 1988), hal. 303.
17 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Op-Cit, hal.131.
18 Ibid, hal. 132.
19 Contoh, tasrif, teladan, pedoman; dipakai untuk menunjukkan gagasan-gagasan sistem pemikiran; bentuk
kasus dan pola pemecahannya. Pius A Partanto, M. Dahlan al-Barry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya; PT. Arkola,
1994), hal. 556.
20 Muhaimin,
21 Ibid. Hal. 11-12
22 Himpunan Peraturan Perundang-undangan, Standar Nasional Pendidikan, Peraturan Pemerintah Nomor
19 Tahun 2005, (Bandung; PT. Fokus Media, 2005), hal. 98.
23 Oemar Hamalik, Dasar-dasar Pengembangan Kurikulum, Op-Cit, hal. 187.
24 Eneng Muslihah, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta; PT. Diadit Media, 2010), hal. 73
25 Depdiknas, Wajib Belajar Pendidikan Dasar 1945-2007, (Jakarta; Depdiknas, 2007). Hal. 2.
26 Lihat Maksum, Madrasah Sejarah dan Perkembangannya (Ciputat; Logos Wacana Ilmu, 1999) hal. 130.
27 Undang-Undang Sistem Pendidikan Nomor 2 tahun 1989, pasal 4.
28 Undang-Undang Sisdiknas No 20 tahun 2003
29 Muhajir, Pergeseran Kurikulum, hal. 151.
30 http://suparlan.com/1554/2014/05/28
31 Ibid.
32 Ibid.
33 Ibid.
34 Muhajir, Pergeseran Kurikulum Madrasah, (Jakarta, Hartomo Media Pustaka, 2013), hal. 51.
35 Bahkan disebut bahwa pengetahuan agamanya hanya 25%, hal ini yang kemudian menjadi pemicu bahwa
MWB tidak memenuhi standar pendidikan Islam, akhirnya MWB pun gulung tikar. Jumhur dan Dana Saputra, Sejarah
Pendidikan di Indonesia Khusus Madrasah, (Bandung; CV. Ilmu, 1976), hal.227.
36 http:www/husnirahim.com, dalam Muhajir, Pergeseran Kurikulum, hal 152.
37 Ali Munhanif dalam Muhajir, hal. 155.
38 http://reyfan13.blog.com/2011/12/17/perbedaan-kurikulum-1984-1994-2004-2006/
39 Op-Cit. Hal. 156.
40 Ibid. Hal. 63
41 Ibid, hal. 76.
42 Syaddad Ahmad Farhan, Analisis terahadap kebijakan perubahan UUSPN no 2 tahun 1989 menjadi UU
SISDIKNAS no 20 tahun 2003 dalam http:www//suarapembaharuan.com
43 Op-Cit, hal.77.
44 Ibid,
45 http://reyfan13.blog.com/2011/12/17/perbedaan-kurikulum-1984-1994-2004-2006/
46 http://suparlan.com/1535/2014/04/14/reorientasi-tujuan-pendidikan-nasional-kita/
47 Ibid.
48 Syaddad Ahmad Farhan, Analisis terahadap kebijakan perubahan UUSPN no 2 tahun 1989 menjadi UU
SISDIKNAS no 20 tahun 2003 dalam http:www//suarapembaharuan.com