RETHINKING TEORI KOMUNIKASI DALAM KONTEK

RETHINKING TEORI KOMUNIKASI DALAM KONTEKS MEDIA BARU

(Telaah Pemikiran Holmes tentang Komunikasi, Teknologi dan
Masyarakat)

Oleh:
Sih Natalia Sukmi

ABSTRACT
The new media give consequence to the study of communication sciences. Empir ical facts
showed that communication r esear ch often get stuck on the wr ong footing basis in
analyzing social condit ions, but t her e is no doubt that the theor y of communication
should be in har mony with the development of technologies that facilitate society and
inter act ion pr ocess. This study seeks to pr ovide a descr ipt ion of how the development of
the theor y of communication and dialogue with communicat ion pr oblems emer ging.
David Holmes's view on the development of communication studies will over shadow this
ar ticle. Liter atur e method used to descr ibe the theor ies that have been and can be applied
to the study of communication, new media and social implications t her e in.

Keywords: Theor y of communication, new media, David Holmes


1. PENDAHULUAN
Studi komunikasi kian har i kian dinamis seir ing per kembangan
teknologi dan masyar akat penggunanya. Teknologi tak bisa lepas dar i telaah
komunikasi kar ena di beber apa pendekatan komunikasi, teknologi justr u
menjadi bagian vital. Shanon and Weaver misalnya, ilmuw an matematika ini
menekankan komunikasi pada medium dan noise. Shanon yang meneliti untuk
per usahaan telekomunikasi tentu ber upaya ker as untuk mengukur kapasitas
dan efisiensi teknologi komunikasi sebagai sar ana tr ansmisi simbol-simbol.
Pendekatan ini memandang komunikasi sebagai pr oses linier

seper ti
1

pemikir an Lasw ell w alau dengan penekanan yang lain. Ber beda dengan
Lasw ell, Fiske ingin memahami komunikasi dar i sisi yang lain. Pembicar aan
tentang konten untuk mencar i r epr esentasi bahkan meniliknya dar i sisi
pr oduksi dan r epr oduksi tanda ala Fiske, menekankan pada unsur pesan dalam
kajian lebih dalam. Teor i pada dasar nya tidak dapat dilepaskan dar i konteks
sosial dan r efer ensi pengalaman yang membangunnya. Keselar asan sudut
pandang menjadi penting untuk dilakukan kar ena teor i lahir dar i kegelisahan

ilmuw an yang menaunginya.
Media mer upakan bagian dar i kajian ilmu komunikasi. Pendalaman
ter hadap kajian ini lebih pada aspek konten, sejar ah dan dampak ber agam
media ter hadap masyar akat yang menjadi audiennya. Kajian komunikasi
menjadi lebih dinamis ketika teknologi mengalami per kembangan yang cukup
pesat. Teknologi komunikasi yang kemudian menjadi bagian kesehar ian
manusia menjadi tantangan ahli-ahli komunikasi untuk menciptakan ber bagai
pendekatan-pendekatan bar u untuk menganalisanya. Pada aw alnya studi
tentang r etor ika cukup populer di kalangan akademisi komunikasi, namun
per kembangannya ilmu komunikasi tampaknya tak lagi dapat ber dir i sendir i
untuk mengkaji ber bagai fenomena sosial. Lanskap media bar u menghiasi
ber bagai kajian komunikasi. Tr en kajian komunikasi mengar ah ke teknologi
yang memiliki khar akter istik yang cukup ber beda dengan media massa,
int er akt ivit as, vir alit as, dan faktor lain ini. Implikasinya inter disiplin ilmu per lu

diter apkan untuk menghasilkan temuan yang kompr ehensif. Oleh kar enanya,
ilmu komunikasi per lu memikir kan kembali batas-batas kajiannya, teor i hingga
metodologis yang

hendak


diter apkannya. Kajian

ini

mencoba untuk

menginventar isasi teor i yang dapat digunakan sebagai dasar ber pijak dalam
kajian media bar u, salah satunya melalui telaah pemikir an David Holmes yang
akan mendasar i tulisan ini.
Holmes dalam bukunya yang ber judul Teor i Komunikasi, Teknologi dan
Masyar akat

mencoba

untuk

medekonstr uksi

pemikir an


bahw a

ilmu

komunikasi kini tidak boleh lagi hanya ter konsentr asi pada penger tian
2

komunikasi sebagai pr oses tr ansmisi pesan. Teor i komunikasi yang telah
ber kembang mer upakan tur unan dar i alir an linguistik yang lebih ter tar ik
untuk memahami isi dan r epr esentasi. Sementar a second media age, dimana
inter net member i r uang inter aksi yang lebih ter buka antar satu komunikator
dengan komunikator yang lain mensyar atkan teknologi har us dipandang lebih
dar i sekedar isinya. Mc Luhan dan Innis sudah mengaw ali teor isasi mer eka
dengan

mengungkapkan

bahw a


medium

is

message,

namun

pada

per kembangannya, Ilmu komunikasi membutuhkan teknologi dipelajar i lebih
sebagai subyek bukan obyek yang keber adaannya seolah disembunyikan.

2.

TRADISI DALAM KOMUNIKASI MASSA

Kajian tentang komunikasi dapat dilihat dar i level komunikasinyakomunikasi intr aper sonal, komunikasi inter per sonal, komunikasi kelompok,
dan komunikasi massa. Tr adisi komunikasi dalam kajian ini menggunakan
pendekatan Stephen W Littlejohn (2005) dalam bukunya ber judul Theor ies of

Human Communicat ion. Komunikasi yang ter mediasi melalui media massa

disebut sebagai komunikasi massa. Komunikasi massa adalah pr oses dimana
or ganisasi media mempr oduksi dan mengir imkan pesan kepada publik yang
besar dan pr oses dimana pesan dipandang, digunakan, dipahami dan
mempengar uhi audien. Pusat dar i studi komunikasi massa adalah media.
Or ganisasi media mendistr ibusikan pesan yang ber dampak dan mencer minkan
budaya masyar akat, dan mer eka member ikan infor masi secar a simultan untuk
audien yang heter ogen, membuat media menjadi bagian dar i per juangan
institusi sosial. Media tentu ber implikasi pada “mediation” kar ena mer eka
datang diantar a audien dan dunia. Dennis McQuail mengusulkan beber apa
metafor a untuk menangkap ide ini: “media adalah jendela yang memampukan
kita untuk melihat pengalaman, platfor m atau pembaw a yang menyajikan
infor masi, komunikasi inter aktif yang melibatkan umpan balik audien, signpost
yang member ikan kita instr uksi dan per intah, penyar ing, cer min yang
3

mer efleksikan dir i kita dengan mer eka, dan batasan yang membentuk
kebenar an. Joshua Meyr ow itz memasukkan tiga metafor a – media adalah
kondit e, media sebagai bahasa dan media sebagai lingkungan.


Peneliti media menyadar i ada dua w ajah komunikasi media. Per tama
(sisi makr o) melihat media ter hadap masyar akat yang lebih besar dan
institusinya-ter tar ik pada hubungan masyar akat dengan media yang ter pusat
dengan car a media digunakan dalam masyar akat dan pengar uh antar a str uktur
sosial yang lebih besar dan media. Pandangan kedua (sisi mikr o) melihat
or ang, sebagai kelompok dan individu. Pandangan ini mencer minkan jar ingan
antar a media dan audien-ter tar ik pada hubungan media-audien yang fokus
pada efek kelompok atau individu dan keluar an aksi media. Dalam bidangnya,
kemudian, teor i media ber tujuan pada tiga tema besar -isi dan str uktur media,
masyar akat dan budaya, dan audien. Ber dasar kan pandangan Little John,
komunikasi massa ter utama media dapat dikaji dar i ber bagai tr adisi, yaitu
tr adisi semiotik, tr adisi sosiokultur al, tr adisi psikologi sosial, tr adisi siber netik,
dan tr adisi kr itik.

Tradisi Semiotik . Semiotik adalah hubungan antar a tanda, r efer en dan
pikir an manusia. Tr adisi ini membantu kita untuk melihat bagaimana tandatanda dan simbol-simbol digunakan, apa makna mer eka dan bagaimana
mer eka dior ganisir . Beber apa studi yang memandang or ganisasi simbol-simbol
dalam pesan mencer minkan pemikir an semiotik.
Pesan media -khususnya- diselidiki dar i per spektif semiotik kar ena

mer eka biasanya ter dir i dar i per campur an simbol-simbol yang dior ganisir
secar a spasial dan kr onologis untuk menciptakan impr esi, pengir iman ide atau
mendatangkan makna pada audien. Semiotik member ikan alat

untuk

menjelaskan ber macam bentuk, komposisi, teks dan bentuk simbol lainnya
yang digunakan dalam pesan. Bagi semiot ician , isi adalah penting, tetapi isi
adalah hasil penggunaan atas tanda-tanda. Pendekatan ini fokus pada car a-car a
pr oduser menciptakan tanda-tanda dan car a audien memahami mer eka.
4

Semiotik membentuk kita untuk melihat bagaimana tanda-tanda digunakan
untuk mengintepr etasi per istiw a dan dapat menjadi alat yang baik untuk
menganalisa isi pesan media. Sebagai contohnya, kita akan melihat ker ja dar i
Jean Baudr illar d, yang menuliskan bahw a media mempunyai kekuatan untuk
meningkatkan jar ak antar a simbol dan pengalaman dunia nyata.
Jean Baudr illar d, dar i Per ancis, per caya bahw a tanda-tanda menjadi
semakin ter pisah dar i obyek yang mer eka r epr esentasikan dan media
mempunyai per an dalam pr oses ini dimana tidak ada sesuatu yang nyata.

Media tidak begitu saja ber tanggung jaw ab dalam efek ini; penggunaan tanda
ber jalan melalui evolusi dalam masyar akat. Per tama, tanda adalah r epr esentasi
seder hana dar i objek atau kondisi. Tanda mempunyai hubungan dengan
signifikansinya. Disini Baudr illar d menyebutnya sebagai tahap symbolic or der ,
keber samaan dalam masyar akat feodal. Pada tahap yang kedua, adalah
count er feit s (keber samaan dar i Renaisance ke r evolusi industr i), tanda

diasumsikan kur ang mempunyai hubungan langsung dengan beber apa hal
dalam kehidupan. Tahap ber ikutnya adalah pr oduct ion (dalam r evolusi
industr i), dalam mana mesin-mesin menggantikan manusia, membuat obyek
independen dar i penggunaan manusia.
Saat ini kita hidup di er a simulat ion , di dalam mana tanda-tanda tidak
lebih

mer epr esentasikan-tetapi

menciptakan-r ealitas

kita.


Simulasi

menentukan siapa kita dan apa yang kita lakukan. Contohnya adalah Tr ans
Studio Bandung. Budaya komoditas kita adalah salah satu aspek simulasi di
dalam mana kita hidup. Lingkungan simulasi kita member itahu apa yang kita
inginkan dan kita butuhkan. Konsumsi membaw a nilai di dalam dan pada
dir inya sendiri. Hal yang paling penting adalah mer eka mengkonsumsi, tidak
kar ena kebutuhan yang sebenar nya, tetapi lebih pada r ealitas yang ada di
media. Kebutuhan kita menjadi homogen. Kar ena obyek ter pisah dar i
kew ajar annya, mer eka mempunyai makna yang aneh untuk kita. Kepemilikan
menjadi lebih penting dar i kegunaan. Kita membeli pandangan, bukan yang
sebenar nya kita butuhkan. Kar ena pr oses simulasi ini, kita mempunyai jar ak
5

yang semakin lama semakin sempit. Pemaknaan menjadi hilang, dan melebur
menjadi massa, yang disebut Bauldr illar d sebagai hyper t ella.

Tradisi Sosiokultural . Dalam pandangan tr adisi ini media membentuk
kekuatan dalam masyar akat. Pr oduksi media mer espon per kembangan sosial
dan budaya dan member i pengar uh dalam per kembangannya. Media mengisi

keanekar agaman

fungsi

penting dalam

masyar akat, ter masuk

bingkai

infor masi, mempengar uhi pendapat, member i hibur an, menyeting agenda isu
dan yang lainnya. Ber ikut ini dasar teor i yang dapat digunakan untuk mengkaji
media dalam tr adisi ini:

Medium Theory. Mungkin Mar shall McLuhan mer upakan pemikir
ter baik bagi pentingnya media sebagai media. Walaupun teor inya banyak
ditolak, tetapi tesisnya secar a gener al menyebar secar a luas. Media, adalah
bagian dar i isi apapun yang dkir imkan, ber imbas bagi individu dan
masyar akat. Ide ini dalam keanekar agaman bentukan adalah apa yang kita
sebut sebagai “medium theor y.” McLuhan bukanlah or ang per tama yang
mengemukakan hal ini. Dia mengacu pada Har old Adam Innis, yang
mengajar kan bahw a media komunikasi adalah esensi dar i masyar akat dan
sejar ahnya ditentukan oleh apa yang ada di media. Bagi McLuhan dan Innis,
media adalah per panjangan tangan dar i pemikir an manusia.
Donald Ellis mempr esentasikan seper angkat pr oposisi r epr esentasi
per spektif kontempor er dalam subyek ini. Ellis mengungkapkan pada mulanya
media member ikan pemisahan tingkah laku dan pengajar an. Ketika media
ber ubah, car a dimana kita ber pikir , mengatur infor masi dan ber hubungan
dengan yang lain juga ber ubah. Komunikasi or al adalah hal yang paling dapat
diter apkan. Kar ena pengalaman kesehar ian tidak dapat dipindahkan dar i
komunikasi or al sebagai medianya, kehidupan dan pengetahuan juga tidak
dapat dipisahkan. Cer ita dan pengulangan cer ita akan membentuk memor i dan
membangun pengetahuan masyar akat. Ini dapat membangun kesadar an
kolektif di dalam mana memper kecil jar ak antar a individu dan kelompok.
6

Tulisan sebagai aw al dar i cetak membaw a per ubahan dalam masyar akat.
Ketika kita menuliskan sesuatu kita dapat ter pisah dar i per istiw a, kita dapat
memanipulasi, mengedit dan mengubahnya. Per geser an ketiga ter jadi ketika
media elektr onik datang. Media elektr onik memper luas per sepsi kita dalam
konteks global village.
Salah satu teor i ter besar dalam tr adisi ini adalah Har old Lassw ell .
Dalam ar tikel klasik tahun 1948, dia mempr esentasikan model who says what
in which channel t o whom wit h what effect . Penggunaan model ini masuk dalam

seder et sistem komunikasi. Dia ingin mengidentifikasi tiga manfaat komunikasi
media ter masuk sur veillance, cor r elat ion dan socializat ion .

The Agenda Setting Function . Walter Lippmann (jur nalis Amer ika)
ber pendapat bahw a publik mer espon tidak untuk per istiw a yang aktual dalam
lingkungan

tetapi

“pictur e in

our

heads,”

yang

disebutnya dengan

pseudoenvir onment . Fungsi Agenda setting dikemukakan oleh Donald Shaw n

dan Maxw ell McCombs untuk membangun isu atau imej dalam pikir an publik.
Agenda Setting ter jadi ketika per s har us selektif dalam melapor kan ber ita.
Redaksi pember itaan sebagai gat ekeeper infor masi, membuat pilihan tentang
apa yang har us dilapor kan dan bagaimana melapor kannya.
Ada dua tingkatan agenda setting. Per tama adalah membangun gener al
issue yang penting dan kedua adalah menentukan bagian-bagian atau aspekaspek isu ter sebut penting. Dalam beber apa hal, tingkatan kedua lebih penting
dar ipada yang per tama, kar ena ia member ikan kita car a membingkai isu yang
mer upakan agenda publik atau agenda media. Fungsi agenda setting
mer upakan tiga bagian pr oses linear . Per tama, pr ior itas isu yang menjadi
bahan diskusi dalam media atau agenda media, har us disusun. Yang kedua,
agenda media dalam beber apa car a mempengar uhi atau ber inter aksi dalam
beber apa car a dengan pembuat kebijakan, yang disebut sebagai agenda
kebijakan. Empat tipe dar i hubungan kekuasaan antar a media dan sumber
diluar nya dapat ditemukan. Per tama adalah high power sour ce dan high power
7

media. Yang kedua adalah high power sour ce dan low power media. Yang ketiga

adalah lower –power sour ce dan high power media, or ganisasi media dengan
sendirinya akan member i r espon lebih ter hadap agendanya.
Social Action Media Studies. Beber apa ilmuw an media menyakini

bahw a audien tidak dapat dikar akter istikkan sebagai massa yang sama, yang
mana dia terdir i dar i sejumlah komunitas yang mempunyai per bedaan
mencolok, yang masing-masing mempunyai nilai, ide dan keter tar ikan sendir isendiri. Isi media diintepr etasikan dalam komunitas menur ut pemaknaan yang
memasyar akat dalam kelompok dan individual. Ger ad Schoening dan James
Ander son memapar kan aksi sosial komunitas berdasar kan pendekatan studi
media dapat dikelompokkan dalam enam pr emis. Per tama, makna tidak dalam
pesan itu sendir i tetapi dipr oduksi dengan pr oses intepr etasi dalam audien.
Pr emis kedua adalah bahw a makna pesan dan pr ogram media tidak ditentukan
secar a pasif, tetapi dipr oduksi secar a aktif oleh audien. Pr emis ketiga adalah
bahw a makna menggeser secar a konstan seperti anggota mendekati media
dalam ber bagai car a yang ber beda. Pr emis keempat, makna pr ogr am atau
pesan tidak per nah dibangun secar a individual tetapi komunal. Kelima,
tindakan yang menentukan makna yang dimiliki kelompok ter hadap isi media
dilakukan dalam inter aksi antar anggota kelompok. Dan yang ter akhir , pr emis
yang keenam adalah bahw a peneliti-peneliti menggabungkan komunitas yang
mer eka pelajar i.
Stanley Fish juga member i pandangan dalam kajian ini, ia menekankan
bagaimana car a-car a pembaca menandai pemaknaan dalam teks ber hubungan
dengan media. Kar ena faktanya, teks datangnya melalui media. Untuk Fish,
intepr etasi komunitas datang dar i hal-hal yang ada di sekitar media ter tentu
beser ta isinya. Kar ena keluar an konsumsi media ter dir i dar i konstr uksi budaya
komunitas, pendekatan ini mensyar atkan intepretasi budaya. James Lull
mengar tikan tipe ker ja ini dengan “etnogr afi komunikasi massa”. Thomas
Lindlof menggar iskan tiga dimensi intepr etasi komunitas. Kar ena intepr etasi
komunitas mendefinisikan makna sendir i untuk media, Lindlof mengar tikan
8

elemen ini sebagai genr e atau tipe umum dar i keluar an media yang diciptakan
dengan

inter aksi

dalam

intepr etasi

komunitas. Genr e per tama yang

mengkar akter istikkan intepr etasi komunitas adalah isi, dimana ter dir i dar i tipe
pr ogr am pr ogr am dan media lain yang dikonsumsi oleh komunitas. Sebuah
kelompok yang melihat sebuah pr ogr am tidak hanya ber bagi keter tar ikan
mer eka ter hadap sebuah pr ogr am tetapi juga ber bagi pemahaman ber sama
ter hadap isi. Genr e intepr etasi, kemudian membangun per tukar an makna.
Akhir nya genr e “social action” adalah per tukar an seper angkat per ilaku atas
media dalam per tanyaan, melibatkan tidak hanya bagaimana isi media
dikonsumsi (kapan dan dimana ia dipandang dan dibaca) tetapi juga car a-car a
dia mempengar uhi anggota komunitas.

Tradisi Psikologi Sosial. Kontr as dengan pendekatan sociocult ur al,
sebagian teor i media yang ter pusat pada efek media secar a individu. Dalam
tr adisi ini kita akan melihat bagaimana individu diyakini dipengar uhi, seper ti
yang ter gambar dalam tr adisi psikologi sosial.

Tradisi Efek . Teor i komunikasi massa mengalami evolusi. Pada
aw alnya, peneliti-peneliti

meyakini

adanya “magic bullet”

efek

teor i

komunikasi. Individu diyakini secar a langsung dan dipengar uhi lebih kuat oleh
pesan media, ketika media secar a kuat membentuk opini publik. Kemudian
pada tahun 1950an ketika hipotesis t wo st ep flow menjadi popular , efek media
menjadi minimalis. Kemudian pada tahun 1960an, kita menjadi per caya bahw a
efek media dimediasi oleh oleh ber bagai var iable dan hanya mempunyai
kekuatan yang sedang saja. Setelah penelitian pada tahun 1970-1980an,
beber apa ahli kembali mengungkap bahw a media mempunyai kekuatan.
Joseph Kappler dalam sur vei liter atur nya mengungkapkan bahw a komunikasi
massa tidak menjadi penyebab utama dalam efek khalayak tetapi dia
memediasi var iabel penyebabnya. Raymond Bauer mengamati bahw a audien
sulit untuk dibujuk dan dia menyebutnya dengan ker as kepala. Peneliti dalam
tr adisi ini mengidentifikasi beber apa hal penting dalam memediasi var iabel.

9

Uses, Gr atification and Dependency. Salah satu t eor i popular dalam

komunikasi massa adalah Uses and Gr at ificat ion . Pendekatan ini ter pusat pada
konsumen dar ipada pesan. Tidak seper ti tr adisi kekuatan efek, pendekatan ini
menggambar kan anggota audien lebih diskr iminatif ter hadap penggunaan
media. Audien diasumsikan aktif dan bertujuan langsung. Anggota audiens
secar a luas ber tanggung jaw ab untuk memilih media untuk memper temukan
antar a kebutuhan dan pengetahuan mer eka dan bagaimana memper temukan
mer eka.
Expect acy-Value Theor y (Philip Palmgr een). Teor i ini ber dasar kan pada

teor i nilai dan har apan. Menur ut teor i ini kita mengor ientasikan diri kita
melalui tindakan kita. Dan tingkah laku kita ter dir i dar i clust er keyakinan dan
evaluasi. Tindakan kita kemudian ada dalam segmen-segmen media yang
ditentukan dengan keyakinan kita tentang evaluasi ter sebut. Dan gr atifikasinya
kita car i dalam media yang ditentukan oleh tindakan kita atas media.
Dependency Theor y. Pendekatan uses and gr at ificat ion mer upakan teor i

yang ter batas. Dengan kata lain, ia membuat individu mengkontr ol peker jaan
mer eka dalam

kehidupan

mer eka. Meskipun

beber apa tokoh

hanya

menjelaskan bagaimana kekuatan media, beber apa diantar anya ber pendapat
bahw a efek yang ter batas dan model power ful effect tidak ada bandingannya.
Sandr a Ball-Rokech dan Melvin DeFleur secar a or iginal mempr omosikan teor i
ini. Teor i ini mempr ediksi keter gantungan ter hadap infor masi media untuk
menemukan kebutuhan ter tentu dan pencapaian tujuan ter tentu. Tetapi
keter gantungan kita ter hadap media tidaklah sama.
Dua faktor penentu bagaimana pandangan kita ter hadap media.
Per tama, kita akan lebih ter gantung pada media yang member ikan apa yang
kita butuhkan dar ipada yang sedikit memenuhi kebutuhan kita. Yang kedua,
sumber dependensi adalah stabilitas sosial. Model ini menunjukkan bahw a
istitusi sosial dan sistem media ber inter aksi dengan audien untuk menciptakan
kebutuhan, keter tar ikan dan motivasi.
10

Cultivation Theory. Geor ge Ger bner dan koleganya ber pendapat
bahw a televisi membentuk car a pandang ter hadap dunia. Dia menyebutnya
dengan istilah efek kultivasi, ketika televisi diyakini menjadi agen yang
homogeni dalam budaya. Analisis kultivasi ter pusat pada totalitas pola yang
dikomunikasikan secar a kumulatif melalui televi si dalam ter paan per iode
panjang

dar ipada beber apa isi dengan efek spesifik. Dengan kata lain ini

bukanlah teor i tentang efek media secar a individual tetapi lebih pada budaya
secar a keselur uhan. Dalam analisis kultivasi juga ditemukan bahw a ada efek
gener al dar i televisi kepada selur uh budaya untuk menjadi homogen atau
dimainstr eam, melalui televisi. Televisi tidak ber juang melaw an per ubahan
sebanyak dia memper juangkan stabilitas.

Tradisi Sibernetik . Keter kaitan opini publik dengan isi media
mer upakan sebuah fenomena yang menar ik. Bagai mana kita ber opini tentang
isu publik. Apakah kita lebih terpengar uh dengan or ang lain, dengan media
atau dua-duanya? Teor i spir al of silence member ikan pencer ahan yang dapat
membantu menjaw ab per tanyaan ter sebut.

Opini Publik dan Spir al of Silence. Topik dalam opini publik
mer upakan konsentr asi dalam ilmu politik. Ia didefinisikan sebagai opini yang
diekspr esikan secar a publik, opini yang menggambar kan public affair , dan
opini publik sebagai kelompok dar ipada kelompok kecil individu. Teor i spir al
of

silence

Elisabeth

mendemonstr asikan

Noelle-Neuman
bagaimana

melanjut kan

komunikasi

analisis ini

inter per sonal

dan

dengan
media

ber oper asi ber sama dalam pengembangan opini publik. Sebagai politikus
Jer man, Noelle-neumann mengamati bahw a dalam pemilu, pandangan ter tentu
seolah-olah mendapatkan per an yang lebih dibanding yang lain. Kadangkadang or ang-or ang menahan opini mer eka dar ipada membicar akannya. Spir al
of silence ter jadi ketika, siapa yang mer asa opininya popular , dia akan

mengekspr esikannya, dan ber laku sebaliknya, bagi yang mer asa opininya tidak
popular dia cender ung diam. Pr oses ini ter jadi dalam spir al.

11

Dalam kesehar ian hidup, kita akan mengekspr esikan opini kita dalam
ber bagai car a. Menur ut teor i ini, seseor ang akan lebih condong melakukan
sesuatu apabila mer eka mer asa telah membagikannya dengan or ang lain dan
condong melakukan sesuatu sebelum membagikannya. Tesis ini ber akhir
dalam dua pr emis. Per tama, or ang-or ang tahu bahw a opini adalah sesuatu
yang umum dan bukanlah sesuatu yang tidak lazim. Ini disebut dengan quasist at ist ical sense. Dan asumsi kedua adalah bahw a or ang-or ang mengatur

ekspr esi opini mer eka untuk per sepsi ini.
Beber apa

faktor

juga

ber pengar uh

dalam

kebijakan

untuk

mengekspr esikan pendapat. Spir al of Silence seolah-olah disebabkan oleh
ketakutan ter hadap isolasi. Padahal hal ter sebut tidak hanya masalah
keinginan untuk menjadi menjadi pemenang tetapi ber usaha untuk mencegah
ter isolasi dar i kelompok sosial yang lain. Media sendir i juga mengkontribusi
untuk spir al of silence, ketika ter sudut, individu biasanya mer asa tidak
mempunyai kekuatan dalam media. Dua hal yang dapat menjelaskan hal ini
adalah kesulitan untuk mendapatkan publisitas atas ber bagai hal atau
pandangan. Dan yang kedua adalah menjadi kambi ng hitam atau yang disebut
sebagai “pillor y function of media.” Individu kadang tidak dapat mencer itakan
dar imana mer eka mendapatkan opini ter sebut. Mer eka bingung apa yang
mer eka pelajar i dar i media dan apa yang mereka dapat dar i hubungan
inter per sonal. Ini ter kadang ter jadi pada opini jur nalistik yang ber beda dengan
opini masyar akat.

Tradisi Kritik. Media lebih dar i mekanisme seder hana untuk
menyebar kan infor masi. Mer eka mer upakan or ganisasi kompleks yang
mengungkapkan institusi sosial masyar akat. Jelasnya, media mer upakan
pemain utama dalam per juangan ideologi. Kr itik ter hadap teor i komunikasi
paling banyak ter pusat pada media kar ena potensi media untuk menyebar kan
ideologi yang dominan dan potensial mer eka untuk mengekspr esikan
alter natif dan oposisi.

12

Cabang dari Theory Media Kritik . Menur ut McQuail ada lima cabang
teor i media kr itik. Per tama adalah Mar xis klasik. Disini media dipandang
sebagai

instr umen kelas dominan dan makna dalam mana kapitalis

mempr omosikan keuntungan pr ibadi. Media menyebar kan atur an ideologi
kelas dalam masyar akat dan kelas penekan. Kedua adalah teor i media ekonomi
politik, dimana, seper ti Mar xis klasik, menyulut pemilik media ter hadap
penyakit masyar akat. Dalam ajar an mazhab ini, isi media adalah komoditas
untuk dijual di pasar , dan infor masi yang disebar kan dikontr ol oleh apa yang
pasar akan per lukan. Sistem ini memimpin tindakan konser vatif, tidak
ber esiko, membuat pr ogr am ter tentu dan dominasi outlet ter tentu bahkan
mar ginalisasi lainnya. Gar is ketiga dalam teor i ini adalah mazhab Fr ankfur t.
Pengajar an dar i mazhab ini memandang media sebagai makna konstr uksi
budaya, tempat dan lebih menekankan pada ide dar ipada alat-alat mater ial.
Dalam pemikir an ini, media memimpin dominasi ideology kaum elit. Luar an
ter sebut diupayakan melalui manipulasi gambar dan simbol media untuk
kepentingan keuntungan pemilik modal.
Mazhab keempat adalah teor i hegemonik. Hegemoni adalah dominasi
ter hadap kesalahan ideologi atau car a pikir yang ber lebihan ter hadap kondisi
yang sebenar nya. Ideologi tidak disebabkan oleh sistem ekonomi itu sendir i
tetapi lebih pada selur uh aktivitas masyar akat. Namun demikian, ideologi tidak
diper juangkan oleh sekelompok yang lain. Ideologi dominan member ikan
keter tar ikan kelas ter tentu melebihi kelas yang lain, dan media mengambil
per an utama dalam pr oses ini.
Satu sampai empat mazhab mer upakan pendekatan yang ber beda
dalam tr adisi teor i kr itik. Tr adisi kr itik mengambil beber apa per bedaan
dengan kelima pendekatan McQuail, biasanya secar a seder hana disebut
“cultur al studies.” Cult ur al St udies memandang masyar akat sebagai lahan
kepentingan

ide dalam

per juangan

makna. Cult ur al

St udi es

menjadi

pendekatan yang semakin ber tambah popular , ber manfaat dan banyak
digunakan untuk mengintegr asi pencer ahan dar i ber bagai var i asi mazhab.
13

Dalam teor i kr itik, hegemoni ber ar ti dominasi sebuah kelompok atau kelas
yang melebihi dar i yang lain.
Studi media dan identitas adalah kasus yang baik atas bagaimana
hegemoni diobser vasi dar i bingkai budaya. Contohnya, keselur uhan ide gender
sebagai sumber identitas telah membaw a ber bagai per tanyaan tentang queer
t heor y. Meskipun teor i komunikasi kr itik diper kenalkan di Amer ika Utar a,

mer eka benar -benar ber kembang dan menjadi kuat di Er opa dan Amer ika
Latin. Teor i kr itik Er opa mungkin dikenal lebih luas, kar ena banyak sumber
yang diter jemahkan dalam bahasa Inggr is. Sebaliknya di Amer ika Latin,
cender ung tidak diter jemahkan sehingga sedikit diter ima di Amer ika Ser ikat.
Ia cender ung menjalar dar ipada t op-down dan lebih mer upakan system
komunikasi sendir i dar ipada sistem sentr alisasi. Penelitian komunikasi
Amer ika Latin juga lebih konsentr asi pada kebebasan individu dar ipada
tr ansfer infor masi, pembangunan keper cayaan dar ipada dominasi, kesatuan
dar ipada fr agmentasi dan ant iaut hor it ar ian dar ipada author itar ian. Meskipun
tr en ini cender ung lebih dualistik, mer eka ber usaha untuk memadukan satu
sama lain. Mer eka telah melakukannya dalam sejumlah car a. Mer eka juga
menekankan global dar ipada tr en nasional dan disebut koalisi, jar ingan dan
dialog antar kelompok dan ide-ide.

3.

MEDIA BARU TERKAIT TEORI FI RST MEDI A AGE

Papar an di atas mer upakan tr adisi komunikasi yang lebih banyak
digunakan untuk memahami komunikasi massa. Per kembangan kajian
komunikasi kini meluas dengan lahir dan meluasnya penggunaan teknologi
komunikasi bar u seper ti inter net. Int er net and Communicat ion Technologies
(ICTs) mememiliki khar akter istik ber beda dibanding media massa. Itu pula
yang menuntut per lunya dasar ber pijak komunikasi yang ber beda dengan
kajian komunikasi massa. Walaupun Holmes mengungkapkan bahw a kajian
14

komunikasi dalam konteks media bar u sangat mungkin tak ter lepas dar i fir st
media age. Beber apa teor i pendekatan media massa dapat pula digunakan

untuk mengkaji per soalan-per soalan ter kait media bar u.
Revolusi industr i membaw a konsekuensi per ubahan dan pola inter aksi
dalam masyar akat. Masyar akat tr adisional hilang seir ing dengan per tumbuhan
infr astr uktur , pr oduksi massa, tr anspor tasi dan mobilitas ser ta migr asi
masyar akat ke per kotaan. Kondisi ini membangun masyar akat massa atau
disebut mass societ y hingga membaw a konsekuensi ter ciptanya media massa.
Studi media massa ber kembang secar a for mal sejak tahun 1930-an. Dalam
per iode ini pula pandangan tentang media ber munculan, optimis dan pesimis.
Kelompok optimis meyakini media sebagai agen pendidikan bagi massa.
Sementar a kelompok pesimis mengutuk media kar ena secar a hipoder mis
menyuntik khalayak melalui pr opaganda-pr opaganda yang diciptakannya.
Ter bukti pada tahun 1930-an per kembangan studi media ter tar ik melakukan
kajian-kajian tentang efek media ter hadap khalayak dan ber fokus pada
stimulus dan r espons sebagai hubungan timbal balik. Media dianggap member i
dampak atau pengar uh luar biasa bagi khalayaknya. Model massa/ elite
mendapat kr itik dar i alir an Mar xis yang menganggap bahw a model ini
mer upakan ideologi penghapusan politik kelas. Kajian budaya juga member i
kr itik ter hadap model ini kar ena meletakkan audiens sebagai kelompok yang
pasif. Salah satu kr itik muncul dar i Tony Bennet yang tidak sepakat bahw a
hadir nya mass societ y akan membangun tandingan bagi konsep sosiologis
tentang masyar akat.
Teor i Baudr illar d memandang media massa sebagai pembentuk
r ealitas (Holmes, 2012: 76). Budaya gambar melahir kan kr isis r epr esentasi.
Media menciptakan dan menentukan sesuatu yang dianggap “nyata”. Car a
mer eka mendekatkan massa dengan tontonan yang dipr oduksi menciptakan
masyar akat nihilisme dan sinisime. Baudr illar d ber pendapat bahw a kekuatan
media adalah kemampuannya membentuk simulacr a. Simulacr a mer upakan
car a dimana kita akan menganggap hasil pr oduksi dan r epr oduksi tanda lebih
15

nyata dibanding apa yang ditunjukkannya. Baudr illar d dalam bukunya
ber judul ‘The Pr ecession of Simulacr a’ mengungkap ada empat

fase

r epr esentasi gambar : (1) r epr esentasi dar i r ealitas dasar , (2) menyamar kan
dan menyimpangkan r ealitas dasar , (3) menyamar kan tidak adanya r ealitas
dasar , (4) mengandung tidak ada hubungan dengan r ealitas apapun
(simulacr um mur ni). Baudr illar d ber pendapat bahw a r epr esentasi dar i obyek
yang sebenar nya adalah mustahil, kar ena (1) r epr esentasi lahir dar i pr oses
dialog antar a obyek dengan bias dan netr alitas, konvensi dan objektivasi dar i
pemakna, (2) sebagian besar r epr esentasi mer upakan distor si dar i r ealitas, (3)
Baudr illar d ber pendapat bahw a r epr esentasi objektif atas kenyataan tidaklah
ada kar ena sesuatu yang dir ujuk itu sendir i mer upakan kenyataan simulasi. (4)
hilangnya r ealitas sosial sebagai r ujukan.

Mc Car thy (2001) ber pendapat

bahw a televisi mampu mengintegr asikan lingkungan sehar i-har i dengan begitu
baik sehingga kita hampir tahu kehadir an mer eka.
Gambar dalam logika Baudr illar d akan memakan konten. Gambar akan
menjadi lebih penting dar ipada isi media itu sendir i, alhasil media akan
memakan komunikasi, kar ena didalamnya aktivasi akan ber per ang dengan
pasivasi.

Media

akan

lelah

untuk

mementaskan

makna

disbanding

mempr oduksi makna. Bagi Baudr illar d pemaknaan akan dimakan lebih cepat
dibanding pr oses self r efer ent ial yang sepatutnya ter jadi. (Baudr illar d,
1983:99).
Catatan menar ik pandangan Baudr illar d atas media tampak ketika dia
membuat ter m ‘Mass’-age (pe-massa-an) dan bukan message (pesan). Dia
ber pendapat bahw a mass-age dipandang sebagai pener jemah massa. Massa
dan media saling membayangi. Bagi Baudr illar d, massa bukan per soalan kelas
seper ti yang digambar kan kelompok Mar xis. Massa lebih pada entitas yang
menyer ap pemaknaan dengan gr avitasi yang luar biasa hebatnya hingga hilang
esensi sebenar nya. Massa mer upakan medium yang lebih kuat dar i media,
kar ena dialah yang menyer ap media. Atau dengan kata lain tidak ada yang

16

lebih tinggi satu dengan yang lain. Massa dan media adalah pr oses yang
tunggal. ( Mass-age is t he message).
Meyr ow itz menyebut pandangan r elasi media dan pesan ala McLuhan
dan Har old Innis dengan nama teor i medium. Pandangan ini mendukung
pemahaman bahw a kajian komunikasi har us didalami lebih dar i sekedar
‘tontonan’ atau ‘r epr esentasi’ (Holmes, 2012:82-89). Namun juga dikaji aspek
medianya. Kontr ibusi pemikir an Mac Luhan bagi ilmu komunikasi yang utama
adalah penjelasan multidimensi atas ‘medium-medium’ komunikasi, ter masuk
didalamnya adalah mengamati r elasi-r elasi sosial yang ter bentuk secar a
teknologis, dimana masing-masing mempunyai r ealitas atau ontologi sendir isendiri. Per spektif ini begitu ber seber angan dengan pandangan tokoh-tokoh
lain seper ti althusser yang ber bicar a tentang ideology, Baudr illar d tentang
simulacr a atau teor i tentang industr i popular dimana khalayak secar a
homogen dipandang lar ut dalam media.
Pemahaman Mc Luhan member i pecer ahan bahw a teknologi-teknologi
media membaw a kekhasan tempor al dan spasial yang ber beda pada masingmasingnya. Media cetak dalam buku Under st anding Media (1964) , Mc Luhan
menjelaskan bahw a media cetak mengglobalisasi pesan dan membangun
per sepsi menggunakan liter atur e dan buku. Isi dar i media adalah media yang
lain, sehingga medium is t he message. Isi dar i tulisan adalah ucapan, isi dar i
cetak adalah ucapan ter tulis, dan cetak adalah isi dar i telegr af (Mc Luhan,
1994: 16 dalam Holmes, 2012:84)). Apabila diter apkan dalam inter net maka
komunikasi visual adalah isi dar i ikon, ikon adalah isi dar i image dan image
adalah isi dar i inter net.
Mc Luhan membedakan medium menjadi Hot medium dan cool
medium . Hot medium cender ung membentuk infor masi yang sear ah, sementar a
cool medium cender ung mengandaikan inter aksi di dalamnya. Dengan kata lain

media panas akan lebih menekankan pada pr oses pencur ahan infor masi
hingga ber lebih, sementar a media dingin akan mengandalkan pr oses
17

inter aktivitas yang ter cipta diantar a par tisipannya. Pandangan Mc Luhan lebih
menekankan pada car a penonton mer efleksi medium dan bukan pada konten.
Per geser an ‘the medium is message’ menjadi ‘medium is massage’ (McLuhan
dan Fior e, 1967) menjelaskan bahw a apapun yang dapat memper luas indr a
manusia dan kapabilitas biologis mer upakan status menjadi media.
Selain Mc Luhan dalam bukunya ber judul The Bias of Communicat ion ,
Har old Innis membedakan dua jenis ‘imper ium’ komunikasi. Yang per tama,
mer ujuk pada mesin cetak dan komunikasi elektr onik, menghasilkan dominasi
par sial-bias r uang. Yang kedua adalah bias w aktu. Sejalan dengan Innis, dalam
bukunya No Sense of Place (1985) Meyr ow itz yang ter pengar uh atas pemikir an
dar i

Mc Luhan

dan

Innis mengungkapkan

bahw a media elektr onik

mer eter itor ialkan ‘per asaan tentang tempat’. Media elektr onik utamanya
memungkinkan ter ciptanya hubungan yang ar bitr er anta per asaan dengan
r uang/ tempat.

4.

KAJIAN KOMUNIKASI DALAM SECOND MEDI A AGE

Pemikir utopis second age media ber pendapat bahw a per kembangan
pesat media bar u muncul dar i r eaksi-r eaksi atas ketidaksetar aan yang ada di
mass media/ br oadcast . Bahkan cukup mengejutkan kar ena har apan bar u atas

emansipasi dan kesetar aan melalui inter net disetujui ber sama oleh par a
pemikir liber al, Mar xis dan postmoder nis.
Istilah inter net ser ingkali digunakan ber gantian dengan cyber space.
Istilah cyber space sendir i, kali per tama dicetuskan oleh William Gibson.
Namun tanpa disadar i sebenar nya ada pembedaan yang har us diper hatikan
ketika menggunakan dua konsep ini. Osw alt (1997) dan dan Escobar (1994)
mengungkapkan bahw a setiap medium yang membungkus komunikasi
manusia melalui alat elektr onik dapat disebut cyber space. Konsep cyber space
18

juga ker ap dihubungkan dengan vir tual r eality. Walaupun kr itik ter hadap
pemahaman ini mer asa har us membedakan dua konsep ter sebut. Pendapat
Ostw ald, “Komponen kritis bagi setiap definisi tentang cyber space adalah
unsur masyar akatnya”, kar ena ia menyatakan bahw a satu or ang tunggal tidak
akan per nah ada di cyber space, tetapi dalam vit ual r ealit y (Osw alt, 1997:132
dalam Holmes, 2012: 97).
Dasar dar i teor isasi tentang second media age muncul dar i lahir nya
anggapan atas keter batasan media tr adisional. Dalam per kembangan teknologi
komunikasi yang cukup pesat, Holmes memandang studi komunikasi per lu
menggunakan dasar ber pijak dar i pemahaman dasar tentang medium itu
sendiri. Holmes ber pikir bahw a Mar shall Mc Luhan, Har old Innis, dan Joshua
Meyr ow itz adalah pemikir -pemikir yang temuannya yang menganggap bahw a
konten bukanlah hal ter lalu ur gen dalam pembelajar an tentang cyber space.
Selain itu, Der r ida (tokoh dar i tr adisi semiotik) dan Baudr illar d dianggap
Holmes juga cocok untuk membahas cyber space kar ena pemahaman dasar nya
ber pijak pada teor i medium.
Teor isi second media age lahir ter kait dengan teor isi yang muncul dar i
per soalan fir st media age. Kondisi ter sebut antara lain pr oduksi massa tak
tentu oleh br oadcast , pemisahan individu dar i sar ana pr oduksi, kontr ibusi
mer eka sendir i dalam komunikasi publik, dan disintegr asi atas masyar akat
tr adisional. Per soalan-per soalan diatas oleh beber apa pemikir utopis second
media age sebagai hal yang dapat diselesaikan dengan adanya inter net
(Holmes (2012:109), Gilder (1994), Sher r y (1995), dan Poster (1995)).
Per pektif second media age ber pendapat bahw a tir ani melalui
br oadcast ter bangun melalui pr oses hegemoni sentr al yang ditur unkan

menjadi budaya dengan kesadar an alamiah menjadi kesadar an individu.
Khalayak dibentuk sedemikian halus melalui industr i budaya hingga car a
komunikasi melalui audio, visual dan audio visual menjadi bagian yang mer eka
miliki

tanpa

penolakan

yang

fr ontal.

Sementar a

kaum

cyber -ut opis
19

ber pendapat kondisi tir ani ini dapat ter tangani dengan lahir nya media bar u
yang mampu menciptakan r uang komunikasi yang tidak sentr al, dua ar ah,
instan dan ter asa kur ang ter mediasi.

Perspektif CMC. Comput er Mediat ed-Communicat ion (CMC) adalah
pandangan yang biasanya digunakan untuk menjelaskan tentang bagaimana
komputer adalah jendela bagi cyber space. Inter aksi yang dimaksudkan dalam
konteks ini adalah inter aksi face-t o-face, baik komunikasi antar 2 or ang atau
lebih melalui chat. Pandangan CMC memiliki perbedaan dengan second age
media. (1) fokus CMC ter letak pada keunikan per istiw a komunikasi dalam
cyber space; (2) pandangan ini lebih ter kait dengan inter aksi dibanding

integr asi; (3) tidak seperti studi-studi tentang media, CMC ter tar ik pada
bagaimana faktor -faktor ekster nal mempengar uhi per istiw a komunikasi; (4)
pandangan ini mengar ah ke integr asi infor masi (Holmes, 2012:116).
Teor i second media age ber pandangan bahw a inter net telah member i
r uang ( cyber space) jar ingan yang memiliki kemampuan tak ter tandingi dalam
hal inter akstivitas dibanding dengan media sebelumnya. Kemampuan ini pula
yang menur ut Holmes dianggap sebagai pencabut power yang dimiliki oleh
media massa. Teor i tentang cyber societ y atau second media age ter bilang bar u
dalam kajian komunikasi. Bukan hanya kar ena bangunan pr emis sosialnya
yang bar u namun teknologi inter net memang bar u massif di masyar akat sejak
1991. Holmes mengungkap bahw a Luhan, Innis dan Meyr ow itz adalah tokohtokoh yang pemikir annya mampu mendasar i kajian-kajian komunikasi ter kait
new media.

CMC dapat dipandang pula sebagai cyber space. Kegunaan model
tr ansmisi pesan untuk mempelajar i second media age adalah bahw a model ini
mampu menjadi pijakan diskusi tentang r uang yang dipr oduksi secar a sosial
(Jones 1995 dalam Holmes, 2011: 126). Cyber space dalam per spektif ini
dianalogikan dengan agor a di Yunani pasca Homer atau café-kedai minum kopi
yang member i w adah inter aksi antar invidu. Smith (1995) mengungkap bahw a
20

ter dapat empat aspek inter aksi virtual yang membentuk per ilaku komunikasi
yang ber langsung dalam mer eka; yaitu inter aksi vir tual yang ber sifat aspatial,
inter aksi virtual melalui sistem, inter aksi yang ber sifat acor peal (tidak
jasmaniah) kar ena mediumnya hanya teks, dan inter aksi yang ber sifat
ast igmat ic.

Kajian komunikasi ter kait CMC juga mengar ah pada per soalan
identitas. Anonimitas identitas dalam CMC ter jadi kar ena difer ensiasi status
sulit muncul di r uang vir tual. Status tidak tampak dalam inter aksi yang ter jadi
melalui jar ingan optik ini, bahkan identitas individu dapat menjadi sulit
ter deteksi.

Implikasi

yang

muncul

kemudian

adalah

kur angnya

per tanggungjaw aban dar i pengguna inter net. Smith (1995) ber pendapat
bahw a anonimitas dapat ter jadi kar ena fluiditas identitas dalam pr oses
inter aksi begitu cair .
Cyber space sebagai r uang publik bar u. Telaah tentang r uang publik

atau

keter libatan

individu

dalam

aktivitas publik

dir asa mengalami

kemundur an. Holmes mengungkap bahw a Goulder , Sennet dan Haber mas telah
membuktikan melalui kaji an-kajian mer eka. Media massa aw alnya dihar ap
mampu menjadi r uang tumbuh kembangnya diskusi publik yang egaliter dan
tak ber pihak. Namun r iset-r iset yang telah ada (baca Poster , 1997)
menunjukkan bahw a media massa bukan lagi entitas netr al yang mampu
menampung kebutuhan khalayaknya untuk ber diskusi bebas.
Selain bahasan kemungkinan r uang publik bar u yang ter cipta melalui
inter net. Diskusi tentang publik dan privat menjadi ter us menggema seir ing
per jalanan kajian media bar u mulai popular . Per bedaan publik dan privat
dalam media bar u menjadi r umit didiskusikan. Har tley ber pendapat bahw a
publik dapat ber ada di r anah pr ivat. Pr emis ini lebih longgar ketika aplikasinya
ter jadi didalam inter aksi vir tual atau menjadi lebih r umit ketika Poster (1997)
mengungkapkan bahw a r eduksi inter aksi komunikasi ter jadi melalui kabel
optik memampukan setiap individu mengaksesnya dar i r umah.
21

5.

PENUTUP

Ilmu komunikasi sebagai disiplin ilmu yang dinamis seyogyanya
mengupgr ade diri sesuai dengan fenomena sosial yang melingkupinya-media
bar u misalnya. Dia mungkin har us ber kolabor asi dengan pendekatan atau
disiplin lain untuk mendapatkan pemahaman yang kompr ehensif. Teor i
sebagai konstr uk-konstr uk yang ter kait satu dengan yang lain ber tujuan untuk
memandang r ealitas sosial yang ada. Oleh kar enanya, teor i tidak dapat dipaksa
digunakan tanpa menyesuaikan lingkungan yang membangunnya.

DAFTAR PUSTAKA
Alatas, Salim. Evolusi Kajian Komunikasi (St udi Ter hadap Per kembangan Kajian
Komunikasi). Sur ya Univer sity.

Baudr illar d. 1983. ‘The Implosion of Meaning in t he Media’ dalam In t he Shadow
of t he Silent Major it ies. Ter j. P. Foss, J.Johnston dan Patton. New Yor k:

Semiotext(e).
Gilder , Geor ge.1994. Life Aft er Television . New Yor k: Nor ton.
Holmes, David. 2012. Teor i

Komunikasi, Teknologi

dan

Masyar akat.

Yogyakar ta: Pustaka Pelajar
Littlejohn, Stephen W. 2005. Theor ies of Human Communicat ion . Canada:
Wadsw or th.
22

McLuhan, Mar shall. 1994. Under st anding Media: The Ext ensions of Man ,
Cambr ige: MIT Pr ess.
Ostw ald, Michael J. 1997. ‘Vir t ual Ur ban Fut ur es’, dalam Holmes (ed), Vir t ual
Polit ics: Ident it y and Communit y in Cyber space. London: Sage.

Poster , Mar k. 1997. Cyber democr acy: Int er net and Public Spher e, dalam Holmes,
Vir t ual Polit ics: Ident it y and Communit y in Cyber space, London: Sage

Publication.
Smith, Mar ch. 1995. Voice fr om t he Well: The Logic of t he Vir t ual Commons’,
diser tasi

Ph.D.

Univer sity

of

Califor nia

http:/ / w ww .netscan.sscnet.ucla.edu/ soc/ csoc/ paper s/ voices/ Voices.ht
m.

23