KRISIS MIGRAN DI EROPA 2014 2015

Krisis Migran Eropa 2014-2015

Tahun 2014, Eropa mengalami peningkatan signifikan dalam jumlah migran yang
mencoba masuk kawasan Uni Eropa. Bahkan jumlah klaim perlindungan internasional yang
diterima Eropa tahun 2014 mencapai lebih dari 200.000 dan berhasil mengalahkan rekor
tahun 1992 (Park, 2015). Jumlah ini membuat negara-negara Eropa khususnya Italia dan
Yunani kewalahan menangani pengajuan migran tersebut. Tak hanya itu, negara-negara
tersebut juga harus menyelamatkan lebih dari puluhan ribu orang yang terjebak di laut
Mediterania di mana tidak kurang dari 3.279 meninggal dunia sebelum berhasil sampai di
Eropa. Italia sebagai salah satu negara yang mengetahui permasalahan ini kemudian berupaya
menyelamatkan para migran melalui misi Mare Nostrum yang kemudian digantikan dengan
operasi Triton yang disponsori EU sebesar € 120juta untuk melakukan patroli di sepanjang
pantai Italia. Meskipun demikian, jumlah kematian migran di bulan Januari hingga April
2015 masih berkisar lebih dari 1500 orang (Open Society Initiative for Europe, 2015)
sehingga menimbulkan teguran keras dari UNHCR.
Sebenarnya, masalah migrasi dalam agenda politik internasional bukanlah sesuatu
yang asing. Migrasi, dari berbagai definisi, merupakan perpindahan orang dari satu wilayah
ke tempat lain yang jauh untuk selang waktu tertentu (Kok, 1999). Berangkat dari definisi
luas ini kemudian muncul berbagai klasifikasi migran berdasarkan faktor geografis, waktu
tinggal, latar belakang, dan sebagainya yang melahirkan puluhan macam migran. Di antara
puluhan jenis migran berdasarkan klasifikasi Fabio Baggio, penulis hanya akan membahas

migran internasional non-EU yang menjadi pokok permasalahan krisis migran di Eropa 20142015. Migran yang menjadi permasalahan di Eropa dalam 2 tahun terakhir adalah migran
internasional yang berlatar belakang ekonomi (kemiskinan dan pengangguran) dan politik
(perang dan konflik). Sebagian besar pengungsi dari Afrika merupakan economic-migrant ,
yakni migran yang dilatarbelakangi faktor kemiskinan dan pengangguran. Sementara itu,
pengungsi lainnya dari Timur Tengah merupakan asylum seeker /pencari suaka/pengungsi
yang dilatarbelakangi perang dan konflik. Sehingga dalam tulisan ini, konteks migran adalah
migran non-EU yang dilatarbelakangi faktor ekonomi ataupun politik.
Sikap EU terhadap Migran

Regulasi Penanganan Migran oleh Eropa

Semua negara anggota UE telah cukup lama merafitikasi Konvensi Jenewa tahun
1951 tentang Perlindungan Pengungsi. Berkat ratifikasinya, negara anggota EU berkewajiban
menerima setiap pengungsi yang masuk ke dalam teritorinya dan diharamkan memulangkan
kembali pengungsi tersebut. Tidak hanya itu, mereka juga berkewajiban untuk

memperlakukan pengungsi dengan baik melalui fasilitas perlindungan yang layak dan aman.
(European Commission Home Affairs, 2015). Oleh sebab itu kemudian tahun 1999
dibentuklah sebuah Common European Asylum System (CEAS) yang berkewajiban
mengawasi implementasi Konvensi Jenewa 1951 di negara-negara anggota EU sekaligus

menjadi satu pintu kebijakan bersama terhadap pengungsi yang mencari suaka di Eropa.
Misalnya, Common European Asylum System (CEAS) mengatur standar dan prosedur yang
harus dilalui pencari suaka dalam mengajukan permintaan suakanya. Terdapat pula standar
dan prosedur fasilitas bagi pencari suaka dan pengungsi. Sayangnya, standar tersebut masih
belum diterapkan secara optimal oleh kebanyakan negara EU.
Uni Eropa juga terkenal memiliki sistem Dublin dalam mengatasi pencari suaka.
Sistem Dublin mengharuskan setiap pengajuan suaka diproses di negara anggota EU yang
pertama kali disinggahi pencari suaka. Melalui sistem Dublin ini sebenarnya tampak bahwa
EU sedang berusaha melempar tanggung jawab menampung pencari suaka dan pengungsi
kepada salah satu negara anggota, bukannya membaginya bersama. Padahal jika ditinjau
kembali pada prinsip CEAS, pengungsi dan pencari suaka merupakan tanggung jawab semua
negara anggota EU dan bila perlu menjadi tanggung jawab bersama (European Commission
Home Affairs, 2015).1 Akibatnya, ketika 2 tahun terakhir terjadi peningkatan arus pencari
suaka secara masif dan tiba-tiba, Italia dan Yunani yang menjadi destinasi utama para migran
ireguler tersebut kewalahan menangani proses pengajuan suaka. Sementara itu, negara
lainnya tak jarang membantu dengan enggan atau bahkan berpura-pura menutup mata dari
prinsip CEAS.
Praktek Penanganan Migran di Italia

Di lapangan, negara anggota EU, terutama bagian selatan seperti Italia dan Yunani

juga kurang merespon pencari suaka dan pengungsi dengan baik. Seringkali negara tersebut
membiarkan mereka bermukim di tempat yang penuh sesak dan kurang layak untuk
menunggu hasil pengajuan suaka. Adapun klaim suaka itu sendiri diproses sedemikian
lambat. Sementara itu, pengungsi yang sudah mendapatkan klaim juga seringkali tidak
mendapatkan bantuan yang mestinya didapatkan untuk menopang hidup mereka. (Open
Society Initiative for Europe, 2015)
Prosedur penanganan pengungsi dan pencari suaka sendiri berbeda praktiknya pada
setiap negara anggota EU. Pengungsi dan pencari suaka yang merupakan migran ireguler dan
“.. three pillars underpin the development of the CEAS: bringing more harmonization to standards of
protection by further aligning the EU States' asylum legislation; effective and well supported practical
cooperation; increased solidarity and sense of responsibility among EU States, and between the EU and non EU
countries” (European Commission Home Affairs, 2015)
1

tidak berdokumen pada umumnya ditahan terlebih dahulu. Akan tetapi di Italia tidak
demikian. Saat migran tak berdokumen, termasuk pencari suaka dan pengungsi tiba, ada
sebuah reception center yang dijalankan oleh sekelompok kontraktor yang dibiayai negara
yang akan memberikan makanan dan tempat tinggal bagi migran tak berdokumen. Sementara
itu ada SPRAR atau Sistema di protezione per richiedenti asilo e rifugiati yang merupakan
pusat perlindungan bagi pencari suaka dan pengungsi yang bertugas memastikan proses

integrasi dengan penduduk lokal sehingga diberikan sebuah pelatihan kerja dan pelajaran
bahasa. (Trilling, 2015)
Serangkaian proses penanganan pencari suaka dan pengungsi ini berikutnya bahkan
berubah menjadi lahan korupsi bagi setiap orang yang terlibat bahkan pemerintah. Dana
dalam jumlah besar yang mestinya digunakan untuk memberikan fasilitas yang layak bagi
pengungsi dan pencari suaka dinikmati oleh berbagai oknum sehingga fasilitas SPRAR
menjadi tidak layak, tidak ada listrik, bahkan akses perawatan medis sangat sulit (Trilling,
2015).
Xenophobia terhadap Migran dan Sekuritisasi Isu

Negara-negara anggota EU selain Italia dan Yunani tampaknya (hingga Agustus
2015) melihat bahwa penanganan migran yang mencoba masuk ke daratan Eropa melalui
jalur Mediterania Tengah adalah tanggungan negara Eropa bagian selatan, sebagai tempat
pertama kali migran tiba sebagaimana dijelaskan dalam sistem Dublin. Tindakan menghidari
tanggung jawab bersama atas isu migran serta manifestasi penanganan migran yang kurang
memadai menggambarkan bahwa EU memandang migran, utamanya pencari suaka dan
pengungsi sebagai sesuatu yang tidak diharapkan. Dengan kata lain ada sebuah xenophobia.
Migran yang berasal dari negara non-EU dianggap sebagai sebuah ancaman. J. Huysmans
pun telah melihat isu ini sejak lama, ketika menemukan adanya sebuah sekuritisasi dalam isu
migran sejak tahun 1980-an yang merupakan bentuk spillover isu ekonomi dan budaya

menuju isu keamanan. Pada saat Uni Eropa mengembangkan pasar internal (internal market)
dan mempromosikan homogenitas budaya negara-negara anggota, kebijakan EU cenderung
terbuka pada aktor internal dan protektif pada aktor eksternal. Seringkali pula secara tidak
langsung kebijakan EU menguatkan ekspresi welfare chauvinism dan ide homogenitas
budaya. (Huysmans, 2000)
Huysmans menjelaskan, awalnya para imigran di tahun 1950 dan 1960-an banyak
dipekerjakan sebagai buruh karena upahnya yang murah dan fleksibel. Saat itu, permintaan
tenaga kerja murah sangat tinggi sehingga pemerintah bahkan tidak mempedulikan buruh
ilegal sebagai suatu masalah. Namun satu dekade berikutnya, mulai bermunculan retorika

politik bahwa migrasi dapat menganggu kestabilan masyarakat, di sinilah kemudian mulai
muncul xenophobia terhadap migran non-EU. Meskipun demikian, isu buruh migran dari
negara ketiga masih menjadi isu marjinal dalam kebijakan pasar internal.
Xenophobia ini awalnya merupakan kepentingan perorangan yang kemudian

terbantukan oleh peran agen birokrasi yang mendorong adanya sekuritisasi isu migran di
Eropa (Huysmans, 2000). Proses sekuritisasi ini dimulai dari spillover isu pasar internal
menuju isu keamanan dan politik melalui identifikasi efek buruk dari adanya pasar internal.
Ketika seseorang berpikir bahwa internal market akan meningkatkan arus barang dan orang
antar negara anggota, ternyata di sisi lain juga dapat memfasilitasi perpindahan aktivitas

kriminal dan ilegal lebih mudah, seperti teroris, dan pelaku kejahatan internasional. Ide
menghubungkan isu perbatasan, terorisme, kriminalitas dan migrasi menjadi sebuah kesatuan
isu keamanan (security continuum) ini muncul berkat aktor politik dan profesional yang
bekerjasama pada sektor keamanan. Kedua aktor tersebut memiliki pengetahuan dan
kekuasaan untuk mendefinisikan keamanan (Bigo, Police en reseaux. L' experience
europeenee, 1996). Inilah yang disebut para teoris post-modernisme sebagai penguasa yang
membuat adanya power-knowledge nexus. Politikus dan profesional dalam sektor keamanan
Eropa membangun jaringan dan beroperasi pada ranah birokrasi berupaya menanamkan nilai
dan keyakinan pada tiap individu birokrasi bahwa membiarkan barang dan orang dari
eksternal EU secara mudah memasuki kawasan EU akan membawa ancaman baik ekonomi,
stabilitas sosial dan budaya. Konstruksi rangkaian isu keamanan (security continuum) ini
bahkan tidak disangka lebih menekankan pada isu imigrasi dan pencari suaka dimana pencari
suaka dikaitkan dengan isu lainnya seperi terorisme, penyelundupan narkoba.
To an alarming degree decision making in the area of asylum is moving away from
the traditional human rights and humanitarian field of policy-making. It is
increasingly the subject of fora dealing with terrorism, drug trafficking and policing
on the one hand, and with economic streamlining on the other (Rudge, 1989)

Berkat peran para ahli keamanan dan aktifnya birokrasi dalam menyebarkan ide ini,
migrasi kemudian berhasil menjadi isu yang dikaitkan dengan masalah politik dalam konotasi

negatif seperti ancaman terhadap budaya dan identitas, tantangan negara maju dan legitimasi
tatanan politik paska Perang Dingin (Faist, 1994).
(to be continued. Inshaa Allah)