DILEMA SEKRETARIS NEGARA DALAM PROSES LE

DILEMA SEKRETARIS NEGARA DALAM PROSES LEGISLASI
Oleh
Muhammad Thabrani

Dalam konteks ketatanegaraan Indonesia, kewenangan pembentukan Peraturan
Perundang-undangan atau Fungsi legislasi berada pada lembaga legislatif (DPR).
Hal ini dapat ditelusuri dari bunyi Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 bahwa “DPR
memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang”.[1] Selain itu, DPR juga
memiliki kewenangan mengontrol jalannya roda pemerintahan atau fungsi
pengawasan dan fungsi membahas Anggaran, akan tetapi fungsi legislasi juga
berada pada Pemerintah (eksekutif). Hal ini ditegaskan pula dalam UUD 1945 Pasal
5 ayat (1) yang menyatakan “Presiden berhak mengajukan rancangan undangundang kepada DPR”. Dan selanjutnya ayat (2) menyebutkan bahwa “Presiden
menetapkan peraturan Pemerintah untuk menjalankan Undang-Undang
sebagaimana mestinya”.[2]
Sementara itu, pada proses pembentukan undang-undang (law-making process)
Pasal 20 ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa setiap Rancangan Undang-Undang
(RUU) dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama. Jika
RUU tidak mendapat persetujuan bersama, rancangan Undang-Undang itu tidak
boleh diajukan lagi dalam persidangan DPR pada masa itu (3). dan ayat (4)
menyebutkan bahwa Presiden mengesahkan rancangan Undang-Undang yang telah
disetujui bersama untuk menjadi Undang-Undang. dalam hal RUU yang disetujui

bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu 30 hari semenjak RUU
tersebut disetujui, RUU tersebut sah menjadi Undang-Undang dan wajib
diundangkan (5). Demikian, dengan adannya pembahasan persetujuan bersama,
hasil Perubahan kedua UUD 1945 memperkenalkan formula kesebandingan antara
DPR dan Presiden dalam persetujuan RUU menjadi UU. Dengan pengertian ini, jika
DPR tidak menyetujui RUU yang berasal dari Pemerintah atau sebaliknya Presiden
menolak RUU yang berasal dari DPR, Undang-Undang tidak akan
dihasilkan.Dengan pola seperti itu, penolakan yang dilakukan oleh salah satu pihak
membuka kemungkinan terjadinya ketegangan hubungan antara DPR dan Presiden.
[3]
Dalam hal ini, Frasa “Persetujuan Bersama” dalam pasal 20 di atas, menurut Moh.
Fajrul Falaakh berpeluang melahirkan ketegangan permanen dalam Proses legislasi,
bahkan kemacetan, karena Presiden dan DPR sama memperoleh mandat dari
Rakyat.[4] Selain itu, masalah Fungsi legislasi dalam sistem Pemerintahan
Indonesia tidak hanya masalah Pembahasan bersama dan persetujuan bersama
antara DPR dan Presiden, tetapi juga menyangkut pengesahan oleh Presiden

(Pemerintah). Dalam Praktik, sejumlah RUU telah disetujui bersama oleh Presiden
dan DPR, tetapi tidak ditandatangani (disahkan) oleh Presiden. Misalnya ketika pada
masa Presiden Megawati Soekarnoputri, beberapa Undang-Undang diberlakukan

dan mengikat secara umum tanpa Pengesahan dari Presiden, yaitu UU No. 25
Tahun 2002 tentang pembentukan Provinsi kepulauan Riau; (2) Undang-Undang No.
32 tahun 2002 tentang Penyiaran; (3) UU No. 17 tahun 2003 tentang keuangan
Negara; dan (4) UU No. 18 tahun 2003 tentang Advokat.[5] Padahal RUU tersebut
sudah disetujui oleh Menteri yang mewakili Presiden dan DPR ketika pembahasan
bersama.
Berkaitan dengan Pengesahan Undang-Undang oleh Presiden, pernyataan ini di
dalamnya seolah-olah “membiarkan” bilamana Presiden berkeberatan untuk
mengesahkan suatu Undang-Undang, tanpa ada kewajiban untuk memberitahukan
kepada DPR. Tentu dalam hal ini Sekretaris Negara mengalami situasi dilematis. Di
satu pihak sebagai “Pembantu Presiden” (Pasal 17 ayat (1) dia harus bekerja atas
dasar perintah Presiden, sedangkan disisi lain dia wajib menjalankan perintah UUD
1945 untuk “mengundangkan” UU dalam lembaran Negara, walaupun Presiden tidak
bersedia mengesahkannya (Pasal 20 ayat (5)).[6]
Antara dua kewajiban
Istilah Menteri dalamsistem Pemerintahan Presidensial sering disebut dengan
“Secretary” atau “Pembantu” kepala Negara dalam melaksanakan urusan
(pekerjaan) Negara.[7] Dengan kata lain Menteri diangkat dan diberhentikan oleh
Presiden untuk membantu tugas-tugasnya dalam bidang-bidang tertentu dan
menjalankan program-program Negara untuk mencapai tujuan Negara. Oleh sebab

ia diangkat Presiden maka, menteri bertanggung jawab penuh baik personal
maupun secara kelembagaan kepada Presiden, bukan kepada Parlemen. Hal ini
Berbeda dengan menteri dalam sistem Parlementer.
Pada sistem Parlementer, legislatif memegang kekuasaan tertinggi (Parliament is
Sovereign) atau dalam Bahasa A.V. Dicey disebutParliamentary Supremacy.
[8] Oleh karena kekuasaan lebih (overwicht) berada di Parlemen maka menurut
Djokosoetono, sistem Parlementer merupakan sistem yang ministeriele
verantwoordelijk-heid(Menteri bertanggunng jawab kepada Parlemen).[9] Sejalan
dengan Pendapat itu, Miriam Budiardjo pernah menyatakan menteri dalam Kabinet
sebagai bagian dari eksekutif yang “bertanggung jawab” diharap mencerminkan
kekuatan-kekuatan politik dalam bidang Legislatif yang mendukungnya dan matihidupnya Kabinet bergantung kepada dukungan dalam badan Legislatif (asas
tanggung jawab Menteri).[10]

Praktiknya fungsi Legislasi di Indonesia menggunakanmodel sistem campuran,
sebagian presidensial dan sebagiannya lagi Parlementer, yang dalam bahasa Fajrul
Falaakh disebut dengan fifty-fifty Formula. Hal itu juga dipertegas oleh Saldi Isra
yang secara garis besar mengungkapkan setelah Amandemen UUD 1945 tujuan
untuk memurnikan (Purifikasi) dan mempertegas Sistem Presidensial Indonesia
tidak sepenuhnya berhasil sebagaimana tujuan awal perubahannya, bahkan malah
memperkuat model Legislasi Parlementer dalam sistem Presidensial Indonesia.

Terlepas dari pengaruh kedua sistem pemerintahan di atas, dalam praktik apabila
Presiden dan DPR menjalankan fungsi Legislasi baik itu atas inisiatif DPR maupun
Presiden/Pemerintah setelah dibahas dan disetujui bersama tidak mendapat
Pengesahan Dari Presiden maka dalam jangka waktu 30 hari sejak RUU itu di
setujui, RUU tersebut sah dan Wajib diundangkan. Anak kalimat “Wajib
diundangkan” menyiratkan makna bahwa walaupun Presiden tidak mengesahkan
suatu RUU, Menteri Sekretaris Negara wajib mengundangkan dalam lembaran
Negara dan menyebarluaskannya karena itu merupakan kewajibannya sebagai
pejabat Tata Negara yang kewenangannya diatur oleh Konstitusi. Selain
kewajibannyamenjalankan perintah Presiden. Dengan demikian fungsi dan Peran
menteri sekretaris Negara terjepit dalam dua kewajiban konstitusional. yang menjadi
pertanyaan ialah dari dua kewajiban itu Mana yang di dahulukan?
Dua Dimensi
Berdasarkan uraian di atas, paling tidak ada dua dimensi menyangkut
dengan jabatan menteri sekretaris Negara yang memerlukan penjelasan dan
Penelitian lebih lanjut. yang pertama, dimensi Politik. Dimana menurut penulis
Prognosis kewajiban terhadap Prerogatif Presiden (menjalankan perintah) dalam
fungsi Legislasi lebih mengedepankan indikasi Politis (balas jasa) ketimbang
legalitas, walaupun ada juga Pendapat yang menyatakan hubungan antara menteri
dan Presiden merupakan hubungan yang bersifat Delegatif.Selanjutnya yang kedua,

dimensi hukum. Dalam hal ini atribusi kewenangan (perintah Konstitusi) kepada
menteri sekretaris Negara yang lebih di kedepankan. sebagai pejabat Tata Negara
menteri sekretaris Negara wajib mendahulukan perintah Konstitusi/UUD 1945
ketimbang Perintah yang bersifat delegatif dan mandataris.
Akhirnya, bagaimanapun juga kita tidak dapat meramal masa depan, tapi satu yang
pasti bahwa selama mesin yang bernama Negara masih beroperasi (fungsi
penyelenggaraan Negara) selama itu pula hubungan kekuasaan (Gezagverhouding)

antara Presiden dan Menteri sekretaris Negara masih tetap berlangsung. Dan dalam
Interaksi kekuasaan tersebut entah itu bersenyawa dengan dimensi politik atau
dimensi Hukum hanya waktu yang bisa menjawab…!!!

[1]Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, cetkesebelas (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan kepaniteraan Mahkamah
Konstitusi RI, 2010), hlm. 26
[2]Ibid, hlm. 8
[3] Saldi Isra, Pergeseran Fungsi legislasi, menguatnya model Legislasi
Parlementer dalam Sistem Presidensial Indonesia, cet-I, (Jakarta: Raja
Grafindo, 2010), hlm. 6
[4] Moh. Fajrul Falaakh, Makalah Presidensil dan proses legislasi pascarevisi konstitusi: Parlementarisme lewat pintu belakang, (Yogyakarta:
UGM, 2003), hlm. 5

[5]Fajar Laksono, UU tanpa pengesahan Presiden: sebuah Problema
Legislasi Pasca Perubahan UUD 1945, dalam Jurnal konstitusi vol. 3
september 2006, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta, hlm.
149.
[6] Yuliandri, Asas-asas Pembentukan peraturan Perundang-undangan
yang baik, Gagasan Pembentukan Undang-Undang berkelanjutan,
(Jakarta: Raja Grafindo, 2009), hlm. 71.
[7]Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Pusat Bahasa, edisi keempat, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008),
hlm. 902.
[8] Saldi Isra, Pergeseran…Op,cit, hlm. 29.
[9] R.M. Ananda B. Kusuma, 2004, Sistem pemerintahan Indonesia,
dalam Jurnal Konstitusi, vol. 1, Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, catatan
kaki no. 22, hlm. 156.
[10] Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, cet-29, (Jakarta: Gramedia
Pustaka utama,2006), hlm. 210.