Padanan Makna Budaya dalam Karya Sastra : Kajian Kasus Terjemahan Novel Anilam Farm dalam Bahasa Indonesia

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Era globalisasi saat ini yang bercirikan keterbukaaan, persaingan, dan
kesalingtergantungan antar bangsa serta derasnya arus informasi yang menembus
batas-batas geografi, suku, ras, agama dan budaya membuat jarak terasa begitu
dekat. Sesuatu yang sedang terjadi di suatu tempat di belahan dunia yang jaraknya
sangat jauh dapat diketahui di belahan dunia lain pada saat yang bersamaan.
Dengan teknologi informasi yang canggih, informasi yang disampaikan begitu
cepat sehingga bagi mereka yang tidak mengetahui atau mengikuti perkembangan
teknologi informasi dan bahasa asing yang digunakan dalam informasi itu akan
tertinggal. Dengan ciri keterbukaan ini mengidentifikasikan terjadinya proses
interaksi antar bahasa dan budaya. Jika dalam proses interaksi antar bahasa dan
budaya, pihak yang terlibat di dalamnya tidak saling mengetahui bahasa dan
budaya yang digunakan, maka proses interaksi akan terganggu dan sangat
mungkin

terjadi

kesalahpahaman.


Untuk

menghindari

gangguan

dan

kesalahapahaman ini, diperlukan penerjemah sebagai agen penengah (mediating
agent) yang mampu menjembatani celah perbedaan bahasa dan budaya ini.
Penerjemahan memegang peranan penting dalam kehidupan umat manusia karena
dengan penerjemahan interaksi dan komunikasi antar dua komunikan atau dua
bangsa dengan bahasa yang berbeda dapat dilakukan. Tidak dapat dibayangkan
bagaimana interaksi dan komunikasi antara dua komunikan atau dua bangsa
dengan dua atau lebih bahasa dan budaya yang berbeda dapat dilakukan untuk
meningkatkan kerjasama dan saling pemahaman dapat diselenggarakan. Tidak

Universitas Sumatera Utara

hanya itu, penyampaian gagasan, informasi, pengetahuan, dan nilai-nilai budaya

dari satu bangsa ke bangsa lain juga akan mengalami kendala jika tidak ada
penerjemahan.
Sementara dengan persaingan bebas dan keterbukaan, penguasaan
informasi, ilmu pengetahuan dan teknologi adalah prasyarat bagi keberlangsungan
hidup suatu bangsa. Indonesia sebagai salah satu negara berkembang tidak luput
dari situasi ini. Indonesia masih harus terus menerus meningkatkan sumber daya
manusianya secara kuantitatif dan kualitatif agar ketergantungan sumber
informasi, ilmu pengetahuan, dan teknologi dari luar semakin berkurang. Untuk
menjembatani interaksi dan komunikasi lintas bahasa dan budaya, penguasaan
bahasa asing (khususnya bahasa Inggris) menjadi suatu kebutuhan utama. Adanya
tuntutan akan pengalihan informasi dan ilmu pengetahuan dan teknologi dari
bahasa sumber (bahasa asing) membuat kemampuan dan kegiatan penerjemahan
sesuatu yang penting dan perlu. Banyak sumber informasi, pengetahuan, dan
teknologi yang dapat dirujuk. Salah satu dari sekian banyak sumber itu adalah
karya sastra, yakni novel. Novel sebagai salah satu teks sastra penuh dengan aspek
budaya. Novel sebagai karya sastra fiksi didefinisikan oleh Altenbernd dan Lewis
(1966:14) sebagai sebuah prosa imajinatif namun masuk akal karena
mengungkapkan realitas kehidupan yang mendramatisir perubahan dalam
hubungan antar manusia. Sebuah novel dikarang berdasarkan pengalaman dan
hasil pengamatan penulis mengenai kehidupan dengan latarbelakang budaya

tertentu. Pengalaman dan hasil pengamatan tersebut kemudian diseleksi dan
diungkapkan kembali oleh penulis sesuai dengan tujuannya. Karena ditulis
berdasarkan kenyataan yang mengungkapkan kehidupan masyarakat tertentu,

2
Universitas Sumatera Utara

setiap novel mengungkapkan emosi, gagasan, sikap, kebiasan, keyakinan, gaya
hidup dan aspek-aspek budaya lainnya yang dimiliki oleh masyarakat dimaksud.
Karya sastra diyakini merupakan salah satu media yang efektif dalam
mengembangkan pemahaman bersama antara dua komunikan atau dua bangsa
dengan bahasa dan budaya yang berbeda. Dengan demikian, penerjemahan karya
sastra pun menjadi penting untuk dilakukan. UNESCO salah satu badan di
Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) yang didirikan tahun 1948 yang menangani
masalah pengembangan pendidikan, ilmu, dan kebudayaan yang bertujuan untuk
menciptakan perdamaian di seluruh dunia, telah menggunakan penerjemahan
karya-karya sastra sebagai salah satu usahanya untuk mencapai tujuannya.
Kenyataan ini menunjukkan bahwa penerjemahan karya sastra berperan penting
dalam upaya menunjang dan menciptakan perdamaian dunia.
Banyak novel yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Salah

satu novel dimaksud adalah Animal Farm karya George Orwell yang
diterjemahkan menjadi „Peternakan Binatang‟ oleh Mahbud Djunaidi. Novel ini
diklasifikasikan sebagai fabel karena pelaku dalam novel ini diperankan oleh
hewan. Novel ini bercerita tentang idiologi komunis yang dikemas sedemikan rupa
dalam bentuk sendiran atau satir dengan latar belakang budaya Barat. Novel karya
George Orwell ini terbit pertama sekali pada tahun 1945 sudah dicetak berulangualang dan sampai dengan tahun 2007 sudah dicetak ulang sebanyak 23 kali,
yakni, tahun 1956, 1983, 1989, 1990, 1991, 1993, 1996 (sebanyak 4 kali), 1998,
1999 (sebanyak 4 kali),

2002, 2003 (sebanyak 5 kali), dan 2007 (sebanyak 2

kali). Dengan dicetaknya novel ini berulang-ulang, menunjukkan bahwa novel ini
mengandung gagasan, informasi, pengetahuan, dan nilai-nilai budaya yang dapat

3
Universitas Sumatera Utara

memberikan pencerahan. Novel ini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh
Mahbud Djunaidi menjadi „Peternakan Binatang‟ pada tahun 1983.
Seperti yang diungkapkan di atas bahwa adanya tuntutan akan pengalihan

informasi dan ilmu pengetahuan dan teknologi dari bahasa sumber (bahasa asing)
membuat kemampuan dan kegiatan penerjemahan sesuatu yang penting dan perlu
Walaupun Animal Farm berbentuk fabel, tetapi tidak bercerita tentang binatang
umumnya, seperti dalam cerita anak-anak. Animal Farm memang mengambil
tokoh binatang, tetapi bercerita tentang politik dan ideologi komunisme yang
digambarkan oleh George Orwell dengan sindiran atau satir berlatar budaya Barat.
Sebagai sebuah fabel dan sekaligus sindiran atau satir politik, novel ini sarat
dengan makna budaya atau makna bermuatan budaya berhubungan dengan dunia
peternakan dan pertanian di Inggris.
Bahasa Ingris telah berkembang menjadi media komunikasi internasional
yang penting. Pentingnya bahasa Inggris tidak hanya terletak pada jumlah
pemakainya sebagai bahasa ibu serta luas penyebaran pemakainnya secara
geografis, tetapi juga akibat pengaruh politik dan ekonomi dari negara yang
memakai bahasa Inggris sebagai bahasa ibu.
Bahasa Inggris dan bahasa Indonesia adalah dua bahasa yang berbeda baik
rumpun bahasanya dan juga kaedah kebahasaannya. Bahasa Inggris berasal dari
rumpum bahasa Indoeropa, sementara bahasa Indonesia rumpun Austronesia. Pada
tataran kaedah kebahasaannya (umpamanya urutan kata dalam frasa) bahasa
Inggris „blue ocean‟ yang berpola Menerangkan Diterangkan (MD) diterjemahkan
menjadi „laut (yang) biru‟ yang berpola Diterangkan dan Menerangkan (DM)

bukan menjadi „biru laut‟ yang kalau diterjemahkan balik ke bahasa Inggris

4
Universitas Sumatera Utara

menjadi „ocean blue‟. Pada tataran kebahasaan lainnya dan budaya yang melatar
belakanginya juga terdapat perbedaan. Contohnya, ungkapan „I broke my leg‟
dalam bahasa Inggris yang berpola kalimat aktif jika diterjemahkan dengan
mengikuti pola kalimat aktif dalam bahasa sumber menjadi „Saya mematahkan
kaki saya‟ tidak berterima dan tidak logis dalam bahasa Indonesia. Ungkapan di
atas akan berterima dan logis jika diterjemahkan dalam kalimat pasif dalam bahasa
Indonesia menjadi „Kaki saya patah‟. Disini terjadi apa yang disebut dengan
modulasi atau sudut pandang. Perbedaan ini tentu saja akan menjadi kendala bagi
seorang penerjemah jika kompetensi kebahasaan yang dimilikinya tidak memadai.
Tidak hanya itu, pengetahuan tentang sosio-budaya dari kedua masyarakat penutur
kedua bahasa tersebut juga berperan penting dalam menerjemahkan. Sebagai
contoh, ungkapan „kutu buku‟ dalam bahasa Indonesia jika diterjemahkan menjadi
„book bug‟ dalam bahasa Inggris tidak berterima karena untuk ungkapan „kutu
buku‟ dalam bahasa Inggris adalah „book worm‟. Hal ini membuktikan bahwa
menerjemahkan bukanlah sesuatu yang mudah dilakukan; tidak hanya sebatas

mencari padanan dalam kedua bahasa, tetapi pengetahuan tentang budaya
masyarakat penutur kedua bahasa. Seorang penerjemah dituntut tidak hanya
mempunyai kompetensi dalam dua bahasa (bilingual), tetapi juga dua budaya
(bicultural) atau lintas budaya (cross-cultural). Ketimpangan salah satu di antara
keduanya akan mempengaruhi kualitas terjemahan yang dilakukan oleh seorang
penerjemah
Tidak menjamin kalau seseorang yang bilingual dengan otomatis dia
mampu menerjemahkan dengan baik walaupun seorang penerjemah memang harus
bilingual. Seorang penerjemah di samping harus mempunyai kompetensi dua

5
Universitas Sumatera Utara

bahasa (bilingual) dan dua budaya (bicultural) atau lintasbudaya (cross-cultural),
dia juga harus memiliki pengetahuan deklaratif dan prosedural tentang terjemahan.
Pengetahuan deklaratif mengacu kepada pengetahuannya tentang teori (definisi),
strategi dan teknik penerjemahan. Sementara pengetahuan prosedural mengacu
kepada praktik menerjemahkan yang berkaitan dengan strategi dan teknik dalam
menerjemahkan (Nababan, 2004). Bell (1991: 41) mengemukakan bahwa seorang
penerjemah harus memiliki kompetensi gramatikal, sosiolinguistik, wacana, dan

strategi. Kompetensi gramatikal mengacu pada pengetahuan kaedah bahasa baik
bahasa sumber maupun bahasa sasaran. Kemampuan sosiolinguistik mengacu
kepada kemampuan untuk menghasilkan terjemahan dengan konteks yang sesuai.
Kompetensi wacana mengacu pada kemampuan menyatukan bentuk dan makna
dalam genre teks yang berbeda yang menyangkut kohesi dalam bentuk dan
koherensi dalam makna. Kemampuan strategi mengacu kepada penguasaan
strategi penerjemahan.
Literatur penerjemahan menunjukkan bahwa ada dua pandangan yang
berbeda tentang penerjemahan sebagai objek kajian. Pertama, kajian yang
berorientasi atau fokus pada produk terjemahan dan fungsinya dalam sistem
budaya (Nida,1974). Kedua, kajian yang berorientasi atau fokus pada proses
penerjemahan yang merupakan “kotak hitam” (Toury,1980). Penelitian terjemahan
sebagai produk secara teoretis pada dasarnya adalah pencarian padanan yang
berkaitan dengan padanan kebahasaan dan budaya. Sementara sebagai proses
berkaitan dengan prilaku penerjemah ketika melakukan penerjemahan sampai
dengan pengambilan keputusan ketika dia mendapatkan masalah.

6
Universitas Sumatera Utara


Banyak pakar mengemukakan definisi penerjemahan. Antara lain, adalah
Catford (1965:20) yang menggunakan pendekatan kebahasaan dalam melihat
kegiatan penerjemahan dan mendefinisikannya sebagai “the replacement of textual
material in one language (SL) by equivalent textual material in another language
(TL)” (penggantian bahan teks dalam bahasa sumber dengan bahan teks yang
sepadan dalam bahasa sasaran). Newmark (1988:5) memberikan definisi
“rendering the meaning of a text into another language in the way that the author
intended the text” (menyampaikan makna suatu teks ke dalam bahasa lain sesuai
dengan yang dimaksudkan pengarang).
Mencermati kedua definisi ini, dapat dilihat bahwa (1) penerjemahan
adalah upaya “mengganti” teks bahasa sumber yang sepadan dalam bahasa
sasaran, (2) yang diterjemahkan adalah makna sebagaimana yang dimaksudkan
pengarang. Namun dari pandangan di atas, Machali (2000:26) memunculkan
pertanyaan: apakah yang dimaksud dengan “mengganti” tersebut? Apakah dalam
penggantian tersebut ada aspek-aspek yang harus dipertimbangkan oleh seorang
penerjemah? Bagaimana fungsi penerjemah dalam upaya penggantian tersebut?
Bagaimana fungsi tersebut mempengaruhi hasil terjemahan yang dilakukannya?
Hal ini menggambarkan bahwa menerjemahkan bukanlah suatu kegiatan yang
mudah dilakukan. Banyak hal yang harus dipertimbangkan seorang penerjemah
sebelum dia mengambil keputusan yang berkaitan dengan terjemahannya.

Sebuah terjemahan dihasilkan karena ada orang atau pihak tertentu yang
menginginkannya, yakni pemesan (klien) atau pembaca teks sasaran atau karena
penerjemah itu sendiri yang ingin menerjemahkan tanpa ada orang atau pihak
tertentu yang memesan atau menginginkannya. Karena klien atau pembaca teks

7
Universitas Sumatera Utara

tidak memahami teks bahasa sumber dengan baik atau sama sekali tidak
mengetahui teks bahasa sumber, klien pembaca teks sangat membutuhkan seorang
penerjemah untuk menyampaikan pesan atau informasi teks bahasa sumber
tersebut ke dalam bahasa sasaran. Klien atau pembaca teks tidak peduli dengan
berbagai masalah yang dihadapi oleh penerjemah, strategi dan atau teknik yang
dilakukannya ketika penerjemah menerjemahkan. Bagi mereka yang terpenting
adalah mereka mendapatkan karya atau produk terjemahan yang dapat dibacanya,
dinikmatinya, dan mendapatkan pesan atau informasi yang dibutuhkannya sejelas
yang terdapat dalam teks bahasa sumber. Sementara bagi seorang penerjemah
karya atau produk yang dihasilkannya juga penting karena terjemahan yang
berkualitas yang dihasilkannya adalah indikator bahwa mereka telah mempunyai
kompetensi penerjemahan yang baik (Nababan, 2004).

Di samping itu, proses penerjemahan yang dilakukannya juga penting
karena dengan proses yang baik akan menghasilkan terjemahan yang baik pula.
Dengan kata lain, dengan proses yang baik akan menghasilkan terjemahan yang
berkualitas. Kualitas terjemahan berkaitan dengan keakuratan pengalihan pesan
dan tingkat keterbacaan teks terjemahan dalam bidang linguistik yang mencakup
segi sintaksis dan semantik yang dihasilkan oleh penerjemah (Nababan, 2004).
Hasil terjemahan yang berkualitas terasa alamiah, tidak terdapat kejanggalan dari
segi sintaksis, semantik dan informasi yang disampaikan sama seperti teks bahasa
sumbernya. Dengan kata lain, ketika karya atau produk terjemahan dibaca oleh
pembaca, tidak terasa atau tergambar kalau karya terjemahan yang dibacanya
adalah sebuah karya terjemahan. Untuk mencapai tingkat kualitas terjemahan yang
berkualitas dari segi keakuratan dan tingkat keterbacaan sangat ditentukan oleh

8
Universitas Sumatera Utara

keahlian penerjemah dalam menerapkan pengetahuannya tentang penerjemahan
dalam praktik penerjemahan, penguasaannya dalam bahasa dan budaya sumber
dan bahasa sasaran, pemahamannya tentang pembaca dan kualitas terjemahan, dan
bidang yang diterjemahkannya.
Penelitian ini adalah penelitian penerjemahan yang berorientasi pada
produk atau karya terjemahan yakni karya sastra (novel) berupa fabel yang ditulis
oleh George Orwell yang berjudul Animal Farm yang diterjemahkan oleh Mahbud
Djunaidi

menjadi

„Peternakan

Binatang‟.

Fabel

adalah

cerita

yang

menggambarkan watak dan budi manusia yang pelakunya diperankan oleh hewan
yang berisi pendidikan, moral dan budi pekerti (KBBI, 2008:386). Yang menjadi
objek kajian dalam penelitian ini adalah padanan makna budaya yang mencakup
apa yang disebut oleh Newmark (1988) sebagai kata-kata budaya (cultural words)
dari satuan lingual setingkat kata, frasa, dan atau klausa dari bahasa sumber,
yakni bahasa Inggris ke dalam bahasa sasaran, yakni bahasa Indonesia.
Ada beberapa alasan mengapa novel ini diangkat menjadi objek kajian.
Novel yang merupakan fabel ini sarat dengan kata-kata dan ungkapan yang
berlatar belakang budaya Inggris. Novel ini menjadi kajian utama mahasiswa
Departemen Sastra Inggris Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.
Kajian yang dilakukan oleh mahasiswa tidak saja mencakup tentang bagaimana
gambaran idiologi, yakni komunisme dan

prilaku karakter direpresentasikan

dalam kata dan ungkapan, tetapi juga mencakup penerjemahan kata dan ungkapan
yang mengandung makna budaya (cultural words). Kata-kata dan ungkapan
dimaksud tidak hanya berhubungan dengan dunia flora dan fauna, tetapi juga oleh
kata-kata yang berhubungan budaya artefak. Mahbud Djunaidi dengan latar

9
Universitas Sumatera Utara

belakangnya menerjemahkan novel Animal Farm ini ke dalam bahasa Indonesia
menjadi „Peternakan Binatang‟. Hasil terjemahan dari novel Animal Farm yang
diterjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia menjadi „Peternakan Binatang‟ oleh
Mahbud Djunaidi ini layak diteliti sebagai objek kajian dari sudut kajian
terjemahan sebagai produk. Penelitian mencakup variasi padanan makna budaya
(cultural words), tipologi padanan dari terjemahan yang dilakukan oleh Mahbud
Djunaidi, strategi yang digunakannya, pergeseran (semantik dan atau sintaksis)
yang terjadi dalam

menyepadankan makna budaya, dan kemungkinan faktor

penyebab pergeseran yang terjadi diangkat menjadi objek kajian terjemahan dalam
disertasi ini. Penerjemahan kata Animal menjadi Binatang, dan Farm menjadi
Peternakan dalam Animal Farm mungkin bukanlah tanpa alasan. Mengapa
Mahbud Djunaidi memilih kata binatang bukan hewan, peternakan bukan kebun?
Mengapa bukan Kebun Binatang atau Peternakan Hewan? Pilihan kata ini
menggambarkan bahwa menerjemahkan bukanlah hal yang mudah. Penerjemah
sering dihadapkan dengan pilihan beberapa kata dan ungkapan yang satu dengan
yang lainnya mungkin bersinonim, tetapi yang manakah dari pilihan yang tersedia
yang sepadan dan mampu mengungkapkan makna dan pesan (informasi) yang
terdapat dalam bahasa sumber ke dalam bahasa target. Disini penerjemah dituntut
tidak saja memiliki, kompetensi dalam dua bahasa (bilingual competence), tetapi
juga dua budaya (bicultural competence) atau lintas budaya (cross-cultural
competence). Asumsi mengapa Animal Farm diterjemahkan menjadi „Peternakan
Binatang‟ bukan „Kebun Binatang‟ atau „Peternakan Hewan‟ adalah Mahbud
Djunaidi ingin menunjukkan idiologi komunisme yang kejam, kasar, tak bermoral
atau bermoral seperti binatang yang direpresentasikan, dan juga idiologi

10
Universitas Sumatera Utara

penerjemahan

kelokalan

(domestication).

Kata

peternakan

binatang

menggambarkan tempat memeliharaan dan membiakan berbagai binatang untuk
disembelih. Sementara kata kebun binatang menggambarkan tempat memelihara
berbagai binatang untuk perlindungan, pembiakan, penelitian, dan sebagai tempat
rekreasi. Dalam budaya bahasa target ketika seseorang sangat marah kepada
seseorang lainnya yang menjadi lawan bicaranya, kata kasar yang diujarkannya
adalah Dasar Binatang atau Binatang. Dalam hal idiologi penerjemahan, Mahbud
Djunaidi menggunakan idiologi penerjemahan kelokalan (domestication) karena
dia mampu menerjemahkan tidak saja dari sudut kebahasaan, yakni pilihan kata
yang tepat, tetapi juga mampu mengungkapkan nilai budaya yang terkandung di
dalamnya ke dalam bahasa target.
Kata-kata yang berhubungan dengan flora, fauna, dan artefak ini dalam
penerjemahannya ke dalam bahasa Indonesia direpresentasikan dalam berbagai
bentuk padanan. Satu kata disepadankan dengan lebih dari satu bentuk padanan.
Satu kata disepadankan dengan sebuah frasa dan klausa. Variasi padanan yang
terjadi tidak terlepas dari peran penerjemah dengan kompetensi yang diimilikinya.
Mahbud Djunadi sebagai penerjemah novel Animal Farm dengan latar
belakangnya tidak saja dikenal sebagai penerjemah dalam karya sastra, tetapi juga
sebagai politikus, jurnalis (wartawan), dan

sastrawan. Kompetensi yang

dimilikinya sebagai penerjemah karya sastra mungkin tidak disangsikan lagi
karena karya terjemahan Peternakan Binatang bukanlah satu-satunya karya
terjemahannya. Sebelumnya dia menerjemahkan beberapa novel ke dalam bahasa
Indonesia. Sebagai sastrawan, walaupun tidak banyak karya sastra yang ditulisnya,
tetapi karyanya memiliki kekhasan. Kekhasan yang dimilikinya ini tergambar

11
Universitas Sumatera Utara

dalam novelnya yang berjudul „Dari Hari ke Hari‟ tahun 1975 dan „Angin Musim‟
tahun 1985 yang merupakan novel satir dengan tokoh utamanya adalah binatang.
Mungkin Mahbud Djunaidi terinspirasi dengan Animal Farm karya George Orwell
yang juga novel satir dengan tokoh binatang.
Dengan pengalaman dan latar belakang yang dimilikinya, karya
terjemahannya yang berjudul „Peternakan Binatang‟ menarik dan layak untuk
dikaji dari sudut kajian terjemahanan sebagai produk. Dari sudut pandang kajian
terjemahan yang dilakukan oleh Mahbud Djunaidi dalam Peternakan Binatang,
dia tidak sebatas menyampaikan pesan melalui penerjemahan kata atau ungkapan
bermakna referensial (konseptual) saja, tetapi juga melalui gaya penulisannya yang
mampu membangkitkan dampak tertentu kepada pembacanya. Penelitian ini
mengkaji terjemahan sebagai produk tidak dari sudut stilistik penerjemahan, tetapi
dari sudut referensial yang menganalisis bagaimana

representasi terjemahan

makna budaya dalam Animal Farm disepadankan dalam „Peternakan Binatang‟.
Setiap kelompok etnis mempunyai unsur kebudayaan yang sama disebut
oleh

Koentjaraningrat

(1990:203)

sebagai

kebudayaan

universal

yang

memungkinkan unsur-unsur yang bersifat universal terdapat dalam setiap
kelompok etnis ada dan bisa didapat di dalam semua kebudayaan dari semua
bangsa di dunia. Tidak saja yang bersifat universal, setiap kelompok etnis
memiliki unsur-unsur kebudayaan spesifik yang masing-masing berbeda satu
dengan lainnya. Dengan keuniversalan dan kespesikan unsur-unsur kebudayaan
ini, mungkin terdapat referensi atau konsepsi unsur-unsur makna budaya dari
unsur-unsur kebudayaan setiap etnis yang mungkin sama dan

berbeda. Jika

terdapat unsur-unsur kebudayaan yang sama dengan konsepsi yang sama,

12
Universitas Sumatera Utara

penerjemahan terhadap unsur-unsur kebudayaan ini mungkin tidak menjadi
masalah. Dengan kata lain, penerjemah dengan kompetensi yang dimilikinya
mampu menerjemahkan unsur-unsur kebudayaan ini ke dalam bahasa target relatif
lebih mudah. Namun demikian, jika terdapat unsur-unsur kebudayaan yang
berbeda, penerjemahan unsur-unsur kebudayaan ini relatif lebih sulit. Dengan kata
lain, penerjemah harus mempertimbang hal-hal tertentu berdasarkan prinsipprinsip dalam kajian terjemahan sebelum dia memutuskan

pilihan kata atau

ungkapan padanan yang dianggapnya sesuai.
Dalam konteks terjemahan novel Animal Farm yang berlatar belakang
budaya Inggris yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia „Peternakan
Binatang‟ oleh Mahbud Djunaidi, mungkin saja

ditemukan unsur-unsur

kebudayaan yang sama dan unsur-unsur kebudayaan yang berbeda. Seberapa jauh
Mahbud Djunaidi mampu menyepadankan makna budaya yang mencakup unsurunsur kebudayaan yang sama dan atau berbeda yang terdapat budaya Inggris
(Animal Farm) ke dalam „Peternakan Binatang‟ menjadi menarik untuk dikaji dari
sudut kajian terjemahan sebagai produk. Inilah yang menjadi alasan utama
mengapa karya terjemahan Mahbud Djunaidi „Petrnakan Binatang‟ diangkat
menjadi objek penelitian ini. Mungkin saja padanan makna budaya dari unsurunsur kebudayaan yang terdapat dalam novel sumber Animal Farm dan novel
terjemahannya „Peternakan Binatang‟ bersinonim dan bervariasi.Variasi padanan
menyebabkan tipologi padanan yang bervariasi pula. Tipologi padanan yang
bervariasi ini tidak terlepas dari strategi penerjemahan yang digunakan. Banyak
strategi penerjemahan yang dapat diaplikasikan. Dari sekian banyak strategi
penerjemahan, strategi penerjemahan

apa saja yang diaplikasikan untuk

13
Universitas Sumatera Utara

mendapatkan tipologi padanan ini. Dalam usahanya untuk mendapatkan tipologi
padanan yang ideal, penerjemah diharuskan melakukan modifikasi yang dalam
kajian terjemahan disebut dengan pergeseran (shift). Pergeseran ini mungkin tidak
sebatas pada tataran sintaksis, tetapi juga pada tataran semantik. Dalam usahanya
melakukan pergeseran untuk mencapai padanan yang ideal, ada faktor potensial
yang menyebabkan pergeseran; faktor potensial apa yang menyebabkan
pergeseran. Hal-hal di atas yang melatarbelakangi mengapa karya terjemahan
Mahbud Djunaidi berjudul „Peternakan Binatang‟ diangkat

menjadi objek

penelitian dalam disertasi ini. Oleh karena itu, beberapa masalah penelitian yang
berhubungan dengan objek kajian diformulasikan dalam masalah penelitian
sebagai berikut.
1.2

Masalah Penelitian
Berkaitan dengan latar belakang di atas, masalah dalam penelitian ini

dirumuskan sebagai berikut:
1.

Bagaimanakah variasi padanan kategori makna budaya Inggris dalam
Animal Farm karya George Orwell diterjemahkan oleh Mahbud
Djunaidi dalam „Peternakan Binatang‟?

2.

Bagaimanakah tipologi padanan terjemahan kategori makna budaya
Inggris dalam Animal Farm karya George Orwell diterjemahkan oleh
Mahbud Djunaidi dalam „Peternakan Binatang‟?

3.

Strategi penerjemahan apa sajakah yang digunakan oleh Mahbud
Djunaidi dalam menerjemahkan makna budaya dimaksud?

14
Universitas Sumatera Utara

4.

Secara sintaksis dan semantik bagaimanakah pergeseran makna budaya
Inggris yang terjadi dalam Animal Farm karya George Orwell
diterjemahkan oleh Mahbud Djunaidi dalam „Peternakan Binatang‟?

5.

Apa faktor-faktor yang menyebabkan pergeseran makna budaya dalam
penerjemahan novel Animal Farm?

6.

Bagaimana sifat pergeseran dalam penerjemahan novel Animal Farm?

1.3

Tujuan Penelitian
Berkaitan dengan masalah penelitian di atas, tujuan penelitian ini adalah

sebagai berikut:
1.

Mengidentifikasi variasi padanan makna budaya Inggris dalam Animal
Farm karya George Orwell diterjemahkan oleh Mahbud Djunaidi dalam
„Peternakan Binatang‟.

2.

Mengungkapkan tipologi padanan terjemahan makna budaya Inggris
yang dilakukan oleh Mahbud Djunaidi dalam menerjemahkan Animal
Farm karya George Orwell ke dalam „Peternakan Binatang‟.

3.

Mengungkapkan strategi penerjemahan yang dilakukan oleh Mahmud
Djunaidi dalam menerjemahkan makna budaya Inggris dalam Animal
Farm karya George Orwell,

4.

Mengungkapkan

pergeseran (shifts) yang terjadi dilakukan dalam

menerjemahkan makna budaya Inggris dalam Animal Farm karya
George Orwell
5.

Mengungkapkan faktor-faktor apa yang menyebabkan terjadinya
pergeseran (shift) makna budaya dalam terjemahan novel Animal Farm.

6.

Mengungkapkan sifat pergeseran penerjemahan novel Animal Farm?

15
Universitas Sumatera Utara

1.4

Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini meliputi variasi padanan terjemahan makna

budaya, tipologi padanan, strategi yang digunakan oleh penerjemah, pergeseran
yang dilakukan penerjemah, dan faktor-faktor potensial yang menyebabkan
terjadinya pergeseran dalam menerjemahkan Animal Farm ke dalam bahasa
Indonesia.
1.5

Manfaat Penelitian
Secara teoretis ada tiga kemungkinan manfaat yang dapat diberikan oleh

hasil sebuah penelitian, yaitu menemukan konsep dan teori baru, menguatkan teori
yang sudah ada sebelumnya atau menyangkal teori yang sudah ada sebelumnya.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat terhadap konsep dan
teori terjemahan, yakni menguatkan konsep dan teori terjemahan yang sudah ada.
Secara praktis hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai model atau referensi
dalam pelatihan penerjemahan, khususnya penerjemahan teks yang berkonteks
atau bermuatan budaya.

1.6

Klarifikasi Makna Istilah
Untuk menghindari terjadinya kesalahpahaman tentang makna istilah-

istilah yang dipakai dalam disertasi ini, makna istilah-istilah dimaksud perlu
diklarifikasi.
1)

Bahasa sumber adalah bahasa yang digunakan dalam teks sumber.
Dalam hal ini adalah bahasa Inggris.

2)

Bahasa target adalah bahasa yang digunakan dalam teks target. Dalam
hal ini adalah bahasa Indonesia.

16
Universitas Sumatera Utara

3)

Ciri semantik adalah unsur yang mendefinisikan (membedakan atau
menyepadankan) makna kata atau ungkapan.

4)

Makna

budaya

adalah

makna

yang

mengandung

unsur-unsur

(ke)budaya(an).
5)

Padanan adalah kata, frasa atau unsur lain yang dalam teks target yang
maknanya setara dengan makna kata, frasa atau unsur lain dalam teks
sumber.

6)

Penerjemah adalah orang atau badan yang melakukan penerjemahan
Terjemahan adalah hasil atau produk penerjemahan (teks yang
merupakan hasil penerjemahan).

7)

Penerjemahan adalah proses atau pekerjaan pengalihan makna teks
sumber ke dalam teks target oleh penerjemah.

8)

Pergeseran adalah perubahan yang dilakukan penerjemah baik secara
sintaksis maupun semantis untuk mendapatkan padanan yang paling
mendekati dalam menerjemahkan makna bahasa sumber ke dalam
bahasa target.

9)

Strategi adalah adalah teknik

dalam proses pengambilan keputusan

yang dilakukan oleh penerjemah untuk mendapatkan padanan yang
paling mendekati dalam menerjemahkan makna bahasa sumber ke
dalam bahasa target.
10) Teks sumber adalah teks yang menjadi sumber penerjemahan. Dalam
hal ini teks sumber adalah novel Animal Farm karya George Orwell.
11) Teks target adalah teks yang menjadi target atau tujuan penerjemahan.
Dalam hal ini teks target adalah terjemahan novel Animal Farm yang

17
Universitas Sumatera Utara

diterjemahkan oleh Mahbud Djunaidi ke dalam bahasa Indonesia
menjadi „Peternakan Binatang‟.
12) Tipologi adalah karakteristik satu bahasa dengan bahasa lainnya. Dalam
hal ini adalah antara bahasa Inggris dan bahasa Indonesia.
13) Tipologi padanan adalah kesamaan padanan yang disebabkan oleh
karakteristik satu bahasa dengan bahasa lainnya.

18
Universitas Sumatera Utara