ZAT WARNA DALAM BAHAN PANGAN

ZAT WARNA

Kelompok 6:
Disusun Oleh :
KHANIFATUL HIDAYAH
(H1916012)

ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS NEGERI SEBELAS MARET
SURAKARTA
2016

ACARA V
ZAT WARNA TANAMAN DAN HEWAN

A. TUJUAN
Tujuan dari praktikum Acara V Zat Warna Tanaman dan Hewan
adalah:
1. Mengetahui pengaruh cara pemasakan, asam dan alkali terhadap zat warna
tanaman.

2. Mengetahui pengaruh pemanasan dan larutan curing terhaap zat warna
daging.
B. TINJAUAN PUSTAKA
1. Teori
Sejak jaman dahulu nenek moyang kita telah banyak menggunakan
zat warna alami (pigmen) sebagai bahan pewarna bahan makanan. Namun
sejak ditemukannya zat pewarna sintetik penggunaan pigmen semakin
menurun, meskipun tidak hilang sama sekali. Beberapa dasawarsa terakhir
ini timbul usaha-usaha untuk mendalami seluk-beluk pigmen, khususnya
untuk mengetahui perubahan-perubahan warna dari bahan makanan oleh
pengaruh berbagai perlakuan pengolahan dan pemasakan (Winarno, 2008).
Warna sayuran merupakan karakteristik sensori yang penting dan
dapat dijadikan indaktor kualitas sayuran. Pada tumbuhan, pigmen utama
adalah karotenoid, yang ditemukan pada jaringan fotosintesis. Karotenoid
memiliki kaitan dengan vitamin. Sebuah precursor penghambat kanker.
Klorofil merupakan sumber utama magnesium. Karotenoid yang dominan
pada sayuran hijau adalah lutein dan karoten, sedangkan klorofil yang
dominan adalah klorofil a dan b (Cruz-Garcia et al, 1997).
Karotenoid merupakan kelompok pigmen yang berwarna kuning,
oranye, merah oranye, serta larut dalam minyak (lipida). Karotenoid

terdapat dalam kloroplas (0,5%) bersama-sama dengan klorofil (9,3%),
terutama pada bagian permukaan atas daun, dekat dengan dinding sel-sel

palisade. Karena itu pada dedaunan hijau selain klorofil terdapat juga
karotenoid. Karotenoid terdapat dalam buah papaya, kulit pisang, tomat,
cabai merah, manga, wortel, ubi jalar, dan pada beberapa bunga yang
berwarna kuning dan merah. Diperkirakan lebih dari 100 juta ton
karotenoid diproduksi setiap tahun di alam (Winarno, 2008).
Karotenoid berasal dari kelas terpenoid, berupa rantai poliena
dengan 40 karbon yang dibentuk dari delapan unit isoprena C5 yang
memberikan struktur molekul karotenoid yang khas. Karotenoid
dikelompokkan menjadi 2 kelompok yaitu karoten, merupakan kelompok
hidrokarbon

(C40H56)

dan

xantofil,


merupakan

turunan

karoten

teroksigenasi. Karotenoid memberikan kontribusi yang besar bagi berbagai
sektor kehidupan terutama sumber vitamin A yang bermanfaat bagi organ
visual, pewarna makanan, bahan aditif makanan, penambah sel darah
merah, antioksidan, antibakteria, meningkatkan imunitas serta pengganti
sel-sel rusak (Fretes, dkk, 2012).
Klorofil merupakan zat hijau daun yang terdapat pada semua
tumbuhan hijau yang berfotosintesis. Berdasarkan penelitian, klorofil
ternyata tidak hanya berperan sebagai pigmen fotosintesis namun, klorofil
mempunyai manfaat antara lain, sebagai obat kanker otak, paru-paru, dan
mulut. Klorofil juga dapat digunakan sebagai desinfektan, antibiotik dan
food suplement. Klorofil dapat digunakan sebagai food suplement karena
mengandung nutrisi yang dibutuhkan untuk tubuh manusia (Hendriyani
dan Nintya, 2009).
Klorofil merupakan pigmen berwarna hijau yang terdapat dalam

kloroplas bersama dengan karoten dan xantofil. Terdapat dua jenis klorofil
dalam tanaman yaitu klorofil a dan klorofil b dengan perbandingan 3:1.
Klorofil a termasuk dalam pigmen yang disebut porfirin. Klorofil a
mengandung atom magnesium yang diikat oleh nitrogen dan cincin pirol
dengan ikatan kovalen. Klorofil hijau dapat berubah menjadi hijau
kecoklatan hingga cokelat akibat substitusi magnesium oleh hydrogen
membentuk feofitin. Reaksi tersebut berlangsung cepat dalam kondisi
larutan bersifat asam (Winarno, 2008).

Struktur klorofil mirip engan hemoglobin. Pada klorofil atom
sentral Fe2+ pada hemoglobin diganti dengan Mg2+. Klorofil memiliki
tingkat kepolaran yang rendah. Oleh karena itu, tingkat kepolaran pelarut
yang digunakan untuk ekstraksi akan mempengaruhi banyaknya klorofil
yang terekstrak. Klorofil dapat diekstraksi dari jaringan tumbuhan
menggunakan pelarut organik. Beberapa jenis pelarut dapat digunakan,
antara

lain

aseton,


metanol,

etanol,

etil

asetat,

piridin,

dan

dimetilformamid. Pada umumnya pelarut yang sering digunakan adalah
etanol. Karena etanol telah banyak digunakan sebagai pelarut di bidang
pangan dan obat-obatan dan cenderung lebih aman dibandingkan eter dan
aseton (Mardaningsih, dkk, 2012).
Antosianin yaitu pigmen berwarna merah-biru-ungu, terdapat pada
kebanyakan bunga, buah atau bagian tanaman yang berwarna merah, biru
dan violet. Pigmen antosianin berada pada sel tanaman berbentuk

glukosida, yaitu eter dari monosakarida. Antosianin memiliki sifat ionik,
sehingga warna yang ditimbulkan sangat dipengaruhi oleh keadaan pH
larutan. Dalam larutan asam, dapat memunculkan warna jingga hingga
ungu. Dalam larutan netral akan terbentuk batas semu yang tidak
berwarna. Sementara dalam larutan basa akan berwarna biru (Pitojo dan
Zumiati, 2009). Antosianin terkenal sebagai elisit oksidatif, anti
pembengkakan dan pencegah kanker. Karakteristik komponen antosianin
digolongkan menjadi flavylium dasar dan substituent yang beragam.
Macam protonate dan diprotonate, hidrate dan bentuk isomer tergantung
pada pH lingkungan. Pada pH rendah < 2, antosianin berwarna oranye
hingga ungu, pH 4,5 menjadi tidak berwarna. pH 7 atau lebih menjadi
berwarna biru (Park et al, 2011).
Antosianin merupakan kelompok pigmen yang berwarna merah
sampai biru yang tersebar luas pada tanaman. Antosianin tergolong
pigmen yang disebut flavonoid. Senyawa golongan flavonoid termasuk
senyawa polar dan dapat diekstraksi dengan pelarut yang bersifat polar
pula. Beberapa pelarut yang bersifat polar diantaranya etanol, air dan etil

asetat. Kondisi asam akan mempengaruhi hasil ekstraksi. Keadaan yang
semakin asam apalagi mendekati pH 1 akan menyebabkan semakin

banyaknya pigmen antosianin berada dalam bentuk kation flavilium atau
oksonium yang berwarna dan pengukuran absorbansi akan menunjukkan
jumlah antosianin yang semakin besar (Simanjuntak et al, 2014).
Dalam pengolahan sayur-sayuran adanya antosianin dan keasaman
larutan banyak menentukan warna produk tersebut. Misalnya pada
pemasakan bit atau kubis merah. Bila air pemasaknya mempunyai pH 8
atau lebih (dengan penambahan soda) maka warna menjadi kelabu violet,
tetapi bila ditambahkan cuka warna akan menjadi merah terang kembali.
Tetapi jarang makanan mempunyai pH yang sangat tinggi. Dengan ion
logam, antosianin membentuk senyawa kompleks yang berwarna abu-abu
violet. Karena itu pada pengalengan bahan yang mengandung antosianin,
kalengnya perlu mendapat lapisan khusus (lacquer) (Winarno, 2008).
Zat kimia warna daging adalah pigmen heme atau tepatnya pigmen
myoglobin . dalam daging ternak jumlah besi yang ada sebagian besar
terdapat pada myoglobin (95%) dibanding hanya 10% pada badan ternak
yang masih hidup. Myoglobin bukan merupakan satu-satunya pigmen
yang terdapat dalam daging. Pigmen lain yang ada dalam daging adalah
sitokrom dan flavin. Myoglobin merupakan bagian dari protein
sarkoplasma daging, bersifat larut dalam air dan dalam larutan garam
encer. Panjang gelombang absorpsi maksimumnya 555 nm (pada bagian

hijau) serta Nampak oleh kita sebagai warna abu-abu. Sedang
metmioglobin mempunyai panjang gelombang maksimum 505 nm dan
627 nm, dan Nampak oleh kita sebagai warna coklat (Winarno, 2008).
Mioglobin adalah pigmen yang berwarna merah keunguan yang
dapat mengalami perubahan bentuk akibat reaksi kimia. Proses pada
oksigenasi mioglobin akan mengakibatkan terbentuknya oksimioglobin
yang berwarna merah cerah. Reaksi oksidasi beasi dalam mioglobin atau
oksimioglobin akan mengubah keduanya menjadi metmioglobin yang
berwarna coklat. Mioglobin merupakan protein kompleks yang berfungsi

membawa oksigen untuk sel. Kandungan mioglobin pada jaringan
bergantung pada aktivitas jaringan, efisiensi darah yang membawa
oksigen, umur serta jenis hewan (Muchtadi et al, 2011).
Seperti halnya hemoglobin, mioglobin juga dapat membentuk
suatu senyawa tambahan yang dapat bereaksi dengan oksigen dan
mengakibatkan perubahan warna.

+0

Mioglobin (ungu) yang telah tereduksi

-0

oksimioglobin
(merah cerah)

Meskipun oksimioglobin terjadi hanya pada permukaan daging yang
terkena udara, hal tersebut penting karena itulah warna yang diinginkan
oleh pembeli, yaitu warna merah cerah. Tingkat kecerahan ditentukan oleh
tebalnya lapisan oksimioglobin di permukaan atau daerah oksigen. Bagian
ini lebih banyak terjadi pada suhu rendah dan lebih kecil pada suhu tinggi.
Mioglobin dapat mengalami oksidasi yang sesungguhnya dan menjadi
metmioglobin yang berwarna coklat abu-abu, disebabkan karena
kerusakan globin seperti yang terjadi saat memasak daging dan
metmioglobin ini bereaksi dengan ion-ion nitrit sehingga menghasilkan
warna merah muda yang stabil (Buckle et al, 2010).
Curing merupakan proses dasar dalam pengolahan daging, yaitu
dengan penambahan senyawa garam. Bahan-bahan yang digunakan adalah
senyawa NaCl, garam nitrat/nitrit, dan gula. Daging yang telah dicuring
disebut green cured meat. Dalam proses curing ini garam NaCl berfungsi
sebagai pemberi citarasa dan pengawet karena sifat ion Cl-nya sebagai anti

bakteri, pemakaian garam biasanya pada konsentrasi 2-5%. Daging yang
di-curing mempunyai warna merah cerah stabil. Hal ini disebabkan karena
terbentuknya pigmen mioglobin daging dengan nitrat oksida (NO).
Sebagai sumber NO dapat digunakan nitrat, nitrit atau campuran keduanya
(Muchtadi et al, 2011).
Proses curing daging melibatkan pemberian nitrat dan garam
dapur. Pada umumnya proses curing terjadi karena reaksi biologis yang
dapat mereduksi nitrat menjadi nitrit dan NO, yang mampu mereduksi feri

menjadi fero. Bila daging yang dicuring dipanaskan pada suhu 150 oF atau
lebih maka terjadilah denaturasi globin oleh panas (Winarno, 2008).
Proses curing pada prinsipnya merupakan suatu proses terjadinya
reaksi kimia awal jaringan ikat kolagen kulit dengan bahan curing baik
dengan menggunakan bahan curing asam, basa maupun enzim. Proses
curing menyebabkan struktur ikatan intermolekuler dan intramolekuler
pada protein kolagen kulit melemah ataupun terjadi proses pemutusan
rantai ikatan asam amino secara parsial. Kombinasi penggunaan waktu dan
konsentrasi bahan curing yang tepat akan menghasilkan kuantitas dan
kualitas yang lebih baik (Said et al, 2011).
2. Bahan

Wortel mengandung senyawa karotenoid dalam jumlah besar
berkisar 6000-5480 µg/100 g. Karotenoid adalah pigmen berwarna kuning,
oranye, dan kemerahan yang terlarut dalam lipida. Dengan kandungan
karotenoid tinggi, wortel dapat dimanfaatkan sebagai bahan pewarna
alami. Selain itu, karoten pada wortel berperan sebagai prekursor vitamin
A sehingga dapat member nilai tambah tersendiri pada penggunaan wortel
sebagai bahan pewarna alami (Ekawati, 2005). Menurut Britton (1995)
karotenoid dapat diekstrak dari wortel dengan yield sekitar 37,21-46,41 %.
Pelarut organik seperti heksan, toluene, etanol dan piridin biasa digunakan
dalam proses ekstraksi karotenoid. Tetapi secara umum karotenoid
memiliki kelarutan yang baik dalam aseton atau campuran aseton
methanol. Wortel (Daucus carrota L.) sebagai sumber β-karoten yang
murah dan alami. Wortel merupakan sumber β-karoten yang memiliki
struktur molekul hampir sama dengan astaxanthin. Perbedaan kecil pada
keduanya yaitu strukturrantai tunggal –OH dan rantai ganda –O, akan
tetapi perbedaan ini tidak mempengaruhi fungsi kerjanya (Satyantini et al,
2009).
Salah satu tanaman yang dapat digunakan sebagai sumber klorofil
adalah kacang panjang. Tanaman kacang panjang (V. sinensis) merupakan
komoditas yang dapat dikembangkan untuk perbaikan gizi keluarga.

Tanaman ini berumur pendek, tahan terhadap kekeringan, tumbuh baik
pada dataran medium sampai dataran rendah, dapat ditanam di lahan,
sawah, tegalan, atau pekarangan pada setiap musim. Usaha tani kacang
panjang dapat diandalkan sebagai usaha agribisnis yang mampu
meningkatkan pendapatan petani (Hendriyani dan Nintya, 2009).
Umbi bawang merah memiliki berbagai kandungan yang sangat
penting dalam menjaga kesehatan tubuh. Hasil berbagai penelitian
menunjukkan bahwa bawang merah mengandung kuersetin dalam kadar
yang cukup tinggi. Keursetin termasuk salah satu senyawa jenis flavonoid,
tergolong kelompok polifenol yang kandungannya terdapat dalam berbagai
tumbuhan. Flavonoid merupakan senyawa yang terkonsentrasi pada bagian
luar (kulit). Hilangnya kulit bawang merah akan mengakibatkan hilangnya
flavonoid yang terkandung di dalamnya. Bahkan, sebagian ahli
beranggapan bahwa sedikit saja bagian kulit bawang merah terbuang,
sekitar 20% kuersetin dan hampir 75% antosianin juga ikut menghilang
(Utami, dkk., 2013).
Menurut (Astawan, 2004) daging merupakan salah satu komoditi
peternakan yang menjadi andalan sumber protein hewani dan sangat
menunjang untuk memenuhi kebutuhan dasar bahan pangan di Indonesia.
Daging terbagi ke dalam dua jenis, yaitu daging ternak besar seperti sapi
dan kerbau, maupun daging ternak kecil seperti domba, kambing dan babi.
Meski dengan adanya berbagai ragam jenis daging, produk utama
penjualan komoditi peternakan adalah daging sapi potong. Menurut
(Trantono, 2011) kualitas daging dipengaruhi oleh beberapa faktor, baik
pada waktu hewan sebelum dan sesudah dipotong. Kualitas fisik daging
sapi adalah warna daging, rasa dan aroma, perlemakan, dan tekstur daging.
Pada waktu sebelum dipotong, faktor penentu kualitas dagingnya adalah
tipe ternak, jenis kelamin, umut, dan cara pemeliharaan yang meliputi
pemberian pakan dan perawatan kesehatan. Sedangkan kualitas daging
sesudah dipotong dipengaruhi oleh metode pemasakan, pH daging,
hormon dan metode penyimpanan (Gunawan, 2013).

Nitrit berperan sebagai pengawet dan stabilisator warna daging
curing. Sebagai pengawet nitrit merupakan anti botulisme (mencegah
germinasi Sporobotulinum). Menurut Winarno (2008) nitrit dapat
mencegah pertumbuhan mikrobia yang mekanismenya belum diketahui,
tetapi diduga nitrit bereaksi dengan gugus sulfihidril dan membentuk
senyawa yang tidak dapat dimetabolisme oleh mikrobia dalam keadaan
anaerob. Selain itu dijelaskan Sofos dan Busta (1980) bahwa peranan nitrit
yaitu sebagai antioksidan yang dapat menghambat oksidasi lemak.
Penambahan asam askorbat dapat menurunkan residu nitrit, karena
asam askorbat dapat menurunkan pH yang merupakan reduktor yang dapat
memberikan electron pada nitrit sehingga terbentuk nitrit oksid (Forrest et
al., 1975). Asam askorbat mampu mempercepat proses pembentukan nitrit
oksid dari nitrit dan nitrit oksid ini akan bereaksi dengan myoglobin
sehingga terbentuk warna merah muda. Jeruk nipis merupakan salah satu
komoditas buah yang mengandung vitamin C (asam askorbat). Jeruk nipis
mempunyai nilai pH yang rendah (pH = 2). Pada proses curing apabila
dikondisikan pada pH yang sangat rendah menyebabkan perubahan kadar
air daging karena daya ikat air daging menurun sehingga daging akan
mengalami kehilangan cairan daging. Penurunan daya ikat air dapat
diketahui dengan adanya eksdusi cairan yang disebut weep pada daging
mentah yang belum dibekukan (Soeparno, 1994).
Dalam curing penggunaan nitrit dapat

menghambat

C.

botulinum (Christiansen, 1980) dan bila bereaksi dengan mioglobin, nitrit
yang telah menjadi nitrit oksid akan membentuk warna merah cerah
(Cassen, et al., 1979). Perubahan nitrit menjadi nitrit oksid meliputi
beberapa tahap. Pada pH 5,4 – 6,0 nitrit dalam larutan terdapat dalam
bentuk asam nitrit (HNO2). Pada kondisi sedikit asam, asam nitrit akan
mengalami dekompisisi oleh komponen daging sehingga terbentuk
nitrit oksid (NO) dan asam nitrat (HNO3). Pigmen daging curing
akan terbentuk dengan segera apabila mioglobin bersinggungan secara
langsung dengan nitrit oksid sehingga terbentuk nitrit oksid mioglobin
(nitrosomioglobin) yang berwarna cerah. Bila yang digunakan nitrat,

maka nitrat diubah dulu menjadi nitrit oleh bakteri pereduksi nitrat
(Forrest et al.,1975). Adanya pemanasan selama proses pengolahan akan
menyebabkan

nitrosomioglobin

berubah

menjadi nitrosilhemokrom

yang bersifat stabil dan berwarna merah jambu sebagai ciri khas dari
produk

daging

curing.

Jadi

dalam

proses

curing

nitrit

tidak

memberikan pewarnaan, tetapi hanya berfungsi menstabilkan atau
memperbaiki warna produk.
C. METODOLOGI
1. Alat
a.

Gelas beker

b.

Gelas ukur

c.

Kompor

d. Neraca digital
e.

Panci

f.

Pengaduk

g.

Penjepit tabung

h. pH meter
i.

Pipet tetes

j.

Pipet ukur

k. Pisau
l.

Propipet

m. Rak tabung reaksi
n. Stopwatch
o.

Tabung reaksi

2. Bahan
a. Wortel
b.
c.
d.
e.

Kacang Panjang
Bawang merah
Daging sapi
NaHCO3 kristal

f.
g.
h.
i.
j.
k.
l.
m.

3.

Larutan FeCl3 50 ppm
Larutan MgCl2 50 ppm
Asam cuka 95 %
Air ledeng
NaNO3
NaNO2
Asam askorbat
Aquades

Cara Kerja
a. Pengaruh Beberapa Perlakuan terhadap Zat Warna Buah/ Sayuran
Wortel, kacang panjang, bawang merah (masing-masing 15 gram)
Pemotongan kecil-kecil
Pemasukan ke dalam 6 gelas beaker (masing-masing
bahan)
Pengisian dengan

50 ml air
ledeng dengan
pemanasan
terbuka
(beaker 1)

50 ml air
ledeng dengan
pemanasan
tetutup
(beaker 2)

50 ml FeCl3
0,5 gram
NaHCO3 + 50 50 ppm
(beaker 4)
air ledeng
(beaker 3)

50 ml MgCl2 2,5 ml asam
cuka 99% +
50 ppm
air ledeng 50
(beaker 5)
ml (beaker 6)

Pengukuran pH
Pengamatan perubahan warna
Pemanasan selama 15 menit
Pengukuran pH
Pengamatan perubahan warna

Gambar 3.1 Diagram Alir Pengaruh Beberapa Perlakuan Terhadap Zat
Warna Buah/ Sayuran
b. Zat Warna pada Daging
1. Tanpa Curing
5 gram daging sapi

Pengirisan menjadi dua bagian

Pengamatan perubahan warna

Penempatan
pada udara
terbuka

Pemanasan
dengan
aquades

Pengamatan perubahan warna setelah menit ke- 0, 5, 10,
dan 15

Gambar 3.2 Diagram Alir Pengaruh tanpa Curing pada Daging

2. Dengan Curing
5 gram daging sapi
Pencacahan sampai halus
Pemasukan ke dalam tabung reaksi

Perendaman dengan larutan

Larutan
curing I
(tabung
reaksi 1)

Larutan
curing III
(tabung
reaksi 3)

Larutan
curing II
(tabung
reaksi 2)

Larutan
curing IV
(tabung
reaksi 4)

Penambahan 2 tetes asam cuka 99 % dan pengadukan

Pemanasan pelan-pelan selama 15 menit

Pengamatan perubahan warna setelah menit ke- 0, 5, 10,
dan 15

Gambar 3.3 Diagram Alir Pengaruh dengan Curing pada Daging

D. HASIL DAN PEMBAHASAN
Tabel 4.1 Pengaruh Beberapa Perlakuan terhadap Zat Warna Wortel
Ke
l

15

15

Sebelum Pemanasan
Warna
pH

Perlakuan
Wortel

+

air

ledeng

50

ml Larutan: bening

(pemanasan

Bahan: oranye

terbuka)
Wortel + air

Larutan: bening

8,1

7,9

Setelah Pemanasan
Warna
pH
Larutan: bening
Bahan: oranye
Larutan: bening

7,4

7,6

ledeng 50 ml
(pemanasan
tertutup)
Wortel + 0,5 gram
15

NaHCO3 + 50 air
ledeng
Wortel + 0,5 gram

15

FeCl3 + 50 air
ledeng
Wortel + 0,5 gram

15

MgCl2 + 50 air
ledeng
Wortel + 2,5 ml

15

asam cuka 99% +

Bahan: oranye

Larutan: bening
Bahan: oranye
Larutan: bening
Bahan: oranye
Larutan: bening
Bahan: oranye
Larutan: keruh
Bahan: oranye

50 ml air ledeng
Sumber: Laporan Sementara

Bahan: oranye

8,5

6,9

7,7

3,7

Larutan: kuning
Bahan: oranye
Larutan: kuning
Bahan: oranye
Larutan: bening
Bahan: oranye
Larutan: keruh
Bahan: oranye

8,5

6,3

6,5

3,1

Karatenoid merupakan kelompok pigmen yang berwarna kuning,
oranye, merah oranye, serta larut dalam minyak (lipida). Karatenoid
terdapat dalam buah pepaya, kulit pisang, tomat, cabai merah, mangga,
wortel, ubi jalar dan pada beberapa bunga berwarna kuning dan merah.
Karatenoid merupakan senyawa yang mempunyai rumus kimia sesuai atau
mirip dengan karoten. Beta karoten banyak terkandung dalam wortel dan
lada, kadang-kadang bebas dan kadang-kadang bercampur dengan - dan
-karoten (Winarno, 2008).

Berdasarkan daya larutnya dalam pelarut organik, karotenoid dapat
digolongkan dalam dua kelompok pigmen, yaitu karoten dan xantofil.
Karoten sangat larut dalam petroleum eter dan kurang larut dalam etanol,
sedangkan xantofil sebaliknya. Karoten mempunyai susunan kimia yang
hanya terdiri dari atom-atom C dan H, sedangkan xantofil terdiri dari
atom-atom C, H dan O. Molekul karoten terdiri dari gugusan cincin ionon

dan isoprenoid. Jumlah atom C pada karoten adalah 40, mempunyai 11
ikatan rangkap dan 10 gugusan metil (Muchtadi et al, 2011).
Percobaan pada tanaman tomat menggunakan lima perlakuan, yaitu
ditambah air ledeng, 50 ppm Fe, 50 ppm Mg, campuran natrium
bikarbonat dengan air ledeng dan campuran asam cuka dengan air ledeng.
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa sebelum dipanaskan larutan
sampel mempunyai warna yang berbeda-beda berdasarkan karakteristik
campurannya. Sedangkan dapat dilihat bahwa pH larutan sebelum diberi
perlakuan panas adalah berbeda-beda yang seharusnya adalah sama.
Namun kisaran pH tersebut termasuk pH netral jadi dianggap tidak
masalah. Setelah dipanaskan selama 15 menit diamati terdapat perubahan
warna awal dan pH bahan. Pemanasan ini bertujuan untuk mengoksidasi
pigmen dalam wortel tetapi pemanasan ini tidak menggunakan suhu tinggi
karena jika hal itu terjadi kandungan vitamin dalam wortel mudah rusak .
Sesuai dengan sifatnya bahwa karoten mudah teroksidasi.
Hasil pengujian menunjukkan perlakuan wortel yang direbus
menggunakan air ledeng dengan pemanasan terbuka warna larutan berubah
dari bening menjadi kuning, bahan tidak berubah, pH berubah dari 8,1
menjadi 7,4. Sementara pada pemanasan tertutup warna larutan tidak
berubah, bahan menjadi agak layu dan pH turun dari 7,9 menjadi 7,6. Jika
dilihat dari keduanya, pH pada pemanasan terbuka maupun tertutup samasama menurun, padahal seharusnya pada pemanasan terbuka pH naik,
karena adanya asam organik pada bahan yang teruapkan. Hal ini mungkin
saja terjadi karena asam-asam tersebut belum teruapkan secara
menyeluruh.
Pada perlakuan penambahan air ledeng + NaHCO3 perubahan
hanya terjadi pada larutan, dari bening menjadi kuning. Pada penambahan
FeCl3 dan MgCl2 perubahan hanya terjadi pada penurunan pH. Pada
penambahan asam cuka warna larutan tidak berubah hanya saja bahan
menjadi berwarna oranye pucat yang semula adalah oranye, pH turun dari
3,7 menjadi 3,1. Penurunan pH pada sampel inilah yang mengakibatkan

pigmen warnanya susut, dikarenakan karotenoidnya teroksidasi oleh
katalis asam. Jadi warna bahan memudar dengan perlakuan pemanasan dan
pada perlakuan asam. Menurut Winarno (2008), warna wortel yang
berubah dari oranye menjadi oranye muda disebabkan karena karoten
banyak mengandung ikatan rangkap dan akan berubah dari trans menjadi
cis atau terputus dengan cara pemanasan dan perlakuan asam sehingga
warna bahan akan pudar dan warna larutan akan menjadi bening
kekuningan.
Tabel 4.2 Pengaruh Beberapa Perlakuan terhadap Zat Warna Kacang
Panjang
Ke
l

Perlakuan

Sebelum Pemanasan
Warna
pH

Kacang panjang +
5

air ledeng 50 ml

Larutan: bening

(pemanasan

Bahan: hijau

Larutan: bening
8,4

5

Larutan: bening

(pemanasan

Bahan: hijau

8,4

7,3

Larutan: bening

0,5 gram

Larutan: bening

NaHCO3 + 50 air

Bahan: hijau

5

0,5 gram FeCl3 +

5

50 air ledeng
Bahan: hijau
Kacang panjang +
Larutan: bening
0,5 gram MgCl2 +
Bahan: hijau
50 air ledeng
Kacang panjang + Larutan: bening
2,5 ml asam cuka

Bahan: hijau
kecoklatan

8,8

ledeng
Kacang panjang + Larutan: bening

5

7,4

Larutan: bening

tertutup)
Kacang panjang +
5

Bahan: hijau
kecoklatan

terbuka)
Kacang panjang +
air ledeng 50 ml

Setelah Pemanasan
Warna
pH

kekuningan

Bahan: hijau

kekuningan
Bahan: hijau

8,9

kecoklatan
Larutan: keruh
6,5

Bahan: hijau

5,3

kecoklatan
Larutan: bening
7,8

Bahan: hijau

6,4

3,8

kecoklatan
Larutan: pink

3,1

pucat

99% + 50 ml air
ledeng
Sumber: Laporan Sementara

Bahan: coklat

Kacang panjang mengandung zat warna klorofil. Klorofil
merupakan pigmen berwarna hijau yang terdapat dalam kloroplas
bersama-sama dengan karoten dan xantofil. Pada hakikatnya klorofil
merupakan senyawa yang tidak stabil sehingga sulit untuk menjaga agar
molekulnya tetap utuh dengan warna hijau yang menarik. Hal ini
disebabkan karena kloroplasnya pecah dan klorofilnya keluar. Klorofil
dalam daun yang masih hidup berikatan dengan protein. Dalam proses
pemanasan proteinnya terdenaturasi dan klorofil dilepaskan. Selain
kandungan klorofil di dalam buncis terkandung senyawa golongan
steroid/triterpenoid, tanin katekat, dan flavonoid (Winarno, 2008).
Hasil pengujian menunjukkan pada kacang panjang dengan
pemanasan terbuka dan pemanasan tertutup warna larutan tidak berubah,
yakni tetap bening, warna bahan dari berwarna hijau menjadi hijau
kecoklatan, penurunan pH tidak signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa
oleh sebab pemanasan, klorofil dilepaskan yang mengakibatkan warna
coklat pada kacang panjang. Pada perlakuan kacang panjang dipanaskan
dengan NaHCO3 larutan dari berwarna bening menjadi bening kekuningan,
bahan dari berwarna hijau menjadi hijau kecoklata, pH cenderung naik.
Hal ini menunjukkan bahwa klorofil terlepas dari bahan dan larut dalam
larutan. Hal ini tidak sesuai, karena klorofil cenderung stabil dalam
keaadaan basa. Kelarutan ini mungkin disebabkan sifat klorofil yang tidak
stabil terhadap panas.
Pada perlakuan FeCl3 dan MgCl2 terjadi perubahan warna pada
larutan dan bahan, serta penurunan pH. Perubahan ini seharusnya tidak
terjadi karena perubahan warna klorofil dapat dicegah dengan larutan
alkali. Perubahan ini mungkin disebabkan oleh penambahan Fe dan Mg
yang tidak tepat pengukurannya, sehingga perannya dalam mencegah

reaksi ini kurang optimal. Pada perlakuan kacang panjang dipanaskan
dengan asam cuka, perubahan warna terjadi dari bening menjadi pink
pucat, bahan dari berwarna hijau menjadi coklat. Hal ini disebabkan
klorofil kehilangan magnesium pada saat dipanaskan, dan rekasi tersebut
berjalan cepat pada larutan yang ber pH asam (Winarno, 2008).
Tabel 4.3 Pengaruh Beberapa Perlakuan terhadap Zat Warna Bawang
Merah
Ke
l

Perlakuan

Sebelum Pemanasan
Warna
pH

Bawang merah +
16

air ledeng 50 ml

Larutan: keruh

(pemanasan

Bahan: violet

Larutan: kuning
7,4

16

Larutan: bening

(pemanasan

Bahan: violet

16

Larutan: bening

NaHCO3 + 50 air

Bahan: violet

7,1

16

0,5 gram FeCl3 +
50 air ledeng
Bawang merah +

16

0,5 gram MgCl2 +
50 air ledeng
Bawang merah +

16

6,6

Larutan: hijau
8,1

pekat keruh

8,2

Bahan: putih
Larutan: orange

Larutan: kuning
Bahan: violet

Larutan: kuning
Bahan: violet

2,5 ml asam cuka

Larutan: bening

99% + 50 ml air

Bahan: violet

ledeng

muda keruh
Bahan: putih

ledeng
Bawang merah +

6,7

Larutan: hijau

tertutup)
Bawang merah +
0,5 gram

keruh
Bahan: putih

terbuka)
Bawang merah +
air ledeng 50 ml

Setelah Pemanasan
Warna
pH

5,3

keruh
Bahan: putih

5,4

pucat
Larutan: merah
5,8

muda

5,5

Bahan: putih

3,2

Larutan: merah
Bahan: putih

3,1

Sumber: Laporan Sementara
Hasil pengujian menunjukkan pada pemanasan terbuka dan
pemanasan tertutup terjadi perubahan. Perubahan warna yang terjadi
akibat degradasi panas dan pH. Pada pemanasan tertutup warna yang
dihasilkan lebih kerung dibandingkan dengan pemanasan terbuka.
Seharusnya pada pemanasan terbuka pH menjadi naik, karena pada saat
pemanasan asam-asam organic dibebaskan, akan tetapi hasil menunjukkan
pH justru menurun. Hal ini mungkin disebabkan pH meter yang digunakan
rusak sehingga tidak memberikan hasil yang valid. Warna larutan yang
keruh disebabkan oleh degradasi antosianin dipercepat dengan adanya
oksigen. Selain itu, pigmen antosianin yang ada pada bahan bersifat larut
salam air, sehingga ikut teruapkan.
Pada pemanasan tertutup larutan menjadi lebih asam dikarenakan
asam-asam organik tertahan karena tidak bisa teruapkan. Pada perlakuan
pemanasan dengan NaHCO3 yang bersifat basa menunjukkan adanya
perubahan menjadi hijau pekat. Hal ini tidak sesuai dengan teori menurut
Winarno (2008) bahwa pemanasan antosianin dalam kondisi basa, warna
menjadi violet. Hal ini tidak sesuai dengan teori yang seharusnya warna
berubah menjadi violet. Hal ini mungkin kelarutan antosianin dalam
larutan hanya sedikit sehingga indikator warna yang terjadi tidak terlihat
jelas. Atau bisa saja NaHCO3 yang digunakan sedikit kadarnya.
Pada perlakuan FeCl3 dan MgCl2 terjadi perubahan warna. Hal ini
dikarenakan antosianin relatif tidak stabil pada suasana alkali. Pada
suasana asam, antosianin cenderung stabil dan dapat mempertahankan
warna. Hal ini diketahui perubahan warna yang terjadi pada larutan.
Perubahan larutan juga terjadi dikarenakan antosianin bersifat larut dalam
air, sehingga warna yang ada pada bahan terlarut pada lingkungan larutan.
Pigmen yang terdapat pada bawang merah adalah antosianin. Antosianin
tergolong pigmen yang termasuk flavonoid yang larut air. Flavonoid
mengandung benzena yang dihubungkan dengan tiga atom karbon.

Antosianin menunjukkan ketika pH 3, akan berwarna merah. Pada pH 7
(netral) berwarna ungu dan pada pH basa berwarna biru tua (Winarno,
2004). (Winarno, 2008).
Tabel 4.4 Pengaruh Beberapa Perlakuan terhadap Zat Warna Hewan
Kel
6

6

6

6

6

6

Perlakuan

Sebelum Pemanasan
5’
10’
15’
Merah
Merah
Merah

udara

0’
Merah

terbuka
Pemanasan

coklat
Merah

coklat
Merah

coklat
Merah

coklat
Merah

dengan

coklat

pucat

pucat

pudar

Di

0’

Setelah Pemanasan
5’
10’

-

15’

-

-

-

Merah

Putih,

Coklat,

Bagia

pucat

mera

putih

n atas

aquadest

h,

sema

putih

kin

Pemanasan

Merah

Merah

Merah

Merah

Merah

Ham

Merah,

coklat
Mera

dengan

pucat

pudar

pucat

pudar

pucat

pir

coklat

h,

pucat

muda

coklat

curing I

kesel

agak

uruha

tua

Pemanasan

Merah

Merah

Merah

Merah

Merah

n
Putih,

Putih,

Putih,

dengan

pucat

pucat

pucat

pudar

pucat

cokla

coklat

coklat

curing II
Pemanasan

Merah

Merah

Merah

Merah

Merah

t
Cokla

muda
Putih,

Cokla

dengan

agak

pucat

pucat

pudar

pucat

t,

coklat

t,

curing III
Pemanasan

pucat
Merah

Merah

Merah

Merah

Merah

putih
Mera

Coklat,

putih
Mera

dengan

pucat

pucat

pucat

pudar

pucat

h,

putih

h,

curing IV

putih

coklat

Sumber: Laporan Sementara
Keterangan:
Larutan curing I: 0,1 gr NaNO3 + 0,1 gr NaNO2 + 0,05 gr vitamin C.
Larutan curing II: 0,2 gr NaNO3
Larutan curing III: 0,2 gr NaNO2
Larutan curing IV: 0,2 gr vitamin C
Daging segar jika dipotong mula-mula berwarna ungu, tetapi lama
kelamaan permukaannya segera berubah menjadi merah terang dan
akhirnya coklat. Warna coklat ini sering digunakan sebagai petunjuk

menurunnya mutu daging. Daging yang dikehendaki adalah yang selalu
dalam keadaan segar dan berwarna merah ceri. Jika warnanya tidak lagi
merah, hilangnya pesona daging tersebut (Astawan, 2004).
Warna daging disebabkan oleh adanya dua pigmen mioglobin dan
hemoglobin. Kedua pigmen tersebut mengandung globin sebagai bagian
protein dan gugus terdiri atas sistem cincin porfirin dan atom besi pusat.
Dalam mioglobin, bagian protein mempunyai bobot molekul sekitar
17.000. Dalam hemoglobin, bobot molekul bagian protein sekitar 67.000,
setara dengan empat kali bobot molekul mioglobin (Deman, 1979).
Menurut Winarno (2008) hemoglobin mempunyai BM sekitar
68.000 dan terdiri dari protein yang disebut globin. Pada molekul tersebut
terikat empat gugusan heme. Molekul globin terdiri dari empat rantai
peptida yang tersusun dalam bentuk konfigurasi tetra-hedral. Gugusangugusan heme terletak dalam suatu kantung-kantung pada permukaan
molekul globin. Setiap kantung dibentuk oleh suatu lipatan satu rantai
peptida. Dalam daging segar dan dengan adanya oksigen, terdapat suatu
sistem dinamik yang terdiri atas tiga pigmen yaitu oksimoiglobin,
mioglobin dan metmioglobin. Reaksi bolak-balik dengan oksigen ialah
Mb + O2 MbO2. Dalam kedua pigmen itu, besi berada dalam bentuk besi
(II) dan pada oksidasi menjadi besi (III), senyawa menjadi metmioglobin.
Warna merah mirip daging segar disebabkan oleh adanya oksimioglobin.
Perubahan warna menjadi coklat terjadi dalam dua tahap, sebagai berikut:
MbO2
Merah

Mb
Merah kelembayungan

MetMb
Kecoklatan

Daging segar yang terkena udara menunjukkan warna merah mirip
oksimioglobin pada permukaan. Di bagian dalam, myoglobin berada
dalam keadaan tereduksi dan daging berwarna hijau atau lembayung gelap.
Selama ada senyawa yang mereduksi dalam daging, myoglobin akan tetap
berada dalam bentuk tereduksi. Jika senyawa yang mereduksi habis, warna

coklat metmioglobin akan menonjol (Deman, 1979). Salah satu upaya
mempertahankan warna merah daging dilakukan degan cara curing.
Curing merupakan suatu cara perlakuan pendahuluan pada daging
segar sebelum proses pengawetan selanjutnya dilakukan, seperti untuk
pembuatan daging kornet, dendeng, sosis dan lain-lain. Daging yang telah
dicuring

bertujuan

mengawetkan,

mempersiapkan

daging

pada

penggunaan berikutnya, menghambat pertumbuhan mikrobia serta
menimbulkan rasa dan flavor yang enak (Astawan, 2004).
Menurut Soeparno (1994) curing adalah cara prosesing daging
dengan menambahkan beberapa bahan seperti garam (NaCl), Na-nitrit, Nanitrat, dan gula (dekstrosa atau sukrosa) atau pati-pati hidrolisis), serta
bumbu-bumbu. Tujuan curing antara lain adalah untuk mendapat warna
yang stabil, aroma, tekstur dan kelezatan yang baik, dan untuk mengurangi
pengerutan daging selama prosesing serta emperpanjang masa simpan
produk daging. Produk daging yang diproses dengan curing disebut daging
cured (daging peram).
Selain nitrit, gula dan garam ditambahkan dalam proses curing.
Komponen gula dan garam dalam curing berfungsi sebagai penyedap dan
pengawet,

khusus

untuk

gula

juga

berperan

dalam

membantu

mempertahankan kestabilan warna. Sedangkan garam dibutuhkan dalam
konsentrasi tertentu untuk menghambat pertumbuhan mikroorganisme.
Jumlah garam yang ditambahkan dalam daging sangat tergantung pada
kondisi lingkungan seperti temperature dan tingkat keasaman (pH).
Kondisi lingkungan tersebut akan mempengaruhi keefektifan fungsi garam
sehingga tidak ada batasan pasti yang menentukan konsentrasi garam
dalam proses curing (Shiddieqy, 2006).
Proses curing daging melibatkan pemberian nitrat dan garam dapur.
Pada umumnya proses curing terjadi karena: (1) reaksi biologis yang dapat
mereduksi nitrat menjadi nitrit dan NO, yang mampu mereduksi feri
menjadi fero, (2) terjadinya denaturasi globin oleh panas. Bila daging yang
dicuring dipanaskan pada suhu 150° F atau lebih, maka terjadilah proses

denaturasi tersebut. Hasil akhir curing daging membentuk pigmen
nitrosilmioglobin bila tidak dimasak dan nitosil hemokrogen bila telah
dimasak (Winarno, 2008).
Faktor yang mempengaruhi perubahan warna daging diantaranya
suhu dan adanya oksigen., yang menyebabkan reaksi oksidasi dan reduksi.
Dengan mengetahui karakteristik zat warna hewan maka dapat dilakukan
proses-proses cara penjagaan kualitas warna pada produk. Produk dalam
industri tentunya melalui proses pemanasan. Sementara pemanasan dapat
mendegradasi pigmen atau zat warna. Dengan demikian mengetahui
karakteristik warna dapat dipertahankan dan kualitas dapat dijaga. Karena
pada dasarnya warna memiliki peran dalam menilai kualitas produk
(Winarno, 2008).
Pada perlakuan daging yang dibiarkan saja pada udara terbuka
tidak mengalami perubahan warna. Warna yang dimiliki daging sama
seperti awalnya, yakni merah kecoklatan. Pada pemanasan dengan
aquadest perubahan warna terjadi dari merah kecoklatan menjadi coklat.
Hal ini disebabkan terjadinya proses denaturasi. Pada dasarnya, aquadest
sendiri berfungsi sebagai penetral zat, sehingga aquadest menetralkan
warna selama pemanasan, sehingga myoglobin pada daging memudar
(rusak). Hasil dari pengujian curing dapat dilihat bahwa larutan curing
yang cenderung dapat mempertahankan warna pada daging adalah pada
curing I dan curing IV. Curing I adalah larutan 0,1 gram NaNO 3 + 0,1 gram
NaNO2 + 0,05 gram vitamin C. Hal ini telah sesuai dengan teori yang
dijelaskan sebelumnya bahwa nitrat dan nitrit mampu mempertahankan
warna

daging.

nitrosomyoglobin.

Nitrit
Warna

bereaksi
merah

dengan
terang

myoglobin
yang

membentuk

dihasilkan

oleh

nitrosomyoglobin memiliki sifat yang relatif stabil.
Curing IV adalah 0,2 gram vitamin C. Asam askorbat sering
ditambahkan dalam proses curing untuk membantu stabilitas warna, flavor
daging dan kemampuannya juga sebagai antioksidan. Selain itu peran
asam askorbat dalam proses curing yaitu mempercepat pembentukan nitrit

oksid dari nitrit sehingga diperoleh warna yang diharapkan dan residu
nitrit yang tertinggal pada produk daging curing semakin sedikit.
Penambahan

asam

askorbat

dan

eritorbat

mampu

mempercepat

pembentukan nitrit oksid dari nitrit. Reaksi pewarnaan pada curing dengan
penambahan asam askorbat dapat terjadi secara lambat karena adanya zat
pereduksi yang dapat mereduksi metmioglobin menjadi myoglobin (Price,
Watts and Lehman, 1952 dalam Borenstein, 1976) dan kemudian bereaksi
dengan nitrit oksid menghasilkan nitrit oksid myoglobin yang berwarna
merah cerah.
Salah satu contoh penerapan teknologi curing pada daging sapi
adalah pembuatan kornet. Kornet merupakan salah satu jenis daging
olahan berupa daging giling kasar dengan bahan tambahan bahan pengisi
dan bahan pengikat serta bumbu-bumbu. Kornet umumnya dibuat dari
daging sapi, dalam pembuatan kornet daging yang digunakan merupakan
potongan daging segar atau beku. Dagin segar yang dibuat menjadi kornet,
sehari sebelumnya dicuring terlebih dahulu. Tujuannya adalah untuk
memberikan warna merah cerah pada produk kornet yang dihasilkan.

E. KESIMPULAN
Berdasar hasil praktikum acara V Zat Warna Tanaman dan Hewan,
dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Zat warna karotenoid stabil pada kondisi asam dan basa karena warna dapat
dipertahankan pada kondisi ini, namun klorofil cenderung lebih stabil pada
kondisi basa dan dalam larutan garam. Sementara antosianin pada kondisi
asam berwarna merah dan kondisi basa berwarna biru tua sedangkan pada
pH netral berwana ungu.
2. Pemberian nitrit pada daging memberikan warna merah terang hal ini
karena adanya nitrosomyoglobin yang cederung stabil pada reaksi oksidasi.
Sehingga nitrit dapat digunakan sebagai bahan pengawet. Asam askorbat
menyebabkan rendahnya pH dan dapat mempengaruhi nitrosomyoglobin,

menyebabkan berkurangnya residu nitrit pada daging dan membuat warna
merah daging tetap stabil.

DAFTAR PUSTAKA
Astawan, Made. 2004. Dapatkan Protein dari Dendeng. Departemen Teknologi
Pangan dan Gizi IPB. Bogor.
Borenstein, B and E. G. Imith. 1976. Potention of The Ascorbate Effect in Corned
Mead Pigment Development. Journal Food Science. 1054-1055.
Buckle, K A., R A Edward, G H Fleet dan M Wootton. 2010. Ilmu Pangan. UI
Press. Jakarta.
Cassens, R. G., T. Ito and M. Lee. 1979. Reaction of Nitrite on Meat. Food Tech
(33). July. (7 : 46-54).
Christiansen, L.N., 1980. Factor influencing Botulinal Inhibitor by Nitrite.
Journal Food Technology. (34)5 : 2525-253, 237-239.
Cruz-Garcia, Carlos De La., et al. 1997. The Effects of Various Culinary
Treatments on The Pigment Content of Green Beans (Phaseolus vulgaris,
L.). Food Research International, Vol. 30, No. 10, Page:787.
Deman, John M. 1979. Kimia Makanan. ITB. Bandung.
Forrest, J. C, et al,. 1975. Principle of Meat Science. W. H. Freeman and
Company. San Fransisco.
Fretes, de Helly, AB. Susanto, Budhi Prasetyo dan Leenawaty Limantara. 2012.
Karotenoid dari Makroalgae dan Mikroalgae: Potensi Kesehatan Aplikasi
dan Bioteknologi. Jurnal Teknologi dan Industri Pangan, Vol. XXIII, No. 2
, Th. 2012
Gunawan, Lia. 2013. Analisa Perbandingan Kualitas Fisik Daging Sapi Impor
dan Daging Sapi Lokal. Fakultas Ekonomi. Universitas Kristen Petra.

Hendriyani, Ika Susanti dan Nintya Setiari. 2009. Kandungan Klorofil dan
Pertumbuhan Kacang Panjang (Vigna sinensis) pada Tingkat Penyediaan
Air yang Berbeda. Jurnal Sains & Mat. Vol. 17 No. 3, Juli 2009: 145-150.
Mardaningsih, Fitri, M.A.M. Andriani, dan Kawiji. 2012. Pengaruh Konsentrasi
Etanol dan Suhu Spray Dryer terhadap Karakteristik Bubuk Klorofil Daun
Alfalfa (Medicago sativa L.) dengan Menggunakan Binder Maltodekstrin.
Jurnal Teknosains Pangan, Vol. 1 No. 1 Oktober 2012.
Muchtadi, Tien., Sugiyono dan Fitriyono Ayustaningwarno. 2011. Ilmu
Pengetahuan Bahan Pangan. Alfabeta. Bandung.
Park, Sun Mi., et al. 2011. Identification of Anthocyanin from The Extract of
Soybean Seed Coat. International Journal of Oral Biology, Vol. 36, No. 2,
Hal:59.
Pitojo, Setijo dan Zumiati. 2009. Pewarna Nabati Makanan. Kanisius.
Yogyakarta.
Said, M I., J C Likadja dan M Hatta. 2011. Pengaruh Waktu dan Konsentrasi
Bahan Curing terhadap Kuantitas dan Kualitas Gelatin Kulit Kambing
yang Diproduksi melalui Proses Asam. JITP, Vol. 1, No. 2, Hal:120.
Satyantini, Woro H., et al. 2009. Penambahan Wortel sebagai Sumber Beta
Karoten Alami dengan Beberapa Metode Pengolahan pada Pakan
terhadap Peningkatan Warna Biru Lobster Red Claw. Jurnal Akuakultur
Indonesia, 8(1), Hal:20.
Shiddieqy. 2006. Mengawetkan Daging Tanpa Formalin. Pikiran Rakyat
Bandung. November 2007.
Simanjuntak, Lidya., Chairina Sinaga dan Fatimah. 2014. Ekstraksi Pigmen
Antosianin dari Kulit Buah Naga Merah (Hylocereus polyrhizus). Jurnal
Teknik Kimia USU, Vol. 3, No. 2, Hal:25.
Soeparno, 1994. Ilmu dan Teknologi Daging. Fakultas Peternakan UGM.
Yogyakarta, 233-237
Sofos, J. N., dan Busta, F.F. 1980. Alternatives to The Use of Nitrites as An
Antibotulinal Agent. Food Tech. (34) 5 : 244-251.
Utami, dr. Prapti, dkk. 2013. Umbi Ajaib Tumpas Penyakit. Penebar Swadaya.
Depok.
Winarno F G. 2008. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia. Jakarta.

LAMPIRAN

Gambar 1. Pemotongan
kacang panjang

Gambar 2. Penimbangan
kacang panjang

Gambar 3. Penempatan
kacang panjang ke gelas
beaker

Gambar 4. Perlakuan
kacang panjang sebelum
pemanasan

Gambar 5. Perlakuan
kacang panjang setelah
pemanasan

Gambar 6. Pengukuran pH
kacang panjang

Gambar 7. Pemasukan
wortel ke gelas beaker

Gambar 8. Pengamatan
perubahan warna pada
wortel

Gambar 9. Pemanasan
pada wortel dan bawang
merah

Gambar 10. Daging pada
suhu ruang

Gambar 11. Pencacahan
daging sapi

Gambar 12. Daging suhu
ruang setelah 5’

Gambar 13. Daging suhu
ruang setelah 10’

Gambar 14. Daging
suhu ruang setelah 15’

Gambar 15. Daging curing
setelah pemanasan