Gedung Pesta Batak Toba (Neo Vernakular)

8

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Pesta Pada Masyarakat Batak Toba
Bagi masyarakat suku Batak Toba kegiatan peradatan sering disebut dengan

pesta. Kegiatan peradatan itu akan dilaksanakan disetiap proses hidup mereka mulai
dari sejak kandungan hingga dikubur. Namun dari seluruh acara adat tersebut,ada
beberapa yang dianggap penting yaitu pernikahan dan kematian.

2.1.1 Pernikahan
Secara garis besar dalam adat Batak Toba (ulaon

na gok) pernikahan

dilaksanakan dalam beberapa tahap (Sibarani, 2014) yaitu :
1. Marhori-hori dinding (perkenalan dan berbincang antar kedua keluarga).

2. Marhusip (perencanaan pelaksanaan upacara adat).
3. Martupol (acara gereja pranikah).
4. Marhata Sinamot (acara adat pranikah).
5. Pamasu-masuon dan marunjuk (hari H pelaksanaan acara adat).
Pada hari

pelaksanaannya diawali dengan acara sibuha-buhai, yaitu acara

dimana rombongan pengantin laki-laki datang ke rumah pengantin perempuan
membawa makanan pembuka seperti makanan sarapan pagi sambil menjemput

Universitas Sumatera Utara

9

pengantin perempuan untuk bersama-sama berangkat ke acara pemberkatan di gereja
(Gambar 2.1).

Gambar 2.1 Acara Marsibuah-buahi
(Production, 2013)


Setelah selesai makan dan adat saat itu telah terlaksana, pengantin laki-laki dan
pengantin perempuan dengan pakaian adat lengkap beserta dengan ikat kepala yang
dimasa sekarang menjadi jas dan kebaya (Gambar 2.2) diiringi keluarga kedua belah
pihak menuju gereja untuk melaksanakan acara perkawinan berdasarkan agama
Kristen, apabila pengantin itu beragama Islam, tuan khadi sudah bersedia memimpin
akad nikah dirumah tersebut.

Gambar 2.2 Ragam bentuk pakaian pengantin Batak Toba
(Kebaya, 2013)

Universitas Sumatera Utara

10

Acara pemberkatan di gereja biasanya dilakukan pada pukul 10.00-12.00.
Setelah selesai acara peresmian berdasarkan agama, kedua belah pihak dengan
undangannya masing-masing kembali kerumah pihak parboru atau tempat yang sudah
ditentukan untuk melaksanakan upacara adat.
Ketika memasuki tempat acara (rumah atau wisma), didahului dengan

menyalami keluarga pengantin pria yang berdiri secara berbaris/marudur dimana
pengantin wanita sudah dalam barisan keluarga pengantin pria.

Barisan undangan

yang menyalami dimulai dari boru,dongan tubu dan tamu-tamu umum lainnya dari
pihak laki-laki. Setelah itu dilanjut pihak hula-hula yang datang dengan membawa
beras di dalam sebuah tandok ‘sumpit pandan’dan dijunjung oleh kaum ibu-ibu .
Acara penyambutan para tamu ini disebut dengan panomu-nomuan.
Seluruh undangan duduk pada tempat yang telah tersedia dan juga telah
ditentukan tempatnya berdasarkan unsur Dahlian Na Tolu nya. Dalam pesta adat
Batak Toba tata duduk/parhudullon menjadi bagian penting, sebab hal tersebut
menjadi penanda yang sangat jelas bagi masyrakat Batak Toba.
Adapun parhudullon/tata posisi duduk dalam pesta pernikahan yaitu pihak
pengantin pria dan pihak pengantin wanita akan duduk saling berhadap-hadapan dan
pada bagian belakangnya isi oleh unsur Dahlian Na Tolunya yaitu hula-hula, boru dan
dongan sahuta (Gambar 2.3).

Universitas Sumatera Utara


11

Keterangan :
1. Hula-hula ni Paranak
2. Suhut ni Paranak
3. Boru ni Paranak
4. Dongan sahuta
Paranak
5. Boru ni Parboru
6. Suhut ni Parboru
7. Hula-hula ni Parboru
8. Dongan sahuta

Gambar 2.3 Parhudullon/tata posisi duduk dalam pesta pernikahan Batak Toba
(Rajamarpondang, 1992)

Setelah seluruh tamu duduk pada posisinya masing-masing maka akan
dilanjutkan dengan makan bersama. Pada saat makan bersama tersebut orang tua
pengantin perempuan mangelehon dekke yaitu memberikan makanan berupa ikan
adat kepada kedua pengantin sesuai dengan simbol adat.

Kemudian pihak paranak memberikan tudu-tudu ni sipanganon, maksudnya
bagian tertentu dari hewan acara adat kepada pihak parboru (Gambar 2.4). Para

Universitas Sumatera Utara

12

petugas yang merupakan parboru dari pihak pengantin laki-laki melaksanakannya
sesuai dengan seruan pihak paranak.

Gambar 2.4 Penyerahan tudu-tudu ni sipanganon
(Production, 2013)
Pada waktu makan bersama tersebut, pinggan panganan juga diberikan pihak
paranak kepada pihak parboru. Pinggan adalah piring berisi juhut atau daging dari
hewan acara adat yang dipersiapkan pihak paranak dan kemudian dibagikan pihak
parboru seusai dengan sistem kekerabatan pihak parboru. Demikian pula pinggan
panganan yang dipersiapkan pihak parboru akan dibagikan pihak paranak adalah
berisi dekke atau ikan yang diberikan sesuai degan sistem kekerabatan pula dari
pihak paranak.
Masing-masing orang tua parboru akan mendatangi para undangan nya sambil

berkata, ‘godang allang hamu juhut ni boruntai’, maksudnya agar para undangan nya
senang makan daging secara adat yang dipersiapkan pihak paranak, yang sudah
termasuk anaknya sendiri karena dianggap sudah menjadi keluarga pihak paranak.
Demikian pula orang tua pihak paranak akan menghampiri para undangannya sambil

Universitas Sumatera Utara

13

berseru ‘godang-godang allang hamu dekke ni hula-hulantai’, maksudnya adalah
bahwa kedua belah pihak telah ikut menikmati atau mendapat bagian berupa makanan
berkat adanya perkawinan itu, artinya bahwa hatinya telah ikhlas dan senang bahwa
ia turut merestui perkawinan tersebut. Acara makan bersama tersebut akan ditutup
dengan doa.
Kemudian pihak paranak diberi kesempatan untuk manjalo tumpak ‘menerima
sumbangan’. Tumpak yang diterima adalah uang dalam amplop yang diberikan oleh
pihak boru, ale-ale dan mungkin juga dongan tubu nya. Kemudian setelah acara
manumpaki selesai, acara dilanjutkan dengan membagi jambar ‘hak berupa daging’.
Acara ini disebut dengan pembagian panjahuti ( hewan acara adat yang diperuntukan
untuk peresmian perkawinan) yang diterima dari satu sama lain. Maksudnya adalah

jambar yang diterima oleh pihak parboru dari paranak akan dibagi-bagi oleh pihak
parboru ke Dahlian Na Tolu nya dan sebaliknya jambar yang di terima pihak paranak
dari parboru akan dibagi-baginya ke Dahlian Na Tolu nya.
Lalu setelah itu acara dilanjutkan dengan penyampaian sinamot dan
panandaon. Sebagaimana yang telah disebutkkan sebelumnya, patujolo ni sinamot
(uang muka mahar) telah diberikan pada waktu acara sebelumnya(pada waktu acara
marhatasinamot). Pada hari pelaksanaan perkawinan disampaikanlah panggohi ni
sinamot(pemenuhan mahar) oleh pihak pengantin laki-laki kepada pihak pengantin
perempuan. Pemenuhan mahar ini biasanya tinggal sedikit lagi, yakni 3-5 persen lagi.

Universitas Sumatera Utara

14

Setelah menerima sisa mahar tersebut, maka pihak parboru akan membagibagikan panandaion (uang pengenalan) berupa uang kepada pihak-pihak keluarga
pengantin perempuan. Daftar pihak-pihak penerima panandaion telah diserahkan
sebelumnya kepada pihak pengantin laki-laki sehingga mereka dapat mempersiapkan
uang untuk penerima pada daftar tersebut.
Tahapan berikutnya adalah pasahat tintin marangkup kepada tulang ni
pangoli (paman pengantin laki-laki). Tintin Marangkup adalah sebagian dari mahar

yang diterima orang tua pengantin perempuan yang diberikan kepada tulan/paman
pengantin laki-laki. Dalam peradatan Batak Toba mengnggap siapapun dikawini
bere/keponakan, itu tetap putri tulan/paman, oleh karena itu tulang/paman pengantin
laki-laki itu berhak menerima sebagian dari mahar yang diterima orang tua pengantin
perempuan. Orang tua pengantin perempuan bersama rombongannya menjumpai
tulang/paman pengantin laki-laki untuk memberikan sebagian dari mahar yang
diterimanya dari orang tua pengantin laki-laki.
Kemudian acara dilanjutkan dengan acara mangulosi. Mangulosi ialah
menyampaikan kain tradisional Batak Toba berupa ulos kepada pihak pengantin lakilaki. Sebagaimna disinggung sebelumnya, pemberian ulos dalam masyarakat Batak
Toba dilakukan oleh pihak hula-hula kepada pihak boru. Dalam hal acara
perkawinan, pihak orang tua pengantin perempuan adalah pihak pemberi istri
sehingga mereka berperan sebagai hula-hula, sedangkan pihak orang tua pengantin

Universitas Sumatera Utara

15

laki-laki adalah penerima istri sehingga berperan sebagai boru. Dengan demikian,
pihak pengantin perempuanlah yang memberikan ulos kepada pengantin laki-laki.
Dalam pemberian ulos dari setiap kelompok akan didahului dengan

memberikan sepatah dua patah kata dan diiringi tortor/tarian pada waktu
menyampaikan ulos kepada pengantin. Cara penyampaian ulos diletakkan dia atas
pundak kedua pengantin.
Tahapan terakhir pelaksanaan acara perkawinan dalam masyarakat Batak
Toba adalah menyerukan tanda persetujuan dengan acara singkat yang disebut
dengan olop-olop. Tanda persetujuan ini diperankan oleh dongan sahuta/teman
sekampung kedua belah pihak, tetapi yang mendeklarasikan persetujuan itu adalah
dongan sahuta pihak yang melaksankan acara pesta perkawianan. Apabila pesta
perkawinan dilaksanakan di pihak pengantin laki-laki, maka teman sekampung pihak
pengantin laki-lakilah yang mendeklarasikan olop-olop itu.
Dengan berakhirnya acara olop-olop atau panggabei dalam acara pesta
pernikahan, pada hakikatnya telah selesai dan sudah lengkaplah acara adat
perkawinan itu. Setelah upacara adat peresmian perkawinan selasai, paranak dengan
pengantin bersama dengan rombongan pulang ke kampung atau rumah nya dengan
barang bawaan pengantin perempuan sesuai dengan kesepakatan waktu marhata
sinamot. Keseluruhan rangkaian peradatan perkawinan dirangkumkan dalam tabel
berikut (Tabel 2.1).

Universitas Sumatera Utara


16

Tabel 2.1 Prosesi/ritual pernikahan suku Batak Toba
JENIS RITUAL

KEGIATAN

LOKASI/TEMPAT

Marhusip/marhorihori dinding

Perkenalan kedua belah pihak
keluarga
Diskusi mempersiapkan hal-hal
yang diperlukan pada saat
pelaksanaan pernikahan

Rumah calon
pengantin wanita


Marhata Sinamot

Rumah calon
pengantin wanita

Menyambut hula-hula dan tamu

Rumah calon
pengantin
wanita/pria
Di rumah
ibadah/gereja/tuan
kadi
Halaman

Memberikan ikan kepada pengantin

halaman

Marsibuah-buahi

Sarapan/makan bersama sebelum
pelaksanaan acara pemberkatan

Pamasu-masuhon

Pemberkatan pernikahan menurut
agama

Panomu-nomuan
Mangalehon dekke to
boru
Pasahat tudu-tudu ni
sipanganon
makan
manumpakki
Mambagi jambar
Pasahat sinsamot
dohot panandion
Pasahat Tintin
marangkup
mangulosi
Tikir tangga
Olop-olop

Memberikan makan yang di bawa
oleh kedua belah pihak
Makan bersama
Pihak boru, ale-ale dan dongan
sahuta memberikan batuan uang
kepada keluarga pengantin pria.
Membagi jambar/potongan bagian
hewan yang diterima pihak parboru
ke Dahlian Na Tolunya
Memberi uang sisa sinamot dan
pembagian uang tersebut sebagai
perkenalan kedua belah keluarga
Pemberian sebagian uang sinamot y
ng i terima pihak parboru kepada
tulang dari paranak
Memberi dan menerima ulos
Saling memberikan beras dan
makanan( ikan/daging) di dalam
tadduk (kantungan)
Penutupan acara oleh dongan sahuta

Halaman
halaman
halaman
halaman
halaman

halaman
halaman
halaman

Universitas Sumatera Utara

17

2.1.2 Kematian
Bagi masyarakat Batak Toba, kematian mempunyai arti tersendiri yang tidak
terlepas dari pelaksanaan upacara adat. Dalam masyarakat Batak Toba, tidak pada
semua kematian dilakukan upacara adat. Pembagian tingkat kematian pada
masyarakat Batak Toba didasarkan pada seberapa umur dan adanya keturunan dari
yang meninggal (Sibarani, 2014), yaitu :
1. Mate di Bortian (mati di kandungan)
2. Mate Poso-Poso ( mati ketika bayi )
3. Mate Dakdanak/Mate Bulung (kematian anak-anak)
4. Mate Mangkar ( kematian bagi yang sudah menikah namun belum punya
anak yang sudah menikah )
5. Mate Sari Matua
Mate Sari Matua adalah meninggalnya seorang yang sudah mempunyai
anak laki-laki maupun perempuan yang telah berumah tangga, serta sudah
memperoleh cucu dari salah satu anaknya, akan tetapi masih mempunyai
anak yang belum berumah tangga (mencari jodoh/masari) sebagai beban
yang ditinggalkannya. Anak yang belum menikah itulah yang merupakan
‘beban’ yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal sehingga belum
mencapai kesempurnaan.
6. Mate Saur Matua

Universitas Sumatera Utara

18

Mate Saur Matua adalah matinya seseorang yang semua anaknya baik lakilaki maupun perempuan sudah berumah tangga dan sudah memperoleh
cucu dari sebagian atau semua anaknya. Warga yang meninggal Saur
Matua dianggap telah mengalami kehidupan yang sempurna sehingga
keluarga dan pelayat tidak mencerminkan kesedihan, bahkan sudah
memperlihatkan kebahagiaan dan rasa syukur.
7. Mate Mauli Bulung
Mate mauli Bulung atau mati baik sempurna adalah matinya seseorang
yang seluruh anaknya sudah menikah, yang sudah mempunyai cicit (nini
dan nono), dan yang anak-anaknya hidup sejahtera. Mate Mauli Bulung
merupakan kematian yang sangat sempurna dan langka pada generasi
sekarang. Apabila dicapai tingkat kematian seperti ini, maka yang
meninggal akan memperoleh kehormatan adat yang amat tinggi, dimana
seluruh keluarga yang meninggal dan para pelayat mencerminkan rasa
syukur dengan penuh suka cita.
Dari pembagian jenis-jenis kematian tadi jelas bahwa pelaksanaan upacara
adat pada masyarakat Batak Toba hanya dilakukan pada mate sari matua, mate saur
matua dan mate Mauli Bulung. Pelaksanan upacara adat pada kematian mate saur
matua dan mate mauli bulung relatif sama, sedangkan pelaksanan upacara adat
kematian pada mate sari matua sedikit berbeda.

Universitas Sumatera Utara

19

Dalam mempersiapkan upacara adat, internal keluarga dekat akan melakukan
pertemuan pasada tahi/ penyatuan

rencana

untuk merembukan di antara

hasuhuton/tuan rumah yang kemalangan untuk menyusun rencana pelaksanaan acara
adat yang akan diajukan pada marria raja/acara rapat adat. Yang termasuk dalam
hasuhuton disini adalah saudara laki-laki semarga seperti adik,abang dan anak-anak
yang meninggal dunia dan saudara perempuan atau putri yang meningggal dunia.
Merek lebih dahulu menyatukan pendapat mereka mengenai rencana adat yang akan
dilakukan sesuai dengan kemampuan keuangan mereka.
Satu atau dua hari setelah meninggal dunia dilakukan acara marria raja/rapat
tokoh adat. Marria raja yang diadakan sekitar pukul 21.00 di sampai selesai di
kediaman yang berduka adalah pertemuan anara unsur Dahlian Na Tolu. Marrria raja
ini merupakan rapat adat untuk menetapkan rangkaian pelaksanaan upacara adat atas
kematian seseorang yang sari matua atau saur matua termasuk trangkaian upacara,
boan/parjuhut/hewan

yang

dipotong,

pasahat

ulos/pemberian

ulos,

waktu

pemakaman, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan pelaksanaan adat itu. Kehadiran
para unsur Dahlian Na Tolu dan donggan sahuta tersebut adalah untuk bersam-sama
memutuskan rangkaian pelaksanaan upacara adat tersebut sekaligus untuk
mengetahui hak dan kewajiban mereka dalam upacara adat nanti.
Tahapan berikutnya adalah mompo, yakni acara memasukkan jenazah ke peti
mayat. Dalam bahasa adat Batak Toba peti mati disebut dengan

jabu-jabu na

sopinungka ni tanganna atau rumah-rumah yang tidak dikerjakan tangannya. Acara

Universitas Sumatera Utara

20

mompo ini dilakukan dirumah skitar 1-2 hari setelah marria raja. Acara mompo ini
biasanya dilakukan pada sore hari sekitar pukul 15.00 yang dihadiri unsur DahlianNa
Tolu, donggan sahuta dan pemuka agama.
Acara mompo ini dibuka oleh pemuka agama dengan nyanyian dan doa
dilanjutkan dengan mangulosi/penyampaian ulos. Setiap pemberian ulos didahului
dengan penyampaian hata sigabe-gabe/kata-kata berkat dari unsur Dahlian Na Tolu,
dongan sahuta, dan diakhiri dengan nyanyian rohani dan doa dari pemuka agama.
Tahapan berikutnya adalah mangarapot/merekatkan,yakni upacara merekatkan
peti mati mayat dengan sejenis lem yang dahulu terbuat dari bahan ubi kayu atau
bahan lain yang disebut rapot serta mengikat peti jenazah dengan jalinan rotan yang
disebut rompu hulan-hulang.
Upacara ini dihadiri secara lengkap oleh semua unsur Dahlian Na Tolu
dengan menghadirkan raja tinonggo/tokoh-tokoh adat. Para tokoh-tokoh tersebut
mengadakan acara marhata sigabe-gabe/menyampaikan kata-kata berkat dan menari
sebagai ungkapan rasa syukur atas usia panjang dan kesejahteraan yang diterima oleh
orang yang sarimatua atau saurmatua. Acara selanjutnya makan siang bersama yang
kemudian dilanjutkan dengan pembagian jambar pada unsur Dahlian Na Tolu,
dongan sahuta dan tamu-tamu undangan lainnya. Pada acara kematian ini pada
umumnya telah diundang gondang Batak sehingga para unsur Dahlian Na Tolu dan
dongan sahuta mengadakan acara menari. Pada acara mangarapot dilakukan manjalo

Universitas Sumatera Utara

21

tumpak/menerima sumbangan dari para tamu terutama dari boru dan dari dongan
tubu.
Satu hari setelah mangarapot dilakukan acara partuatna/penguburan yang
dilakukan dengan cara adat maralaman/berhalaman atau tuat tu alaman/turun ke
halaman. Jenazah yang berada di dalam peti mayat di bawa ke halaman rumah dan
di halaman rumalah dilakukan acara adat. Jenazah diletakkan sedemikian rupa dan
semua yang kemalangan /suhut/keluarga dekat seperti anak dan saudara kandung
beserta keturunannya duduk mengelilingi jenazah. Apabila kondisi halaman tidak
memungkinkan seperti di kota, biasanya tidak dibuat maralaman.
Acara adat partuatna dilakukan dengan mandok hata/berbicara dari unsurunsur Dahlian Na Tolu termasuk dongan sahuta/ teman sekampung dan ale-ale/teman
atau kolega yang dimulai sekitar pukul 10.00. Seringkali ketika giliran setiap unsur
atau rombongan yang mandok hata mereka menari dengan manjalo gondang/meminta
jenis gendang mereka masing-masing.
Apabila waktu menunjukkan pukul 13.00, biasanya acara diberhentikan untuk
makan siang dengan makan daging kerbau serta pembagian jambar sesuai dengan
aturan yang berlaku. Setelah selesai makan, dilakukanlah manjalo tumpak terutama
dari pihak boru, dongan tubu, ale-ale dan tamu lainnya. Pihak hula-hula termasuk
tulang beserta rombongan mamboan sipir ni tondi yang dijunjung oleh ibu-ibu pada
waktu giliran mereka berbicara.

Universitas Sumatera Utara

22

Setelah acara mandok hata selesai, acara berikutnya diserahkan kepada pemuka
agama, untuk selanjutnya memimpin dan melakukan upacara keagamaan sampai pada
penguburan di kuburan yang telah disediakan. Prosesi peradatan kematian suku Batak
Toba dapat diringkas dalam tabel berikut (Tabel 2.2).

Tabel 2.2 Ritual acara kematian(saormatua) suku Batak Toba
JENIS RITUAL

KEGIATAN

LOKASI/TEMPAT

Pasada tahi

Rapat keluarga inti
Rapat dan Pemberitahuan
kepada umum tentang rencana
adat yang akan dilaksanakan

rumah

Maria raja
Mompo/pamasukkon to
jabu-jabu
Acara keluarga/mandok
hata
mangarupat
Mambagi jambar
Manjalo tupak
Marhata sigabe-gabe
Makan siang
Mambagi jambar
Manjalo tumpak
Mangapu sian suhut
penguburan

Memasukan jenazah ke peti

rumah

Penyampaian ucapan
perpisahan dari sanak keluarga
Menutup peti
Membagi-bagikan jambar
Para tamu menyalami dan
memberi santunan
Kata sambutan dari hulahula/tulang pan pemberian
sipirni tondi sambil manortor
Makan siang
Membagi-bagikan jambar
Para tamu menyalami dan
memberi santunan
Ucapan dari keluarga inti
kepada hula-hula dan tamu
yang hadir
penguburan

rumah

rumah
rumah
rumah
rumah
halaman
halaman
halaman
halaman
halaman
kuburan

Universitas Sumatera Utara

23

2.1.3 Perkumpulan Marga
Masyarakat Batak adalah salah satu masyarakat yang secara kontiniu
mempertahankan kelestariannya dengan cara mengikuti garis keturunan laki-laki
(patrilineal). Semua turunan marga-marga tersebut dihubungkan menurut garis lakilaki. Lelaki itulah yang membentuk kelompok kekerabatan, sedangkan perempuan
menciptakan besan karena ia harus kawin dengan lelaki dari kelompok patrilineal
lain.
Marga terdiri atas sejumlah orang-orang yang mengaku dirinya bersaudara
satu sama lain sebab kesamaan marga, sedangkan garis keturunannya ditentukan oleh
orang tuannya masing-masing. Marga menentukan nama dari mana asal seseorang
sesuai dengan letak genealogis dalam susunan masyarakatnya (Silaban, 1992). Inilah
yang menentukan sejarah keturunan setiap generasi dan sekaligus menggambarkan
jenjang silsilah yang turun-temurun. Marga memiliki daerah tertentu atau daerah
marga yang dikusai secara turun-temurun oleh para anggotanya.
Marga juga merupakan warga paguyuban yang bersifat religius, yang secara
kolektif melaksanakan upacara-upacara adat yang berhubungan dengan leluhur
mereka. Dengan demikian ‘marga’ dalam bentuk aslinya mencakup tiga sapek
genealogis, teritorial, dan religius (Silaban,1992)
Setiap orang yang semarga tetap terikat satu sama lain. Hal ini pula yang
mendorong semangat solidaritas di antara mereka, sehingga dimanapun mereka
berada, ikatan itu terus dipupuk dan dipelihara. Sikap ini terlihat dari kecenderungan

Universitas Sumatera Utara

24

orang Batak untuk “martutur”, yaitu menelusuri mata rantai silsilah jika ia berjumpa
dengan seorang Batak lainnya. Kemudian mereka akan menarik tutur sapa untuk
mengetahui kedudukannya dalam Dahlian Na Tolu. Tutur itu akan mengikat jiwa
sosial yang telah dirumuskan dalam falsafah Dahlian Na Tolu.
Perkumpulan marga atau yang di dalam bahasa Batak Toba disebut ‘Pungguan
Marga’ adalah kumpulan orang-orang yang semarga dan merupakan suatu wadah
untuk menjamin kepentingan mereka, terutama dalam hal adat istiadat. Melalui
perkumpulan ini, sistem kekerabtan Dahlian Na Tolu tetap dapat dipertahankan dan
dipelihara, karena memungkinkan anggotanya untuk saling bertemu dan mengerti
satu sama lain.
Tujuan utama mengikuti perkumpulan marga ialah memelihara nilai-nilai
yang terkandung dalam DALIHAN NA TOLU. Urusan marga terpenting ialah
upacara perkawian. Marga disini seolah-olah masih turunan satu ayah karena sebagai
turunan satu leluhur tidak boleh saling mengawini. Sesuai dengan prinsip itu pulalah,
apabila timbul keretakan di dalam suatu rumah tangga, yang diresmikan perkawinan
nya menurut adat DNT, maka patut pulalah dicampuri oleh para pengetua adat dalam
marga itu untuk mencegah sedapat mungkin perceraian. Urusan kedua dari
perkumpulan marga diperantauan ialah jika ada kematian, tidak menjadi soal apakah
orang meninggal itu sarimatua atau tidak. Hal ini tidak seperti di bona pasogit yang
membedakannya. Di daerah perantauan peristiwa kematian menjadi kesempatan bagi
para anggota perkumpulan marga untuk menunjukkan solidaritas.

Universitas Sumatera Utara

25

Pungguan marga mempunyai kegiatan rutin berupa pertemuan yang
dilaksankan setiap bulannya berupa acara ‘ partameangan’, yaitu berkumpul bersama
yang diisi dengan kegaiatan rohani berupa kebaktian singkat yang dipimpin oleh
salah satu anggota yang dituakan dan dilanjutkan dengan makan bersama. Kegiatan
bulanan ini diadakan berpindah-pindah dari satu anggota ke anggota lain secara
bergilirian yang sudah terjadwal yang disusun oleh pengurus perkumpulan.
Biasanya setiap tahun perkumpulan marga mengadakan pesta tahunan yang
dihadiri oleh seluruh anggotanya. Pesta tahunan ini biasanya diadakan pada bulan
pertama atau kedua tahun baru ( Januari atau Februari) atau yang sering disebut
“Pesta bona Tahun”. Selain pesta bona tahun, pungguan marga juga mempunyai hari
besar yang wajib dirayakan secara besar yaitu acara hari ulang tahun pungguan yang
diadakan sekali setahun. Kedua pesta ini merupakan pesta besar selain perayan Natal
marga yang disponsori dan diorganisir oleh perkumpulan dengan sumbangan biaya
dari angota-anggotanya. Ini merupakan acara silahturahmi yang diadakan di salah
satu

tempat

anggotanya

yang

mempunyai

halaman

luas.

Apabila

tidak

memungkinkan dilaksankan di rumah salah satu anggotanya maka pertemuan
diadakan di balai pertemuan umum.

2. 2

Arsitektur Tradisional Batak Toba
Setiap suku bangsa di Indonesia memiliki arsitektur tradisionalnya masing-

masing, dimana setiap sukunya mempunyai karakteristik masing-masing. Begitu juga

Universitas Sumatera Utara

26

pada suku Batak Toba, yang menjadi karakter dari arsitektur tradisionalnya seperti
huta, jabu/rumah dan gorga/ornamen.

2.2.1 Huta
Rumah adat tradisional Batak Toba selalu berkelompok dalam perkampungan
adat yang disebut huta. Dalam menentukan huta, orang Batak selalu memilih
tempat yang tinggi yang ditujukan bukan hanya demi keamanan dari gangguan
binatang liar atau hal lain tetapi lebih kepada sebuah cita-cita orang Batak yang selalu
mengaharapkan masa depan yang lebih tinggi dan lebih baik pada masa depan
mereka.
Kelompok bangunan dalam satu kampung umumnya dua baris, yaitu barisan
Utara dan Selatan (Rajamarpondang, 1992). Pada barisan Utara terdiri atas lumbung
/sopo yaitu tempat menyimpan padi. Barisan selatan terdiri atas rumah adat atau jabu
dalam bahasa Batak Toba. Kedua barisan bangunan ini dipisahkan oleh halaman
yang lebar sebagai ruang bersama warga huta, tempat anak-anak bermain, tempat
acara suka dan duka, dan tempat menjemur sesuatu. Di belakang rumah atau lumbung
ada tempat kosong yang biasanya dijadikan kebun. Sekeliling kampung dipagari
dengan

tumbuhan bambu

yang tujuannya

selain menjadi benteng untuk

mempertahankan diri dari serbuan musuh namun juga sebagai buffer dari terpaan
angin yang berhembus.
Pada ujung Timur dan Barat, ada satu pintu gerbang yang disebut bahal. Di

Universitas Sumatera Utara

27

depan gerbang selalu ditanami pohon-pohon yang dianggap bertuah, yaitu: pohon
Hariara, Bintatar dan Beringin. Pohon Hariara merupakan lambang kehidupan,
tujuannya ditanam di muka gerbang untuk menjaga ketertiban kosmos terhadap
kampung. Di bawah dan sekitar pohon itu sering dipakai untuk tempat mengadakan
musyawarah atau rapat kampung tentang kehidupan adat atau hal-hal yang dianggap
penting, tempat ini dinamai partungkoan. Adapun pola Huta seperti dibawah ini
(Gambar 2.5).

1. Ruma Bolon
2. SOPO

6. Parik Ni Huta dari pohon bambu
7. Harbarangan, yaitu gerbang pintu
keluar masuk dengan tangga
3. Partungkoan dari Pohon Beringin
8. Harbarangan Pudi, yaitu gerbang keluar
masuk dengan tangga untuk seisi
kampung saja.
4. Bona Ni Pinasa yaitu pohon nangka 9. Porlak, yaitu perkarangan masingmasing penghuni.
5. Losung yaitu lesung tempat menumbuk padi seisi kampung
Gambar 2.5 Pola Huta
(Rajamarpondang, 1992)

Universitas Sumatera Utara

28

2.2.2 Jabu
Rumah bagi orang Batak Toba adalah wujud dan gambaran dari keyakinan,
cita-cita, pengharapan dan pandangan hidup. Rumah

itu sebagai (1) gambaran

kosmologi; (2) sebagai tempat keluarga; dan (3) sebagai sumber berkah (Simamora,
1997). Jadi, rumah bagi orang Batak Toba bukan hanya bangunan fisik belaka, tetapi
juga tempat keluarga berada, tempat dimana orang berlindung, bersatu, mendapat
berkat, dan merasa kerasan (Gambar 2.6).

Gambar 2.6 Tipologi Jabu
(Nurdiah, 2011)
Tipologi rumah adat tradisional Batak Toba adalah jenis rumah panggung atau
berkolong yang terdiri dari bagian-bagian tiang rumah, badan rumah dan bagian atap
rumah yang melambangkan makrokosmos dan mikrokosmos dengan adanya “tri
tunggal banua”, yaitu: banua ginjang (dunia atas) dilambangkan dengan atap rumah
sebagai tempat dewa, banua tonga (dunia tengah) dilambangkan dengan lantai dan
dinding sebagai wadah yang melingkupi aktivitas manusia di dalam rumah, dan

Universitas Sumatera Utara

29

banua toru (dunia bawah) dilambangkan dengan kolong sebagai tempat kematian
(Napitupulu, 1997). Hal-hal itu dapat dirangkum sebagai berikut:
1. Bagian Bawah (Tombara).
Bagian bawah berfungsi sebagai tempat ternak seperti kerbau, lembu, dll .
Bagian ini terdiri dari :
a. Batu pondasi/ojahan / batu parsuhi
Pondasi rumah Batak Toba menggunakan jenis pondasi cincin, di mana
batu sebagai tumpuan dari kolom kayu yang berdiri di atasnya.
b. Pasak/tiang parsuhi
Tiang-tiang berdiameter 42 - 50 cm, berdiri di atas batu ojahan struktur
yang fleksibel, sehingga tahan terhadap gempa. Tiang yang berjumlah
18 mengandung filosofi kebersamaan dan kekokohan. Pada setiap sudut
dibuat tiang yang lebih besar yang disebut tiang parsuhi.
c. Ransang
Bilah-bilah papan tebal merusuk dan menghubungkan tiang-tiang
pasak/parsuhi.
d. Tutup Ransang
Bagian atas ransang yang menjadi tempat papan lantai.
e. Siompa/Tutup Tiang
Ujung dari tiang-tiang. Diantara tiang-tiang bulat tadi ada yang beujung
di tutup tiang namun ada juga yang hanya sampai pada tutup ransang.

Universitas Sumatera Utara

30

f. Sititik
Titik tengah dari tiang-tiang yang bertemu dengan tutup tiang. Besarnya
sititik ini pas benar dengan lubang empat persegi atau pada lubang yang
dibuat pada tutup tiang, sehingga tutup tiang ompa( cocok) pada tiang.
g. Tangga (balatuk).
Tangga digunakan untuk akses pintu utama yang menjorok ke dalam
dengan lebar 80 cm dan tingginya 1,5 m, dikelilingi dengan ukiran,
lukisan dan tulisan dan dengan dua kepala singa pada ambang pintu.
2. Bagian Tengah (Tonga)
Bagian tengah adalah ruangan tempat hunian manusia. Bagian yang terdiri
dari :
a. Dinding samping, muka dan belakang.
Dinding rumah muka belakang terdiri dari bilah papan yang tebal dan
berseni ukir atau gorga. Dibuat miring agar angin mudah masuk.
b. Pandindingan
Dinding samping bagian bawah dekat tiang penyangga yang terdiri dari
sebilah papan tebal yang menjadi kekuatan utama dari dinding.
Pandindingan ini disamping menutup ujung papan lantai adalah
merupakan inti kekuatan badan rumah. Bagian ujung muka dan
belakang pandindingan yang lebih besar dan tebal dibuat berbentuk
patung margorga yang mengandung makna spritual.

Universitas Sumatera Utara

31

c. Tombonan.
Dinding bagian atas badan rumah terdiri dari bilah papan tebal.
Disamping sebagai dinding dari tutup tiang juga berfungsi sebagai
tempat mengikat rusuk (urur) penyanggah (alo angin) penahan
bungkulan. Dinding bagian tengah antara pandindingan dan tombonan
terdiri dari papan-papan biasa yang lebih keras.
d. Panghombari
Bagian bawah dinding muka belakang yang bertemu dengan
pandindingan dan bagian atas bertemu dengan tombonan. Pada
panghombari bagian muka sering didapati relief berhias gorga seperti
cicak (boraspati), huah dada wanita (tarus).
e. Panggalangan
Bagian dalam rumah di kiri dan kanan, sejajar atau melekat pada tutup
tiang. Terdiri dari bilah papan tebal dan lebar yang melekat pada tutup
tiang baru diikat dengan golang pada sititik yang berfungsi menjadi
tempat sesajen dan koper-koper atau barang-barang rumah tangga.
f. Para-para
Setentang dengan panggalangan dan sejajar dengan panghombari. Di
bagian depan seperti pantar atau emperan yang berfungsi untuk tempat
memalu/memainkan gondang (jiak ada acara adat) sedangkan bagian
belakang difungsikan sebagai tempat meletakkan alat rumah tangga.

Universitas Sumatera Utara

32

g. Tali ret-ret
Tali-tali pengikat dinding yang miring, terbuat dari ijuk atau rotan. Tali
pengikat ini membentuk pola seperti cicak yang mempunyai 2 kepala
saling bertolak belakang, maksudnya ialah cicak dikiaskan sebagai
penjaga rumah, dan 2 kepala saling bertolak belakang melambangkan
semua penghuni rumah mempunyai peranan yang sama dan saling
menghormati.
3. Bagian Atas (Ginjang)
Bagian atas adalah tempat-tempat penyimpanan benda-benda keramat
(ugasan homitan). Adapun bagian atas ini yang terdiri dari :
a. Lais/minggor
Dua bagian muka belakang berbentuk segitiga sama kaki.
b. Bungkulan
Sepotong kayu lengkung yang menghubungkan lais depan dan belakang.
c. Batahan
Tempat tumpuan kayu urur (usuk) pada kiri dan kanan rumah yang
sejajar tombohan dan tutup tiang dan menjadi tempat pengikat alo angin.
d. Urur
Kayu penghubung bungkulan dengan batahan. Dan diatas urur inilah
dilekatkan atap baik dari alang-alang, ijuk, seng, kayu butar dan genteng
tanah liat.

Universitas Sumatera Utara

33

Atap bagian depan lebih rendah dibandingkan dengan bagian belakang yang
mengandung makna filosofi bahwa generasi selanjutnya harus lebih baik. Untuk
masuk ke arah pintu rumah harus melalui tangga dengan anak tangga berjumlah
ganjil, yaitu: 5, 7 atau 9. Bagian muka dari rumah dihiasi dengan gorga, relief dan
patung yang bermacam-macam dengan mengandung arti masing-masing. Rumah adat
dengan beragam hiasan

yang indah yang rumit dinamakan disebut ruma

gorgasarimunggu atau jabu. Sementara rumah adat

yang tidak memiliki ukiran

dinamakan jabu ereng. Kesemua bagian dari rumah adat ini dapat dilihat pada bagian
depan dan samping (Gambar 2.7).

Universitas Sumatera Utara

34

Gambar 2.7 (lanjutan)

1. Batu Ojahan
2. Baba ni bara (siapasahi)
3. Basiha Pandak (untul-untul)
4. Rassang-rassang
5. Baba ni Jabu
6. Balatuk
7. Tustus Parbarakt (rassang)
8. Basiha Rea
9. Tustus Ganjang (rassang rea)
10. Sihararti (ture-ture)
11. Parhokkom
12. Sande-sande
13. Dorpi Jolo
14. Tombonan (adop-adop)
15. Lotinh-loting

16. Song-song Rak
17. Sumban (buaton)
18. Halang Gordang
19. Handang (sibong-bong halogo)
20. Ranggo (sibong-bong ari)
21. Baraspati ni Jabu
22. Loting-loting Ginjang
23. Pamoltohi
24. Santung
25. Urur
26. Lais-lais
27. Salassap (song-song boltok)
28. Rame-Rame
29. Tarup Ijuk
30. Ulu Paung

Gambar 2.7 Bagian-bagian Jabu sisi luar
(Rajamarpondang, 1992)

Universitas Sumatera Utara

35

Pada bagian denah rumah Batak Toba terbagi atas empat bagian tempat
tinggal rumah tangga sesuai dengan fungsi kekerabatan (Rajamarpondang, 1992),
yaitu :
a. Jabubona.
Bagian belakang sudut sebelah kanan dari pintu masuk. Disebut jabubona
atau rumah induk karena yang berhak menghuninya adalah induk seisi
rumah. Pada jabu bona ini yang menjadi inti kebijakan terdapat
panggalangan yang menjadi tempat khusus sesajen kepada yang
dipercayainya. Diatasnya terdapat mombang yang dihias tergantung pada
urur berbentuk pntar bujur sangkar menjadi tempat sesaji bagi Mulajadi Na
Bolon. Pada ruang ini terdapat hombung berbentuk peti empat persegi
panjang dapat dijadikan menjadi tempat tidur. Hombung ini dikhususkan
menjadi tempat barang homitan yang bersifat ritual termasuk penyimpanan
benda-benda warisan.
b. Jabu Suhut
Bagian muka sudut sebelah kiri dari pintu masuk. Yang berhak
menempatinya adalah rumah tangga anak sulung atau rumah tangga anak
bungsu. Artinya jika anak sulung mau manjae atau berdiri sendiri dengan
mendirikan rumah baru atau kampung baru maka jabu suhut itu berhak
ditempati anak bungsu. Jabu suhut ini sering disebut jabu suhat karena
kemampuan penghuninyalah menjadi ukuran atau suhat-suhat kekutuhan

Universitas Sumatera Utara

36

kekerabatan. Panggalangan diatasnya berfungsi menjadi tempat barangbarang rumah tangga.
c. Jabu Soding
Bagian muka sudut sebelah kanan dari pintu masuk. Yang berhak
menempatinya adalah rumah tangga anak kedua dan anak seterusnya. Jika
rumah tangga untuk itu tidak ada maka jabu soding itu menjadi tempat
tidur anak laki-laki yang belum akil balik. Anak laki-laki yang sudah aklibalik tidurnya adalah di sopo. Jabu soding ini boleh pula ditempati rumah
tangga semarga.
d. Jabu Tampar piring
Bagian belakang sudut sebelah kiri dari pintu masuk. Yang berhak
menempatinya adalah rumah tangga atau keluarga baru. Boleh juga
ditempati rumah tangga boru yang semarga. Apabila belum ada boru yang
belum berumah tangga untuk menempatinya maka dimanfaatkan menjadi
tempat atau tempat tidur anak-anak perempuan yang belum akil balik.
Tempat tidur anak-anak perempuan yang sudah akil balik adalah rumah
dagang yang sengaja dibangun oleh seisi kampung. Diantara jabu bona dan
jabu tampar piring terdapat rak piring tempat alat-alat dapur dan tempat
air. Diatasnya terdapat geang-geang berbentuk empat persegi tergantung
pada tali yang diikat pada usuk yang menjadi tempat lauk pauk yang sudah
masak.

Universitas Sumatera Utara

37

Di tengah-tengah rumah Batak Toba itu terdapat dapur berbentuk empat
persegi panjang untuk memasak. Tempat untuk makan adalah ruang antara jabu bona
dan jabu soding. Rumah Batak tidak dibagi berkamar-kamar tetapi terbuka polos.
Walaupun terbuka polos namun tidak akan terjadi pelanggaran moral. Adapun denah
rumah adat Batak Toba berupa persigi panjang (Gambar 2.8).

1. Jabu Bona
2. Jabu Suhut/Jabu Suhat
3. Jabu Soding
4. Jabu Tampar Piring
5. Tataring/dapur
6. Panggalangan Kiri Kanan

7. Parapara muka dan belakang
8. Pintu dan Tangga
9. Jendela
10. Rak Piring tempat alat dapur
11. Hombung
12. Mombang tergantung sebagai tempat sesajen

Gambar 2.8 Denah Jabu
(Rajamarpondang, 1992).

Universitas Sumatera Utara

38

Gambar 2.9 Denah Prototipe Rumah Adat Batak Toba di Sigumpar
(Budaya, 2012)

Universitas Sumatera Utara

39

2.2.3 Gorga
Gorga adalah ukiran atau pahatan tradisional yang biasanya terdapat di
dinding rumah bagian luar dan bagian depan rumah-rumah adat atau disebut juga
dengan ornamen yang mengandung unsur mistis penolak bala. Gorga berupa dekorasi
atau hiasan yang dibuat dengan cara memahat kayu atau papan dan kemudian
mencatnya dengan tiga macam warna yaitu : merah, hitam, putih. Warna yang tiga
macam ini disebut tiga bolit ‘ tiga warna ‘yang merupakan pengharapan masyarakat
Batak Toba terhadap Mula jadi Nabolon yang menjadi sumber kebijakan, kesucian
dan kekuatan. Menurut kepercayaan masyarakat Batak Toba, warna hitam
melambangkan raja yang adil dan bijaksana. Warna merah melambangkan
terpeliharanya kemakmuran negeri dan masyarakat. Warna putih sebagai pengisi
garis ukir, melambangkan pekerja yang baik.
Pada zaman dahulu nenek moyang suku Batak Toba menciptakan catnya
sendiri secara alamiah misalnya, cat warna merah diambil dari batu hula, sejenis batu
alam yang berwarna merah yang tidak dapat ditemukan disemua daerah. Cara untuk
mencarinya pun mempunyai keahlian khusus. Batu inilah ditumbuk menjadi halus
seperti tepung dan dicampur dengan sedikit air. Cat warna putih diambil dari tanah
yang berwarna putih, tanah yang halus dan lunak dalam bahasa Batak disebut tano
buro. Tano buro ini digiling sampai halus serta dicampur dengan sedikit air, sehingga
tampak seperti cat tembok pada masa kini. Cat warna hitam dibuat dari sejenis
tumbuh-tumbuhan yang ditumbuk sampai halus serta dicampur dengan abu periuk

Universitas Sumatera Utara

40

atau kuali. Abu itu dikikis dari periuk atau belanga dan dimasukkan ke daun-daunan
yang ditumbuk tadi, kemudian digongseng terus menerus sampai menghasilkan
seperti cat tembok hitam pada zaman sekarang.
Bahan-bahan untuk Gorga ini biasanya kayu lunak yaitu yang mudah
dikorek/dipahat. Biasanya nenek moyang suku Batak memilih kayu ungil atau ada
juga orang menyebutnya kayu ungil. Kayu Ungil ini mempunyai sifat tertentu yaitu
antara lain tahan terhadap sinar matahari, begitu juga terhadap terpaan air hujan, yang
berarti tidak cepat rusak/lapuk akibat kena sengatan terik matahari dan terpaan air
hujan. Kayu Ungil ini juga biasa dipakai untuk pembuatan bahan bahan solu ‘ perahu
‘ di Danau Toba. Ada berbagai jenis gorga dengan makna nya masing-masing yaitu :
1. Gorga Patung Ulu ni Horbo Martanduk
Makna: Menggambarkan pengharapan habaoaon yaitu harajaon dengan
pengertian tanggung jawab.
2. Gorga Adop-Adop
Makna: Payudara yang melambangkan kesuburan dan kekayaan.

Gambar 2.10 Gorga adop-adop
(Sianipar, 2014)

Universitas Sumatera Utara

41

3. Gorga Boras Pati
Makna: Menggambarkan pengharapan hadumaon yaitu sejahtera seisi
rumah aman dan damai.

Gambar 2.11 Gorga boras pati
(Sianipar, 2014)
4. Gorga Ulupaung
Makna: Pelindung agar seisi rumah sehat-sehat jasmani dan pengharapan
penghambat aji-ajian yaitu penangkal kejahatan agar seisi rumah
tetap sehat walafiat.

Gambar 2.12 Gorga ulupaung
(Sianipar, 2014)

Universitas Sumatera Utara

42

5. Gorga Tompi
Makna: Menggambarkan pengharapan manompi anak dohot boru
agar anak-anak turunan penghuni rumah tidak sakit-sakitan
dan jangan ada yang meninggal sampai saur matua.

Gambar 2.13 Gorga tompi
(Sianipar, 2014)

6. Gorga Liat
Makna: Menggambarkan pengharapan agar seisi rumah marsangap
dohot matua yaitu mulai dan beranak
7. Gorga Ture-ture
Makna: Menggambarkan pengharapan pantun yaitu agar semua
seisi rumah tekun penuh sopan santun.
8. Gorga Sitindangi
Makna: Menggambarkan pengharapan kejujuran yaitu berpegang
pada adat dan hukum.

Universitas Sumatera Utara

43

9. Gorga Pandindingan
Makna: Menggambarkan pengharapan sae soada mara yaitu tidak
ada mara bahaya.
10. Gorga Jolo
Makna: Menggambarkan pengharapan hasadaon yaitu agar seisi
rumah tetap bersatu dan damai.
11. Gorga Ngingi
Makna : Menggambarkan pengharapan mangalo na so hasea yaitu
menentang segal yang tidak bermanfaat.
12. Gorga Siopat suhi
Makna : Menggambarkan pengharapan adat suhi ni ampang na
opat yaitu adat kekerabatan yaitu bahwa dengan suhi ni
ampang na opat dalam fungsi kekerabatan adalah tiang
utama Dahlian Na Tolu.
13. Gorga Bintang
Makna : Menggambarkan pengharapan sinta-sinta yaitu agar
sejahtera anak dan boru.
14. Gorga Gaja Dompak
Makna : Menggambarkan pengharapan margogo mandopang musu
yaitu berkekuatan melawan segala bathil.

Universitas Sumatera Utara

44

Gambar 2.14 : Gorga gaja dompak
(Sianipar, 2014)

15. Gorga Silindu Ni Pahu
Makna : Menggambarkan pengharapan hadumaon na so mansohot
yaitu kesejahteraan yang terus menerus.
16. Gorga Manuk
Makna : Menggambarkan pengharapan panungguli yaitu agar
anak-anak dikejauhan tetap ingat akan keluarga bona
pasongit.
17. Gorga Hujur
Makna :

Menggambarkan

pengharapan

hamonanggon

yaitu

monang maralo musu talumaralohon dongan yang
dimaksud agar semua penghuninya menang terhadap
segala kejaliman dan kejahatin.

Universitas Sumatera Utara

45

18. Gorga Ipon-Ipon
Makna : keharmonisan, berarti setiap keluarga yang menempati
rumah tersebut adalah keluarga yang harmonis dan jika
ada masalah dalam

keluarga itu akan diselesaikan

dengan damai dan musyawarah.

Gambar 2.15 Gorga ipon-ipon
(Sianipar, 2014)

19. Gorga Simataniari
Makna : sebagai sumber kekuatan hidup dan penentu jalan
kehidupan dunia tanpa matahari manusia tidak akan
hidup.

Gambar 2.16 Gorga simataniari
(Sianipar, 2014)

Universitas Sumatera Utara

46

20. Gorga Desa Naualu
Makna : sebagai arah mata angin, menunjukkan sikap dan perilaku
seseorang didalam menjalankan kehidupan mereka
sehari-hari.

Gambar 2.17 Gorga desa naualu
(Sianipar, 2014)

21. Gorga Singa-Singa
Makna:

kekuatan, kekokohan, dan kewibaawaan, jadi setiap
orang yang menempati rumah itu adalah orang yang
berkuasa dan bijaksana dalam mengambil keputusan
dalam sebuah masalah.

Universitas Sumatera Utara

47

Gambar 2.18 Gorga singa singa
(Sianipar, 2014)

22. Gorga Iran-Iran
Makna: simbol kecantikan. Setiap orang yang menempati rumah
itu adalah orang yang cantik dari wajah maupun perilaku
dalam kehidupan sehari-harinya.

Gambar 2.19 Gorga iran-iran
(Sianipar, 2014)

Universitas Sumatera Utara

48

23. Gorga Simarogung Ogung “Gong”
Makna: Gong dianggap sebagai simbol pesta yang merupakan
ungkapan kegembiraan melambangkan kejayaan dan
kemakmuran sebagai pertanda bahwa keluarga tersebut
merupakan keluarga terpandang.

Gambar 2.20 Gorga simarogung ogung
(Sianipar, 2014)
24. Gorga Silintong
Makna: Pusaran air yang berarti kesaktian untuk melindungi
manusia dari segala bala. Artinya yang menempati
rumah itu adalah orang-orang yang sakti dan biasanya
terdapat di rumah orang-orang yang dianggap berilmu
tinggi seperti: datu, raja, guru, dan sebagainya. Oleh
sebab itu tidak sembarangan orang mengukir Gorga ini.

Universitas Sumatera Utara

49

Gambar 2.21 Gorga silintong
(Sianipar, 2014)

25. Gorga Manuk
Makna: maknanya adalah Panungguli “ pengingat “untuk anaknya
yang jauh merantau di perantauan tetap ingat akan bona
pasogit/kampung halaman , supaya rezeki dia melimpah.

Gambar 2.22 Gorga manuk
(Sianipar, 2014)

Universitas Sumatera Utara

50

26. Gorga Sitagan
Makna: bermakna nasihat agar tidak sombong kepada orang yang
datang bertamu. Berbentuk simetris seperti tutup kotak
dan berada di atas Gorga Gaja dompak.

Gambar 2.23 Gorga sitagan
(Sianipar, 2014)

27. Gorga Simeol Eol
Makna: Melambangkan kegembiraaan. Berbentuk sulur yang
terjalin

dengan

kesan

melenggak-lenggok

yang

menghasilkan keindahan dan terletak di setiap sisi
papan rumah adat Batak Toba. Jadi, setiap orang yang
menempati rumah itu adalah orang yang patuh dalam
adat dan seni Batak Toba dan menjalankannya di
kehidupan sehari-hari.

Universitas Sumatera Utara

51

Gambar 2.24 Gorga simeol eol
(Sianipar, 2014)

28. Gorga Jorngom atau Jenggar
Makna: merupakan simbol penjaga keamanan. Gorga ini di buat
supaya segala jenis roh-roh ataupun setan tidak dapat
masuk ke dalam rumah. Berbentuk raksasa yang biasa
terdapat pada bagian tengah tomboman Gorga Adop-adop

Gambar 2.25 Gorga jomgom atau jenggar
(Sianipar, 2014)

Universitas Sumatera Utara

52

Gambar 2.26 Gorga pada rumah Batak Toba.
(Saragih,1999).

Universitas Sumatera Utara

53

2. 3 Arsitektur Neo Vernakular
Didalam arsitektur banyak terdapat tema-tema perancangan. Dimana setiap
tema-tema itu mempunyai ciri dan cara untuk mendesain suatu bagunan salah satunya
Neo Vernakular.
2.3.1 Pengertian Arsitektur Neo Vernakular
Berasal dari dua kata yaitu kata “neo” sebagai fonim yang berarti baru dan kata
“ vernaculus “ dari bahasa latin yang berarti asli . Jadi, Neo Vernakular berarti bahasa
setempat yang diucapkan dengan cara baru. Arsitektur Neo Vernakular adalah suatu
penerapan elemen arsitektur yang telah ada, baik fisik maupun non-fisik dengan
tujuan melestarikan unsur-unsur lokal yang telah terbentuk secara empiris oleh
sebuah tradisi yang kemudian sedikit atau banyaknya mangalami pembaruan menuju
suatu karya yang lebih modern atau maju tanpa mengesampingkan nilai-nilai tradisi
setempat (Nauw & Rengkung, 2013). Arsitektur Neo Vernakular merupakan suatu
paham dari aliran Arsitektur Post-Modern yang lahir sebagai respon dan kritik atas
modernisme yang mengutamakan nilai rasionalisme dan fungsionalisme yang
dipengaruhi perkembangan teknologi industri.
Arsitektur Neo Vernakular merupakan arsitektur yang pada konsepnya
memiliki prinsip mempertimbangkan kaidah-kaidah normatif, kosmologis, peran
serta budaya lokal dalam kehidupan masyarakat serta keselarasan antara bangunan,
alam, dan lingkungan. Dalam proses menerapkan pendekatan dalam arsitektur Neo
Vernakular adalah interpretasi desain yaitu pendekatan melalui analisis tradisi budaya

Universitas Sumatera Utara

54

dan peninggalan arsitektur setempat yang dimasukkan kedalam proses perancangan
yang terstruktur yang diwujudkan dalam bentuk termodifikasi sesuai dengan zaman
sekarang, ragam dan corak desain yang digunakan dengan pendekatan simbolisme,
aturan dan tipologi.
Arsitektur Neo Vernakular banyak ditemukan bentuk-bentuk yang sangat
modern namun dalam penerapannya masih menggunakan konsep lama daerah
setempat yang dikemas dalam bentuk yang modern. Arsitektur Neo Vernakular ini
menunjukkan suatu bentuk yang modern tapi masih memiliki ciri daerah setempat
walaupun material yang digunakan adalah bahan modern seperti kaca dan logam.
Dalam arsitektur Neo Vernakular, ide bentuk-bentuk diambil dari vernakular aslinya
yang dikembangkan dalam bentuk modern.

2.3.2 Ciri-Ciri Arsitektur Neo Vernakular
Menurut Charles Jencks (1984) ciri-ciri Arsitektur Neo-Vernakular sebagai
berikut :
a. Selalu menggunakan atap bumbungan.
Atap bumbungan menutupi tingkat bagian tembok sampai hampir ke tanah
sehingga lebih banyak atap yang di ibaratkan sebagai elemen pelidung dan
penyambut dari pada tembok yang digambarkan sebagai elemen pertahanan
yang menyimbolkan permusuhan.

Universitas Sumatera Utara

55

b. Batu bata (dalam hal ini merupakan elemen konstruksi lokal). Bangunan
didominasi penggunaan batu bata abad 19 gaya Victorian yang merupakan
budaya dari arsitektur barat.
c. Mengembalikan bentuk-bentuk tradisional yang ramah lingkungan dengan
proporsi yang lebih vertikal.
d. Kesatuan antara interior yang terbuka melalui elemen yang modern dengan
ruang terbuka di luar bangunan.
e. Warna-warna yang kuat dan kontras.
Dari ciri-ciri di atas dapat dilihat bahwa Arsitektur Neo-Vernacular tidak
ditujukan pada arsitektur modern atau arsitektur tradisional tetapi lebih pada
keduanya. Hubungan antara kedua bentuk arsitektur diatas ditunjukkan dengan jelas
dan tepat oleh Neo-Vernacular melalui trend akan rehabilitasi dan pemakaian
kembali.
a. Pemakaian atap miring.
b. Batu bata sebagai eleman lokal.
c. Susunan masa yang indah.
Mendapatkan unsur-unsur baru dapat dicapai dengan

pencampuran antara

unsur setempat dengan teknologi modern, tapi masih mempertimbangkan unsur
setempat dengan ciri-ciri sebagai berikut:

Universitas Sumatera Utara

56

a. Bentuk-bentuk menerapkan unsur budaya, lingkungan termasuk iklim
setempat diungkapkan dalam bentuk fisik arsitektural (tata letak denah,
detail, struktur dan ornamen).
b. Tidak hanya elemen fisik yang diterapkan dalam bentuk modern, tetapi juga
elemen non-fisik yaitu budaya , pola pikir, kepercayaan, tata letak yang
mengacu pada makro kosmos, religi dan lainnya menjadi konsep dan kriteria
perancangan.
c. Produk pada bangunan ini tidak murni menerapkan prinsip-prinsip bangunan
vernakular melainkan karya baru (mengutamakan penampilan visualnya).

2.3.3 Prinsip-Prinsip Desain Arsitektur Neo Vernakular
Ada beberapa prinsip-prinsip desain arsitektur Neo-Vernakular secara terperinci
adalah sebagai berikut ( Jencks,1984):
a. Hubungan Langsung, merupakan pembangunan yang kreatif dan adaptif
terhadap arsitektur setempat disesuaikan dengan nilai-nilai/fungsi dari
bangunan sekarang.
b. Hubungan Abstrak, meliputi interprestasi ke dalam bentuk bangunan yang
dapat dipakai melalui analisa tradisi budaya dan peninggalan arsitektur.
c. Hubungan Lansekap, mencerminkan dan menginterprestasikan lingkungan
seperti kondisi fisik termasuk topografi dan iklim.

Universitas Sumatera Utara

57

d. Hubungan Kontemporer, meliputi pemilihan penggunaan teknologi, bentuk
ide yang relevan dengan program konsep arsitektur.
e. Hubungan Masa Depan, merupakan pertimbangan mengantisipasi kondisi
yang akan datang.
Dari pengertian, ciri-ciri dan prinsip diatas, dengan jelas membedakan antara
arsitektur tradisional, vernakular dan neo vernakular (Tabel 2.3).

Tabel 2.3 Perbandingan Tradisional,Vernakular dan Neo Vernakular.
Perbandingan

Ideologi

Prinsip

Tradisional
Terbentuk oleh
tradisi yang
diwariskan
secara turun–
temurun,
berdasarkan
kultur dan
kondisi lokal
Tertutup dari
perubahan
zaman, terpaut
pada satu
kultur
kedaerahan,
dan
mempunyai
peraturan dan
norma–norma
keagamaan
yang
kental.

Vernakular

Neo Vernakular

Terbentuk oleh tradisi
turun temurun tetapi
terdapat pengaruh dari
luar baik fisik maupun
nonfisik, bentuk
perkembangan
arsitektur tradisional.

Penerapan elemen
arsitektur yang sudah
ada dan kemudian
sedikit atau banyaknya
mengalami p