EVOLUSI DAN PERKEMBANGAN GENERASI KETIG
Jurnal Hubungan Internasional
23 Agustus 2014
“EVOLUSI DAN PERKEMBANGAN GENERASI KETIGA
DALAM ANALSIA POLITIK LUAR NEGERI”
Retno Purwanti
Hubungan Internasional
Universitas Brawijaya Malang
Abstrak
Politik luar negeri merupakan salah satu bidang kajian studi hubungan internasional.
Dimana bidang kajian ini berada pada interaksi antara aspek dalam negeri suatu negara
(domestik) dan aspek internasional (eksternal) dari suatu negara. Menurut Paul R. Viotti dan
Mark V. Kauppy mendefinisikan politik luar negeri sebagai keputusan dan perilaku yang
ditempuh oleh negara-negara dalam interaksinya dengan negara lain atau dalam organisasi
internasional (Viotti dan Kauppy, 1999:478). Menurut Plano politik luar negeri merupakan
strategi atau rencana tindakan yang dibentuk oleh para pembuat keputusan suatu negara
dalam menghadapi negara lain atau unit politik internasional lainnya, dan dikendalikan untuk
mencapai tujuan nasional spesifik yang dituangkan dalam terminologi kepentingan nasional
(Plano, 1999:5).
Ada beberapa generasi dalam analisis kebijakan luar negeri. Pertama, oleh kaum
behavioralis pasca Perang Dunia II. Generasi berikutnya tahun 1974-1993 namun masih
disebut pemikir klasik, mengkritik sekaligus menghadirkan metode-metode baru, dengan
kontribusi dari ilmuwan pos positivis. Generasi terakhir muncul di tahun 1993-sekarang,
yang lebih komprehensif dalam memandang analisis kebijakan luar negeri dan melengkapi
kekurangan yang ada dari generasi sebelumnya.
Kata Kunci : Politik Luar Negeri, Generasi Pertama, Generasi Kedua, Generasi Ketiga
Jurnal Hubungan Internasional
23 Agustus 2014
I. LAHIRNYA ANALISA POLITIK LUAR NEGERI
a. Karakteristik dan Fungsi Politik Luar Negeri
Paul R. Viotti dan Mark V. Kauppy mendefinisikan politik/kebijakan luar negeri
sebagai keputusan dan perilaku yang ditempuh oleh negara-negara dalam interaksinya dengan
negara lain atau dalam organisasi internasional (Viotti dan Kauppy, 1999:478). Politik luar
negeri yang spesifik dilaksanakan oleh suatu negara sebagai inisiatif atau reaksi inisiatif yang
dilakukan oleh negara lain. Kebijakan luar negeri mencakup proses dinamis dari penerapan
pemaknaan kepentingan nasional yang relatif tetap terhadap faktor situsional yang sangat
fluktuatif di lingkungan internasional dengan maksud untuk mengembangkan suatu cara
tindakan yang diikuti oleh upaya untuk mencapai pelaksanaan diplomasi sesuai dengan
panduan kebijaksanaan yang telah ditetapkan.
Tujuan kebijakan luar negeri sebenarnya merupakan fungsi dari proses dimana tujuan
negara disusun. Tujuan tersebut dipengaruhi oleh pengalaman yang dilihat dari masa lalu dan
sasaran serta aspirasi di masa depan. Untuk mencapai tujuan di atas, politik/kebijakan luar
negeri perlu dibuat dan dianalisa terlebih dulu oleh pembuat keputusan (decision maker).
Dimana formulasi dari kebijakan tersebut didahului dari adanya masukan, proses dan
keluaran yang akhirnya menimbulkan umpan balik untuk pembuatan kebijakan baru atau
sebagai suatu bahan untuk evaluasi.
Dalam pandangan Coplin, politik luar negeri terbagi dalam tiga sifat, yaitu umum,
administratif, dan krisis (Coplin, 1992). Politik luar negeri yang bersifat umum terdiri atas
serangkaian keputusan yang diekspresikan melalui pernyataan-pernyataan kebijakan dan
tindakan-tindakan langsung. Sementara, politik luar negeri yang bersifat administratif dibuat
oleh anggota-anggota birokrasi pemerintah yang bertugas melaksanakan hubungan luar
negeri negaranya. Salah satu contohnya adalah
Amerika Serikat di bawah administrasi
Presiden George Walker Bush menetapkan politik luar negeri berupa Global War on
Terrorism (GWOT). Sedangkan, politik luar negeri yang bersifat krisis merupakan kombinasi
dari kedua keputusan yang bersifat umum dan administratif. Keputusan krisis merupakan
pengambilan keputusan yang diambil secara cepat dalam situasi darurat.
b. Kemunculan Analisa Politik Luar Negeri dan Kritikan terhadap ”Unitary State
Actor”
Jurnal Hubungan Internasional
23 Agustus 2014
Analisa Politik Luar Negeri (APLN) lahir akibat ketidakpuasan terhadap kejayaan
realisme dalam hubungan internasional pasca Perang Dunia II, dimana state sebagai aktor
utama atau “unitary state actor” yang mengejar kepentingan nasional, power, dan rasional
dalam pembuatan dan pengambilan keputusan. Menurut realisme, negara merupakan satusatunya aktor dalam hubungan internasional dimana peran dalam pencapaian kepentingan
nasional terletak pada negara, sedangkan pada realitanya di dalam suatu negara terdapat unit
lain yang memberikan pengaruh dan menerima dampak dari setiap pengambilan kebijakan
baik dari aktor individu, kelompok kepentingan, media, dan berbagai aktor lainnya. Dalam
hal ini APLN berupaya untuk merubah pandangan tersebut.
Dalam menganalisa kebijakan luar negeri, menurut Hudson dan Vore ( 1995: 211),
dalam praktiknya manusia memproses informasi bukan berdasarkan analisis rasional tetapi
dengan cara yang berbeda bila sedang dalam kondisi stress dan dalam kondisi rutin. Situasi
atau lingkungan operasional dari suatu keputusan dapat di interpretasikan dengan berbagai
cara, bergantung pada refrensi sejarah sebelumnya, kepribadian dan pengalaman sebelumnya
dalam menghadapi berbagai situasi serta keadaan sosial dan budaya mereka. Agenda-agenda
dan kepentingan, seperti untuk menjaga kesepakatan kelompok atau keinginan untuk
melindungan dan memperluas kartu „ tawaran „ dan jumlah aktor yang terlibat, dapat juga
mengurangi pemikiran rasional tentang biaya dan keuntungan. Faktor lain seperti emosi dan
motovasi ideology juga menjadi pertimbangan rasional dalam analisa cost/benefit.
c. Pembagian Generasi dalam Analisa Politik Luar Negeri
Ada beberapa generasi dalam analisis kebijakan luar negeri. Pertama, dikonstruksikan
oleh kaum behavioralis pasca Perang Dunia II, mereka mentransformasikan ilmu sosial
dengan pendekatan yang bersifat eksak atau ilmu alam. Generasi tersebut merupakan pemikir
klasik atau yang disebut dengan generasi pertama (1954-1973). Generasi ini menekankan
pada struktur dan proses dari kelompok kecil pembuat keputusan luar negeri, yang bekerja
dan memiliki pengaruh besar dalam suatu organisasi dan birokrasi besar.Tradisi penelitiannya
bersifat empiris yang menggunakan analisa tetap dari data eksperimental seperti studi kasus.
Menurut Hudson ( Hudson, 2008), generasi pertama ( 1954-1974 ) merupakan peletak dasar
APLN yang menjadi landasan perkembangan analisa selanjutnya. Beberapa konsep dan teoriteori penting yang muncul dari generasi pertama adalah proses kognitif, orientasi, dan
personalitas pemimpin, dinamika kelompok kecil, proses organisasi, politik birokratik,
budaya dan PLN, kontestasi dalam politik domestik, atribut nasional PLN.
Jurnal Hubungan Internasional
23 Agustus 2014
Generasi kedua APLN ( 1974-1993 ) melanjutkan generasi pertama ini dengan
penekanan yang lebih mendalam pada beberapa konsep. Masih disebut pemikir klasik,
mengkritik sekaligus menghadirkan metode-metode baru, dengan kontribusi dari ilmuwan
pos positivis. Perhatian berikut dari generasi kedua adalah pada proses organisasi dan politik
birokrasi.
Generasi terakhir mumcul di tahun 1993-sekarang, yang lebih komprehensif dalam
memandang analisis kebijakan luar negeri dan melengkapi kekurangan yang ada dari generasi
sebelumnya. Generasi ketiga ini terdiri dari kaum pos positivis dan konstruktivis yang
menawarkan solusi lebih lugas untuk analisis kebijakan luar negeri serta menghadirkan
berbagai alternative pemikiran baru yang selama ini termarjinalkan atau belum ke
permukaan. Pada saat itu adanya konflik antara blok Uni Soviet dan Amerika dalam perang
dingin. Aktor dalam generasi ini tidak lagi didominasi oleh Negara, tapi juga dengan
informasi yang spesifik serta menerima teori-teori menengah ke bawah dan bukan hanya
grand teori saja, dimana kedudukan dari proses pengambilan keputusan dipertimbangkan
sama pentingnya dengan hasil kebijakan yang didapatkan.
II. KONSTRUKTIVISME
Generasi ketiga APLN (1993-Sekarang) berkembang belakangan ini dengan
kemunculan teori-teori kritis dan konstruktivis. Penekanan generasi ini tidak lagi terbatas
pada negara tetapi bisa aktor-aktor non-state bahkan people to people dan masyarakat ke
masyarakat seperti yang dikembangkan oleh pandangan kosmopolitanisme dan PLN.
a. Kontruktivisme dalam analisa kebijakan luar negeri
Kemunculan kontruktivisme dalam analisa politik luar negeri tidak jauh berbeda
dengan ketidakpuasan dari realism yang menempatkan negara sebagai unitary state aktor.
Terdapat tiga aspek kontruktivisme dalam analisa kebijakan luar negeri (Copeland, 2006 a :34 b) :
Intersubjective understanding
Politik global dikendalikan oleh ide-ide, norma-norma, konsepsi-konsepsi, asumsiasumsi, dan nilai-nilai yang secara luas dimiliki secara bersama-sama oleh para aktor (secara
intersubjectif). Menurut Tannenwald (Tannenwald, 2005: 15), ide-ide merupakan konstruksi
mental yang dimiliki para individu, yang memberikan orientasi luas terhadap perilaku dan
kebijakan.
Hubungan struktur ide dan perilaku aktor : Constitutive dan Regulative
Jurnal Hubungan Internasional
23 Agustus 2014
Berbeda dengan neo-realis yang menganggap struktur internasional mempunyai
pengaruh langsung terhadap perilaku negara, struktur internasional, yang bagi kalangan
konstruktivis disebut struktur ideasional, memiliki pengaruh yang membentuk (constitutive)
dan mengatur (regulative), bukan pengaruh langsung yang bersifat kausalitas terhadap aktoraktor.
Lebih khusus lagi, seperti dikatakan oleh Nina Tannenwald, terdapat 4 tipe struktur
atau sistem ide dalam kaitannya dengan perilaku aktor-aktor, yaitu sistem-sistem ideologis
atau sistem kepercayaan yang dimiliki bersama, kepercayaan-kepercayaan normative,
kepercayaan sebab-akibat, dan preskripsi-preskripsi kebijakan ( ideologis of shared belief
systems, normative belief, cause-effect beliefs, and policy prescriptions).
Hubungan Agen dan Struktur
Struktur ideadional dan aktor-aktor atau agen-agen saling membentuk dan
menentukan satu sama lain. Struktur membentuk kepentingan dan identitas aktor tetapi
struktur juga di produksi, direproduksi dan diubah melalu praktik terus-menerus dari para
agen.
Berangkat dari kritik terhadap realis yang menganggap fenomena atau realitas
internasional tidak berubah dan selalu diwarnai dengan anartki dan konflik perebutan dan
pengaruh dan kekuasaan, kontrukstivisme melihat dunia selalu dalam proses perubahan dan
bahwa anarki, seperti dikatakan Wendt, bergantung pada negara-negara atau what states
make of it. Praktik dan perilaku negaralah yang mempengaruhi hasil, dan dunia sosial ini
merupakan sesuatu yang dikontruksikan menjadi anarkis atau tidak.
b. Perkembangan Konstruktivitas dan APLN
Dalam perkembangan awal kontrukstivis, negara masih dilihat sebagai aktor utama
dalam politik luar negeri. Menurut Alex Wendt, negara seperti black box yang memiliki
selain collective identity juga sorporate identity yang diberikan. Namun dalam
perkembangannya, kaum konstruktivisme menekankan pada pembentukan aturan dan norma
tanpa memandang batas negara. Faktor domestik lain bagi kontrukstivis adalah berupa
sumber-sumber kognitif di masyarakat tentang pilihan atau preferensi negara.
Ted Hopf mengaitkan konstruktivis dengan APLN dalam bukunya “Social
Construction of Internasional Politics”. Tulisannya dipengaruhi oleh psikologi kognitif
dimana, “ masyarakat diasumsikan terdiri atas struktur kognitif sosial tempat terjadinya
proses pembentukan diskursif. Identitas-identitas membentuk formasi (diskursif) itu. Para
individu memiliki banyak identitas, mereka berpartisipasi dalam berbagai kegiatan discursive
Jurnal Hubungan Internasional
23 Agustus 2014
formations, dan praktik kehidupan social mereka membentuk (constitute) diri mereka sendiri
dan orang lain, serta identitas dan formasi diskursif yang membentuk struktur kognitif
dimana mereka hidup” (Hopf, 2002 : 3-4).
Menurut Jutta Weldes yang mengangkat konsep kepentingan nasional. Tetapi bebeda
dengan konsep realis yang manganggap kepentingan nasional hanya sebagai sesuatu yang
ditemukan, ia menganggap bahwa kepentingan nasional adalah konstruksi yang diciptakan
sebagai obyek yang bermakna melalui makna-makna yang secara intersubyektif dan budaya
sudah mapan dalam mana dunia, khususnya sistem internasional dan tempat negara
didalamnya, bisa dipahami. Lebih khusus lagi, kepentingan nasional muncul dari representasi
atau melalui deskripsi situasi dan definisi masalah dimana pejabat-pejabat memahami dunia
di sekitar mereka.
III. GENERASI KETIGA dalam ANALISA POLITIK LUAR NEGERI
a. Frameworks, Classification Schemes and Data Development Activities
Usaha pertama untuk membuat penelitian tentang kebijakan luar negeri dan untuk
menciptakan penjelasan umun tentang kebijakan luar negeri (foreign policy) terlihat dalam
bentuk kerangka bertingkat dan tipologi. Kerangka ini sebenarnya adalah daftar dari faktor
berpotensi relevan yang perlu untuk dipertimbangkan demi memahami proses pembuatan
kebijakan politik luar negeri. Tujuannya adalah untuk mengidentifikasi sumber-sumber yang
relevan dari kebijakan politik luar negeri. Sumber atau variabel ini memiliki berbagai variasi
level of analysis, seperti individu, birokrasi dan masyarakat. Kerangka ini berkembang
dengan pendapat bahwa analisa secara tradisional terhadap kebijakan politik luar negeri, tidak
cukup untuk menjelaskan secara penuh mengenai keputusan kebijakan politik luar negeri.
Penelitian ini juga dipengaruhi oleh tantangan dari revolusi behavioral, dengan pandangan
neopositivis dan target jangka panjangnya adalah mengembangkan pengujian empiris
terhadap teori tentang kebijakan politik luar negeri. Berikut ini adalah beberapa usaha untuk
mencapai target ini.
Usaha pertama adalah usaha untuk mengembangkan kerangka kerja yang sistematis
oleh Snyder, Bruck dan Sapin yaitu dengan model action-reaction-interaction. Bagi mereka,
“kunci dari penjelasan mengapa negara bertindak dengan cara seperti itu terletak pada cara
bagaimana pembuat kebijakan mendefinisikan situasi mereka” (1954,65). Definisi tentang
situasi dihasilkan dari hubungan dan interaksi antara unit-unit pembuat kebijakan, baik dalam
lingkungan domestik maupun internasional, dengan membawa atribut personal, nilai-nilai
dan persepsi mereka msing-masing. Pendekatan ini menggabungkan pandangan dari sisi
Jurnal Hubungan Internasional
23 Agustus 2014
psikologi dan sosiologi, yang berangkat dari ide bahwa negara sebagai aktor monolitik yang
berusaha mendapatkan kepentingan nasionalnya. Kerangka ini kemudian digunakan oleh
Snyder dan Paige (1958) untuk menganalisa kebijakan AS untuk mengintervensi Korea pada
tahun 1950.
Kerangka kerja Snyder, Bruck dan Sapin kemudian dikritik karena kompleksitas dan
kegagalannya untuk secara spesifik menjelaskan bagaimana variabel berhubungan satu sama
lain dan disusun sesuai tingkat kepentingannya. Saat itu, kerangka ini merupakan satu
langkah kemajuan dalam penelitian kebijakan politik luar negeri karena definisi eksplisitnya,
indikasi dari asumsi dasarnya, penekanannya di keputusan sebagai unit dari analisa, usahanya
untuk menguraikan arti dari tindakan atau keputusan dari “negara” dan khususnya, karena
targetnya untuk menciptakan sebuah struktur dimana kebijakan politik luar negeri dari negara
manapun bisa dianalisa.
Usaha kedua untuk menciptakan penjelasan umum tentang kebijakan politik luar
negeri berasal dari James Rosenau. Rosenau memindahkan beberapa langkah-langkah dari
kerangka Snyder, Bruck dan Sapin dengan menguji proposisi “if-then”, mengelompokkan
sumber-sumber potensial dari kebijakan politik luar negeri dalam 5 kategori dan
mengusulkan cara untuk menyusun kepentingan dari kelompok variabel ini berdasarkan pada
isu spesifik dan atribut dari negara (seperti ukuran, akuntabilitas politik/level demokrasi,
tingkat pembangunan). 5 kelompok sumber kebijakan politik luar negeri yang dikembangkan
oleh Rosenau – idionsyncratic (individu), peran, pemerintah, masyarakat dan variabel
sistemik -, digunakan sebagai dasar dari analisa di banyak artikel, buku tentang politik luar
negeri, dan berbagai bacaan selama 3 dekade terakhir ini.
Studi kasus tentang Israel yang dilakukan Michael Brecher merupakan usaha
berikutnya dalam pengembangan suatu kerangka untuk memahami keputusan kebijakan
politik luar negeri. Berangkat dari hasil pekerjaan Harold Sprout dan Margareth Sprout
(1956,1957,1965), Brecher mengembangkan suatu model input-process-output dan
mengklasifikasikan faktor-faktor yang penting dalam proses pembuatan kebijakan. Perspektif
ini memberikan perhatian pada hubungan antara lingkungan operasional atau eksternal
(kemampuan militer dan ekonomi, struktur politik, kelompok kepentingan, faktor eksternal)
dengan interpretasi atau persepsi pembuat kebijakan terhadap lingkungan tersebut, yang
kemudian disebut Brecher sebagai psychological environment. Brecher juga mengenalkan
serangkaian gambaran dari area isu kebijakan (militer-keamanan, politik-diplomasi, ekonomipembangunan, budaya-status) yang menurutnya mempengaruhi keputusan kebijakan politik
luar negeri.
Jurnal Hubungan Internasional
23 Agustus 2014
Pendekatan terkini mengenai dampak dari struktur keputusan dalam kebijakan politik
luar negeri berasal dari Hermann, Hermann dan Hagan (1987). Hasil pekerjaan ini berusaha
untuk mempertimbangkan teori yang berbeda tentang proses pengambilan kebijakan dengan
mengusulkan bahwa jenis unit keputusan yang terakhir dan sifat alami proses pengambilan
kebijakan di dalam unit keputusan mempengaruhi baik
pilihan yang nyata maupun
dampaknya secara domestik dan internasional. Menurut pendekatan ini ada 3 kategori dari
unit keputusan yaitu, a predominant leader (sesorang yang memiliki kekuasaan untuk
membuat pilihan untuk pemerintah), a single group (semua individu yang dibutuhkan untuk
alokasi partipasi keputusan dalam kelompok dan kelompok membuat keputusan melalui
proses interaktif antar anggota) dan multiple autonomous actors (keputusan tidak melibatkan
manapun individu atau kelompok yang tunggal yang dapat dengan bebas memecahkan
perbedaan ada di antara kelompok atau itu dapat membalikkan keputusan apapun jangkauan
kelompok secara bersama-sama). Pendekatan ini juga menyatakan bahwa faktor yang
berbeda akan relevan untuk masing-masing unit keputusan (decision unit).
Pengembangan dari kerangka bertingkat-tingkat untuk memahami pilhan politik luar
negeri, diilhami penciptaan pengumpulan data peristiwa lintas bangsa untuk mengevaluasi
kerangka ini dan untuk mencoba untuk menangkap sifat interaktif tentang politik luar
negeri:.Sebagai tambahan, pengumpulan data peristiwa lintas bangsa sering mempunyai
suatu penyimpangan yang tak disengaja ke arah dunia Barat dalam kaitan dengan tidak
adanya ketersediaan data dari negara Dunia Ketiga atau karena variabel yang dipilih berasal
dari konsepsi Barat dalam hal proses politik, ideologi dan struktur.
b. Societal Sources of Foreign Policy
Semua keputusan kebijakan politik luar negeri terjadi pada khususnya konteks
domestik. Lingkungan ini termasuk nilai-nilai, karakter nasional dan sejarah tradisi
masyarakat, atribut struktural (ukuran, tingkat industrialisasi, bentuk pemerintahan dll), dan
khususnya isu politik yang penting di setiap waktu. Pada tahun 1960 dan 1970-an, sejumlah
studi empiris menguji hubungan antara kebijakan politik luar negeri dan atribut negara. Barubaru ini, perhatian juga difokuskan pada beragamnya aktor non negara, seperti MNC,
kelompok etnis, kelompok kepentingan, media dan masyarakat umum, yang berusaha
mempengaruhi kebijakan politik luar negeri yang dibuat oleh para elit negara. Usaha untuk
mempengaruhi ini bisa melalui partisipasi politik konvensional, seperti voting dan kampanye,
maupun melalui partisipasi politik non konvensional yang berupa demonstrasi, protes dan
kudeta.
Jurnal Hubungan Internasional
23 Agustus 2014
Bukti bahwa adanya hubungan antara kebijakan politik luar negeri dan opini publik
tidak begitu jelas dan seringkali berlawanan. Beberapa sarjana berpendapat bahwa opini
publik tidak relevan dengan proses pembuatan kebijakan atau opini publik lebih sering
mengikuti pimpinan pembuat kebijakan politik luar negeri dibandingkan mempengaruhi
pengambilan keputusan. Analisa terkini menyebutkan bahwa opini publik mungkin
berpengaruh pada isu-isu tertentu atau di dalam kondisi-kondisi tertentu dan tidak relevan
pada hal-hal lainnya.
Signifikansi opini public sebagai penentu kebijakan politik luar negeri mungkin lebih
banyak terlihat di negara lain dari pada di Amerika Serikat. Dalam hal ini opini publik
menjadi lebih penting sebagai faktor eksplanatori dalam beberapa tahun terakhir. Bagi
sebagian besar dunia, koneksi antara perhatian domestik dan asing lebih terlihat dan tegas.
Bruce Moon berpendapat bahwa di banyak negara, persepsi positif dari public dapat
digunakan sebagai sumber utama legitimasi bagi pemerintah, khususnya saat legitimasi sulit
dicapai akibat kebijakan domestic atau saat negara ditekan oleh kekuatan dari luar. Jadi,
peran opini publik dalam pilihan kebijakan politik luar negeri harus dipahami dalam konteks
posisi global dari masing-masing negara dan hubungan antara negara dengan masyarakat.
Riset pada pentingnya pendapat publik sering mensyaratkan bahwa rejim yang
demokratis lebih dibatasi secara politis dibanding lawan mereka di rejim otoriter. Asumsi ini
mengait sebagian dari suatu kegagalan untuk mengenali keaneka ragaman dari lawan yang
dapat dinyatakan. Investigasi Hagan (1987, 1994) pada 30 negara selama tahun 1960-an
menyimpulkan bahwa perlawanan domestik secara signifikan berpengaruh pada substansi
dan gaya kebijakan politik pada berbagai negara, tidak hanya pada negara yang menggunakan
sistem demokrasi.
c. Bureaucratic Structures and Processes
Suatu pendekatan umum kedua pada studi tentang politik luar negeri berfokus pada
dampak dari struktur birokrasi, subcultures, dan proses pembuatan keputusan pada pihan
yang akhirnya dibuat. Hilsman (1952, 1959) & Schilling, Hammond & Snyder (1962)
merupakan sarjana pertama yang mempelajari kebijakan birokrasi dan kebijakan politik luar
negeri. Pada tahun 1970-an, penelitian yang dilakukan oleh Allison (1971), Allison &
Halperin (1972) dan Gelb & Betts (1979) memberikan perkembangan yang signifikan pada
bidang ini.
Allison mengusulkan 3 pendekatan komplementer untuk menjelaskan proses
pengambilan kebijakan yang terjadi pada Oktober 1962. Model aktor rasional, proses
Jurnal Hubungan Internasional
organisasi
dan
politik
birokrasi/pemerintah,
23 Agustus 2014
masing-masing
digunakan
untuk
menggambarkan pemahaman yang mendalam yang disajikan dengan berbagai lensa
konseptual.
Model I (aktor rasional) menyatakan bahwa pilihan kebijakan politik luar negeri
adalah tindakan dalam penyatuan, pemerintah rasional, berdasarkan perhitungan yang masuk
akal tentang kegunaan dan kemungkinan, untuk mencapai apa yang didefinisikan sebagai
“state goals”. Model II (proses organisasional) mencerminkan teori bahwa kebijakan politik
luar negeri dapat dengan
baik dimengerti sebagai pilihan dan output dari sekelompok
semifeodal, organisasi dengan bebas dipadukan di dalam pemerintahan yang
sedang
memelihara minat mereka sendiri dan mengikuti standard operating procedurs. Model III
(bureaucratic/governmental politics) memelihara bahwa politik luar negeri adalah hasil dari
kompetisi yang intensif antar pembuat keputusan dan tawar-menawar sepanjang saluran yang
diatur antar pemain yang diposisikan secara hirarkis di dalam birokrasi pemerintah, masingmasing dengan perspektifnya di isu yang ada.
Pendekatan birokrasi dalam menganalisa kebijakan politik luar negeri sering
digunakan untuk menganalisa proses pengambilan kebijakan politik luar negeri pada negaranegara di Eropa dan Amerika Serikat. Hal ini karena pendekatan ini membutuhkan data yang
detail tentang apa yang terjadi di dalam pemerintahan saat mengambil suatu kebijakan. Data
yang seperti ini biasanya sulit diperoleh dari negara di luar Eropa. Selain itu pendekatan ini
sesuai digunakan untuk menganalisa negara dengan pemerintahan yang memiliki strukur
yang kompleks.
d. Cognitive Processes and Psychological Attributes
Dalam proses pengambilan kebijakan, juga dipengaruhi oleh aktor individu.
Pengambilan kebijakan yang dilakukan oleh individu juga dipengaruhi oleh beberapa faktor
diantaranya adalah faktor kognitif dan psikologi. Congnitive factor merupakan making
decision within the constraints of “bounded rationality”. Model ini dimunculkan oleh para
penstudi politik luar negeri yang dengan proses psikologis yang dialami pembuat keputusan.
Memusatkan perhatian pada faktor psikologi yang bersifat covert (tertutup), sistem nilai
(value system), sistem keyakinan (belief system), citra (image), dan persepsi yang dimiliki
oleh para pembuat keputusan politik luar negeri. Aspek yang dimiliki oleh individu terkait
dengan faktor kognitif dimana individu tersebut juga mempertimbangkan suatu
permasalahan berdasarkan informasi yang diterima atau pengetahuan, kepercayaan, dan
Jurnal Hubungan Internasional
23 Agustus 2014
kondisi psikologis dari aktor tersebut. Sedangkan untuk faktor psikologis, suatu individu
atau aktor dalam membuat keputusan tidak terlepas dari psikology faktor yang terdiri dari
immediate concern, emotion, image, and leadership‟s personality.
e. Artifial Intellegence
Dalam pembuatan kebijakan luar negeri, terdapat metode baru yang telah
dikembangkan yaitu metode kecerdasan buatan (Artificial Intelligence) dimana dalam
perumusan kebijakan luar negeri, metode ini menggunakan informasi yang spesifik.
Pendekatan ini tidak hanya dibatasi oleh aktor rasional dengan karakteristik yang formal.
Pendekatan dengan metode ini juga memfokuskan perhatian pada gagasan tetang pilihan
dalam pembuatan kebijakan luar negeri. Asumsi dari pengguna model ini adalah proses
pembuatan keputusan merupakan pengolahan informasi dimana pembuat keputusan dengan
seperangkat sistem keyakinan yang ia miliki menyeleksi input yang masuk kemudian dipadu
sistem keyakinan serta merumuskan alternatif keputusan yang diambil.
Teknik Artificial Intelligence menerapkan model berbasis aturan. Pendekatan dengan
metode ini dirasakan mampu mengatasi dan memberikan solusi dari permasalahan yang
dialami oleh individu, karena metode ini juga “menangkap” karakteristik manusia dan cara
dalam mengatasi masalah tersebut. Model berbasis aturan kurang berhasil, namun, dalam
menangani masalah, pemecahan masalah kurang bertahap dalam pemecahan masalah yang
ditemukan dalam situasi krisis atau dengan keputusan yang melibatkan kontrovesi politik
atau perubahan. Aturan berbasis pada penelitian kebijakan luar negeri umumnya mengambil
dua bentuk. Yang paling umum menggunakan versi cukup sederhana dari struktur if-then dari
sistem pakar. Perilaku yang telah dimodelkan meliputi kebijakan luar negeri Cina,
karakteristik umum perilaku kebijakan luar negeri, aturan untuk keterlibatan perang Vietnam,
respon krisis Soviet, dan sino-soviet negosiasi.
Pemodel kecerdasan buatan juga telah berusaha untuk model proses kognitif itu
sendiri. Pendekatan utama adalah penggunaan analogi atau precedent, originaly
dikembangkan dalam serangkaian makalah oleh Alker dan lainnya. Pendekatan ini
didasarkan pada gagasan bahwa para pembuat keputusan mencari pelajaran "dari masa lalu,
dalam menangani krisis dan terus memodifikasi pelajaran tergantung pada keberhasilan atau
kegagalan kebijakan.
Sebuah precedent model berbasis komputer melibatkan setidaknya tiga unsur.
Pertama, model untuk memudahkan harus menyimpan informasi tentang satu set precedent
historis dalam komputer. Manusia memperoleh precedent melalui beberapa kombinasi dari
Jurnal Hubungan Internasional
23 Agustus 2014
induksi dan pengajaran eksplisit. Kedua, harus ada sarana eksplisit membandingkan situasi
saat ini dengan informasi yang disimpan dalam databsase untuk menentukan situasi atau
situasi akan dipekerjakan sebagai precedent. Akhirnya, sistem harus memiliki beberapa cara
untuk mengoreksi analogi yang keliru melalui umpan balik dan sarana untuk memperoleh
informasi baru. Pentingnya precedent hampir secara universal diterima oleh para peneliti
artificial intellegence foreign policy, tetapi model yang sebenarnya membangun berdasarkan
prinsip yang tampaknya menjadi tantangan besar dan belum sukses sebagai antisipasi. Jika
masalah teknis dapat diatasi, precedent berbasis Al model dapat memberikan pendekatan
yang realistis tentang bagaimana para pembuat keputusan menggunakan sejarah dan cara
sistematis yang mempelajari aspek dari kebijakan luar negeri proses pembuatan.
f. The Emphasis on Decision Making during Crises
Snyder dan diesing dan Lebow juga berfokus pada pengambilan keputusan dalam
situasi krisis. Analisis keduanya didasarkan pada serangkaian studi kasus rinci dari situasi
krisis internasional pada abad 19 an dan abad 20, dengan tujuan membangun sebuah teori
perilaku krisis internasional. Snyder dan diesing mulai dengan teori-teori tentang perilaku
bargainging agregat, tetapi mereka juga memeriksa "efek dari struktur sistem internasional
dan pengambilan keputusan kegiatan para aktor pada proses tawar-menawar. Jadi, mereka
bergeser dari faktor sistemik untuk pemeriksaan persepsi, proses kelompok, dan individu-dan
domestik tingkat variabel. Sebagian besar penyelidikan mereka ditangani dengan enam belas
studi intensif dan lima kasus kurang rinci krisis pada periode 1898-1970, ini telah dilakukan
untuk memberikan informasi yang konsisten pada satu set yang jelas dari hipotesis umum dan
pertanyaan.
g. Another Snyderian’s Model
Selain model-model yang diilhami oleh Snyderian sebagaimana diuraikan dalam bab
sebelumnya, terdapat model lain dalam analisa politik luar negeri, diantaranya actor rasional,
model rasionalitas terbatas, model keputusan incremental, sibenetika, simulasi, dan
kecerdasan buatan
1. Aktor Rasional
Model ini berasumsi bahwa pembuat keputusan merupakan aktor yang bertujuan
(purposeful), selalu diarahkan untuk mencapai suatu sasaran (goals) yang tersusun dengan
baik (well-ordered preference).
2. Rasionalitas Terbatas
Jurnal Hubungan Internasional
23 Agustus 2014
Model rasional terbatas (bounded rationality) yang dikemukakan oleh Herbert A.
Simon. Semua pembuat keputusan selalu berupaya untuk memaksimalkan keputusan
demikian, keputusan harus dididukung oleh informasi, waktu, personil dan sumber daya lain
yang cukup.
3. Keputusan Instrumental
Model keputusan inkremental (incremental decision) dipopulerkan oleh David
Baybrooke dan Charles E. Lindlom. Menurut mereka dalam bidang ilmu politik (politic
realm)tidak selalu dibuat mengikuti pertimbangan dan perbandingan yang hati-hati dan
alternatif yang tersedia.
4. Sibernetika
Diambil dari bahasa Yunani, yang berarti pengendali. Orang yang pertama kali
memperkenalkan adalah Norbert Weiner. Sibernetika memandang pembuatan keputusan
politik sebagai suatu pengendalian dan pengkordinasian, usaha-usaha manusia untuk
mencapai serangkaian tujuan. Faktor yang dianggap menjadi dasar atau kuncinya adalah
transmisi informasi. Hasil dari proses tersebut berupa keputusan yang siap diimplementasikan
dalam lingkungan yang akan menjadi sebuah informasi baru dan masuk kedalam sistem
pemerimaan uyntuk dievaluasi.
5. Simulasi
Simulasi merupakan suatu usaha untuk meniru aspek-aspek tertentu dari suatu sistem
yang mungkin nyata atau pula merupakan suatu hipotesis sebagai sebuah teknik penelitian
dan merupakan sebuah varien dari eksperimen. Ada 3 macam simulasi yang dikembangkan
yaitu simulasi mesin atau computer, simulasi campuran atau simulasi manusia-mesin, dan
simulasi manusia permainan.
23 Agustus 2014
“EVOLUSI DAN PERKEMBANGAN GENERASI KETIGA
DALAM ANALSIA POLITIK LUAR NEGERI”
Retno Purwanti
Hubungan Internasional
Universitas Brawijaya Malang
Abstrak
Politik luar negeri merupakan salah satu bidang kajian studi hubungan internasional.
Dimana bidang kajian ini berada pada interaksi antara aspek dalam negeri suatu negara
(domestik) dan aspek internasional (eksternal) dari suatu negara. Menurut Paul R. Viotti dan
Mark V. Kauppy mendefinisikan politik luar negeri sebagai keputusan dan perilaku yang
ditempuh oleh negara-negara dalam interaksinya dengan negara lain atau dalam organisasi
internasional (Viotti dan Kauppy, 1999:478). Menurut Plano politik luar negeri merupakan
strategi atau rencana tindakan yang dibentuk oleh para pembuat keputusan suatu negara
dalam menghadapi negara lain atau unit politik internasional lainnya, dan dikendalikan untuk
mencapai tujuan nasional spesifik yang dituangkan dalam terminologi kepentingan nasional
(Plano, 1999:5).
Ada beberapa generasi dalam analisis kebijakan luar negeri. Pertama, oleh kaum
behavioralis pasca Perang Dunia II. Generasi berikutnya tahun 1974-1993 namun masih
disebut pemikir klasik, mengkritik sekaligus menghadirkan metode-metode baru, dengan
kontribusi dari ilmuwan pos positivis. Generasi terakhir muncul di tahun 1993-sekarang,
yang lebih komprehensif dalam memandang analisis kebijakan luar negeri dan melengkapi
kekurangan yang ada dari generasi sebelumnya.
Kata Kunci : Politik Luar Negeri, Generasi Pertama, Generasi Kedua, Generasi Ketiga
Jurnal Hubungan Internasional
23 Agustus 2014
I. LAHIRNYA ANALISA POLITIK LUAR NEGERI
a. Karakteristik dan Fungsi Politik Luar Negeri
Paul R. Viotti dan Mark V. Kauppy mendefinisikan politik/kebijakan luar negeri
sebagai keputusan dan perilaku yang ditempuh oleh negara-negara dalam interaksinya dengan
negara lain atau dalam organisasi internasional (Viotti dan Kauppy, 1999:478). Politik luar
negeri yang spesifik dilaksanakan oleh suatu negara sebagai inisiatif atau reaksi inisiatif yang
dilakukan oleh negara lain. Kebijakan luar negeri mencakup proses dinamis dari penerapan
pemaknaan kepentingan nasional yang relatif tetap terhadap faktor situsional yang sangat
fluktuatif di lingkungan internasional dengan maksud untuk mengembangkan suatu cara
tindakan yang diikuti oleh upaya untuk mencapai pelaksanaan diplomasi sesuai dengan
panduan kebijaksanaan yang telah ditetapkan.
Tujuan kebijakan luar negeri sebenarnya merupakan fungsi dari proses dimana tujuan
negara disusun. Tujuan tersebut dipengaruhi oleh pengalaman yang dilihat dari masa lalu dan
sasaran serta aspirasi di masa depan. Untuk mencapai tujuan di atas, politik/kebijakan luar
negeri perlu dibuat dan dianalisa terlebih dulu oleh pembuat keputusan (decision maker).
Dimana formulasi dari kebijakan tersebut didahului dari adanya masukan, proses dan
keluaran yang akhirnya menimbulkan umpan balik untuk pembuatan kebijakan baru atau
sebagai suatu bahan untuk evaluasi.
Dalam pandangan Coplin, politik luar negeri terbagi dalam tiga sifat, yaitu umum,
administratif, dan krisis (Coplin, 1992). Politik luar negeri yang bersifat umum terdiri atas
serangkaian keputusan yang diekspresikan melalui pernyataan-pernyataan kebijakan dan
tindakan-tindakan langsung. Sementara, politik luar negeri yang bersifat administratif dibuat
oleh anggota-anggota birokrasi pemerintah yang bertugas melaksanakan hubungan luar
negeri negaranya. Salah satu contohnya adalah
Amerika Serikat di bawah administrasi
Presiden George Walker Bush menetapkan politik luar negeri berupa Global War on
Terrorism (GWOT). Sedangkan, politik luar negeri yang bersifat krisis merupakan kombinasi
dari kedua keputusan yang bersifat umum dan administratif. Keputusan krisis merupakan
pengambilan keputusan yang diambil secara cepat dalam situasi darurat.
b. Kemunculan Analisa Politik Luar Negeri dan Kritikan terhadap ”Unitary State
Actor”
Jurnal Hubungan Internasional
23 Agustus 2014
Analisa Politik Luar Negeri (APLN) lahir akibat ketidakpuasan terhadap kejayaan
realisme dalam hubungan internasional pasca Perang Dunia II, dimana state sebagai aktor
utama atau “unitary state actor” yang mengejar kepentingan nasional, power, dan rasional
dalam pembuatan dan pengambilan keputusan. Menurut realisme, negara merupakan satusatunya aktor dalam hubungan internasional dimana peran dalam pencapaian kepentingan
nasional terletak pada negara, sedangkan pada realitanya di dalam suatu negara terdapat unit
lain yang memberikan pengaruh dan menerima dampak dari setiap pengambilan kebijakan
baik dari aktor individu, kelompok kepentingan, media, dan berbagai aktor lainnya. Dalam
hal ini APLN berupaya untuk merubah pandangan tersebut.
Dalam menganalisa kebijakan luar negeri, menurut Hudson dan Vore ( 1995: 211),
dalam praktiknya manusia memproses informasi bukan berdasarkan analisis rasional tetapi
dengan cara yang berbeda bila sedang dalam kondisi stress dan dalam kondisi rutin. Situasi
atau lingkungan operasional dari suatu keputusan dapat di interpretasikan dengan berbagai
cara, bergantung pada refrensi sejarah sebelumnya, kepribadian dan pengalaman sebelumnya
dalam menghadapi berbagai situasi serta keadaan sosial dan budaya mereka. Agenda-agenda
dan kepentingan, seperti untuk menjaga kesepakatan kelompok atau keinginan untuk
melindungan dan memperluas kartu „ tawaran „ dan jumlah aktor yang terlibat, dapat juga
mengurangi pemikiran rasional tentang biaya dan keuntungan. Faktor lain seperti emosi dan
motovasi ideology juga menjadi pertimbangan rasional dalam analisa cost/benefit.
c. Pembagian Generasi dalam Analisa Politik Luar Negeri
Ada beberapa generasi dalam analisis kebijakan luar negeri. Pertama, dikonstruksikan
oleh kaum behavioralis pasca Perang Dunia II, mereka mentransformasikan ilmu sosial
dengan pendekatan yang bersifat eksak atau ilmu alam. Generasi tersebut merupakan pemikir
klasik atau yang disebut dengan generasi pertama (1954-1973). Generasi ini menekankan
pada struktur dan proses dari kelompok kecil pembuat keputusan luar negeri, yang bekerja
dan memiliki pengaruh besar dalam suatu organisasi dan birokrasi besar.Tradisi penelitiannya
bersifat empiris yang menggunakan analisa tetap dari data eksperimental seperti studi kasus.
Menurut Hudson ( Hudson, 2008), generasi pertama ( 1954-1974 ) merupakan peletak dasar
APLN yang menjadi landasan perkembangan analisa selanjutnya. Beberapa konsep dan teoriteori penting yang muncul dari generasi pertama adalah proses kognitif, orientasi, dan
personalitas pemimpin, dinamika kelompok kecil, proses organisasi, politik birokratik,
budaya dan PLN, kontestasi dalam politik domestik, atribut nasional PLN.
Jurnal Hubungan Internasional
23 Agustus 2014
Generasi kedua APLN ( 1974-1993 ) melanjutkan generasi pertama ini dengan
penekanan yang lebih mendalam pada beberapa konsep. Masih disebut pemikir klasik,
mengkritik sekaligus menghadirkan metode-metode baru, dengan kontribusi dari ilmuwan
pos positivis. Perhatian berikut dari generasi kedua adalah pada proses organisasi dan politik
birokrasi.
Generasi terakhir mumcul di tahun 1993-sekarang, yang lebih komprehensif dalam
memandang analisis kebijakan luar negeri dan melengkapi kekurangan yang ada dari generasi
sebelumnya. Generasi ketiga ini terdiri dari kaum pos positivis dan konstruktivis yang
menawarkan solusi lebih lugas untuk analisis kebijakan luar negeri serta menghadirkan
berbagai alternative pemikiran baru yang selama ini termarjinalkan atau belum ke
permukaan. Pada saat itu adanya konflik antara blok Uni Soviet dan Amerika dalam perang
dingin. Aktor dalam generasi ini tidak lagi didominasi oleh Negara, tapi juga dengan
informasi yang spesifik serta menerima teori-teori menengah ke bawah dan bukan hanya
grand teori saja, dimana kedudukan dari proses pengambilan keputusan dipertimbangkan
sama pentingnya dengan hasil kebijakan yang didapatkan.
II. KONSTRUKTIVISME
Generasi ketiga APLN (1993-Sekarang) berkembang belakangan ini dengan
kemunculan teori-teori kritis dan konstruktivis. Penekanan generasi ini tidak lagi terbatas
pada negara tetapi bisa aktor-aktor non-state bahkan people to people dan masyarakat ke
masyarakat seperti yang dikembangkan oleh pandangan kosmopolitanisme dan PLN.
a. Kontruktivisme dalam analisa kebijakan luar negeri
Kemunculan kontruktivisme dalam analisa politik luar negeri tidak jauh berbeda
dengan ketidakpuasan dari realism yang menempatkan negara sebagai unitary state aktor.
Terdapat tiga aspek kontruktivisme dalam analisa kebijakan luar negeri (Copeland, 2006 a :34 b) :
Intersubjective understanding
Politik global dikendalikan oleh ide-ide, norma-norma, konsepsi-konsepsi, asumsiasumsi, dan nilai-nilai yang secara luas dimiliki secara bersama-sama oleh para aktor (secara
intersubjectif). Menurut Tannenwald (Tannenwald, 2005: 15), ide-ide merupakan konstruksi
mental yang dimiliki para individu, yang memberikan orientasi luas terhadap perilaku dan
kebijakan.
Hubungan struktur ide dan perilaku aktor : Constitutive dan Regulative
Jurnal Hubungan Internasional
23 Agustus 2014
Berbeda dengan neo-realis yang menganggap struktur internasional mempunyai
pengaruh langsung terhadap perilaku negara, struktur internasional, yang bagi kalangan
konstruktivis disebut struktur ideasional, memiliki pengaruh yang membentuk (constitutive)
dan mengatur (regulative), bukan pengaruh langsung yang bersifat kausalitas terhadap aktoraktor.
Lebih khusus lagi, seperti dikatakan oleh Nina Tannenwald, terdapat 4 tipe struktur
atau sistem ide dalam kaitannya dengan perilaku aktor-aktor, yaitu sistem-sistem ideologis
atau sistem kepercayaan yang dimiliki bersama, kepercayaan-kepercayaan normative,
kepercayaan sebab-akibat, dan preskripsi-preskripsi kebijakan ( ideologis of shared belief
systems, normative belief, cause-effect beliefs, and policy prescriptions).
Hubungan Agen dan Struktur
Struktur ideadional dan aktor-aktor atau agen-agen saling membentuk dan
menentukan satu sama lain. Struktur membentuk kepentingan dan identitas aktor tetapi
struktur juga di produksi, direproduksi dan diubah melalu praktik terus-menerus dari para
agen.
Berangkat dari kritik terhadap realis yang menganggap fenomena atau realitas
internasional tidak berubah dan selalu diwarnai dengan anartki dan konflik perebutan dan
pengaruh dan kekuasaan, kontrukstivisme melihat dunia selalu dalam proses perubahan dan
bahwa anarki, seperti dikatakan Wendt, bergantung pada negara-negara atau what states
make of it. Praktik dan perilaku negaralah yang mempengaruhi hasil, dan dunia sosial ini
merupakan sesuatu yang dikontruksikan menjadi anarkis atau tidak.
b. Perkembangan Konstruktivitas dan APLN
Dalam perkembangan awal kontrukstivis, negara masih dilihat sebagai aktor utama
dalam politik luar negeri. Menurut Alex Wendt, negara seperti black box yang memiliki
selain collective identity juga sorporate identity yang diberikan. Namun dalam
perkembangannya, kaum konstruktivisme menekankan pada pembentukan aturan dan norma
tanpa memandang batas negara. Faktor domestik lain bagi kontrukstivis adalah berupa
sumber-sumber kognitif di masyarakat tentang pilihan atau preferensi negara.
Ted Hopf mengaitkan konstruktivis dengan APLN dalam bukunya “Social
Construction of Internasional Politics”. Tulisannya dipengaruhi oleh psikologi kognitif
dimana, “ masyarakat diasumsikan terdiri atas struktur kognitif sosial tempat terjadinya
proses pembentukan diskursif. Identitas-identitas membentuk formasi (diskursif) itu. Para
individu memiliki banyak identitas, mereka berpartisipasi dalam berbagai kegiatan discursive
Jurnal Hubungan Internasional
23 Agustus 2014
formations, dan praktik kehidupan social mereka membentuk (constitute) diri mereka sendiri
dan orang lain, serta identitas dan formasi diskursif yang membentuk struktur kognitif
dimana mereka hidup” (Hopf, 2002 : 3-4).
Menurut Jutta Weldes yang mengangkat konsep kepentingan nasional. Tetapi bebeda
dengan konsep realis yang manganggap kepentingan nasional hanya sebagai sesuatu yang
ditemukan, ia menganggap bahwa kepentingan nasional adalah konstruksi yang diciptakan
sebagai obyek yang bermakna melalui makna-makna yang secara intersubyektif dan budaya
sudah mapan dalam mana dunia, khususnya sistem internasional dan tempat negara
didalamnya, bisa dipahami. Lebih khusus lagi, kepentingan nasional muncul dari representasi
atau melalui deskripsi situasi dan definisi masalah dimana pejabat-pejabat memahami dunia
di sekitar mereka.
III. GENERASI KETIGA dalam ANALISA POLITIK LUAR NEGERI
a. Frameworks, Classification Schemes and Data Development Activities
Usaha pertama untuk membuat penelitian tentang kebijakan luar negeri dan untuk
menciptakan penjelasan umun tentang kebijakan luar negeri (foreign policy) terlihat dalam
bentuk kerangka bertingkat dan tipologi. Kerangka ini sebenarnya adalah daftar dari faktor
berpotensi relevan yang perlu untuk dipertimbangkan demi memahami proses pembuatan
kebijakan politik luar negeri. Tujuannya adalah untuk mengidentifikasi sumber-sumber yang
relevan dari kebijakan politik luar negeri. Sumber atau variabel ini memiliki berbagai variasi
level of analysis, seperti individu, birokrasi dan masyarakat. Kerangka ini berkembang
dengan pendapat bahwa analisa secara tradisional terhadap kebijakan politik luar negeri, tidak
cukup untuk menjelaskan secara penuh mengenai keputusan kebijakan politik luar negeri.
Penelitian ini juga dipengaruhi oleh tantangan dari revolusi behavioral, dengan pandangan
neopositivis dan target jangka panjangnya adalah mengembangkan pengujian empiris
terhadap teori tentang kebijakan politik luar negeri. Berikut ini adalah beberapa usaha untuk
mencapai target ini.
Usaha pertama adalah usaha untuk mengembangkan kerangka kerja yang sistematis
oleh Snyder, Bruck dan Sapin yaitu dengan model action-reaction-interaction. Bagi mereka,
“kunci dari penjelasan mengapa negara bertindak dengan cara seperti itu terletak pada cara
bagaimana pembuat kebijakan mendefinisikan situasi mereka” (1954,65). Definisi tentang
situasi dihasilkan dari hubungan dan interaksi antara unit-unit pembuat kebijakan, baik dalam
lingkungan domestik maupun internasional, dengan membawa atribut personal, nilai-nilai
dan persepsi mereka msing-masing. Pendekatan ini menggabungkan pandangan dari sisi
Jurnal Hubungan Internasional
23 Agustus 2014
psikologi dan sosiologi, yang berangkat dari ide bahwa negara sebagai aktor monolitik yang
berusaha mendapatkan kepentingan nasionalnya. Kerangka ini kemudian digunakan oleh
Snyder dan Paige (1958) untuk menganalisa kebijakan AS untuk mengintervensi Korea pada
tahun 1950.
Kerangka kerja Snyder, Bruck dan Sapin kemudian dikritik karena kompleksitas dan
kegagalannya untuk secara spesifik menjelaskan bagaimana variabel berhubungan satu sama
lain dan disusun sesuai tingkat kepentingannya. Saat itu, kerangka ini merupakan satu
langkah kemajuan dalam penelitian kebijakan politik luar negeri karena definisi eksplisitnya,
indikasi dari asumsi dasarnya, penekanannya di keputusan sebagai unit dari analisa, usahanya
untuk menguraikan arti dari tindakan atau keputusan dari “negara” dan khususnya, karena
targetnya untuk menciptakan sebuah struktur dimana kebijakan politik luar negeri dari negara
manapun bisa dianalisa.
Usaha kedua untuk menciptakan penjelasan umum tentang kebijakan politik luar
negeri berasal dari James Rosenau. Rosenau memindahkan beberapa langkah-langkah dari
kerangka Snyder, Bruck dan Sapin dengan menguji proposisi “if-then”, mengelompokkan
sumber-sumber potensial dari kebijakan politik luar negeri dalam 5 kategori dan
mengusulkan cara untuk menyusun kepentingan dari kelompok variabel ini berdasarkan pada
isu spesifik dan atribut dari negara (seperti ukuran, akuntabilitas politik/level demokrasi,
tingkat pembangunan). 5 kelompok sumber kebijakan politik luar negeri yang dikembangkan
oleh Rosenau – idionsyncratic (individu), peran, pemerintah, masyarakat dan variabel
sistemik -, digunakan sebagai dasar dari analisa di banyak artikel, buku tentang politik luar
negeri, dan berbagai bacaan selama 3 dekade terakhir ini.
Studi kasus tentang Israel yang dilakukan Michael Brecher merupakan usaha
berikutnya dalam pengembangan suatu kerangka untuk memahami keputusan kebijakan
politik luar negeri. Berangkat dari hasil pekerjaan Harold Sprout dan Margareth Sprout
(1956,1957,1965), Brecher mengembangkan suatu model input-process-output dan
mengklasifikasikan faktor-faktor yang penting dalam proses pembuatan kebijakan. Perspektif
ini memberikan perhatian pada hubungan antara lingkungan operasional atau eksternal
(kemampuan militer dan ekonomi, struktur politik, kelompok kepentingan, faktor eksternal)
dengan interpretasi atau persepsi pembuat kebijakan terhadap lingkungan tersebut, yang
kemudian disebut Brecher sebagai psychological environment. Brecher juga mengenalkan
serangkaian gambaran dari area isu kebijakan (militer-keamanan, politik-diplomasi, ekonomipembangunan, budaya-status) yang menurutnya mempengaruhi keputusan kebijakan politik
luar negeri.
Jurnal Hubungan Internasional
23 Agustus 2014
Pendekatan terkini mengenai dampak dari struktur keputusan dalam kebijakan politik
luar negeri berasal dari Hermann, Hermann dan Hagan (1987). Hasil pekerjaan ini berusaha
untuk mempertimbangkan teori yang berbeda tentang proses pengambilan kebijakan dengan
mengusulkan bahwa jenis unit keputusan yang terakhir dan sifat alami proses pengambilan
kebijakan di dalam unit keputusan mempengaruhi baik
pilihan yang nyata maupun
dampaknya secara domestik dan internasional. Menurut pendekatan ini ada 3 kategori dari
unit keputusan yaitu, a predominant leader (sesorang yang memiliki kekuasaan untuk
membuat pilihan untuk pemerintah), a single group (semua individu yang dibutuhkan untuk
alokasi partipasi keputusan dalam kelompok dan kelompok membuat keputusan melalui
proses interaktif antar anggota) dan multiple autonomous actors (keputusan tidak melibatkan
manapun individu atau kelompok yang tunggal yang dapat dengan bebas memecahkan
perbedaan ada di antara kelompok atau itu dapat membalikkan keputusan apapun jangkauan
kelompok secara bersama-sama). Pendekatan ini juga menyatakan bahwa faktor yang
berbeda akan relevan untuk masing-masing unit keputusan (decision unit).
Pengembangan dari kerangka bertingkat-tingkat untuk memahami pilhan politik luar
negeri, diilhami penciptaan pengumpulan data peristiwa lintas bangsa untuk mengevaluasi
kerangka ini dan untuk mencoba untuk menangkap sifat interaktif tentang politik luar
negeri:.Sebagai tambahan, pengumpulan data peristiwa lintas bangsa sering mempunyai
suatu penyimpangan yang tak disengaja ke arah dunia Barat dalam kaitan dengan tidak
adanya ketersediaan data dari negara Dunia Ketiga atau karena variabel yang dipilih berasal
dari konsepsi Barat dalam hal proses politik, ideologi dan struktur.
b. Societal Sources of Foreign Policy
Semua keputusan kebijakan politik luar negeri terjadi pada khususnya konteks
domestik. Lingkungan ini termasuk nilai-nilai, karakter nasional dan sejarah tradisi
masyarakat, atribut struktural (ukuran, tingkat industrialisasi, bentuk pemerintahan dll), dan
khususnya isu politik yang penting di setiap waktu. Pada tahun 1960 dan 1970-an, sejumlah
studi empiris menguji hubungan antara kebijakan politik luar negeri dan atribut negara. Barubaru ini, perhatian juga difokuskan pada beragamnya aktor non negara, seperti MNC,
kelompok etnis, kelompok kepentingan, media dan masyarakat umum, yang berusaha
mempengaruhi kebijakan politik luar negeri yang dibuat oleh para elit negara. Usaha untuk
mempengaruhi ini bisa melalui partisipasi politik konvensional, seperti voting dan kampanye,
maupun melalui partisipasi politik non konvensional yang berupa demonstrasi, protes dan
kudeta.
Jurnal Hubungan Internasional
23 Agustus 2014
Bukti bahwa adanya hubungan antara kebijakan politik luar negeri dan opini publik
tidak begitu jelas dan seringkali berlawanan. Beberapa sarjana berpendapat bahwa opini
publik tidak relevan dengan proses pembuatan kebijakan atau opini publik lebih sering
mengikuti pimpinan pembuat kebijakan politik luar negeri dibandingkan mempengaruhi
pengambilan keputusan. Analisa terkini menyebutkan bahwa opini publik mungkin
berpengaruh pada isu-isu tertentu atau di dalam kondisi-kondisi tertentu dan tidak relevan
pada hal-hal lainnya.
Signifikansi opini public sebagai penentu kebijakan politik luar negeri mungkin lebih
banyak terlihat di negara lain dari pada di Amerika Serikat. Dalam hal ini opini publik
menjadi lebih penting sebagai faktor eksplanatori dalam beberapa tahun terakhir. Bagi
sebagian besar dunia, koneksi antara perhatian domestik dan asing lebih terlihat dan tegas.
Bruce Moon berpendapat bahwa di banyak negara, persepsi positif dari public dapat
digunakan sebagai sumber utama legitimasi bagi pemerintah, khususnya saat legitimasi sulit
dicapai akibat kebijakan domestic atau saat negara ditekan oleh kekuatan dari luar. Jadi,
peran opini publik dalam pilihan kebijakan politik luar negeri harus dipahami dalam konteks
posisi global dari masing-masing negara dan hubungan antara negara dengan masyarakat.
Riset pada pentingnya pendapat publik sering mensyaratkan bahwa rejim yang
demokratis lebih dibatasi secara politis dibanding lawan mereka di rejim otoriter. Asumsi ini
mengait sebagian dari suatu kegagalan untuk mengenali keaneka ragaman dari lawan yang
dapat dinyatakan. Investigasi Hagan (1987, 1994) pada 30 negara selama tahun 1960-an
menyimpulkan bahwa perlawanan domestik secara signifikan berpengaruh pada substansi
dan gaya kebijakan politik pada berbagai negara, tidak hanya pada negara yang menggunakan
sistem demokrasi.
c. Bureaucratic Structures and Processes
Suatu pendekatan umum kedua pada studi tentang politik luar negeri berfokus pada
dampak dari struktur birokrasi, subcultures, dan proses pembuatan keputusan pada pihan
yang akhirnya dibuat. Hilsman (1952, 1959) & Schilling, Hammond & Snyder (1962)
merupakan sarjana pertama yang mempelajari kebijakan birokrasi dan kebijakan politik luar
negeri. Pada tahun 1970-an, penelitian yang dilakukan oleh Allison (1971), Allison &
Halperin (1972) dan Gelb & Betts (1979) memberikan perkembangan yang signifikan pada
bidang ini.
Allison mengusulkan 3 pendekatan komplementer untuk menjelaskan proses
pengambilan kebijakan yang terjadi pada Oktober 1962. Model aktor rasional, proses
Jurnal Hubungan Internasional
organisasi
dan
politik
birokrasi/pemerintah,
23 Agustus 2014
masing-masing
digunakan
untuk
menggambarkan pemahaman yang mendalam yang disajikan dengan berbagai lensa
konseptual.
Model I (aktor rasional) menyatakan bahwa pilihan kebijakan politik luar negeri
adalah tindakan dalam penyatuan, pemerintah rasional, berdasarkan perhitungan yang masuk
akal tentang kegunaan dan kemungkinan, untuk mencapai apa yang didefinisikan sebagai
“state goals”. Model II (proses organisasional) mencerminkan teori bahwa kebijakan politik
luar negeri dapat dengan
baik dimengerti sebagai pilihan dan output dari sekelompok
semifeodal, organisasi dengan bebas dipadukan di dalam pemerintahan yang
sedang
memelihara minat mereka sendiri dan mengikuti standard operating procedurs. Model III
(bureaucratic/governmental politics) memelihara bahwa politik luar negeri adalah hasil dari
kompetisi yang intensif antar pembuat keputusan dan tawar-menawar sepanjang saluran yang
diatur antar pemain yang diposisikan secara hirarkis di dalam birokrasi pemerintah, masingmasing dengan perspektifnya di isu yang ada.
Pendekatan birokrasi dalam menganalisa kebijakan politik luar negeri sering
digunakan untuk menganalisa proses pengambilan kebijakan politik luar negeri pada negaranegara di Eropa dan Amerika Serikat. Hal ini karena pendekatan ini membutuhkan data yang
detail tentang apa yang terjadi di dalam pemerintahan saat mengambil suatu kebijakan. Data
yang seperti ini biasanya sulit diperoleh dari negara di luar Eropa. Selain itu pendekatan ini
sesuai digunakan untuk menganalisa negara dengan pemerintahan yang memiliki strukur
yang kompleks.
d. Cognitive Processes and Psychological Attributes
Dalam proses pengambilan kebijakan, juga dipengaruhi oleh aktor individu.
Pengambilan kebijakan yang dilakukan oleh individu juga dipengaruhi oleh beberapa faktor
diantaranya adalah faktor kognitif dan psikologi. Congnitive factor merupakan making
decision within the constraints of “bounded rationality”. Model ini dimunculkan oleh para
penstudi politik luar negeri yang dengan proses psikologis yang dialami pembuat keputusan.
Memusatkan perhatian pada faktor psikologi yang bersifat covert (tertutup), sistem nilai
(value system), sistem keyakinan (belief system), citra (image), dan persepsi yang dimiliki
oleh para pembuat keputusan politik luar negeri. Aspek yang dimiliki oleh individu terkait
dengan faktor kognitif dimana individu tersebut juga mempertimbangkan suatu
permasalahan berdasarkan informasi yang diterima atau pengetahuan, kepercayaan, dan
Jurnal Hubungan Internasional
23 Agustus 2014
kondisi psikologis dari aktor tersebut. Sedangkan untuk faktor psikologis, suatu individu
atau aktor dalam membuat keputusan tidak terlepas dari psikology faktor yang terdiri dari
immediate concern, emotion, image, and leadership‟s personality.
e. Artifial Intellegence
Dalam pembuatan kebijakan luar negeri, terdapat metode baru yang telah
dikembangkan yaitu metode kecerdasan buatan (Artificial Intelligence) dimana dalam
perumusan kebijakan luar negeri, metode ini menggunakan informasi yang spesifik.
Pendekatan ini tidak hanya dibatasi oleh aktor rasional dengan karakteristik yang formal.
Pendekatan dengan metode ini juga memfokuskan perhatian pada gagasan tetang pilihan
dalam pembuatan kebijakan luar negeri. Asumsi dari pengguna model ini adalah proses
pembuatan keputusan merupakan pengolahan informasi dimana pembuat keputusan dengan
seperangkat sistem keyakinan yang ia miliki menyeleksi input yang masuk kemudian dipadu
sistem keyakinan serta merumuskan alternatif keputusan yang diambil.
Teknik Artificial Intelligence menerapkan model berbasis aturan. Pendekatan dengan
metode ini dirasakan mampu mengatasi dan memberikan solusi dari permasalahan yang
dialami oleh individu, karena metode ini juga “menangkap” karakteristik manusia dan cara
dalam mengatasi masalah tersebut. Model berbasis aturan kurang berhasil, namun, dalam
menangani masalah, pemecahan masalah kurang bertahap dalam pemecahan masalah yang
ditemukan dalam situasi krisis atau dengan keputusan yang melibatkan kontrovesi politik
atau perubahan. Aturan berbasis pada penelitian kebijakan luar negeri umumnya mengambil
dua bentuk. Yang paling umum menggunakan versi cukup sederhana dari struktur if-then dari
sistem pakar. Perilaku yang telah dimodelkan meliputi kebijakan luar negeri Cina,
karakteristik umum perilaku kebijakan luar negeri, aturan untuk keterlibatan perang Vietnam,
respon krisis Soviet, dan sino-soviet negosiasi.
Pemodel kecerdasan buatan juga telah berusaha untuk model proses kognitif itu
sendiri. Pendekatan utama adalah penggunaan analogi atau precedent, originaly
dikembangkan dalam serangkaian makalah oleh Alker dan lainnya. Pendekatan ini
didasarkan pada gagasan bahwa para pembuat keputusan mencari pelajaran "dari masa lalu,
dalam menangani krisis dan terus memodifikasi pelajaran tergantung pada keberhasilan atau
kegagalan kebijakan.
Sebuah precedent model berbasis komputer melibatkan setidaknya tiga unsur.
Pertama, model untuk memudahkan harus menyimpan informasi tentang satu set precedent
historis dalam komputer. Manusia memperoleh precedent melalui beberapa kombinasi dari
Jurnal Hubungan Internasional
23 Agustus 2014
induksi dan pengajaran eksplisit. Kedua, harus ada sarana eksplisit membandingkan situasi
saat ini dengan informasi yang disimpan dalam databsase untuk menentukan situasi atau
situasi akan dipekerjakan sebagai precedent. Akhirnya, sistem harus memiliki beberapa cara
untuk mengoreksi analogi yang keliru melalui umpan balik dan sarana untuk memperoleh
informasi baru. Pentingnya precedent hampir secara universal diterima oleh para peneliti
artificial intellegence foreign policy, tetapi model yang sebenarnya membangun berdasarkan
prinsip yang tampaknya menjadi tantangan besar dan belum sukses sebagai antisipasi. Jika
masalah teknis dapat diatasi, precedent berbasis Al model dapat memberikan pendekatan
yang realistis tentang bagaimana para pembuat keputusan menggunakan sejarah dan cara
sistematis yang mempelajari aspek dari kebijakan luar negeri proses pembuatan.
f. The Emphasis on Decision Making during Crises
Snyder dan diesing dan Lebow juga berfokus pada pengambilan keputusan dalam
situasi krisis. Analisis keduanya didasarkan pada serangkaian studi kasus rinci dari situasi
krisis internasional pada abad 19 an dan abad 20, dengan tujuan membangun sebuah teori
perilaku krisis internasional. Snyder dan diesing mulai dengan teori-teori tentang perilaku
bargainging agregat, tetapi mereka juga memeriksa "efek dari struktur sistem internasional
dan pengambilan keputusan kegiatan para aktor pada proses tawar-menawar. Jadi, mereka
bergeser dari faktor sistemik untuk pemeriksaan persepsi, proses kelompok, dan individu-dan
domestik tingkat variabel. Sebagian besar penyelidikan mereka ditangani dengan enam belas
studi intensif dan lima kasus kurang rinci krisis pada periode 1898-1970, ini telah dilakukan
untuk memberikan informasi yang konsisten pada satu set yang jelas dari hipotesis umum dan
pertanyaan.
g. Another Snyderian’s Model
Selain model-model yang diilhami oleh Snyderian sebagaimana diuraikan dalam bab
sebelumnya, terdapat model lain dalam analisa politik luar negeri, diantaranya actor rasional,
model rasionalitas terbatas, model keputusan incremental, sibenetika, simulasi, dan
kecerdasan buatan
1. Aktor Rasional
Model ini berasumsi bahwa pembuat keputusan merupakan aktor yang bertujuan
(purposeful), selalu diarahkan untuk mencapai suatu sasaran (goals) yang tersusun dengan
baik (well-ordered preference).
2. Rasionalitas Terbatas
Jurnal Hubungan Internasional
23 Agustus 2014
Model rasional terbatas (bounded rationality) yang dikemukakan oleh Herbert A.
Simon. Semua pembuat keputusan selalu berupaya untuk memaksimalkan keputusan
demikian, keputusan harus dididukung oleh informasi, waktu, personil dan sumber daya lain
yang cukup.
3. Keputusan Instrumental
Model keputusan inkremental (incremental decision) dipopulerkan oleh David
Baybrooke dan Charles E. Lindlom. Menurut mereka dalam bidang ilmu politik (politic
realm)tidak selalu dibuat mengikuti pertimbangan dan perbandingan yang hati-hati dan
alternatif yang tersedia.
4. Sibernetika
Diambil dari bahasa Yunani, yang berarti pengendali. Orang yang pertama kali
memperkenalkan adalah Norbert Weiner. Sibernetika memandang pembuatan keputusan
politik sebagai suatu pengendalian dan pengkordinasian, usaha-usaha manusia untuk
mencapai serangkaian tujuan. Faktor yang dianggap menjadi dasar atau kuncinya adalah
transmisi informasi. Hasil dari proses tersebut berupa keputusan yang siap diimplementasikan
dalam lingkungan yang akan menjadi sebuah informasi baru dan masuk kedalam sistem
pemerimaan uyntuk dievaluasi.
5. Simulasi
Simulasi merupakan suatu usaha untuk meniru aspek-aspek tertentu dari suatu sistem
yang mungkin nyata atau pula merupakan suatu hipotesis sebagai sebuah teknik penelitian
dan merupakan sebuah varien dari eksperimen. Ada 3 macam simulasi yang dikembangkan
yaitu simulasi mesin atau computer, simulasi campuran atau simulasi manusia-mesin, dan
simulasi manusia permainan.