HAMA DALAM INDUSTRI PARIWISATA pengelilaan

HAMA DALAM INDUSTRI PARIWISATA
Oleh Pertampilan S. Brahmana
1. Pendahuluan
Pada era otonomi daerah dan mabuk pemekaran wilayah
saat ini, banyak “provokator pemekaran” bermimpi membangun
wilayahnya, untuk mensejahterakan rakyatnya berharap kepada
industri pariwisata. Salah satu contoh adalah gagasan
pembentukan pemko Brastagi dengan PAD-nya diharapkan
bertumpu kepada pariwisata. Brastagi ini adalah bagian dari daerah
tingkat II Kabupaten Karo di Sumatera Utara. Kota Brastagi adalah
daerah andalan pariwisata Kabupaten Karo.
Tujuan pembentukan Kota Brastagi adalah untuk
mendongkrak perekonomian masyarakat serta meningkatkan
pembangunan di kota wisata Brastagi. Para “provokator
pemekaran” meyakini, bila Pemko Brastagi terbentuk dipastikannya
sektor pariwisata dapat dibenahi guna peningkatan devisa serta
mengangkat perekonomian rakyat, khususnya rakyat di (calon)
Pemko Brastagi. Tampaknya para elit penggagas pemekaran
Kabupaten Karo ini mengharapkan industri pariwisatalah akan
menjadi tulang punggung Pemko Brastagi ini.
Devisa yang dihasilkan dari industri ini memang

menggiurkan. Apalagi industri pariwisata di dunia ini tidak akan
pernah mengenal resesi ekonomi. Boleh saja Negara Amerika
terkena resesi ekonomi, akan tetapi pengaruhnya kepada industri
pariwisata dunia sangat kecil. Masih ada turis dari negara lain
seperti Australia, Jepang, China siap berkunjung ke daerah wisata
yang ada termasuk ke Amerika sendiri.
2. Dampak Positip Industri Pariwisata
Bagaimana dampak indutsri pariwisata? Dampaknya
terhadap ekonomi dua kategori yaitu dampak langsung dan
dampak tidak langsung.
Dampak langsung berasal dari uang yang dibelanjakan para
wisatawan di tempat tujuan wisata. Ketika seorang wisatawan
membayar sebuah hotel 150 dollar untuk tiga malam, 150 dollar
tersebut mempunyai akibat ekonomi langsung. Sedangkan
pengaruh tidak langsung terjadi sebagai akibat uang yang 150
dollar, pemilik Hotel mungkin menggunakannya untuk membeli
makanan di restoran, membayar upah karyawan Hotel, .membayar
pemasok bahan makanan yang akan membayar petani dan
seterusnya.


Kemudian pariwisata juga menyumbang pengumpulan mata
uang asing (devisa), meningkatkan pendapatan dan kesempatan
kerja, dapat meningkatkan struktur perekonomian, dan mendorong
perkembangan usaha kecil. Pengaruh ekonomi pariwisata terhadap
sebuah komunitas, ditandai dengan beberapa ciri yang berbeda
antara lain, pertama, produk pariwisata tidak dapat disimpan;
kedua, permintaannya sangat tergantung pada musim. Ini berarti
pada bulan-bulan tertentu ada aktivitas yang tinggi dan pada bulanbulan tertentu lainnya hanya ada sedikit kegiatan secara bisnis.
Kelincahan dalam berusaha harus dilakukan agar pendapatan
selama musim kedatangan wisatawan bisa menjadi penyeimbang
bagi musim sepi wisatawan. Dampak yang berantai ini, menurut
Widibyo (Suara Pembaruan 30 April 2002), membuat Pemerintah
Malaysia dan Thailand, sadar benar bahwa industri pariwisata
adalah urat nadi ekonomi kerakyatan, yang mampu menampung
pada jutaan usaha kecil dan menengah. Kini kedua negara tersebut
sangat serius membangun industri pariwisata mereka. Malaysia
melalui rencana pembangunan Eigth Malaysia Plan (2001-2008)
bertekad menjadikan negerinya sebagai tourism country. Tahun ini
(2002) Negeri Jiran itu menargetkan kunjungan 15 juta turis asing
(dengan target devisa US$10 miliar) atau meningkat 25% dari

tahun sebelumnya yang tercatat 12 juta orang dengan devisa US$9
miliar. Sedangkan Thailand, dengan slogan Be My Guest,
menargetkan kunjungan 12 juta turis asing (target devisa US$8
miliar) atau meningkat 14% dari tahun lalu yang 10,5 juta orang
dengan devisa US$7,9 miliar.
Masyarakat kedua negara itu sangat menyadari benar
bahwa industri pariwisata telah menjadi urat nadi bagi kehidupan
dan kelangsungan usaha rakyat mereka. Karena itu kesadaran
kolektif tentang arti penting industri pariwisata bagi ekonomi
kerakyatan benar-benar telah tercipta di kedua negara tersebut.
Di Indonesia, peranan industri pariwisata bagi ekonomi
kerakyatan yang berbasis pada UKM juga sangat besar. Data
Kantor Menteri Negara Kebudayaan dan Pariwisata (Menneg
Budpar, 2000), memperlihatkan, sektor usaha termasuk sektor
UKM yang terkait langsung dalam bisnis pariwisata cukup banyak.
Tenaga kerja yang terserap ke dalamnya cukup besar, mencapai
2.781.891 orang. Rinciannya: sektor jasa (transportasi dan jasa
lainnya) tercatat 1.288.024 orang, perdagangan (901.023 orang),
usaha sayuran dan buah-buahan (184.644 orang), usaha hasil
pertanian (127.063 orang), usaha makanan (108.143 orang),

industri tekstil, pakaian dan kulit (88.604 orang), serta industri
kerajinan bambu, kayu, rotan dan kerajinan lainnya tercatat 84.390
orang. Jika setiap pekerja menanggung tiga orang, maka tercatat
sebanyak 8.345.673 orang sangat bergantung pada industri
pariwisata ini. Hidup matinya UKM di pusat-pusat industri kerajinan
di Provinsi Bali seperti Dusun Celuk (kerajinan perak), Ubud

(kerajinan tangan dan seni lukis), dan Dusun Dawam (kerajinan
kayu) misalnya, sangat tergantung pada industri pariwisata. Ketika
kunjungan wisman (wisatawan mancanegara) atau turis asing
"terganggu", industri kerajinan di dusun-dusun tersebut terpukul
hebat. Tahun lalu (2001), jumlah wisman yang berkunjung ke Pulau
Dewata tersebut tercatat hanya 1.355.282 orang atau menurun
4,07% (57.557 orang) dari 1.412.839 orang tahun 2000. Turunnya
kunjungan wisman ini berujung pada merosotnya penukaran mata
uang asing sebesar US$24.200 yaitu menjadi hanya
US$77.660.000 (2001) dari angka tahun sebelumnya (2000) yang
US$102.476.000. Akibatnya, omset UKM pada pusat-pusat industri
kerajinan tersebut menurun drastis bahkan di antaranya gulung
tikar. Nasib UKM di Jakarta yang mengandalkan pada industri

pariwisata seperti usaha transportasi, ritel, restoran, suvenir dan
entertainment juga terpukul hebat akibat kunjungan wisata yang
ditargetkan 1,2 juta orang hanya terealisasi 1,1 juta orang. Padahal,
UKM di Jakarta tersebut menyerap 300.000 pekerja. Ini belum
termasuk pekerja di sektor informal yang terkait dengan bisnis
pariwisata seperti pedagang kaki lima (PKL), juru parkir, dan lainlain yang jumlahnya mencapai angka 10.000 orang (Widibyo).
Pariwisata juga berperan sebagai penyumbang GNP pada
sebuah negara. Sumbangan ini berbentuk uang yang dibelanjakan
para wisatawan dikurangi pembelian yang dilakukan oleh sektor
pariwisata untuk melayani wisatawan tersebut. Pada banyak
negara persentase sumbangan pendapatan dari wisatawan
internasional terhadap GNP cukup rendah - berkisar antara 0.3
sampai 7 persen. Sementara sumbangan dari wisatawan domestik
cukup bermakna karena pariwisata dalam negeri biasanya lebih
ekstensif dibandingkan pariwisata internasional.
Sektor-sektor ekonomi tertentu memang mengambil
keuntungan dari pariwisata lebih besar dibandingkan dengan yang
lainnya. Industri yang lebih dulu menerima secara langsung
pengeluaran yang dikeluarkan para wisatawan adalah industri
makanan dan minuman, penginapan, transportasi, dan penjualan

barang eceran. Industri selanjutnya adalah real-estate, perawatan
mobil, dan perbaikan serta pengangkutan barang.
Pendapatan Pemerintah yang berasal dari sektor pariwisata
masuk dan menambah pendapatan pemerintah bersumber dari
pajak langsung yang dikenakan kepada para karyawan serta pajak
langsung atas pembelian barang dan jasa; dari pajak tidak
langsung adalah seperti pembayaran bea dan cukai; dan dari
pendapatan yang dihasilkan oleh bisnis milik pemerintah sendiri.
Dampak lain dari industri pariwisata adalah banyak tenaga
kerja yang diserap dalam industri pariwisata ini, baik itu penyerapan
secara langsung maupun secara tidak langsung. Mereka yang

terlibat secara langsung adalah mereka yang bekerja di sektor
perhotelan, seperti karyawan hotel, pemandu turis dan sebagainya.
Sedangkan mereka yang secara tidak langsung adalah para petani
yang mensuplai kebutuhan hotel, para supir taksi yang tidak terkait
dengan hotel. Lowongan pekerjaan yang terbuka akibat dari
adanya arus kunjungan wisata, baik oleh wisatawan asing maupun
wisatawan dalam negeri yang melakukan perjalanan dari satu
tempat ke suatu tempat.

Pekerjaan langsung adalah pekerjaan yang secara langsung
diakibatkan oleh pengeluaran wisatawan, sedangkan pekerjaan
tidak langsung diakibatkan oleh pekerjaan yang muncul akibat
pengeluaran wisatawan tersebut.
Yang
patut
dicatat
bahwa
kegiatan
wisawatan
mempengaruhi jenis dan jumlah pekerjaan yang bisa ditingkatkan.
Fasilitas akomodasi, sebagai contohnya, cenderung lebih padat
karya dibandingkan dengan sektor lainnya. Fasilitas akomodasi
juga membutuhkan modal yang tinggi; sejumlah besar modal
dibutuhkan agar bisa menciptakan lapangan pekerjaan baru.
Selanjutnya adalah kebutuhan jenis tenaga trampil yang
tersedia mempengaruhi peningkatan pekerjaan. Kebanyakan
pekerjaan dalam bidang pariwisata membutuhkan sedikit
ketrampilan. Jumlah posisi manajerial yang tersedia relatif sedikit.
Industri pariwisata juga sangat tergantung pada wanita. Jadi,

permintaan yang sangat besar akan tenaga yang kurang trampil
seringkali jatuh pada wanita.
Banyak usaha pariwisata berskala kecil yang dimiliki oleh
keluarga. Usaha seperti ini dapat berupa perusahaan taksi, toko
cinderamata, atau rumah makan kecil. Perluasan kepemilikan
langsung
hotel
dan
perusahaan
transportasi
dapat
mengembangkan mata rantai ke sektor ekonomi yang lain yang
akan menentukan seberapa banyak pekerjaan dan pendapatan
dapat ditingkatkan dari sektor pariwisata.
Pariwisata mampu merubah struktur perekonomian sebuah
kawasan tujuan wisata. Perubahan utama yang terjadi ketika
pariwisata dikembangkan adalah perubahan pola pekerjaan bagi
penduduk
pedesaan.
Ada

kecenderungan
para
petani
meninggalkan tanah mereka untuk mengejar pekerjaan yang lebih
baik dalam bidang pariwisata. Hal ini bisa menyebabkan lahan di
pedesaan terlantar. Perubahan peruntukan lahan juga merupakan
gejala yang biasa terjadi. Seringkali kawasan yang kurang
berkembang hanya mempunyai dua pilihan untuk membangun
perekonomiannya - pertanian atau pariwisata. Bila pariwisata
berkembang, persaingan di kawasan tersebut muncul. Harga tanah
naik; orang-orang menjual tanahnya. Meskipun keuntungannya

banyak, adalah tetap sulit bagi penduduk lokal membeli sebidang
tanah untuk mereka sendiri.
Di lain pihak, pariwisata dapat mengubah jumlah penduduk
yang sedikit di kawasan pedesaan, menjadi banyak. Semua ini
bergantung
maju
mundurnya
industri

pariwisata
yang
dikembangkan. Semakin berkembang industri pariwisata di suatu
daerah, maka akan semakin banyak orang datang untuk mencari
pekerjaan, maka otomatis jumlah penduduk daerah tersebut akan
semakin bertambah.
Memang menggiurkan perhitungan seperti tersebut di atas,.
Namun semua tersebut dapat ambruk seketika ketika hama
pariwisata beraksi.
Industri Pariwisata memang menggiurkan. Dunia industri ini,
tidak mengenal resesi ekonomi. Peranan industri pariwisata dalam
pembangunan memang tidak diragukan lagi.
3. Hama Di Dalam Industri Pariwisata
Industri pariwisata bukan tanpa hama. Modal besar yang
dianggarkan untuk membangun citra pariwisata agar positip, dapat
dengan sekejap “lenyap”, bila hama tersebut datang menyerang.
Bukan saja pemilik modal besar yang merasakan dampaknya,
tetapi juga masyarakat kecil yang sudah bergantung kepada
kedatangan wisatawan, merasakan hal yang lebih sulit.
Hama dalam industri pariwisata ini bersifat eksternal dan

internal. Hama yang bersifat internal adalah layanan wisata yang
jelek, atau keamanan pribadi wisatawan terganggu. Sedangkan
hama yang bersifat eksternal adalah kasus teror dan penyakit
menular seperti SARS, dan Flu Burung.
Uraian berikut ini hanya membicarakan hama eksternal dari
industri pariwisata tersebut yaitu teorisme, dan penyakit menular,
3.1 Terorisme
Salah satu contoh terorisme tersebut adalah kasus Bom Bali
I dan II. Kasus Bom Bali I, benar-benar merusakan wajah
pariwisata Indonesia pada tahun 2003.
Bila pada kerusuhan Jakarta pada bulan Mei tahun 1998
yang lalu, dunia Industri wisata di Bali memberikan kontribusi yang
positip bagi Industri wisata Bali dan bisnis perumahan yang
mengalami booming, namun sejak kasus Bom Bali I kondisi yang
terjadi adalah sebaliknya, ambruk di dalam ambruk dalam ketidak
mengertian.

Kontribusi positip kerusuhan di Jakarta tahun 1998 kepada
industri wisata di Bali, karena banyak kelas menengah terutama
yang berasal dari etnis Cina, dari kota besar luar Bali selain
menghindar ke Batam, Malaysia, Singapura maupun ke Hongkong,
juga banyak yang ke Bali. Pulau Bali mendapat keuntungan tidak
sengaja dengan adanya kerusuhan seperti tahun 1998 yang lalu.
Pada masa ini banyak rumah kontrakan untuk kelas menengah ke
atas laku keras. Artinya kalau di luar Bali, perusahan real estate,
mengalami kerugian besar, di Bali real estate mengalami booming.
Ini semua dapat terjadi karena untuk ukuran Indonesia, Bali adalah
daerah yang paling aman.
Namun terjadinya Bom Bali I, keutungan yang diperoleh
akibat kerusuhan Mei 1998, tidak terjadi. Justru yang terjadi
sebaliknya, ambruk.
Sebelum terjadi Bom Bali I, kedatangan rata-rata turis asing
ke Bali sekitar 5.000 orang per hari. Tetapi setelah diserang oleh
teroris, angka kedatangan jatuh menjadi rata-rata 1.335 per hari di
bulan Oktober 2002. Bahkan, pada bulan tersebut angka
kedatangan turis sempat mencapai titik terendah, yaitu sekitar 768
orang. Itupun didominasi oleh wartawan dan staf perwakilan
negara-negara asing. Kemudian turun lebih tajam lagi pada bulan
November, dimana kedatangan turis rata-rata per bulan hanya
sebanyak 1.080 per hari. Barulah memasuki tahun 2003 kunjungan
wisatawan asing menunjukan peningkatan. Pada bulan Januari
rata-rata 1.962 per hari, 2.409 per hari pada Februari, hingga bulan
Maret 2003 mencapai 2.386 per hari (Kompas).
Kondisi ini, arus kunjungan wisatawan yang menurun ini
jelas mempengaruhi banyak bidang kehidupan masyarakat di Bali.
Menurunnya arus kunjungan wisatawan ini, berbagai bisnis yang
terkait dengan industri wisata seperti transportasi, perhotelan,
makanan, cenderamata, serta sektor pertanian dan lain yang
terkait, ikut merasakan dampaknya. Tenaga kerja non-Bali yang
selama ini ikut menggerakan roda pariwisata Bali, banyak yang
kembali ke daerahnya karena tidak ada lagi pekerjaan yang dapat
dilakukan.
Kemudian beberapa negara maju seperti Jepang, Australia,
Amerika, Inggris, Jerman dan Belanda, selalu memperingatkan
warganya ketika keamanan di Indonesia tidak dapat mereka
prediksikan, menghimbau agar tidak berkunjung ke Indonesia.
3.2 Penyakit Menular (SARS, Flu Burung)
Hama berikutnya adalah penyakit menular seperti wabah
SARS atau Flu Burung. Isu wabah SARS (Severe Acute

Resipiratory Syndrome) pada tahun 2003 yang lalu telah merusak
sektor pariwisata Singapura, dengan kedatangan kunjungan
wisatawan turun hampir 70 persen menjelang April 2003 (Harian
SIB, 06/05/2003).
Di Indonesia, akibat SARS ini pada tahun yang sama,
ternyata juga mempengaruhi tingkat hunian hotel hingga 30 persen
(Harian Fajar). Estimasi penurunan tingkat hunian hotel tersebut
dikemukakan Ketua DPP Perhimpunan Hotel dan restoran
Indonesia (PHRI), Yanti Sukandani Haryoprakoso di sela-sela
acara rapat kerja daerah (rekerda) BPD PHRI Sulsel di Hotel Sahid
Jaya Makassar, Rabu (9/42003). Daerah yang paling tinggi tingkat
penurunan huniannya adalah daerah Batam. Arus kunjungan
wisatawan ke obyek wisata Lagoi Pulau Bintan, Kepulauan Riau
(Kepri) turun hingga 40 persen. "Serangan SARS memberikan
dampak yang lebih buruk dari kasus Bom Bali atau peledakan di
WTC Amerika Serikat dan perang Irak. Jadi ini lebih berbahaya dan
sangat luas dampaknya," ungkap Yamin Hidayat manajer kawasan
industri Bintan (Kompas, 28 April 2003).
Sedangkan untuk Pulau Jawa, termasuk Jakarta, Surabaya,
Yogyakarta, Bandung, dan seluruh daerah atau kota provinsi di
seluruh Indonesia hanya mengalami penurunan sekitar 15 sampai
20 persen. "Ini sangat memperihatinkan, industri pariwisata sangat
terpukul dengan adanya wabah SARS," kata Yanti.
4. Penutup
Membangun industri pariwisata di Indonesia tanpa
memperhitungkan hama eksternal yang ada di dalam dunia
pariwisata ini, sama saja dengan membuat bom waktu bagi
masyarakat lokal yang sudah maksimal terlibat membangun dunia
pariwisata tersebut. Pertarungan ideologi yang masih terjadi di
dalam masyarakat Indonesia dapat membuat bangsa ini jalan di
tempat. Kasus RUU pendidikan Nasional, kasus RUU APP, kasus
Tibo, dkk, riak-riak yang terjadi dalam bentuk pro dan kontra semua
berdimensi ideologis tertentu.
Perhitungan-perhitungan
ekonomi,
pendapatan
dan
lapangan kerja yang tercipta dari dunia industri pariwisata di atas,
dapat terhenti seketika, ketika hama pariwisata meluas.
Bercermin dari dampak Bom Bali I, kiranya menjadi
pelajaran kepada pihak-pihak yang ingin mengembangkan industri
pariwisata di wilayahnya, khususnya bila ingin melibatkan
masyarakat lokal secara maksimal. Peringatan ini disampaikan
mengingat citra keamanan di Indonesia, belum begitu meyakinkan.
Masih ada kelompok-kelompok dalam masyarakat Indonesia yang
cara berpikirnya tidak rasional, egois dan hanya mementingkan

kelompoknya saja. Contoh dalam hal ini adalah bila kita berpikir
secara sektarian, nama Imam Samudra, Amrozi, Muklas, Ali Gufron
dan kawan-kawan (pelaku Bom Bali I), semua berasal dari Jawa.
Imam Samudra dari Serang Banten, Amrozi, Muklas dari Tenggulun
Jawa Timur.
Industri pariwisata Bali ambruk di tangan mereka (Bom Bali
I). Ambruknya Industri pariwisata Bali ini, bukan hanya
menghancurkan masyarakat lokal (masyarakat Bali), tetapi secara
tidak langsung juga menghancurkan masyarakat pendatang yang
secara umum masyarakat pendatang di Bali paling banyak datang
dari pulau Jawa untuk mencari penghidupan yang lebih baik.
Para pendatang ini turut mengerakkan industri pariwisata
Bali dalam berbagai sektor, mulai sektor formal, dan informal
seperti pedagang bakso, pedagang nasi goreng, sampai mereka
yang menjadi pemandu turis, supir travel dan lainnya. Akibat Bom
Bali I, arus kunjungan wisatawan asing ke Bali menurun. Akibatnya
banyak dari para pendatang ini terpaksa pulang ke daerahnya
masing-masing (pulang ke Jawa), atau pindah ke daerah lain,
karena pekerjaan yang dilakoninya hilang seiring dengan
berkurangnya arus kunjungan wisatawan asing. Maka banyak
usaha pariwisata berskala kecil yang dimiliki oleh keluarga
perusahaan taksi, toko cinderamata, atau rumah makan kecil,
gulung tikar (bangkrut). Dalam pengertian sektarian seperti ini Iman
Samudra, Amrozi, Muklas, Ali Gufron dan kawan-kawan yang
semua dari Jawa, ternyata juga ikut menghancurkan harapan
saudara-saudaranya yang seetnis, seagama yang mencari
penghidupan yang lebih layak di Bali. Betapa absurdnya jalan
pikiran seperti ini.
Pernyataan teman-teman dari Bali pada tahun 2003, ketika
penulis tanyakan komentarnya masalah Bom Bali I, mereka
mengatakan, “apa salah kami, maka kami dibom?, kami well come
kepada semua orang, mengapa kami yang di Bom” ujarnya.
Pengeboman atas Bali pada tahun 2001, sungguh absurd bagi
masyarakat Bali. Mereka tidak mengerti apa salah mereka seperti
yang dikemukakan teman di atas. Keabsurdpan ini, dilanjutkan
dengan Bom Bali II, 1 Oktober 2005.
Saya tidak tahu, bagaimana kondisi psikologis teman-teman
dari Bali, pasca Bom Bali II, sebab ketika Bom Bali II, saya sudah
menyeberang ke Sumatera. Keterbukaan masyarakat Bali yang
ditunjukkan dengan siap menerima dari berbagai etnis dan bangsa
untuk mencari penghidupan di sektor pariwisata ternyata
dihancurkan, dikotori oleh
kelompok-kelompok tertentu yang
berasal dari Jawa. Padahal di sektor pariwisata ini banyak saudarasaudaranya se-etnis seagama, mencari rejeki untuk meningkatkan
kesejahteraan hidupnya.

Berdasaran keabsurdpan di atas, saran kepada elit di suatu
wilayah, yang ingin mengembangkan sektor pariwisata di
wilayahnya menjadi sumber utama PAD-nya, hendaknya tidak
buru-buru mengalihkan masyarakat lokal secara maksimal
melibatkan diri secara total ke dalam industri pariwisata yang (akan)
di bangun. Atau tidak buru-buru bermimpi menjadikan sektor
pariwisata sebagai tambang devisa dan untuk menciptakan
lapangan kerja bagi masyarakatnya. Dalam tingkatan tertentu,
dalam kelompok tertentu masyarakat kita (Indonesia) ada yang
masih bertarung dengan ideologinya. Pertarungan ideologi ini dapat
membuat bangsa ini cenderung maju mundur dan dapat menyeret
bangsa ini untuk tidak sepakat dengan segala konsekwensinya
walaupun harus mengobrak-abrik keamanan yang sudah terbangun
dengan baik.
Tujuan himbauan ini untuk mengantisipasi dampak dari
lumpuhnya Industri Pariwisata akibat hama yang ada di dalam
dunia Industri Pariwisata itu sendiri. Industri Pariwisata adalah
industri citra, bila citranya rusak maka seketika dapat ambruk.
Industri Pariwisata yang sudah dibangun dengan bersusah payah
dengan dana yang besar di suatu daerah, menjadi mati suri. Untuk
memulihkan citra memerlukan waktu tersendiri pula. Sementara
mereka yang terlibat dalam industri pariwisata itu, perlu makan
setiap hari. Kondisi ini perlu diantisipasi para pengambil kebijakan
dalam suatu daerah.