KONSEP PENDIDIKAN MILITER PADA MASA KEPE

KONSEP PENDIDIKAN MILITER PADA MASA KEPENDUDUKAN JEPANG DI
INDONESIA PADA TAHUN 1942-1945
Oleh:
Wida Puteri Valentina
120731400280
Perang pasifik dimulai pada tahun 1942. Pada perang tersebut, Jepang mendominasi
jalannya perang tersebut. Hal inilah yang menjadi alasan utama sekutu menyerah tanpa syarat
kepada Jepang diikuti dengan penyerahan wilayah jajahan sekutu kepada Jepang. Pemerintah
Belanda yang berkuasa di Indonesia (Hindia Belanda) menyerah tanpa syarat ke tangan
Jepang pada tanggal 8 Maret 1942. Peristiwa ini terjadi di rumah sejarah yang terletak di
sekitar kawasan pangkalan Angkatan Udara (AU) Kalijati, Subang, Jawa Barat. Dengan
penyerahan itu maka berakhirlah masa penjajahan Belanda di Indonesia diganti oleh
kekuasaan Kemaharajaan Jepang (Isnaeni H. F & Apid. 2008: 5).
Kekuasaan Jepang di Indonesia yang kemudian dikenal dengan masa kependudukan
Jepang di Indonesia merupakan masa penjajahan yang sangat kejam. Pada awal
kedatangannya Jepang mengatakan bahwa mereka adalah saudara tua dari Indonesia, dan
akan memberikan kemerdekaan kepada Indonesia di kemudian hari. Janji inilah yang
mempermudah Jepang untuk masuk ke Indonesia. Tetapi setelah memulai kependudukannya
di Indonesia, Jepang hanya memberikan berbagai macam kekejaman yang ditujukan kepada
masyarakat Indonesia.
Untuk mendapatkan simpati rakyat Indonesia, Jepang meratakan pendidikan di

Indonesia. Setiap warga Indonesia diperbolehkan untuk bersekolah di sekolah Jepang. Tujuan
pendidikan pada awalnya memang merupakan alat pemerintahan propaganda Jepang untuk
meraih kemenangan dalam perang Asia Timur raya. Banyak sekolah Belanda yang
dirubuhkan dan diganti dengan sekolah Belanda.
Disisi lain pemerintah Jepang juga menigkatkan latihan jasmani dan mempersingkat
waktu studi sekolah untuk membentuk akumulasi sukarelawan pribumi yang diperlukan pihak
Jepang uuntuk memperoleh kemenangan di Asia Timur Raya. Pemerintahan Jepang secara
fisik tidak banyak menambah jumlah sekolah, tetapi perubahan terjadi pada pembalikan
asumsi awal yang menyatakan bahwa kemajuan hanya dapat dicapai dengan model
rasionalisme Barat karena pola pikir timur pun memiliki peluang yang sama ( Salim, A. 2007:
213-214)

Pada awal tahun 1943, kondisi perang Pasifik mulai mengalami perubahan. Jepang
yang pada awal perang Pasifik berhasil menguasai jalannya perang dapat ditahan oleh
pasukan sekutu. Kekalahan demi kekalahan dialami Jepang di Pasifik. Inilah akhir dari
superioritas Jepang dalam ekspansinya ke kawasan Asia dan Pasifik. Melemahnya kekuatan
Jepang dalam perang Asia Pasifik, membuatnya kalang kabut dan mengeksploitasi sumber
daya alam dan manusia negara yang disusukinya, salah satunya adalah Indonesia (Isnaeni H.
F & Apid. 2008: 23). Hal inilah yang kemudian memunculkan banyaknya organisasi bentukan
Jepang yang bertujuan untuk menciptakan sumber daya manusia yang tangguh dalam bidang

militer guna membantu Jepang dalam perang Asia Pasifik.
Kebijakan yang diterapkan pemerintah Jepang di dalam bidang pendidikan adalah
menghilangkan diskriminasi dalam mengenyam pendidikan. Kebijakan ini bertentangan
dengan kebijakan dalam sektor pendidikan yang diterapkan oleh pemerintahan kolonial.
Kebijakan Jepang memperbolehkan rakyat dari lapisan manapun berhak untuk mendapatkan
pendidikan formal. Jepang menerapkan jenjang pendidikan formal seperti di negaranya yaitu
SD 6 tahun, SMP 3 tahun dan SMA 3 tahun. Sistem inilah yang masih digunakan oleh
pemerintah Indonesia sampai saat ini (Isnaeni H. F & Apid. 2008: 40-41).
Pada masa pemerintahan pendudukan Jepang di Indonesia, Jepang mengadakan
perubahan-perubahan yang besar dengan menghapus pelbagai jenis pendidikan rendah
berdasarkan golongan-golongan penduduk itu, yang ada hanya satu jenis sekolah rendah
untuk sekolah lapisan masyarakat yang disebut “Syoo-gekkoo” (sekolah rendah) lama
belajarnya 6 tahun. Selanjutnya, ada “TYUU Gakkoo” (sekolah menengah pertama) 3
tahun

“Kootoo gakkoo”. Sedang sekolah pendidikan gurunya ialah Kyoin Yoogoi sho

(sekolah guru B) lamanya 4 tahun dan si han Gakkoo (sekolah guru atas). Pendidikan ala
Jepang mempunyai prograsivitas dan lebih dinamis,tetapi dinamika dan progresivitas itu lebih
ditekankan pada physical training, bukan mental disiplin. Demokratisasi pendidikan pada

masa penjajahan Jepang juga mempunyai tujuan politis, dan tidak bersifat dinamis (Hardiyati,
Y, 2011: 9).
Dalam aspek pendidikan, Jepang menerapkan sistem pendidikan militer. Sistem
pengajaran dan kurikulum disesuaikan dengan kepentingan perang. Siswa memiliki kewajiban
mengikuti latihan dasar kemilitean dan mampu menghafal lagu kebangsaan Jepang. Begitu
pula pada gurunya, diwajibkan untuk menggunakan bahasa Jepang dan Indonesia sebagai
pengantar di sekolah menggantikan bahasa Belanda. Untuk itu guru wajib mengikuti kursus
bahasa Jepang yang diadakan oleh pemerintahan Jepang. Jepang bermaksud mencetak kaderkader yang mempelopori dan mewujudkan konsep kemakmuran bersama Asia Timur Raya,

namun dengan jalan yang salah, karena harus melalui peperangan Asia Timur Raya ((Isnaeni
H. F & Apid. 2008: 41).
Pada aspek militer, Jepang membentuk badan-badan militer yang bertujuan untuk
mendidik dan melatih pemuda-pemuda Indonesia di bidang militer. Hal ini disebabkan karena
kondisi perang Asia Pasifik yang semakin menyulitkan Jepang. Situasi ini membuat Jepang
harus melakukan konsolidasi kekuatan dengan menghimpun pemuda-pemuda Indonesia yang
tangguh untuk diikutsertakan dalam peperangan.
Cara yang digunakan oleh Jepang untuk menghimpun pemuda-pemuda Indonesia agar
dapat membantu mereka dalam peperangan adalah dengan memasukkan pendidikan militer
kedalam kurikulum sekolah. Kurikulum yang dibuat oleh pemerintah Jepang mewajibkan
semua pemuda-pemuda di Indonesia yang masuk ke bangku sekolah harus mengikuti wajib

dasar militer. Wajib militer ini harus diikuti oleh para pemuda Indonesia pada saat bersekolah
di jenjang yang setara dengan SMP.
Konsep pendidikan yang diterapkan pada masa Jepang adalah konsep dasar dalam
bermiliter. Sehingga semua pelajaran yang diterapkan mayoritas adalah pelajaran yang
bersangkutan dengan militer. Misalnya: setiap murid diharuskan untuk mengerti konsep dasar
dari baris-berbaris, memegang senjata khususnya senjata api (senjata laras panjang), serta
konsep-konsep strategi dalam berperang. Pelajar yang dianggap mumpuni dalam memahami
tentang hal kemiliteran maka akan diangkat sebagai ketua regu batalion, sedangkan lainnya
akan dijadikan sebagai prajurit biasa.
Daidanco (Komandan Batalyon) dipilih dari tokoh-tokoh masyarakat yang terkemuka
seperti pegawai pemerintah, pemimpin agama, pamong praja, para politikus, penegak
hukum, dan sebagainya. Cudanco (Komandan Kompi) dipilih dari mereka yang bekerja,
tetapi belum memiliki jabatan yang tinggi seperti para guru, juru tulis, dan sebagainya.
Shudanco (Komandan Peleton) biasanya dipilih dari para pelajar sekolah lanjutan pertama
dan atas. Budanco (Komanda Regu) dan Giyuhei (Prajurit Sukarela) dipilih dari para pelajar
sekolah dasar.
Pembentukan itu bertujuan untuk mendidik dan melatih para pemuda agar dapat
menjaga dan mempertahankan tanah airnya dengan kekuatan sendiri. Maksud yang
disembunyikan adalah agar dengan demikian memperoleh tenaga cadangan untuk
memperkuat usaha mencapai kemenangan akhir dalam perang saat itu. (Poesponegoro&

Notosusanto. 2010: 45). Pendidikan pada zaman Jepang, tujuan pendidikan bukan untuk
memajukan bangsa Indonesia, tetapi mendidik anak-anak untuk dapat menunjang
kepentingan perang Jepang melawan sekutu.

Pada masa itu, para pemuda di Indonesia tidak banyak melakukan pemberontakan,
dikarenakan pada awalnya Jepang memberikan pemahaman bahwa pendidikan militer yang
dilakukan oleh Jepang semata-mata untuk kepentingan rakyat Indonesia. Jepang awalnya
memberikan janji-janji kepada para pemuda bahwa mereka akan memnerikan kemerdekaan
kepada Indonesia dikemudian hari, dan kekuatan militer adalah kekeuatan yang paling utama
di dalam mencapai sebuah kemerdekaan. Karena janji inilah para pemuda dengan sukarela
mengikuti segala bentuk pendidikan militer yang diadakan oleh pemerintahan Jepang.
Janji tersebut yang oleh pemerintahan Jepang coba ditanamkan dalam pemikiran
pemuda-pemuda di Indonesia. Sehingga pemuda Indonesia rela untuk menjalani pendidikan
militer yang begitu keras dengan tujuan agar nanti dapat dimanfaatkan untuk memperkuat
kesatuan di Indonesia. Tetapi tanpa diketahui oleh pemuda-pemuda Indonesia, bahwa
kurikulum yang dibuat oleh pemerintahan Jepang hanya salah satu cara Jepang untuk dapat
memperkuat eksistensinya di dalam perang Asia Pasifik.
Sistem pendidikan pada masa pendudukan Jepang itu kemudian dapat diikhtisarkan
sebagai berikut (Prayoga N, 2013):
1. Pendidikan Dasar (Kokumin Gakko / Sekolah Rakyat). Lama studi 6 tahun. Termasuk SR

adalah Sekolah Pertama yang merupakan konversi nama dari Sekolah dasar 3 atau 5 tahun
bagi pribumi di masa Hindia Belanda.
2. Pendidikan Lanjutan. Terdiri dari Shoto Chu Gakko (Sekolah Menengah Pertama) dengan
lama studi 3 tahun dan Koto Chu Gakko (Sekolah Menengah Tinggi) juga dengan lama
studi 3 tahun.
3. Pendidikan Kejuruan. Mencakup sekolah lanjutan bersifat vokasional antara lain di bidang
pertukangan, pelayaran, pendidikan, teknik, dan pertanian.
4. Pendidikan tinggi.
Guna memperoleh dukungan tokoh pribumi, Jepang mengawalinya dengan
menawarkan konsep Putera Tenaga Rakyat di bawah pimpinan Soekarno, M. Hatta, Ki Hajar
Dewantoro, dan K.H. Mas Mansur pada Maret 1943. Konsep ini dirumuskan setelah
kegagalan the Triple Movement yang tidak menyertakan wakil tokoh pribumi. Tetapi PTR
akhirnya mengalami nasib serupa setahun kemudian. Pasca ini, Jepang tetap merekrut Ki
Hajar Dewantoro sebagai penasehat bidang pendidikan mereka. Upaya Jepang mengambil
tenaga pribumi ini dilatarbelakangi pengalaman kegagalan sistem pendidikan mereka di
Manchuria dan China yang menerapkan sistem Nipponize (Jepangisasi). Karena itulah, di
Indonesia mereka mencobakan format pendidikan yang mengakomodasi kurikulum
berorientasi lokal. Sekalipun patut dicatat bahwa pada menjelang akhir masa pendudukannya,
ada indikasi kuat Jepang untuk menerapkan sistem Nipponize kembali, yakni dengan


dikerahkannya Sendenbu (propagator Jepang) untuk menanamkan ideologi yang diharapkan
dapat menghancurkan ideologi Indonesia Raya.
Jepang juga memandang perlu melatih guru-guru agar memiliki keseragaman
pengertian tentang maksud dan tujuan pemerintahannya. Materi pokok dalam latihan tersebut
antara lain:
1. Indoktrinasi ideologi Hakko Ichiu.
2. Nippon Seisyin, yaitu latihan kemiliteran dan semangat Jepang.
3. Bahasa, sejarah dan adat-istiadat Jepang.
4. Ilmu bumi dengan perspektif geopolitis.
5. Olaharaga dan nyanyian Jepang. Sementara untuk pembinaan kesiswaan, Jepang
mewajibkan bagi setiap murid sekolah untuk rutin melakukan beberapa aktivitas berikut
ini:
1) Menyanyikan lagi kebangsaan Jepang, Kimigayo setiap pagi.
2) Mengibarkan bendera Jepang, Hinomura dan menghormat Kaisar Jepang, Tenno Heika
setiap pagi.
3) setiap pagi mereka juga harus melakukan Dai Toa, bersumpah setia kepada cita-cita Asia
Raya.
4) Setiap pagi mereka juga diwajibkan melakukan Taiso, senam Jepang.
5) Melakukan latihan-latihan fisik dan militer.
6) Menjadikan bahasa Indonesia sebagai pengantar dalam pendidikan. Bahasa Jepang menjadi

bahasa yang juga wajib diajarkan.
Pendidikan militer yang diberikan oleh Jepang memberikan dampak yang positif dan
dampak negatif. Meskipun pada walnya pendidikan itu diperuntukan untuk kepentingan
perang Jepang, pemuda-pemuda Indonesia memanfaatkan pendidikan militer tersebut untuk
memperkuat diri guna mempersiapkan kemerdekaan Indonesia. Pemuda-pemuda itu
menjadikan pengetahuan militer mereka untuk menjadi kekuatan utama Indonesia untuk
merebut kemerdekaan bahkan hingga mempertahankan kemerdekaan di Indonesia.

DAFTAR RUJUKAN
Hardiyati, Y. 2011. Sejarah Pendidikan di Indonesia. Jurnal. Makassar. Universitas
Hasanudin.
Isnaeni, H.F & Apid. 2008. ROMUSHA : Sejarah yang Terlupakan. Yogyakarta: penerbit
OMBAK.
Poeponegoro, M. D & Notosusanto, N. 2010. Sejarah Nasional Indonesia jilid IV: Zaman
Jepangdan Zaman Republik. Jakarta. Balai Pustaka.
Prayoga N. 2013. Konsep pendidikan pada Masa Kependudukan Jepang. (online).
http://belajarharian.blogspot.com/2013/03/konsep-pendidikan-pada-masa.html.
Diakses 03 September 2014.
Salim, Agus Dr, Ms dkk. 2007. Indonesia Belajarlah!. Yogyakarta. Fakultas Ilmu Pendidikan,
Universitas Negeri Semarang dengan Tiara Wacana.


Dokumen yang terkait

PENGARUH PEMBERIAN SEDUHAN BIJI PEPAYA (Carica Papaya L) TERHADAP PENURUNAN BERAT BADAN PADA TIKUS PUTIH JANTAN (Rattus norvegicus strain wistar) YANG DIBERI DIET TINGGI LEMAK

23 199 21

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

MANAJEMEN PEMROGRAMAN PADA STASIUN RADIO SWASTA (Studi Deskriptif Program Acara Garus di Radio VIS FM Banyuwangi)

29 282 2

PENGEMBANGAN TARI SEMUT BERBASIS PENDIDIKAN KARAKTER DI SD MUHAMMADIYAH 8 DAU MALANG

57 502 20

STRATEGI PEMERINTAH DAERAH DALAM MEWUJUDKAN MALANG KOTA LAYAK ANAK (MAKOLA) MELALUI PENYEDIAAN FASILITAS PENDIDIKAN

73 431 39

ANALISIS PROSPEKTIF SEBAGAI ALAT PERENCANAAN LABA PADA PT MUSTIKA RATU Tbk

273 1263 22

PENERIMAAN ATLET SILAT TENTANG ADEGAN PENCAK SILAT INDONESIA PADA FILM THE RAID REDEMPTION (STUDI RESEPSI PADA IKATAN PENCAK SILAT INDONESIA MALANG)

43 322 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PEMAKNAAN BERITA PERKEMBANGAN KOMODITI BERJANGKA PADA PROGRAM ACARA KABAR PASAR DI TV ONE (Analisis Resepsi Pada Karyawan PT Victory International Futures Malang)

18 209 45

STRATEGI KOMUNIKASI POLITIK PARTAI POLITIK PADA PEMILIHAN KEPALA DAERAH TAHUN 2012 DI KOTA BATU (Studi Kasus Tim Pemenangan Pemilu Eddy Rumpoko-Punjul Santoso)

119 459 25