AUDITING DALAM PERSPEKTIF ISLAM (2)
AUDITING DALAM PERSPEKTIF ISLAM
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Sejarah Auditing
Auditing adalah proses pengumpulan dan penilaian bukti-bukti yang dilakukan oleh pihak yang
independent dan kompeten, untuk menentukan apakah informasi yang di sajikan sesuai dengan
criteria yang ditetapkan.
Menurut catatan seorang ahli sejarah akuntansi, dikatakan bahwa : “ Asal usul auditing dimulai
lebih awal dibandingkan dengan asal usul akuntansi. Ketika kemajuan peradaban membawa pada
kebutuhan akan adanya orang yang dalam batas tertentu dipercaya untuk mengelola harta milik
orang lain, maka dipandang patut untuk melakukan pengecekan atas kesetiaan orang tersebut,
sehingga semuanya akan menjadi jelas”.
Dikatakan bahwa penguasa Mesir purba melakukan pemeriksaan independent dan atas catatan
penerimaan pajak, orang-orang Yunani kuno melakukan pemeriksaan atas rekening pejabat
public, sedangkan orang Romawi membandingkan antara pengeluaran dengan otorisasi
pembayaran, sementara para bangsawan penghuni puri di Inggris menunjuk auditor untuk
melakukan review atas catatan akuntansi dan laporan yang disiapkan oleh para pelayan mereka.
Awal audit terhadap perusahaan dapat dikaitkan dengan perundang-undangan Inggris
selama revolusi industri pada pertengahan tahun 1800-an. Kemajuan teknologi transportasi dan
industri telah menimbulkan skala ekonomi dan perusahaan yang lebih besar, munculnya manajer
professional, serta pertumbuhan kepemilikan perusahaan oleh banyak orang. Pada awalnya audit
terhadap perusahaan harus dilakukan oleh satu atau lebih pemegang saham yang bukan
merupakan pejabat perusahaan, serta mereka yang ditunjuk oleh pemegang saham lainnya
sebagai perwakilan pemegang saham. Profesi akuntansi segera bangkit dengan cepat untuk
memenuhi kebutuhan pasar serta perundang-undangan yang segera direvisi, sehingga
memungkinkan orang yang bukan pemegang saham dapat melakukan audit. Hal ini mendorong
munculnya berbagai formasi kantor-kantor audit. Beberapa diantara kantor-kantor auditor
Inggris Kuno seperti Deloitte & Co, Peat Marwick, & Mitchell, dan Price Waterhouse & Co.
yang masih dapat ditelusuri sampai saat ini serta masih membuka praktik di USA ataupun diluar
USA.
Pengaruh Inggris juga turut bermigrasi ke Amerika Serikat pada akhir tahun 1800-an
ketika para investor Inggris dan Skotlandia mengirimkan para Auditornya sendiri untuk
memeriksa kondisi perusahaan-perusahaan Amerika, tempat mereka telah berinvestasi dalam
jumlah yang sangat besar. Secara khusus mereka melakukan investasi dalam saham pabrik
pembuatan bir dan perkeretaapian. Focus awal audit ini mula-mula adalah untuk menemukan
penyimpangan dalam akun neraca serta menangkal pertumbuhan kecurangan yang berkaitan
dengan meningkatnya fenomena manajer professional serta pemilik saham yang pasif.
1.2. Munculnya Auditing pra-Islam
Akuntasi di kalangan Bangsa Arab sebelum Islam Dari studi sejarah peradaban arab, tampak
sekali betapa besarnya perhatian bangsa arab pada akuntansi. Hal ini terlihat pada usaha tiap
pedagang arab untuk mengetahui dan menghitung barang dagangannya, sejak mulai berangkat
sampai pulang kembali. Hitungan ini dilakukan untuk mengetahui perubahan pada keuangannya.
Setelah berkembangnya negeri, bertambahnya kabilah-kabilah, masuknya imigran-imigran dari
negri tetangga, dan berkembangnya perdaganan serta timbulnya usaha-usahainterven si
perdagangan, semakin kuatlah perhatian bangsa arab terhadap pembukuan dagang untuk
menjelaskan utang piutang. Orang-orang yahudipun (pada waktu itu) sudah biasa menyimpan
daftar-daftar (faktur) dagang. Semua telah nampak jelas dalam sejarah peradaban bangsa arab.
Jadi, konsep akuntansi dikalangan bangsa arab pada waktu itu dapat dilihat pada pembukuan
yang berdasarkan metode penjumlahan statistik yang sesuai dengan aturan-aturan penjumlahan
dan pengurangan.Untuk mengerjakan pembukuan ini, ada yang dikerjakan oleh pedagang sendiri
dan ada juga yang menyewa akuntan khusus. Pada waktu itu seorang akuntan disebut sebagai
katibul awal (pencatat keuangan) atau penaggung jawab keuangan.
BAB II
TEORI AKUNTASI DAN AUDITING
2.1. Pengertian Akuntansi
Dewasa ini, akuntasi telah mengalami perkembangan layaknya ilmu hukum, ilmu kedokteran,
serta hamper semua bidang kegiatan manusia, sejalan dengan tuntutan kebutuhan sosial dan
ekonomi masyarakat. Akuntansi telah mengembangkan konsep-konsep baru untuk mengimbangi
kebutuhan akan informasi keuangan yang terus menerus meningkat guna melaksanakan
pembangunan ekonomi dan program-program sosial. Akuntasi dapat di pandang dari dua sisi
pengertian yaitu sebagai pengetahuan keahlian yang dipraktekan dalam dunia nyata, dan sebagai
suatu disiplin ilmu pengetahuan yang diajarkan di perguruan tinggi. Pada awalnya, yaitu kirakira tahun 3000 SM, akuntansi ditemukan di Mesir Kuno dan pada masa pemerintahan Yunani.
Akuntansi yang ada pada saat itu hanya sekedar untuk mengetahui sumber-sumber keuangan
kerajaan. Sehingga belum ada suatu sistem akuntansi yang sistematis untuk satu unit tertentu
(hanya untuk sebagian transaksi saja). Di zaman Mesir Kuno tersebut dijelaskan bahwa untuk
mencatat transaksi hariannya, seorang manajer menggunakan calamos reed (sejenis kulit). Selain
itu dikenal pula dua macam teknik akuntansi, yaitu dengan koin (dalam amplop) dan token. Pada
tahun 1494, sistem double-entry mulai dikenal setelahnya sebagai system akuntansi modern,
yaitu harta sama dengan hutang ditambah dengan modal. Lucas Pacioli mengklaim dirinya
sebagai penemu pertama dari sistem akuntansi modern ini. Namun sebelumnya telah ada
beberapa temuan double-entry system, yaitu berasal dari kawasan Timur Tengah. Kaum
Muslimin berandil besar dalam perkembangan akuntansi dasar waktu itu. Setelah itu, bangsa
Eropa mulai berdatangan untuk mengupas secara mendalam tentang akuntansi versi Timur
Tengah tersebut.
1. Periode Kapitalis
2. Kapitalis Nascent
3. Merkantilis
4. Revolusi dan Industrialisasi
5. Perkembangan pesat bidang akuntansi secara terus-menerus
Timbulnya revolusi industry tahun 1776 menimbulkan efek positif terhadap perkembangan
akuntasi. Salah satu yang menonjol adalah perubahan cara memproduksi barang dari kerajinan
tangan ke pabrikasi. Hal ini menyebabkan spesialisasi dalam akuntansi biaya meningkat pesat
untuk memenuhi kebutuhan analisis biaya dan teknik pencatatannya. Akuntansi diperlukan untuk
menghadapi perkembangan ilmu pengetahuan yang berjalan sangat cepat, berkembangnya
kegiatan ekonomi, dan masalah perbandingan pelaporan keuangan antar perusahaan. Pada tahun
1800-1850, masyarakat mulai menggunakan dan menjadikan neraca sebagai tolak ukur kinerja
sebuah perusahaan. Pada periode ini dikenal pula pemeriksaaan keuangan (financial auditing).
Pada tahun 1850, laporan laba rugi mulai neggantikan peranan neraca dalam menilai efektivitas
dan efisiensi perusahaan. Ilmu audit berkembang semakin pesat pada periode ini Tahun 1900, di
Amerika Serikat diperkenalkan Sertifikat Profesi melalui ujian nasional untuk mendalami ilmu
akuntansi melalui edukasi. Adanya laporan tentang pajak. Serta akuntansi biaya mulai dikenal
termasuk laoran statistik biaya dan produksi. Pada tahun 2925, mulai di kenal akuntansi
pemerintah untuk mengawasi dana pemerintah, teknik-teknik analisis biaya mulai bermunculan
dan diperkenalkan, laporan keuangan diseragamkan antar perusahaan, dirumuskannya Norma
Pemeriksaan Akuntansi, dan lahirnya Akuntansi Perpajakan.
2.2. Pengertian Auditing
Ada beberapa pengertian audit yang diberikan oleh beberapa ahli di bidang akuntansi,
antara lain:
Menurut Alvin A.Arens dan James K.Loebbecke :
“Auditing is the accumulation and evaluation of evidence about information to determine and
report on the degree of correspondence between the information and established criteria.
Auditing should be done by a competent independent person”.
Menurut Mulyadi :
“Suatu proses sistematik untuk memperoleh dan mengevaluasi bukti secara obyektif mengenai
pernyataan-pernyataan tentang kegiatan dan kejadian ekonomi, dengan tujuan untuk menetapkan
tingkat kesesuaian antara pernyataan-pernyataan tersebut dengan kriteria yang telah ditetapkan,
serta penyampaian hasil-hasilnya kepada pemakai yang berkepentingan”.[1]
Secara umum pengertian di atas dapat diartikan bahwa audit adalah proses sistematis yang
dilakukan oleh orang yang kompeten dan independen dengan mengumpulkan dan mengevaluasi
bahan bukti dan bertujuan memberikan pendapat mengenai kewajaran laporan keuangan
tersebut.
Dalam melaksanakan audit faktor-faktor berikut harus diperhatikan:
1) Dibutuhkan informasi yang dapat diukur dan sejumlah kriteria (standar) yang dapat digunakan
sebagai panduan untuk mengevaluasi informasi tersebut, 2). Penetapan entitas ekonomi dan
periode waktu yang diaudit harus jelas untuk menentukan lingkup tanggungjawab auditor, 3).
1)
2)
3)
4)
1)
2)
3)
Bahan bukti harus diperoleh dalam jumlah dan kualitas yang cukup untuk memenuhi tujuan
audit, 4). Kemampuan auditor memahami kriteria yang digunakan serta sikap independen dalam
mengumpulkan bahan bukti yang diperlukan untuk mendukung kesimpulan yang akan
diambilnya.
Audit pada umumnya dibagi menjadi tiga golongan, yaitu : audit laporan keuangan, audit
kepatuhan, dan audit operasional.
Audit laporan keuangan (financial statement audit). Audit laporan keuangan adalah audit yang
dilakukan oleh auditor eksternal terhadap laporan keuangan kliennya untuk memberikan
pendapat apakah laporan keuangan tersebut disajikan sesuai dengan kriteria-kriteria yang telah
ditetapkan. Hasil audit lalu dibagikan
kepada pihak luar perusahaan seperti kreditor, pemegang saham, dan kantor pelayanan pajak.
Audit kepatuhan (compliance audit). Audit ini bertujuan untuk menentukan apakah yang
diperiksa sesuai dengan kondisi, peratuan, dan undang-undang tertentu. Kriteria-kriteria yang
ditetapkan dalam audit kepatuhan berasal dari sumber-sumber yang berbeda. Contohnya ia
mungkin bersumber dari manajemen dalam bentuk prosedur-prosedur pengendalian internal.
Audit kepatuhan biasanya disebut fungsi audit internal, karena oleh pegawai perusahaan.
Audit operasional (operational audit). Audit operasional merupakan penelahaan secara
sistematik aktivitas operasi organisasi dalam hubungannya dengan tujuan tertentu. Dalam audit
operasional, auditor diharapkan melakukan pengamatan yang obyektif dan analisis yang
komprehensif terhadap operasional-operasional tertentu. Tujuan audit operasional adalah untuk :
1). Menilai kinerja, kinerja dibandingkan dengan kebijakan-kebijakan, standar-standar, dan
sasaran-sasaran yang ditetapkan oleh manajemen, 2). Mengidentifikasikan peluang dan, 3).
Memberikan rekomendasi untuk perbaikan atau tindakan lebih lanjut. Pihak-pihak yang mungkin
meminta dilakukannya audit operasional adalah manajemen dan pihak ketiga. Hasil audit
operasional diserahkan kepada pihak yang meminta dilaksanakannya audit tersebut.
2.2.1. Tujuan dan manfaat audit independen
Tujuan umum audit atas laporan keuangan adalah untuk menyatakan pendapat atas
kewajaran laporan keuangan, dalam semua hal yang material, sesuai dengan prinsip-prinsip
akuntansi yang berlaku umum. Kewajaran laporan keuangan diukur berdasarkan asersi
terkandung dalam setiap unsur yang disajikan dalam laporan keuangan, yang disebut dengan
asersi manajemen.
Asersi manajemen yang disajikan dalam laporan keuangan dapat diklasifikasikan menjadi
lima kategori :
Keberadaan atau kejadian (existency or occurence). Asersi ini merupakan pernyataan
manajemen aktiva, kewajiban, dan ekuitas yang tercantum dalam neraca benar-benar ada pada
tanggal neraca serta apakah pendapatan dan beban yang tercantum dalam laporan rugi laba
benar-benar terjadi selama periode akuntansi.
Kelengkapan (completeness). Kelengkapan berarti semua transaksi dan akun-akun yang
seharusnya tercatat dalam laporan keuangan telah dicatat. Asersi kelengkapan berlawanan
dengan asersi keberadaan. Jika asersi keberadaan tidak benar maka akun akan dinyatakan terlalu
tinggi, sementara jika asersi kelengkapan tidak benar, maka akun akan dinyatakan terlalu rendah.
Asersi kelengkapan berkaitan dengan kemungkinan hilangnya hal-hal yang harus dicantumkan
dalam laporan keuangan, sedangkan asersi keberadaan berkaitan dengan penyebutan angka yang
seharusnya tidak dimasukkan.
Hak dan kewajiban (rights and obligations). Auditor harus memastikan apakah aktiva memang
menjadi hak klien dan apakah kewajiban merupakan hutang klien pada tanggal tertentu.
4) Penilaian atau alokasi (valluation or allocation). Asersi ini menyangkut apakah aktiva,
kewajiban, ekuitas, pendapatan, atau beban telah dicantumkan dalam laporan keuangan pada
jumlah yang tepat.
5) Penyajian dan pengungkapan (presentation and disclosure). Asersi ini menyangkut masalah
apakah komponen-komponen laporan keuangan telah diklasifikasikan, diuraikan, dan
diungkapkan secara tepat. Pengungkapan berhubungan dengan apakah informasi dalam laporan
keuangan, termasuk catatan yang terkait, telah menjelaskan secara gamblang hal-hal yang dapat
mempengaruhi penggunaannya.
Independensi
Masalah utama yang dihadapi oleh akuntan publik saat ini adalah berkurangnya
kekuasaan mereka dalam melaksanakan penugasan. Seorang akuntan yang independen dituntut
untuk bertindak sesuai dengan peraturan perundangan dan kode etik profesi. Fenomena
hubungan antara akuntan publik dengan klien telah menjadi pusat perhatian bagi para pembuat
keputusan, seperti investor, kreditor, dan pemegang saham.
Mereka sangat menyadari adanya kemampuan yang dimiliki oleh pihak manajemen
perusahaan. Pertama, kemampuan yang berkaitan dengan kecenderungan manajemen perusahaan
untuk memanipulasi kinerja laporan keuangan perusahaan dengan tujuan untuk mendapatkan
penilaian yang positif atas tanggung jawabnya sebagai pihak yang mengelola perusahaan.
Kecenderungan ini dikenal dengan istilah window dressing, biasanya dilakukan dengan cara
memperbaiki laporan keuangan sedemikian rupa sehingga tampak lebih baik dari semestinya.
Berbeda dengan profesi lain, auditor tidak dapat bertindak untuk kepentingan kliennya
sebagaimana pengacara dengan kliennya. Meskipun dibayar oleh klien akuntan publik bekerja
bagi kepentingan masyarakat umum. Auditor harus independen dalam dari segala kewajiban dan
pemilikan kepentingan dalam perusahaan yang diauditnya. Ia harus pula menghindari keadaankeadaan yang dapat mengakibatkan masyarakat meragukan independensinya. Dalam
kenyataannya auditor seringkali menemui kesulitan dalam mempertahankan sikap mental
independen. Keadaan yang seringkali mengganggu sikap mental independen auditor adalah
sebagai berikut :
1. Sebagai seorang yang melaksanakan audit secara independen, auditor dibayar oleh kliennya atas
jasanya tersebut.
2. Kecenderungan untuk memuaskan kliennya.
3. Resiko kehilangan klien.
Jenis-jenis auditor
Auditor biasanya diklasifikasikan dalam tiga kategori berdasarkan siapa yang
mempekerjakan mereka : akuntan publik, akuntan pemerintah, dan akuntan intern.
Akuntan publik. Akuntan publik adalah akuntan professional yang menjual jasanya kepada
masyarakat umum, terutama daam bidang pemeriksaan terhadap laporan keuangan yang dibuat
oleh kliennya.
Akuntan pemerintah. Akuntan pemerintah adalah akuntan profesional yang bekerja di instansi
pemerintah yang tugas pokoknya melakukan pemeriksaan terhadap pertanggungjawaban
keuangan yang disajikan oleh unit-unit organisasi dalam pemerintahan atau pertanggungjawaban
keuangan yang ditujukan kepada pemerintah.
Akuntan intern. Adalah akuntan yang bekerja dalam perusahaan yang tugas pokoknya adalah
menentukan apakah kebijakan dan prosedur yang ditetapkan oleh manajemen puncak telah
dipatuhi, menentukan baik atau tidaknya penjagaan terhadap aset-aset organisasi, menentukan
efisiensi dan efektivitas prosedur kegiatan organisasi, serta menentukan keandalan informasi
yang dihasilkan oleh berbagai bagian organisasi.
2.2.
Laporan Auditor
2.3.1. Pengertian dan jenis-jenis laporan auditor
Pembuatan laporan auditor adalah langkah terakhir dan paling penting dari keseluruhan
proses audit. Secara umum laporan auditor dapat didefinisikan sebagai laporan yang menyatakan
pendapat auditor yang independen mengenai kelayakan atau ketepatan pernyataan klien bahwa
laporan keuangannya disajikan secara wajar sesuai dengan prinsip-prinsip akuntan yang berlaku
umum, yang diterapkan secara konsisten dengan tahun sebelumnya. Dalam menyiapkan dan
menerbitkan sebuah laporan audit, auditor harus berpedoman pada empat standar pelaporan yang
terdapat dalam Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP).
Terpenting, harus dilihat standar yang terakhir karena standar ini mensyaratkan suatu
pernyataan pendapat atas laporan keuangan secara keseluruhan atau pernyataan bahwa pendapat
tidak dapat diberikan disertai dengan alasan-alasannya. Standar ini mensyaratkan adanya
pernyataan auditor secara jelas mengenai sifat pemeriksaan yang telah dilakukan dan sampai
dimana auditor membatasi tanggungjawabnya. Pendapat auditor tersebut disajikan dalam suatu
laporan tertulis yang umumnya berupa laporan audit bentuk baku.
Menyadari fungsi utama laporan audit sebagai media komunikasi antara manajemen
dengan pihak-pihak lain yang berkepentingan, maka dibutuhkan adanya keseragaman pelaporan
untuk menghindari kerancuan. Oleh karena itu standar profesional telah merumuskan dan
merinci berbagai jenis laporan audit yang harus disertakan pada laporan keuangan.
Terdapat beberapa jenis pendapat akuntan yang diberikannya berkenaan dengan suatu
pemeriksaan umum, yaitu :
1. Pendapat wajar tanpa pengecualian (unqualified opinion).
2. Pendapat wajar tanpa pengecualian dengan bahasa penjelasan (unqualified opinion with
explanatory language).
3. Pendapat wajar dengan pengecualian (qualified opinion).
4. Pendapat tidak wajar (adverse opinion).
5. Pernyataan tidak memberikan pendapat (disclaimer of opinion).
1). Laporan pendapat wajar tanpa pengecualian (unqualified opinion)
Istilah unqualified disini bukan berarti tidak memenuhi syarat atau tidak qualified. Arti
unqualified disini adalah tanpa kualifikasi (qualification) atau tanpa reserve atau tanpa
keberatan-keberatan. Pendapat wajar tanpa pengecualian diberikan auditor jika tidak terjadi
pembatasan dalam lingkup audit dan tidak terdapat pengecualian yang signifikan mengenai
kewajaran dan penerapan prinsip akuntansi yang berlaku umum dalam penyusunan laporan
keuangan, konsistensi penerapan prinsip akuntansi yang berlaku umum, serta pengungkapan
memadai dalam laporan keuangan. Laporan keuangan dianggap menyajikan secara wajar posisi
keuangan dan hasil usaha suatu organisasi, sesuai dengan prinsip-prinsip akuntansi yang berlaku
umum jika memenuhi kondisi-kondisi berikut :
2)
Prinsip akuntansi berlaku umum digunakan untuk menyusun laporan keuangan
Perubahan penerapan prinsip akuntansi berlaku umum dari periode ke periode telah
cukup dijelaskan
Informasi dalam catatan-catatan yang mendukungnya telah digambarkan dan dijelaskan
dengan cukup dalam laporan keuangan sesuai prinsip-prinsip akuntansi yang berlaku
umum
Laporan pendapat wajar tanpa pengecualian dengan bahasa penjelasan
(unqualified
opinion with explanatory language).
Laporan keuangan tetap menyajikan secara wajar posisi keuangan dan hasil usaha perusahaan
klien namun ditambah dengan hal-hal yang memerlukan bahasa penjelasan.
3). Laporan pendapat wajar dengan pengecualian (qualified opinion)
Pendapat ini hanya diberikan jika secara keseluruhan laporan keuangan yang disajikan oleh klien
adalah wajar, tetapi ada beberapa unsur yang dikecualikan, yang pengecualiannya tidak
mempengaruhi kewajaran laporan keuangan secara keseluruhan. Terdapat beberapa kondisi yang
membuat auditor harus memberikan pendapat wajar dengan pengecualian, yaitu :
Lingkup audit dibatasi oleh klien
Auditor tidak dapat melaksanakan prosedur audit penting atau tidak dapat
memperoleh
informasi penting karena kondisi-kondisi yang berada di luar kekuasaan klien dan auditor
Laporan keuangan tidak disusun sesuai dengan prinsip akuntansi berlaku umum
Prinsip akuntansi berlaku umum yang digunakan dalam penyusunan laporan keuangan tidak
diterapakan secara konsisten
4). Laporan pendapat tidak wajar (adverse opinion)
Pendapat tidak wajar diberikan jika laporan keuangan klien tidak disusun berdasarkan prinsipprinsip akuntansi yang berlaku umum sehingga tidak menyajikan secara wajar posisi keuangan,
hasil usaha, perubahan saldo laba dan arus kas perusahaan klien. Auditor memeberikan pendapat
tidak wajar jika tidak terdapat pembatasan bukti audit. Pendapat tidak wajar merupakan
kebalikan pendapat wajar dengan pengecualian. Auditor memberikan pendapat tidak wajar jika ia
tidak dibatasi lingkup auditnya, sehingga ia dapat mengumpulkan bukti kompeten dalam jumlah
cukup untuk mendukung pendapatnya.
5). Pernyataan tidak memberikan pendapat (disclaimer of opinion)
Pernyataan tidak memberikan pendapat diberikan auditor jika ia tidak berhasil menyakinkan
dirinya bahwa keseluruhan laporan keuangan telah disajikan secara wajar. Pernyataan tidak
memberikan pendapat diberikan jika antara lain, terdapat banyak pembatasan lingkup audit,
hubungan yang tidak independen antara auditor dan klien. Masing-masing kondisi tersebut tidak
memungkinkan auditor untuk dapat menyatakan pendapatnya atas laporan keuangan secara
keseluruhan.
2.3.2. Tujuan dan manfaat laporan auditor
Dalam perusahaan perseroan, dimana para manajer ditempatkan pada posisi dimana
mereka dapat menguntungkan perusahaan yang tercermin dalam laporan keuangan yang
disusunnya dalam suatu periode tertentu. Laporan keuangan yang disusun merupakan bentuk
pertanggungjawaban dari hasil pekerjaannya selama suatu periode. Para manajer tergoda untuk
menyajikan laporan keuangan yang berat sebelah, mengandung hal-hal yang tidak benar, dan
mungkin menyembunyikan informasi informasi tertentu kepada pihak-pihak lain yang
berkepentingan terhadap laporan keuangan itu, termasuk investor, kreditor, dan regulator.
Oleh karena itu masyarakat keuangan membutuhkan jasa profesional untuk menilai
kewajaran informasi keuangan yang disajikan oleh manajemen. Atas dasar informasi keuangan
yang andal, masyarakat akan memiliki basis yang kuat untuk menyalurkan dana mereka ke
usaha-usaha yang beroperasi secara efisien dan memiliki posisi keuangan yang sehat. Untuk itu
masyarakat menghendaki agar laporan keuangan yang diserahkan kepada mereka diperiksa lebih
dulu oleh auditor independen. Keterlibatan audit yang independen akan memberikan manfaatmanfaat antara lain, menambah kredibilitas laporan keuangan, mengurangi kecurangan
perusahaan, dan memberikan dasar yang lebih dipercaya untuk pelaporan pajak dan laporan
keuangan lain yang harus diserahkan kepada pemerintah.
BAB III
AUDITING DALAM ISLAM
3.1. Sejarah Akuntasi Islam
Apabila kita pelajari "Sejarah Islam" ditemukan bahwa setelah munculnya Islam di Semenanjung
Arab di bawah pimpinan Rasulullah SAW dan terbentuknya Daulah Islamiah di Madinah yang
kemudian di lanjutkan oleh para Khulafaur Rasyidin terdapat undang-undang akuntansi yang
diterapkan untuk perorangan, perserikatan (syarikah) atau perusahaan, akuntansi wakaf, hak-hak
pelarangan penggunaan harta (hijr), dan anggaran negara. Rasulullah SAW sendiri pada masa
hidupnya juga telah mendidik secara khusus beberapa sahabat untuk menangani profesi akuntan
dengan sebutan "hafazhatul amwal" (pengawas keuangan). Bahkan Al Quran sebagai kitab suci
umat Islam menganggap masalah ini sebagai suatu masalah serius dengan diturunkannya ayat
terpanjang , yakni surah Al-Baqarah ayat 282 yang menjelaskan fungsi-fungsi pencatatan
transaksi, dasar-dasarnya, dan manfaat-manfaatnya, seperti yang diterangkan oleh kaidah-kaidah
hukum yang harus dipedomani dalam hal tersebut. Sebagaimana pada awal ayat tersebut
menyatakan "Hai, orang-orang yang beriman apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai
untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis
di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya
sebagaimana Allah telah mengajarkannya…….”
3.2.Perkembangan Akuntansi di Negara Islam
“setiap ilmu tumbuh dari suatu kemahiran yang diupayakan. Sebelum menjadi ilmu, harus
ada praktik dan pengalaman, berdasarkan hal ini, maka ilmu itu merupakan hasil dari
pengalaman yang menentukan tanda-tanda ilmu tersebut. (Heaps, 1985, hal. 21)
Berdasarkan apa yang dikatakan oleh Heaps, maka munculnya sistem pencatatan sisi-sisi
transaksi atau yang dikenal dengan nama sistem pembukaan ganda (double entry), baik sebagai
ilmu maupun sebagai seni, atau sebagai yang lain, harus tumbuh dari suatu kemahiran yang
diupayakan. Kemahiran yang diupayakan ini harus tegak di atas adanya suatu praktik kerja.
Demikian pula, praktik kerja ini bukan lahir dengan sendirinya, namun tegak di atas suatu
bangunan yang tinggi dan kokoh. Bangunan yang tinggi nan kokoh ini adalah pengetahuan yang
turun menurun dari generasi ke generasi. Jadi, hal ini mempertegas bahwa pengetahuan yang
dapat menumbuhkan adanya praktik kerja dan kemahiran untuk sistem pencatatan sisi-sisi
transaksi asasnya telah ada di negara Islam, yang timbul karena adanya berbagai faktor.
Sementara itu, kami tidak melihat adanya faktor apa pun yang membantu perkembangan ini di
dalam Republik Itali. Di antara yang patut disebutkan bahwa akuntansi yang kami lihat
praktiknya di dunia Arab, kemudian perkembangannya di dunia Islam, telah dijelaskan oleh Al
Mazindarani bahwa itu merupakan suatu ilmu. Baik sebagai ilmu atau seni, atau yang lain, di
sana terdapat berbagai faktor yang ikut andil, atau pada hakikatnya mengundang pekerjaan
akuntansi di negara Islam. Faktor-faktor ini berkaitan erat dengan kebutuhan-kebutuhan negara
Islam dari satu sisi, dan dari sisi yang lain dengan kebutuhan-kebutuhan kaum muslimin secara
pribadi. Di antara faktor-faktor tersebut adalah pendirian kantor-kantor pemerintahan,
speisialisasi kemampuan, dan kebutuhan terhadap adanya pegawai yang kapabel. Di samping
faktor-faktor tersebut yang erat kaitannya dengan kebutuhan negara Islam, di sana terdapat faktor
lain yang ikut andil dalam peletakan dasar-dasar akuntansi dan mendorong pengembangan
akuntasi di dalam negara Islam, dari sisi kebutuhan pribadi muslim, yaitu faktor zakat. Sebab,
seorang muslim senantiasa membutuhkan suatu cara yang membantu dirinya untuk memenuhi
kewajiban-kewajibannya sebagai seorang muslim dari segi perhitungan zakat yang harus
dikeluarkan sesuai dengan syari’at Islam, yang merupakan salah satu rukun Islam.
Pedirian kantor-kantor pemerintahan berkaitan erat dengan sistem administrasi, sejak
pendirian awal negara Islam di Madinah Al Munawwarah pada tahun 622 M., yaitu pada tahun
pertama Hijriyah. Pada saat itu, kantor-kantor pemerintahan dikenal dengan nama Dawawin, dan
bentuk tunggalnya adalah diwan . Kata diwan berasal dari kata Parsi, tetapi definisi dan
penggunaanya telah berjalan di negara Islam. Kata diwan artinya adalah tempat bekerja para
pegawai, yaitu tempat pencatatan dan penyimpanan buku-buku akuntansi (Muhammad Al Marisi
Lasyin, 1973, hal. 26). Ibnu Khaldun berkata, “Asal penamaan ini adalah, pada suatu hari Kisra
melihat para pegawai di kantornya sedang menghitung sendiri, seolah-olah mereka berbicara
(sendiri). Lalu, Kisra berkata, “Diwanah”. Arti kata tersebut adalah “gila”, lalu tempat mereka itu
dikatakan “Diwanah”. Karena kata tersebut sering diucapkan, huruf ha’nya dibuang untuk
mempermudah pengucapan, dan menjadi kata “diwan”. (hal. 268). Tampaknya, kata diwan telah
digunakan bersamaan awal reformasi sistem kantor-kantor pemerintahan dalam bentuk yang
lebih baik dari yang sebelumnya. Salah satu ensiklopedi ilmiah menyebutkan bahwa sistem
resmi pertama untuk diwan-diwan telah dibuat sekitar tahun 14 H./634 M. (Britanica, Vol. 22,
hal. 109) yakni pada masa Khalifah Umar Ibnul Khathab radliyallahhu’anhu.
Adapun spesialisasi kemampuan mempunyai signifikansi, karena adanya pembagian
fungsi dan pekerjaan di negara Islam. Hal ini telah dimulai pada masa kehidupan Rasulullah
shallallahu `alaihi wasallam (Muhammad Al Marisi Lasin, 1973, hal. 5). Demikian pula hak dan
kewajiban para pegawai di semua level dari sistem administrasi telah dikenal sejak pendirian
negara Islam di Madinah pada tahun 622 M. Rasulullah Muhammad shallallahu `alaihi wasallam
memiliki 42 penulis yang memiliki spesialisasi di dalam pemerintahannya yang didirikan di
Madinah. Setiap pegawai memiliki peran tertentu, demikian pula kewajiban dan gaji mereka juga
tertentu dan jelas. (Muhammad Al Hawari (A), 1989, hal. 5).
Adapun para pegawai yang kompeten telah mendapatkan perhatian dari negara Islam.
Sejak awal, negara Islam telah menaruh perhatian pada pemilihan pegawai yang berspesialisasi.
Demikian pula kebijakan Rasulullah Muhammad shallallahu `alaihi wasallam dalam memilih
pegawai, yaitu dari orang-orang yang beliau pandang memiliki kapabilitas dan kapasitas untuk
menduduki jabatan. Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam memilih para pegawai itu dari para
sahabatnya yang memiliki kapabilitas serta kemampuan dan kelayakan untuk menerima jabatan.
(Muhammad Hawari (B), 1989, hal. 16).
Di negara Islam, para akuntan terbagi dalam tujuh fungsi, enam fungsi berkaitan dengan
pekerjaan akuntansi, dan satu fungsi khusus untuk mengoreksi pembukuan. Fungsi pengoreksian
pembukuan memiliki kepentingan khusus, hal ini serupa dengan yang kita namakan muraja’atul
hisabat ( pengoreksian pembukuan/auditing), atau tadqiqul hisabat (pengakurasian pembukuan),
atau ar riqabatul kharijiyyah (pengawasan ekstern). Namun, kami hanya menganggap penamaan
yang pertama sebagai ungkapan yang paling tepat untuk watak pekerjaan tersebut. Adapun
penamaan kedua dan ketiga, kami pandang tidak sesuai dengan watak pekerjaan tersebut dan
tugas yang diberikan kepada auditor. Tugas auditor adalah memeriksa apa yang telah dibukukan.
(Al Qalqasyandi, hal. 130-139). Al Qalqasyandi telah menggambarkan tugas seorang auditor dan
kebutuhan terhadapnya. Dia berkata, “Enam yang lain tidaklah terpelihara dari sifat lupa dan
kesalahan dalam menghitung atau mencatat, sebagaimana yang sudah terkenal bahwa manusia
itu tidak melihat kesalahan-kesalahannya sendiri tetapi melihat kesalahan-kesalahan orang lain,
maka pimpinan kantor harus memilih seseorang untuk mengoreksi pembukuan. Orang yang
dipilih tersebut harus menguasai bahasa Arab, hafal Al Qur’anul Karim, cerdas, berakal, jujur,
tidak menyakiti orang lain. Ketika seorang auditor merasa puas terhadap isi buku yang
dikoreksinya, dia harus memaraf buku tersebut sebagai tanda bahwa dia telah puas dan menerima
isi buku tersebut. (Ibid).
Adapun zakat juga termasuk bagian dari unsur-unsur yang ikut andil dalam
pengembangan akuntansi di negara Islam. Ini jika tidak termasuk unsur asasi. Zakat adalah salah
satu rukun Islam yang lima, dan di negara Islam, dibayarkan kepada Baitul Mal. Baitul Mal ini
sekarang dinamakan Perbendaharaan Umum atau Perbendaharaan Negara. Al Qur’anul Karim
telah menentukan sumber-sumber yang wajib dikeluarkan zakatnya, dan obyek-obyek
penyalurannya sebagaimana firman Allah Subhanahu Wa Ta`ala:
“Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, penguruspengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang
yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai
suatu ketetapan yang diwajibkan Allah.” (At Taubah : 60)
Seorang muslim wajib membayar zakat, maka seorang muslim senantiasa membutuhkan suatu
cara yang dapat membantunya dalam menentukan jumlah zakat yang harus dibayarnya. Oleh
karena itu, kami tidak menganggap mustahil bahwa masalah penentuan jumlah zakat merupakan
faktor asasi yang mengantarkan kepada pengembangan akuntansi di negara Islam. Hal itu agar
seorang muslim dapat mengetahui perubahan-perubahan pada hartanya, dan selanjutnya adalah
perhitungan zakat yang harus dikeluarkan karena bertambahnya harta seorang muslim selama
satu tahun penuh, di samping dari laba yang diperoleh dari modal yang berputar.
Perkembangan akuntansi di negara Islam mencapai puncaknya dalam membangun
pengertian akuntansi sebagai suatu sarana untuk pengambilan keputusan sebagai tujuan asasi
bagi penggunaan akuntansi. Anehnya, hal inilah yang menjadi tujuan penggunaan akuntasi pada
masa kita sekarang ini. Para penulis sekarang ini mengaku bahwa merekalah yang
mengembangkan pengertian ini pada abad sekarang. Barangkali, pengakuan mereka ini
disebabkan oleh kejahilan mereka terhadap sejarah dan peran akuntansi di negara Islam.
Demikian pula, boleh jadi mereka membangun tujuan ini pada abad XX M., sementara tujuan ini
telah populer di negara Islam sejak abad I H. atau abad VII M. Di antara yang menjelaskan
tujuan ini dan realisasinya di negara Islam adalah perkataan Imam Syafi’i rahimahullah :
“Barang siapa mempelajari hisab (akuntansi) pikirannya bagus.” (Husain Syahatah, 1993, hal.
45). Perlu diketahaui bahwa Imam Safi’i hidup pada tahun 150-204 H./767-820 M. Hal ini tidak
saja menjelaskan peran yang dimainkan akuntansi dan signifikansinya pada waktu itu, tetapi juga
menjelaskan pengetahuan masyarakat pada saat itu terhadap peran dan signifikansi tersebut. Hal
ini tampak dalam bentuk khusus, ketika ucapan ini datang dari seorang yang faqih, bukan datang
dari spesialis akuntansi. Setelah itu, Imam Syafi’Ii menjelaskan ucapannya itu, yaitu
sesungguhnya seorang pedagang atau yang lain tidak dapat mengambil keputusan secara benar
atau mengeluarkan pemikiran yang tepat tanpa bantuan data-data yang tercatat dalam buku.
(Ibid). Para fuqaha’ berkata bahwa di antara kewajiban seorang muslim adalah mempelajari
hukum-hukum ibadah yang menjadikan shalat, shaum, dan zakatnya sah, serta hal-hal yang
harus diketahui untuk menunaikan manasik hajinya. Demikian pula dia harus mengetahui
hukum-hukum jual beli jika ingin berprofesi sebagai seorang pedagang; dan mempelajari
akuntansi, sehingga ia tiadak berbuat zhalim dan tidak dizhalimi. Hal inilah yang disebut ilmu
dlaruri. (Abu Hamid Al Ghazali, 1400 H., vol. 1, juz 1-3, hal. 42-30) juga (Sayid Sabiq,1403
H./1983 M., vol. III, juz 11-14, hal. 125-126).
Pengertian akuntansi dan tujuan penggunaannya telah berkembang dari sekadar sebagai
sarana untuk menentukan modal di akhir periode V dan untuk mengukur keuntungan melalui
selisih modal pada dua priode, hal ini terjadi pada masa sebelum Islam, menjadi sebagai sarana
untuk memperoleh informasi yang bermanfaat dalam pengambilan keputusan dan penentuan
tanggung jawab, hal ini terjadi pada berbagai masa negara Islam. Al Qalqasyandi berkata,
“Seorang akuntan harus berpegang pada aturan-aturan atau format-format yang telah disiapkan
sebelumnya, dan tidak boleh melanggar selamanya”. (hal. 54). Hal ini menunjukkan
perkembangan akuntansi dan adanya sistem pengawsan intern yang berkaitan erat dengannya.
Semuanya itu diprogram, diinterpretasikan, dan diaplikasikan menurut syariat Islam. Demikian
pula perkembangan dalam pengertian akuntansi dan tujuan penggunaannya ini terlihat dalam
perkataan Al Qalqasyandi yang lain. Dia berkata, “Sesungguhnya pekerjaan akuntansi dibangun
atas dasar kenyakinan”. (hal. 154). Perkataan ini, secara khusus, memantulkan dalam pemikiran
kami akan pentingnya sistem dokumentasi. Sebab, hitungan-hitungan yang dicatat dalam buku
harus diyakini kebenarannya; dan keyakinan ini tidak akan terwujud kecuali dengan adanya
bukti-bukti yang memadai yang dapat menetapkan terjadinya transaksi dari satu sisi, dan
kebenaran pencatatan di dalam buku dari sisi yang lain.
Perkembangan akuntasi di negara Islam tampak jelas pula bahwa seorang akuntan yang
bertanggung jawab atas pembukuan pengeluaran-pengeluaran harus meneliti pengeluaranpengeluaran yang dilakukan oleh perangkat negara itu, untuk membuat ketetapan apabila
terdapat perbedaan-perbedaan di antara tahun-tahun keuangan. (Muhammad Al Marisi Lasyin,
1973, hal. 37). Ini merupakan bukti lain tentang pengembangan pengertian akuntansi sebagai
sarana informasi yang bertujuan mengambil keputusan sekitar jalannya pengeluaran-pengeluaran
itu. Hal ini mengandung pembatasan perbedaan apa pun atau keraguan-keraguan dari tahun ke
tahun. Selanjutnya adalah pembatasan penanggungjawab perbedaan-perbedaan tersebut, lalu
pengambilan-pengambilan tindakan-tindakan yang pasti ketika perbedaan-perbedaan itu tidak
dapat di tolerir.
Imam Ghazali menyebutkan bahwa faktor yang mendukung perkembangan pengertian
akuntansi, dan selanjutnya adalah perkembangan tujuan penggunaan adalah perhatian terhadap
pengawasan diri. (juz XV, hal. 6-7). Sesunguhnya asas dalam pengawasan diri adalah takut
kepada Allah. Ini adalah ciri seorang muslim penganut aqidah yang mengetahui bahwa Allah
melihatnya. Selanjutnya, dia akan mengawasi dirinya karena dia mengetahui di sana ada
Pengawas yang dapat melihat apa yang tidak bisa dilihat oleh manusia, dan dapat mendengar apa
yang tidak dapat didengar oleh selain-Nya di antara makhluq-makhluq-Nya. Hal ini tampak jelas
di dalam firman Allah Tabaraka Wa Ta’ala:
“Dan jika kamu melihatkan apa yang ada di hatimu atau kamu menyembunyikannya, niscaya
Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatanmu itu”. (Al Baqarah:284)
Pengawasan diri inilah yang menjadikan seorang muslim menghisab dirinya sebelum
dihisab, khususnya mereka yang memiliki nafsu lawwamah.
Dalam hal ini, Khalifah Umar Ibnul Khaththab radliyallahu `anhu berkata, “Hisablah diri kalian
sebelum dihisab; timbanglah amal kalian sebelum amal kalian ditimbangkan; dan bersiapsiaplah kalian untuk menghadapi penampakan amal”.
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa perkembangan buku-buku akuntansi dan kantorkantor pemerintahan terjadi pada masa khalifah Al Faruq Amirul Mu’minin Umar bin Khaththab
radliyallahu `anhu , maka kita patut mengkaitkan antara perkataannya ini dan perkembangan
tersebut, dan bagaimana beliau menerjemahkan jiwa lawwamah ke dalam realitas secara umum,
dan barangkali dari segi keuangan secara khusus. Wallahu A’lam. Sebab, pengawasan diri dan
muhasabah terhadap diri merupakan tuntutan asasi dari ajaran syari’at Islam sebagaimana
terdapat di dalam Al Qur’an dan As Sunah. Diantaranya firman Allah Subhanahu Wa Ta`ala:
“Bacalah kitabmu, cukuplah dirimu sendiri pada waktu ini sebagai penghisab terhadap
dirimu”. (Al Isra':14)
Dari As Sunnah An Nabawiyyah, sesungguhnya pengawasan tersebut dari hasil
muhasabah terhadap diri sendiri. Muhasabah yang dimaksud dalam hal ini adalah
pertanggungjawaban . Hal ini tampak jelas di dalam perkataan Nabi shallallahu `alaihi wasallam:
“Tidak akan beranjak kedua kaki seorang hamba pada hari kiamat sebelum ditanya tentang
empat perkara, yaitu : tentang umurnya, dihabiskan untuk apa; tentang masa mudanya,
dihabiskan untuk apa; tentang hartanya, dari mana diproleh dan dibelanjakan untuk apa; dan
tentang ilmunya, apa yang telah diperbuat dengan ilmu tersebut”. (H.R. Tirmidzi, dan menurut
beliau hadits ini hasan shahih).
Hadits lain adalah dari Miqdam bin Ma’di Yakrib bahwa sayyidul basyar, Muhammad
shallallahu `alaihi wasallam menepuk pundaknya, kemudian berkata:
“Wahai Qadim (Miqdam? pen,) beruntunglah kamu, jika kamu meninggal tidak dalam keadaan
menjadi amir, tidak menjadi pencatat (katib), dan tidak menjadi pemimpin”. (H.R. Abu Dawud)
Makna kata “katib” disini adalah pencatat pekerjaan dan penghitungnya. (Zakiyyudin Abdul
Azhim bin Abdul Qawiy Al Mundziri, 1986, juz 3, hal. 159)
Sebelumnya telah dikatakan bahwa awal pencatatan transaksi di dalam buku bersamaan
dengan berawalnya negara Islam pada masa Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam sebagai
akibat bertambahnya pemasukan negara dari berbagai penaklukan dan zakat, terutama setelah
pemasukan tersebut semakin banyak dan tidak seluruhnya dapat dibagikan pada saat itu. Tidak
diragukan lagi bahwa pencatatan di dalam buku pada awal masa tersebut berjalan sesuai dengan
cara yang diikuti sebelum Islam. Tetapi, pelaksanaan pencatatan tersebut berkembang pada masa
khalifah kedua, yaitu khalifah Al Faruq Umar Ibnul Khaththab radliyallahu `anhu pada tahun
14--24 H. /636--646 M. Beliaulah yang memerintahkan mencatat harta umum diklasifikasikan
sesuai dengan sumber pendapatannya. Perkembangan pada masa khalifah Umar Ibnul Khaththab
ini meliputi penentuan hakikat buku yang harus digunakannya dan cara mengaplikasikannya,
serta dokumen-dokumen yang harus dimilikinya sebagai asas pencatatan dan harus disimpan
setelah dicatat untuk memperkuat apa yang telah dicatat.
Pada awal kehidupan negara Islam, buku-buku akuntansi masih berupa kertas-kertas
terpisah, tidak berbentuk buku yang berjilid. Orang pertama yang memasukkan buku-buku dan
catatan yang terjilid sebagaimana yang kita kenal pada masa tersebut adalah Khalifah Al Walid
bin Abdul Malik, pada tahun 86-96 H. /706-715 M. (Muhammad Al Marisi Lasyin, 1973, hal.
36). Ini berarti bahwa hal ini terjadi kurang lebih tujuh ratus sembilan puluh tahun sebelum
munculnya buku Pacioli. Sementara itu, sistem buku akuntansi ini telah mencapai puncaknya
pada masa Daulat Abasiyyah pada tahun 132-232 H. /750-847 M. Yakni, pada tahun 132 H. /750
M. Khalid bin Burmuk terpilih menjadi kepala Diwan Kharaj (Diwan pemasukan hasil-hasil
pertanian) dan Diwan tentara. Khalid bin Burmuk melakukan reformasi sistem kedua Diwan
tersebut dan mengembangkan buku-buku akuntansi serta memberi nama khusus terhadapnya.
Pada masa negara Islam, buku catatan pertama dikenal dengan nama “Jaridah”. Dari sini
tampak garis hubungan antara buku Pacioli yang terbit pada tahun 1494 M. dan sumber rujukan
buku tersebut, karena pada sebagian yang disebutkannya terdapat banyak kesamaan dengan apa
yang digunakan pada masa negara Islam. Di dalam bukunya, Pacioli telah menjelaskan bahwa
buku catatan pertama yang harus digunakan dikenal dengan nama “Journal” dalam bahasa Ingris
(Brown dan Johnson, 1963, hal. 43) atau “Zornal” dalam bahasa Itali sebagaimana dikenal di
kota Venice . (Martinelli, 1977, hal. 25). Dua kata ini, yaitu Journal dan Zornal merupakan
terjemahan secara harfiah dari bahasa Arab, yaitu dari kata “Jaridah”. Jaridah adalah nama untuk
buku catatan pertama pada masa negara Islam, yaitu pada masa Daulat Abbasiyyah, sekitar tahun
132 H. /749 M.,yaitu tujuh ratus empat puluh lima tahun sebelum munculnya buku Pacioli. Dari
hal ini dapat kita simpulkan bahwa asas atau sumber rujukan bagi apa yang dipraktikkan di
Republik Itali sebagaimana tersebut dalam buku Pacioli adalah apa yang telah dipraktikkan di
negara Islam. Di antara yang harus dipraktikkan di negara Islam adalah pencatatan “Jaridah”
sebelum memakainya. Pencatatan ini, sebagaimana yang telah kami sebutkan, berlangsung
ketika distempel dengan stempel Sulthan. Praktik ini adalah bagi instansi-instansi pemerintahan
Islam. Barangkali juga bagi pribadi-pribadi dan lembaga-lembaga khusus. Demikian pula Ibnu
Khaldun yang hidup pada masa Daulat Abbasiyyah dan menulis bukunya tahun 167 H. /784 M.
Mengatakan bahwa seorang akuntan harus memakai buku-buku akuntansi yang sesuai, dan
mencatat namanya di akhir buku, serta menstempelnya dengan stempel Sulthan. Stempel tersebut
memuat nama Sulthan atau simbol khusus bagi Sulthan. Stempel tersebut dibubuhkan di salah
satu sisi buku .(halaman 205). Sesungguhnya penggunaan kata “buku-buku akuntansi yang
sesuai” oleh Ibnu Khaldun menunjukkan semenjak abad ke-2 Hijriyah dan barangkali sebelum
itu, kaum muslimin menggunakan buku-buku akuntansi yang beragam sesuai dengan perbedaan
karakter kegiatan, baik tingkat negara maupun pribadi.
Dahulu, “Jaridah” digunakan untuk mencatat pemasukan-pemasukan dan pengeluaranpengeluaran, tetapi secara terpisah. Yakni, ada jaridah untuk pemasukan dan ada jaridah untuk
pengeluaran. Hal ini termasuk serupa dengan apa yang sekarang dikenal dengan nama
Specialised Journals. Adapun transaksi-transaksi lain dicatat dalam buku yang dikenal dengan
nama Daftarul Yaumiyyah (Daily Book/Buku Harian).
Buku harian yang dikenal di negara Islam tujuh ratus empat puluh lima tahun sebelum
munculnya buku Pacioli adalah buku harian yang digunakan sekarang di dunia, dan dikenal
dengan nama General Journal. Buku harian ini dikenal di seluruh diwan di samping specialised
journals. Dahulu, buku harian ini digunakan untuk mencatat seluruh transaksi keuangan khusus
bagi diwan dan transaksinya dengan orang lain. Buku ini serupa dengan apa yang sekarang
dikenal di negara-negara Arab dengan nama Daftarul Yaumiyyatil `Ammah (Buku Harian
Umum).
Menurut An Nuwairi, yang meninggal pada tahun 734 H. /1336 M. atau kurang lebih tiga
puluh satu tahun sebelum munculnya buku Al Mazindani, pekerjaan pembukuan tunduk pada
praktik-praktik tertentu dan jelas. Sebab,seluruh harta yang masuk atau keluar harus dicatat
sesuai urutan waktu terjadinya, juga harus dicatat tanggal terjadinya setiap transaksi. Demikian
pula, keharusan mencatat transaksi menurut urutan waktu terjadinya tidaklah terbatas pada
transaksi-transaksi keuangan saja atau yang memiliki nilai keuangan, tetapi mencakup juga
seluruh transaksi yang berhubungan dengan diwan dan yang lain. (An Nuwairi, hal. 273--275).
Pencatatan di buku harian berlangsung dari realitas syahid yaitu yang sekarang dikenal dengan
nama journal voucher, yang disiapkan oleh akuntan, yang melakukan pencatatan di buku.
(Muhammad Al Marisi Lasyin, 1973, hal. 131--132). Hal ini menunjukkan kesinambungan
pengembangan di dalam pekerjaan akuntansi yang awalnya bersamaan dengan munculnya
negara Islam tahun 622 M., dan menjadi kokoh pada masa Khalifah Umar Ibnul Khaththab, serta
semakin kokoh pada masa Daulat Abbasiyyah. Kemudian bertambah berkembang setelah itu
sebagaimana yang kita rasakan dari apa yang disebutkan oleh An Nuwairi.
Daulat Abbasiyyah, 132-232 H. /750-847 M. memiliki banyak kelebihan dibandingkan
yang lain dalam pengembangan akuntasi secara umum dan buku-buku akuntansi secara khusus.
Sebab pada saat itu, masyarakat Islam menggunakan dua belas buku akuntansi khusus
(Specialized Accounting Books). Buku-buku ini memiliki karakter dan fungsi dan berkaitan erat
dengan fungsi dan tugas yang diterapkan pada saat itu. Di antara contoh buku-buku khusus yang
dikenal pada masa kehidupan negara Islam itu adalah sebagai berikut:
1.
2.
3.
1.
2.
3.
Daftarun Nafaqat (Buku Pengeluaran). Buku ini disimpan di Diwan Nafaqat, dan diwan ini
bertanggung jawab atas pengeluaran Khalifah, yang mencerminkan pengeluaran negara.
Daftarun Nafaqat Wal Iradat (Buku Pengeluaran dan Pemasukan). Buku ini disimpan di
Diwanil Mal, dan Diwan ini bertanggung jawab atas pembukuan seluruh harta yang masuk ke
Baitul Mal dan yang dikeluarkannya.
Daftar Amwalil Mushadarah (Buku Harta Sitaan). Buku ini digunakan di Diwanul Mushadarin.
Diwan ini khusus mengatur harta sitaan dari para menteri dan pejabat-pejabat senior negara pada
saat itu. (Muhammad Al Marisi Lasyin, 1973, hal. 41).
Umat Islam juga mengenal buku khusus yang lain, yang dikenal dengan nama Al Auraj, yaitu
serupa dengan apa yang sekarang dinamakan Daftar Ustadzil Madinin (Debtors or Accounts
Receipable Subsidiary Ledger). Kata Auraj adalah dari bahasa Parsi, kemudian digunakan dalam
bahasa Arab. Auraj digunakan untuk mencatat jumlah pajak atas hasil tanah pertanian, yaitu
setiap halaman dikhususkan untuk setiap orang yang dibebani untuk membayar pajak, di
dalamnya dicatat jumlah pajak yang harus dibayar, juga jumlah yang telah dibayar dari pokok
jumlah yang harus dilunasi. Penentuan jumlah pajak yang harus dilunasi didasarkan pada apa
yang dinamakan Qanunul Kharaj (Undang-Undang Perpajakan). (Al Mazindarani 765 H./1363
M.)
Di samping apa yang telah disebutkan, kaum muslimin di negara Islam mengenal pembagian
piutang menjadi tiga kelompok, yaitu:
Ar Ra’ij minal mal, yang dimaksudkan ialah piutang yang memungkinkan untuk didapatkan,
yaitu apa yang sekarang ini dikenal dengan nama Ad Duyunul Jayyidah, dan dalam bahasa
inggris dikenal dengan nama Collectable Debts.
Al Munkasir minal mal, yang dimaksudkan adalah piutang yang mustahil untuk didapatkan,
yaitu apa yang sekarang dinamakan Ad Duyunul Ma’dumah, dan dalam bahasa inggris dikenal
dengan nama Bad Debts atau Uncollectable Debts.
Al Muta’adzir wal mutahayyir wal muta`aqqid minal mal, yang dimaksudkan adalah piutang
yang diragukan untuk didapatkan, dan dalam bahasa inggris dikenal dengan nama Doubtful
Debts. (Muhammad Al Marisi Lasyin, 1973, hal. 141).
Dari pembagian piutang tersebut ada dua hal penting yang patut didapatkan, yaitu: pertama,
pengaruh kehidupan perdagangan terhadap pekerjaan akuntansi, sebagaimana yang telah kami
kemukakan pada pendahuluan Bab I; dan yang kedua adalah pembagian ini hanya berpengaruh
terhadap penggambaran kondisi keuangan baik bagi negara maupun pribadi, khususnya untuk
tujuan zakat. Sebab, penggambaran kondisi keuangan menuntut ketelitian dalam penggambaran
hak dan kewajiban. Tidak diragukan lagi bahwa mereka mengetahui pentingnya inventarisasi
para debitur untuk mengetahui apa yang mungkin diperoleh pada masa-masa mendatang. Jika
tidak, tentu mereka tidak segera mengelompokkan piutang dalam tiga kelompok tersebut.
Pengelompokan ini adalah pengelompokan yang digunakan pada masa kita sekarang tanpa
menyebutkan bahwa sumbernya adalah di negara Islam. Hal ini mempertegas sekali lagi
pentingnya zakat sebagai faktor asasi yang membantu pengembangan akuntansi. Hal ini jika
tidak ada faktor lain, maka zakat adalah faktor yang pertama. Sebab, perhitungan zakat menuntut
pentingnya inventarisasi para debitur dan kreditur untuk mengetahui pengaruh para debitur dan
kreditur terhadap jumlah zakat.
“ Katakankanlah,”Apakah akan aku jadikan pelindung selain dari Allah yang menjadikan langit
dan bumi, padahal Dia memberi makan dan tidak diberi makan?’ katakanlah, Sesungguhnya aku
diperintahkan supaya aku menjadi orang yang pertamakali menyerah diri (kepada Allah), dan
jangan sekali-kali kamu masuk golongan orang-orang musyrik.’” (Al An’am:14)
Dengan demikian, dapat kita saksikan dari sejarah, bahwa ternyata Islam lebih dahulu
mengenal system akuntansi, karena Al Quran telah diturunkan
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Sejarah Auditing
Auditing adalah proses pengumpulan dan penilaian bukti-bukti yang dilakukan oleh pihak yang
independent dan kompeten, untuk menentukan apakah informasi yang di sajikan sesuai dengan
criteria yang ditetapkan.
Menurut catatan seorang ahli sejarah akuntansi, dikatakan bahwa : “ Asal usul auditing dimulai
lebih awal dibandingkan dengan asal usul akuntansi. Ketika kemajuan peradaban membawa pada
kebutuhan akan adanya orang yang dalam batas tertentu dipercaya untuk mengelola harta milik
orang lain, maka dipandang patut untuk melakukan pengecekan atas kesetiaan orang tersebut,
sehingga semuanya akan menjadi jelas”.
Dikatakan bahwa penguasa Mesir purba melakukan pemeriksaan independent dan atas catatan
penerimaan pajak, orang-orang Yunani kuno melakukan pemeriksaan atas rekening pejabat
public, sedangkan orang Romawi membandingkan antara pengeluaran dengan otorisasi
pembayaran, sementara para bangsawan penghuni puri di Inggris menunjuk auditor untuk
melakukan review atas catatan akuntansi dan laporan yang disiapkan oleh para pelayan mereka.
Awal audit terhadap perusahaan dapat dikaitkan dengan perundang-undangan Inggris
selama revolusi industri pada pertengahan tahun 1800-an. Kemajuan teknologi transportasi dan
industri telah menimbulkan skala ekonomi dan perusahaan yang lebih besar, munculnya manajer
professional, serta pertumbuhan kepemilikan perusahaan oleh banyak orang. Pada awalnya audit
terhadap perusahaan harus dilakukan oleh satu atau lebih pemegang saham yang bukan
merupakan pejabat perusahaan, serta mereka yang ditunjuk oleh pemegang saham lainnya
sebagai perwakilan pemegang saham. Profesi akuntansi segera bangkit dengan cepat untuk
memenuhi kebutuhan pasar serta perundang-undangan yang segera direvisi, sehingga
memungkinkan orang yang bukan pemegang saham dapat melakukan audit. Hal ini mendorong
munculnya berbagai formasi kantor-kantor audit. Beberapa diantara kantor-kantor auditor
Inggris Kuno seperti Deloitte & Co, Peat Marwick, & Mitchell, dan Price Waterhouse & Co.
yang masih dapat ditelusuri sampai saat ini serta masih membuka praktik di USA ataupun diluar
USA.
Pengaruh Inggris juga turut bermigrasi ke Amerika Serikat pada akhir tahun 1800-an
ketika para investor Inggris dan Skotlandia mengirimkan para Auditornya sendiri untuk
memeriksa kondisi perusahaan-perusahaan Amerika, tempat mereka telah berinvestasi dalam
jumlah yang sangat besar. Secara khusus mereka melakukan investasi dalam saham pabrik
pembuatan bir dan perkeretaapian. Focus awal audit ini mula-mula adalah untuk menemukan
penyimpangan dalam akun neraca serta menangkal pertumbuhan kecurangan yang berkaitan
dengan meningkatnya fenomena manajer professional serta pemilik saham yang pasif.
1.2. Munculnya Auditing pra-Islam
Akuntasi di kalangan Bangsa Arab sebelum Islam Dari studi sejarah peradaban arab, tampak
sekali betapa besarnya perhatian bangsa arab pada akuntansi. Hal ini terlihat pada usaha tiap
pedagang arab untuk mengetahui dan menghitung barang dagangannya, sejak mulai berangkat
sampai pulang kembali. Hitungan ini dilakukan untuk mengetahui perubahan pada keuangannya.
Setelah berkembangnya negeri, bertambahnya kabilah-kabilah, masuknya imigran-imigran dari
negri tetangga, dan berkembangnya perdaganan serta timbulnya usaha-usahainterven si
perdagangan, semakin kuatlah perhatian bangsa arab terhadap pembukuan dagang untuk
menjelaskan utang piutang. Orang-orang yahudipun (pada waktu itu) sudah biasa menyimpan
daftar-daftar (faktur) dagang. Semua telah nampak jelas dalam sejarah peradaban bangsa arab.
Jadi, konsep akuntansi dikalangan bangsa arab pada waktu itu dapat dilihat pada pembukuan
yang berdasarkan metode penjumlahan statistik yang sesuai dengan aturan-aturan penjumlahan
dan pengurangan.Untuk mengerjakan pembukuan ini, ada yang dikerjakan oleh pedagang sendiri
dan ada juga yang menyewa akuntan khusus. Pada waktu itu seorang akuntan disebut sebagai
katibul awal (pencatat keuangan) atau penaggung jawab keuangan.
BAB II
TEORI AKUNTASI DAN AUDITING
2.1. Pengertian Akuntansi
Dewasa ini, akuntasi telah mengalami perkembangan layaknya ilmu hukum, ilmu kedokteran,
serta hamper semua bidang kegiatan manusia, sejalan dengan tuntutan kebutuhan sosial dan
ekonomi masyarakat. Akuntansi telah mengembangkan konsep-konsep baru untuk mengimbangi
kebutuhan akan informasi keuangan yang terus menerus meningkat guna melaksanakan
pembangunan ekonomi dan program-program sosial. Akuntasi dapat di pandang dari dua sisi
pengertian yaitu sebagai pengetahuan keahlian yang dipraktekan dalam dunia nyata, dan sebagai
suatu disiplin ilmu pengetahuan yang diajarkan di perguruan tinggi. Pada awalnya, yaitu kirakira tahun 3000 SM, akuntansi ditemukan di Mesir Kuno dan pada masa pemerintahan Yunani.
Akuntansi yang ada pada saat itu hanya sekedar untuk mengetahui sumber-sumber keuangan
kerajaan. Sehingga belum ada suatu sistem akuntansi yang sistematis untuk satu unit tertentu
(hanya untuk sebagian transaksi saja). Di zaman Mesir Kuno tersebut dijelaskan bahwa untuk
mencatat transaksi hariannya, seorang manajer menggunakan calamos reed (sejenis kulit). Selain
itu dikenal pula dua macam teknik akuntansi, yaitu dengan koin (dalam amplop) dan token. Pada
tahun 1494, sistem double-entry mulai dikenal setelahnya sebagai system akuntansi modern,
yaitu harta sama dengan hutang ditambah dengan modal. Lucas Pacioli mengklaim dirinya
sebagai penemu pertama dari sistem akuntansi modern ini. Namun sebelumnya telah ada
beberapa temuan double-entry system, yaitu berasal dari kawasan Timur Tengah. Kaum
Muslimin berandil besar dalam perkembangan akuntansi dasar waktu itu. Setelah itu, bangsa
Eropa mulai berdatangan untuk mengupas secara mendalam tentang akuntansi versi Timur
Tengah tersebut.
1. Periode Kapitalis
2. Kapitalis Nascent
3. Merkantilis
4. Revolusi dan Industrialisasi
5. Perkembangan pesat bidang akuntansi secara terus-menerus
Timbulnya revolusi industry tahun 1776 menimbulkan efek positif terhadap perkembangan
akuntasi. Salah satu yang menonjol adalah perubahan cara memproduksi barang dari kerajinan
tangan ke pabrikasi. Hal ini menyebabkan spesialisasi dalam akuntansi biaya meningkat pesat
untuk memenuhi kebutuhan analisis biaya dan teknik pencatatannya. Akuntansi diperlukan untuk
menghadapi perkembangan ilmu pengetahuan yang berjalan sangat cepat, berkembangnya
kegiatan ekonomi, dan masalah perbandingan pelaporan keuangan antar perusahaan. Pada tahun
1800-1850, masyarakat mulai menggunakan dan menjadikan neraca sebagai tolak ukur kinerja
sebuah perusahaan. Pada periode ini dikenal pula pemeriksaaan keuangan (financial auditing).
Pada tahun 1850, laporan laba rugi mulai neggantikan peranan neraca dalam menilai efektivitas
dan efisiensi perusahaan. Ilmu audit berkembang semakin pesat pada periode ini Tahun 1900, di
Amerika Serikat diperkenalkan Sertifikat Profesi melalui ujian nasional untuk mendalami ilmu
akuntansi melalui edukasi. Adanya laporan tentang pajak. Serta akuntansi biaya mulai dikenal
termasuk laoran statistik biaya dan produksi. Pada tahun 2925, mulai di kenal akuntansi
pemerintah untuk mengawasi dana pemerintah, teknik-teknik analisis biaya mulai bermunculan
dan diperkenalkan, laporan keuangan diseragamkan antar perusahaan, dirumuskannya Norma
Pemeriksaan Akuntansi, dan lahirnya Akuntansi Perpajakan.
2.2. Pengertian Auditing
Ada beberapa pengertian audit yang diberikan oleh beberapa ahli di bidang akuntansi,
antara lain:
Menurut Alvin A.Arens dan James K.Loebbecke :
“Auditing is the accumulation and evaluation of evidence about information to determine and
report on the degree of correspondence between the information and established criteria.
Auditing should be done by a competent independent person”.
Menurut Mulyadi :
“Suatu proses sistematik untuk memperoleh dan mengevaluasi bukti secara obyektif mengenai
pernyataan-pernyataan tentang kegiatan dan kejadian ekonomi, dengan tujuan untuk menetapkan
tingkat kesesuaian antara pernyataan-pernyataan tersebut dengan kriteria yang telah ditetapkan,
serta penyampaian hasil-hasilnya kepada pemakai yang berkepentingan”.[1]
Secara umum pengertian di atas dapat diartikan bahwa audit adalah proses sistematis yang
dilakukan oleh orang yang kompeten dan independen dengan mengumpulkan dan mengevaluasi
bahan bukti dan bertujuan memberikan pendapat mengenai kewajaran laporan keuangan
tersebut.
Dalam melaksanakan audit faktor-faktor berikut harus diperhatikan:
1) Dibutuhkan informasi yang dapat diukur dan sejumlah kriteria (standar) yang dapat digunakan
sebagai panduan untuk mengevaluasi informasi tersebut, 2). Penetapan entitas ekonomi dan
periode waktu yang diaudit harus jelas untuk menentukan lingkup tanggungjawab auditor, 3).
1)
2)
3)
4)
1)
2)
3)
Bahan bukti harus diperoleh dalam jumlah dan kualitas yang cukup untuk memenuhi tujuan
audit, 4). Kemampuan auditor memahami kriteria yang digunakan serta sikap independen dalam
mengumpulkan bahan bukti yang diperlukan untuk mendukung kesimpulan yang akan
diambilnya.
Audit pada umumnya dibagi menjadi tiga golongan, yaitu : audit laporan keuangan, audit
kepatuhan, dan audit operasional.
Audit laporan keuangan (financial statement audit). Audit laporan keuangan adalah audit yang
dilakukan oleh auditor eksternal terhadap laporan keuangan kliennya untuk memberikan
pendapat apakah laporan keuangan tersebut disajikan sesuai dengan kriteria-kriteria yang telah
ditetapkan. Hasil audit lalu dibagikan
kepada pihak luar perusahaan seperti kreditor, pemegang saham, dan kantor pelayanan pajak.
Audit kepatuhan (compliance audit). Audit ini bertujuan untuk menentukan apakah yang
diperiksa sesuai dengan kondisi, peratuan, dan undang-undang tertentu. Kriteria-kriteria yang
ditetapkan dalam audit kepatuhan berasal dari sumber-sumber yang berbeda. Contohnya ia
mungkin bersumber dari manajemen dalam bentuk prosedur-prosedur pengendalian internal.
Audit kepatuhan biasanya disebut fungsi audit internal, karena oleh pegawai perusahaan.
Audit operasional (operational audit). Audit operasional merupakan penelahaan secara
sistematik aktivitas operasi organisasi dalam hubungannya dengan tujuan tertentu. Dalam audit
operasional, auditor diharapkan melakukan pengamatan yang obyektif dan analisis yang
komprehensif terhadap operasional-operasional tertentu. Tujuan audit operasional adalah untuk :
1). Menilai kinerja, kinerja dibandingkan dengan kebijakan-kebijakan, standar-standar, dan
sasaran-sasaran yang ditetapkan oleh manajemen, 2). Mengidentifikasikan peluang dan, 3).
Memberikan rekomendasi untuk perbaikan atau tindakan lebih lanjut. Pihak-pihak yang mungkin
meminta dilakukannya audit operasional adalah manajemen dan pihak ketiga. Hasil audit
operasional diserahkan kepada pihak yang meminta dilaksanakannya audit tersebut.
2.2.1. Tujuan dan manfaat audit independen
Tujuan umum audit atas laporan keuangan adalah untuk menyatakan pendapat atas
kewajaran laporan keuangan, dalam semua hal yang material, sesuai dengan prinsip-prinsip
akuntansi yang berlaku umum. Kewajaran laporan keuangan diukur berdasarkan asersi
terkandung dalam setiap unsur yang disajikan dalam laporan keuangan, yang disebut dengan
asersi manajemen.
Asersi manajemen yang disajikan dalam laporan keuangan dapat diklasifikasikan menjadi
lima kategori :
Keberadaan atau kejadian (existency or occurence). Asersi ini merupakan pernyataan
manajemen aktiva, kewajiban, dan ekuitas yang tercantum dalam neraca benar-benar ada pada
tanggal neraca serta apakah pendapatan dan beban yang tercantum dalam laporan rugi laba
benar-benar terjadi selama periode akuntansi.
Kelengkapan (completeness). Kelengkapan berarti semua transaksi dan akun-akun yang
seharusnya tercatat dalam laporan keuangan telah dicatat. Asersi kelengkapan berlawanan
dengan asersi keberadaan. Jika asersi keberadaan tidak benar maka akun akan dinyatakan terlalu
tinggi, sementara jika asersi kelengkapan tidak benar, maka akun akan dinyatakan terlalu rendah.
Asersi kelengkapan berkaitan dengan kemungkinan hilangnya hal-hal yang harus dicantumkan
dalam laporan keuangan, sedangkan asersi keberadaan berkaitan dengan penyebutan angka yang
seharusnya tidak dimasukkan.
Hak dan kewajiban (rights and obligations). Auditor harus memastikan apakah aktiva memang
menjadi hak klien dan apakah kewajiban merupakan hutang klien pada tanggal tertentu.
4) Penilaian atau alokasi (valluation or allocation). Asersi ini menyangkut apakah aktiva,
kewajiban, ekuitas, pendapatan, atau beban telah dicantumkan dalam laporan keuangan pada
jumlah yang tepat.
5) Penyajian dan pengungkapan (presentation and disclosure). Asersi ini menyangkut masalah
apakah komponen-komponen laporan keuangan telah diklasifikasikan, diuraikan, dan
diungkapkan secara tepat. Pengungkapan berhubungan dengan apakah informasi dalam laporan
keuangan, termasuk catatan yang terkait, telah menjelaskan secara gamblang hal-hal yang dapat
mempengaruhi penggunaannya.
Independensi
Masalah utama yang dihadapi oleh akuntan publik saat ini adalah berkurangnya
kekuasaan mereka dalam melaksanakan penugasan. Seorang akuntan yang independen dituntut
untuk bertindak sesuai dengan peraturan perundangan dan kode etik profesi. Fenomena
hubungan antara akuntan publik dengan klien telah menjadi pusat perhatian bagi para pembuat
keputusan, seperti investor, kreditor, dan pemegang saham.
Mereka sangat menyadari adanya kemampuan yang dimiliki oleh pihak manajemen
perusahaan. Pertama, kemampuan yang berkaitan dengan kecenderungan manajemen perusahaan
untuk memanipulasi kinerja laporan keuangan perusahaan dengan tujuan untuk mendapatkan
penilaian yang positif atas tanggung jawabnya sebagai pihak yang mengelola perusahaan.
Kecenderungan ini dikenal dengan istilah window dressing, biasanya dilakukan dengan cara
memperbaiki laporan keuangan sedemikian rupa sehingga tampak lebih baik dari semestinya.
Berbeda dengan profesi lain, auditor tidak dapat bertindak untuk kepentingan kliennya
sebagaimana pengacara dengan kliennya. Meskipun dibayar oleh klien akuntan publik bekerja
bagi kepentingan masyarakat umum. Auditor harus independen dalam dari segala kewajiban dan
pemilikan kepentingan dalam perusahaan yang diauditnya. Ia harus pula menghindari keadaankeadaan yang dapat mengakibatkan masyarakat meragukan independensinya. Dalam
kenyataannya auditor seringkali menemui kesulitan dalam mempertahankan sikap mental
independen. Keadaan yang seringkali mengganggu sikap mental independen auditor adalah
sebagai berikut :
1. Sebagai seorang yang melaksanakan audit secara independen, auditor dibayar oleh kliennya atas
jasanya tersebut.
2. Kecenderungan untuk memuaskan kliennya.
3. Resiko kehilangan klien.
Jenis-jenis auditor
Auditor biasanya diklasifikasikan dalam tiga kategori berdasarkan siapa yang
mempekerjakan mereka : akuntan publik, akuntan pemerintah, dan akuntan intern.
Akuntan publik. Akuntan publik adalah akuntan professional yang menjual jasanya kepada
masyarakat umum, terutama daam bidang pemeriksaan terhadap laporan keuangan yang dibuat
oleh kliennya.
Akuntan pemerintah. Akuntan pemerintah adalah akuntan profesional yang bekerja di instansi
pemerintah yang tugas pokoknya melakukan pemeriksaan terhadap pertanggungjawaban
keuangan yang disajikan oleh unit-unit organisasi dalam pemerintahan atau pertanggungjawaban
keuangan yang ditujukan kepada pemerintah.
Akuntan intern. Adalah akuntan yang bekerja dalam perusahaan yang tugas pokoknya adalah
menentukan apakah kebijakan dan prosedur yang ditetapkan oleh manajemen puncak telah
dipatuhi, menentukan baik atau tidaknya penjagaan terhadap aset-aset organisasi, menentukan
efisiensi dan efektivitas prosedur kegiatan organisasi, serta menentukan keandalan informasi
yang dihasilkan oleh berbagai bagian organisasi.
2.2.
Laporan Auditor
2.3.1. Pengertian dan jenis-jenis laporan auditor
Pembuatan laporan auditor adalah langkah terakhir dan paling penting dari keseluruhan
proses audit. Secara umum laporan auditor dapat didefinisikan sebagai laporan yang menyatakan
pendapat auditor yang independen mengenai kelayakan atau ketepatan pernyataan klien bahwa
laporan keuangannya disajikan secara wajar sesuai dengan prinsip-prinsip akuntan yang berlaku
umum, yang diterapkan secara konsisten dengan tahun sebelumnya. Dalam menyiapkan dan
menerbitkan sebuah laporan audit, auditor harus berpedoman pada empat standar pelaporan yang
terdapat dalam Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP).
Terpenting, harus dilihat standar yang terakhir karena standar ini mensyaratkan suatu
pernyataan pendapat atas laporan keuangan secara keseluruhan atau pernyataan bahwa pendapat
tidak dapat diberikan disertai dengan alasan-alasannya. Standar ini mensyaratkan adanya
pernyataan auditor secara jelas mengenai sifat pemeriksaan yang telah dilakukan dan sampai
dimana auditor membatasi tanggungjawabnya. Pendapat auditor tersebut disajikan dalam suatu
laporan tertulis yang umumnya berupa laporan audit bentuk baku.
Menyadari fungsi utama laporan audit sebagai media komunikasi antara manajemen
dengan pihak-pihak lain yang berkepentingan, maka dibutuhkan adanya keseragaman pelaporan
untuk menghindari kerancuan. Oleh karena itu standar profesional telah merumuskan dan
merinci berbagai jenis laporan audit yang harus disertakan pada laporan keuangan.
Terdapat beberapa jenis pendapat akuntan yang diberikannya berkenaan dengan suatu
pemeriksaan umum, yaitu :
1. Pendapat wajar tanpa pengecualian (unqualified opinion).
2. Pendapat wajar tanpa pengecualian dengan bahasa penjelasan (unqualified opinion with
explanatory language).
3. Pendapat wajar dengan pengecualian (qualified opinion).
4. Pendapat tidak wajar (adverse opinion).
5. Pernyataan tidak memberikan pendapat (disclaimer of opinion).
1). Laporan pendapat wajar tanpa pengecualian (unqualified opinion)
Istilah unqualified disini bukan berarti tidak memenuhi syarat atau tidak qualified. Arti
unqualified disini adalah tanpa kualifikasi (qualification) atau tanpa reserve atau tanpa
keberatan-keberatan. Pendapat wajar tanpa pengecualian diberikan auditor jika tidak terjadi
pembatasan dalam lingkup audit dan tidak terdapat pengecualian yang signifikan mengenai
kewajaran dan penerapan prinsip akuntansi yang berlaku umum dalam penyusunan laporan
keuangan, konsistensi penerapan prinsip akuntansi yang berlaku umum, serta pengungkapan
memadai dalam laporan keuangan. Laporan keuangan dianggap menyajikan secara wajar posisi
keuangan dan hasil usaha suatu organisasi, sesuai dengan prinsip-prinsip akuntansi yang berlaku
umum jika memenuhi kondisi-kondisi berikut :
2)
Prinsip akuntansi berlaku umum digunakan untuk menyusun laporan keuangan
Perubahan penerapan prinsip akuntansi berlaku umum dari periode ke periode telah
cukup dijelaskan
Informasi dalam catatan-catatan yang mendukungnya telah digambarkan dan dijelaskan
dengan cukup dalam laporan keuangan sesuai prinsip-prinsip akuntansi yang berlaku
umum
Laporan pendapat wajar tanpa pengecualian dengan bahasa penjelasan
(unqualified
opinion with explanatory language).
Laporan keuangan tetap menyajikan secara wajar posisi keuangan dan hasil usaha perusahaan
klien namun ditambah dengan hal-hal yang memerlukan bahasa penjelasan.
3). Laporan pendapat wajar dengan pengecualian (qualified opinion)
Pendapat ini hanya diberikan jika secara keseluruhan laporan keuangan yang disajikan oleh klien
adalah wajar, tetapi ada beberapa unsur yang dikecualikan, yang pengecualiannya tidak
mempengaruhi kewajaran laporan keuangan secara keseluruhan. Terdapat beberapa kondisi yang
membuat auditor harus memberikan pendapat wajar dengan pengecualian, yaitu :
Lingkup audit dibatasi oleh klien
Auditor tidak dapat melaksanakan prosedur audit penting atau tidak dapat
memperoleh
informasi penting karena kondisi-kondisi yang berada di luar kekuasaan klien dan auditor
Laporan keuangan tidak disusun sesuai dengan prinsip akuntansi berlaku umum
Prinsip akuntansi berlaku umum yang digunakan dalam penyusunan laporan keuangan tidak
diterapakan secara konsisten
4). Laporan pendapat tidak wajar (adverse opinion)
Pendapat tidak wajar diberikan jika laporan keuangan klien tidak disusun berdasarkan prinsipprinsip akuntansi yang berlaku umum sehingga tidak menyajikan secara wajar posisi keuangan,
hasil usaha, perubahan saldo laba dan arus kas perusahaan klien. Auditor memeberikan pendapat
tidak wajar jika tidak terdapat pembatasan bukti audit. Pendapat tidak wajar merupakan
kebalikan pendapat wajar dengan pengecualian. Auditor memberikan pendapat tidak wajar jika ia
tidak dibatasi lingkup auditnya, sehingga ia dapat mengumpulkan bukti kompeten dalam jumlah
cukup untuk mendukung pendapatnya.
5). Pernyataan tidak memberikan pendapat (disclaimer of opinion)
Pernyataan tidak memberikan pendapat diberikan auditor jika ia tidak berhasil menyakinkan
dirinya bahwa keseluruhan laporan keuangan telah disajikan secara wajar. Pernyataan tidak
memberikan pendapat diberikan jika antara lain, terdapat banyak pembatasan lingkup audit,
hubungan yang tidak independen antara auditor dan klien. Masing-masing kondisi tersebut tidak
memungkinkan auditor untuk dapat menyatakan pendapatnya atas laporan keuangan secara
keseluruhan.
2.3.2. Tujuan dan manfaat laporan auditor
Dalam perusahaan perseroan, dimana para manajer ditempatkan pada posisi dimana
mereka dapat menguntungkan perusahaan yang tercermin dalam laporan keuangan yang
disusunnya dalam suatu periode tertentu. Laporan keuangan yang disusun merupakan bentuk
pertanggungjawaban dari hasil pekerjaannya selama suatu periode. Para manajer tergoda untuk
menyajikan laporan keuangan yang berat sebelah, mengandung hal-hal yang tidak benar, dan
mungkin menyembunyikan informasi informasi tertentu kepada pihak-pihak lain yang
berkepentingan terhadap laporan keuangan itu, termasuk investor, kreditor, dan regulator.
Oleh karena itu masyarakat keuangan membutuhkan jasa profesional untuk menilai
kewajaran informasi keuangan yang disajikan oleh manajemen. Atas dasar informasi keuangan
yang andal, masyarakat akan memiliki basis yang kuat untuk menyalurkan dana mereka ke
usaha-usaha yang beroperasi secara efisien dan memiliki posisi keuangan yang sehat. Untuk itu
masyarakat menghendaki agar laporan keuangan yang diserahkan kepada mereka diperiksa lebih
dulu oleh auditor independen. Keterlibatan audit yang independen akan memberikan manfaatmanfaat antara lain, menambah kredibilitas laporan keuangan, mengurangi kecurangan
perusahaan, dan memberikan dasar yang lebih dipercaya untuk pelaporan pajak dan laporan
keuangan lain yang harus diserahkan kepada pemerintah.
BAB III
AUDITING DALAM ISLAM
3.1. Sejarah Akuntasi Islam
Apabila kita pelajari "Sejarah Islam" ditemukan bahwa setelah munculnya Islam di Semenanjung
Arab di bawah pimpinan Rasulullah SAW dan terbentuknya Daulah Islamiah di Madinah yang
kemudian di lanjutkan oleh para Khulafaur Rasyidin terdapat undang-undang akuntansi yang
diterapkan untuk perorangan, perserikatan (syarikah) atau perusahaan, akuntansi wakaf, hak-hak
pelarangan penggunaan harta (hijr), dan anggaran negara. Rasulullah SAW sendiri pada masa
hidupnya juga telah mendidik secara khusus beberapa sahabat untuk menangani profesi akuntan
dengan sebutan "hafazhatul amwal" (pengawas keuangan). Bahkan Al Quran sebagai kitab suci
umat Islam menganggap masalah ini sebagai suatu masalah serius dengan diturunkannya ayat
terpanjang , yakni surah Al-Baqarah ayat 282 yang menjelaskan fungsi-fungsi pencatatan
transaksi, dasar-dasarnya, dan manfaat-manfaatnya, seperti yang diterangkan oleh kaidah-kaidah
hukum yang harus dipedomani dalam hal tersebut. Sebagaimana pada awal ayat tersebut
menyatakan "Hai, orang-orang yang beriman apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai
untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis
di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya
sebagaimana Allah telah mengajarkannya…….”
3.2.Perkembangan Akuntansi di Negara Islam
“setiap ilmu tumbuh dari suatu kemahiran yang diupayakan. Sebelum menjadi ilmu, harus
ada praktik dan pengalaman, berdasarkan hal ini, maka ilmu itu merupakan hasil dari
pengalaman yang menentukan tanda-tanda ilmu tersebut. (Heaps, 1985, hal. 21)
Berdasarkan apa yang dikatakan oleh Heaps, maka munculnya sistem pencatatan sisi-sisi
transaksi atau yang dikenal dengan nama sistem pembukaan ganda (double entry), baik sebagai
ilmu maupun sebagai seni, atau sebagai yang lain, harus tumbuh dari suatu kemahiran yang
diupayakan. Kemahiran yang diupayakan ini harus tegak di atas adanya suatu praktik kerja.
Demikian pula, praktik kerja ini bukan lahir dengan sendirinya, namun tegak di atas suatu
bangunan yang tinggi dan kokoh. Bangunan yang tinggi nan kokoh ini adalah pengetahuan yang
turun menurun dari generasi ke generasi. Jadi, hal ini mempertegas bahwa pengetahuan yang
dapat menumbuhkan adanya praktik kerja dan kemahiran untuk sistem pencatatan sisi-sisi
transaksi asasnya telah ada di negara Islam, yang timbul karena adanya berbagai faktor.
Sementara itu, kami tidak melihat adanya faktor apa pun yang membantu perkembangan ini di
dalam Republik Itali. Di antara yang patut disebutkan bahwa akuntansi yang kami lihat
praktiknya di dunia Arab, kemudian perkembangannya di dunia Islam, telah dijelaskan oleh Al
Mazindarani bahwa itu merupakan suatu ilmu. Baik sebagai ilmu atau seni, atau yang lain, di
sana terdapat berbagai faktor yang ikut andil, atau pada hakikatnya mengundang pekerjaan
akuntansi di negara Islam. Faktor-faktor ini berkaitan erat dengan kebutuhan-kebutuhan negara
Islam dari satu sisi, dan dari sisi yang lain dengan kebutuhan-kebutuhan kaum muslimin secara
pribadi. Di antara faktor-faktor tersebut adalah pendirian kantor-kantor pemerintahan,
speisialisasi kemampuan, dan kebutuhan terhadap adanya pegawai yang kapabel. Di samping
faktor-faktor tersebut yang erat kaitannya dengan kebutuhan negara Islam, di sana terdapat faktor
lain yang ikut andil dalam peletakan dasar-dasar akuntansi dan mendorong pengembangan
akuntasi di dalam negara Islam, dari sisi kebutuhan pribadi muslim, yaitu faktor zakat. Sebab,
seorang muslim senantiasa membutuhkan suatu cara yang membantu dirinya untuk memenuhi
kewajiban-kewajibannya sebagai seorang muslim dari segi perhitungan zakat yang harus
dikeluarkan sesuai dengan syari’at Islam, yang merupakan salah satu rukun Islam.
Pedirian kantor-kantor pemerintahan berkaitan erat dengan sistem administrasi, sejak
pendirian awal negara Islam di Madinah Al Munawwarah pada tahun 622 M., yaitu pada tahun
pertama Hijriyah. Pada saat itu, kantor-kantor pemerintahan dikenal dengan nama Dawawin, dan
bentuk tunggalnya adalah diwan . Kata diwan berasal dari kata Parsi, tetapi definisi dan
penggunaanya telah berjalan di negara Islam. Kata diwan artinya adalah tempat bekerja para
pegawai, yaitu tempat pencatatan dan penyimpanan buku-buku akuntansi (Muhammad Al Marisi
Lasyin, 1973, hal. 26). Ibnu Khaldun berkata, “Asal penamaan ini adalah, pada suatu hari Kisra
melihat para pegawai di kantornya sedang menghitung sendiri, seolah-olah mereka berbicara
(sendiri). Lalu, Kisra berkata, “Diwanah”. Arti kata tersebut adalah “gila”, lalu tempat mereka itu
dikatakan “Diwanah”. Karena kata tersebut sering diucapkan, huruf ha’nya dibuang untuk
mempermudah pengucapan, dan menjadi kata “diwan”. (hal. 268). Tampaknya, kata diwan telah
digunakan bersamaan awal reformasi sistem kantor-kantor pemerintahan dalam bentuk yang
lebih baik dari yang sebelumnya. Salah satu ensiklopedi ilmiah menyebutkan bahwa sistem
resmi pertama untuk diwan-diwan telah dibuat sekitar tahun 14 H./634 M. (Britanica, Vol. 22,
hal. 109) yakni pada masa Khalifah Umar Ibnul Khathab radliyallahhu’anhu.
Adapun spesialisasi kemampuan mempunyai signifikansi, karena adanya pembagian
fungsi dan pekerjaan di negara Islam. Hal ini telah dimulai pada masa kehidupan Rasulullah
shallallahu `alaihi wasallam (Muhammad Al Marisi Lasin, 1973, hal. 5). Demikian pula hak dan
kewajiban para pegawai di semua level dari sistem administrasi telah dikenal sejak pendirian
negara Islam di Madinah pada tahun 622 M. Rasulullah Muhammad shallallahu `alaihi wasallam
memiliki 42 penulis yang memiliki spesialisasi di dalam pemerintahannya yang didirikan di
Madinah. Setiap pegawai memiliki peran tertentu, demikian pula kewajiban dan gaji mereka juga
tertentu dan jelas. (Muhammad Al Hawari (A), 1989, hal. 5).
Adapun para pegawai yang kompeten telah mendapatkan perhatian dari negara Islam.
Sejak awal, negara Islam telah menaruh perhatian pada pemilihan pegawai yang berspesialisasi.
Demikian pula kebijakan Rasulullah Muhammad shallallahu `alaihi wasallam dalam memilih
pegawai, yaitu dari orang-orang yang beliau pandang memiliki kapabilitas dan kapasitas untuk
menduduki jabatan. Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam memilih para pegawai itu dari para
sahabatnya yang memiliki kapabilitas serta kemampuan dan kelayakan untuk menerima jabatan.
(Muhammad Hawari (B), 1989, hal. 16).
Di negara Islam, para akuntan terbagi dalam tujuh fungsi, enam fungsi berkaitan dengan
pekerjaan akuntansi, dan satu fungsi khusus untuk mengoreksi pembukuan. Fungsi pengoreksian
pembukuan memiliki kepentingan khusus, hal ini serupa dengan yang kita namakan muraja’atul
hisabat ( pengoreksian pembukuan/auditing), atau tadqiqul hisabat (pengakurasian pembukuan),
atau ar riqabatul kharijiyyah (pengawasan ekstern). Namun, kami hanya menganggap penamaan
yang pertama sebagai ungkapan yang paling tepat untuk watak pekerjaan tersebut. Adapun
penamaan kedua dan ketiga, kami pandang tidak sesuai dengan watak pekerjaan tersebut dan
tugas yang diberikan kepada auditor. Tugas auditor adalah memeriksa apa yang telah dibukukan.
(Al Qalqasyandi, hal. 130-139). Al Qalqasyandi telah menggambarkan tugas seorang auditor dan
kebutuhan terhadapnya. Dia berkata, “Enam yang lain tidaklah terpelihara dari sifat lupa dan
kesalahan dalam menghitung atau mencatat, sebagaimana yang sudah terkenal bahwa manusia
itu tidak melihat kesalahan-kesalahannya sendiri tetapi melihat kesalahan-kesalahan orang lain,
maka pimpinan kantor harus memilih seseorang untuk mengoreksi pembukuan. Orang yang
dipilih tersebut harus menguasai bahasa Arab, hafal Al Qur’anul Karim, cerdas, berakal, jujur,
tidak menyakiti orang lain. Ketika seorang auditor merasa puas terhadap isi buku yang
dikoreksinya, dia harus memaraf buku tersebut sebagai tanda bahwa dia telah puas dan menerima
isi buku tersebut. (Ibid).
Adapun zakat juga termasuk bagian dari unsur-unsur yang ikut andil dalam
pengembangan akuntansi di negara Islam. Ini jika tidak termasuk unsur asasi. Zakat adalah salah
satu rukun Islam yang lima, dan di negara Islam, dibayarkan kepada Baitul Mal. Baitul Mal ini
sekarang dinamakan Perbendaharaan Umum atau Perbendaharaan Negara. Al Qur’anul Karim
telah menentukan sumber-sumber yang wajib dikeluarkan zakatnya, dan obyek-obyek
penyalurannya sebagaimana firman Allah Subhanahu Wa Ta`ala:
“Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, penguruspengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang
yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai
suatu ketetapan yang diwajibkan Allah.” (At Taubah : 60)
Seorang muslim wajib membayar zakat, maka seorang muslim senantiasa membutuhkan suatu
cara yang dapat membantunya dalam menentukan jumlah zakat yang harus dibayarnya. Oleh
karena itu, kami tidak menganggap mustahil bahwa masalah penentuan jumlah zakat merupakan
faktor asasi yang mengantarkan kepada pengembangan akuntansi di negara Islam. Hal itu agar
seorang muslim dapat mengetahui perubahan-perubahan pada hartanya, dan selanjutnya adalah
perhitungan zakat yang harus dikeluarkan karena bertambahnya harta seorang muslim selama
satu tahun penuh, di samping dari laba yang diperoleh dari modal yang berputar.
Perkembangan akuntansi di negara Islam mencapai puncaknya dalam membangun
pengertian akuntansi sebagai suatu sarana untuk pengambilan keputusan sebagai tujuan asasi
bagi penggunaan akuntansi. Anehnya, hal inilah yang menjadi tujuan penggunaan akuntasi pada
masa kita sekarang ini. Para penulis sekarang ini mengaku bahwa merekalah yang
mengembangkan pengertian ini pada abad sekarang. Barangkali, pengakuan mereka ini
disebabkan oleh kejahilan mereka terhadap sejarah dan peran akuntansi di negara Islam.
Demikian pula, boleh jadi mereka membangun tujuan ini pada abad XX M., sementara tujuan ini
telah populer di negara Islam sejak abad I H. atau abad VII M. Di antara yang menjelaskan
tujuan ini dan realisasinya di negara Islam adalah perkataan Imam Syafi’i rahimahullah :
“Barang siapa mempelajari hisab (akuntansi) pikirannya bagus.” (Husain Syahatah, 1993, hal.
45). Perlu diketahaui bahwa Imam Safi’i hidup pada tahun 150-204 H./767-820 M. Hal ini tidak
saja menjelaskan peran yang dimainkan akuntansi dan signifikansinya pada waktu itu, tetapi juga
menjelaskan pengetahuan masyarakat pada saat itu terhadap peran dan signifikansi tersebut. Hal
ini tampak dalam bentuk khusus, ketika ucapan ini datang dari seorang yang faqih, bukan datang
dari spesialis akuntansi. Setelah itu, Imam Syafi’Ii menjelaskan ucapannya itu, yaitu
sesungguhnya seorang pedagang atau yang lain tidak dapat mengambil keputusan secara benar
atau mengeluarkan pemikiran yang tepat tanpa bantuan data-data yang tercatat dalam buku.
(Ibid). Para fuqaha’ berkata bahwa di antara kewajiban seorang muslim adalah mempelajari
hukum-hukum ibadah yang menjadikan shalat, shaum, dan zakatnya sah, serta hal-hal yang
harus diketahui untuk menunaikan manasik hajinya. Demikian pula dia harus mengetahui
hukum-hukum jual beli jika ingin berprofesi sebagai seorang pedagang; dan mempelajari
akuntansi, sehingga ia tiadak berbuat zhalim dan tidak dizhalimi. Hal inilah yang disebut ilmu
dlaruri. (Abu Hamid Al Ghazali, 1400 H., vol. 1, juz 1-3, hal. 42-30) juga (Sayid Sabiq,1403
H./1983 M., vol. III, juz 11-14, hal. 125-126).
Pengertian akuntansi dan tujuan penggunaannya telah berkembang dari sekadar sebagai
sarana untuk menentukan modal di akhir periode V dan untuk mengukur keuntungan melalui
selisih modal pada dua priode, hal ini terjadi pada masa sebelum Islam, menjadi sebagai sarana
untuk memperoleh informasi yang bermanfaat dalam pengambilan keputusan dan penentuan
tanggung jawab, hal ini terjadi pada berbagai masa negara Islam. Al Qalqasyandi berkata,
“Seorang akuntan harus berpegang pada aturan-aturan atau format-format yang telah disiapkan
sebelumnya, dan tidak boleh melanggar selamanya”. (hal. 54). Hal ini menunjukkan
perkembangan akuntansi dan adanya sistem pengawsan intern yang berkaitan erat dengannya.
Semuanya itu diprogram, diinterpretasikan, dan diaplikasikan menurut syariat Islam. Demikian
pula perkembangan dalam pengertian akuntansi dan tujuan penggunaannya ini terlihat dalam
perkataan Al Qalqasyandi yang lain. Dia berkata, “Sesungguhnya pekerjaan akuntansi dibangun
atas dasar kenyakinan”. (hal. 154). Perkataan ini, secara khusus, memantulkan dalam pemikiran
kami akan pentingnya sistem dokumentasi. Sebab, hitungan-hitungan yang dicatat dalam buku
harus diyakini kebenarannya; dan keyakinan ini tidak akan terwujud kecuali dengan adanya
bukti-bukti yang memadai yang dapat menetapkan terjadinya transaksi dari satu sisi, dan
kebenaran pencatatan di dalam buku dari sisi yang lain.
Perkembangan akuntasi di negara Islam tampak jelas pula bahwa seorang akuntan yang
bertanggung jawab atas pembukuan pengeluaran-pengeluaran harus meneliti pengeluaranpengeluaran yang dilakukan oleh perangkat negara itu, untuk membuat ketetapan apabila
terdapat perbedaan-perbedaan di antara tahun-tahun keuangan. (Muhammad Al Marisi Lasyin,
1973, hal. 37). Ini merupakan bukti lain tentang pengembangan pengertian akuntansi sebagai
sarana informasi yang bertujuan mengambil keputusan sekitar jalannya pengeluaran-pengeluaran
itu. Hal ini mengandung pembatasan perbedaan apa pun atau keraguan-keraguan dari tahun ke
tahun. Selanjutnya adalah pembatasan penanggungjawab perbedaan-perbedaan tersebut, lalu
pengambilan-pengambilan tindakan-tindakan yang pasti ketika perbedaan-perbedaan itu tidak
dapat di tolerir.
Imam Ghazali menyebutkan bahwa faktor yang mendukung perkembangan pengertian
akuntansi, dan selanjutnya adalah perkembangan tujuan penggunaan adalah perhatian terhadap
pengawasan diri. (juz XV, hal. 6-7). Sesunguhnya asas dalam pengawasan diri adalah takut
kepada Allah. Ini adalah ciri seorang muslim penganut aqidah yang mengetahui bahwa Allah
melihatnya. Selanjutnya, dia akan mengawasi dirinya karena dia mengetahui di sana ada
Pengawas yang dapat melihat apa yang tidak bisa dilihat oleh manusia, dan dapat mendengar apa
yang tidak dapat didengar oleh selain-Nya di antara makhluq-makhluq-Nya. Hal ini tampak jelas
di dalam firman Allah Tabaraka Wa Ta’ala:
“Dan jika kamu melihatkan apa yang ada di hatimu atau kamu menyembunyikannya, niscaya
Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatanmu itu”. (Al Baqarah:284)
Pengawasan diri inilah yang menjadikan seorang muslim menghisab dirinya sebelum
dihisab, khususnya mereka yang memiliki nafsu lawwamah.
Dalam hal ini, Khalifah Umar Ibnul Khaththab radliyallahu `anhu berkata, “Hisablah diri kalian
sebelum dihisab; timbanglah amal kalian sebelum amal kalian ditimbangkan; dan bersiapsiaplah kalian untuk menghadapi penampakan amal”.
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa perkembangan buku-buku akuntansi dan kantorkantor pemerintahan terjadi pada masa khalifah Al Faruq Amirul Mu’minin Umar bin Khaththab
radliyallahu `anhu , maka kita patut mengkaitkan antara perkataannya ini dan perkembangan
tersebut, dan bagaimana beliau menerjemahkan jiwa lawwamah ke dalam realitas secara umum,
dan barangkali dari segi keuangan secara khusus. Wallahu A’lam. Sebab, pengawasan diri dan
muhasabah terhadap diri merupakan tuntutan asasi dari ajaran syari’at Islam sebagaimana
terdapat di dalam Al Qur’an dan As Sunah. Diantaranya firman Allah Subhanahu Wa Ta`ala:
“Bacalah kitabmu, cukuplah dirimu sendiri pada waktu ini sebagai penghisab terhadap
dirimu”. (Al Isra':14)
Dari As Sunnah An Nabawiyyah, sesungguhnya pengawasan tersebut dari hasil
muhasabah terhadap diri sendiri. Muhasabah yang dimaksud dalam hal ini adalah
pertanggungjawaban . Hal ini tampak jelas di dalam perkataan Nabi shallallahu `alaihi wasallam:
“Tidak akan beranjak kedua kaki seorang hamba pada hari kiamat sebelum ditanya tentang
empat perkara, yaitu : tentang umurnya, dihabiskan untuk apa; tentang masa mudanya,
dihabiskan untuk apa; tentang hartanya, dari mana diproleh dan dibelanjakan untuk apa; dan
tentang ilmunya, apa yang telah diperbuat dengan ilmu tersebut”. (H.R. Tirmidzi, dan menurut
beliau hadits ini hasan shahih).
Hadits lain adalah dari Miqdam bin Ma’di Yakrib bahwa sayyidul basyar, Muhammad
shallallahu `alaihi wasallam menepuk pundaknya, kemudian berkata:
“Wahai Qadim (Miqdam? pen,) beruntunglah kamu, jika kamu meninggal tidak dalam keadaan
menjadi amir, tidak menjadi pencatat (katib), dan tidak menjadi pemimpin”. (H.R. Abu Dawud)
Makna kata “katib” disini adalah pencatat pekerjaan dan penghitungnya. (Zakiyyudin Abdul
Azhim bin Abdul Qawiy Al Mundziri, 1986, juz 3, hal. 159)
Sebelumnya telah dikatakan bahwa awal pencatatan transaksi di dalam buku bersamaan
dengan berawalnya negara Islam pada masa Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam sebagai
akibat bertambahnya pemasukan negara dari berbagai penaklukan dan zakat, terutama setelah
pemasukan tersebut semakin banyak dan tidak seluruhnya dapat dibagikan pada saat itu. Tidak
diragukan lagi bahwa pencatatan di dalam buku pada awal masa tersebut berjalan sesuai dengan
cara yang diikuti sebelum Islam. Tetapi, pelaksanaan pencatatan tersebut berkembang pada masa
khalifah kedua, yaitu khalifah Al Faruq Umar Ibnul Khaththab radliyallahu `anhu pada tahun
14--24 H. /636--646 M. Beliaulah yang memerintahkan mencatat harta umum diklasifikasikan
sesuai dengan sumber pendapatannya. Perkembangan pada masa khalifah Umar Ibnul Khaththab
ini meliputi penentuan hakikat buku yang harus digunakannya dan cara mengaplikasikannya,
serta dokumen-dokumen yang harus dimilikinya sebagai asas pencatatan dan harus disimpan
setelah dicatat untuk memperkuat apa yang telah dicatat.
Pada awal kehidupan negara Islam, buku-buku akuntansi masih berupa kertas-kertas
terpisah, tidak berbentuk buku yang berjilid. Orang pertama yang memasukkan buku-buku dan
catatan yang terjilid sebagaimana yang kita kenal pada masa tersebut adalah Khalifah Al Walid
bin Abdul Malik, pada tahun 86-96 H. /706-715 M. (Muhammad Al Marisi Lasyin, 1973, hal.
36). Ini berarti bahwa hal ini terjadi kurang lebih tujuh ratus sembilan puluh tahun sebelum
munculnya buku Pacioli. Sementara itu, sistem buku akuntansi ini telah mencapai puncaknya
pada masa Daulat Abasiyyah pada tahun 132-232 H. /750-847 M. Yakni, pada tahun 132 H. /750
M. Khalid bin Burmuk terpilih menjadi kepala Diwan Kharaj (Diwan pemasukan hasil-hasil
pertanian) dan Diwan tentara. Khalid bin Burmuk melakukan reformasi sistem kedua Diwan
tersebut dan mengembangkan buku-buku akuntansi serta memberi nama khusus terhadapnya.
Pada masa negara Islam, buku catatan pertama dikenal dengan nama “Jaridah”. Dari sini
tampak garis hubungan antara buku Pacioli yang terbit pada tahun 1494 M. dan sumber rujukan
buku tersebut, karena pada sebagian yang disebutkannya terdapat banyak kesamaan dengan apa
yang digunakan pada masa negara Islam. Di dalam bukunya, Pacioli telah menjelaskan bahwa
buku catatan pertama yang harus digunakan dikenal dengan nama “Journal” dalam bahasa Ingris
(Brown dan Johnson, 1963, hal. 43) atau “Zornal” dalam bahasa Itali sebagaimana dikenal di
kota Venice . (Martinelli, 1977, hal. 25). Dua kata ini, yaitu Journal dan Zornal merupakan
terjemahan secara harfiah dari bahasa Arab, yaitu dari kata “Jaridah”. Jaridah adalah nama untuk
buku catatan pertama pada masa negara Islam, yaitu pada masa Daulat Abbasiyyah, sekitar tahun
132 H. /749 M.,yaitu tujuh ratus empat puluh lima tahun sebelum munculnya buku Pacioli. Dari
hal ini dapat kita simpulkan bahwa asas atau sumber rujukan bagi apa yang dipraktikkan di
Republik Itali sebagaimana tersebut dalam buku Pacioli adalah apa yang telah dipraktikkan di
negara Islam. Di antara yang harus dipraktikkan di negara Islam adalah pencatatan “Jaridah”
sebelum memakainya. Pencatatan ini, sebagaimana yang telah kami sebutkan, berlangsung
ketika distempel dengan stempel Sulthan. Praktik ini adalah bagi instansi-instansi pemerintahan
Islam. Barangkali juga bagi pribadi-pribadi dan lembaga-lembaga khusus. Demikian pula Ibnu
Khaldun yang hidup pada masa Daulat Abbasiyyah dan menulis bukunya tahun 167 H. /784 M.
Mengatakan bahwa seorang akuntan harus memakai buku-buku akuntansi yang sesuai, dan
mencatat namanya di akhir buku, serta menstempelnya dengan stempel Sulthan. Stempel tersebut
memuat nama Sulthan atau simbol khusus bagi Sulthan. Stempel tersebut dibubuhkan di salah
satu sisi buku .(halaman 205). Sesungguhnya penggunaan kata “buku-buku akuntansi yang
sesuai” oleh Ibnu Khaldun menunjukkan semenjak abad ke-2 Hijriyah dan barangkali sebelum
itu, kaum muslimin menggunakan buku-buku akuntansi yang beragam sesuai dengan perbedaan
karakter kegiatan, baik tingkat negara maupun pribadi.
Dahulu, “Jaridah” digunakan untuk mencatat pemasukan-pemasukan dan pengeluaranpengeluaran, tetapi secara terpisah. Yakni, ada jaridah untuk pemasukan dan ada jaridah untuk
pengeluaran. Hal ini termasuk serupa dengan apa yang sekarang dikenal dengan nama
Specialised Journals. Adapun transaksi-transaksi lain dicatat dalam buku yang dikenal dengan
nama Daftarul Yaumiyyah (Daily Book/Buku Harian).
Buku harian yang dikenal di negara Islam tujuh ratus empat puluh lima tahun sebelum
munculnya buku Pacioli adalah buku harian yang digunakan sekarang di dunia, dan dikenal
dengan nama General Journal. Buku harian ini dikenal di seluruh diwan di samping specialised
journals. Dahulu, buku harian ini digunakan untuk mencatat seluruh transaksi keuangan khusus
bagi diwan dan transaksinya dengan orang lain. Buku ini serupa dengan apa yang sekarang
dikenal di negara-negara Arab dengan nama Daftarul Yaumiyyatil `Ammah (Buku Harian
Umum).
Menurut An Nuwairi, yang meninggal pada tahun 734 H. /1336 M. atau kurang lebih tiga
puluh satu tahun sebelum munculnya buku Al Mazindani, pekerjaan pembukuan tunduk pada
praktik-praktik tertentu dan jelas. Sebab,seluruh harta yang masuk atau keluar harus dicatat
sesuai urutan waktu terjadinya, juga harus dicatat tanggal terjadinya setiap transaksi. Demikian
pula, keharusan mencatat transaksi menurut urutan waktu terjadinya tidaklah terbatas pada
transaksi-transaksi keuangan saja atau yang memiliki nilai keuangan, tetapi mencakup juga
seluruh transaksi yang berhubungan dengan diwan dan yang lain. (An Nuwairi, hal. 273--275).
Pencatatan di buku harian berlangsung dari realitas syahid yaitu yang sekarang dikenal dengan
nama journal voucher, yang disiapkan oleh akuntan, yang melakukan pencatatan di buku.
(Muhammad Al Marisi Lasyin, 1973, hal. 131--132). Hal ini menunjukkan kesinambungan
pengembangan di dalam pekerjaan akuntansi yang awalnya bersamaan dengan munculnya
negara Islam tahun 622 M., dan menjadi kokoh pada masa Khalifah Umar Ibnul Khaththab, serta
semakin kokoh pada masa Daulat Abbasiyyah. Kemudian bertambah berkembang setelah itu
sebagaimana yang kita rasakan dari apa yang disebutkan oleh An Nuwairi.
Daulat Abbasiyyah, 132-232 H. /750-847 M. memiliki banyak kelebihan dibandingkan
yang lain dalam pengembangan akuntasi secara umum dan buku-buku akuntansi secara khusus.
Sebab pada saat itu, masyarakat Islam menggunakan dua belas buku akuntansi khusus
(Specialized Accounting Books). Buku-buku ini memiliki karakter dan fungsi dan berkaitan erat
dengan fungsi dan tugas yang diterapkan pada saat itu. Di antara contoh buku-buku khusus yang
dikenal pada masa kehidupan negara Islam itu adalah sebagai berikut:
1.
2.
3.
1.
2.
3.
Daftarun Nafaqat (Buku Pengeluaran). Buku ini disimpan di Diwan Nafaqat, dan diwan ini
bertanggung jawab atas pengeluaran Khalifah, yang mencerminkan pengeluaran negara.
Daftarun Nafaqat Wal Iradat (Buku Pengeluaran dan Pemasukan). Buku ini disimpan di
Diwanil Mal, dan Diwan ini bertanggung jawab atas pembukuan seluruh harta yang masuk ke
Baitul Mal dan yang dikeluarkannya.
Daftar Amwalil Mushadarah (Buku Harta Sitaan). Buku ini digunakan di Diwanul Mushadarin.
Diwan ini khusus mengatur harta sitaan dari para menteri dan pejabat-pejabat senior negara pada
saat itu. (Muhammad Al Marisi Lasyin, 1973, hal. 41).
Umat Islam juga mengenal buku khusus yang lain, yang dikenal dengan nama Al Auraj, yaitu
serupa dengan apa yang sekarang dinamakan Daftar Ustadzil Madinin (Debtors or Accounts
Receipable Subsidiary Ledger). Kata Auraj adalah dari bahasa Parsi, kemudian digunakan dalam
bahasa Arab. Auraj digunakan untuk mencatat jumlah pajak atas hasil tanah pertanian, yaitu
setiap halaman dikhususkan untuk setiap orang yang dibebani untuk membayar pajak, di
dalamnya dicatat jumlah pajak yang harus dibayar, juga jumlah yang telah dibayar dari pokok
jumlah yang harus dilunasi. Penentuan jumlah pajak yang harus dilunasi didasarkan pada apa
yang dinamakan Qanunul Kharaj (Undang-Undang Perpajakan). (Al Mazindarani 765 H./1363
M.)
Di samping apa yang telah disebutkan, kaum muslimin di negara Islam mengenal pembagian
piutang menjadi tiga kelompok, yaitu:
Ar Ra’ij minal mal, yang dimaksudkan ialah piutang yang memungkinkan untuk didapatkan,
yaitu apa yang sekarang ini dikenal dengan nama Ad Duyunul Jayyidah, dan dalam bahasa
inggris dikenal dengan nama Collectable Debts.
Al Munkasir minal mal, yang dimaksudkan adalah piutang yang mustahil untuk didapatkan,
yaitu apa yang sekarang dinamakan Ad Duyunul Ma’dumah, dan dalam bahasa inggris dikenal
dengan nama Bad Debts atau Uncollectable Debts.
Al Muta’adzir wal mutahayyir wal muta`aqqid minal mal, yang dimaksudkan adalah piutang
yang diragukan untuk didapatkan, dan dalam bahasa inggris dikenal dengan nama Doubtful
Debts. (Muhammad Al Marisi Lasyin, 1973, hal. 141).
Dari pembagian piutang tersebut ada dua hal penting yang patut didapatkan, yaitu: pertama,
pengaruh kehidupan perdagangan terhadap pekerjaan akuntansi, sebagaimana yang telah kami
kemukakan pada pendahuluan Bab I; dan yang kedua adalah pembagian ini hanya berpengaruh
terhadap penggambaran kondisi keuangan baik bagi negara maupun pribadi, khususnya untuk
tujuan zakat. Sebab, penggambaran kondisi keuangan menuntut ketelitian dalam penggambaran
hak dan kewajiban. Tidak diragukan lagi bahwa mereka mengetahui pentingnya inventarisasi
para debitur untuk mengetahui apa yang mungkin diperoleh pada masa-masa mendatang. Jika
tidak, tentu mereka tidak segera mengelompokkan piutang dalam tiga kelompok tersebut.
Pengelompokan ini adalah pengelompokan yang digunakan pada masa kita sekarang tanpa
menyebutkan bahwa sumbernya adalah di negara Islam. Hal ini mempertegas sekali lagi
pentingnya zakat sebagai faktor asasi yang membantu pengembangan akuntansi. Hal ini jika
tidak ada faktor lain, maka zakat adalah faktor yang pertama. Sebab, perhitungan zakat menuntut
pentingnya inventarisasi para debitur dan kreditur untuk mengetahui pengaruh para debitur dan
kreditur terhadap jumlah zakat.
“ Katakankanlah,”Apakah akan aku jadikan pelindung selain dari Allah yang menjadikan langit
dan bumi, padahal Dia memberi makan dan tidak diberi makan?’ katakanlah, Sesungguhnya aku
diperintahkan supaya aku menjadi orang yang pertamakali menyerah diri (kepada Allah), dan
jangan sekali-kali kamu masuk golongan orang-orang musyrik.’” (Al An’am:14)
Dengan demikian, dapat kita saksikan dari sejarah, bahwa ternyata Islam lebih dahulu
mengenal system akuntansi, karena Al Quran telah diturunkan