PERASAAN MENJADI KORBAN DALAM SEBUAH KON

PERASAAN MENJADI KORBAN DALAM SEBUAH KONFLIK: BAGAIMANA SENSE OF VICTIMIZATION MEMBENTUK PERSPEKTIF PIHAK-PIHAK YANG TERLIBAT DIDALAM SEBUAH KONFLIK YANG BERULANG

Abstraksi

Konflik adalah sebuah situasi yang sifatnya inheren didalam kehidupan manusia. Namun konflik yang berulang, terlebih yang dipenuhi dengan kekerasan serta kekejaman, akan membuat pihak-pihak yang terlibat didalamnya cenderung rawan untuk mengembangkan perasaan victimization (menjadi korban). Perasaan ini akan membuat mereka mengembangkan perilaku serta pendapat tertentu terhadap pihak yang menjadi lawan mereka didalam konflik tersebut. Ketika mereka terkena sindrom ini, maka hal tersebut akan berpengaruh terhadap banyak hal, dan pada gilirannya juga akan berpengaruh terhadap jalannya konflik serta proses rekonsiliasi yang hendak dicapai. Memahami mengapa perasaan ini bisa timbul, apa manfaat yang diperoleh dari perasaan tersebut baik secara individu maupun secara kolektif, serta bagaimana sindrom ini membentuk perspektif pihak-pihak yang terlibat didalam konflik yang berulang akan membantu dalam menentukan langkah apa yang sebaiknya ditempuh dan bagaimana untuk mengelola perasaan tersebut agar mampu bermanfaat bagi manajemen konflik yang sedang terjadi maupun bagi proses rekonsiliasi yang akan ditempuh.

Keyword: konflik, victimization, sense of victimhood, intractable conflict.

Sudah menjadi sebuah hal yang lazim bahwa didalam sebuah konflik berulang (inctractable conflict) yang dipenuhi oleh tindak kekerasan serta kekejaman, paling tidak salah satu pihak yang terlibat didalamnya akan mempercayai argumentasi bahwa mereka adalah pihak korban. Tema ini berkembang dengan baik pada konflik antar kelompok yang berulang, yang menjadi sebuah bagian tidak terpisahkan dari narasi yang disebarkan diantara anggota kelompok tersebut. Narasi ini menyusun ingatan kolektif mereka menyangkut konflik dan etos konflik tersebut, yang menyebutkan bahwa anggota kelompok lawan senantiasa ingin menimbulkan ketidak-adilan serta selalu bertindak kejam terhadap mereka. Berulangnya tema ini bukanlah sesuatu yang aneh, terlebih ketika melihat kenyataan bahwa kelompok sosial atau masyarakat yang terlibat didalam intractable conflict ini kerap kali mempercayai bahwa tujuan mereka pada konflik tersebut dapat dibenarkan, sehingga mereka memandang diri mereka dengan pandangan yang sangat positif, namun pada saat yang sama melakukan delegitimisasi pada kelompok yang menjadi lawannya. Perasaan kolektif ini pada gilirannya mempunyai efek penting pada cara kelompok atau masyarakat tersebut mengatur jalannya konflik, mendekati proses perdamaian, dan pada akhirnya melakukan rekonsiliasi. Didalam banyak kasus, perasaan tersebut seringkali berfungsi sebagai faktor yang memupuk keberlangsungan konflik dan sekaligus sebagai penghambat proses perdamaian. Melihat betapa krusialnya perasaan ini, maka amatlah penting untuk memperjelas sifat alamiah dari perasaan collective victimhood (perasaan menjadi korban yang dialami oleh sekelompok orang) ini, permulaannya, fungsi, serta konsekuensinya. Mengetahui perasaan ini adalah unsur yang penting dalam upaya untuk memahami perilaku anggota kelompok sosial didalam masyarakat, dalam hubungannya dengan rivalnya, dan sekaligus dalam hubungannya dengan komunitas internasional.

Ada beragam situasi yang dapat menyebabkan seseorang, baik sebagai individu maupun sebagai anggota kolektif, untuk memiliki perasaan menjadi korban ini. Tampaknya perasaan ini menjabarkan beberapa kondisi psikologis dari pikiran yang melibatkan kepercayaan, sikap, emosi, dan kecenderungan berperilaku. Dengan demikian, ini adalah sebuah kondisi dimana kekerasan atau bahaya yang dialami, dan konsekuensi jangka panjangnya, kemudian menjadi “elemen atau bagian didalam kepribadian korbannya”. Hal ini juga menjadi salah satu penyebab timbulnya sindrom victim mentality atau mentalitas korban.

Dari sudut pandang individu, beberapa peneliti kemudian mendefinisikan victimization (proses korbanisasi) dengan memusatkan pada kejadian-kejadian yang telah dialami. Aquno dan Byron merujuk kepada persepsi diri dari individual sebagai seseorang yang telah menjadi sasaran, baik pada saat tertentu maupun sepanjang waktu, terhadap tindakan membahayakan yang berasal dari seseorang atau lebih. Adapun secara umum, korban adalah siapapun yang mengalami kecelakaan, kehilangan, ketidak-beruntungan, sebagai hasil dari sebuah ataupun serangkaian peristiwa.

Kita dapat melihat beberapa elemen yang timbul sebagai akibat dari kejadian yang membahayakan tersebut, antara lain yang dapat diamati adalah perasaan ketidak-berdayaan dan rasa mengasihani diri sendiri, rendahnya kepercayaan diri, merasa tidak memiliki harapan, merasa bersalah, kehilangan kepercayaan, makna dan privasi, absennya rasa akuntabilitas, kecenderungan untuk menyalahkan, dan keyakinan bahwa insiden yang terjadi tersebut berada diluar kendali dan pilihan orang tersebut. Berulangnya pengalaman victimization juga dapat memicu pola pengulangan sikap dan siklus kekerasan yang berlanjut.

Pendekatan lain menyatakan bahwa diperlukan serangkaian kondisi untuk kemunculan perasaan “menjadi korban” ini. Individu akan menganggap diri mereka sebagai korban apabila mereka mempercayai bahwa:

  1. Mereka memperoleh ancaman atau tindakan yang membahayakan diri mereka

  2. Mereka tidak bertanggung-jawab atas terjadinya tindakan tersebut

  3. Mereka tidak dapat mencegah terjadinya tindakan tersebut

  4. Mereka benar secara moral, dan menderita atas ketidak-adilan yang terjadi atas dirinya

  5. Mereka berhak mendapatkan rasa simpati1.

Kondisi terakhir ini menambah aspek krusial terhadap definisi tersebut. Hal tersebut menunjukkan bahwa sekedar pernah mengalami kejadian yang membahayakan saja tidaklah cukup untuk kemunculan perasaan ini. Agar perasaan tersebut dapat muncul, perlu adanya keyakinan didalam diri bahwa hal tersebut tidak pantas dialami, tidak adil dan amoral, serta merupakan sebuah tindakan yang tidak dapat dicegah terjadinya oleh korbannya. Kebutuhan untuk memperoleh empati kemudian pada gilirannya akan timbul.

Sebagai tambahan terhadap definisi yang berbeda, beragam penjelasan terhadap analisa korbanisasi atau victimization ini telah muncul. Sebagai contoh, ada yang mengajukan proposisi bahwa ide korbanisasi ini mengasumsikan ada hak individu atau kelompok tertentu yang dilanggar, baik hak konkrit seperti hak untuk memperoleh tempat tinggal atau makanan misalnya, maupun hak yang sifatnya lebih abstrak seperti hak untuk memperoleh kebahagiaan, ruang hidup, determinasi diri, ataupun kebebasan mengekspresikan identitas. Perbedaan ini mengarah kepada pengelompokan lain yang menyarankan bahwa beberapa korban mengalami pelanggaran hak yang sifatnya tangible atau nyata (perampasan hak milik, kekerasan fisik, pembunuhan, dll), dan ada pula beberapa korban yang dipengaruhi oleh pengalaman yang sifatnya intagible atau tidak tampak, seperti misalnya trauma psikologis, hilangnya rasa aman, dan lain sebagainya

Dengan demikian, proses korbanisasi ini bukan hanya peristiwa yang bersifat obyektif, namun dapat pula didasarkan pada pengalaman subyektif, yaitu ketika beberapa orang kemudian menggambarkan diri mereka sebagai “korban” didalam keadaan yang dianggap oleh orang lain sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari mereka (merupakan sebuah hal yang masih berada didalam batas kewajaran). Perlu pula untuk dicatat bahwa individu dapat mengalami kondisi berbahaya ini baik secara langsung maupun tidak langsung. Dengan kata lain, mereka dapat menderita secara fisik maupun secara psikologis akibat kondisi yang mengancam tersebut, baik secara langsung ataupun dengan dikaitkan kepada individu lain yang menjadi korban, yang kemudian menimbulkan perasaan victimization secara tidak langsung.

Terdapat asumsi bahwa pendekatan paling praktis untuk memahami perasaan ini adalah dengan memusatkan pada persepsi individu mengenai pengalaman tidak menyenangkan mereka. Dapat dikatakan bahwa perasaan menjadi korban adalah sebuah kondisi psikologis dari seorang individu yang memandang dirinya sebagai seorang korban, merasa sebagai korban, ataupun memegang “keyakinan sebagai korban”. Namun kemudian timbul pertanyaan, apakah perasaan ini didasarkan hanya pada persepsi diri saja. Oleh sebab itu, sejumlah ilmuwan menambahkan perspektif lain dalam analisis tersebut, yaitu pandangan lingkungan sosial. Terdapat konstruksi sosial pada perasaan victimhood yang mendefinisikan karakteristik “korban”, mengarahkan mereka dan kelompok sosial mereka menjadi korban, kemudian membenarkan label korban tersebut. Ketika legitimasi ini berlangsung, maka individu-individu sering kali akan melakukan usaha untuk menjaga perasaan tersebut sepanjang waktu. Dalam hal ini, patut dicatat bahwa merujuk perasaan ‘menjadi korban’ atau victimhood sebagai sebuah konstruksi sosial memungkinkan terjadi variasi kultur dalam pendefinisian korban menurut konteks sosial-politik yang berbeda. Proses korbanisasi terjadi didalam konteks hubungan dan didalam lingkungan atau kebudayaan tertentu, oleh karenanya perilaku tiap partisipan harus dipahami didalam kerangka hubungan dan konteks sosial, politik, ekonomi, maupun hukum.

Perasaan victimhood memiliki tiga dasar atau landasan. Yang pertama, ia berakar pada kesadaran tentang adanya bahaya yang dialami, baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Yang kedua, persepsi personal tidaklah memadai. “Korban” adalah juga merupakan label sosial, dengan kata lain hasil sebuah pengenalan sosial terhadap sebuah tindakan yang dipandang sebagai ancaman yang tidak dibenarkan. Yang terakhir, sekali seorang individu memandang dirinya sebagai korban, maka mereka seringkali berusaha untuk menjaga keberlangsungan status ini.

Sebagai konsekuensinya, kita kemudian dapat melihat proses victimization sebagai proses dinamika sosial yang terbagi menjadi beberapa tahapan sekuensial yang berujung kepada diberikannya status korban kepada satu individu atau kelompok. Sebagai contohnya, menurut pendekatan Interaksi Simbolik, individu ataupun kelompok dapat dikenali sebagai korban melalui proses sosial. Proses ini membutuhkan adanya pengalaman tindakan mengancam dan adanya rasa menderita, kemudian adanya proses penghilangan tanggung jawab diri terhadap penderitaan tersebut, penentuan sebab terjadinya tindakan tersebut, serta spesifikasi dari alasan dan perilaku yang diharapkan.

Viano2 menyarankan 4 tahapan pelengkap dalam sebuah proses victimization:

  1. Individu mengalami ancaman, cedera atau penderitaan yang disebabkan oleh orang atau institusi lain.

  2. Beberapa dari mereka memandang ancaman tersebut sebagai sesuatu yang tidak pantas, tidak adil, dan hal ini mengarahkan mereka untuk memandang diri mereka sebagai korban.

  3. Beberapa dari mereka yang memandang diri mereka sebagai korban, kemudian berusaha untuk memperoleh pengesahan secara sosial dengan cara membujuk yang lainnya (entah itu keluarga, teman, otoritas yang berwenang, dll) untuk mengenali bahwa telah terjadi kondisi yang memgancam, dan mereka adalah korbannya.

  4. Beberapa dari mereka yang mendeklarasikan bahwa diri mereka telah mengalami proses victimization dan menerima pengesahan eksternal pada klaim mereka ini, kemudian menjadi “korban resmi” (sebagai hasilnya, mereka dapat menerima kompensasi dan dukungan, baik secara sosial ataupun institusional).

Serupa dengan hal tersebut, Strobl3 mengusulkan 5 kriteria minimum yang dibutuhkan untuk dapat memenuhi status sebagai korban:

  1. Adanya kejadian ancaman yang dapat diidentifikasi

  2. Adanya evaluasi negatif

  3. Dipandang sebagai sebuah kejadian yang tidak dapat dikendalikan

  4. Atribusinya terhadap pelanggar individu maupun sosial

  5. Pertimbangannya sebagai pelanggaran terhadap norma yang diberlakukan secara sosial.

Seperti halnya pengalaman seseorang terhadap perasaan menjadi korban dikarenakan pengalaman individu tersebut, maka kelompok kolektif seperti misalnya kelompok etnis dan keagamaan dapat pula mengalami perasaan tersebut. Hal ini bisa diakibatkan dari pengalaman berbahaya yang dialami oleh satu atau beberapa anggotanya yang disebabkan karena keanggotaan mereka pada kelompok tersebut, bahkan meskipun anggota lainnya tidak mengalaminya (mis. mengalami pelecehan verbal karena menggunakan atribut keagamaan tertentu, dsb). Grup atau kelompok ini dapat mengalami proses korbanisasi kolektif yang serupa dengan korbanisasi individu, yang tidak didasarkan hanya pada pengalaman obyektif namun juga berdasarkan pada konstruksi sosial. Ini berarti pada tingkatan kolektif dari proses korbanisasi, anggota kelompok memegang kepercayaan bersama mengenai proses victimization in-group (korbanisasi yang dialami oleh anggota kelompok mereka). Saling berbagi kepercayaan ini merefleksikan adanya perasaan victimhood kolektif.

Ancaman yang timbul ini harus dipandang sebagai sesuatu yang ditujukan langsung kepada kelompok, atau terhadap anggota kelompok yang disebabkan oleh keanggotaan mereka pada kelompok tersebut. Anggota kelompok mengalami perasaan ini pada basis identifikasi mereka dengan kelompok mereka. Sebuah tindakan yang dilakukan dengan tujuan untuk membahayakan baik kelompok secara keseluruhan, maupun kepada beberapa anggotanya, juga mempengaruhi proses berpikir serta perasaan anggota kelompok lain yang tidak mengalami ancaman secara langsung. Mereka akan memandang ancaman ini ditujukan terhadap mereka dikarenakan identifikasi mereka atau keterikatan dengan individu yang menjadi ‘sebab’ pada kelompok serta kekhawatiran mereka terhadap keberlangsungan mereka.

Sebuah teori psikologi sosial mengenai kategorisasi diri yang diusulkan oleh Turner dan koleganya4 tampaknya relevan dalam mendiskusikan hubungan diantara anggota kelompok (sosial). Adanya nilai-nilai yang dianut bersama adalah salah satu elemen didalam formasi kelompok dan merupakan ekspresi umum dari identitas sosial, semenjak keyakinan dengan konten tertentu adalah tipikal purwarupa yang mendefinisikan sebuah kelompok. Individu-individu yang menyatakan diri mereka sebagai bagian dari anggota kelompok kemudian memperoleh nilai-nilai ini melalui proses depersonalization atau peleburan diri sebagai bagian dari formasi identitas sosial mereka. Mereka selanjutnya melakukan proses adopsi beragam nilai-nilai, perilaku, dan emosi berdasarkan basis pengalaman kelompok mereka. Pada perspektif ini, terdapat indikasi jelas bahwa anggota kelompok mengalami empati mendalam ketika mereka menyaksikan atau menerima informasi mengenai kesengsaraan atau penderitaan yang dialami oleh kompatriot atau rekan mereka. Ini adalah mekanisme psikologis penting yang mendasari perkembangan perasaan victimhood kolektif diantara anggota kelompok yang tidak mengalami hal tersebut secara langsung. Sebuah studi yang dilakukan oleh Cairns, Mallet, Lewis dan Wilson5 mengungkapkan bahwa mayoritas dari penganut Katolik dan Protestan di Irlandia Utara, meskipun tidak mengalami konflik secara langsung, kemudian melabeli diri mereka sebagai korban pada konflik yang berlangsung, disebabkan adanya anggota kelompok mereka (sesama penganut agama Katolik atau Protestan) yang menderita akibat konflik tersebut. Oleh karenanya, perasaan self-perceived collective victimhood didasarkan sekaligus direfleksikan pada persebaran nilai-nilai, sikap, dan emosi sosial, dimana hal ini menyediakan satu landasan pada sistem sosial. Nilai-nilai sosial yang dianut bersama, seperti keyakinan mengenai adanya victimhood, berfungsi sebagai basis untuk konstruksi dari realitas bersama, kultur, identitas, komunikasi, kesatuan, solidaritas, penetapan tujuan, aktifitas koordinasi, dan seterusnya. Lebih lanjut lagi, masyarakat bisa memilih untuk menginternalisasikan ancaman yang dialami pada masa lampau, dan kemudian “mengubah atau mentransformasikannya kedalam narasi kultural yang lebih kuat, yang kemudian menjadi bagian integral dari identitas sosial”. Dan pada akhirnya, perasaan victimhood kolektif kemudian menjadi prisma yang digunakan oleh kelompok sosial dalam memproses informasi dan membuat keputusan.

Sebuah aspek penting dari perasaan victimhood kolektif adalah bahwa sebuah kelompok dapat mengalami perasaan tersebut pada masa kini sebagai akibat dari situasi ancaman yang dialami pada masa lampau, seperti yang dicatat oleh Staub dan Bar-Tal6, dimana “kelompok-kelompok menyandikan pengalaman penting, khususnya kesengsaraan yang mendalam, didalam ingatan kolektif yang dapat menjaga perasaan “keterlukaan dan ketidak-adilan masa lampau yang terjadi bergenerasi-generasi lalu”. Penyandian ini memenuhi beragam fungsi, seperti yang diyakini oleh Liu dan Liu7, karena kebudayaan membentuk memori kolektif mereka menurut “keterjangkauan sejarah”. Maknanya adalah bahwa mereka melestarikan narasi-narasi tersebut yang dapat memiliki fungsi didalam kehidupan berkelompok. Itulah sebabnya ingatan kolektif kemudian tertanam didalam konteks sosial-politik-budaya tertentu, yang kemudian mencetak pemaknaannya. Commerton merujuk bahwa ‘pengalaman kita mengenai masa kini sebagian besarnya bergantung kepada pengetahuan kita mengenai masa lampau. Kita mengalami dunia masa kini kita didalam konteks yang diakibatkan oleh hubungan dengan peristiwa dan obyek yang terletak dimasa silam”8. Keterikatan dengan memori ini, bahkan setelah efeknya telah berhenti, dapat dijelaskan oleh fungsi yang dipenuhi melalui perasaan victimhood kolektif ini. Perasaan ini membuat kelompok kemudian menjadi waspada terhadap kemungkinan terjadinya trauma yang sama dan meningkatkan sensitifitas dalam mengenali petunjuk-petunjuk yang mengarah pada trauma tersebut.

Terlepas dari konsekuensi menjadi korban yang cukup jelas, posisi sebagai korban juga merupakan posisi yang berkuasa, sebab posisi tersebut acapkali dipandang superior secara moral, berhak memperoleh simpati dan pertimbangan, serta terlindungi dari kritikan. Sebagai hasilnya, sebuah kelompok dapat mengolah atau melakukan kultivasi pada gambaran sebagai korban ini, dan menyematkannya didalam kultur atau kebudayaan mereka. Kelompok-kelompok sosial dapat memelihara perasaan victimhood kolektif sebagai hasil dari beragam pengalaman traumatis, seperti misalnya kolonialisasi, pendudukan, tindak kekerasan yang berlanjut, peperangan atau ekploitasi, diskriminasi berkepanjangan, dan atau genosida, yang seringkali terjadi didalam kerangka konflik kekerasan yang ganas. Sebagai contohnya, Serbia memelihara perasaan victimhood kolektif ini dengan menggunakan pengalaman kekerasan masa silam mereka. Perasaan ini tampak jelas pada deklarasi yang dikeluarkan pada bulan April 1997 oleh beberapa kelompok pendeta, intelektual, dan artis, yang menggambarkan bahwa “Sejarah Tanah Serbia... penuh dengan contoh genosida terhadap etnis Serbia dan eksodus dimana mereka kemudian terekspos. Proses pemusnahan etnis Serbia melalui cara-cara yang sangat beragam dan brutal telah berlanjut.. namun demikian, mereka selalu berjuang sendiri untuk kelangsungan kehidupan, spiritualitas, kebudayaan, dan keyakinan demokratis mereka.”9

Serupa dengan ini, Polandia juga menderita dibawah berbagai dominasi imperial oleh Prussia, Rusia, dan Austria dalam sejarahnya, dan oleh karenanya “sebuah mitos romantik timbul, yang menyematkan kepada negara Polandia ini sebuah peran mesianik sebagai “Christ of Nation” atau “Kristus Negara-negara” dan juga “Golgotha Baru”10. Melalui penderitaannya, Polandia sebagai korban tidak bersalah, menebus dosa-dosa yang dilakukan oleh negara-negara lain, dan oleh karenanya mereka kemudian berutang kepadanya. Potret diri Polandia sebagai korban tidak bersalah dari agresi yang dilakukan oleh negara-negara tetangga mereka yang kuat telah bertahan selama berabad-abad hingga hari ini, dan memiliki dampak terhadap hubungannya dengan Jerman dan Rusia. Di Indonesia, konsep yang serupa terlihat pada doktrin komunisme sebagai musuh bersama, yang dibangun pada landasan sejarah kejadian 30 September 1965. PKI (Partai Komunis Indonesia) dicap sebagai sebuah monster yang menggunakan cara-cara yang kejam dalam upaya untuk melakukan kudeta, antara lain dengan menyiksa dan membunuh jenderal-jenderal yang dipandang tidak sejalan dengan tujuan mereka. Meskipun kelak terbukti bahwa kejadian tersebut banyak yang merupakan rekayasa, namun ingatan kolektif masyakat dipelihara dengan sangat baik sehingga isu komunisme kini menjadi senjata yang ampuh untuk digunakan dalam kepentingan politik tertentu di Indonesia.

Volkan11 berargumen bahwa kelompok-kelompok kolektif dapat melekatkan diri pada pengalaman kekerasan kolektif atau kehilangan tertentu dimana para penyintasnya tidak mampu untuk berkabung atasnya, dan menyimpannya didalam ingatan kelompok. Ia menyarankan bahwa ‘jika keadaan historis tidak memungkinkan bagi generasi baru untuk membalikkan perasaan ketidak-berdayaan masa lampaunya, maka representasi mental dari bencana yang kemudian disebarkan ke anggota kelompok tersebut tetap mengikat anggota kelompok tersebut secara bersama-sama”12. Namun alih-alih menaikkan kepercayaan diri kelompok, gambaran mental dari peristiwa tersebut menghubungkan orang melalui perasaan ketidak-berdayaan yang berkelanjutan, seakan-akan keseluruhan anggota kelompok tersebut berada dalam keadaan sebagai korban. Pengalaman ini dipandang sebagai ‘trauma pilihan’ dan mengarah kepada fokus kolektif pada pengalaman victimization masa lalu kelompok tersebut, hingga ke titik dimana keseluruhan identitas anggota kelompok dapat berpusat pada hal tersebut13. Hal it kemudian dipelihara didalam kebudayaan dan diwariskan ke generasi berikutnya. Contoh-contoh dari ‘trauma terpilih’ ini dapat dilihat misalnya pada kekalahan Serbia dari Turki pada Perang Kosovo 1389, pembantaian Nanking 1937, holocaust PD II, dan Nakba atau eksodus warga Palestina pada perang 1948. Tiap peristiwa yang memiliki signifikansi sosial yang besar ini kemudian disimpan didalam ingatan, diperingati, dan digunakan untuk beragam kepentingan dalam berbagai cara yang berbeda untuk menyediakan pelajaran penting bagi kelompok yang terlibat didalamnya, kadang bahkan digunakan untuk membenarkan kekerasan yang dilakukan terhadap kelompok lain.

Dapat diasumsikan bahwa kelompok yang fokus pada ingatan kolektif mereka tentang menjadi korban dan memandang diri mereka sebagai korban lebih cenderung untuk memandang diri mereka sebagai korban pada situasi baru dimana mereka kemudian mengalami bahaya atau kemalangan. Kelompok masyarakat ini sangat sensitif terhadap petunjuk-petunjuk maupun kondisi-kondisi tertentu, dan cenderung akan selalu menggunakan skema inheren victimhood mereka untuk diaplikasikan pada situasi yang baru. Sebagai contohnya, ada etnis Serbia yang memandang diri mereka sebagai korban pada perang yang berlangsung di bekas Yugoslavia ini pada era 1990’an, sebagian dikarenakan ingatan kolektif mereka pada Perang Kosovo yang terjadi 600 tahun silam, namun ada juga karena peristiwa traumatis PD II dimana ratusan ribu etnis Serbia dibantai dan lainnya dikirim ke kamp konsentrasi. Pengulangan traumatis dan eksploitasi ketakutan serta kebencian kuno, sebagaimana halnya penekanan yang diletakkan pada proses victimization dari orang Serbia dimasa lalu dapat berpengaruh pada nasionalisme yang kemudian menimbulkan perang, aksi pembalasan, pembunuhan massal, serta pembersihan etnis di negara bekas Yugoslavia tersebut14.

Perasaan swa-persepsi terhadap adanya korbanisasi/victimhood kolektif dapat dimaknai sebagai sebuah kerangka-pikir yang disebarkan ke antara anggota kelompok yang berasal dari adanya ancaman yang dianggap sebagai sesuatu yang disengaja dengan konsekuensi yang parah dan berkelanjutan, yang ditimpakan kepada kelompoknya oleh kelompok atau kelompok-kelompok lain, dimana ancaman tersebut dipandang sebagai sesuatu yang tidak pantas diterima, tidak adil dan amoral, dan merupakan sesuatu yang tidak dapat dicegah oleh kelompok yang menjadi korban. Kerangka pikir ini muncul sebagai akibat dari konstruksi kognitif dari situasi dimana ancaman tersebut timbul. Ancaman yang dirasakan tersebut dapat terjadi pada masa kini, namun dapat juga terjadi pada masa lampau (termasuk ancaman masa silam yang dipelihara didalam ingatan kolektif). Hal tersebut dapat saja memang nyata, atau sebagiannya hanya berupa bayangan, namun biasanya hal tersebut didasarkan pada peristiwa yang sudah pernah dialami. Skalanya dapat besar sebagai hasil dari peristiwa satu-kali (seperti contohnya kekalahan pada perang, pertempuran, genosida, atau pembersihan etnis) atau pada perlakuan jangka-panjang yang dialami oleh kelompok tersebut (misalnya perbudakan, eksploitasi, diskriminasi, atau pendudukan/occupation).

Gejala-gejala dari victimization

Ketika sebuah kelompok mengembangkan perasaan korbanisasi ini, maka perasaan tersebut akan terdiri dari kepercayaan, perilaku, emosi dan kecenderungan perilaku. Kepercayaan, sebagai hal yang pertama, akan memusatkan individu pada berbagai jenis ancaman, seperti misalnya kehilangan (materi), pengrusakan, penderitaan, penundukan, penghinaan, atau kekejaman, yang dipandang sebagai sesuatu yang tidak dapat dikontrol maupun dihindari dan diakibatkan oleh pihak (kelompok) lain. Mereka akan menegaskan bahwa ancaman tersebut merupakan sesuatu yang tidak pantas dan tidak adil, dan sebagai sesuatu yang tidak bermoral karena dimata anggota kelompok tersebut melanggar nilai-nilai dan kode etik moral dasar yang mengatur perilaku manusia. Anggota kelompoknya meletakkan tanggung jawab atas terjadinya kekerasan tersebut pada kelompok lain. Mereka berpusat pada kesengsaraan dari kelompok dan anggotanya, terkait dengan durasi dan keberlanjutan dari pengalaman ancaman tersebut, kondisi disekitarnya, dan hasil konsekuensinya yang parah untuk kemudian menekankan pada statusnya sebagai korban, kewajiban dari pelaku tindakan tersebut dan kewajiban komunitas internasional. Keyakinan selanjutnya kemudian berfokus pada hak mereka untuk memperoleh permohonan maaf, kompensasi, atau hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku tindakan tersebut, dan hak mereka atas empati, dukungan serta bantuan dari komunitas internasional. Sikap ini memperlihatkan perasaan negatif terhadap para pelaku dan terhadap mereka yang tidak mengakui atau mengenali status mereka sebagai korban, adapun perasaan positif kemudian ditujukan kepada mereka yang berempati, mendukung, ataupun membantu kelompoknya. Secara emosional, perasaan menjadi korban ini biasanya diasosiasikan dengan kemarahan, ketakutan, serta perasaan mengasihani diri. Yang terakhir, perasaan ini mengarah pada beragam tujuan perilaku seperti keinginan untuk mencegah ancaman ini di masa datang, serta untuk membalas tindakan yang sudah terjadi. Kepercayaan, sikap, emosi, dan kecenderungan perilaku dapat saja menjadi bagian yang dominan dari pengulangan yang dilakukan secara kolektif, diasimilasikan kedalam ingatan kolektif dimana hal itu kemudian dipelihara, dielaborasi, dan dibangkitkan kembali secara berkala. Pada saat itulah kemudian ia dapat dilabeli sebagai sebuah sindrom.

Proses korbanisasi kolektif (collective victimization)

Sejauh ini yang diterima secara umum adalah pandangan yang menyatakan bahwa didalam kasus individual, perasaan korban kolektif ini berkembang secara progresif. Satu atau serangkaian tindakan yang dilakukan oleh kelompok lain hanyalah fase pertama dari perkembangannya tersebut, dimana pada akhirnya pola perilaku tersebut kemudian dipandang sebagai ‘membahayakan’. Penilaiannya dapat dilakukan secara langsung, menyusul sebuah peristiwa tertentu atau melalui proses panjang penyadaran diri yang seringkali muncul pada situasi dimana terjadi diskriminasi kolektif, opresi, ataupun eksploitasi. Tetap saja, penilaian ancaman itu harus disertai dengan penilaian bahwa tindakan ancaman tersebut memang tidak adil, tidak pantas dilakukan, tidak dapat dihindari maupun dikendalikan oleh kelompok korban. Sekali suatu kelompok memandang diri sebagai korban, maka ia akan membuat usaha aktif untuk meyakinkan kelompok lain serta komunitas internasional akan kebenaran klaimnya tersebut. Akan tetapi, berbeda dengan kasus individual dimana mereka membutuhkan pengakuan oleh lingkungan sosialnya, pengakuan oleh komunitas internasional sendiri bukanlah sebuah kondisi yang diperlukan untuk kebangkitan serta penguatan collective sense of victimhood ini. Sebuah kelompok bisa saja tetap memandang dirinya sebagai korban, meskipun komunitas internasional tidak mengakuinya, atau bahkan justru memandang mereka sebagai pelakunya.

Sense of victimhood pada konflik yang berulang (intractable conflict)

Sense of collective victimhood muncul sebagai tema besar pada etos konflik15 dari masyarakat yang terlibat didalam konflik yang berulang, dan merupakan bagian fundamental dari ingatan kolektif. Etos dan ingatan kolektif dari konflik adalah bagian dari infra-struktur sosio-psikologis dan menyediakan konten bagi kultur konflik yang berevolusi untuk memenuhi tantangan konflik tersebut. Nilai-nilai sosial dari hal ini menggambarkan kelompok sendiri sebagai korban dari lawannya. Pusat dari nilai-nilai ini adalah ketidak-adilan, perbuatan jahat, serta kekejaman yang dilakukan oleh lawannya. Pandangan ini dibentuk melalui periode panjang kekerasan sebagai hasil dari penderitaan dan kehilangan yang dialami oleh masyarakat atau kelompok. Semakin lama dan semakin seringnya sebuah kelompok mengalami ancaman (khususnya yang menelan korban jiwa) pada sebuah konflik, dan semakin intensif serta ekstensifnya pandangan bahwa tindakan tersebut merupakan sesuatu yang tidak adil dan tidak pantas, maka semakin lazim dan berurat-akar perasaan kolektif ‘menjadi korban’ ini, hingga pada tataran level kenegaraan, seperti perkataan berikut: ‘The killing fields of national ethnic conflicts, the graves of the fallen, are the building blocks of which modern nations are made, out of which the fabric of national sentiment grows.’16

Perasaan kolektif ini juga tidak terkait dengan kekuatan ataupun besarnya jumlah anggota kelompok yang terlibat didalam konflik tersebut. Kumpulan atau kelompok yang kuat pada segi militer, politik, maupun ekonomi, juga seringkali mempersepsikan diri sebagai korban maupun korban potensial pada sebuah konflik. Hal ini tidak selalu mengindikasikan kelemahan. Justru sebaliknya, ini menyediakan kekuatan vis-à-vis di komunitas internasional yang memiliki kecenderungan untuk mendukung pihak yang menjadi korban pada sebuah konflik, dan juga membantu memberi semangat bagi anggota-anggota kelompoknya untuk melakukan tindakan balas dendam serta menghukum lawannya. Hal seperti ini sering terjadi pada misalnya kubu Rusia di konflik Chechnya, pihak Amerika pada perang Vietnam, Israel pada konflik Israel-Palestina, Turki pada konflik mereka dengan suku Kurdi, dan sebagainya. Perasaan ini adalah akibat dari konteks permusuhan dan tatanan sosial-psikologis yang menemaninya. Kekerasan, kehilangan dan penderitaan tak terhindarkan, beserta dengan framingnya didalam etos konflik mengarah kepada kesimpulan yang tak terelakkan bahwa mereka adalah korban didalam konflik tersebut. Susunan dari perasaan tersebut didasarkan pada kepercayaan terhadap kebenaran tujuan sebuah kelompok dan pada gambaran positifnya, sambil menekankan pada kekejian tujuan dan karakteristik lawannya. Dengan kata lain, memusatkan pada ketidak-adilan, kekejaman, kejahatan serta keganasan yang diasosiasikan dengan lawannya, sementara menekankan kelompoknya sebagai pihak yang benar, bermoral dan berperikemanusiaan, yang mengarahkan anggota kelompoknya untuk menampilkan diri sebagai korban. Keyakinan terhadap status korban ini memberi kesan bahwa konflik yang timbul itu disebabkan oleh lawan yang bukan hanya berjuang untuk tujuan yang tidak baik, namun juga menggunakan kekerasan dan cara-cara tidak bermoral untuk mencapainya. Mereka menyediakan insentif moral untuk mencari keadilan dan menentang lawannya, dan sekaligus untuk menggerakkan dukungan moral, politis, maupun material dari komunitas internasional. Bahkan, ketiga etos konflik ini, yaitu kepercayaan masyarakat pada status korban, keadilan pada tujuan kelompoknya sendiri, dan delegitimasi lawannya, akan membentuk segitiga sistem yang menyusun keyakinan inti pada konflik yang berulang. Ketiga tema ini saling menopang dan berkontribusi pada keberlanjutan konflik. Sebagai contohnya dapat kita lihat pada konflik Israel-Palestina, konflik Turki-Siprus, ataupun konflik Tamil-Sinhales di Sri Lanka. Masing-masing kelompok menafsirkan lawannya sebagai penyebab penderitaan mereka, dan memandang kelompok mereka bebas dari tanggung-jawab.

Secara keseluruhan, collective sense of victimhood ini memiliki sejumlah implikasi penting selama terjadinya konflik yang berulang, yaitu:

  1. Ia memposisikan anggota kelompok pada kondisi pola pikir tertentu

  2. Ia menyediakan swa-persepsi diri yang rigid dan awet, yang susah untuk berubah selama konflik itu bertahan, dan kemungkinannya akan berlangsung lebih lama.

  3. Ia ditemani oleh emosi negatif yang intens, seperti kemarahan, ketakutan, atau mengasihani diri.

  4. Ia muncul secara otomatis pada situasi kekerasan, karena adanya emosi terpendam dan kondisi teleologis

  5. Ia berfungsi sebagai sebuah lensa dimana anggota masyarakat mengevaluasi pengalaman mereka, khususnya dalam konteks terkait konflik

  6. Ia menajamkan perbedaan diantara kelompok-kelompok yang terlibat didalam konflik

  7. Ia menekankan bahwa lawan mempunyai potensi berjalan untuk membahayakan, dan oleh karenanya masyarakat atau kelompoknya akan hidup dibawah kondisi ancaman yang berkelanjutan.

  8. Ia memiliki dampak kognitif dan emosional yang juga membantu swa-persepsi kolektif yang memandang kelompoknya sebagai korban, dan:

  9. I a memiliki implikasi perilaku pada masyarakat yang menyarankan bahwa mereka tidak pantas untuk disakiti dan oleh karenanya perlu diambil tindakan untuk mencegah terjadinya ancaman lebih jauh, dan juga menghukum lawannya untuk tindakan yang sudah terjadi. Oleh karena itu, perasaan ini seringkali mengarah pada siklus kekerasan dikarenakan adanya tindakan preventif sekaligus retaliasi.

Collective sense of victimhood memenuhi fungsi utama dalam kelompok atau masyarakat yang terlibat didalam konflik berulang. Fungsi ini perlu dimengerti untuk memahami mengapa kelompok membuat usaha aktif untuk menciptakan dan kemudian memelihara perasaan ini. Fungsi tersebut adalah:

Menyediakan penjelasan

Fungsi pertama kepercayaan terhadap perasaan ini menampilkan fungsi epistemik yaitu untuk menerangkan situasi konflik yang terjadi. Keadaan konflik yang berulang ini sangat mengancam dan disertai dengan stress atau perasaan tertekan, kerapuhan, ketidak-pastian dan rasa takut, serta mengubah cara pandang dunia yang sebelumnya dianut. Dihadapan keadaan yang ambiguistis dan tidak dapat diprediksi, individu mesti memuaskan kebutuhannya untuk mendapatkan pemahaman yang menyeluruh mengenai konflik yang sedang terjadi, yang akan menyediakan sebuah gambaran yang koheren dan dapat diprediksi mengenai keadaan konflik tersebut. Keyakinan sosial mengenai perasaan ini memenuhi keinginan tersebut dan menyediakan informasi serta penjelasan mengenai konflik tersebut, menjelaskan siapa pihak yang bertanggung-jawab pada kekejaman tersebut, siapa yang jahat, dan siapa yang menjadi korban.

Mengatasi stress atau tekanan

Lebih jauh lagi, perasaan menjadi korban ini membantu dalam mengatasi perasaan tertekan yang diciptakan oleh kondisi konflik. Keberhasilan mengatasi tekanan seringkali terdiri dari usaha memberi penjelasan dan menemukan makna pada kondisi tertekan didalam skema maupun cara pandang dunia yang ada, atau memberikan penyesuaian pada cara memandang peristiwa. Perasaan ini menyediakan pemaknaan dan memungkinkan adanya ‘sensemaking’ atau upaya untuk membuat peristiwa tersebut menjadi “masuk akal”.

Menyediakan pembenaran moral

Didalam fungsi moralnya, perasaan ini mendelegasikan tanggung jawab, baik penyebab konflik maupun konsekuensinya yang berupa timbulnya tindak kekerasan kepada lawannya. Kemudian perasaan ini juga menyediakan beban moral untuk mencari keadilan dan menentang lawannya, dan olehnya berfungsi untuk membenarkan serta melegitimasi tindakan berbahaya yang dilakukan oleh kelompoknya sendiri terhadap lawannya tersebut, termasuk kekerasan dan penghancuran.

Pembedaan dan Pengunggulan kelompok sendiri

Perasaan ini menciptakan perasaan pembedaan dan pengunggulan. Ia mempertajam perbedaan antar kelompok, karena selagi perasaan tersebut mendeskripsikan lawannya dalam konteks delegitimasi dan sebagai pihak yang bertanggung-jawab atas ketidak-adilan dan tindakan amoral, ia juga menampilkan kelompoknya sendiri sebagai satu-satunya korban didalam konflik tersebut. Susunannya terpusat pada kekerasan, kekejaman, kurangnya kepedulian pada nyawa manusia, dan kekejian pihak lawan. Ia menggambarkan pihak lawan sebagai tidak berperi-kemanusiaan dan tidak bermoral, sementara konfliknya digambarkan sebagai sesuatu yang tidak rasional, tidak dapat diperbaiki, dimana hal ini akan menyebabkan usaha perdamaian menjadi sesuatu yang tampaknya sia-sia. Kepercayaan ini berdiri bertentangan dengan kepercayaan sosial mengenai gambaran diri positif, yang menampilkan kelompok sendiri dalam terma yang positif dan sebagai korban didalam konflik tersebut.

Persiapan dan “pengebalan” diri

Perasaan menjadi korban juga mempersiapkan kelompok dalam menghadapi tindakan kekerasan maupun ancaman dari pihak musuh, seperti juga dalam menghadapi situasi hidup yang sulit. Ia akan menyelaraskan kelompok dengan informasi yang mengisyaratkan potensi ancaman dan konfrontasi konflik yang berkelanjutan, memungkinkan adanya persiapan psikologis untuk menghadapi konflik yang panjang dan sekaligus sebagai imunisasi atau pengebalan terhadap pengalaman negatif. Kelompok ini kemudian menjadi waspada dan amat sensitif terhadap tanda-tanda ancaman, agar tidak ada kejutan yang dapat tiba-tiba muncul. Dalam konteks ini, daftar atau susunan psikologis juga memungkinkan prediktabilitas ekonomi, yang merupakan satu dari kondisi dasar untuk keberhasilan dalam mengatasi tekanan atau stress.

Solidaritas

Perasaan menjadi korban/victimhood berfungsi sebagai dasar atau basis untuk persatuan dan solidaritas, karena hal ini mengimplikasikan adanya ancaman untuk keberadaan maupun keselamatan kelompok. Ia akan meningkatkan kebutuhan untuk persatuan dan solidaritas, yang merupakan kondisi penting bagi keselamatan ditengah ancaman berkelanjutan yang ditimbulkan oleh lawan kelompoknya. Perasaan kolektif ini dapat bertindak sebagai ‘perekat’ yang mengikat anggota kelompok dalam basis bersama dihadapan kemunculan ancaman maupun ‘trauma terpilih’ masa lalu. Basis untuk persatuan ini telah digunakan oleh beragam kelompok sosial, dimana representasi ini ‘tampaknya mampu mempermudah dalam melampaui hambatan perbedaan etnis maupun kewilayahan’.

Patrotisme dan Mobilisasi

Perasaan ini juga memiliki fungsi memotivasi patriotisme, melakukan mobilisasi dan aksi. Hal ini dimungkinkan karena perasaan ini memusatkan pada kebutuhan keamanan sebagai nilai utama, dan mengindikasikan situasi darurat yang membutuhkan mobilisasi serta pengorbanan yang bersifat krusial guna menangkal ancaman yang timbul. Ia menekankan kebutuhan untuk mengerahkan seluruh usaha serta sumber daya kelompok dalam perjuangannya melawan musuhnya. Perasaan ini juga memerankan peran sentral dalam memunculkan perasaan patriotisme, yang akan mengarah pada kesiapan untuk berbagai pengorbanan demi mempertahankan kelompoknya, sekaligus juga untuk membalas tindak kekerasan yang dilakukan oleh lawannya. Sebagai tambahannya, ia juga akan mengingatkan para anggota kelompok mengenai tindakan kekerasan masa lampau yang dilakukan oleh lawannya, dan mengindikasikan bahwa hal itu dapat terulang. Implikasinya adalah bahwa anggota kelompok harus dikerahkan dalam perspektif ancaman ini dan bahkan mungkin perlu untuk mengambil tindakan keras untuk mencegah kemungkinan timbulnya ancaman maupun untuk membalas yang sudah terjadi sebelumnya. Fungsi ini oleh karenanya esensial demi memenuhi tantangan untuk dapat bersaing dengan lawannya pada konflik tersebut.

Sudah banyak contoh narasi victimhood yang digunakan untuk mendukung kepentingan kelompok tertentu. Di Sri Lanka, narasi ini digunakan oleh kelompok militan untuk merekrut orang-orang Tamil dan mendorong mereka untuk melakukan tindak kekerasan. Seperti pula pidato yang diucapkan oleh PM Israel, Menachem Begin, persis sebelum invasi Israel ke Lebanon pada tahun 1982, ketika ia mengatakan bahwa ‘adalah takdir kita (bahwa) di Israel tidak ada jalan lain selain bertempur... kami tidak akan mengijinkan Treblinka lainnya’. Dengan menyebut kamp pemusnahan terkenal itu, Begin mengaktifkan kepercayaan mengenai collective victimization atau korbanisasi kolektif.

Memperoleh dukungan internasional

Menjadi korban didalam sebuah konflik memungkinkan untuk menghindari kritik dan sekaligus untuk memperoleh dukungan dari komunitas internasional, khususnya ketika kelompok atau grup terkait dianggap sebagai pihak yang lemah, lebih banyak menderita, dan tidak melanggar kode etik internasional mengenai perilaku didalam konflik. Posisi korban tidak dipersalahkan atas pecahnya konflik dan kekerasan yang terjadi didalamnya, sebab merekalah yang menderita akibat kekerasan tidak berdasar yang dilakukan oleh aggresor. Hal ini krusial dalam memperoleh backing dari opini publik didunia dan meningkatkan kemungkinan dukungan moral, politik, serta material. Pada era paska konflik, hal ini akan menempatkan kelompok atau masyarakat pada keuntungan –khususnya bila musuh menerima statusnya – sebagai pihak yang seharusnya mendapatkan dukungan, asistensi, kompensasi, permohonan maaf, dan seterusnya.

Competitive Victimhood atau persaingan memperebutkan status korban

Seperti telah disebutkan sebelumnya, bahwa ‘status korban menyebabkan korban dinilai pantas untuk menerima simpati, dukungan, serta dukungan luar’. Korban menurut pemahamannya bersifat rapuh, dan setiap tindak kekerasan yang dilakukan oleh mereka dapat disusun sebagai konsekuensi dari proses korbanisasi (victimization) mereka. Penyematan status korban menjadi jalan terinstitusi untuk melarikan diri dari rasa bersalah, malu, ataupun dari tanggung-jawab. Oleh karenanya, bukanlah hal yang aneh jika ‘penghargaan’ yang inheren didalam status korban dapat mengarah kepada ‘competitive victimhood’ diantara dua pihak yang terlibat didalam konflik yang berulang. Tiap-tiap pihak didalam sebuah konflik yang berulang melakukan setiap cara untuk membujuk kelompoknya masing-masing, pihak lawan, serta komunitas internasional, bahwa hanya mereka korban satu-satunya didalam konflik tersebut.

Dengan melihat keuntungan, baik secara psikologis, sosial, maupun politik, yang dapat diraih dengan memelihara perasaan ini, maka tidak mengherankan apabila kelompok yang terlibat didalam konflik yang berulang seringkali mencari cara untuk memelihara perasaan ini sepanjang waktu, atau setidaknya selama konflik berlangsung. Mereka membuat usaha untuk memupuk kepercayaan dan perasaan yang melekat padanya, dan berusaha untuk mengasimilasikannya kedalam ingatan kolektif kelompok, etos konflik, serta orientasi emosi kolektif. Untuk dapat melestarikan tema ini didalam susunan anggota kelompoknya, kepercayaan yang berasal dari status korban kemudian ditransimisikan serta disebarkan melalu saluran komunikasi sosial dan institusi sosial. Hal ini melengkapi transmisi, baik interpersonal maupun intrapersonal. Beragam saluran kemudian dimanfaatkan untuk hal tersebut seperti misalnya sistem pendidikan yang memegang peranan penting dalam menyusun kepercayaan tersebut melalui buku teks, program pendidikan, upacara, maupun melalui pesan yang disampaikan oleh pengajar, baik secara eksplisit maupun implisit. Kemudian diskursus publik melalui pidato pemimpin, artikel surat-kabar, dan teks dalam berbagai saluran komunikasi secara berkelanjutan juga menguatkan perasaan menjadi korban tersebut. Politisi seringkali menggunakan collective victimization sebagai sumber kekuasaan politik, dan ingatan mengenai victimization pada masa lalu maupun masa sekarang adalah tema ampuh untuk proses rekruitmen maupun untuk mobilisasi massa. Pada masyarakat formal ataupun pada tingkat kebudayaan, hari-hari peringatan nasional, hari libur keagamaan maupun nasional, dan seremoni yang mengikuti perayaannya seringkali berfungsi sebagai rutinitas berkala untuk mengingatkan masyarakat mengenai victimization mereka. Contoh yang terjadi di Indonesia misalnya adalah peringatan G30S setiap 30 September, yang oleh rezim Soeharto digunakan sebagai alat untuk merawat ingatan kolektif mengenai komunis sebagai musuh bersama. Buku-buku, film, aksi teatrikal, dan bahkan eksibisi seni dapat menyalurkan perasaan ini pada konsumennya. Masyarakat Israel adalah salah satu contoh bagaimana sumber sosial, politik, pendidikan, dan kebudayaan, memainkan peranan penting dalam membentuk, menyalurkan, serta menyebarluaskan perasaan tersebut. Sistem kepercayaan mengenai adanya victimization pada sebuah kelompok masyarakat memiliki pengaruh mendalam pada semua aspek kehidupan dari anggotanya, maupun pada kelompok itu secara keseluruhan. Collective sense of victimization juga akan mengubah cara pandang individu anggota kelompok dalam beberapa hal berikut:

Cara memandang dunia secara umum

Perasaan collective victimhood yang berdasarkan kekerasan berkelanjutan atau bahkan kejadian traumatis besar yang dialami oleh sebuah kelompok dapat menjadi batu pijakan untuk konstruksi realitas yang baru. Pengalaman itu dan kepercayaan mengenai korbanisasi kelompok dapat mengubah caranya memandang dunia dengan jalan meruntuhkan konstruksi swa-persepsi kolektif dan mentransformasikan asumsinya mengenai hubungan antar kelompok dan dunia itu sendiri. Perubahan ini muncul karena secara alamiah kelompok yang mengalami tragedi akan mencoba untuk menjelaskan bencana yang dialaminya, membuat perkiraan, menarik kesimpulan, dan menerapkan pelajaran yang bisa dipetik. Hasil pertama dari proses ini adalah untuk menyalahkan pelaku serta para bystander (kelompok-kelompok yang tidak melakukan usaha pencegahan terhadap tindak kekerasan tersebut) dan memupuk keinginan serta perasaan untuk melakukan balas dendam. Kadang kala kelompok tersebut bahkan cenderung untuk menyalahkan anggota kelompok mereka sendiri, bila hal tersebut tampak sebagai sebuah penjelasan yang logis untuk menjelaskan sebuah situasi yang betul-betul tidak dapat dihindari. Mereka dapat menegaskan pandangan bahwa dunia ini adalah sebuah tempat yang berbahaya, meningkatkan perasaan rapuh yang intens, meningkatkan kesadaran mengenai ketergantungan antar anggota kelompok mereka dan mengecilkan keyakinan mengenai adanya dunia yang adil. Sering kali pula perasaan ini ditemani dengan ketakutan terhadap pemusnahan, baik secara simbolik maupun secara fisik. Lebih lanjut lagi, kelompok ini biasa mengembangkan perasaan ketidak-berdayaan, rendah diri, ketiadaan kendali, ketidak-percayaan terhadap kelompok lawan, dan keyakinan bahwa sangat susah untuk mengubah situasi ini.

Pandangannya terhadap nilai-nilai kemanusiaan

Pada basis studi skala besar di 14 area konflik diseluruh dunia, Elcheroth17 menemukan bahwa pada tingkatan individu, korban dari kekerasan cenderung untuk meninggalkan konsepsi legal mengenai nilai-nilai kemanusiaan demi pandangan yang menganggap bahwa norma-norma ini dapat diubah dibawah kondisi tertentu. Akan tetapi, individu yang sama juga tetap mendukung prinsip moral dari norma-norma ini ketika melihat pada kelompok mereka sendiri.

Cara Memandang Konflik

Perasaan menjadi korban (victimhood) didalam sebuah konflik bukan hanya mempengaruhi cara memandang dunia, namun juga terhadap cara memandang konflik itu sendiri. Pada awalnya, perasaan ini memperkuat kepercayaan sosial mengenai kebenaran dari tujuan satu pihak didalam konflik tersebut dan pada delegitimasi pihak rival atau lawan. Perilaku ini secara substansial memperkuat etos konflik, yang merupakan salah satu pendorong terbesar pada keberlangsungan konflik tersebut. Dengan demikian, perasaan ‘menjadi korban’ yang kuat ini memiliki dampak terhadap jalannya sebuah konflik. Anggota masyarakat atau kelompok sosial yang memandang diri mereka sebagai korban ketidak-adilan, secara gigih menjunjung etos konflik mereka dan berjuang untuk mencapai tujuan mereka, termasuk mencegah terjadinya ancaman dimasa mendatang sekaligus untuk membalas kehilangan dan kerugian yang telah terjadi. Keseluruhan cara berpikir dan bertindak ini kemudian didampingi dengan perasaan permusuhan yang kuat, ketidak-percayaan, dan kebencian yang ditujukan langsung kepada lawannya, yang kemudian mencegah proses perdamaian, bahkan sejak awal berlangsungnya proses tersebut.

Sebuah studi yang dilakukan oleh Corkalo Biruski dan Penic18 menunjukkan bahwa collective guilt assignment dapat berfungsi sebagai mekanisme mediasi dalam hubungannya diantara pengalaman traumatis dan perilaku out-group. Didalam studi ini ditemukan bahwa semakin menderita seseorang, semakin besar kemungkinan mereka melakukan collective guilt kepada anggota kelompok yang mereka anggap sebagai pihak yang bertanggung-jawab terhadap penderitaan mereka. hal ini akan mendorong semakin lebarnya kesenjangan dengan sasaran out-group. Didalam sebuah penelitian yang dilakukan dengan mengambil sampel penduduk Israel beragama Yahudi pada tahun 200819, terdapat hubungan signifikan diantara pandangan individu terhadap konflik Arab-Israel dan pada kepercayaan sosial mengenai perasaan menjadi korban. Sekitar 40.6% dari respoden tersebut setuju atau sangat setuju dengan pernyataan bahwa ‘sepanjang tahun terjadinya konflik, Israel telah menjadi korban, dan bahwa pihak Arab dan Palestina adalah pihak yang menyebabkan terjadinya kekerasan’, sementara sekitar 20.8% “somewhat agree” atau condong untuk menyetujuinya. Lebih spesifik lagi, semakin si responden meyakini bahwa Israel telah menjadi korban didalam konflik tersebut, semakin ia akan: