KAJIAN ONTOLOGI TEORI BIG BANG DALAM PEN

ADIWIDA edisi Maret 2015, No. 1

41

KAJIAN ONTOLOGI TEORI BIG BANG DALAM
PENCIPTAAN ALAM SEMESTA
Ratna Ekawati
Mahasiswa Program Doktoral Pendidikan IPA SPs UPI Bandung,
Dosen Jurusan Pendidikan Teknik Elektro
FKIP Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta),
Serang, Indonesia
ABSTRAK
Alam semesta mengalami proses penciptaan, proses dari ketiadaan menjadi ada, dan
akhirnya hancur. Pada proses penciptaan terdapat proses penciptaan galaksi, bintang, manusia,
hewan, tumbuhan, dan makluk hidup lainnya. Disana berlangsung ribuan, bahkan jutaan proses
fisika, kimia, biologi dan proses-proses lain yang tidak diketahui. Ada beberapa teori penciptaan
alam semesta yang disepakati oleh ahli-ahli astronomi. Teori Big Bang (dentuman besar)
merupakan hipotesis (anggapan dasar) penciptaan alam semesta yang paling mungkin. Gagasan Big
Bang didasarkan bahwa alam semesta berasal dari keadaan panas dan padat yang mengalami
ledakan dahsyat dan mengembang. Semua galaksi di alam semesta mengembang dan menjauhi
pusat ledakan. Fisikawan menemukan beberapa fenomena yang medukung teori Bang Bang

merupakan model penciptaan alam semesta yang paling mungkin. Fenomena-fenomena yang
mendukung teori Big Bang antara lain: 1) radiasi termal, 2) radiasi latar belakang kosmik, 3) prinsip
antropik, 4) teori kuantum.
Kata Kunci: Ontologi, Teori Big Bang, Penciptaan Alam Semesta

ADIWIDA edisi Maret 2015, No. 1
A. PENDAHULUAN
Alam semesta merupakan keseluruhan
benda atau segala sesuatu yang ada baik yang
dapat maupun tidak dapat dilihat oleh mata.
Alam semesta memiliki sejarah dimana bintangbintang terbentuk, berevolusi, melepas energi.
Berabad-abad yang lalu, pencipataan alam
semesta adalah sebuah konsep yang diabaikan
para ahli astronomi. Alasannya adalah
penerimaan umum atas gagasan bahwa alam
semesta telah ada sejak waktu yang tak terbatas.
Dalam mengkaji alam semesta, ilmuwan
beranggapan bahwa jadat raya hanyalah
akumulasi materi yang tidak mempunyai awal.
Tidak ada momen “penciptaan”, yakni momen

ketika alam semesta dan segala isinya muncul.
Tiga teori asal usul alam semesta, yaitu 1)
Teori Big Bang, 2) Teori Keadaan Tetap (Steady
State Theory), 3) Teori Osilasi (Tjasyono,
2002). Teori Big Bang
didasarkan pada alam
semesta yang berasal dari
keadaan panas dan padat
mengalami
ledakan
dahsyat dan mengembang,
semua galaksi di alam
semesta akan menjauhi
pusat
ledakan.
Teori
Keadaan Tetap (Steady
State Theory), menurut
teori ini alam semesta tidak
awal dan tidak akan

berakhir. Materi secara terus menerus datang
membentuk atom-atom hidrogen dalam angkasa
yang membentuk galaksi baru untuk mengganti
galaksi lama. Teori Osilasi menduga bahwa
alam semesta tidak ada awal dan tidak ada
akhir. Model ini mengemukakan bahwa alam
semesta tidak konstan, melainkan berekspansi
yang dimulai dengan dentuman besar.
Kemudian setelah beberapa waktu gravitasi
menarik efek ekspensi sehingga alam semesta
akan mengempis dan mencapai keadaan semula
dimana temperatur dan tekanan menjadi tinggi
yang akan memecahkan semua partikel menjadi

41
partikel-partikel elementer sehingga terjadi
dentuman besar (Big Bang) baru dan
berekspansi lagi.
Artikel ini merupakan kajian ontologi
terhadap salah satu teori penciptaan alam

semesta yaitu teori Big Bang. Tujuan artikel ini
adalah 1) mendeskripsikan teori Big Bang dan
hasil penelitian yang mendukungnya, 2) refleksi
kritis proses pembentukan alam semesta dari
waktu awal dentuman besar, dan fenomenafenomena yang ditemukan para fisikawan untuk
mendukung teori Big Bang
B. PEMBAHASAN
1. Teori Big Bang
Teori Big Bang sampai sekarang tetap
diterima sebagai permulaan awal semesta.
Meskipun beberapa ahli astronomi lain agak
meragukan teori tersebut. Teori Big Bang
mengemukakan bahwa
alam semesta pernah
sangat padat. Pendapat
lain
mengatakan
bahwa alam semesta
berawal pada waktu
tertentu

melalui
ledakan “telur kosmik”
yang disebut dentuman
besar, yang kira-kira
10 miliar sampai 20
miliar tahun yang lalu
dan mengembangnya
alam semesta sekarang adalah kelanjutan dari
dentuman besar (Sihombing, 1999).
Teori Big Bang menjelaskan alam semesta
berasal dari suatu ledakan besar yang
menghamburkan seluruh isi alam semesta ke
segala arah ruang. Saat ledakan terjadi, alam
semesta berukuran titik berkerapatan tinggi tak
terhingga, bersuhu tak berhingga besar. Saat
alam semesta terus mengembang dan usianya
bertambah, suhunya semakin mengecil.
Akhirnya suhu alam semesta sampai pada
ambang penciptaan partikel dan anti partikel
(Anugraha, 2011)


ADIWIDA edisi Maret 2015, No. 1

42

Gambar 1. Ilustrasi Teori Big Bang

Tahun 1915, Albert Einstein menyimpulkan
bahwa alam semesta tidak mungkin statis
dengan perhitungan-perhitungan teori relativitas
yang ditemukannya. Rumus matematis Einstein
sangat rumit. Ada 20 persamaan sekaligus
dengan 10 besaran yang tidak diketahui.
Persamaan-persamaan itu nyaris tidak ada
penyelesaiannya, kecuali dalam situasi di mana
simetri atau perhitungan energi memungkinkan
persamaan-persamaan itu diubah ke dalam
bentuk yang lebih sederhana (McEvoy &
Zarate,
2005).

Einstein
menambahkan
“konstantan kosmologis” pada persamaannya
supaya muncul “jawaban yang benar”, karena
para ahli astronomi meyakinkan Einstein alam
semesta itu statis sehingga tidak ada cara lain
untuk mengubah persamaannya sesuai dengan
model saat itu. Beberapa tahun kemudian,
Einstein
mengakui
bahwa
“konstanta
kosmologis” adalah kesalahan terbesar dalam
karirnya.
Tahun 1920 adalah tahun yang penting
dalam perkembangan astronomi modern.
Alexandra Friedmann adalah ahli kosmologi
Rusia, membantu mengembangkan model yang
menjelaskan perkembangan alam semesta. Pada
tahun 1922, menghasilkan perhitungan yang

menunjukkan bahwa struktur alam semesta
tidaklah statis dan impuls kecil pun
menyebabkan
struktur
keseluruhan
mengembang dan mengerut menurut Teori
Relativitas Einstein.
George Lemaitre adalah orang pertama
yang meyadari arti perhitungan Friedmann.
Berdasarkan perhitungan ini, astronomer
Belgia, Lemaitre menyatakan bahwa alam
semesta mempunyai permulaan dan ia
mengembang sebagai akhibat dari sesuatu yang
memicunya. Dia menyatakan tingkat radiasi
(rate of radiation) dapat digunakan sebagai
ukuran akhibat (aftermath) dari ledakan.
Edwin Habble memperagakan bahwa
Bimaskti bukanlah satu-satunya galaksi.
Sebenarnya banyak sekali galaksi, dan di antara


galaksi-galaksi terdapat kawasan yang sangat
luas yang merupakan ruang kosong (Hawking,
1988). Hubble menghitung jauhnya sembilan
galaksi yang berlainan. Bintang-bintang yang
begitu jauh letaknya sehingga tampak kepada
kita hanya sebagai cahaya ujung jarum. Kita
tidak dapat melihat ukuran dan bentuknya. Lalu
bagaimana kita bisa membedakan tipe-tipe
bintang itu? Untuk kebanyakan bintang hanya
ada satu segi karakteristik yang diamati yaitu
warna cahaya. Newton menjumpai bahwa jika
berkas sinar dilewatkan prisma kaca, berkas
cahaya akan terurai mejadi komponennya
(spektrum) seperti dalam pelangi. Dengan
memfokuskan suatu teropong pada sebuah
individu bintang atau galaksi, orang dapat
mengamati spektrum cahaya dari bintang atau
galaksi tersebut. Bintang mempunyai spektrum
yang berlainan.
Pada 1920, para astronom mulai

memeriksa spektra bintang-bintang dalam
galaksi lain, mereka menjumpai sesuatu yang
sangat aneh: terdapat perangkat karakteristik
warna-warna yang hilang seperti pada bintangbintang Bimasakti, tetapi semuanya bergeser ke
arah ujung spektrum merah. Dalam hal cahaya,
ini berarti bahwa bintang yang bergerak
menjauhi kita (pengamat) spektranya bergeser
ke arah ujung merah spektrum (geseran-merah)
dan yang bergerak ke arah kita (pengamat)
spektranya menujukkan geseran-biru. Setelah ia
membuktikan adanya galaksi lain, Hubble
menghabiskan waktu bertahun-tahun mendaftar
jarak dan mengamati spektranya. Pada waktu
itu, kebanyakan orang menyangka galaksi
bergerak kian kemari dengan acak, jadi
mengharapkan menjumpai spektra bergeser-biru
sama banyak dengan spektra bergeser merah.
Oleh karena itu sangatlah mengejutkan bahwa
ternyata kebanyakan galaksi tampak bergeser ke
merah menjauhi kita. Lebih mengejutkan,

Hubble pada tahun 1929 mengumumkan bahwa
ukuran geseran-merah tidaklah acak, melainkan
berbanding lurus dengan dengan jauhnya

ADIWIDA edisi Maret 2015, No. 1
galaksi itu, makin cepat ia bergerak menjauh.
Berarti membuktikan bahwa jadat raya tidak
statis, seperti diperkirakan semua orang,
melainkan memuai; jarak antara berbagai
galaksi terus menerus bertambah.
Penemuan Hubble juga dijelaskan Yahya
(2002), ketika mengamati sejumlah bintang
melalui teleskop raksasanya, dia menemukan
bahwa cahaya bintang bergeser ke arah ujung
spektrum merah, dan pergeseran tersebut
berkaitan dengan jarak bintang-bintang dari
bumi. Menurut aturan fisika yang diketahui,
spektrum berkas cahaya yang mendekati titik
observasi cenderung ke ungu, sementara berkas
cahaya yang menjauhi titik obervasi cenderung
ke
arah
merah.
Pengamatan
Hubble
menunjukkan bahwa menurut aturan fisika
tersebut, benda-benda luar angkasa menjauh
dari kita. Selang beberapa waktu, Hubble
membuat penemuan penting; bintang-bintang
tidak hanya menjauh dari bumi; bintang-bintang
menjauh satu sama lain. Alam semesta
mengembang konstan karena segala sesuatu di
alam semesta menjauh satu sama lain.
Pada tahun 1948, George Gamov
mengembangkan perhitungan George Lemaitre
lebih jauh dan menghasilkan gagasan baru
mengenai Big Bang. Jika alam semesta
terbentuk dalam sebuah ledakan besar tiba-tiba,
maka harus ada sejumlah radiasi tertentu yang
ditinggalkan dari ledakan tersebut. Radiasi ini
harus bisa dideteksi, dan harus sama di seluruh
alam semesta.
Landasan teoritis penemuan Gamov
adalah semua benda panas (benda apa pun yang
memiliki
suhu
tertentu)
memancarkan
gelombang elektromagnetik kontinu yang
dinamakan radiasi termal, meskipun benda itu
hanya memiliki suhu 5 K (-268oC).
Persoalannya: bagaimana mengukur suhu
terendah, panjang gelombang mana yang
digunakan. Proses fisika yang menghasilkan
radiasi termal sangat sederhana. Untuk
menjelaskan secara detail peristiwa ini
dibutuhkan hipotesis Max Planck pada tahun
1900 (memicu lahirnya teori kuantum). Teori
Plank menunjukkan laju pancaran energi radiasi
(gelombang elektromagnetik) untuk berbagai
suhu bergantung pada panjang gelombang.
Kurva-kurva teoritik Planck menunjukkan

43
bahwa radiasi itu menyebar dan puncaknya
bergeser ke panjang gelombang yang lebih
panjang jika suhu semakin rendah.
a. Pada suhu 800oC, sebagian kecil radiasi
dipancarkan dalam spektrum cahaya merah,
dan sebagian besar radiasi dipancarkan
dalam spektrum inframerah
b. Pada suhu 300o C, hampir semua energi
dipancarkan dalam spektrum inframerah
(berarti di atas awan merah). Tidak ada
radiasi yang dipancarkan dalam spektrum
cahaya tampak.
c. Pada suhu 5K (-268oC) semua radiasi
dipancarkan dalam spektrum gelombang
mikro. Untuk mendeteksinya, dibutuhkan
alat pendeteksi gelombang mikro yang
dibuat khusus.
Pada prediksi Gamov, kurva teoritik distribusi
radiasi termal pada suhu 5 K menunjukkan
bahwa radiasi puncak harus berada dalam
spektrum elektromagnetik gelombang mikro.
Kelompok-kelompok lain merencanakan
eksperimen untuk menemukan gelombang
mikro Gamow. Pada tahun 1965, dua peneliti
yang Arno Penzias dan Robert Wilson
menemukan sebentuk radiasi yang selama ini
tidak teramati. Disebut ”radiasi latar belakang
kosmik”, radiasi ini tidak seperti apapun yang
berasal dari alam semesta karena seragam.
Radiasi ini tersebar merata di seluruh alam
semesta. Disadari bahwa radiasi ini adalah gema
Big bang, yang masih menggema sejak momen
pertama ledakan besar tersebut. Penzias dan
Wilson dianugerahi hadiah Nobel untuk
penemuan mereka.
Pada tahun 1989, George Smoot dan tim
NASA-nya meluncurkan sebuah satelit luar
angkasa. Sebuah instrumen sensitif yang disebut
“Cosmig Background Emission Explorer”
(COBE) di dalam satelit itu hanya memerlukan
delapan menit untuk mendeteksi dan
menegaskan tingkat radiasi. Data yang
diperoleh ternyata nyaris cocok sempurna
dengan kurva radiasi Planck untuk suhu latar
2,736 K. COBE I menggunakan radiometer
gelombang mikro absolut yang diuji dengan
helium cair di badan satelit. Hasil ini
menunjukkan keberadaan bentuk rapat dan
panas sisa ledakan yang menghasilkan alam
semesta. Kebanyakan ilmuwan mengakui

ADIWIDA edisi Maret 2015, No. 1

44

bahwa COBE I telah berhasil menangkap sisasisa dentuman alam semesta. Untuk mendukung
data COBE I diluncurkan satelit COBE II.
COBE II menggunakan radiometer diferensial
yang peka. Satelit ini tidak dirancang untuk

mengukur suhu mutlak dari radiasi suatu titik di
langit, tetapi mengukur perbedaan suhu antara
dua titik. Kalau COBE I melaporkan: suhu di
titik A 2,275 K, COBE II melaporkan perbedaan
suhu antara titik A dan B adalah 0,002 K.

Gambar 2. Sistem Kerja Satelit COBE I
Tahun 1965 teorema Roger Penrsore
menunjukkan bahwa setiap bintang runtuh pasti
berakhir dengan dalam sutau singularitas;
argumen dengan waktu terbalik menunjukkan
bahwa setiap alam semesta yang memuai
mirip-Friedman pasti berawal dari singularitas.
Hasil akhir makalah gabungan Penrsore dengan
Hawking pada tahun 1970, menunjukkan bahwa
singularitas dentuman besar pasti ada di masa
lalu hanya asalkan relativitas umum benar, dan
alam semesta berisi materi sebanyak yang kita
amati.
Jika alam semesta semakin besar sejalan
dengan waktu, berarti alam semesta semakin
kecil; dan jika mundur cukup jauh segala
sesuatu akan mengerut dan bertemu pada satu
titik. Kesimpulan yang dihasilkan dari model ini
adalah bahwa suatu saat semua materi di alam
semesta ini terpadatkan dalam massa satu titik
yang mempunyai “volume nol” karena gaya
gravitasinya. Teori fisika klasik tidak dapat
diterapkan ketika materi runtuh dengan
kerapatan tak terhingga. Maka, Teori Kuantum
harus diterapkan saat terjadi dentuman besar.

Tahun
1960-an
semua
orang
membicarakan bintang yang mengalami
keruntuhan gravitasi. John Wheeler tertarik
pada bintang-bintang masif yang mengalami
keruntuhan
gravitasi
sempurna.
Dalam
pertemuan fisika ruang angkasa di New York
tahun 1969, Wheeler mulai mempergunakan
istilah lubang hitam. Pada bulan Desember
1970, satelit sinar X Uhuru di pantai Kenya.
Para astronom menjelajahi langit dalam
spektrum elektromagnetik yang lain, yaitu
spektrum sinar X. Dalam 2 tahun, lebih dari 300
sumber sinar X berhasil dideteksi. Salah satunya
yang berada di gugusan Cygnus (Cygnus X 1),
tampaknya merupakan sistem bintang ganda
yang mengandung lubang hitam. Komponen
tampak sistem ini merupakan bintang biru
bermagnitudo 9 (dikenal dengan HDE 226868).
Bermassa sekitar 23 kali massa matahari, dan
megorbit bintang pasangannya yang tak tampak
dengan periode 5,6 hari pada jarak 8.200 tahun
cahaya dari bumi (Lihat Gambar 3).

Komponen
tampak
(HDE
226868)
Lubang hitam

ADIWIDA edisi Maret 2015, No. 1

45
Gambar 3. Cygnus X1

Berdasarkan perhitungan massa HDE
226868 dan pengamatan periode revolusi
meyakinkan, para astronom dapat menghitung
massa komponen tak tampak, yaitu sebesar 10
kali massa matahari. Bintang ini terlalu besar
sebagai bintang neutron, jadi pastilah sebuah
lubang hitam. Para pakar teori membangun
suatu model untuk menjelaskan sinar X. Mereka
yakin bahwa lubang hitam menarik massa dari
bintang pasangannya dan membentu piringan
tambahan di sekitarnya. Bagian dalam yang
panas, bergerak mendekati kecepatan cahaya,
memancarkan sinar X yang kuat sebelum materi
itu jatuh ke lubang hitam.
Jika dentuman besar benar-benar ledakan
yang maha menghancurkan, maka diperkirakan
bahwa materi akan tersebar ke segala penjuru
secara acak. Namun kenyataannya tidak
demikian, materi hasil dentuman besar tersusun
menjadi planet, bintang, galaksi, kluster, dan
super klaster. Hal ini bukannya tersebar secara
acak-acakan ke seluruh penjuru. Fred Hoyle
(Yahya, 2002), mengemukakan keterkejutannya
dengan keteraturan ini:
Teori Big Bang menyatakan alam
semeseta dimulai dengan ledakan tunggal.
Namun seperti terlihat pada bagian
berikut, sebuah ledakan hanya akan
membuat materi terlontar secara acak,
namun Big Bang secara misterius
memberikan hasil berlawanan dengan
materi terkumpul dalam bentuk galaksigalaksi.
Prinsip antropik adalah konsep metafisika yang
menunjukkan bahwa jika suatu alam semesta
tidak mempunyai suatu nilai konstanta alam
fundamental yang memungkinkan terbentuknya
kehidupan dan pengembangan kecerdasan,
maka tidak akan pernah ada seorang pun yang
mengetahui sifat-sifatnya. Itulah sebabnya, alam
semesta kita tampak sempurna dalam
pengamatan kita. Alam semesta yang paling
mungkin adalah alam semesta tempat tinggal
kita didalamnya (McEvoy & Zarate, 2005).
Materi yang dihasilkan Big Bang membentuk
susunan yang rapi teratur menempatkan suatu
hal luar biasa. Terbentuknya keserasian yang
luar biasa tersebut menuntun kita bahwa alam
semesta merupakan ciptaan sempurna Illahi.

Ilmuwan sekarang mengenal desain luar biasa
dengan “prinsip antropik”. Prinsip ini
menyatakan bahwa setiap detail alam semesta
dirancang dengan cermat untuk memungkinkan
manusia hidup.
2. Refleksi Kritis Teori Big Bang Dalam
Penciptaan Alam Semesta
Stephen Hawking merupakan pendukung
model dentuman besar. Tesis doktoralnya
mengkritik model keadaan tetap (steady state)
dan pembuktiannya tentang singularitas
dentuman besar memberikannya kesuksesan
sepanjang masa. Asal mula penciptaan alam
semesta (Hawking, 1988) adalah dentuman
besar, alam semesta dibayangkan sebagai nol
ukurannya, dan tidak terhingga panasnya.
Namun ketika alam semesta memuai,
temperatur radiasi akan berkurang.
Satu detik setelah dentuman besar,
temperatur turun ke sepuluh miliar derajat. Ini
kira-kira seribu kali temperatur pusat matahari.
Pada waktu itu alam semesta berisi foton,
elektron, dan neutrino dan antipartikelnya, serta
sedikit proton dan neutron. Ketika alam semesta
terus memuai dan temperatur terus menurun,
laju produksi pasangan elektron-antielektron
akan lebih rendah daripada laju inhilasinya. Jadi
kebanyakan elektron dan antielektron akan
saling meniadakan dan menghasilkan lebih
banyak foton serta menyisakan sedikit elektron.
Neutrino dan antineutrino tidak akan saling
meniadakan karena partikel-partikel beriteraksi
lemah. Jadi partikel ini sampai sekarang masih
tersebar di alam semesta.
Seratus detik setelah dentuman besar,
temperatur telah turun menjadi satu miliar
derajat. Pada temperatur ini proton dan neutron
tidak lagi cukup energinya untuk mangatasi
tarikan gaya nuklir kuat, dan mulai saling
bergabung membentuk inti atom deutrium yang
terdiri dari satu proton dan satu neutron.
Kemudian inti deutrium bergabung dengan
proton dan neutron membentuk ini helium, yang
terdiri atas dua proton dan satu atau dua
neutron. Juga terbentuk inti unsur ringan lain
yaitu litium dan berilium.
Beberapa jam setelah dentuman besar,
produksi helium dan unsur-unsur lain berhenti.
Setelah kira-kira sejuta tahun berikutnya tidak

ADIWIDA edisi Maret 2015, No. 1
banyak yang terjadi dalam jagat raya, kecuali
pemuaian berlanjut dan temperatur terus
menurun. Temperatur turun sampai beberapa
ribu derajat, elektron serta inti tidak cukup besar
lagi energinya untuk mengalahkan tarikan
elektromagnet antara keduanya mulailah
terbentuk mulailah terbentuk atom-atom. Alam
semesta secara keseluruhann terus memuai dan
mendingin, tetapi dalam dalam kawasan yang
sedikit lebih rapat dari rata-rata, pemuaian
melambat karena tarikan gravitasi ekstra.
Akhirnya pemuaian beberapa kawasan terhenti
dan mulailah mengerut karena oleh tarikan
gravitasi ekstra. Sambil mengerut, kawasan itu
mulai berputar karena tarikan gravitasi oleh
materi di luarnya. Makin kecil kawasan yang
mengerut, makin cepat kawasan berpusing
(berotasi). Dengan cara ini terbentuklah galaksi
putar yang mirip cakram.
Lebih lanjut, Halliday, Resnik & Walker
(2005) menguraikan peristiwa yang terjadi
selama interval waktu berurutan setelah
dentuman besar:
t
s. Ini adalah waktu yang paling
awal tentang perkembangan awal
semesta. Seluruh alam semesta jauh
lebih kecil dari proton dan suhunya
sekitar 1032 K.
t
s. Pada saat ini, alam semesta telah
mengalami inflasi sangat cepat. Alam
semesta telah menjadi sup panas foton,
kuark, dan lepton pada temperatur
sekitar 1027 K, terlalu panas untuk
pembentukan proton dan neutron.
t
s. Kuark-kuark menggabungkan
diri untuk membentuk proton dan

46
neutron dan antipartikelnya. Alam
semesta
telah
mendingin
oleh
ekspenasi berkelanjutan sehingga foton
kekurangan energi untuk menguraikan
partikel-partikel baru. Partikel materi
dan antimateri bertabrakan dan
memusnahkan satu sama lainnya. Ada
sedikit kelebihan materi, karena gagal
menemukan pasangan pemusnahan,
bertahan untuk membentuk materi
yang kita kenal sekarang.
t
menit. Alam semesta kini telah cukup
dingin sehingga proton dan neutron,
ketika bertabrakan, bisa tetap melekat
bersama untuk membentuk nukleus
massa-rendah 2H, 3He, 4He, dan 7Li.
Kelimpahan relatif nuklida yang
diprediksi ini seperti yang diamati di
alam semesta saat ini.
t 379.000 tahun. Temperatur sekarang telah
turun jauh ke 2970 K, dan elektron
dapat menempel nukleus ketika
bertubrukan, dan membentuk atom.
Karena cahaya tidak berinteraksi
dengan baik terhadap partikel (tak
bermuatan), seperti atom netral, cahaya
sekarang bebas untuk menempuh
perjalan jarak jauh. Radiasi ini
membentuk radiasi latar belakang
kosmik. Atom hidrogen dan helium,
dibawah pengaruh gravitasi, mulai
mengumpul
serta
memulai
pembentukan galaksi dan bintangbintang.

ADIWIDA edisi Maret 2015, No. 1

47

Gambar 4. Riwayat Penciptaan Alam Semesta
Fisikawan dan astronom menemukan beberapa
fenomena yang mendukung terjadinya Big
Bang:
1. Radiasi Termal
Radiasi termal sangat berperan penting
untuk dapat memahami radiasi latar belakang
kosmik
dan
lubang
hitam.
Untuk
menjelaskan radiasi dibutuhkan hipotesis
radikal Max Plank tahun 1900. Teori Plank
menunjukkan laju pancaran energi radiasi
untuk berbagai suhu bergantung pada
panjang gelombang. Kurva-kurva teoritik
Planck menunjukkan, radiasi itu menyebar
dan puncaknya bergeser ke panjang
gelombang yang lebih panjang bila suhu
semakin rendah.

2. Radiasi Latar Belakang Kosmik
Gambaran alam semesta sebagai atom
primordial (telur kosmik) mendorong para
kosmolog menggambarkan awal alam
semesta sebagai materi yang panas, mampat,
dan berevolusi dengan cepat. Hal ini
diperkirakan bahwa alam semesta mungkin
dipenuhi oleh radiasi latar belakang kosmik
yang terdiri dari foton masa silam yang
dipancarkan oleh dentuman besar. Suhu
radiasi latar belakang ini diprediksi sekitar
5K.
3. Prinsip Antropik
The Anthrotipic Principle, ketika
terjadi dentuman besar, para fisikawan

ADIWIDA edisi Maret 2015, No. 1
memperkirakan bahwa ada beberapa prinsip
antropik. Ada dua versi prinsip antropik yaitu
versi lemah dan versi kuat. Prinsip antropik
lemah menyatakan bahwa kedudukan kita di
alam semesta sangat istimewa sehingga
dapat disesuaikan dengan keberadaan kita
sebagai pengamat. Prinsip ini sebagian besar
banyak diterima orang. Prinsip antropik kuat
menyatakan bahwa alam semesta pada tahap
tertentu
harus
dapat
menghadirkan
keberadaan manusia hidup didalamnya.
Hawking menulis: “Rintangan-rintangan
terhadap munculnya suatu alam semesta
seperti kita miliki ini dari sesuatu seperti
ledakan besar sangatlah banyak. Saya kira
sangat jelas bahwa disini ada implikasiimplikasi religius”.
4. Teori Kuantum
Dalam model Teori Big Bang, teori
relativitas umum memberikan gambaran yang
meyakinkan tentang evolusi alam semesta dari
beberapa saat setelah waktu = nol hingga hari
ini. Hawking menunjukkan bahwa titik awal
mula relativitas umum meramalkan titik
singularitas dan di titik itu relativitas umum
runtuh. Hal tersebut merupakan teori klasik.
Ruang dan waktu tidak dapat digambarkan lagi
dengan persamaan Einstein ketika materi runtuh
dengan kerapatan tak terhingga. Bagaimana
mungkin fisika dapat meramalkan alam semesta
jika semua hukum fisika runtuh pada saat
dentuman besar?. Maka, Teori Kuantum harus
diterapkan saat terjadi dentuman besar. Tahun
1900, Max Plank memperkenalkan teori
kuantum. Energi model beradiasi Planck ini
hanya dapat terserap atau terpancarkan dalam
paket-paket tertentu yang disebut kuanta. Neils
Bohr memperluas gagasan Planck untuk
menerangkan spektrum hidrogen dengan
mengasumsikan atom-atom dalam keadaan
kuantum tertentu. Tahun 1920 Erwin
Schrodinger,
dan
Werner
Heisenberg
mengajukan teori yang disebut Mekanika
Kuantum, sebuah teori yang diterapkan secara
umum pada atom-atom dan bagian-bagiannya
serta pada radiasinya. Teori kuantum merupakan
fondasi dari teori-teori tentang partikel
elementer, atom, dan inti.
Model dentuman besar sebagai model
kosmologi yang diterima kebanyakan fisikawan

48
didasarkan pada dua asumsi yang teruji
kebenarannya (Sihombing, 1999):
1) Sekelompok galaksi yang lain kelihatan
bergerak dari galaksi yang lain; sehingga
alam semesta itu ‘mengembang’ pada
skala besar.
2) Jika ruang-waktu mengembang, maka
pada masa lalu ruang-waktulah yang
sangat mampat.
Dari kedua asumsi di atas membawa pada suatu
hipotesis bahwa materi alam semesta pada
mulanya sangat memadat seperti awal mula
singularitas. Perkembangan materi dari awal
mula singularitas berlansung cepat dengan
adanya dentuman besar.
C. PENUTUP
Kosmologi adalah kajian atau studi
tentang sifat, evolusi, dan asal mula alam
semesta. Fokus artikel ini adalah asal mula alam
semesta atau penciptaan alam semesta. Selama
berabad-abad muncul beberapa teori penciptaan
alam semesta. Salah satu teori penciptaan alam
semesta yang paling bisa diterima oleh para
ilmuwan adalah teori Big Bang. Teori Big Bang
menjelaskan alam semesta berasal dari suatu
ledakan besar yang menghamburkan seluruh isi
alam semesta ke segala arah ruang. Saat ledakan
terjadi, alam semesta berukuran titik
berkerapatan tinggi tak terhingga, bersuhu tak
berhingga besar. Saat jagad raya terus
mengembang dan usianya bertambah, suhunya
semakin mengecil. Akhirnya suhu alam semesta
sampai pada ambang penciptaan partikel dan
anti partikel. Fisikawan menemukan beberapa
fenomena yang medukung teori Bang Bang
sebagai model penciptaan yang paling mungkin.
Fenomena-fenomena tersebut antara lain: 1)
radiasi termal, 3) radiasi latar belakang kosmik,
2) prinsip antropik, 3) teori kuantum. Prinsip
antropik menyatakan setiap detail alam semesta
telah dirancang dengan cermat untuk
memungkinkan manusia hidup. Alam semesta
tercipta dari ketiadaan, sebagai hasil ledakan
suatu ledakan besar yang tak terbayangkan,
yang dikenal dengan “dentuman besar (Big
Bang)”. Dengan kata lain, alam semesta
terbentuk atau diciptakan oleh Tuhan Yang
Maha Esa, pemilik kekuatan, pengetahuan, dan

ADIWIDA edisi Maret 2015, No. 1
kecerdasan mutlak, telah menciptakan alam
semesta beserta isinya.
Daftar Pustaka
Anugraha, R. (2011). Teori Relativitas dan
Kosmologi. Yogyakarta: FMIPA UGM
Halliday, D., Resnik, R. & Walker. J. (2005).
Physics 7th Extended Edition. Terjemahan
Singarimbun, A. & Sustini, E. Jakarta:
Erlangga
Hawking, S. (1988). A Brief Story of Time
From Big Bang To Black Hole. New
York: Bantams Books.
McEvoy, J.P. & Zarate, O. (2005). Introduction
Stephen Hawking A Graphic Guide.
Malta: Gutenberg Press.
Sihombing, B. V. (1999). Teori Big Bang dan
Implikasinya: Sebuah Tinjauan Filosofis,
Teologis, dan Kosmologis. (Paper).
Fakultas Filsafat Universitas Katolik
Parahiyangan.
Tjasyono, B. (2012). Manusia dan Alam
Semesta Konsepsi Sains dan Islam.
Bandung: Penerbit ITB.
Yahya, H. (2002). Penciptaan Alam Semesta.
Bandung: Dzikra

49