PENGARUH COLLABORATIVE CONSUMPTION DI ER

PENGARUH COLLABORATIVE CONSUMPTION DI ERA TEKNOLOGI DIGITAL
DALAM PERTUMBUHAN EKONOMI WILAYAH: STUDI KASUS GO-JEK.
Fathi Almirhea
Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada
Email: almirhea@gmail.com

Abstract
This paper discusses about the economic growth caused by the collaborative consumption
represented by Gojek business in Yogyakarta and how far collaborative
consumption affects economic growth. Both are analyzed by literature review method from some
related literature. All statistical data are used in order to determine how far collaborative
consumption affects the economic growth. Collaborative consumption turns into new business
models as a result of internet development which is pretty massive in this late decade. The
development of the internet makes sharing activities can be done easily. The principle activities
that performed together in collaborative consumption could drive the community-based
economy. Using items which are rarely used might provide more income through
collaborative consumption
activities. Community
activities with
the
utilization of

used goods would affect the economic growth of region.
Keywords: collaborative consumption, economic growth, internet, Gojek

1. Pendahuluan
Beberapa tahun belakangan ini,
muncul berbagai fenomena “online” atau
segala sesuatunya selalu berkaitan dan
menggunakan kecanggihan internet. Internet
yang kini bersemayam di dalam berbagai
perangkat seperti smartphone, laptop, atau
PC sudah bukan lagi hal yang langka.
Hampir seluruh kegiatan masyarakat,
khususnya masyarakat perkotaan sangat
bergantung dengan
internet.
Internet
menyediakan berbagai hal yang dibutuhkan
manusia, kemudahan mengakses informasi,
keterbukaan informasi, efisiensi waktu dan
tenaga. Melalui internet, orang dapat dengan

mudah melakukan pekerjaannya, saling

berbagi informasi, dan lain sebagainya. Data
yang dilansir dari web Internet World
Statistics menyatakan jika per 30 Juni 2016
ada 3,611,375,813 jiwa yang menggunakan
internet dari 7,340,093,980 populasi manusia
di dunia. Artinya hampir setengah dari
populasi
manusia
di
dunia
telah
menggunakan internet. Pengguna internet
paling banyak berada di benua Asia, yakni
sebesar 1,792,163,654 jiwa.
Kegandrungan masyarakat terhadap
teknologi internet yang menyebabkan mereka
tidak bisa lepas dari perangkat gadget-nya
membuat era saat ini dinamai dengan era

digital. Lawrence J. Lau (2003), seorang
professor
dari
Standford
University

menyatakan bahwa era digital adalah era
yang mengacu pada kebebasan ruang serta
kemudahan akses dan berbagi informasi
secara elektronik kepada orang lain. Ruang
yang selama ini memiliki batas-batas
tertentu, kini sudah tidak ada lagi batasnya.
Manusia dapat berinteraksi dengan bebas
dimanapun dan kapanpun. Begitu juga
dengan keberadaan informasi yang dapat
diakses dari mana saja tanpa mengenal waktu
dan tempat.
Hilangnya
sekat
antar

ruang,
kebebasan akan akses informasi telah
menyebabkan pergeseran perilaku manusia
dalam berkegiatan, salah satunya dalam
kegiatan ekonomi dan bisnis. Kegiatan
ekonomi yang biasanya dilakukan dengan
saling bertatap muka, perlahan digantikan
dengan bertatap layar smartphone, tablet,
atau PC. Kegiatan bisnis pun saat ini banyak
menggunakan aplikasi berbasis internet.
Era digital telah merubah konsep
berbisnis secara konvensional dimana
seluruh aset harus milik pribadi, menjadi
sebuah bisnis kolaborasi antar masyarakat.
Bisnis dengan konsep kolaborasi tersebut
dinamakan
dengan
collaborative
consumption. Collaborative consumption
adalah sebuah model ekonomi atau bisnis

yang mendasarkan pada kegiatan berbagi,
sewa-menyewa, dan perdagangan secara
peer-to-peer sebuah produk atau jasa dengan
manfaat kepemilikan, namun sebenarnya
tidak memiliki (Botsman & Rogers, 2010).
Collaborative consumption lahir dari adanya
kemajuan teknologi internet dan platform
website. Dua hal tersebut menjadi faktor
yang
mempercepat
pertumbuhan
collaborative consumption (Karmann, 2013).

Collaborative
consumption
merupakan
platform
bisnis
yang
memanfaatkan internet sebagai media utama

dengan kepemilikan aset dari orang lain.
Beberapa perusahaan di beberapa negara
seperti Amerika sudah sejak lama
menggunakan
konsep
collaborative
consumption.
Perusahaan-perusahaan
tersebut antara lain Airbnb, Uber, Lyft, dan
masih banyak lagi (Burnett, 2014). Di
Indonesia, bisnis dengan cara berkolaborasi
ini mulai marak dilakukan, salah satu yang
paling menarik perhatian adalah Gojek.
Gojek didirikan pada tahun 2010, hingga saat
ini telah beroperasi diberbagai kota besar di
Inonesia. Yogyakarta menjadi satu dari
beberapa kota yang dimasuki oleh
perusahaan tersebut.
Gojek menangkap pangsa pasar di
Yogyakarta yang terdiri dari kalangan

pelajar, pekerja, dan juga wisatawan yang
tiap tahunnya selalu membanjiri Yogyakarta.
Tempo, salah satu media massa nasional
pernah mengulas alasan Gojek berani
mengekspansi pasar Yogyakarta. Yogyakarta
merupakan destinasi wisata kedua setelah
Bali, tiap tahunnya ada ratusan ribu orang
selalu memadati Yogyakarta. Tak hanya dari
segi wisatawan, Gojek juga menyasar pasar
anak-anak muda atau para pelajar yang
menimba ilmu di kota pelajar ini. Banyaknya
pelajar yang tidak memiliki kendaraan
bermotor untuk melakukan mobilitas,
dipandang sebagai sebuah kesempatan untuk
berekspansi.
Gojek yang merupakan salah satu
contoh
collaborative
consumption
sebenarnya membawa angin segar bagi

pengembangan usaha di Indonesia. Usaha di

Indonesia yang selama ini dilakukan dengan
cara individu atau aset usaha merupakan
milik pribadi, kini mulai berubah menjadi
usaha bersama dengan memanfaatkan
sumber daya yang kurang termanfaatkan.
Adanya Gojek sebagai suatu usaha
kolaboratif tentu memberikan perbedaan nilai
dalam pertumbuhan ekonomi, khususnya di
wilayah Gojek itu berada.

untuk
melihat
adakah
peningkatan
pertumbuhan ekonomi akibat collaborative
consumption. Lebih lanjut, data tersebut juga
digunakan untuk melihat sejauh mana Gojek
mempengaruhi perkembangan ekonomi suatu

wilayah, dalam kasus ini adalah Yogyakarta.

Gojek telah menjadi alternatif bisnis
yang digadang-gadang bisa meningkatkan
pertumbuhan ekonomi suatu wilayah. Usaha
ini pun diklaim dapat menurunkan tingkat
pengangguran
masyarakat
kota
dan
meningkatkan
pendapatan
masyarakat.
Tetapi adakah sumbangsih bisnis dari
collaborative consumption bagi pertumbuhan
ekonomi? Lantas sejauh mana collaborative
consumption yang diwakili oleh Gojek dapat
mempengaruhi pertumbuhan suatu wilayah?.

Felson and Speath (dalam Belk,

2013)
mendefinisikan
collaborative
consumption sebagai sebuah peristiwa
dimana satu atau lebih orang mengonsumsi
barang atau jasa ekonomi dalam proses yang
melibatkan kegiatan bersama dengan satu
atau lebih orang lain. Definisi collaborative
consumption juga meliputi suatu sistem
teratur yang meliputi peminjaman, berbagi,
barter, perdagangan, dan sewa-menyew
(Bostman & Roger, 2010).

2. Metode
Tulisan
ini
lebih
banyak
menggunakan metode studi pustaka. Analisis
dilakukan berdasarkan beberapa bahan

bacaan dan data yang diperoleh dari berbagai
sumber. Bahan bacaan yang ada kemudian
diintisarikan serta dikaitkan dengan masalah
yang diangkat dalam tulisan ini. Begitu pun
dengan data-data yang diperoleh dari
berbagai sumber, data tersebut dikaitkan
dengan konteks penelitian kali ini.
Studi pustaka dilakukan untuk
mengetahui teori dan konsep collaborative
consumption. Teknik studi pustaka juga
berguna untuk mencari hasil-hasil penelitian
terdahulu yang masih memiliki keterkaitan
dengan penelitian ini. Untuk data-data olahan
dari sumber-sumber tertentu dibutuhkan

3. Pembahasan
Collaborative Consumption

Collaborative
consumption
merupakan bagian dari sharing economy
karena keduanya memiliki prinsip yang
sama,
yakni
model
bisnis
yang
memungkinkan penyedia dan konsumen
saling berbagi sumber daya atau jasa, baik
rumah, kendaraan, maupun yang lainnya.
Perbedaan collaborative consumption dengan
sharing economy terletak pada motif
ekonomi. Dalam sharing economy, motif
ekonomi
yang
mendasari
adalah
meminjamkan barang-barang yang kurang
terpakai kepada orang atau kelompok lain.
Kegiatan ini terjadi ketika antar orang telah
saling mengenal satu sama lain atau terikat
dalam sistem pertemanan, kekeluargaan.
Motif untuk mencari keuntungan kurang
ditekankan
dalam
sharing
economy,
meskipun tidak menutup kemungkinan

penyedia barang atau jasa mau menerima
timbal balik yang diberikan berupa uang.
Berbeda dengan sharing economy,
collaborative
consumption
justru
menekankan motif mencari keuntungan.
Barang atau jasa yang dimiliki oleh penyedia
dijadikan sebagai suatu komoditas yang
dapat menghasilkan penghasilan tambahan.
Mereka meminjamkan, barter, menyewakan
aset-aset mereka dengan mengharapkan suatu
kompensasi. Saling percaya antar penyedia
barang atau jasa dengan konsumen menjadi
faktor penting dalam menjalani collaborative
consumption (Belk, 2013).
Konsumen saat ini sudah berpikir dari
pada membeli dan memiliki barang-barang
dengan harga tinggi, mereka lebih
menginginkan akses barang atau jasa secara
sementara. Akses yang ada kemudian
dimediasi oleh pasar (Bardhi dan Eckhardt
(2012).
Collaborative
consumption
menawarkan harga yang lebih murah dengan
manfaat yang lebih besar dibanding
konsumen membeli barang (Shinta dan
Mandel, 2008).
Collaborative
consumption
berkembang akibat pesatnya perkembangan
internet serta platform website (Lamberton &
Rose, 2012). Pablo Baoros (2013)
mengemukakan pendapatnya jika salah satu
faktor utama yang berkontribusi dalam
mennyukseskan model bisnis collaborative
consumption adalah adanya penurunan
pendapatan masyarakat, makin tingginya
penetrasi dari mobile application berbasis
internet,
dan
adanya
pertumbuhan
pertmintaan
akan
gaya
hidup
dan
penggunaan sumber daya yang berkelanjutan.
Collaborative consumption dikonstruksikan

sebagai sebuah fenomena digitalisasi yang
dicirikan dengan 3 hal. Pertama, teknologi
digambarkan
sebagai
sesuatu
yang
memudahkan collaborative consumption.
Kedua, teknologi men-driver collaborative
consumption. Ketiga, termonologi dan
metamorfosis dari collaborative consumption
dapat dilihat sebagai sesuatu yang berasal
dari kemajuan teknologi (John, 2013).
Kini
collaborative
consumption
tengah mendapatkan popularitasnya. Modelmodel bisnis baru dengan collaborative
consumption kian hari kian bertambah.
Pengembangan collaborative consumption
berpotensi membawa perubahan dalam tata
cara konsumsi dan memberikan pemahaman
mengenai bagaimana memproduksi sesuatu
yang kita konsumsi. Sisi pembangunan
berkelanjutan dimunculkan dari konsep ini,
dengan konsep berbagi dan sewa barang,
produksi serta pembuang-buangan barang
dapat sedikit ditekan. Produksi sampah pun
menjadi lebih terkendali ketika penggunaan
barang dilakukan secara bersama-sama
(Sacks, 2011). Manfaat collaborative
consumption tidak hanya dirasakan secara
lingkungan, tetapi juga secara sosial. Di era
masyarakat yang semakin individual, tidak
mengenal
orang-orang
sekitarnya,
collaborative consumption memberikan
kesempatan
pada
masyarakat
untuk
berinteraksi dengan orang asing. Dengan cara
berbagi, menyewa, barter, dan berdagang,
orang akan lebih banyak mengenal orang
lain, meskipun saat ini dilakukan secara
online. Akan tetapi, tidak menutup
kemungkinan orang-orang yang menjadi
bagian dari collaborative consumption dapat
saling menjalin hubungan. Rachel Botsman,
sang pencetus ide collaborative consumption

menjelaskan bahwa ada empat faktor yang
dibutuhkan
untuk
mensukseskan
collaborative consumption, yakni adanya
masyarakat kritis, kapasitas yang tersedia,
keyakinan bersama, dan kepercayaan serta
kredibilitas antar orang (Bostman dan
Rogers, 2010)
Collaborative Consumption
Pertumbuhan Ekonomi Wilayah

dan

Teori pertumbuhan ekonomi NeoKlasik yang diungkapkan oleh beberapa ahli
menyatakan jika pertumbuhan ekonomi
sangat dipengaruhi oleh tingkat pertumbuhan
penduduk dan kemajuan teknologi. Dalam
hal ini Schumpeter, salah satu pencetus teori
pertumbuhan
ekonomi
Neo-Klasik
beranggapan bahwa pertumbuhan ekonomi
dapat tercapai apabila ada inovasi-inovasi
dan
penggunaan
teknologi.
Inovasi
dibutuhkan untuk mengubah input menjadi
sesuatu yang lebih profitable, sedangkan
teknologi digunakan untuk mempermudah
melakukan
produksi,
distribusi,
dan
konsumsi (Braunerhjelm, 2010).
Model bisnis secara kolaborasi akan
membutuhkan banyak orang untuk ikut
berpartisipasi.
Terlebih
collaborative
consumption memanfaatkan aset-aset yang
kurang terpakai untuk dimanfaatkan kembali
agar mendapatkan pendapatan. Aset-aset itu
tentu didapatkan dari masyarakat. Apabila
permintaan akan barang tersebut terbilang
tinggi, contohnya motor dan mobil untuk
keperluan mobilitas, akan membutuhkan
lebih banyak masyarakat lagi untuk terlibat.
Inti
dari
collaborative
consumption
sebenarnya terletak pada keikutsertaan
masyarakat agar mereka mendapatkan

tambahan pemasukan dari barang-barang
yang jarang digunakan.
Keterlibatan
hampir
seluruh
masyarakat tentu dapat mempengaruhi
pertumbuhan ekonomi suatu wilayah.
Pengangguran di suatu wilayah dapat
berkurang dengan adanya collaborative
consumption. Pendapatan masyarakat pun
sedikit mengalami kenaikan karena bisa
memanfaatkan barang-barang yang kurang
digunakan.
Berkembangnya bisnis kolaborasi
tidak terlepas pula dari adanya kemajuan
teknologi. Inovasi teknologi merupakan salah
satu kunci keberhasilan model bisnis ini.
Teknologi membuat kegiatan berbagi
menjadi lebih mudah bahkan dengan orangorang yang jauh sekalipun. Efisiensi dari
penggunaan
teknologi
inilah
yang
menyebabkan tingginya minat masyarakat
untuk menggunakan model bisnis ini, selain
lebih murahnya harga yang ditawarkan.
Dampaknya, collaborative consumption
menyimpan potensi pasar yang besar.
James Contreras pernah menulis di
MIT Sloan Experts jika pangsa pasar
collaborative
consumption
berpotensi
menghsilkan uang mencapai $110 miliar.
PricewaterhouseCoopers, sebuah perusahaan
jasa
konsultasi,
pernah
menuliskan
pertumbuhan
sektor
collaborative
consumption atau sharing economy di Inggris
dapat menghasilkan £ 9 miliar pada tahun
2025. Mengalami kenaikan drastis dari hanya
£0.5 miliar saat ini. Secara global,
pendapatan dari sektor-sektor ini bisa
mencapai lebih dari $335 miliar di tahun
2025, naik dari hanya $15 miliar hari ini.

Uber, layanan taxi berbasis aplikasi
dengan model collaborative consumption
yang telah beroperasi dihampir 300 kota
memiliki pendapatan mencapai $10miliar di
tahun 2015. Nilai yang dihasilkan dari Uber
bahkan mencapai $40miliar. Tak heran jika
Uber menjadi pemain terbesar dengan model
collaborative consumption dan menjadi startup yang paling besar di dunia.
Nilai yang cukup besar dari usahausaha collaborative consumption akan
berimbas pada perkembangan ekonomi.
Terlebih melihat lesunya perkembangan
ekonomi global saat ini yang disebabkan oleh
berbagai faktor. Collaborative consumption
bisa
membawa
angin
segar
bagi
perkembangan ekonomi global apabila
usaha-usaha seperti Airbnb, Uber, Zipcar,
serta
start-up
lain
makin
banyak
bermunculan.
Di Indonesia, Gojek menjadi pemain
terbesar dari bisnis kolaboraasi. Sudah
banyak kota-kota besar diekspansi oleh
Gojek. Gojek juga menjadi start-up paling
populer buatan anak negeri. Hingga saat ini
ada lebih dari 200.000 orang yang ikut
berpartisipasi dengan rata-rata penghasilan
Rp200.000 sampai Rp500.000 per harinya.
Menurut data dari TechCrunch, per April
2016, Gojek dipesan sekitar 256.000 orang
per hari.
Melansir dari situs berita Republika,
di Yogyakarta kini sudah ada sekitar 1600
pengemudi Gojek. Pengemudi–pengemudi
tersebut dalam seharinya bisa mendapat
sekitar Rp200.000 sampai Rp500.000. Secara
sederhana, maka kira-kira akan ada uang
sebesar
Rp320.000.000
sampai
Rp800.000.000 per hari yang berputar di

Kota Yogyakarta setiap harinya. Perputaran
uang yang cukup banyak itu bisa
menyebabkan kenaikan konsumsi masyarakat
kota Yogyakarta sendiri.
Collaborative consumption seperti
usaha Gojek tidak bisa secara langsung
mempengaruhi pertumbuhan ekonomi suatu
wilayah. Di Kota Yogyakarta, Gojek kirakira hanya menyumbang 0,5% dari
pertumbuhan ekonomi yang ada. Hal itu
didasarkan pada hitung-hitungan sederhana
dari PDRB dengan penghasilan para
penggojek.
Dampak dari adanya Gojek hanya
bisa dirasakan langsung oleh orang-orang
yang ikut serta dalam usaha itu. Akan tetapi
dampak kepada pertumbuhan ekonomi ada
karena suatu siklus perputaran uang dalam
suatu wilayah. Dengan adanya collaborative
consumption
seperti
Gojek,
tingkat
pendapatan masyarakat menjadi meningkat.
Pendapatan
masyarakat
yang
makin
meningkat dapat pula meningkatkan daya
beli masyarakat sehingga pertumbuhan
ekonomi pun ikut meningkat. Tidak hanya
tingkat pendapatan masyarakat saja yang
meningkat, penyerapan tenaga pun ikut serta
meningkat.
Pertumbuhan
ekonomi
oleh
collaborative consumption jauh-jauh hari
telah dituliskan dalam sebuah konsep
pertumbuhan ekonomi Neo-Klasik. Prinsip
kolaborasi yang menggerakan masyarakat
ditambah adanya dukungan dari teknologi
menyebabkan tingkat pengguna model bisnis
tersebut selalu meningkat. Akibatnya,
ekonomi suatu wilayah ikut terbantu dari
hasil yang diciptakan oleh kegiatan tersebut.

4. Kesimpulan
Collaborative
consumption
merupakan model bisnis yang baru-baru ini
popular. Model ini menggunakan prinsip
berbagi, penyewaan, barter, dan perdagangan
barang-barang
ekonomi.
Teknologi
memberikan peranan penting terhadap
pesatnya pertumbuhan bisnis collaborative
consumption karena melalui teknologi
internet, kegiatan berbagi, sewa, dan lainnya
bisa dijalankan lebih mudah.
Di Indonesia, khususnya Yogyakarta,
bisnis collaborative consumption dilakukan

oleh Gojek, sebuah jasa layanan antar
jemput. Gojek tidak memiliki aset berupa
kendaraan bermotor dalam bisnisnya,
melainkan bermitra dengan orang-orang agar
mereka meminjamkan motornya. Kegiatan
tersebut tentu akan meningkatkan pendapatan
bagi orang-orang yang tergabung di
dalamnya dan akan menyebabkan efek
berganda ke sektor lain. Efek tersebut pun
nantinya
akan
mempengaruhi
pula
pertumbuhan ekonomi wilayah. Gojek
menyumbang 0,5% dari pertumbuhan
ekonomi Kota Yogyakarta.

DAFTAR PUSTAKA
Bardhi, F dan Eckhardt, G. 2012. Access Based Consumption: The Case of Car Sharing. Journal
of Consumer Research, 39, 881.
Belk, Russell. 2013. You Are What You Can Access: Sharing And Collaborative Consumption
Online. Elsevier: Journal of Business Research 67.
Bostman, Rachel and Rogers, Roo. 2010. What’s Mine is Yours: The Rise of Collaborative
Consumption. Harper Collins Publisher: New York.
Braunerhjelm, Pontus. 2010. Entrepreneurship, Innovation and Economic Growth Past
Experiences, Current Knowledge and Policy Implications. Swedish Entrepreneurship
Forum Working Paper 2.
Burnett, Leo. 2014. The Sharing Economy: Where We Go From Here. Leo Burnett Company:
Tidak Diterbitkan.
John, Nicholas A. 2013. Sharing, Collaborative Consumption And Web 2.0.
http://www.lse.ac.uk/collections/media@lse/mediaWorkingPapers/ . Diakses oleh

Fathi Almirhea tanggal 15 September 2016.
Karmann, Markus. 2013. The Rise of Collaborative Consumptionon On The Example of
Couchsurfing. GRIN Verlag: Germany.
Lau, Lawren J. 2003. Economic Growth in the Era Digital. Symposium on Welcoming the
Challenge of the Digital Era: Tidak Diterbitkan.
Sacks, A. 2011. What Were You Thinking: For Couples, New Source Of Online Friction. New
York Times, Sept 15. Online Edition.

Statistics, World Internet. 2016. “World Internet Users Statistics And 2016 World Population
Stats”. internetworldstats.com. Diakses oleh Fathi Almirhea tanggal 17 September 2016.
Wicaksono, Pribadi. 2015. Gojek Beroperasi di Yogyakarta, Pengemudi Sudah 200 Orang.
https://m.tempo.co/read/news/2015/11/16/058719439/go-jek-beroperasi-di-yogyapengemudi-sudah-200-orang. Diakses oleh Fathi Almirhea, tanggal 17 September 2016.