DINAMIKA BUDAYA KOLONIALISME DAN PERUBAH
DINAMIKA BUDAYA KOLONIALISME DAN
PERUBAHAN MAKNA PEREMPUAN JAWA1
I. MEMAKNAI PERAN PEREMPUAN DALAM KONTEKS HISTORIS
a. Gambaran Singkat Pra-Kolonialisme: Wajah Perkasa Perempuan
Perempuan Jawa memiliki daya tarik yang sangat besar bagi para peneliti
maupun sastrawan dari berbagai belahan dunia sejak jaman masa pra-kolonial
Belanda hingga saat ini. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa
perempuan Jawa memiliki banyak peran dalam masyarakat baik dari kalangan elit
(bangsawan) maupun yang hanya menjadi rakyat biasa. Namun, ada juga karya
sastra seperti “De Stille Kracht” karangan Louis Couperus (1863-1923) yang
menggambarkan perempuan Jawa hanya seperti boneka yang tersenyum simpul
dan meniadakan dirinya sendiri. Pendapat yang lebih dapat di percaya datang dari
sejarawan dan Indonesianis, Peter Cere dan Vincent Houben, yang menjelaskan
secara nyata bahwa masyarakat Jawa pada masa sebelum terjadinya perang Jawa
cenderung “matriarkis”2. Perempuan memiliki berbagai peran yang tidak kalah
pentingnya dalam masyakat dibanding dengan peran laki-laki.
Berbagai peran yang diemban oleh perempuan Jawa pada periode tersebut
antara lain: Pertama , Perempuan berperan sebagai prajurit (prajurut keparak
estri), perempuan benar-benar dilatih secara militer untuk dapat menggunakan
berbagai senjata seperti tameng, busur, pedang, panah beracun, tombak, tulup dan
bedhil; ahli menunggang kuda dan juga beladiri. Perempuan yang masuk kedalam
prajurit ini merupakan perempuan yang dinilai cerdas dan memiliki kecakapan
serta berparas menawan dan umumnya dipilih dari kalangan anak bangsawan atau
pejabat kraton. Pada masa Pakubuono V, teradapat 350 prajurit yang mengawal
sang raja. Kedua , Perempuan sebagai pemimpin peperangan, pada peran ini ada
beberapa peremuan yang benar-benar memimpin peperangan seperti Raden Ayu
Yudokusumo dan Nyai Ageng Serang. Keduanya perupakan sosok perempuan
Jawa yang sangat ditakuti oleh pemerintahan Belanda. Keduanya memiliki
kecerdasan yang tinggi, kemampuan besar dan siasat yang jitu seperti laki-laki.
Namun ada juga peran perempuan yang memotivasi anaknya untuk ikut dalam
peperangan seperti istri pensiinan Bupati Semarang, Kyai Adipati Suroadimonggolo IV. Ketiga , Perempuan sebagai pengusaha, perempuan tidak hanya
tinggal diam dirumah tetapi juga ikut menyokong perekonomian keluarga dengan
menjadi pedagang sesuai keinginannya sendiri. Selain berdagang, perempuan
Ahmad Makky Ar-Rozi Faris Rahmadian, Indria Retna Mutiar, Nana Kristiawan – Institut
Pertanian Bogor
2
Penggunaan istilah “matriarki” disini jauh lebih moderat, atau mengutip dari Eller (2001) bahwa
istilah “matriarki” dapat dinamis dalam ruang dan waktu yang berbeda (tidak selalu berbanding
lurus dengan “matrilineal”, dsb.), namun pada intinya menunjukkan indikasi kuasa perempuan
dalam ruang domestik dan non-domestik.
1
1
Jawa pada umumnya memang piawai dalam urusan uang, sehingga suami pada
umumnya menyerahkan urusan sepenuhnya pada istrinya. Umumnya komoditas
yang diperdagangkan oleh perempuan Jawa pada masa itu adalah kain tenun dan
juga hasil bumi. Keempat, Perempuan sebagai pemelihara pertalian keluarga
(Wangsa). Sebagaimana perempuan pada umumnya, perempuan Jawa juga
berperan utama dalam melahirkan generasi penerus keluarga dan sebagai wadah
untuk berprokreasi atau mejaga hubungan kekerabatan antara raja dan keluarga
terkemuka kerajaan. Oleh karena itu, dalam memilih pasangan hidup, seorang
bangsawan atau keturunan raja tidak hanya bertumpu pada paras cantik wanita
yang akan dinikahinya, tetapi juga kedudukan keluarga wanita tersebut. hal ini
agara pernihan tersebut juga memiliki manfaat politik yang dapat menguntungkan
kedua belah pihak; Kelima, Perempuan sebagai penghubung Istana dengan dunia
pedesaan. Hubungan antara perempuan Jawa yang telah menjadi kaum bangsawan
memiliki ikatan darah erat dengan rakyat, sehingga tidak ada satu pun orang Jawa
kelahiran ningrat yang bisa membanggakan diri memiliki darah biru yang murni.
Kebanyakan pasangan raja-juga prajurit estri dan selir- berasal dari keluarga kyai,
yaitu keluarga lokal baik-baik dana tau guru agama. Hubungan ini memiliki arti
yang sangat besar terutama dalam mempertahankan keratin melewati kondisi yang
sangat berat pada masa perang Jawa berlangsung. Keenam, Perempuan sebagai
penjaga tradisi Jawa, pembimbing anak, penunjuk agama, pujangga dan
penggemar sastra. Hal ini menunjukkan bahwa perempuan Jawa juga tetap handal
dalam urusan domestic dalam keluarganya, dalam satu keutuhan peran sebagai
pelestari nilai-nilai budaya dan spiritualitas Jawa (Carey 2016).
Berbagai peran tersebut diatas cukup untuk memberikan bukti adanya
ruang kuasa secara budaya dan peran “ekstra” (tidak sebatas pada ruang domestik)
perempuan Jawa pada masa pra-kolonial. Perempuan Jawa pada saat itu
menikmati kebebasan dan kesempatan untuk bertindak atau mengambil inisiatif
pribadi yang lebih luas daripada perempuan Jawa pada masa kolonial Belanda,
bahkan dalam kisah pewayangan pun hampir selalu ditunjukkan bagaimana
perempuan mampu mandiri dan “melawan”.
b. Gambaran Singkat
Perempuan
Kolonialisme:
Peyorasi
dan
Penundukkan
Setelah diketahui bagaimana kekuatan dan variasi peran perempuan
dalam kerajaan pada masa pra-kolonialisme, selanjutnya dibahas pula bagaimana
terjadinya perubahan secara cukup signifikan (berdasarkan fakta sejarah) peran
perempuan di ruang domestik dan non-domestik khususnya untuk di wilayah
Jawa. Menurut analisis kami, titik krusial perubahan dan bahkan upaya reduksi
peran perempuan muncul pada masa kolonialisme Belanda yang diawali sejak
abad ke-18. Seperti disebutkan oleh Vlekke (2008), bahwa pada masa awal
masuknya kolonialisme di Nusantara, yang paling utama dilakukan oleh pihak
2
Belanda adalah melakukan “transformasi struktural” di beberapa titik inti
resistensi agar mempermudah Belanda untuk melakukan perdagangan. Upaya
transformasi struktural ini baik secara langsung maupun tidak langsung juga
menyentuh aspek relasi kuasa pada perempuan. Seperti disebutkan Jan Greeve,
seorang Belanda yang merupakan Gubernur Pantai Timur Laut (dalam Carey
2016) bahwa perempuan-perempuan Jawa pada masa itu menunjukkan kekuatan
yang luar biasa hebat, bahkan menurutnya perempuan-perempuan tersebut (secara
spesifik prajurut keparak estri) merupakan barrier perang jarak dekat yang utama
dibandingkan laki-laki. Urgensi peran perempuan dan keterampilannya dalam
perang membuat Belanda harus memutar otak, yakni menciptakan perubahan
tidak sebatas melalui penaklukkan fisik, namun juga melalui penaklukkan ide dan
gagasan, atau secara lebih spesifik, melalui “budaya”. Terlebih seperti disebutkan
oleh State (2008), bahwa budaya Belanda sejak pra abad ke-16 identik dengan
“dominasi maskulin”, atau dalam artian bahwa laki-laki adalah sumber dari
segalanya termasuk untuk pengaturan terhadap kebebasan dan hak perempuan.
Sebelum era revolusi industri pada abad ke-19, perempuan di Belanda tidak
berhak memperoleh pendidikan, memiliki properti keluarga, bahkan hingga
mengatur agenda dan komponen-komponen dalam pernikahan. Kondisi tersebut
cukup berbanding terbalik dengan kondisi kuasa perempuan di Jawa, bahkan
terkait dengan budaya pernikahan, seperti disebutkan Carey (2016) tidak hanya
keputusan dalam mempersiapkan pernikahan, namun juga perceraian, yakni
perempuan dapat “membeli kebebasan” dirinya atas laki-laki dengan melakukan
perceraian berdasarkan keputusan yang subjektif, penceraian seperti itu disebut
mancal.
Aspek pernikahan merupakan salah satu contoh bentuk konfrontasi budaya
lokal Jawa dan Belanda yang cukup berbeda dan pada akhirnya mampu
diseragamkan (menuju gaya Belanda) oleh kolonialisme di Nusantara. Selain itu,
hegemoni maskulin juga dilakukan melalui penggeseran ruang perempuan dalam
seni sastra. Seperti telah disebutkan sebelumnya, karya sastra seperti “De Stille
Kracht” karangan Louis Couperus (dan beberapa lainnya) yang menggambarkan
perempuan Jawa hanya seperti boneka yang tersenyum simpul dengan pikiran
kosong adalah berbanding terbalik dengan karya sastra pewayangan klasik di
Jawa. Sebagai contoh, perempuan yang tampil di lakon wayang yang diilhami
Mahabharata dan Ramayana sama berani dan perkasa dengan suaminya, bahkan
istri Arjuna yakni Dewi Woro Sumbadra kerap digambarkan menentang dan
menyangkal suaminya demi kebaikan bersama (Carey 2016). Seperti disebutkan
oleh Beauvoir (1989), bahwa isu subordinasi perempuan dalam konteks sejarah
selalu erat dengan karya seni, literasi dan lain sebagainya, karena dari karya
tersebut dapat tercipta konstruksi sosial baru, yang tidak jarang menghasilkan
penindasan bagi perempuan. Pada titik ini kita dapat memahami bahwa upaya
peyorasi dan penciptaan “konstruksi sosial” baru terhadap ruang kuasa perempuan
3
oleh kolonialisme berlangsung secara sistematis dan tidak dilakukan secara
eksplisit dan manifes.
Chafetz (2006) menegaskan bagaimana budaya dapat menciptakan siapa
(dalam konteks gender) yang lebih dominan dan siapa yang lebih tertindas.
Budaya dapat menciptakan konformitas, yang akan terus mengalir dan melekat
pada generasi-generasi selanjutnya. Peran perempuan di dalam keluarga dan
masyarakat mengalami pergeseran pada masa kolonialisme, bahkan perempuan
kerap dikonstruksi sebagai “nyai”, di mana nyai mempunyai citra negatif yang
dilanggengkan oleh karya sastra dan panandangan penguasa koloni pada masa itu
(Fitria 2010). Lebih lanjut disebutkan, bahwa perempuan “nyai” hanya dijadikan
tidak lebih dari seorang budak, pembantu rumah tangga, teman tidur, dan
dijadikan sebagai penerjemah suami/tuan mereka. Seorang nyai tidak memiliki
hak atas anak, sehingga kedudukannya semakin terpinggirkan dan mengalami
ketidakjelasan atas perannya sebagai seorang perempuan. Padahal apabila kita
lihat dari konteks sejarah, perempuan menempati posisi penting di dalam
mendukung kedudukan suaminya. Seperti yang telah dijelaskan di atas, bahwa
perempuan memiliki peran penting di dalam keluarga dan sistem pemerintahan
pada masa itu, dari ekonomi dsb. (Niehof 1998). Pada tahap ini, kolonialisme
telah berhasil melaukan “transformasi strukturalnya”, peran laki-laki dan
perempuan Jawa seolah telah dibedakan menjadi “ranah domestik dan ranah
publik”.
II. REFERENSI MATERI
Beauvoir SD. 1989. The Second Sex. New York [US]: Vintage
Chafetz JS. 2006. Handbook of the Sociology of Gender . New York [US]:
Springer Science+Business Media, LLC
Eller C. 2001. The Myth of Matriarchal Prehistory. Massachussets [US]: Beacon
Press
Fitria D. 2010. Nyai dalam Kekuasaan Patriarki. [Internet]. Dapat diunduh pada:
http://historia.id/budaya/nyai-dalam-kekuasaan-patriarki
Niehof A. 1998. The Changing Lives of Indonesian Women: Contained
Emancipation under Pressure. Bijdragen tot de Taal-,Land- en
Volkenkunde, Vol. 154, No.2 , Globalization, Localization and Indonesia,
pp. 236-258.
State PF. 2008. A Brief History of Netherlands. New York [US]: Facts on File
4
PERUBAHAN MAKNA PEREMPUAN JAWA1
I. MEMAKNAI PERAN PEREMPUAN DALAM KONTEKS HISTORIS
a. Gambaran Singkat Pra-Kolonialisme: Wajah Perkasa Perempuan
Perempuan Jawa memiliki daya tarik yang sangat besar bagi para peneliti
maupun sastrawan dari berbagai belahan dunia sejak jaman masa pra-kolonial
Belanda hingga saat ini. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa
perempuan Jawa memiliki banyak peran dalam masyarakat baik dari kalangan elit
(bangsawan) maupun yang hanya menjadi rakyat biasa. Namun, ada juga karya
sastra seperti “De Stille Kracht” karangan Louis Couperus (1863-1923) yang
menggambarkan perempuan Jawa hanya seperti boneka yang tersenyum simpul
dan meniadakan dirinya sendiri. Pendapat yang lebih dapat di percaya datang dari
sejarawan dan Indonesianis, Peter Cere dan Vincent Houben, yang menjelaskan
secara nyata bahwa masyarakat Jawa pada masa sebelum terjadinya perang Jawa
cenderung “matriarkis”2. Perempuan memiliki berbagai peran yang tidak kalah
pentingnya dalam masyakat dibanding dengan peran laki-laki.
Berbagai peran yang diemban oleh perempuan Jawa pada periode tersebut
antara lain: Pertama , Perempuan berperan sebagai prajurit (prajurut keparak
estri), perempuan benar-benar dilatih secara militer untuk dapat menggunakan
berbagai senjata seperti tameng, busur, pedang, panah beracun, tombak, tulup dan
bedhil; ahli menunggang kuda dan juga beladiri. Perempuan yang masuk kedalam
prajurit ini merupakan perempuan yang dinilai cerdas dan memiliki kecakapan
serta berparas menawan dan umumnya dipilih dari kalangan anak bangsawan atau
pejabat kraton. Pada masa Pakubuono V, teradapat 350 prajurit yang mengawal
sang raja. Kedua , Perempuan sebagai pemimpin peperangan, pada peran ini ada
beberapa peremuan yang benar-benar memimpin peperangan seperti Raden Ayu
Yudokusumo dan Nyai Ageng Serang. Keduanya perupakan sosok perempuan
Jawa yang sangat ditakuti oleh pemerintahan Belanda. Keduanya memiliki
kecerdasan yang tinggi, kemampuan besar dan siasat yang jitu seperti laki-laki.
Namun ada juga peran perempuan yang memotivasi anaknya untuk ikut dalam
peperangan seperti istri pensiinan Bupati Semarang, Kyai Adipati Suroadimonggolo IV. Ketiga , Perempuan sebagai pengusaha, perempuan tidak hanya
tinggal diam dirumah tetapi juga ikut menyokong perekonomian keluarga dengan
menjadi pedagang sesuai keinginannya sendiri. Selain berdagang, perempuan
Ahmad Makky Ar-Rozi Faris Rahmadian, Indria Retna Mutiar, Nana Kristiawan – Institut
Pertanian Bogor
2
Penggunaan istilah “matriarki” disini jauh lebih moderat, atau mengutip dari Eller (2001) bahwa
istilah “matriarki” dapat dinamis dalam ruang dan waktu yang berbeda (tidak selalu berbanding
lurus dengan “matrilineal”, dsb.), namun pada intinya menunjukkan indikasi kuasa perempuan
dalam ruang domestik dan non-domestik.
1
1
Jawa pada umumnya memang piawai dalam urusan uang, sehingga suami pada
umumnya menyerahkan urusan sepenuhnya pada istrinya. Umumnya komoditas
yang diperdagangkan oleh perempuan Jawa pada masa itu adalah kain tenun dan
juga hasil bumi. Keempat, Perempuan sebagai pemelihara pertalian keluarga
(Wangsa). Sebagaimana perempuan pada umumnya, perempuan Jawa juga
berperan utama dalam melahirkan generasi penerus keluarga dan sebagai wadah
untuk berprokreasi atau mejaga hubungan kekerabatan antara raja dan keluarga
terkemuka kerajaan. Oleh karena itu, dalam memilih pasangan hidup, seorang
bangsawan atau keturunan raja tidak hanya bertumpu pada paras cantik wanita
yang akan dinikahinya, tetapi juga kedudukan keluarga wanita tersebut. hal ini
agara pernihan tersebut juga memiliki manfaat politik yang dapat menguntungkan
kedua belah pihak; Kelima, Perempuan sebagai penghubung Istana dengan dunia
pedesaan. Hubungan antara perempuan Jawa yang telah menjadi kaum bangsawan
memiliki ikatan darah erat dengan rakyat, sehingga tidak ada satu pun orang Jawa
kelahiran ningrat yang bisa membanggakan diri memiliki darah biru yang murni.
Kebanyakan pasangan raja-juga prajurit estri dan selir- berasal dari keluarga kyai,
yaitu keluarga lokal baik-baik dana tau guru agama. Hubungan ini memiliki arti
yang sangat besar terutama dalam mempertahankan keratin melewati kondisi yang
sangat berat pada masa perang Jawa berlangsung. Keenam, Perempuan sebagai
penjaga tradisi Jawa, pembimbing anak, penunjuk agama, pujangga dan
penggemar sastra. Hal ini menunjukkan bahwa perempuan Jawa juga tetap handal
dalam urusan domestic dalam keluarganya, dalam satu keutuhan peran sebagai
pelestari nilai-nilai budaya dan spiritualitas Jawa (Carey 2016).
Berbagai peran tersebut diatas cukup untuk memberikan bukti adanya
ruang kuasa secara budaya dan peran “ekstra” (tidak sebatas pada ruang domestik)
perempuan Jawa pada masa pra-kolonial. Perempuan Jawa pada saat itu
menikmati kebebasan dan kesempatan untuk bertindak atau mengambil inisiatif
pribadi yang lebih luas daripada perempuan Jawa pada masa kolonial Belanda,
bahkan dalam kisah pewayangan pun hampir selalu ditunjukkan bagaimana
perempuan mampu mandiri dan “melawan”.
b. Gambaran Singkat
Perempuan
Kolonialisme:
Peyorasi
dan
Penundukkan
Setelah diketahui bagaimana kekuatan dan variasi peran perempuan
dalam kerajaan pada masa pra-kolonialisme, selanjutnya dibahas pula bagaimana
terjadinya perubahan secara cukup signifikan (berdasarkan fakta sejarah) peran
perempuan di ruang domestik dan non-domestik khususnya untuk di wilayah
Jawa. Menurut analisis kami, titik krusial perubahan dan bahkan upaya reduksi
peran perempuan muncul pada masa kolonialisme Belanda yang diawali sejak
abad ke-18. Seperti disebutkan oleh Vlekke (2008), bahwa pada masa awal
masuknya kolonialisme di Nusantara, yang paling utama dilakukan oleh pihak
2
Belanda adalah melakukan “transformasi struktural” di beberapa titik inti
resistensi agar mempermudah Belanda untuk melakukan perdagangan. Upaya
transformasi struktural ini baik secara langsung maupun tidak langsung juga
menyentuh aspek relasi kuasa pada perempuan. Seperti disebutkan Jan Greeve,
seorang Belanda yang merupakan Gubernur Pantai Timur Laut (dalam Carey
2016) bahwa perempuan-perempuan Jawa pada masa itu menunjukkan kekuatan
yang luar biasa hebat, bahkan menurutnya perempuan-perempuan tersebut (secara
spesifik prajurut keparak estri) merupakan barrier perang jarak dekat yang utama
dibandingkan laki-laki. Urgensi peran perempuan dan keterampilannya dalam
perang membuat Belanda harus memutar otak, yakni menciptakan perubahan
tidak sebatas melalui penaklukkan fisik, namun juga melalui penaklukkan ide dan
gagasan, atau secara lebih spesifik, melalui “budaya”. Terlebih seperti disebutkan
oleh State (2008), bahwa budaya Belanda sejak pra abad ke-16 identik dengan
“dominasi maskulin”, atau dalam artian bahwa laki-laki adalah sumber dari
segalanya termasuk untuk pengaturan terhadap kebebasan dan hak perempuan.
Sebelum era revolusi industri pada abad ke-19, perempuan di Belanda tidak
berhak memperoleh pendidikan, memiliki properti keluarga, bahkan hingga
mengatur agenda dan komponen-komponen dalam pernikahan. Kondisi tersebut
cukup berbanding terbalik dengan kondisi kuasa perempuan di Jawa, bahkan
terkait dengan budaya pernikahan, seperti disebutkan Carey (2016) tidak hanya
keputusan dalam mempersiapkan pernikahan, namun juga perceraian, yakni
perempuan dapat “membeli kebebasan” dirinya atas laki-laki dengan melakukan
perceraian berdasarkan keputusan yang subjektif, penceraian seperti itu disebut
mancal.
Aspek pernikahan merupakan salah satu contoh bentuk konfrontasi budaya
lokal Jawa dan Belanda yang cukup berbeda dan pada akhirnya mampu
diseragamkan (menuju gaya Belanda) oleh kolonialisme di Nusantara. Selain itu,
hegemoni maskulin juga dilakukan melalui penggeseran ruang perempuan dalam
seni sastra. Seperti telah disebutkan sebelumnya, karya sastra seperti “De Stille
Kracht” karangan Louis Couperus (dan beberapa lainnya) yang menggambarkan
perempuan Jawa hanya seperti boneka yang tersenyum simpul dengan pikiran
kosong adalah berbanding terbalik dengan karya sastra pewayangan klasik di
Jawa. Sebagai contoh, perempuan yang tampil di lakon wayang yang diilhami
Mahabharata dan Ramayana sama berani dan perkasa dengan suaminya, bahkan
istri Arjuna yakni Dewi Woro Sumbadra kerap digambarkan menentang dan
menyangkal suaminya demi kebaikan bersama (Carey 2016). Seperti disebutkan
oleh Beauvoir (1989), bahwa isu subordinasi perempuan dalam konteks sejarah
selalu erat dengan karya seni, literasi dan lain sebagainya, karena dari karya
tersebut dapat tercipta konstruksi sosial baru, yang tidak jarang menghasilkan
penindasan bagi perempuan. Pada titik ini kita dapat memahami bahwa upaya
peyorasi dan penciptaan “konstruksi sosial” baru terhadap ruang kuasa perempuan
3
oleh kolonialisme berlangsung secara sistematis dan tidak dilakukan secara
eksplisit dan manifes.
Chafetz (2006) menegaskan bagaimana budaya dapat menciptakan siapa
(dalam konteks gender) yang lebih dominan dan siapa yang lebih tertindas.
Budaya dapat menciptakan konformitas, yang akan terus mengalir dan melekat
pada generasi-generasi selanjutnya. Peran perempuan di dalam keluarga dan
masyarakat mengalami pergeseran pada masa kolonialisme, bahkan perempuan
kerap dikonstruksi sebagai “nyai”, di mana nyai mempunyai citra negatif yang
dilanggengkan oleh karya sastra dan panandangan penguasa koloni pada masa itu
(Fitria 2010). Lebih lanjut disebutkan, bahwa perempuan “nyai” hanya dijadikan
tidak lebih dari seorang budak, pembantu rumah tangga, teman tidur, dan
dijadikan sebagai penerjemah suami/tuan mereka. Seorang nyai tidak memiliki
hak atas anak, sehingga kedudukannya semakin terpinggirkan dan mengalami
ketidakjelasan atas perannya sebagai seorang perempuan. Padahal apabila kita
lihat dari konteks sejarah, perempuan menempati posisi penting di dalam
mendukung kedudukan suaminya. Seperti yang telah dijelaskan di atas, bahwa
perempuan memiliki peran penting di dalam keluarga dan sistem pemerintahan
pada masa itu, dari ekonomi dsb. (Niehof 1998). Pada tahap ini, kolonialisme
telah berhasil melaukan “transformasi strukturalnya”, peran laki-laki dan
perempuan Jawa seolah telah dibedakan menjadi “ranah domestik dan ranah
publik”.
II. REFERENSI MATERI
Beauvoir SD. 1989. The Second Sex. New York [US]: Vintage
Chafetz JS. 2006. Handbook of the Sociology of Gender . New York [US]:
Springer Science+Business Media, LLC
Eller C. 2001. The Myth of Matriarchal Prehistory. Massachussets [US]: Beacon
Press
Fitria D. 2010. Nyai dalam Kekuasaan Patriarki. [Internet]. Dapat diunduh pada:
http://historia.id/budaya/nyai-dalam-kekuasaan-patriarki
Niehof A. 1998. The Changing Lives of Indonesian Women: Contained
Emancipation under Pressure. Bijdragen tot de Taal-,Land- en
Volkenkunde, Vol. 154, No.2 , Globalization, Localization and Indonesia,
pp. 236-258.
State PF. 2008. A Brief History of Netherlands. New York [US]: Facts on File
4