Padanan Makna Budaya dalam Karya Sastra : Kajian Kasus Terjemahan Novel Anilam Farm dalam Bahasa Indonesia

BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Berikut ini dipaparkan kajian pustaka yang berhubungan dengan penelitian
yang dilakukan. Kajian pustaka ini mencakup padanan makna budaya, aspek
budaya dan kategorinya dalam penerjemahan, penerjemahan sebagai proses dan
produk, tipe penerjemahan, strategi penerjemahan, padanan dan tipologi padanan
dalam penerjemahan, pergeseran dalam penerjemahan, aspek semantik dalam
penerjemahan, aspek sintaksis dalam penerjemahan, penelitian yang relevan, dan
kerangka konseptual penelitian.
2.1 Padanan Makna Budaya
Padanan makna budaya dapat dimaknai sebagai pengalihan makna dari satu
bahasa dan budaya sumber ke dalam bahasa dan budaya target. Konsepsi
pemadanan makna sebagai pengalihan makna merujuk pada mengekpresikan
kembali makna berkonteks budaya yang terdapat dalam teks bahasa sumber ke
dalam teks bahasa target (Yadnya, 2004). Secara morfologis kata “pengalihan”
berasal dari kata “alih” yang berarti „pindah, ganti, tukar, ubah‟ yang mendapatkan
proses morfologis penambahan prefix “peN- dan sufiks “-an”. Secara leksikal kata
“pengalihan” berarti adanya proses pemindahan, penggantian, penukaran, dan
pengubahan (KBBI, 2008:40).
Pengertian pemindahan mengacu pada konsep bahwa penerjemahan adalah
penyesuaian budaya berbahasa bahasa sumber ke dalam budaya berbahasa bahasa

target. Catford (1965:1) mengatakan bahwa berbahasa adalah prilaku manusia
yang mempunyai pola. Ada aturan-aturan dalam pemakaian bahasa sebagai
subsistem kebudayaan. Orang dengan budaya apapun berbicara dalam bahasa dan

19
Universitas Sumatera Utara

bereaksi dalam pola kebudayaannya masing-masing. Nida (1964:147-149)
berpendapat bahwa penerima pesan hanya dapat bereaksi terhadap pesan yang
disampaikan kepadanya dalam bahasanya sendiri dan dapat mengekspresikan
tanggapannya dalam konteks budaya di lingkungan mereka hidup.
Nida lebih lanjut menggambarkan fenomena pengalihan makna berkonteks budaya
di atas dengan suatu formula persamaan dalam penerjemahan sebagai berikut:

R

:

M


C

::

R

:

M

C

Dalam formula di atas lambang R singkatan Receptor (penerima) dan M singkatan
Message (pesan). Lingkaran dan segi tiga berlambang C merepresentasikan
keseluruhan konteks budaya tempat terjadinya komunikasi yang membungkus M
dan R. Formula persamaan di atas menunjukkan bahwa R yang berada dalam
budaya bulat harus dapat dalam latar budayanya sendiri menjawab M yang
diberikan dalam bahasanya sendiri sebagaimana halnya pula dengan R yang
berada dalam budaya segi tiga memberikan tanggapan dalam konteks budayanya
sendiri terhadap M yang dikomunikasikan kepadanya dalam bahasanya sendiri.

Dengan demikian penerjemahan bukanlah sebatas menempatkan bangun lingkaran
ke dalam bangun segi tiga atau sebaliknya, tetapi juga menyusun kembali
(restructuring).
Dalam proses penyusunan kembali bangun budaya secara kebahasaan
dibutuhkan penggantian sebagai akibat dari kenyataan bahwa penerjemahan
(Inggris-Indonesia atau sebaliknya) melibatkan dua bahasa yang tidak serumpun
dan bertipologi berbeda. Produk pengalihan makna muncul ke permukaan berupa

20
Universitas Sumatera Utara

penggantian satusandi atau kode dengan sandi atau kode yang lain (transcoding)
sistem bahasa sumber ke dalam bahasa target,
Perbedaan sistem linguistik sebagai cerminan bahasa yang bersifat arbitrer
dan sui generis mengakibatkan pengalihan muncul sebagai pemadanan yang dalam
pencarian padanan tersebut dibutuhkan pengubahan yang sampai pada batas-batas
tertentu bersifat wajib sehingga terjadi pergeseran bentuk dan makna. Pergeseran
bentuk dan makna yang bersifat wajib ini memberikan kesan bahwa terjemahan
adalah penyimpangan. Purwo (1995) menggambarkannya dengan contoh:
Napasnya berbau jengkol. Frasa berbau jengkol diterjemahkan menjadi „garlic

smell‟. Menurut kamus dwi bahasa Indonesia-Inggris atau sebaliknya dimanapun
tidak ditemukan bahwa kata jengkol berarti „garlic‟ atau sebaliknya kata „garlic‟
berarti „jengkol‟. Dari sudut ini mungkin dapat dikatakan menyimpang, tetapi
bagaimana kalau kata jengkol diterjemahkan dengan akurat sebagai frasa “a kind
of bean” atau dengan kata dalam bahasa Latin atau bahasa ilmiahnya
phithecolobium. Sudah pasti makna berbau jengkol yang berati „bau sekali‟ tidak
tersampaikan atau sepadan dengan menggunakan bahasa Latin itu. Gejala ini
menunjukkan bahwa bahasa sebagai sebuah sistem tidak mudah disepadankan
secara lintas sistem, tetapi kemungkinannya adalah menyepadankan pola konsepsi
kedua sistem dimaksud.
Dengan demikian terjemahan secara idiomatik atau parsial mungkin dapat
dilakukan karena adanya jembatan pemahaman (bridgehead of comparability)
yang mengandung tahapan interpretasi dari sebuah konsep yang belum dipahami
(Sutjiati, 2003:15). Pandangan ini berangkat dari strategi dasar dalam
menginterpretasikan sistem linguistik yang menganggap bahwa penutur bahasa

21
Universitas Sumatera Utara

bersifat konsisten dan benar dalam idiologi kepercayaanya. Oleh karena itu

bagaimanapun tingkat perbedaan antara dua bahasa, pastilah ada sejumlah
persamaan antara idiologi kepercayaan masing-masing penutur tentang dunia yang
dapat digunakannya sebagai dasar penerapan penerjemahan (Foley, 1997:172).
Penerjemahan tidak hanya sebatas masalah mencari kata lain yang memilki
makna yang mirip, tetapi menurut Thriveni (2002) cara yang tepat untuk
mengungkapkan sesuatu dalam bahasa lain.
Dengan demikian, makna pemadanan makna berkonteks budaya dapat
digambarkan dalam figura 2.1 berikut:
BS (Inggris)

BT1 (Indonesia)

BT2 (Batak)

Thank you

Terima kasih

Mauliate


Ungkapan terima kasih
Jawaban

You‟re welcome

Kembali/sama-sama

Mauliate

Figura 2.1 Padanan Salam (Inggris, Indonesia dan Batak)
Ketiga bahasa (Inggris, Indonesia, dan Batak) menggunakan bentuk gramatikal
dan pilihan leksikal yang berbeda untuk menunjukkan makna yang sama. Contoh
di atas menunjukkan bahwa baik dalam budaya bahasa sumber maupun budaya
bahasa target sama-sama memilki konsep ungkapan terima kasih dan jawaban
terhadap ungkapan terima kasih itu.

22
Universitas Sumatera Utara

2.2 Aspek Budaya dan Kategorinya dalam Penerjemahan

Dalam KBBI (2008:214) kata „budaya‟ diartikan sebagai 1) pikiran; akal
budi, 2) adat istiadat, 3) sesuatu mengenai kebudayaan yang telah berkembang
(beradab, maju), 4) sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan dan sukar diubah.
Newmark (1988:94) memberikan definisi budaya sebagai: “... as the way of life
and its manisfestations that are peculiar to a community that uses a particular
language as its means of expression” (budaya adalah cara hidup masyarakat dan
manifestasinya yang asing bagi satu masyarakat tertentu yang menggunakan
bahasa tertentu sebagai alat untuk berekspresi). Tischler (1996:70) mendefinisikan
budaya sebagai : “All that human beings learn or do, to use, to produce, to know,
and to believe as they grow to maturity and live out their lives in the social groups
to which they belong” (apa saja yang dipelajari atau dilakukan, digunakan,
dihasilkan, diketahui, dan diyakini oleh manusia dalam kehidupan mereka
bermasyarakat adalah budaya). Persell (1987:85) mendefinisikan budaya sebagai:
“... all the socially learned behaviours, beliefs, feelings, and values the members of
a group or society experience. It includes customs and language. It affects how
people interact, the meanings they place on different intercations and how
interactions are organized” (budaya adalah semua tingkah laku yang dipelajari
bersama, kepercayaan, perasaan, dan nilai yang dialami semua anggota kelompok
atau masyarakat. Termasuk di dalamnya kebiasan dan bahasa. Budaya
mempengaruhi bagaimana manusia berinteraksi, bagaimana mereka memaknai

interaksi yang berbeda, dan bagaimana interaksi sesama mereka diatur). Definisi
yang diberikan oleh Persell sejalan dengan definisi yang diberikan Tischler.
Koentjaraningrat (1990:203) meyakini bahwa setiap kelompok etnis mempunyai

23
Universitas Sumatera Utara

unsur kebudayaan yang sama yang disebutnya sebagai unsur-unsur kebudayaan
universal. Dengan demikian unsur-unsur yang bersifat universal ada dan bisa
didapat di dalam semua kebudayaan dari semua bangsa di dunia. Sementara
Liliweri (2001: 2017) menyatakan bahwa jika terdapat perbedaan, perbedaan itu
mengemuka dalam sikap dan prilaku verbal dan non-verbal, misalnya dalam
ungkapan bahasa, wujud adat istiadat serta seni budaya.
Budaya dibangun dari kesamaan faktor-faktor pembentuk yang disebut
dengan komponen kebudayaan. Liliweri (2001:114) mengemukakan beberapa
komponen kebudayaan yang penting adalah (1) pandangan hidup, kosmologi dan
ontologis, (2) bahasa dan sistem simbol, (3) skema kognitif, (4) kepercayaan/sikap
dan nilai, (5) konsep tentang waktu, (6) konsep tentang jarak dan ruang, (7)
agama/mitos dan bentuk-bentuk, dan ekspresi, dan (8) hubungan sosial dan
jaringan komunikasi. Dari yang dikemukakan Liliweri, bahasa dan sistem simbol

merupakan salah satu komponen budaya yang sangat penting. Bahasa merupakan
mediasi pikiran, perasaan, dan perbuatan. Liliweri (2001:120) memandang bahwa
bahasa berfungsi menerjemahkan nilai dan norma, skema kognitif manusia,
persepsi, sikap, dan kepercayaan manusia tentang dunia para pendukungnya. Oleh
karena itu, mengutip pandangan Sutjiati (2003:4) yang mengatakan bahwa dari
perspektif pemahaman bahasa sebagai bagian dari budaya, suatu analisis bahasa
tidak akan memadai apabila bahasa ditempatkan di luar konteks budaya dan situasi
sosial yang melataribelakanginya. Dari pandangan di atas tergambar bahwa
budaya dan situasi sosial yang melatarbelakangi budaya dimaksud dapat tercermin
dalam bahasanya. Pandangan di atas sejalan dengan apa yang dikatakan oleh
Lotman (1978: 211) dalam Yadnya (2004) bahwa “no language can exist unless it

24
Universitas Sumatera Utara

is steeped in the context of culture; and no culture can exist which does not have at
its centre, the structure of natural language”. Ahli lainnya, James (2002) dan
Basnett (1980) menggambarkan hubungan antara bahasa dan budaya sebagai dua
hal yang tidak dapat dipisahkan dan kematian salah satunya ditentukan oleh yang
lainnya dengan mengatakan bahwa bahasa adalah “the heart within the body of

culture” sehingga kelestarian ke dua aspek tersebut saling tergantung satu sama
lainya. Sementara itu Vermeer dalam Venuti (2000:222) mengatakan bahwa
langauge is part of a culture (bahasa adalah bagian dari budaya).
Fishman (1985) menyatakan bahwa hubungan bahasa dengan budaya dapat
dilihat dari tiga perspektif, yakni (1) sebagai bagian dari budaya, (2) sebagai
indeks budaya, dan (3) sebagai simbolik budaya. Sebagai bagian dari budaya
bahasa adalah realisasi dari prilaku manusia. Umpamanya, upacara ritual, doa,
cerita, nyayian adalah tindak tutur. Siapa saja yang ingin melibatkan diri dan
memahami budaya tersebut harus menguasai bahasa masyarakat yang melakukan
tindak tutur karena dengan itu barulah dia dapat berpartisipai dan mengalami
budaya tersebut. Sebagai indeks budaya bahasa juga mengungkapkan cara berpikir
dan mengatur pengalaman penuturnya yang dalam bidang tertentu terefleksi dalam
butir leksikal. Sebagai simbolik budaya bahasa menunjukkan identitas budaya
etnis.
Karena bahasa merupakan bagian dari kebudayaan, pada satu sisi,
penerjemahan tidak hanya dipahami sebagai pengalihan bentuk dan makna , tetapi
juga budaya, dan pada sisi lainnya, penerjemahan dapat dipahami sebagai proses
berbahasa. Dalam pengertian ini penerjemah menggunakan bahasa tersebut untuk
tujuan komunikasi (lisan) yakni mendeskripsikan hal budaya yang mencakup apa


25
Universitas Sumatera Utara

yang dilakukan oleh manusia, yakni prilaku budaya (cultural behaviour), apa yang
diketahuinya, yakni pengetahuan budaya (cultural knowledge), dan benda-benda
budaya (cultural artifacts) yang dibuat dan digunakan sebagai manifestasi budaya
(Nurkamto, 2001:209). Konsekuensinya adalah penerjemahan tidak saja dapat
mendapatkan kendala kebahasaan, tetapi juga budaya. Penerjemahan tidak hanya
usaha untuk mencari padanan makna aspek linguistik; kata, frasa, klausa, dan
kalimat dari bahasa sumber ke dalam bahasa target, tetapi juga usaha untuk
mencari padanan budaya yang meliputi kata, frasa, klausa, dan kalimat bahasa
sumber ke dalam bahasa target dan menemukan cara yang sesuai untuk
menyatakan sesuatu dalam bahasa yang lain.
Konsepsi yang melibatkan aspek pemahaman lintas budaya - di samping
kompetensi bilingual - dalam penerjemahan didasarkan pada pemikiran bahwa
setiap penerjemahan melibatkan dua bahasa dan dua budaya sekaligus (Toury
2000). Semakin besar perbedan antara bahasa sumber dan bahasa sasaran dalam
kedua aspek dimaksud, semakin tinggi pula tingkat kesulitan pemadanan makna
atau pesan di antara kedua bahasa itu.
Kebenaran pemikiran ini dapat dilihat dari kenyataan bahwa bahasa dan
budaya merupakan dua entitas yang tidak terpisahkan. Ketika seseorang
berkomunikasi melalui bahasa (lisan dan tulisan), pasti, disadari atau tidak,
disadarinya, dia

melibatkan budayanya yang mencakup nilai-nilai, keahlian,

pengetahuan, norma- norma, sikap, motif, bahasa, maupun benda-benda material
yang dimilikinya sebagai individu maupun anggota masyarakat.
Penerjemahan merupakan suatu proses yang kompleks. Sebagai proses
komunikasi, penerjemahan melibatkan pengirim, penerima, pesan

dan

26
Universitas Sumatera Utara

penerjemah. Dalam penerjemahan tertulis, pengirim adalah penulis, penerima
adalah pembaca yang dituju. Penerjemah sebagai agen penengah (mediating agent)
yang bertugas mengalihkan pesan atau amanat dari teks sumber ke teks sasaran.
Penerjemahan tidak hanya sebatas mengalihkan pesan dari teks sumber ke teks
sasaran atau mencari padanan dari satu bahasa dan budaya, tetapi juga melibatkan
pemindahan pikiran dari satu bahasa dan budaya ke dalam ungkapan yang sepadan
dalam satu bahasa dan budaya lainnya.
Dengan

demikian,

penerjemahan

melibatkan

proses

menyandikan

(encoding), menguraikan sandi (decoding), dan menyandikan ulang (recoding)
aspek-aspek budaya (Karamanian, 2007). Ketiga proses ini oleh Larson (1984:3)
dikemas dalam tiga tahapan, yakni (1) meneliti aspek-aspek linguistik yang
mencakup unsur kata, struktur tata bahasa, konteks komunikasi, konteks budaya
dari bahasa (teks) sumber, (2) menganalisis aspek-aspek dan konteks dimaksud
untuk mendapatkan padanan makna yang terkandung dalam bahasa sumber, (3)
menuliskan kembali (merestrukturkan) makna yang dimaksud dengan kata-kata,
struktur tata bahasa yang sepadan dengan konteks komunikasi dan budaya bahasa
sasaran.
Menurut Harianto (2002) ada dua hal yang menyebabkan aspek-aspek
budaya terabaikan oleh teori-teori penerjemahan tradisional. Pertama, kegiatan
penerjemahan yang dilakukan hingga tahun 1970an didominasi oleh penerjemahan
teks-teks ilmiah dan teknik yang cenderung tidak melibatkan unsur-unsur budaya.
Kedua, pandangan teori linguistik tradisional yang memisahkan bahasa dengan
kenyataan ekstralinguistik (budaya).

27
Universitas Sumatera Utara

Berbeda dengan pandangan linguistik kontemporer yang memandang bahasa
sebagai media komunikasi yang menyatu dengan budaya. Brown (1987:203)
mengatakan bahwa sebuah bahasa adalah bagian dari sebuah budaya dan sebuah
budaya adalah bagian dari sebuah bahasa; keduanya terjalin sedemikian erat
sehingga jika dipisahkan, bahasa maupun budaya tersebut akan kehilangan makna.
Gambaran tentang aspek budaya dalam penerjemahan di atas menunjukan
bahwa pemahaman lintas budaya tidak terpisahkan dari kegiatan penerjemahan.
Selama melakukan aktivitasnya, penerjemah tidak hanya berhadapan dengan
berbagai perbedaan yang berhubungan dengan aspek linguistik, yang mencakupi
morfologi, sintaksis, semantik, dan pragmatik, tetapi juga berbagai perbedaan
budaya antara bahasa sumber dan bahasa sasaran. Dengan kata lain, bahwa dalam
penerjemahan pemahaman lintasbudaya dan penguasaan (kompetensi) kedua
bahasa yang digunakan sama-sama berperan dalam setiap proses penerjemahan.
Ketidaktahuan dan atau ketimpangan pengetahuan dari salah satu dari faktor-faktor
di atas akan menghasilkan terjemahan yang tidak atau kurang berkualitas.
Menyadari bagaimana pentingnya pemahaman lintas budaya dalam
penerjemahan, para ahli kajian terjemahan berusaha untuk meneliti perbedaanperbedaan budaya dalam berbagai bahasa. Berkaitan dengan perbedaan budaya
dalam berbagai bahasa ini, Newmark (1988:95-102) mengungkapkan konsep
„cultural words‟. Konsep ini mengungkapkan bahwa dalam sebuah teks semua
aspek budaya terungkap di dalamnya. Newmark membagi aspek-aspek budaya ke
dalam lima kategori, yakni: (1) Ekologi yang unsur-unsurnya terdiri atas flora,
fauna, gunung, angin, daratan, dan lain-lainnya; (2) Kebudayaan Material yang
unsur-unsurnya terdiri atas makanan, pakaian, rumah, kota, sarana transportasi; (3)

28
Universitas Sumatera Utara

Kebudayaan Sosial yang unsur-unsurnya terdiri atas pekerjaan dan liburan; (4)
Organisasi, Adat Istiadat, Aktivitas, Konsep-Konsep Kepercayaan yang unsurunsurnya terdiri atas sistem pemerintahan, politik, nilai-nilai artistik, acara-acara
keagamaan; (5) Kebiasaan dan Bahasa Tubuh yang unsur-unsurnya meliputi
gerak-gerik tubuh dan kebiasaan.
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan konsep dan kategori yang
dikemukakan oleh Newmark karena unsur-unsur yang dikemukakannya bersifat
universal.
2.3 Penerjemahan Sebagai Proses dan Produk
Suatu terjemahan dihasilkan karena ada orang yang membutuhkannya atau
penerjemah sendiri yang mau melakukannya tanpa ada orang yang memintanya
Jika kita melihat atau membaca suatu terjemahan, maka sebagai pembaca
terjemahan itu kita melihat atau membaca “hasil” yang disajikan oleh seorang
penerjemah. Dengan kata lain, kita membaca “produk” atau hasil kerja dari
penerjemah. Sebagai pembaca kita tidak mengetahui tentang berbagai masalah
yang dihadapi penerjemah dan tidak mengetahui proses penerjemahan yang
dilakukannya. Kita hanya melihat dan membaca hasil praktik seorang penerjemah,
bukan praktik penerjemahan itu sendiri.
Penerjemahan melibatkan dua bahasa yang berbeda dan pada hakekatnya
secara linguistik menurut Catford (1965: 20 -21) merupakan “the replacement of
textual material in one language (SL) by equivalent textual material in another
language (TL)” ( penggantian bahan teks dalam bahasa sumber dengan bahan teks
yang sepadan dalam bahasa sasaran). Koller (1995:196) mendefinisikan
terjemahan sebagai produk sebagai “the result of a text-processing activity, by

29
Universitas Sumatera Utara

means of which a source language text is transposed into a target language text.”
(hasil dari kegiatan memproses sebuah teks dengan cara mengubah teks bahasa
sumber ke dalam teks bahasa target). Sementara menurut Newmark (1988:5)
adalah “rendering the meaning of a text into another language in the way that the
author intended the text” (menyampaikan makna suatu teks ke dalam bahasa lain
sesuai dengan yang dimakudkan oleh pengarang).
Penerjemahan merupakan suatu proses yang kompleks. Sebagai proses
komunikasi, penerjemahan melibatkan pengirim, penerima, pesan atau informasi,
dan penerjemah. Dalam penerjemahan tertulis, pengirim adalah penulis, penerima
adalah pembaca yang dituju. Penerjemah sebagai agen penengah (mediating agent)
yang bertugas menyampaikan atau mengalihkan amanat dari teks sumber ke teks
target.
Hoed (1992:81) menggambarkan proses penerjemahan secara skematis
sebagai suatu proses satu arah yang tujuannya agar informasi yang terkandung
dalam suatu bahasa sumber (dalam skema disingkat dengan BS) dapat
disampaikan ke dalam bahasa lain/bahasa target (dalam skema disingkat BT).
Hoed menggambarkannya seperti:

P1/BS

Dunia BS
P2/B
S

P1/BT

Dunia BT P2/BT

Penerjemah
Model 1: Proses Penerjemahan
Model yang digambarkan dalam skema di atas berfokus pada status
penerjemah dalam proses menerjemahkan. Penerjemahan digambarkan sebagai
P2/BS dan kemudian sebagai P1/BT. Oleh karena BS dan BT masing-masing

30
Universitas Sumatera Utara

berada dalam satu lingkungan masyarakat dan kebudayaan tertulis (bukan hanya
bahasa) maka penerjemahan merupakan proses pengalihan informasi dari dunia BS
ke dunia BT. Dalam hal ini penerjemah berada dalam satu lintas budaya dan
dituntut mampu beralih dari kebudayaan yang satu ke kebudayaan yang lain.
Larson (1984:4) menggambarkan proses penerjemahan yang lebih berfokus
pada makna, yakni sebagai rentetan kegiatan dari memahami makna teks yang
diterjemahkan sampai pengungkapan kembali makna dalam teks terjemahan.
Larson menggambarkannya sebagai berikut:

BAHASA SUMBER

BAHASA TARGET

Teks yang
diterjemahkan

terjemahan

Memahami makna

Mengungkapkan
kembali makna

Makna

Model 2: Proses Penerjemahan Berdasarkan Makna
Model proses penerjemahan di atas menggambarkan bahwa penerjemahan
mencakup kegiatan mengkaji dan mencari padanan seakurat mungkin leksikon,
struktur gramatikal, situasi komunikasi dan konteks budaya teks bahasa sumber,
menganalisisnya untuk menentukan maknanya dan membangun kembali makna

31
Universitas Sumatera Utara

yang sama ini dengan menggunakan leksikon dan struktur gramatikal yang sesuai
dalam bahasa target dan konteks budayanya.
Sementara Tou (1989:131) memberikan interpretasi proses terjemahan
model Larson di atas seperti gambar berikut ini:

Bahasa
Sumber

Bahasa
Sasaran

Konteks
Budaya

Konteks
Budaya

Konteks
Situasi

Konteks
Situasi

Teks
Diungkap

Leksikon

Teks
Tata
Bahasa

Analisis
Makna

Teks
Diungkap
Kembali

Leksikon

Struktur
Tata
Bahasa

Pengungkapan
Makna
Kembali

Penemuan
Makna

Pengalihan
Makna

MEANING
Model 3: Interpretasi Proses Penerjemahan

Nida (1974:33) menggambarkan proses penerjemahan dengan melalui tiga
tahapan: (1) analisis, yakni tahapan pemahaman teks sumber melalui kajian
linguistik dan makna, pemahaman bahan dan materi yang diterjemahkan dan
masalah kebudayan, (2) pengalihan isi, makna atau pesan yang terkandung dalam

32
Universitas Sumatera Utara

teks sumber, dan (3) rekonstruksi, yakni menyusun kalimat-kalimat terjemahan
dengan berulang-ulang sampai memperoleh hasil akhir dalam bahasa target.
Nida (1974:33) mengambarkan proses penerjemahan dimaksud seperti:
A (Sumber)

B (Sasaran)

Analisis

Merestruktur

X

Pengalihan

Y

Model 4: Proses Penerjemahan
Bell (1991:21) memberikan gambaran proses penerjemahan sebagai berikut:
Memori
Teks
Bahasa Sumber

Analisis

Reperesentasi
Semantik

Teks
Bahasa Target

Sintesis

Model 5: Penerjemahan Sebagai Proses
Model yang dikemukan oleh Bell di atas menunjukkan transformasi suatu
teks bahasa sumber melalui proses yang berlangsung dalam lingkup memori
penerjemah, yakini (1) proses analisis terhadap suatu teks bahasa tertentu (one
language –specific text) sebagai bahasa sumber ke dalam representasi semantik

33
Universitas Sumatera Utara

universal (non-language specific), dan (2) sintesis dari representasi semantik
tersebut ke dalam teks bahasa lain (second-language specific text) yakni bahasa
target.
Walaupun

secara

teoretis

tahapan

penerjemahan

dalam

proses

penerjemahan dapat digambarkan secara skematis namun dalam praktiknya
penerjemah tidak luput dari masalah. Hatim dan Mason (1990:21-22)
mengidentifkasi tiga masalah yang dihadapi oleh penerjemah yaitu; (1) memahami
teks sumber yang terdiri atas (a) mengurai teks (tatabahasa dan lexis), (b) akses
terhadap pengetahuan tertentu atau spesifik, dan (c) akses terhadap makna yang
dimaksudkan (intended meaning), (2) pengalihan makna yang menyangkut
penyampaian makna leksikal, gramatial, retorikal, termasuk makna yang tersirat
yang dapat diduga kepada pembaca potensial; (3) memperkirakan teks target
dengan mempertimbangkan: (a) keterbacaan teks, (b) kesesuaian dengan konvensi
bahasa target dan (c) menilai kesesuaian terjemahan bagi tujuan-tujuan tertentu
atau spesifik
2.4 Tipe Penerjemahan
Jakobson (1959) dalam Venuti (2000:114) membedakan penerjemahan
dalam tiga tipe: (1) penerjemahan intralingual atau rewording, yakni suatu
interpretasi tanda-tanda verbal dengan menggunakan tanda-tanda lain dalam
bahasa yang sama, (2) penerjemahan interlingual atau translation proper, yaitu
sebuah interpretasi tanda-tanda verbal dengan menggunakan bahasa-bahasa lain,
dan (3) penerjemahan intersemiotik atau transmutation, yaitu suatu interpretasi
tanda-tanda verbal dengan tanda-tanda dalam sistem tanda non-verbal. Terjemahan

34
Universitas Sumatera Utara

intralingual menyangkut proses menginterperetasikan tanda-tanda verbal dengan
tanda-tanda lain dalam bahasa yang sama. Terjemahan interlingual tidak sebatas
menyangkut menyocokkan atau membandingkan simbol-simbol, tetapi juga
padanan kedua simbol dan tata aturan atau dengan kata lain mengetahui makna
keseluruhan ujaran. Sementara terjemahan intersemiotik atau transmutation
berkaitan dengan pengalihan pesan dari suatu jenis sistem simbol ke dalam sistem
simbol yang lain
Dalam hal kajian penerjemahan tipe (2) yang dikemukakan oleh Jakobson
di atas menjadi fokus dalam kajian penerjemahan karena melibatkan tanda-tanda
verbal dengan menggunakan atau melibatkan bahasa-bahasa lain. Larson
(1984:15-17) menggolongkan

penerjemahan

ke dalam dua

jenis

yakni

penerjemahan berdasarkan bentuk (form-based translation) dan penerjemahan
berdasarkan makna (meaning-based translation). Lebih lanjut Larson mengatakan
bahwa penerjemahan adalah satu kontinum dari penerjemahan yang sangat harfiah
(very literal) ke harfiah (literal), harfiah yang dimodifikasi (modified literal),
percampuran yang tidak konsisten (inconsisitent mixture), mendekati idomatis
(near idiomatic), idiomatis (idiomatic) , dan terjemahan bebas sebebasnya (unduly
free). Menurut Larson yang menjadi tujuan akhir dalam penerjemahan adalah
mencapai terjemahan yang idiomatis yakni menghasilkan kembali terjemahan
makna yang terkandung dalam bahasa sumber, makna yang dimaksud oleh
komunikator (pengarang, penulis) bahasa sumber ke dalam bahasa target yang
alamiah baik dari segi bentuk dan makna sehingga ketika hasil terjemahan dibaca,
tidak terdapat dan tidak terasakan adanya kejanggalan. Pembaca seolah-olah
membaca teks yang bukan merupakan suatu karya terjemahan.

35
Universitas Sumatera Utara

2.5 Strategi Penerjemahan
Pada dasarnya yang dicari dalam menerjemahkan adalah kesepadanan antara
bahasa sumber dan bahasa target. Secara teoretis kesepadanan dapat dicapai karena
sifat keuniversalan bahasa dan konvergensi budaya tetapi fakta menunjukkan
bahwa suatu bahasa target digunakan oleh penutur dengan latar belakang budaya
yang berbeda dengan penutur bahasa sumber sehingga menimbulkan kesulitan
dalam mencari kesepadanan leksikal. Untuk mengatasi kesenjangan dan
ketidaksesuain (mismatch) ini, menurut Nida (1964) dan Larson (1988) perlu
dilakukan penyesuaian (adjustment). Penyesuaian ini membutuhkan satu strategi
yang erat hubungannya dengan kompetensi penerjemah, metode, teknik, dan
sasaran terjemahan. Strategi dalam hal ini mirip dengan pengertian metode yang
dipakai oleh Vinay dan Darbelnet (dalam Venuti (ed.), 2000: 84 – 93), prosedur
oleh Newmark (1988: 68 – 93), dan penyesuain (adjustment) oleh Nida (1964) dan
Larson (1998), yakni suatu cara untuk mencapai kesepadanan antara teks sumber
dan teks target. Walaupun Vinay dan Darbelnet (dalam Venuti (ed.) 2000) dan
Baker (1991) tidak membedakan metode dan prosedur, tetapi Newmark (1988) dan
Machali (2009) mengatakan bahwa perbedaan antara metode dan prosedur terletak
pada satuan penerapannya . Metode penerjemahan berhubungan dengan
keseluruhan teks sedangkan prosedur berhubungan dengan kalimat dan satuansatuan bahasa yang lebih kecil (seperti klausa, frasa, dan kata). Oleh karena itu
Baker (1991:17) mengatakan bahwa pilihan padanan selalu bergantung pada tidak
hanya pada sistem bahasa atau sistem yang sedang ditangani oleh seorang
penerjemah, tetapi juga pada bagaimana cara, baik penulis teks sumber dan
penerjemah memanipulasi sistem bahasa bersangkutan. Dengan demikian

36
Universitas Sumatera Utara

penerjemahan menjadi tidak dapat luput dari campur tangan penerjemah yang
mempunyai dinamika.
Dalam proses penerjemahan, penerjemah sebagai „mediating agent‟ yang
menjembatani kesenjangan alur informasi dari penulis ke pembaca seharusnya
mampu melepaskan dirinya dari ikut campur tangan atau subjektivitas. Dengan
demikian setiap penerjemah menurut Machali (2009:104) perlu memiki suatu
pedoman dalam pemadanan dan pengubahan. Newmark (1988:4) mengungkapkan
bahwa sebuah teks yang akan diterjemahkan dipengaruhi oleh atau ditarik ke
sepuluh arah dalam penganalisisannya sebelum dialihkan. Dinamika penerjemahan
ini digambarkannya seperti berikut :
9. The truth
(the facts of the matter)
1. SL writer

5. TL readership

2. SL norm

6. TL norms

TEXT

3. SL culture

7. TL culture

4. SL setting and tradition

8. TL setting and tradition
10. Translator

Model 6: Dinamika Penerjemahan
Gambar di atas menunjukkan bahwa penerjemahan menurut Newmark 1988)
bukanlah sesuatu yang statis tetapi dinamis dan ditentukan oleh cara pandang atau
pendekatan yang diterapkan terhadap teks sebagai porosnya. Teks sumber yang
akan diterjemahkan ditentukan oleh sepuluh faktor, yakni (1) penulis teks sumber

37
Universitas Sumatera Utara

yang memilki gaya penulisannya sendiri atau idiolek bahasa sumber sehingga
harus

ditentukan

kapan

harus

dipertahankan

atau

dinormalisasi

dalam

penerjemahnnya; (2) norma-norma yang berlaku dalm bahasa sumber yang
berkaitan dengan pengunaan leksikal dan gramatikal secara konvensional terhadap
teks yang akan diterjemahkan yang bergantung pada topik dan situasi; (3)
kebudayaan yang melatari bahasa sumber; (4) latar ruang dan waktu serta tardisi
penulisan dan penerbitan; (5) pembaca teks target (misalnya harapan pembaca
sesuai dengan tingkat pemahamnnya mengenai topik dan gaya bahasa yang
mereka gunakan; (6) norma-norma yang dimilki oleh bahasa target seperti halnya
yang dimilki oleh bahasa sumber; (7) kebudayaan yang melatarbelakangi bahasa
target; (8) latar ruang dan waktu serta tradisi penulisan dan penerbitan yang
berkenaan dengan teks target; (9) kebenaran (truth)

atau substansi yang

dibicarakan (berupa kebenran referensial, yakni apa yang dideskripsikan atau
dilaporkan yang diyakini kebenarannya); dan (10) penerjemah termasuk
pandangan dan prasangka yang mungkin bersifat pribadi dan subjektif atau juga
bersifat sosial dan kultural yang menyangkut „faktor loyalitas kelompok‟ dari
penerjemah yang mungkin menggambarkan asumsi penerjemah yang bersifat
nasional, politis, keagamaan, kesukuan (etnik), kelas sosial, seks dll.
Oleh karena itu Hoed dalam kata pengantar bagi buku Machali (2009: 13)
mengatakan bahwa dalam proses penerjemahan ke sepuluh faktor tersebut harus
dipertimbangkan karena berhubungan dengan audience design (menetapkan atau
merancang: siapa calon pembaca terjemahan kita dan apa tujuan kita
menerjemahkan teks yang bersangkutan), pemilihan metode dan teknik dan
pengambilan keputusan. Jika tujuan teks sumber hanya untuk menyampaikan suatu

38
Universitas Sumatera Utara

pesan kepada pembaca, maka menurut Zaky (2001) makna referensial dari kata
atau ungkapan menjadi sangat penting sedangkan pengaruh dari gaya kurang
penting. Tetapi sebaliknya, jika berkaitan dengan teks sumber yang ditujukan tidak
saja untuk menyampaikan pesan, tetapi juga membangkitkan dampak tertentu
kepada pembaca melalui penggunaan gaya tertentu, pemadanan dari pengaruh
stilistik seperti itu merupakan bagian yang penting dari kegiatan penerjemahan.
Hal lain yang perlu dilakukan penerjemah sebelum menerjemahkan adalah
menentukan pembaca ideal. Walaupun pembaca tersebut memiliki tingkat
akademik, professional dan intelektual yang sama dengannya, tetapi kemungkinan
pula pembaca tersebut juga memiliki perbedaan harapan tekstual dan budaya yang
signifikan (Coulhard, 1992:12 dalam James, 2002). Dengan demikian sebagai
proses, pemadanan tidak hanya berarti pengalihan pesan dari satu bahasa ke dalam
bahasa lain tetapi juga memperhatikan sudut pandang pengguna terjemahan di
samping memahami secara utuh pesan yang ingin disampaikan dalam bahasa
sumber.
Terlepas dari berbagai kemungkinan keputusan yang dapat diambil oleh
penerjemah dalam proses penerjemahan sebagai akibat dari berbagai faktor
penentu tersebut di atas, Machali (2009:139) mengemukakan suatu pegangan dasar
dalam proses penerjemahan. Machali menyebutkan bahwa gambar dinamika
penerjemahan Newmark tersebut di atas menunjukkan bahwa yang terpenting
adalah kebenaran permasalahan (truth) berupa fakta atau substansi masalah yang
akan diterjemahkan yang dibahas dalam teks atau field menurut Haliday. Sejauh
perubahan yang terjadi tidak menyebabkan perubahan kebenaran - tetap
mempertahankan makna referensial - maka kesepadanan makna masih dapat

39
Universitas Sumatera Utara

berterima. Perubahan atau pergeseran lain yang menyangkut kaedah bahasa
(nomor 2 dan 6 dalam dinamika di atas) tidak membuat bergesernya kebenaran
sehingga masih dapat berterima.
Dinamika di atas menciptakan peluang terjadinya campur tangan. Campur
tangan penerjemah dalam proses menerjemahkan menurut Machali (2009:140)
disebabkan oleh (1) merupakan terjemahan manusia (human translation) bukan
terjemahan mesin (machine translation); (2) bahasa bukanlah sebuah “jaket
pengaman” yang mengikat pemakainya atau penerjemah untuk hanya memilih satu
bentuk tertentu; dan (3) penerjemah (manusia) mempunyai keunikan (pandangan,
dll.) yang ikut mempengaruhinya dalam proses penerjemahan.
Banyak strategi alternatif untuk mengatasi masalah ketidaksepadanan (nonequivalence)

dalam

proses

penerjemahan.

Banyak

pakar

dalam

kajian

penerjemahan yang mengemukakan strategi pemadanan dalam penerjemahan.
Vinay dan Darbelnet (dalam Venuti, 2000:84-93) mengemukakan berbagai
alternatif strategi dalam pemadanan. Mereka menggolongkannya ke dalam dua
kategori besar, yakni (1) pemadanan langsung (direct translation) dan pemadanan
oblik (oblique translation). Pemadanan langsung mencakup peminjaman
(borrowing), calque, dan penerjemahan harfiah (literal translation). Pemadanan
oblik (oblique translation) mencakup transposisi (transposition), modulasi
(modulation), ekuivalensi(equivalence), dan adaptasi (adaptation).

40
Universitas Sumatera Utara

2.6 Padanan dan Tipologi Padanan dalam Penerjemahan
Penerjemahan adalah suatu usaha yang dilakukan oleh penerjemah untuk
mengalihkan pesan dari bahasa sumber dengan cara menemukan padanan berupa
suatu bentuk dalam bahasa sasaran. Padanan (equivalence) dalam Venuti (2000:5)
dipahami dengan beberapa istilah, seperti keakuratan (accuracy), kecukupan
(adequacy), kebenaran (correctness), kesesuaian (correspondence), ketepatan
(fidelity), dan kesamaan (identity). Padanan adalah suatu bentuk dalam bahasa
sasaran ditinjau dari segi semantik sepadan dengan suatu bentuk bahasa sumber.
Kesepadanan mungkin terjadi karena keuniversalan bahasa dan budaya. Namun
demikian kesepadanan tidaklah sama dengan kesamaan. Machali (2009:140)
mengatakan perdebatan kedua konsep tersebut lebih banyak terkait dengan
penerjemahan karya sastra, khususnya puisi yang memandang kesepadanan
sebagai tuntutan untuk menghasilkan “kesamaan”.
Masalah padanan adalah inti dari setiap penerjemahan. Artinya, setiap
kegiatan penerjemahan yang dilakukan penerjemah bertujuan untuk mencari
tipologi padanan yang sama dari bahasa sumber ke dalam bahasa target. Tipologi
adalah karakteristik satu bahasa dengan bahasa lainnya. Dalam hal ini adalah
antara bahasa Inggris dan bahasa Indonesia.
Tipologi padanan adalah kesamaan padanan yang disebabkan oleh
karakteristik satu bahasa dengan bahasa lainnya. Tipologi padanan terjadi pada
berbagai tataran, mulai dari tataran kata hingga tataran tekstual. Masalah tipologi
padanan muncul karena perbedaan gramatikal, semantik, dan sosio-kultural bahasa
sumber dan target. Ketiga masalah ini berhubungan satu dengan lainnya. Makna

41
Universitas Sumatera Utara

yang dirujuk sebuah kata terikat dengan budaya, dalam banyak kasus makna suatu
kata hanya dapat dipahami melalui konteksnya.
Karena teks target tidak akan pernah sepadan dengan teks bahasa sumber
pada setiap tataran, maka para ahli mengusulkan beragam tipologi padanan. Nida
dan Taber (1964) mengusulkan padanan formal dan dinamis atau fungsional.
Padanan formal berfokus pada pesan, baik dalam hal bentuk dan isinya.
Kesepadanan formal pada dasarnya dihasilkan dari proses penerjemahan yang
berorientasi pada bahasa sumber dan diarahkan untuk mengungkap sejauh
mungkin bentuk dan isi dari pesan sumber. Oleh karena itu dalam proses
penerjemahan segala usaha diarahkan untuk menghasilkan unsur formal yang
mencakupi (1) unit tata bahasa atau gramatikal dan (2) makna yang sesuai dengan
konteks teks sumber. Nida dan Taber (1964:159) mengatakan bahwa padanan
formal mensyaratkan bahwa pesan dalam bahasa target harus sedekat mungkin
sepadan dengan unsur-unsur yang berbeda dalam bahasa sumber (the message in
the target language should match as closely as possible the different elements in
the source language). Kesepadanan dinamis berfokus pada kesepadanan efek
yang diperoleh dari pemusatan perhatian dalam penerjemahan yang lebih
cenderung ke arah tanggapan penerima dan mencapai tingkat kealamiahan pesan
bahasa sumber. Padanan yang alamiah ini mengandung pengertian sesuai dengan
(1) bahasa dan budaya sasaran, (2) konteks pesan tertentu, dan (3) khalayak
pembaca bahasa sasaran. Sementara padanan dinamis mensyaratkan bahwa prinsip
yang berhubungan dengan pengaruh yang sepadan secara substansial harus sama
antara penerima (sasaran/target) dan pesannya dengan penerima yang asli dan
pesannya (the priciple of equivalent effect, where the relationship between the

42
Universitas Sumatera Utara

receptor and message should be substantially the same as that which existed
between the original receptor and the message).
Catford (1965:27) mengusulkan dua jenis padanan, yakni (1) padanan
tekstual (textual equivalence), dan (2) padanan formal (formal equivalence) yang
kemudian diubah menjadi korespondensi formal (formal correspondence).
Padanan tekstual didefinisikan Catford (1965:27) sebagai teks atau bagian teks
bahasa target apa saja yang diobservasi pada peristiwa tertentu harus sepadan
dengan teks atau bagian teks bahasa sumbernya (any TL text or portion of text
which observed on a particular occasion to be the equivalence of a given SL text
or portion of text). Korespondensi formal didefinisikan Catford (1965:27) sebagai
kategori bahasa target apa saja (unit, kelas, struktur, unsur struktur, dll.) yang
mungkin dikatakan menduduki tempat dalam ekonomi bahasa target sedekat
mungkin „sama‟ dengan kategorinya dalam bahasa sumber (any TL category (unit,
class, structure, element of structure, etc.) which may be said to occupy, as nearly
as possible, the „same‟ place in the economy of the TL, as the given SL category
occupies in the SL). House (1977) mengusulkan kesepadanan semantik dan
pragmatik dan mengatakan bahwa dari segi fungsi, teks sumber dan teks target
haruslah sesuai (match). Baker (1992) melihat kesepadanan dalam berbagai tataran
dalam kaitannya dengan proses penerjemahan termasuk berbagai aspek
penerjemahan yang menggabungkan pendekatan linguistik dan komunikatif. Lebih
lanjut Baker (1992:10) mengungkapkan bahwa bahasa bukanlah nomenclature
seperangkat konsep yang universal sehingga tidaklah mudah menerjemahkan satu
bahasa ke dalam bahasa lainnya. Pengertiannya adalah bahwa konsep dari suatau
bahasa boleh jadi berbeda sama sekali dengan bahasa lainnya karena setiap bahasa

43
Universitas Sumatera Utara

mengungkapkan dunia secara berbeda. Menurutnya kesepadanan dapat terjadi
pada tingkat (1) kata dan di atas kata seperti kolokasi, idiom, dan ungkapan, (2)
gramatikal, (3) tekstual, dan (4) pragmatik. Newmark (1981) mengusulkan
penerjemahan komunikatif dan semantik. Sama dengan padanan dinamis,
penerjemahan komunikatif berusaha menciptakan efek bagi pembaca teks bahasa
target yang sama dengan efek yang diterima oleh pembaca teks bahasa sumber.
Koller (1977) mengusulkan padanan denotatif, konotatif, pragmatik, tekstual,
formal, dan aestetik. Padanan denotatif berhubungan dengan padanan muatan
ekstralinguistik sebuah teks. Padanan konotatif berhubungan dengan pilihanpilihan leksikal, khususnya antara mendekati yang bersinonim. Padanan tekstual
berhubungan dengan tipe-tipe teks dengan teks yang berprilaku berbeda. Padanan
pragmatik atau komunikatif berorientasi pada penerima teks atau pesan. Padanan
formal berhubungan dengan bentuk dan aestetik teks yang mencakup permainan
kata dan ciri stilistika indivdual dari teks sumber.
Secara garis besar terdapat beberapa kemungkinan

kesepadanan dalam

penerjemahan, yakni (1) sepadan sekaligus berkorespondensi, (2) sepadan tetapi
bentuk tidak berkorespondensi, dan (3) sepadan dan makna tidak berkorespondensi
sebab berbeda cakupan makna. Mengutip Purbo-Hadiwidjojo (1993:26) dalam
Yadnya (2004:62) peluang kesepadanan kata dan istilah Indonesia dan Inggris
dapat diilustrasikan dengan diagram seperti di bawah ini:

44
Universitas Sumatera Utara

BS (Indonesia)

Jarang

BT (Inggris)

Lebih sering

Bisa juga terjadi

Diagram 2.1 Diagram Kesepadanan Kata dan Istilah Indonesia dan Inggris
Diagram di atas menunjukkan bahwa kesepadanan mutlak jarang sekali
ditemukan dalam penerjemahan bahasa Indonesia ke dalam bahasa Inggris. Di
dalam pengalihan makna dari bahasa sumber ke bahasa target (dari bahasa
Indonesia ke dalam bahasa Inggris atau sebaliknya) lebih sering terjadi pergeseran
makna. Dalam pergeseran ini makna bahasa sumber (Indonesia) berpadanan
dengan makna yang lebih luas dalam bahasa target (Inggris) atau sebaliknya lebih
sempit dibandingkan dengan bahasa target. Bahkan dalam kasus-kasus tertentu
mungkin juga ditemukan tidak berpadanan. Yadnya lebih lanjut mengatakan
bahwa diagram tesebut di atas tidak hanya berlaku bagi penerjemahan dari bahasa
Indonesia ke dalam bahasa Inggris atau sebaliknya, tetapi kemungkinan
penerjemahan bahasa Indonesia sebagai bahasa sumber ke dalam bahasa lainnya
baik serumpun maupun tidak (selain bahasa Inggris) juga berkisar dari
kesepadanan penuh, pergeseran cakupan makna (penyempitan atau perluasan) dan
penyimpangan.

45
Universitas Sumatera Utara

2.7 Pergeseran dalam Penerjemahan
Pergeseran (shift) dalam penerjemahan adalah sesuatu hal yang tidak dapat
dihindari oleh penerjemah ketika melakukan kegiatan menerjemahkan. Pergeseran
ini terjadi karena kaedah kebahasaan antara bahasa sumber dan bahasa sasaran
tidak sama, sehingga untuk mencapai kesepadanan dalam bahasa sasaran
penerjemah harus membuat penyesuaian. Konsep pergeseran dalam terjemahan
dapat ditinjau dari dua perspektif yang berbeda, yakni (1) terjemahan sebagai
produk, dan (2) terjemahan sebagai proses. Sebagai produk konsep pergeseran
mirip dengan konsep „shift” yang diberikan oleh Catford. Catford (1965:73)
mendefinisikan pergeseran (shift) sebagai keberangkatan korespondensi formal
dari bahasa sumber ke dalam bahasa target (departure from formal
correspondence in the process of going from the SL to the TL). Konsep ini
mengacu pada suatu peristiwa atau keadaan di mana sebuah padanan terjemahan
yang dipilih dari bahasa sasaran dalam proses penerjemahan tidak menggambarkan
kesejajaran bentuk terhadap bentuk teks yang berupa unit, struktur, ataupun kelas
dalam bahasa sumber. Konsep ini adalah kebalikan atau penyimpangan dari
konsep korespondensi formal yang oleh Catford (1965:32) didefinisikan sebagai
kategori apa saja dalam bahasa target yang dapat dianggap menempati suatu
tempat yang sejauh mungkin “sama” dalam ekonomi dari bahasa target dengan
kategori bahasa sumber yang dimaksud (any TL category which may be said to
occupy, as nearly as possible, the “same” place in the economy of the TL as the
given SL categorrry occupies in the SL). Sebagai suatu proses, makna pergeseran
formal sama dengan istilah transposisi (transposition) yang dikemukakan oleh

46
Universitas Sumatera Utara

Newmark (1988) yakni suatu prosedur atau cara penerjemahan melalui
pengubahan bentuk gramatikal dari bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran.
Catford (1965:73) menggolongkan pergeseran ke dalam dua jenis: (1) pergeseran
tingkat (level shift,) dan (2) pergesran kategori (category shift). Catford
mendefinisikan level shift sebagai butir bahasa sumber pada tataran linguistik
tertentu memiliki butir padanan dalam tataran yang berbeda dalam bahasa target
(a SL item at one linguistic level has a TL translation equivalent at a different
level). Catford mendefinisikan category shifts sebagai keberangkatan dari
korespodensi formal dalam terjemahan (departures from formal correspondence in
translation). Catford membagi level shift ke dalam empat kategori, yakni (1)
pergeseran struktur (structural shift) yang menyangkut perubahan gramatikal
antara struktur teks sumber dengan teks sasaran, (2) pergeseran kelas (class shift)
bila butir bahasa sumber dipadankan dengan butir bahasa sasaran yang memilki
kelas gramatikal yang berbeda, (3) pergeseran unit (unit shift) yang menyangkut
dengan perubahan tingkat/pangkat (rank) dan (4) pergeseran intra system yang
terjadi jika secara formal bahasa sumber dan bahasa sasaran memiliki kondisi yang
kelihatannya sejajar, tetapi secara konstituen memiliki perbedaan.
Melihat gambaran tentang shift yang dikemukakan Catford, tampak bahwa
cara Catford (1965:30) melihat perpadanan sebagai sesuatu yang bersifat
kuantitatif sehingga penerjemahan hanya merupakan masalah mengganti butir
bahasa sumber dengan butir bahasa sasaran yang paling sesuai. Selain itu,
pergeseran yang dikemukakannya seluruhnya bersifat murni linguistik sementara
faktor-faktor yang tidak kalah pentingnya, seperti faktor budaya, tekstual dan
situasional lainnya terabaikan (Hatim, 2001:16-17). Lebih lanjut Hatim (2001:59)

47
Universitas Sumatera Utara

mengatakan bahwa hakekat pergeseran adalah berlapis-lapis. Dalam proses
penerjemahan selalu terjadi secara bersamaan pergeseran dari satu sistem
linguistik ke dalam sistem linguistik yang lain, dari sistem sosio-budaya ke dalam
sistem sosio-budaya yang lain, dan dari satu sistem sastra atau puitik ke dalam
sistem sastra dan puitik yang lain. Hatim (2001) dan Holmes (1972/1994)
mengatakan bahwa sistem sosio-budaya ini terdiri dari objek, simbol, dan konsepkonsep yang abstrak yang tidak lepas dari perbedaan antara satu masyarakat dan
budaya dengan masyarakat dan budaya yang lainnya sehingga pilihan dalam
penerjemahan harus dilakukan dalam bingkai sistem-sistem tersebut tidak secara
terpisah tetapi secara padu dan bersamaan.
Pergeseran adalah konsekuensi dari usaha penerjemah dalam mencari
padanan terjemahan antara dua bahasa yang berbeda. Oleh karena itu, Al-Zoubi
dan Al-Hassnawi (2001:28) berpendapat bahwa pergeseran dalam penerjemahan
harus didefinisi ulang secara positif dengan melihat penerjemahan sebagai proses.
Bertolak dari pendapat yang mengatakan bahwa penerjemahan adalah gejala yang
sangat kompleks yang melibatkan berbagai vaiabel, Al-Zoubi dan Al-Hassnawi
(2001:28) mendefinisikan pergeseran sebagai tindakan wajib (mandatory actions)
yang ditentukan karena adanya perbedaan struktural antara dua sistem bahasa yang
terlibat dalam proses penerjemahan dan tidakan pilihan (optional actions) yang
ditentukan oleh preferensi individual dan stilistik yang dilakukan secara sadar
untuk menghasilkan terjemahan yang alamiah dan komunikatif dari bahasa sumber
ke dalam bahasa target. Kedua ahli ini membedakan pergeseran ke dalam dua
jenis, yakni (1) pergeseran mikro (micro shift) dan (2) pergeseran makro (macro
shift). Pergerseran mikro dapat berwujud pergeseran vertikal yang mengarah ke

48
Universitas Sumatera Utara

atas atau ke bawah dan pergeseran horizontal. Pergeseran vertikal yang mengarah
ke atas terjadi jika bahasa sumber digantikan dengan unit yang lebih tinggi
peringkatnya (rank) dalam bahasa target. Sementara sebaliknya, pergeseran yang
mengarah ke bawah, unit bahasa sumber digantikan dengan unit yang lebih rendah
peringkatnya dalam bahasa target. Pengertian horizontal mirip dengan konsep
intra system shift dari Catford (1974:80) yang berwujud realisasi padanan yang
berbeda dari suatu unit bahasa sumber dalam bahasa target pada peringkat yang
sama. Pergeseran makro bergerak dalam kawasan ranah teks yang melibatkan
semua variable tekstur, budaya, gaya, dan retorik yang memungkinkan terjadinya
pergeseran pada tataran selain tataran sintaksis (misalnya komponen semantik).
2.8 Aspek Semantik dalam Penerjemahan
Penerjemahan tidak dapat dipisahkan dari semantik karena semantik
sebagai salah satu tataran mikro linguistik yang mempelajari tentang

makna

bahasa. Dalam setiap bahasa ditemukan adanya hubungan makna atau relasi
makna antara sebuah kata atau satuan dengan dengan kata atau satuan bahasa
lainnya. Relasi makna ini mencakupi kesamaan arti atau sinonimi, perbedaan arti
atau antonimi, polisemi, homonimi, homofoni, homografi. Di samping relasi
makna, makna juga dapat digolongkan ke dalam jenisnya atau tipenya. Jenis atau
tipe adalah pengelompokan sesuatu berdasarkan kesamaan objek, kesamaan ciri
atau sifat yang dimiliki benda, hal peristiwa atau aktivitas lainnya. Leech
(1974:26) mengklasifikasikan makna atas, yaitu (1) makna konseptual
(conceptual), (2) makna konotatif (connotative), (3) makna stilistika (stylistic), (4)
makna afektif (affective), (5) makna reflektif (reflected), (6) makna kolokatif
(collocative), dan (7) makna tematik (thematic).

49
Universitas Sumatera Utara

2.8.1 Relasi Makna
Relasi makna adalah hubungan antara satu kata dengan kata lainnya, atau
satu satuan dengan satuan lainnya. Berikut dipaparkan relasi atau hubungan makna
kata atau satuan.
Sinonimi didefinisikan oleh Verhaar (1978) sebagai ungkapan (dapat
berupa kata, frase, atau kalimat) yang maknanya kurang lebih sama dengan makna
ungkapan lain. Contohnya, kata meninggal dan mati, buruk dan jelek adalah
bersinonim. Hubungan makna antara dua kata atau lebih yang bersinonim bersifat
satu arah. Jadi, jika kata meningggal bersinonim dengan mati, maka kata mati
bersinonim dengan kata meninggal. Dengan demikian, kata buruk bersinonim
dengan