MAKALAH KASUS 2 ASUHAN KEPERAWATAN PADA

MAKALAH KASUS 2
ASUHAN KEPERAWATAN PADA NEFROTIK SINDROM
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Sistem Urinari

Disusun Oleh : Kelompok Tutor 9
1. Shelli Harismi Ramdiani (220110120004)
2. Winda Riska (220110120010)
3. Hilawati (220110120035)
4. Septiani Puspa Dewi (220110120036)
5. Algia Nuruliani (220110120041)
6. Riyanti Rosmayanti (220110120050)
7. Agni Auliya Firdaus (220110120072)
8. Mira Rahmawati (220110120083)
9. Anggi Putri Ariyani (220110120102)
10. Ridha Ranailla (220110120121)
11. Mustika Rahmi (220110120124)
12. Neng Nopi Varida (220110120159)
Fakultas Keperawatan
Universitas Padjadjaran
2015


BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang

Sindrom nefrotik (SN) adalah keadaan klinis yang ditandai oleh
proteinuria masif, hipoproteinemia, edema, dan dapat disertai dengan
hiperlipidemia. Angka kejadian SN di Amerika dan Inggris berkisar antara 27 per 100.000 anak berusia di bawah 18 tahun per tahun, sedangkan di
Indonesia dilaporkan 6 per 100.000 anak per tahun, dengan perbandingan
anak laki-laki dan perempuan 2:1. Di Departemen Ilmu Kesehatan Anak
FKUI/RSCM Jakarta, sindrom nefrotik merupakan penyebab kunjungan
sebagian besar pasien di poliklinik khusus Nefrologi, dan merupakan
penyebab tersering gagal ginjal anak yang dirawat antara tahun 1995-2000.
Menurut Behrman dalam bukunya yang berjudul Ilmu Kesehatan Anak
(2001) bahwa “pada anak karena mempunyai kelainan pembentukan
glomerulus”. Menurut tinjauan dari Robson, dari 1400 kasus, beberapa jenis
glomerulonefritis merupakan penyebab dari 78% sindrom nefrotik pada orang
dewasa dan 93% pada anak-anak (Price, 1995).
Sampai pertengahan abad ke-20 morbiditas sindrom nefrotik pada anak
masih tinggi yaitu melebihi 50% sedangkan angka mortalitas mencapai 23%.
Menurut Raja Sheh angka kejadian kasus sindrom nefrotik di asia tercatat

sebanyak 2 kasus tiap 10.000 penduduk (Republika, 2005). Sedangkan angka
kejadian di Indonesia pada sindrom nefrotik mencapai 6 kasus pertahun dari
100.000 anak berusia kurang dari 14 tahun (Alatas, 2002).
Penyakit yang mengubah fungsi glomerulus sehingga mengakibatkan
kebocoran protein (khususnya albumin) ke dalam ruang Bowman akan
menyebabkan terjadinya sindrom ini. Etiologi SN secara garis besar dapat
dibagi 3, yaitu kongenital, glomerulopati primer/idiopatik, dan sekunder
mengikuti penyakit sistemik seperti pada purpura Henoch-Schonlein dan
lupus eritematosus sitemik. Sindrom nefrotik pada tahun pertama kehidupan,
terlebih pada bayi berusia kurang dari 6 bulan, merupakan kelainan
kongenital (umumnya herediter) dan mempunyai prognosis buruk.
Sindrom

nefrotik

(SN)

pada

anak


yang

didiagnosis

secara

histopatologik sebagai lesi minimal, sebagian besar memberikan respons
terhadap pengobatan steroid (sensitif steroid). Sedangkan SN lesi nonminimal

sebagian besar tidak memberikan respons terhadap pengobatan steroid
(resisten steroid).1-4 International Study of Kidney Disease in Children
(ISKDC) membuat panduan gambaran klinis dan laboratorium untuk
memperkirakan jenis lesi pada anak yang menderita SN. Gambaran klinis dan
laboratorium tersebut adalah usia saat serangan pertama, jenis kelamin,
hipertensi, hematuria, rerata kadar kreatinin, komplemen C3, dan kolesterol
serum. Seperti telah diketahui, bentuk histopatologik memberikan gambaran
terhadap respons pengobatan steroid, seperti jenis glomerulonefritis
mesangial proliferatif (GNMP) sebesar 80-85% adalah resisten seroid.
Sampai saat ini, belum terdapat data gambaran histopatologik di Indonesia,

sehingga pada sindrom nefrotik resisten steroid (SNRS) dan sindrom nefrotik
sensitif steroid (SNSS) akan memberikan gambaran klinis yang berbeda
dengan penelitian yang dilakukan oleh ISKDC. Kadar protein nonalbumin
diikutsertakan pula dalam penelitian ini karena belum pernah diteliti
sebelumnya. Penelitian ini bertujuan untuk menilai hubungan antara berbagai
gambaran klinis dan laboratorium secara bersama-sama dengan respons
terhadap pengobatan steroid (SNRS dan SNSS). (Behrman, 2000)
Mortalitas dan prognosis anak dengan sindroma nefrotik bervariasi
berdasarkan etiologi, berat, luas kerusakan ginjal, usia anak, kondisi yang
mendasari dan responnya terhadap pengobatan (Betz & Sowden, 2002).
1.2.

Rumusan masalah
Masalah yang kami angkat pada makalah ini mengenai asuhan
keperawatan pada pasien dengan sindroma nefrotik

1.3.

Tujuan penulisan


1.3.1. Tujuan Umum
Mahasiswa keperawatan mampu memahami konsep dasar medis dan asuhan
keperawatan pada klien dengan penyakit sindroma nefrotik.
1.3.2. Tujuan Khusus

Mahasiswa keperawatan dapat :
A. Menjelaskan pengertian dari sindroma nefrotik
B. Menjelaskan etiologi dari sindroma nefrotik
C. Menjelaskan patofisiologi dan pohon masalah (pathways) dari
sindroma nefrotik
D. Menjelaskan manifestasi klinik dari sindroma nefrotik
E. Menjelaskan pemeriksaan penunjang dari sindroma nefrotik
F. Menjelaskan penatalaksanaan dari sindroma nefrotik
G. Menjelaskan komplikasi dari sindroma nefrotik
H. Menjelaskan asuhan keperawatan dari sindroma nefrotik

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.


Definisi

Sindrom nefrotik merupakan sekolompok gejala seperti proteinuria,
hipoabuminemia, edema dan hyperlipidemia. Sindrom nefrotik dikaitkan denganr
rekasi alergi, infeksi, penyakit sistemik dan masalah sirkulasi. (Baradero,2009)
Sindrom nefrotik adalah sekelompok gejala klinis termasuk proteinuria
massif,
hypoalbuminemia,hyperlipidemia
dan
edema.
Penyakit
ini
dikarakteristikan dengan terjadinya peningkatan permeabilitas glomerulus
terhadap protein plasma, yang akhirnya akan menyebabkan tubuh kehilangan
protein dalam jumlah yang besar. (Wong,2008)
2.2.

Etiologi

Menurut Ngastiyah, 2005, umumnya etiologi di bagi menjadi 3 (tiga),

yaitu :
2.2.1. Sindroma Nefrotik bawaan.
Diturunkan sebagai resesif autosomal atau reksi maternofetal, resisten
terhadap semua pengobatan.
Gejala : Edema pada masa neonatus.
2.2.2. Sindroma Nefrotik Idiopatik atau sindrom nefrotik primer
Sekitar 90% nefrosis pada anak dan penyebabnya belum diketahui,
berdasarkan histopatologi yang tampak pada biopsi ginjal dengan
pemeriksaan mikroskop biasa dan mikroskop elektron. Diduga ada
hubungan dengan genetic imunologik dan alergi.
2.2.3. Sindroma Nefrotik Sekunder
a. Malaria kuartana atau parasit lain
b. Penyakit kolagen seperti lupus eritemosus desiminata, purpura
anafilaktoid.
c. Glomerulonefritis akut atau glomerulonefritis kronis, trombosis vena
renalis.
d. Bahan kimia seperti trimetadion, paradion, penisilamin, garam emas,
sengatan lebah, air raksa.
e. Amiloidosis, penyakit sel sabit, hiperprolinemia, nefritis membrano
proliferatif, hipokomplementemik.

2.3.
Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis dari sindrom nefrotik adalah

a. Edema

Biasanya edema dapat bervariasi dari bentuk ringan sampai berat
(anasarka). Edema biasanya lunak dan cekung bila ditekan (pitting), dan
umumnya ditemukan disekitar mata (periorbital) dan berlanjut ke abdomen
daerah genitalia dan ekstermitas bawah.
b. Proteinuria berat
c. Ekskresi protein
40mg/m2/jam atau dengan dipstick +2---+4, dapat pula nilai protein urin
sewaktu >100mg/dL, terkadang mencapai 1000mg/dL.

-

Sebagian besar protein yang diekskresi pada SN adalah albumin.




Albumin serum

-

Level albumin serum pada sindroma nefrotik secara umum kurang dari
2.5 g/dL.

-

Hipoalbuminemia < 2,5 g/dL

-

Jarang mencapai 0.5 g/dL



Pemeriksaan lipid


-

Terjadi peningkatan kolesterol total dan kolesterol LDL (low density
lipoprotein).
Kadar serum kolesterol >400mg/dl

-

Terjadi peningkatan trigliserid dengan hipoalbuminemia berat.

-

Kadar kolesterol HDL (high density lipoprotein) dapat normal atau
menurun



Pemeriksaan elektrolit serum, BUN dan kreatinin, kalsium, dan fosfor.

-


Pasien dengan SN idiopatik, dapat menjadi gagal ginjal akut oleh karena
deplesi volume intravascular.

-

Kadar Na serum rendah, oleh karena hiperlipidemia.

-

Kadar kalsium total rendah, oleh karena hipoalbuminemia.



Tes HIV, hepatitis B dan C

-

Untuk menyingkirkan adanya kausa sekunder dari SN.



Pemeriksaan C3

-

Level komplemen yang rendah dapat ditemukan pada nefritis post infeksi,
SN tipe membranoproliferatif, dan pada lupus nefritis.

b. Biopsi Ginjal
Biopsi ginjal tidak diindikasikan bagi pasien SN primer dengan awitan
pada usia 1-8 tahun, kecuali jika riwayat klinis, temuan pada pemeriksaan fisik,
maupun

hasil

dari

pemeriksaan

laboratorium

mengindikasikan

adanya

kemungkinan SN sekunder atau SN primer selain tipe lesi minimal. Biopsi ginjal
diindikasikan bagi pasien usia < 1 tahun, dimana SN kongenital lebih sering
terjadi, dan pada pasien usia > 8 tahun dimana penyakit glomerular kronik
memiliki insidensi yang lebih tinggi. Biopsi ginjal hendaknya juga dilakukan bila
riwayat, pemeriksaan, dan hasil uji laboratorium mengindikasikan adanya SN
sekunder.
c. Radiografi
Pemeriksaan ultrasonografi atau venografi ginjal sekiranya dicurigai
adanya trombosis vena ginjal
d. USG renal
Terdapat tanda-tanda glomerulonefritis kronik.
2.5.
Komplikasi
a. Infeksi
SN mudah terjadi infeksi dan yang paling sering adalah selulitis danperitonitis.
Hal ini disebabkan karena terjadi kebocoran IgG dan komplemenfaktor B dan D
di urin. Pemakaian obat imunosupresif menambah risikoterjadinya infeksi. Bila
terjadi peritonitis primer (biasanya disebabkan olehkuman Gram negatif dan
Streptococcus pneumoniae) perlu diberikan pengobatanpenisilin parenteral,
dikombinasikan dengan sefalosporin generasi ketiga yaitusefotaksim atau
seftriakson, selama 10-14 hari.
b. Tromboemboli
Pada SN dapat terjadi trombosis karena adanya hiperkoagulasi,
peningkatankadar fibrinogen, faktor VIII, dan penurunan konsentrasi antitrombin
III.Trombosis dapat terjadi di dalam vena maupun arteri. Adanya
dehidrasimeningkatkan kemungkinan terjadinya trombosis. Pencegahan
tromboemboli dapat dilakukan dengan pemberian aspirindosis rendah (80 mg) dan

dipiridamol, tetapi sampai saat ini belum ada studiterkontrol terhadap efektivitas
pengobatan ini.9 Heparin diberikan bila sudahterjadi trombosis.
c. Hiperlipidemia
Pada SN relaps atau resisten steroid terjadi peningkatan kadar kolesterol
LDLdan VLDL, trigliserida, dan lipoprotein (a) (Lpa), sedangkan kolesterol
HDLmenurun atau normal. Zat-zat tersebut bersifat aterogenik dan trombogenik.
Pada SN sensitif steroid, karena peningkatan zat-zat tersebut bersifatsementara,
cukup dengan pengurangan diet lemak. Pada SN resisten steroiddapat
dipertimbangan pemberian obat penurun lipid seperti questran, derivatfibrat dan
inhibitor HMgCoA reduktasia (statin), karena biasanya peningkatankadar lemak
tersebut berlangsung lama, tetapi manfaat pemberian obat tersebutmasih
diperdebatkan.
d. Hipokalsemia
Pada SN dapat terjadi hipokalsemia karena:
1. Penggunaan steroid jangka panjang yang menimbulkan osteoporosis
danosteopenia
2. Kebocoran metabolit vitamin D
Oleh karena itu pada SN relaps sering dan SN resisten steroid
dianjurkanpemberian suplementasi kalsium 500 mg/hari dan vitamin D. Bila telah
terjaditetani, diobati dengan kalsium glukonas 50 mg/kgBB intravena.
e. Hipovolemia
Pemberian diuretik yang berlebihan atau dalam keadaan SN relaps
dapatmengakibatkan hipovolemia dengan gejala hipotensi, takikardia,
ekstremitasdingin, dan sering disertai sakit perut. Pasien harus segera diberi infus
NaClfisiologik dan disusul dengan albumin 1 g/kgBB atau plasma 20
ml/kgBB(tetesan lambat 10 per menit).Bila hipovolemia telah teratasi dan pasien
tetapoliguria, diberikan furosemid 1-2 mg/kgBB intravena.
f. Malnutrisi
g. Gagal ginjal

2.6.
Penatallaksanaan Nefrotik Syndrome
2.6.1. Penatalaksanaan Farmakologi
1. Terapi Corticosteroid
Terapi kortikosteroid dinilai palinga efektifdalam penanganan nefrotik
syndrome. Kortikosteroid langsung diberikan ketika pertama kali diagnose
ditegakkan. Kortikosteroid biasanya jenis prednisone diberikan per oral dengan
dosis 60 mg/m2/ hari selama 6 minggu di term pertama lalu dosis 40 mg/m2/hari
untuk 6 minggu kedua. Penilitian menganjurkan treatmen kortikosteroid minimal
dilakukan selama 3 bulan. Pada kebanyakan pasien dalam 7 hingga 21 hari akan
berkurang beberapa gejala seperti penurunan proteinuria, tidak adanya
immunoglobulin G di urin, penurunan hipertensi, hematuria, biasanya akan lebih
baik setelah penggunaan prednisone. Pada anak dengan MCNS beberapa akan
mengalami relaps atau kekambuhan sehingga membutuhkan treatmen steroid
dengan dosis yang lebih banyak. Dosis atau penggunaan steroid yang berlebih
akan mampu menimbulkan beberapa komplikasi seperti cushingoid dan retardasi
pertumbuhan. Dalam penggunaan kortikosteroid perlu disertai dengan
penggunaan diuretic karena efek samping korikosteroid diantaranya adalah
mampu meretensi cairan.
Berikut adalah klasifikasi dari nefrotik syndrome sesuai dengan respon
terhadap steroid:
 Steroid sensitive  respon terhadap steroid sangat baik, relaps
mungkin terajadi bergantung pada perjalanan penyakit
 Frequent relaps  2 kali atau lebih relaps dalam 6 bulan, atau 4 kali
atau lebih relaps dalam 12 bulan
 Steroid dependent  2 kali relaps berurutan ketika penggunaan
steroid atau 2 minggu saat penggunaan steroid mulai dikurangi
 Steroid resistant  tidak menunjukkan perbaik setelah 4 minggu
terapi prednisone
2. Terapi Immunosupresant
Jenis obat immunosupresant yang sering dipakai adalah cyclophosphamide
(Cytoxan). Immunosupresant dapat membuat berkurangnya frekuensi relaps dan
mampu meningkatkan immunitas klien yang rentan terkena infeksi. Efek samping
dari terapi immunosupresant diantaranya adalah leukopenia, azotemia, atau
bahkan kemandulan yang lebih sering terjadi pada klien laki-laki

3. Terapi Diuretik

Jenis obat diuretik yang sering digunakan adalah furosemide dengan
kombinasi metolazone. Obat obat tersebut berguna untuk mengurangi beberapa
gejala yang biasanya ada pada klien nefrotik syndrome diantaranta adalah
gangguan napas, hipertensi, hiponatrium, serta kerusakan kulit
2.6.2. Penatalaksanaan Keperawatan/ Nursing Care Management
1. Pencegahan Infeksi
Perawat serta seluruh keluarga yang menemani klien harus memperhatikan
standard precaution seperti cuci tangan, hindari interaksi dengan klien lain
yang mempunyai atau sedang terinfeksi penyakit menular, pantau kadar
leukosit/ sel darah putih, dan pantau TTV juga perhatikan bila terjadi
tanda-tanda infeksi pada kulit yang mengalami edema
2. Mencegah Kerusakan Kulit
Kaji keadaan kulit klien secara rutin, putar posis anak secara berkala
supaya tidak mengalami penekanan pada area edema, atau juga untuk
mencegah dekubitus akibat penekanan yang lama pada area kulit yang
menonjol karena tulang seperti area tumit atau scapula. pastikan area kulit
selalu bersih serta kering untuk menghindari tempat untuk tumbuhnya
kuman/ mikroorganisme terutama di area edema yang biasanya lembab
akibat penguapan air dan keringat dari dalam kulit. anjurkan klien untuk
meenggunakan pakaian yang menyerap keringat misalnya yang berbahan
katun dan tipis.
3. Nutrisi dan kebutuhan cairan
anak dengan nefrotik syndrome bisa jadi mengalami anorexia yang
disebabkan oleh penekanan edema area abdomen (ascites) ke area
lambung sehungga menimbulkan perasaan kenyang, oleh karena itu
perawat harus mampu melakukan modifikasi bagi klien anak yang
mengalami kesulitan makan salah satunya dengan cara membuat tampilan

makanan semenarik mungkin untuk meningkatkan nafsu makan anak.
Selain itum anak juga dianjurkan makan sedikit tapi sering.
Untuk masalah cairan berikan retriksi cairan sesuai dengan derajat
edema yang dialami oleh klien karena bila klien mendapatkan asupan
cairan berlebih dikhawatirkan akan membuat cairan semakin menumpuk
didalam tubuh. Selain itu pertahankan diet rendah natrium/ sodium, tidak
hanya mengurangi makanan yang asin namun juga orang tua mampu
memilah makanan yang mengandung MSG atau pengawet yang
mengandung banyak sodium. Diet tinggi protein juga mampu diberikan
pada klien dengan kondisi ketika klien sudah mengalami perbaikan fungsi
ginjal dilihat dari keseimbangan intake dan output.
Hal lain yang perlu diperhatikan perawat adalah pemantauan berat
badan (BB) secara rutin, memeriksa secara rutin lingkar perut klien,
memantau dan menghitung jumlah intake dan output klien diharapkan
sudah mampu seimbang sesuai ketentuan, dan pemantauan tanda-tanda
vital setiap 4 jam untuk memantau bila terjadi syok hipovolemik akibat
kurangya cairan intravaskuker
4. Anjurkan klien untuk istirahat
Klien dengan nefrotik syndrome biasanya adalah anak-anak usia 3 hingga
7 tahun yang sedang dalam fase senang bermain, namun klien dengan
nefrotik syndrome harus mengurangi aktifitasnya guna mengefektifkan
treatmen yang telah dilaksanakan. Klien dianjurkan bedrest untuk
mengurangi edema dengan lebih cepat serta mencegah adanya peningkatan
tekanan darah. Perawat harus mampu mengkaji adanya tanda fatigue,
kelemahan, atau iritable pada klien.
5. Tingkatkan support emosional
Kecemasan mungkin timbul pada orang tua dengan anak yang mengalami
nefrotik syndrome apalagi melihat kondisi anak yang anasarka/ edema di

sekujur tubuh, oleh karena itu perawat harus mampu memberikan
pengetahuan kepada orang tua mengenai penyakit serta mengkaji
mekanisme koping keluarga adaptif atau tidak dengan adanya anak dengan
nefrotik syndrome iini.
6. Discharge Planning
Sebelum pulang klien harus diberi tahu beberapa hal mengenai penyakit
ini seperti tanda tanda relaps atau kekambuhan, tanda tanda eksaserbasi
atau penyakit bertambah parah, cara melakukan perawatan kulit klien
terutana area yang edema, mengenai medikasi obat-obatan serta efek
samping dan cara penanggulangannya, serta tanda kegawatan yang
mengaharuskan keluarga untuk segera mencari pertolongan tim medis

PATOFISIOLOGI

BAB III
ANALISIS KASUS
3.1.

Trigger case

Seorang anak laki-laki berusia 4 tahun dibawa ke unit kesehatan anak dalam
keadaan edema anasarka. Menurut penuturan ibunya, sekitar 1 bulan yang lalu
klien mengalami bengkak pada periorbita terutama pada saat bangun tidur muka
sembab, dan mengeluh pusing. Hasil anamnesa riwayat kesehatan: sejak 1 tahun
yang lalu klien mengeluh bengkak bengkak diseluruh tubuh sampai dengan
kelopak mata. Karena keluhannya ini klien dibawa ke RS Majalaya dan
dinyatakan bocor ginjal. Klien control 3 bulan terakhir namun tidak ada
perbaikan, kemudian klien dibawa ke RS Al-Ihsan sejak 2012 dan diberi tablet
berwarna hijau yang diminum 3 x 2 selama 2 bulan. Selanjutnya 4 tablet/hari
selang sehari, keluhan tidak berubah, klien lalu dibawa ke RSHS. Pola BAK
sebelum sakit 3-5 x sehari. Saat ini berkemih mulai berkurang baik dari segi
frekuensi dan jumlah urin yang dikeluarkan. Dari pemeriksaan fisik didapatkan
asites (+), TD 130/90 mmHg, HR 112 x//menit, RR 30 x/menit, rasio insp:eksp
1:1, antropometri: BB: 32,5 kg, TB: 121,5 cm, lingkar perut 68 cm, suhu 360C.

Hasil Laboratorium
Hb

13 gr%

Ht

44 %

Protein total

6,0

Albumin

2,1

Kolesterol total

345

Trigliserida

172

BUN

30 mg%

Serum kreatinin

0,9 mg%

URIN

Albumin urin

++++

Warna urin

Kuning

Kejernihan

Keruh

pH urin

6,5

BJ urin

1,010

Glukosa urin

Negative

Keton urin

+

Nitrit urin

-

Urobilinogen

0,1

3.2.

Analisis kasus

Berdasarkan kasus diatas didapatkan data :
A. Data subjektif :


pasien mengeluh bengkak bengkak di seluruh tubuh sampai dengan




kelopak mata
pasien mengeluh pusing
pancaran mengeluh berkemih kurang baik dari segi frekuensi maupun
jumlah

B. Data Objektif :



pasien edema anasarka, asites (+)
RR 30/X menit,adanya penekanan pada paru paru karena asites yang
menyebabkan ekspansi paru menjadi berkurang sehingga co2 dalam paru



meningkat yang akhirnya meningkatkan frekuensi nafas
TD 130/90, HR 112/menit, mengalami peningkatan. Hal ini dapat terjadi
karena retensi urin yang dapat merangsang pengaktifan saraf simpatis,
terjadi peningkatan Heart rate, stroke volume meningkat, sehingga HR dan
TD meningkat.



klien datang dengan keluhan edema anasarka hal ini di sebabkan karena
adanya retensi cairan akibat hipoalbumin, ketika hipoalbumin, tekanan
onkotik menurun sehingga adanya perpindahan cairan dari intravaskuler



ke intestitial.
BB 32,5, BB mengalami peningkatan dimana untuk usia 4 tahun BB
normal adalah 16,4, hal ini mungkin di sebabkan karena edema anasarka
yang akibatnya pada penambahan berat badan yang ekstrim

Dari pemaparan analisa di atas maka dapat di simpulkan bahwa pasien
mengalami sindrom nefrotik, hal ini di tunjang dengan beberapa manifestasi yang
di tunjukan pasien diantaranya, adanya protein dalam urin, pasien mengalami
edema di seluruh tubuh (anasarka),hiperlipidemia,urin berkurang dari frekuensi
maupun jumlah.untuk penanganan kasus ini di berikan pengobatan kortikosteroid
jenis prednison 60 gr dosis penuh selama 4 minggu di lanjtkan dengan 40 gr
(AD/ID) selama 4 minggu.pemberian kortikosteroid ini harus di kombinasikan
dengan diuretik.

BAB IV
PRINSIP ASUHAN KEPERAWATAN PADA KASUS
4.1. Pengkajian.
a. Identitas pasin
b. keluhan utama: bengkak seluruh tubuh sampai dengan kelopak
mata
c. Riwayat Kesehatan Sekarang : Sejak 1 tahun yang lalu klien
mengeluh bengkak bengkak seluruh tubuh sampai dengan kelopak
mata. Keluhan bertambah parah saat bangun tidur disertai pusing.
Bengkak terdapat di periorbita.
d. Riwayat Kesehatan Dahulu : Klien pernah didiagnosa bocor ginjal
dan menjalani terapi pengobatan selama 2 bulan
e. Pola Kehidupan sehari-hari : BAK Sebelum sakit 3-5 x sehari →
setelah sakit : berkurang (frekuensi, jumlah)
f. Pemeriksaan Fisik
Kesadaran

: compos mentis

Inspeksi

: muka sembab, edema anasarka

Palpasi

: asites (+)

Perkusi

:-

Auskultasi

:-

TTV

:

Nilai

Normal

Interpretasi

TD 130/90 mmHg

120/80 mmHg

Naik

HR 112 x/menit

80-100 x/menit

Tinggi

RR 30 x/menit

12-24 x/menit

Tinggi

rasio insp:eksp 1:1

4:5

cepat

suhu 360C

36,5 – 37,5

Rendah

Antropometri

:

Nilai

Normal

Interpretasi

BB: 32,5 kg

16,4

Overwight (penumpukan
cairan)

TB: 121,5 cm

103,3

Diatas rata-rata

lingkar perut 68 cm

g. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan

Hasil

Normal

Interpretasi

Hb

13 gr%

13.5-18.0

Rendah

gram/dL
Ht

44 %

40-54%

Normal

Protein total

6,0

6.6 – 8.7

Rendah

Albumin

2,1

3.4 – 4.8

Rendah

Kolesterol total

345

Dokumen yang terkait

PENGARUH PEMBERIAN SEDUHAN BIJI PEPAYA (Carica Papaya L) TERHADAP PENURUNAN BERAT BADAN PADA TIKUS PUTIH JANTAN (Rattus norvegicus strain wistar) YANG DIBERI DIET TINGGI LEMAK

23 199 21

KEPEKAAN ESCHERICHIA COLI UROPATOGENIK TERHADAP ANTIBIOTIK PADA PASIEN INFEKSI SALURAN KEMIH DI RSU Dr. SAIFUL ANWAR MALANG (PERIODE JANUARI-DESEMBER 2008)

2 106 1

AN ANALYSIS ON GRAMMATICAL ERROR IN WRITING MADE BY THE TENTH GRADE OF MULTIMEDIA CLASS IN SMK MUHAMMADIYAH 2 MALANG

26 336 20

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

MANAJEMEN PEMROGRAMAN PADA STASIUN RADIO SWASTA (Studi Deskriptif Program Acara Garus di Radio VIS FM Banyuwangi)

29 282 2

ANALISIS PROSPEKTIF SEBAGAI ALAT PERENCANAAN LABA PADA PT MUSTIKA RATU Tbk

273 1263 22

PENERIMAAN ATLET SILAT TENTANG ADEGAN PENCAK SILAT INDONESIA PADA FILM THE RAID REDEMPTION (STUDI RESEPSI PADA IKATAN PENCAK SILAT INDONESIA MALANG)

43 322 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PEMAKNAAN BERITA PERKEMBANGAN KOMODITI BERJANGKA PADA PROGRAM ACARA KABAR PASAR DI TV ONE (Analisis Resepsi Pada Karyawan PT Victory International Futures Malang)

18 209 45

STRATEGI KOMUNIKASI POLITIK PARTAI POLITIK PADA PEMILIHAN KEPALA DAERAH TAHUN 2012 DI KOTA BATU (Studi Kasus Tim Pemenangan Pemilu Eddy Rumpoko-Punjul Santoso)

119 459 25