LAPORAN AKHIR PROGRAM KREATIVITAS MAHASI

LAPORAN AKHIR PROGRAM KREATIVITAS MAHASISWA JUDUL PROGRAM

Makna Pengorbanan Putri Mandalika pada Tradisi Bau Nyale: Suatu Kajian Historical Culture ditinjau dari Perspektif Aksiologi dalam Upaya

Penanaman Nilai-Nilai Pancasila BIDANG KEGIATAN: PKM-PENELITIAN SOSIAL HUMANIORA

Diusulkan oleh:

Jayantika Soviani 13/350279/SA/17115 (2013) Arisko Fathurrahman

13/353868/SA/17274 (2013)

Qarel Muhammad Hawari 13/351694/SV/04495 (2013) Said Nabil Khalifa

14/363788/TK/41797 (2014)

UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA 2016

HALAMAN PENGESAHAN

RINGKASAN

Penelitian ini ditujukan sebagai salah satu upaya untuk mengembalikan kedudukan Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara Indonesia melalui kearifan lokal suatu daerah, salah satunya pada tradisi Bau Nyale di Kabupaten Lombok Tengah. Pengembalian kedudukan ini didasarkan atas lunturnya nilai – nilai Pancasila oleh dampak buruk globalisasi yang membawa karakter masyarakat Indonesia menjadi individualistik dan liberal. Realitas ‘keterpinggiran’ nilai – nilai Pancasila sudah dianggap dalam ambang batas mengkhawatirkan. Hal ini dapat dilihat dari berbagai permasalahan bangsa yang tidak kunjung usai seperti konflik antarwarga, korupsi, dan ketidakharmonisan pemerintah dengan masyarakat.

Pemaknaan atas tradisi Bau Nyale dapat dikaji dengan menemukan asal muasal tradisi tersebut dilaksanakan. Penelusuran tradisi dilaksanakan dengan konsep analisa kearah historis dan kultural. Dengan basis historical culture akan mengarahkan pada pemahaman, perkembangan serta perjalanan eksistensi suatu tradisi dari awal perkembangan hingga zaman kontemporer atau kekinian.

Dalam pemaknaan historis dan kultural diupayakan mampu menggali suatu nilai-nilai ( values ) yang tersirat dalam tradisi Bau Nyale secara aksiologi (klasifikasi nilai). Suatu tradisi yang dijadikan panutan dan way of life bagi kehidupan dalam masyarakat Sasak di Lombok, sehingga melahirkan nilai-nilai yang sejalan dengan nilai-nilai Pancasila.

Analisa historical culture dan eksplorasi relevansi nilai moral terhadap nilai-nilai Pancasila pada tradisi Bau Nyale dilakukan dengan pendekatan fenomenologi. Hasil yang ingin didapatkan adalah transfer knowledge dari yang terlibat langsung dalam pelaksanaan serta menggali lebih lanjut atas pengaruh tradisi tersebut dalam kehidupan, terutama dalam implementasi nilai Pancasila.

Kata kunci: tradisi Bau Nyale, historical culture , Pancasila

BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Pancasila merupakan rumusan dan pedoman kehidupan berbangsa dan

bernegara bagi seluruh rakyat Indonesia. Sebagai ideologi dan dasar negara, Pancasila mempunyai fungsi acuan bersama, yakni memecahkan pertentangan dan perbedaan yang ada untuk menjaga, memelihara, dan mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pancasila dilahirkan dari gagasan kepribadian bangsa Indonesia. Nilai-nilai Pancasila dijadikan pedoman oleh penyelenggara negara dalam bertingkah laku dan pengambilan keputusan dengan tetap memelihara budi pekerti kemanusiaan yang luhur serta memegang teguh cita-cita moral bangsa.

Akan tetapi, saat ini nilai –nilai Pancasila mulai tergerus oleh dampak buruk globalisasi yang membawa karakter masyarakat menjadi individualistik dan liberal. Re alitas ‘keterpinggiran’ nilai–nilai Pancasila dianggap dalam ambang batas mengkhawatirkan. Hal ini dapat dilihat dari berbagai permasalahan bangsa yang tidak kunjung usai, seperti konflik antarwarga, korupsi, dan ketidakharmonisan pemerintah dengan masyarakat.

Fenomena lunturnya nilai –nilai Pancasila dari bangsa Indonesia menjadi sangat layak untuk dikaji dalam upaya pengembalian kedudukan Pancasila sebagai dasar ideologi negara. Upaya yang ditawarkan dalam penelitian ini adalah kearifan lokal yang terdapat dalam tradisi daerah, yaitu tradisi Bau Nyale di Lombok Tengah. Kearifan lokal adalah warisan masa lalu yang berasal dari leluhur, yang tidak hanya terdapat dalam sastra tradisional (sastra lisan atau sastra tulis) sebagai refleksi masyarakat penuturnya, namun terdapat juga dalam berbagai bidang kehidupan nyata, salah satunya adalah pandangan hidup (Pancasila).

Bau Nyale berasal dari bahasa Sasak, bau artinya menangkap dan nyale artinya cacing warna. Jadi tradisi Bau Nyale adalah tradisi menangkap cacing warna. Tradisi ini sangat melegenda dan diyakini memiliki nilai sakral yang tinggi bagi masyarakat Lombok. Keberadaan tradisi Bau Nyale ini memiliki hubungan langsung dengan cerita rakyat suku Sasak pada abad ke-16 Masehi.

Penelitian ini memfokuskan pada kajian historisitas kebudayaan terhadap tradisi Bau Nyale. Dalam menilik penelitian ini, didapatkan aspek penting bahwa nilai-nilai penyusun Pancasila yang menjadi falsafah bangsa berasal dari nilai-nilai luhur masyarakat Indonesia.

Oleh karena itu, penelitian ini diharapkan mampu menjadi wadah baru dalam memahami Pancasila dan nilai historis kedaerahan di Indonesia.Selanjutnya, penelitian ini diharapkan mampu memberikan inspirasi tentang cara bermasyarakat ditengah kehidupan modern dengan tetap menjaga identitas Indonesia sebagai negara dengan ribuan budaya dalam koridor nilai Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika.

1.2 Rumusan Masalah Rumusan masalah pada penelitian ini adalah:

1. Bagaimana makna pengorbanan Putri Mandalika pada tradisi Bau Nyale ditinjau secara aksiologi?

2. Bagaimana masyarakat Lombok Tengah mengimplementasikan makna tradisi Bau Nyale?

3. Bagaimana upaya menumbuhkan kembali nilai Pancasila pada masyarakat Indonesia?

1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah :

1. Mengetahui makna pengorbanan Putri Mandalika pada tradisi Bau Nyale ditinjau secara aksiologi.

2. Mengetahui masyarakat Lombok Tengah mengimplementasikan makna tradisi Bau Nyale.

3. Mengetahui upaya menumbuhkan kembali nilai Pancasila pada masyarakat Indonesia.

1.4 Manfaat Penelitian

1. Aspek Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah mengenai tinjauan historical culture nilai pengorbanan Putri Mandalika pada tradisi Bau Nyale.

2. Aspek Praktis Hasil penelitian ini diharapkan menjadi salah satu acuan dalam upaya pengembalian kedudukan nilai-nilai kebaikan Pancasila yang mulai luntur dikalangan masyarakat Indonesia.

1.5 Target Luaran

Target yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:

1. Memahami nilai moral pengorbanan putri Mandalika.

2. Mengimplementasikan nilai tradisi Bau Nyale terhadap kehidupan sosial.

3. Mewujudkan masyarakat Indonesia yang berazaskan Pancasila.

1.7 Luaran yang Diharapkan Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan informasi mengenai

kearifan lokal yang ada di Indonesia. Luaran yang diharapkan dari penelitian ini berupa artikel ilmiah, poster, dan buku.

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penelitian yang Telah Dilakukan Sejauh pengamatan, penelitian tentang Bau Nyale telah banyak dilakukan oleh

beberapa peneliti di Indonesia. Dibawah ini disebutkan empat penelitian tentang Bau Nyale yang dirasa cukup untuk mewakili penelitian yang pernah dilakukan.

Pertama sebuah penelitian yang dilakukan oleh Zainal Arifin (2008) dengan judul penelitian “Resepsi Masyarakat terhadap Nilai Sosial dan Cerita Rakyat Mandalika Nyale”. Dalam penelitian ini, ia mengungkapkan resepsi masyarakat

Sasak terhadap cerita rakyat Bau Nyale yang diwujudkan dengan pandangan, tanggapan, dan penerimaan masyarakat Sasak secara positif terhadap ide cerita rakyat serta mengungkap kandungan nilai sosial budaya dan sikap antusiasme masyarakat Sasak dalam menyambut pementasan Bau Nyale di Lombok.

Penelitian kedua dilakukan oleh Kasniwati (2009) dengan judul penelitian “Mitologi dan Saintologi Eunice fucata (cacing nyale) dalam Pengembangan Objek Wisata Bagi Pembangunan Lombok Tengah”. Dalam penelitian ini, ia mengungkapkan mitologi masyarakat tentang keberadaan cacing nyale yang berada di Pantai Seger. Ia juga mengobservasi keadaan ekologi pantai selatan Lombok Tengah yang mendukung keberlangsungan hidup cacing nyale tersebut.

Penelitian Program Kreativitas Mahasiswa tentang Bau Nyale juga pernah dilakukan oleh Mustini (2012) dengan judul “Pengolahan Terpadu Hasil Tangkapan Nyale oleh Masyarakat Lombok Tengah Melalui PKM Su-Ka (Program Kreativitas Masyarakat Suku-Sasak) sebagai Upaya Pengembangan Budaya Lokal Menuju Pasar Global”. Dalam penelitian ini, ia memaparkan pemanfaatan nyale oleh masyarakat Lombok, pengembangan kreativitas masyarakat suku Sasak saat upacara adat Bau Nyale, serta penyediaan informasi ilmiah mengenai kandungan gizi pada Nyale.

Penelitian terakhir dilakukan oleh Mahmud Muhyidin (2015) dalam minithesis nya yang berjudul “Aktivitas Komunikasi Upacara Adat Bau Nyale Suku Sasak di Pulau Lombok Nusa Tenggara Barat (Studi Etnografi Komunikasi pada Aktivitas Komunikasi dalam Upacara Adat Bau Nyale Suku Sasak di Pulau Lombok Nusa Tenggara Barat)”. Dalam penelitian ini dijelaskan situasi komunikatif, peristiwa komunikatif dan tindak komunikatif. Situasi komunikatif yang dimaksud adalah rangkaian upacara Bau Nyale serta tempat berlangsungnya acara tersebut. Peristiwa komunikatif yang dimaksud adalah keyakinan masyarakat Lombok dengan adanya putri Mandaika dan pengorbanan yang telah ia lakukan. Sedangkan tindak komunikatif yang dimaksudkan adalah teriakan masyarakat Lombok dan juga gerakan memukul-mukul dan mengobok-obok air ketika kegiatan ini berlangsung.

Sejauh ini penelitian tentang tradisi Bau Nyale yang pernah ditemui hanya berupa gambaran deskriptif mengenai tradisi Bau Nyale. Pembahasan tidak sampai mengungkap makna-makna khusus dari setiap aspek termasuk Bau Nyale sebagai salah satu hal yang sakral pada rangkaian upacara. Deskripsi yang didapatkan berupa promosi kebudayaan dalam ranah pariwisata serta gambaran dari upacara- Sejauh ini penelitian tentang tradisi Bau Nyale yang pernah ditemui hanya berupa gambaran deskriptif mengenai tradisi Bau Nyale. Pembahasan tidak sampai mengungkap makna-makna khusus dari setiap aspek termasuk Bau Nyale sebagai salah satu hal yang sakral pada rangkaian upacara. Deskripsi yang didapatkan berupa promosi kebudayaan dalam ranah pariwisata serta gambaran dari upacara-

2.2 Landasan Teori Kebudayaan adalah fenomena pilihan hidup, baik pilihan budaya baik maupun

budaya jelek, karena pada dasarnya ada kebudayaan positif (baik) dan kebudayaan jelek (Endraswara, 2006). Kebudayaan merupakan seluruh total pikiran, karya dan hasil karya manusia yang tidak berakar pada nalurinya melainkan karena manusia memperolehnya dengan cara belajar (Koentjaraningrat, 1974).

Kearifan lokal dapat disimpulkan sebagai kepribadian, identitas kultural masyarakat yang berupa nilai, norma, etika, kepercayaan, adat-istiadat dan aturan khusus yang diterima oleh masyarakat dan teruji kemampuannya sehingga dapat bertahan secara terus menerus (Sartini, 2009).

Historisitas dapat dimaknai sebagai perjalanan waktu dari masa lampau, masa kini, dan masa yang akan datang. Historis dalam pengertian perlunya menunjukkan relevansi kesadaran historis dalam pengertian menuntut setiap kegiatan yang dilangsungkan manusia sebagai maneuver perjalanan dan perkembangan peradaban suatu masyarakat (Bertens, 2005).

Nilai yang dibicarakan pada tradisi bukanlah nilai dalam artian nilai yang bisa dihitung dengan angka, skor, harga, dan tingkatan, melainkan nilai dalam artian kualitas atau sifat yang membuat apa yang bernilai jadi bernilai (Magnis-Suseno, 2009). Contoh nilai dalam artian tersebut misalnya: bunga yang indah dan perbuatan itu susila. Indah dan susila adalah sifat atau kualitas (nilai) yang melekat pada bunga dan perbuatan (Kaelan, 2009). Nilai berupa kualitas, artinya nilai bukanlah suatu realitas empiris, melainkan a priori (mendahului pengalaman). Karena berupa kualitas, nilai merupakan ada yang bersifat parasistis (menempel) yang tidak dapat hidup tanpa objek yang riil (Frondizi, 2011). Lalu, bagaimana memahami nilai? Walaupun tidak dapat disentuh oleh panca indra, nilai dapat dipikirkan oleh manusia. Cara manusia memahami nilai tidaklah menggunakan analisis rasional, akan tetapi melalui intuisi manusia itu sendiri (Mukromin, 2012)

Aksiologi berasal dari kata axios (Yunani) yang berarti nilai dan logos yang berarti teori. Jadi aksiologi adalah teori tentang nilai. Nilai yang dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai (Kunaryo, 1994).

Teori tentang nilai ini mengacu pada permasalahan etika dan estetika. Makna “etika” dipakai dalam dua bentuk arti. Pertama, etika merupakan suatu kumpulan

pengetahuan mengenai penilaian terhadap perbuatan-perbuatan manusia. Arti kedua, merupakan suatu predikat yang dipakai untuk membedakan hal-hal, perbuatan-perbuatan, dan manusia lain .Objek formal etika meliputi norma-norma pengetahuan mengenai penilaian terhadap perbuatan-perbuatan manusia. Arti kedua, merupakan suatu predikat yang dipakai untuk membedakan hal-hal, perbuatan-perbuatan, dan manusia lain .Objek formal etika meliputi norma-norma

Sila-sila Pancasila sebagai suatu sistem filsafat memiliki satu kesatuan dasar aksiologis, yaitu nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila pada hakikatnya juga merupakan suatu kesatuan. Aksiologi Pancasila mengandung arti bahwa kita membahas tentang filsafat nilai Pancasila. Dalam filsafat Pancasila, disebutkan ada tiga tingaktan nilai, yaitu nilai dasar, nilai instrumental dan nilai praktis.

BAB 3. METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif analitik dengan pendekatan fenomenologi. Alasan metode dan teknik penelitian dipilih karena yang dikaji adalah pengalaman yang dimiliki oleh warga Lombok, khususnya Lombok Tengah, mengenai bagaimana makna dari tradisi Bau Nyale. Dengan menggunakan metode ini, peneliti dapat memahami bagaimana individu –individu dari masyarakat Lombok memahami, merasakan, dan mengimplementasikan nilai –nilai Pancasila dari tradisi Bau Nyale.

Pendekatan fenomenologi merupakan salah satu rumpun yang berada dalam rumpun penelitian kualitatif. Fenomenologi adalah salah satu ilmu tentang fenomena atau yang nampak untuk menggali esensi makna yang terkandung di dalamnya . Pendekatan fenomenologi mengarah pada dwifokus dari pengamatan, yaitu (1) apa yang tampil dalam pengalaman, yang berarti bahwa seluruh proses merupakan objek studi; (2) apa yang langsung diberikan ( given ) dalam pengalaman itu, secara langsung hadir ( present ) bagi yang mengalammya. (Soelaiman, 1985: 126)

3.2 Sumber Data

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan sumber data primer dan sumber data sekunder.

3.2.1 Sumber Data Primer Subjek penelitian ini menjadi informan yang akan memberikan berbagai

informasi yang diperlukan selama proses penelitian melalui wawancara. Informan adalah seseorang yang benar-benar mengetahui suatu persoalan atau permasalahan tertentu yang darinya dapat diperoleh informasi yang jelas, akurat, dan terpercaya (Moleong, 2000). Informasi tersebut dapat berupa pernyataan, keterangan, atau data-data yang dapat membantu memahami persoalan atau permasalahan yang diteliti.

Sumber data primer yang telah peneliti dapatkan yaitu wawancara terhadap informan-informan yang telah dikategorikan untuk memastikan keabsahan data dan

juga melakukan pengumpulan data dalam bentuk catatan tentang situasi dan kejadian pada masyarakat. Kategori informan tersebut antara lain:

a. Rohaniawan

b. Pendidik

c. Budayawan

d. Pemerintah

3.2.2 Sumber Data Sekunder Sumber data sekunder dari penelitian ini berupa hasil pengolahan lebih lanjut dari data primer yang disajikan dalam bentuk lain atau dari orang. Data ini nantinya dapat digunakan sebagai penunjang informasi dari data primer yang diperoleh dari wawancara. Penulis juga menggunakan data sekunder dari hasil studi literatur. Dalam studi pustaka, penulis membaca literatur –literatur endemik yang didapat selama penelitian di Lombok. Literatur tersebut adalah sebagai berikut:

a. Judul : Warna Warni Tradisi Sasak Samawa Mbojo Penulis

: Nanik I. Taufan

Penerbit : Museum Kebudayaan Samparaja Bima Tahun Cetakan

b. Judul

: Bau Nyale di Lombok

Penulis : Proyek Media Kebudayaan Jakarta Penerbit

: Pustaka Wisata Budaya

Tahun Cetakan

c. Judul

: Nyale di Lombok

Penulis

: Lalu Wacana

Penerbit

: Pustaka Wisata Budaya

Tahun Cetakan

3.3 Teknik Pengumpulan Data Penentuan informan dilakukan dengan metode purposive sampling dan

snowball sampling. Purposive sampling adalah teknik pengambilan sampel dengan pertimbangan tertentu. Dengan menggunakan purposive sampling , diharapkan kriteria sampel yang diperoleh benar-benar sesuai dengan penelitian yang dilakukan dan mampu menjelaskan keadaan sebenarnya tentang obyek yang diteliti (Sugiyono, 2012:216). Sedangkan snowball sampling adalah teknik penentuan sampel yang mula –mula jumlahnya kecil, kemudian sampel ini disuruh memilih teman –temannya untuk dijadikan sampel begitu seterusnya, sehingga jumlah sampel semakin banyak (Sugiyono, 2012:61).

3.4 Teknik Pemeriksaan Keabsahan dan Analisis Data Untuk memastikan keabsahan data, peneliti menggunakan teknik triangulasi

sumber data, maksudnya adalah membandingkan dengan pengecekan balik derajat

kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang diperoleh. Hal ini peneliti lakukan dengan cara membandingkan keadaan dan perspektif tradisi Bau Nyale dari berbagai pendapat dan keadaan orang lain. Perbandingan ini akan memperjelas perselisihan atas latar belakang dan alasan terjadinya perbedaan pendapat maupun pandangan. Selain itu, peneliti juga membandingkan hasil wawancara dengan isi literatur, kemudian baru dilakukan analisis data.

Analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode perbandingan tetap yaitu suatu analisa data yang secara tetap membandingkan satu datum dengan datum yang lain, dan kemudian secara tetap membandingkan kategori dengan kategori lainnya (Moeleong, 2010 :288).

Proses analisa mencakup :

a. Reduksi data, yaitu melakukan identifikasi data yang kemudian memberikan kode pada setiap satuan agar dapat ditelusuri data satuannya berasal dari sumber mana

b. Ketegorisasi, yaitu memilah –milah setiap satuan ke dalam bagian yang memiliki kesamaan, lalu setiap kategori diberi label.

c. Sintesiasi, yaitu mencari kaitan antara satu kategori dengan kategori lainnya

d. Menyusun hipotesis kerja untuk menemukan teori substantif.

BAB 4. HASIL YANG DICAPAI

4.1 Sejarah dan Perkembangan Tradisi Bau Nyale Tradisi Bau Nyale adalah tradisi menangkap cacing yang dilakukan oleh warga

Lombok. Tradisi ini dilakukan setahun sekali, yakni setiap tanggal 19/20 bulan ke-

9 atau ke-10 menurut penanggalan Sasak. Tradisi ini bermula dari kepercayaan warga Lombok yang mempercayai adanya kerajaan Sekar Kuning yang dipimpinoleh raja Beberu. Raja ini memiliki seorang putri yang cantik parasnya dan baik budinya bernama Mandalika. Banyak pangeran dari penjuru negeri ingin meminangnya. Hal ini menjadikan Mandalika bimbang karena ia memikirkan akibat yang ditimbulkan jika ia memilih salah satu diantara mereka. Singkat cerita, ia memutuskan untuk mengumpulkan seluruh warga Lombok di sebuah bukit Batu Angkus. Disana ia akan mengumumkan keputusan yang telah ia ambil. Pada hari yang telah ditetapkan, ia berseru dengan suara yang lantang di atas bukit tersebut. “ Wahai para pangeran dan rakyatku, aku tidak akan memilih salah satu dari para pangeran yang melamarku. Demi kebaikan bersama, demi kebaikan negeri ini, aku tidak memilih seorangpun dari kalian. Aku akan menjadi milik semua orang, jika kalian mencintaiku, temui aku ditempat ini tanggal 20 bulan 10 setiap purnama tiba ”(Taufan, 2012:63) . Tak lama setelah itu, Mandalika menceburkan dirinya ke

laut. Seluruh rakyat yang hadir terkejut dan segera terjun ke laut untuk menyelamatkan sang putri, namun mereka tidak menemukannya, justru keluar cacing berwarna-warni yang cukup banyak. Hingga saat inimereka mempercayai bahwa cacing-cacing tersebut merupakan jelmaan dari putri Mandalika.

Seiring perkembangan zaman, tradisi menangkap cacing ini dijadikan festival kebudayaan tahunan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Lombok Tengah. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan antusiasme dari masyarakat lokal serta upaya menjaga kearifan lokal di Lombok.

4.2 Makna Pengorbanan Putri Mandalika secara Aksiologi Secara aksiologi, tradisi Bau Nyale memiliki dua nilai yang dominan, yakni

nilai sosial dan nilai moral. Nilai moral merupakan nilai kebaikan. Dalam tradisi Bau Nyale, nilai ini terlihat pada tindakan yang diambil Mandalika saat memutuskan untuk menceburkan diri kedalam laut agar tidak ada pertumpahan darah di negerinya. Niat baik sang putri adalah sebuah realisasi nilai moral yang dapat di implementasikan pada masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Lombok Tengah.

Tradisi Bau Nyale memiliki nilai sosial yang nyata pada persatuan masyarakat Lombok untuk berkumpul saat prosesi Bau Nyale berlangsung. Tradisi ini masih mereka lestarikan hingga saat ini karena Nyale yang mereka dapatkan diyakini memiliki banyak manfaat. Manfaat yang paling terlihat yaitu:

1. Dapat digunakan sebagai penyubur tanaman.

2. Dapat dikonsumsi karena memiliki protein yang tinggi.

3. Memiliki nilai jual. Dengan demikian, manfaat nyata dari Bau Nyale memberikan kontribusi siginifikan terhadap taraf hidup masyarakat Lombok.

4.3 Implementasi Tradisi Bau Nyale pada Kehidupan Mewarisi nilai nilai leluhur yang terkandung dalam tradisi Bau Nyale, antara

lain perlakuan yang adil di segala bidang kehidupan, menghormati hak milik orang lain, dan tidak mementingkan keputusan pribadi. Selain itu, setelah melakukan tradisi Bau Nyale ini, masyarakat Lombok meyakini bahwa mereka akan lebih sejahtera, sehingga bekerja lebih giat untuk mendapatkannya.

4.4 Upaya Menumbuhkan Kembali Nilai Pancasila Pada Masyarakat Indonesia

Dengan memahami dan mempelajari kearifan lokal yang ada di suatu daerah seperti tradisi Bau Nyale, sudah seharusnya masyarakat kembali berpegang teguh pada apa yang seharusnya menjadi falsafah hidupnya, yakni

Pancasila. Karena sejatinya, nilai-nilai positif yang terdapat pada kearifan lokal

merupakan potensi dan modal dasar dalam pembentukan nilai –nilai dasar yang sesuai denga sila sila Pancasila. Untuk itulah diperlukan revitalisasi nilai-nilai

kearifan lokal dengan cara menempatkannya ataupun menghidupkannya

kembali dalam konteks masa kini. Nilai –nilai itu dapat digali maupun diperhatikan dari tradisi berbagai etnis baik lisan maupun tulisan, seperti budaya gotong –royong, budaya malu, musyawarah untuk mencapai mufakat (demokrasi), toleransi, sopan santun dan saling menghormati. Dengan demikian, penggalian

nilai kearifan lokal tersebut dapat memberikan arah bagi perwujudan identitas nasional dan jati diri bangsa yang sesuai dengan nilai –nilai Pancasila.

BAB 5. KESIMPULAN

Secara aksiologi, tradisi Bau Nyale memiliki dua nilai dominan, yakni nilai sosial dan nilai moral. Nilai moral dalam tradisi bau nyale nilai ini terlihat pada tindakan yang diambil Mandalika untuk menceburkan diri kedalam laut agar tidak ada pertumpahan darah di negerinya.Tradisi Bau Nyale memiliki nilai sosial yang nyata pada persatuan masyarakat ketika mereka berkumpul saat prosesi Bau Nyale. Maka dengan demikian, penggalian nilai kearifan lokal ini telah terbukti mampu memberikan arah bagi perwujudan identitas nasional dan jati diri bangsa yang sesuai dengan nilai – nilai Pancasila.

Penelitian ini dilakukan mengingat mulai tergerusnya nilai-nilai Pancasila di Indonesia, sehingga perlu adanya pengembalian nilai-nilai Pancasia. Pancasila bukanlah lahir dari suatu yang asing, akan tetapi Pancasila itu lahir dari kearifan lokal yang berakar pada masyarakat itu sendiri. Hasil penelitian mengenai tradisi Bau Nyale dalam analisa historis dan kebudayaan yang bertujuan untuk mengupas nilai Pancasila pada kehidupan masyarakat Sasak, diharapkan mampu memberikan inspirasi dan contoh terhadap cara bermasyarakat ditengah kehidupan modern, sehingga identitas Indonesia sebagai negara dengan ribuan budaya namun tetap dalam koridor nilai Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika selalu terjaga. Hasil yang ingin didapatkan adalah transfer knowledge dari yang terlibat langsung dalam pelaksanaan serta menggali lebih lanjut atas pengaruh tradisi tersebut dalam kehidupan, terutama dalam implementasi nilai Pancasila.

DAFTAR PUSTAKA

Bertens, K. 2005. Panorama Filsafat Modern . Jakarta: Penerbit Teraju. Darji, Darmodiharjo. 1974. Pendidikan Pancasila . Jakarta : Aries Lima. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1983. Bau Nyale di Lombok. Jakarta:

Proyek Media Kebudayaan Endraswara, Suwardi. 2006. Metodologi Penelitian Kebudayaan . Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Frondizi, Risieri. 2011. Pengatar Filsafat Nilai . Diterjemahkan oleh Cuk Ananta Wijaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Hamidi. 2008. Metode Penelitian Kualitatif . Malang : UMM Press. Herdiansyah, Haris. 2011. Metodologi Penelitian Kualitatif untuk Ilmu-Ilmu

Sosial .Jakarta : Salemba Humanika. Jirzanah. 1997. Landasan Aksiologis bagi Pendidikan Nasional, Tesis S2. Yogyakarta: Program Pascasarjana UGM Kaelan. 2009. Filsafat Pancasila . Yogyakarta : Paradigma. Kattsoff, Lois O. 1996. Pengantar Filsafat , Alih Bahasa Soejono Soemargono.

Yogyakarta: Tiara Wacana. Levi-Strauss, C. 2007. Antropologi Struktural, (Terjemahan). Yogyakarta: Kreasi Wacana. Magnis-Suseno, Franz. 2009. 12 Tokoh Etika Abad ke-20 . Yogyakarta : Kanisius. Moleong, Lexy J. 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif . Bandung : Remaja

Rosda. Mukromin, Ngutsman. 2012. Aksiologi Sastrajendra Hayuningrat Pangruwating Diyu Dalam Lakon Alap-Alap Suksi oleh Ki Nartosabdho: Relevansinya terhadap Perkembangan Moralitas Bangsa Indonesia . Tesis S2.

Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. Notonagoro. 1984. Pancasila Dasar Filsafah Negara. Jakarta: Bina Aksara. Sartini. 2009. Mutiara Kearifan Lokal NUSANTARA. Yogyakarta: Kepel Press. Soeprapto, Sri. 1998. Landasan Aksiologi Ilmu Pengetahuan . Yogyakarta: Fakultas

Filsafat UGM. Sulistyo. Basuki. 2006. Penelitian Ilmiah. Jakarta: Wedatama Widya Sastra. Sunarto. 2007. Keadilan Distributif Pancasila dalam Tinjauan Filsafat Nilai,

Disertasi S3. Yogyakarta:Program Pascasarjana UniversitasGadjah Mada. Kunaryo. 1994. Filsafat Pendidikan Pancasila. Semarang : IKIP Press. Syukri. 2002. Landasan Aksiologis Demokrasi Pancasila dalam Membangun

Masyarakat Indonesia Baru , Tesis S2. Yogyakarta:Program Studi Ilmu Filsafat Jurusan Ilmu-ilmu Humaniora Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada.

Tafsir, Ahmad. 2005. Filsafat Umum Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra . Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset. Sutaryo, Baswir, dkk. 2015. Membangun Kedaulatan Bangsa Berdasarkan Nilai – Nilai Pancasila . Yogyakarta : Pusat Studi Pancasila UGM. Titus, Harold H dkk.1984. Persoalan-Persoalan Filsafat .Jakarta : Bulan Bintang.

LAMPIRAN

Lampiran 1. PENGGUNAAN DANA

No Nama Barang

Jumlah harga Tiket Pesawat JOG-

Satuan

Qty Harga Satuan

Rp 1,373,276 Transportasi Lombok-

2 Tiket Pesawat DPS-JOG Orang

4 Amaia Hotel

Rp 1,249,466 Mahendra Beach Inn

6 PP Gili Trawangan

7 Parkir Gili Trawangan

8 Konsumsi Rapat 5-4-16 Rp 77,000

9 Konsumsi Rapat 7-4-16 Rp 109,000 Konsumsi Rapat 10-3-

10 16 Rp 60,000 Taksi

Kos-Bandara

11 Adisucipto Rp 65,000

12 Konsumsi Sate Bulayak Rp 149,000 Konsumsi

Warung

13 Makan Sokaraja Rp 110,000 Konsumsi Nasi Balap

14 Puyung Rp 200,000

15 Konsumsi Sate Rembige Rp 238,500

TOTAL Rp 6,484,016

Lampiran 2. DOKUMENTASI KEGIATAN

2.1 Pra-Penelitian

2.2 Penelitian

a) Kementrian Agama Lombok Tengah

b) Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Lombok Tengah

c) MAN Sengkol

d) Kantor Kepala Desa Kuta, Lombok Tengah

Lampiran 3. VERBATIM

3.1 Verbatim Kementrian Agama

Keterangan: P : Team N1 : Lalu Ikraman N2 : Lalu Taher

P : Bapak asli Lombok berarti ya? P

: ayah ibu di Lombok ya? N1

: iya. P

: berarti beberapa kali pernah ikut nyale itu kan ya? N1

: iya waktu masih muda, kalo sekarang yaa… rame soalnya P

: makin rame aja tiap tahun ya? N1

: iya. P

: berarti peminatnya lebih rame sekarang atau dulu? N1

: sama aja, karena tergantung populasi pendudukan. Tapi sejak dulu pasti rame. P

: karena ada pendatang, wisatawan yang ingin tau gitu ya? N1

: yaa. Kalau dulu ya istilahnya ndak semeriah sekarang-sekarang yang ada rangkaian-rangkaian. Kalau dulu hanya fokus kesana aja. Kalau sekarang udah ada rangkaian untuk menarik wisatawan.

P : itu dalam tradisi itu ada peresehan juga gitu ya, Pak? N1

: itu hanya simbol. Mereka kan nganu, suruh perang tanding. Supaya tidak banyak korban, suruh mereka yang bertanding. Sempat ndak tau apakah dijajah atau.. Sudah lama. Sempat perang atau langsung tanding ya

modelnya yang tujuh pangeran itu? N2

: sempat perang. N1

: sempat perang, namun putrinya minta jangan perang, tanding aja.

N2 : sehingga ia terharu melihat keadaan itu, jadi ya damaikan saja. Dia perang tanding dulu. Makannya orang dulu-dulu tu pake plewang bener, saling tusuk tusuk didalamnya. Sampai diakhir jam mau anu itulah belum selesai selesai juga sehingga merelakan diri untuk semua rakyat. Jadi saya tidak memihak ke salah satunya, hanya saja satu jalan untuk menyelesaikan ini semua adalah kembali kepada rakyat sebagai pengorbanan diri sehingga dipucuk gunung itu dia berbalik, nah disitu ada peperangan. Begitu

berbalik, setelah meninggalkan pesan langsung terbang sreeeeettt…. Makannya

dengan selendangnya yang dipatungnya itukan kelihatan. Diselendangnya ter ini, dia langsung menyeburkan diri. Akhirnya semua rakyat itu tidak

jadi berperang. Melihat keadaan itu, mari kita cari dia. Turun semuanya. Begitu

turun, duurrrr…datanglah nyale, cacing. Membentuk diri mejadi cacing sehingga orang makan, inilah dia putri kita.

P : kenapa dimakan? N2

: makan semua orang sehingga semuanya turun, sehingga berdamai

P : jadinya gara-gara putri itu turun jadi bersama ya, jadi bersatu gitu ya, Persatuan Indonesia

N2

: ya, tidak jadi perang, karena tujuannya mencari nyale itu ke laut.

P : kalo di Lombok masih ada kerajaan-kerajaan itu, Pak? N1

: masih, bekas sisa-sisa itu aja. P

: kalo yang paling terkenal ini apa Pak? N1

: Kerajaan Selaparan, Pejanggi, tapi yang banyak, banyak sekali komplek kerajaannya, yang masih banyak situs-situsnya, Selaparan. P

: maaf, Pak, saya pernah baca-baca sejarah itu pernah ada peperangan antara Kerajaan Lombok sama Bali ya kalo gak salah, itu kapan ya? N1

: jadi perang bali 1, perang bali 2 P

: itu antar kerajaan, Pak? N1

: iya lah, kalo dibilang kerajaan iya. Tapi mewakili, karena Bali itu kan ingin menguasai Lombok, jadi ada peperangan. Karena dia lebih banyak kuat ya lebih bisa menguasai, tapi sebagian. Lombok Tengah tidak bisa dikuasai, hanya Mataram, Lombok Barat. Kota Mataram aja dikuasai. Makannya banyak pura-pura disana. Orang Bali juga banyak disana. Di taman itu ada juga pemandian juga, pusat kerajaannya di Mayure.

P : Bapak, kalo masyarakat Lombok sendiri sekarang bagaimana Pak? Apakah damai-damai saja? N1

: ya insyaAllah kalau untuk kita sih, walaupun ada beberapa sering di tv, liat. Memang karena karakter. Yang sering masuk tv tuh yang sebelah, kalo anu sebelah sananya bandara itu, ke Pare namanya, itu daerah Pujut yang sering perang antara yang sini jalan sama utara sama selatan jalan, ya memang karena karakter, dari dulu orang selatan itu agak keras-keras karakternya, tapi kalo secara umum ndak sih, ndak. Biasa aja.

P : berarti sudah terimplementasi nilai-nilai Pancasila itu pada masyarakat Lombok ya? N1

: kalo kita bilang implementasi ya agak susah juga ya, karena gak tau

pengaruhnya apa gitu. Kalau dari segi anu, kita berawal dari itu masyarakat kita agak Lombok , agak manut, bukan karakter yang memberontak loh kaya

A ceh itu, bukan pemberontak yang artinya… saya tau wong sering liat. P

: kan nilai-nilai Pancasila itu sendiri kan memang ada di masyarakat lokal, Pak, jadi bukan nilai impor gitu Pak maksudnya. Di Lombok sendiri pun memang ada dua nilai yang lahir dari daerah ini.

N1 : ya, local wisdom pasti ada P

: berarti bisa ditarik kesimpulan bahwa Pancasila tidak mempengaruhi Lombok tapi orang Lombok yang mempengaruhi Pancasila.

P : karena Pancasila itu ideologi terbuka. N1

: ya. saya sarankan pahami budaya dulu sebelum masuk ke sini. Cari-cari di google . P

: oh iya saya teringat nama kerajaan PutriMandalika itu Tanjung Belitu atau Tanjung Bitu. Kerajaan yang punya PutriMandalika. N1

: apa itu, saya tidak tau. Ya ada itu nama Kerajaannya, tapi saya lupa. Ya karna yang real , yang ada gitu ndak tau itu yang sebelumnya atau apa karena itu masih mitos kan. Yang real yang nyata itu ya Selaparan, Pejanggi, ada kerajaan kecil-kecil juga ada. Blite juga ada.

3.2 Verbatim Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Lombok Tengah

Keterangan: P : Team N1 : Ardian N2 : Lalu Ni’man Bukhari

P : sebenarnya Bau Nyale itu apakah ada kronologi yang sebenarnya atau beranjak dari mitos, Pak? N2

: Terima kasih, selamat datang di Praya. Tradisi nyale ini merupakan suatu budaya leluhur yang diyakini oleh masyarakat adalah merupakan yang melekat di masyarakat itu adalah tradisi turun temurun karena mereka

yakini bahwa sebenarnya dari tradisi ini ada hikmah atau suatu isyarat cara hidup berbudaya masyarakat tumbuh dari masyarakat itu sendiri.

P : Nah, biasanya budaya Bau Nyale ini diperingati tanggal berapa ya, Pak? N2

: biasanya Bau Nyale ini ada tim khusus tokoh adat yang menentukan kapan keluarnya itu hanya satu hari, ada yang secara ilmiah mungkin ada tanda tanda alam, ada secara batin mereka yang mengukur atau tokoh-tokoh adat itu.

P : Saya juga membaca literatur sebelumnya katanya ada kalender sasak yang mengatakan bahwa ada tanggal tahunannya gitu ya? N2

: ya, ada. P

: Itu cara kalender sasak itu bedanya banyak gak dengan kalender masehi yang biasanya gimana pak? N2

: kita memiliki ketiganya, nasional, kemudian ada kalender arabnya kemudian

ada juga rowok, kalender sasak. Tidak terlalu jauh perbedaannya.

P : Begini pak, kalau untuk tradisi Bau Nyale ini sendiri apa sih yang didapat manfaatnya gitu dari tradisinya? N2

: Secara kebudayaan bahwa masyarakat Lombok tengah ini memiliki suatu

ikatan, ikatan batin itu sangat kuat sekali bagi masyarakat itu sendiri apalagi dengan budaya Bau Nyale ini adalah merupakan budaya leluhur yang turun

temurun yang dimiliki oleh seluruh masyarakat Lombok tengah.

P : Lombok Tengah ya pak? N2

: Karena kita sudah memiliki hak patennya. N1

: Kita sudah memiliki hak paten untuk Lombok Tengah jadi gak dimiliki sama Lombok Barat, Lombok Timur, atau Mataram nggak, tapi ini punyanya Lombok Tengah. Tapi provinsi itu juga mempromosikan kita jadi satu

event Lombokpunya, tapi yang punya paten itu Lombok Tengah. N2

: Mungkin kami bisa bercerita dulu tentang lagenda putri Mandalika ini. Pada jaman dahulu kala kerajaan kita ini, berdirilah suatu kerajaan yang tidak memiliki keturunan putera dan memiliki seorang gadis putri yang cantik. Tidak saja cantik tapi hatinya sangat mulia sehingga banyak raja kerajaan terdekat yang ingin mempersuntingnya. Semua masuk lamarannya, putri malah bingung. Kalau memilih salah satu kerajaan yang diambil akan

terjadi pertempuran sehingga sang putri mengadakan ritual bagaimana meminta petunjuk sama yang kuasa sehingga ditentukanlah hari H kami akan mengumumkan di pantai seger, nanti akan disaksikan oleh masyarakat

kami pada tanggal sekian nanti ada tanda-tanda dari alam. Berkumpul lah pada saat itu, secara dramatis diumumkan sang putri terjun tapi bukan

meninggal diyakini masih hidup makhluk seperti nyale itu muncul sehingga dicari oleh masyarakat sama sang pangeran. Itu lah gambaran dan itu diyakini oleh masyarakat sasak turun temurun. Disanalah ada filosofinya bahwa kita

harus menjaga perdamaian dan cinta damai. P

: diyakini membawa kesejahteraan ya pak? N2

: ya P

: pada saat putri itu menceburkan diri apakah dalam kondisi perang?

N2 : ndak, dia akan mengumumkan siapa yang mau dipilih pada malam itu. P

: sebelumnya ada perang juga pak? N2

: ada pada saat meminang atau mempersunting, dari beberapa kerajaan terdekat itu yang ingin mempersunting sang putri.

P : kalau misal kan nilai-nilai yang didapat dari masyarakat sendiri apa pak, misalkan hasil sosialnya yang didapat dari Bau Nyale ini. N2

: pertama dari hasil sosial, rasa kebersamaan, rasa persatuan dan kesatuannya,

kemudaian rasa cinta damai tidak ada pertumpahan darah. P

: dilihat dari ceritanya, jadi putri ini lebih bagus diadalam tanda kutip

membagi-bagi dirinya sehingga kerajaan-kerajaan ini gak perang.

N2 : ya P

: berarti juga bisa kita katakan bahwa ini salah satunya ada dalam nilai-nilai Pancasila karena kita ketahui putri Mandalika ini mengorbankan dirinya untuk persatuan . Ini sesuai dengan sila ketiga yaitu persatuan Indonesia. Selain itu putri Mandalika ini juga menceburkan dirinya dan bersatu

dengan masyarakat terdapat nilai-nilai keadilan sesuai sila ke lima. berarti disini terdapat dua nilai Pancasila benar pak?

N2 : Ya P

: Menurut bapak dari fakta-fakta yang ada apakah nilai ini sudah terimplementasi dalam masyarakat? N2

: nah, itu lah, nilai ini masih dipegang teguh. P

: berarti benar-benar terasa manfaatnya walaupun dapat diyakini tapi memang dan pada akhirnya semua masyarakat merasakan dampaknya dari tradisi ini, gitu ya? N2

: model modernnya itu setelah dikembangkan efeknya sangat kuat sekali dari sektor kota wisata semua masyarakat ikut, industrinya juga bisa ikut memasarkan hasil alamnya, kemudian hasil-hasil baik dari perikanan kemudian pengolahan laut itu sendiri juga sangat baik.

N1 : Berarti sosial ekonominya jalan gitu. P

: Tapi sekarang konsep dari baunyale itu sendiri itu udah festival gitu pak? N2

: ya festival, event tahunan. P

: kalo diubah jadi festival tahunan itu apa sudah lama pak? N2

: ya sudah lama. Ada lima tahunan. N1

: 2012 an, saya ingat. P

: Sebelumnya apa bentuknya pak? N2

: cuma pesta biasa Bau Nyale. P

: langsung nunggu-unggu cacing gitu ya? N1

: jadi menunggu cacing, terus kumpul rame-rame, Kalo sekarang da bandnya, ada pesta rakyatnya,

N2 : pola bupati terdahulu lain dengan sekarang, jadi masing-masing dipinggir laut itu diberikan begawi semacam kenduri. Jadi masing-masing kepala dusun itu mengadakan. Kemudian sekarang diambil alih oleh pemerintah daerah dikemas dalam bentuk event festival. Diadakan seperti

pengangkatan budaya yang ada, kemudaian tradisi-tradisi diangkat, kemudaian kesenian kesenian dimunculkan kembali, seperti peresean kita adakan lomba peresean, kemudaian ada tembang tradisional, kemudian ada lomba putri Mandalika pemilihan putrimandaliqa baharinya.

N1 : festival kayak apa namanya, jalan, istilahnya pawai. N2

: kita angkat biota laut. Kita lestarikanlah seperti kita angkat tema kemarin, lestarikan biota segara laut, artinya pantai selatan atau laut selatan. P

: berarti dari tradisi baunyale ini ada hubungan langsung dengan peresean ya, Pak? N2

: ya ada. dulu kan kerajaan ini membutuhkan suatu tentara atau pasukan tempurnya. Jadi untuk memilih pasukan tempurnya diambil lah dari pemuda-pemuda yang tangkas ini dilatih dalam bentuk perang tanding sudah asli dan banyak korban sehingga diubah lah alatnya ini menjadi

rotan dulu pakai pedang banyak korban pada saat itu tapi ndak ada korban itu yang keberatan keluarganya, dia merasa bangga sehingga sang putri atau permaisuri meminta pada raja untuk mengganti dengan rotan untuk bertempurnya

P : Jadi boleh kita simpulkan dari Bau Nyale ini ada peresean juga. N2

: ya P

: berarti sejarah peresean itu ada pada saat Bau Nyale . N2

: Ya benar. Dulu kan raja-raja ini memilih pasukannya dengan peresean ini. P

: berarti pada saat putri akan mengumumkan itu dalam kondisi berperang ya pak? N2

: Tidak, akan diumumkan, mohon pangeran-pangeran yang mempersunting saya kumpul di pantai seger, nanti saya akan mengumumkan bahwa siapa yang akan saya pilih. Jadi secara gelisah pemuda ini siapa yang dipilih satupun tidak ada yang tahu sang ayah juga ndak tahu apa yang diputuskan sang putrinya ini. Dia serahkan kepada sang putri siapa yang anda pilih. Putrinya mungkin memohon petunjuk pada sang maha kuasa, mungkin

ada bisikan-bisikan ghaib itulah sehingga menceburkan diri ke laut, tapi bukan dalam bentuk jasadnya yang meninggal tapi nyale itu lah perwujudannya. Muncul banyak sekali seperti rambut. Kalo diambil pakai perahu itu

mungkin bisa berapa ton, tapi pasmatahari hilang kemana satu punndak ada anehnya.

3.3 Verbatim MAN SENGKOL

Keterangan: P : Team

N1 : Kepala Sekolah N2 : Ibu 1 N3 : Ibu 2 N4 : Pak Angger

P : Pertanyaan pertama, secara umum bagaiman sejarah Bau Nyale tersebut? N1

: saya kira akan lebih bagus jika yang menjadi narasumber adalah pemangku (adat), jika kita mungkin hanya sekedar mendapatkan cerita dari orang tau dahulu

: tapi sebenarnya kita tiak hanya kepemangku adat, namun juga ke

masyarakat. Karena bisa saja pemmahaman dan perspektifnya akan berbeda P

: sebenarnya kami disini ingin menggali lagi antara tradisi itu dan juga implementasinya terhadap masayarakat. Nanti juga akan dikorelasikan dengan Pancasila

N1 : itu adalah lagenda, kaitannya dengan impleemntasi dan realitas yang ada pada masyarakat adalah tiap tahun diadakan satukali, tanggalnya yang saya jumpai adalah antara februari-maret yang diselenggrakjan oleh pemerintah.

Timing yang diangkat bisa jadi benar dan juga bisa salah, kerena perhitungan kapan Bau Nyale itu masih simpang siur bagi masyarakat. Tandanya juga dari alamat. Misalkan berbunga gadung itu tandanya sudah mulai bulai Pha. Pergeseran matahari dari utara selatan. Jika matahari

sudah diselatan pertanda sudah musim tahun. Kepastian berhitungnya dari bulan enam, jadi kapan matahari bergeser dari khatulistiwa ke selatan maka

berarti sudah bulan enam P

: Bulan enam kalender sasak? N1

: ya, kalender sasak, tahun sasak N2

: tapi Bau Nyale nya itu sendiri bulan sembilan tanggal 20 atau 19. Yang biasanya bertepatan dengan februari. Sepanjang yang saya tahu jarang sekali

Bau Nyale itu lewat dari tanggal februari. Karena jika buloan sembilan makasudah ada tanda-tandanya.

N3 : Tapi pernah sekali-sekali kita pergi tan tidak ada nyale itu, karena tanggal meleset. P

: Jadi Bau Nyale itu sekali dalam setahun ya, begitu? N3

: sebenarnya 2 kali dalam setahun, ada nyale awal dan nyale akhir. Itu selang satu bulan. N1

: jadi perhitungan nyale itu bulan 10 11.perhitungannya dimulai numbok, yaitu bulan 6. Bila nombok itu tidak terjadi pada bulan 6 hijriyah, maka numbok itu terjadi pada tanggal 26, yaitu bulan 6. Jadi 4 bulan semenjak numbok itu lah bulan untuk nyale pertama. Kemudian untuk nyale kedua

itu

5 ulan semenjak numbok itu. N4

: Terus, hubungannya dengan implementasi kemasyarakat mungkin bisa dikatakan bahwa yang dispesialkan dalam setahun oleh masyarakat sasak itu adalah Bau Nyale. Karena hanya masyarakat sasak yang mendiami wilayah selatan yang ada nyale. Kemudian nilai yang berkembang dimasyarakat, karena even Bau Nyale ini juga acara besar. Saya tahun 2004 pernah menjadipanitia. Banyak rangkaian yang mengiringi kegiatan Bau Nyale

itu. Mulaidari pesisir Lombok selatan di Selong Belanaq, sampai di Awang di sebelahtimur, kita isi dengan kegiatan atraksi budaya. Yang menjadi keresahanmasyarakat sasak, sudah begitu banyak tradisi budaya yang berhubungandengan permainan, itu sudah tergerus dengan arus

globalisasi ini. Makakegiatan permaninan ini kami pergelarkan katika acara baunyale. Sehinggademikian nilai posisif yang ada didalam itu dapat dipelajari filosofi. Makanilai filososi itu yang yang ditransformasikan kegenarasi

kita. Prinsip hidupmasyarakat sasak itu 3 yaitu: ketuhanan, adat istiadat, dan sosial. Jadi setiappola komunikasi dan tindakan kita itu kembali ke 3 poin itu. Orang sasaksangat memegang teguh adat istiadat itu.

N2 : Masayarakat sasak menganggap acara Bau Nyale itu dalah acara yang paling istimewa, bahkan sebelum Bau Nyale mereka sudah mepersiapkan diri. Padahal setiap tahun dilaksanakan tapi mereka tidak pernah bosan. 6 bulan sebelumnya mereka sudah mempersiapkan diri mencari unag untuk bau nyale.

N4 : sehingga efek negatifnya addalah dengan menspesialkan event tersebut bagi masyarakat yang ekonominya mengengah kebawah apalagi pengangguran, disananalh muncul kriminalitas. Karena untuk mempersiapkan diri untuk Bau Nyale, jika tidak punya pekerjaan dan uang maka mereka melakukan jalan pintas yang merupakan efek negatif. Dia mereasa harus mengikuti

bau nyale dengan apapun caranya, sangking antusiasnya. N2

: Tempat tinggal saya adalah tempat diselenggarakan Bau Nyale, jauh jauh hari

mereka telah mempersiapkannya matanr matang. Misal mereka menikah, mereka menunda dulu sehingga Bau Nyale diselenggarakan. Masyarakat ditempat tinggal saya sangat kental dengan kebudayaan itu.

N1 : Jadi saya review sedikit, terkait dengan implementasi 6 bulan sebelum itu. Jadi sisi implementasi itu adalah nilai silaturrahmi, yaitu antara pesisir dan yang jauh dari tepi pantai. Maka terjadilah silaturrahmi. Silaturrahminya dulu baru nyalenya. Kemudian yang kedua dari sisi anak muda, bisa

terjadi hura hura, terjadi kriminalitas menjadi ajang euphoria. Namun sisi positifnya tidak terkalahkan juga karena silaturrahmi juga merupakan anjuran rasul, begitu

N3 : Tapi alhamdulillah sekrang tidak terjadi kerusuhan seperti tahun tahun sebelumnya, karena sudah dipegang oleh pemerintah. Kalau dulu karena masih belum ada tanggapan dari pemerintah, makan dengan cara sendiri sendiri. Tapi sekrang sudah dipegang kabupaten/provinsi. Jika dulu dulu, misalkan besok ada Bau Nyale maka malam ini sudah ada yang bawa senjatatajam, sudah mempersiakan diri, nanti ada keributan seperti itu.

Tapi sekarang sudah tiadak ada lagi. P

: Jadi sebenarnya tradisi Bau Nyale apa hanya dilakukan di pantai itu atau bisa dilakukan dipantai lain? N1

: Bisa, di sumbawa juga ada, sampai NTT juga ada nyale nya (cacing). Tapi yang memiliki event Bau Nyale ini hanya kabupaten Lombok Tengah dan Lombok Timur yang memiliki event Bau Nyale. Jadi lagendanya itu di Lombok Tengah, kerena pantai Seger itu yang disebut tempat kejadian

Putri Mandalika itu. P

: Mengenai tentang PutriMandalika, kami juga sudah menanyakan ke dinas

pariwisata dan beberapa narasumber juga, bahwa sejarahnya dia

mengorbankan dirinya untuk menghindari perang antara kerajaan yang memperebutkan putri tersebut. Maka dibuatlah satu kompetisi antar

kerajaan yang memperebutkan putri tersrebut. Akan tetapi akhirnya putri tersebut memilih untuk menjadi cacing dna menceburkan dirinya kelaut. Dikasus

ini kaita mendapatkan nilai panacasila. Inilah yang sebenarnya sangat menarik perhatian kami untuk kesini, bahwa pengeorbanan putri akan menghasilkan kerukunan masyarakat. Maka daripada nanti terjadi peperangan hanya memeperebutkan saya, lebih baik saya melebut untuk masyarakat. Pada hal ini terhubung dengan sila ke 3 dan ke 5 pada Pancasila. Artinya putri

ini

merelakan dirinya menjadi cacing dan dinikmati oleh masyarakat. Sebagaimana kami membaca diinternet cacing itu memiliki kandungan protein yang sangat tinggi dan festival ini menjhadi semacam roda ekonominya masyarakat. Jadi itu ada nilai Pancasila disitu, bagaimana menurut bapak?

N1 : Disamping roda perekonomian yang paling krusial adalah pemersatu itu. Karena perwujudan dirinya tidak lagi satu, tapi komunal. P

: Tetapi seperti yang bapak sampaikan tadi ada unsur kriminalitas, apa itu mengurangi nilai yang terkandung pada Bau Nyale itu? N1

: itu kembali ke personal, itu tidak menyeluruh. Jangankan Bau Nyale, event musabaqah saja bisa terjadi yang krimialitas. Jadi tidak jarang di arena musabaqah terjadi petrselingkuhan, perjudian, begitu juga dengan event dimana kerumunan manusia itu terjadi

N2 : Sebenarnya jika yang dilakukan itu betul-betul baunyale maka tidak akan terjadi keributan. Seperti yangg katakan putri, say akan keluar pada jam

3. Nah jam 3 itu kami sudah masuk ke pantai, nmaka tidak ada keributan kerena sudah fokus kepada nyale itu. Tetapi yang menjadi keributan

adalah orang yang datang menonton. Karena banyak festival disaat itu. Tapi jika betul orang sasak maka fokus kepada Bau Nyale. Jadi untuk keributan itu kadang dilakukan oleh orang luar, jadi hanya oknum. Misalnya begitu