PEMIKIRAN ABBASIYAH DALAM SEJARAH (1)

REVISI MAKALAH
Sejarah dan Pemikiran Pendidikan Islam 1
“ Pemikiran Abbasiyah Dalam Sejarah ”
Dosen pengampu :
Dr. Muh. Idris, S. Ag., M, Ag
Disusun oleh :
Nama : Widiawati Mokodongan
NIM : 15.2.3.010

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI) 1
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) MANADO
TAHUN 1493 H / 2017 M

KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan
izin-Nyalah saya bisa menyelesaikan revisi makalah mengenai “ Pemikiran
Abbasiyah Dalam Sejarah” dengan tepat waktu.
Saya juga berterima kasih kepada bapak Muh. Idris selaku dosen pengampu
mata kuliah Sejarah dan Pemikiran Pendidikan Islam yang telah memberikan
tugas ini. Ucapan terima kasih juga saya ucapkan kepada teman-teman yang telah

berpartisipasi dalam penyelesaian makalah ini.
Saya menyadari dalam penulisan revisi makalah ini masih banyak terdapat
kesalahan, baik dari segi penulisannya maupun dari segi pembahasannya. Oleh
karena itu, saran dan kritik dari pembaca sangat saya harapkan agar dalam
penulisan revisi makalah selanjutnya saya bisa membuatnya dengan lebih baik
lagi. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penyusun dan pembacanya.

Manado, 27 November 2017
Widiawati Mokodongan

i

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ..............................................................................

i

DAFTAR ISI ............................................................................................

ii


BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .............................................................. 1
B. Rumusan Masalah ........................................................ 2

BAB II

PEMBAHASAN
A. Sejarah Berdirinya Dinasti Abbasiyah ......................... 3
B. Pertumbuhan dan Perkembangan Ilmu
Pengetahuam Masa Abbasiyah..................................... 6
C. Kemajuan yang Dicapai Bidang Pengetahuan Masa
Abbasiyah...................................................................... 7
D. Lembaga Pendidikan Pada Masa Dinasti Abbasiyah .... 13
E. Tujuan Pendidikan Dinasti Abbasiyah ......................... 16
F. Pola dan Sistem Pendidikan Dinasti Abbasiyah ........... 17
G. Kemunduran dan Kehancuran Dinasti Abbasiyah ........ 19


BAB III

PENUTUP
KESIMPULAN ................................................................... 23

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 25

ii

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejarah Islam telah mencatat, bahwa telah pernah terjadi masa kejayaan
pendidikan Islam, disaat mana pendidikan Islam mencapai puncak kejayaan, baik
dipandang dari sudut lembaga pendidikan maupun produktifitas ilmuwanilmuwan Islam dalam bentuk karya ilmiah.1
Berkembangnya pendidikan Islam erat kaitannya dengan sejarah Islam,
karena proses pendidikan Islam telah berlangsung sepanjang sejarah dan
berkembang sejalan dengan perkembangan sosial budaya umat Islam. Para ahli
sejarah menyebut bahwa sebelum muncul sekolah dan universitas, sebagai
lembaga pendidikan formal, dalam dunia Islam sesungguhnya sudah berkembang

lembaga-lembaga pendidikan Islam non formal, diantaranya adalah masjid.
Pada masa Nabi, masjid bukan hanya sebagai sarana ibadah, tapi juga
sebagai tempat menyiarkan ilmu pengetahuan pada anak-anak dan orang-orang
dewasa, disamping sebagai tempat peradilan, tempat berkumpulnya tentara dan
tempat menerima duta-duta asing, bahkan di masa Dinasti Umayyah dan Dinasti
Abbasiyah, masjid yang didirikan oleh penguasa umumnya dilengkapi dengan
berbagai macam fasilitas pendidikan seperti tempat belajar, ruang perpustakaan
dan buku-buku dari berbagai macam disiplin keilmuan yang berkembang pada
saat itu.
Masa keemasan Islam dalam bidang pendidikan terjadi pada masa Daulah
Abbasiyah. Masa ini dimulai dengan berkembang pesatnya kebudayaan Islam
yang ditandai dengan berkembang luasnya lembaga-lembaga pendidikan Islam
dan madrasah-madrasah formal serta berbagai universitas dalam pusat
kebudayaan Islam. Berbagai lembaga pendidikan tersebut nampak sangat dominan
pengaruhnya dalam membentuk pola kehidupan dan budaya kaum muslimin.
Berbagai ilmu pengetahuan yang berkembang melalui lembaga pendidikan itu
1 H. Haidar Puta Daulay dan Nurgaya Pasa, Pendidikan Islam Dalam Lintasan Sejarah:
Kajian dari Zaman Pertumbuhan sampai Kebangkitan, Cet. I, (Jakarta : Kencana, 2013), h. 7.

1


menghasilkan pembentukan dan perkembangan berbagai macam aspek budaya
kaum muslim.
Selain itu pada masa Dinasti Abbasiyah penghargaan terhadap ilmu serta
penghargaan kepada ilmuannya sangat luar biasa. Guru dan penulis dalam
berbagai bidang ilmu diberi reward secara material berupa emas yang besarnya
sama dengan berat timbangan kertas buku para penulisnya. Terkesan ilmu dan
iman benar mengankat kualitas ilmuan, pendidik dan umat ketika itu dan tidak
membedakan antara ilmuan agama dan ilmuan non agama, semua ilmu dipandang
sebagai wilayah kajian Islam.2
B. Rumusan Masalah
Dari uraian di atas penulis dapat merumuskan beberapa rumusan masalah
dalam makalah ini antara lain sebagai berikut :
1. Bagaimana sejarah berdirinya dinasti Abbasiyah ?
2. Bagaimana pertumbuhan dan perkembangan pendidikan pada masa dinasti
Abbasiyah ?
3. Apa saja kemajuan yang dicapai dalam bidang pengetahuan ?
4. Apa saja tujuan pendidikan dinasti Abbasiyah ?
5. Apa saja lembaga pendidikan pada masa dinasti Abbasiyah ?
6. Bagaimana pola dan sistem pendidikan dinasti Abbasiyah ?

7. Apa faktor yang menyebabkan dinasti Abbasiyah mundur dan hancur ?

2

H. Ramayulis, Sejarah Pendidikan Islam: Perubahan Konsep, Filsafat dan Metotologi dari
Era Nabi SAW sampai Ulama Nusantara, Cet. I (Jakarta: Kalam Mulia, 2012), h. 10.

2

BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Berdirinya Dinasti Abbasiyah
Kekuasaan dinasti Bani Abbas atau khilafah Abbasiyah, sebagaimana
disebutkan melanjutkan kekuasaan Bani Umayyah. Dinamakan Abbasiyah karena
para pendiri dan penguasa dinasti ini adalah keturunan al-Abbas, paman Nabi
Muhammad SAW. Dinasti Abbasiyah didirikan oleh Abdullah AL-Saffah ibn
Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn al-Abbas.3
Sebelum berdirinya Dinasti Abbasiyah, terdapat tiga poros utama yang
merupakan pusat kegiatan; satu dengan yang lain memiliki kedudukan tersendiri
dalam memainkan peran untuk menegakkan kekuasaan keluarga besar paman

Nabi Muhammad SAW, Abbas bin Abdul Muthalib. Dari nama al-Abbas inilah,
nama itu disandarkan pada tiga tempat pusat kegiatan, yaitu Humaimah, Kufah,
Khurasan.
Di kota Humaimah, bermukim keluarga Abbasiyah. Salah seorang
pimpinannya bernama al-Imam Muhammad bin Ali, yang merupakan peletak
dasar-dasar bagi berdirinya Dinasti Abbasiyah. Para pengikut Abbasiyah
berjumlah 150 orang, di bawah para pimpinannya yang berjumlah 12 orang,
sedangkan puncak pimpinannya ialah Muhammad bin Ali.
Propaganda4 Abbasiyah dilaksanakan dengan strategi yang cukup matang
sebagai gerakan rahasia. Akan tetapi, Ibrahim, pemimpin Abbasiyah yang
berkeinginan mendirikan kekuasaan Abbasiyah, gerakannya diketahui oleh
khalifah Umayyah terakhir, Marwan bin Muhammad. Ibrahim akhirnya ditangkap
oleh pasukan Dinasti Umayyah, lantas dipenjarakan di Haran, sebelum dieksekusi.
Ia

mewasiatkan

kepada

adiknya,


Abdul

Abbas,

untuk

menggantikan

kedudukannya ketika mengetahui ia akan terbunuh, dan memerintahkan untuk
3

Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta : Rajawali Pers, 2014), h. 49.

4

Propaganda merupakan rangkaian pesan yang bertujuan untuk memengaruhi pendapat dan
kelakuan masyarakat atau sekelompok orang. Propaganda tidak menyampaikan informasi secara
obyektif, tetapi memberikan informasi yang dirancang untuk memengaruhi pihak yang mendengar
atau melihatnya.


3

pindah ke Kufah. Sedangkan, pemimpin propaganda dibebankan kepada Abu
Salamah. Maka, segeralah Abdul Abbas pindah dari Humaimah ke Kufah, diiringi
oleh para pembesar Abbasiyah yang lain, seperti Abu Ja’far, Isa bin Musa, dan
Abdullah bin Ali.
Penguasa Umayyah di Kufah, Yazid bin Umar bin Hurairah, ditaklukkan
oleh Abbasiyah dan diusir ke Wasit. Lantas, Abu Salamah pergi ke Kufah, yang
telah ditaklukkan pada tahun 132 H. Sedangkan, Abdullah bin Ali, salah seorang
paman Abdul Abbas, diperintahkan mengejar khalifah Umayyah terakhir, Marwan
bin Muhammad, bersama pasukannya yang melarikan diri; akhirnya dapat
ditangkap di dataran rendah Sungai Zab.
Khalifah itu melarikan diri hingga Fustat di Mesir, dan akhirnya terbunuh di
Busir, wilayah al-Fayyum, pada tahun 132 H/750 M. Dan, berdirilah Dinasti
Abbasiyah yang dipimpin oleh khalifah pertamnya, yakni Abdul Abbas ashShaffah dengan pusat kekuasaan awal di Kufah.
Secara resmi, Abdul Abbas ash-Shaffah mendirikan Dinasti Abbasiyah pada
tahun 132 H/750 M. Kekuasaan Dinasti Abbasiyah berlangsung lama, yakni 5
abad, pada tahun 132 – 656 H (750 – 1258 M). Berdirinya pemerintahan ini di
anggap sebagai kemenangan pemikiran yang pernah dinyatakan oleh Bani Hasyim

(Alawiyun), setelah meninggalkan Nabi Muhammad SAW. Bagi mereka, yang
berhak berkuasa adalah keturunan Nabi Muhammad SAW.
Kesuksesan Abbasiyah meraih kursi kekhalifahan dikarenakan kepiawaian
mereka dalam melihat situasi dan kondisi yang ada. Abbasiyah berhasil
mengumpulkan pendukung dari berbagai kalangan yang mayoritas merasa
tersakiti oleh kebijakan Umayyah.5
Beberapa tokoh yang berjasa dalam berdirinya dinasti Abbasiyah beserta
perannya ialah sebagai berikut :6 1) Abbas bin Abdullah, Abdullah bin Abbas, Ali
bin Abdullah, dan Muhammad bi Ali, berperan sebagai pemimpin jaringan oposisi
pertama Abbasiyah terhadap Umayyah. 2) Ali bin Abdullah berperan sebagai
5

Istianah Abu Bakar, Sejarah Peradaban Islam, (Malang : UIN Malang Press, 2008), h. 63.

6

Nur Ahmad Fadhil Lubis, Dinasti Abbasiyah dalam Ensiklopedia Tematis, (Jakarta : PT.
Ichtiar Baru Van Houve, 2002), h. 81.

4


merekrut kader yang ditugaskan untuk menyebarluaskan gagasan Abbasiyah. 3)
Muhammad bin Ali berperan untuk mencari bantuan untuk melancarkan
propaganda anti Umayyah di antaranya dengan Abu Muslim al-Khurasani. 4) Abu
Muslim al-Khurasani/Abdurrahman bin Muslim berperan sebagai pemimpin
pemberontakan anti Umayyah dari Khurasan. 5) Ibrahim bin Muhammad berhasil
menggalang dukungan dari kelompok Syi’ah. 6) Abu Abbas saudara Ibrahim
berhasil menguasai kota Kufah dan dijadikan khalifah Abbasiyah I (750 – 754 M).
7) Abu Ja’far saudara Ibrahim berperan untuk membantu Abbas dalam menguasai
Kufah dan dijadikan khalifah Abbasiyah II (754 – 775 M).
Proses berdirinya Abbasiyah dengan tokoh-tokohnya di atas melalui
beberapa tahapan perjuangan, yaitu : Adanya gerakan rahasia (100-129 H/718746 M) atau identik geerakan bawah tanah. Gerakan ini dimaksudkan untuk
menebarkan dan membentuk opini publik tentang keburukan pemerintah
Umayyah serta adanya gerakan terang-terangan yaitu dengan ditaklukannya
Khuraan dan Irak. Gerakan ini di bawah komando Abu Muslim al-Khurasani.7
Selama dinasti Abbasiyah berkuasa, pola pemerintahan yang ditetapkan
berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial, dan budaya. Berdasarkan
perubahan pola pemerintahan dan politik itu, masa pemerintahan Bani Abbas
dibagi menjadi lima periode :8 Periode pertama (132 H/750 M – 232 H/847 M),
disebut periode pengaruh Persia pertama. Periode kedua (232 H/847 – 334 H/945
M), disebut masa pengaruh Turki pertama. Periode ketiga (334 H/945 M – 447
H/1055 M), masa kekuasaan dinasti Buwaih dalam pemerintahan khalifah
Abbasiyah. Periode ini disebut juga masa pengaruh Persia kedua. Periode keempat
(447 H/1055 M – 590 H/1194 M), masa kekuasaan dinasti Bani Seljuk dalam
pemerintahan Khalifah Abbasiyah, biasanya disebut juga dengan masa pengaruh
Turki kedua. Periode kelima(590 H/1194 M – 656 H/1258 M), masa khalifah
bebas dari pengaruh dinasti lain, tetapi kekuasaannya hanya efektif di sekitar kota
7

Ahmad al-Usairy, Sejarah Islam Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX, (Jakarta : Akbar,
2002), h. 216.
8

Bojena Gajane Stryzewska, Tarikh al-Daulat al-Islamiyah, (Beirut : Al-Maktab AlTijari), h. 360.

5

Baghdad.
B. Pertumbuhan dan Perkembangan Ilmu Pengetahuan Masa Abbasiyah
Pendidikan dan pengajaran Islam terus tumbuh dan berkembang pada masa
khalifah-khalifah Rasyidin dan masa Ummayah. Pada permulaan masa Abbasiyah
pendidikan dan pengajaran berkembang dengan sangat hebatnya di seluruh negara
Islam, sehingga lahir sekolah-sekolah yang tidak terhitung banyaknya, tersebar
dari ke kota-kota sampai ke desa-desa. Anak-anak dan pemuda-pemuda berlombalomba menuntut ilmu pengetahuan, melawat ke pusat-pusat pendidikan,
meninggalkan kampung halamannya karena cinta akan ilmu pengetahuan.9
Sejarah telah mencatat bahwa sebelum bangsa Barat (Eropa) mencapai
kemajuan di bidang IPTEK (Ilmu Pengetahuan dan Teknologi) seperti sekarang,
umat Islam sudah mendahului selama 6 abad, sejak tahun 611 (zaman Nabi) s/d
1250 (zaman Abbasiyah akhir). Masa kejayaan perkembangan IPTEK di dunia
Islam terjadi antara tahun 750 s/d 1100 M pada masa kekhalifahan bani Umayyah
di Andalusia /Spanyol (Cordova) dan bani Abbasiyah di Baghdad (Irak).10
Dinasti Abbasiyah merupakan salah satu dinasti Islam yang sangat peduli
dalam upaya pengembangan ilmu pengetahuan. Upaya ini mendapat tanggapan
yang sangat baik dari para ilmuan. Sebab pemerintahan dinasti Abbasiyah telah
menyiapkan segalanya untuk kepentingan tersebut. Di antara fasilitas yang
diberikan adalah pembangunan pusat-pusat riset dan terjemah seperti Baitul
Hikmah, majelis munadzarah dan pusat-pusat studi lainnya.11
Ilmu pengetahuan pada masa bani Abbasiyah tumbuh dan berkembang
dengan suburnya disebabkan oleh beberapa faktor. Di antaranya, terjadinya
asimilasi budaya antara bangsa Arab dan bangsa-bangsa lain seperti Persia,
Yunani, India, yang sudah maju IPTEKnya. Di masa ini banyak bangsa non Arab
yang masuk Islam dan sangat besar sahamnya dalam perkembangan IPTEK.
Bangsa Persia berjasa dalam ilmu pemerintahan, filsafat, dan sastra. Engaruh
9

Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam, Cet. 4 (Jakarta : Kencana, 2011), h. 67

10

Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1993), h. 49.

11

Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, h. 51.

6

bangsa India terlihat pada ilmu kedokteran, matematika, dan astronomi. Pengaruh
Yunani masuk melalui terjemahan-terjemahan berbagai bidang ilmu, terutama
filsafat.12 Selain itu, timbulnya gerakan penerjemahan. Peletak dasar gerakan
penerjemahan adalah bani Umayyah. Namun upaya menerjemahkan berbahasa
asing terutama, bahasa Yunani dan Persia ke dalam bahasa Arab, mengalami masa
keemasan pada masa pemerintahan Abbasiyah. Para ilmuan diutus ke daerah
Bizantium untuk mencari naskah-naskah Yunani dalam berbagai ilm, khususnya
filsafat dan kedokteran.
Pelopor gerakan penerjemahan pada awal pemerintahan Abbasiyah adalah
khalifah al-Manshur yang juga membangun ibu kota Baghdad. Pada awal
penerjemahan, naskah yang diterjemahkan terkait bidang astrologi, kimia, dan
kedokteran. Selanjutnya, yang diterjemahkan ialah naskah-naskah filsafat karya
Aristoteles dan Plato.13
Pada gerakan penerjemahan ini, dibagi menjadi tiga fase, antara lain sebagai
berikut : Fase pertama pada masa Khalifah al-Manshur hingga Harus ar-Rasyid.
Pada fase ini banyak diterjemahkan karya dalam bidang astronomi dan mantik.
Fase kedua berlangsung sejak masa khalifah al-Makmun hingga tahun 300 H.
Buku-buku yang diterjemahkan terkait bidang filsafat dan kedokteran. Fase ketiga
berlangsung setelah tahun 300 H, terutama sesuai pembuatan kertas. Selanjutnya,
bidang ilmu yang diterjemahkan semakin luas.14
C. Kemajuan Bidang Pengetahuan Masa Abbasiyah
Adanya gerakan penerjemahan membawa pengaruh besar terhadap
kemajuan ilmu pengetahuan ilmu agama. Ilmu pengetahuan umum pun juga
demikian. Hingga akhirnya muncul berbagai macam disiplin ilmu yang secara
umum dapat dibedakan menjadi dua kategori, yakni : ilmu naqli dan ilmu ‘aqli15.
12

M. Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, Cet. I, (Yogyakarta: Pustaka

Book Publisher, 2007), h. 143.
13

Rizem Aizid, Sejarah Peradaban Islam, (Yogyakarta: DIVA Press, 2015), h. 280.

14

M. Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, h. 167.

15

Zuhairi, Sejarah Pendidikan Islam, Cet. 5, (Jakarta : Bumi Aksara, 1997), h. 98.

7

Dari sini pula lahir para cendekiawan dari berbagai macam disiplin ilmu yang
kemudian menghasilkan karya ilmiah dan hasil karya mereka masih dipelajari dan
digunakan sebagai referensi-referensi keilmuan sampai saat ini.
Berikut beberapa kemajuan perkembangan ilmu pengetahuan pada masa
dinasti Abbasiyah yang mencangkup tentang macam-macam disiplin ilmu dan
para tokoh ulama serta karya-karyanya.
1. Kemajuan Ilmu Pengetahuan dalam Bidang Agama
a. Ilmu Tafsir
Al-Qur’an adalah sumber utama dalam agama Islam. Oleh karena itu, semua
perilaku umat Islam harus berdasarkan kepadanya, hanya saja tidak semua
bangsa Arab memhami arti yang terkandung di dalamnya. Maka bangunlah
para sahabat untuk menafsirkan. Dalam bidang tafsir sudah dikenal dua
metode, yaitu tafsir bi al-Matsur dan tafsir bi al-Ra’yi.16 Tafsir bi al-Matsur,
yaitu menafsirkan al-qur’an dengan hadis Nabi17 dan tafsir bi al-Ra’yi, yaitu
menafsirkan al-qur’an dengan mempergunakan akal dengan memperluas
pemahaman yang terkandung di dalamnya. Beberapa ahli tafsir pada masa
dinasti Abbasiyah antara lain :
1) Ibnu Jarir Ath-Thabari
2) Ibnu Athiyah Al-Andalusi
3) Abu Muslim Muhammad bin Bahar Isfahani
b. Ilmu Fiqih
Pada masa dinasti Abbasiyah lahir para tokoh bidang fiqih dan pendiri
mazhab antara lain sebagai berikut :
1) Imam Abu Hanifah (700 – 767 M)
2) Imam Malik ( 713 – 795 M)
3) Imam Syafi’i (767 – 820 M)
4) Imam Ahmad bin Hanbal ( 780 – 855 M)
16

h.159

Sulaiman, Suparman, Sejarah Islam di Asia & Eropa, (Bandung: Pustaka Setia, 2013),

17

Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam,
(Jakarta: Prenada Media, 2004), , h.59

8

b. Ilmu Hadis
Hadis adalah sumber hukum Islam kedua setelah al-Qur’an. Di antara ahli
hadis pada masa Dinasti Abbasiyah adalah sebagai berikut :
1)

Imam Bukhari (194 – 256 H), dengan karyanya Shahih Bukhari

2)

Imam Muslim (wafat pada tahun 261 H), dengan karyanya Shahih
Muslim

3)

Ibmu Majah, dengan karyanya Sunan Ibnu Majah

4)

Abu Dawud, dengan karyanya Sunan Abu Dawud

5)

Imam Nasa’i, dengan karyanya Sunan Nasa’i

6)

Imam Baihaqi

18

c. Ilmu Kalam
1)

Abu Hasan al-Asy’ari (872-913 M). Ia membangun paham Ahlussunah
wal Jamaah di bidang ilmu kalam. Karya-karya tulisnya yang dijadikan
rumusan ulama ilmu kalam sampai sekarang di antaranya : Maqolatul
Islamiyyin (pendapat golongan Islam), al-Ibanah ‘an Ushuliddiniyyah
(penjelasan tentang dasar-dasar agama, al-Luma’ (sorotan) yang berisi
penjelasan tentang ketuhanan, dosa besar, dan persoalan ‘aqidah.

2)

Abu Mansur al-Maturidi (875 – 944 M). Seperti halnya al-Asy’ari, ia
pembangun paham Ahlusunnah wal Jamaah bidang ilmu kalam.19

d. Ilmu Bahasa
Di antara ilmu bahasa yang berkembang pada masa dinasti Abbasiyah
adalah ilmu nahwu, ilmu sharaf, ilmu bayan, ilmu badi’, dan arudh. Bahasa
Arab dijadikan sebagai bahasa ilmu pengetahuan, di samping sebagai alat
komunikasi antarbangsa. Di antara para ahli ilmu bahasa ialah sebagai
berikut :
1) Imam Sibawaih (w 183 H), karyanya terdiri dari 2 jilid setebal 1.000
18

Rizem Aizid, Sejarah Peradaban Islam Terlengkap, h.283.

19

Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, h. 74.

9

halaman.
2) Al-Kiasi.
3) Abu Zakaria al-Farra (w. 208 H), kitab Nahwunya terdiri dari 6.000
halaman lebih.20
2. Kemajuan Ilmu Pengetahuan dalam Bidang Umum
a. Filsafat
1) Abu Ishaq al-Kindi (809 – 837 M). Abu Yusuf Ishak al-Kindi atau yang
lebih dikenal dengan al-Kindi, mahsyur sebagai filsuf muslim pertama.
Di antara karyanya adalah Kimiyatul Itri, Risalah fi Faslain, Risalah fi
Illat an-Nafs ad-Damm, dan lain-lain.
2) Abu Nasr al-Farabi (870 - 950 M). Abu Nashr Muhammad bin
Muhammad Tarkhan al-Farabi dengan nama filsuf al-Farabi menjadi
terkenal setelah masa al-Kindi. Di antara karyanya ialah Tahsilus
Sa’adah, Assiyasatul Madaniyah, Tanbih ala Sabilis Sa’adah, dan lainlain.
3) Ibnu Sina (980 – 1037 M). Ar-Rais Abu Ali Husain bin Abdullah atau
yang lebih dikenal dengan Ibnu Sina, lahir di Afsyanah, Bukhara, pada
tahun 1037 M. Ia adalah seorang dokter dan filsuf ternama. Di antara
karya filsafatnya adalah al-Isyarat wa at-Tanbihat, Mantiq alMasyriqiyyin, dan lain-lain.21
4) Al-Ghazali (1058 – 1111 M), al-Ghazali mendapat julukan al-Hujjatul
Islam. Karyanya antara lain : Maqasid Al-Falasifah , Al-Munqid Minadh
Dhalal, Tahafut Al-Falasifah, dan Ihya Ulumuddin.
5) Ibnu Rusyd (1126 – 1198 M / 595 H). Ia sangat terkenal di Barat dengan
nama Averro dan ia sangat berpengaruh di dunia Barat dalam bidang
filsafat, sehingga di Barat terdapat aliran yang cukup terkenal dengan
nama Averroisme22. Karyanya yang terkenal ialah Bidayah Al-Mujtahid.
20

Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Amzah, 2010), h. 148.

21

Rizem Aizid, Sejarah Peradaban Islam, h. 286.

22

Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid 1, (Jakarta : UI-Press,

10

b. Ilmu kedokteran
Ilmu kedokteran merupakan salah satu ilmu yang mengalami perkembangan
yang sangat pesat pada masa

dinasti Abbasiyah. Pada masa itu telah

didirikan apotek pertama di dunia dan juga telah didirikan sekolah farmasi.
Di antara para cendekiawan kedokteran :
1) Ibnu Sina (980-1037 M). Sarjana Barat menyebutnya Aviecena. Ia
terkenal ahli kedokteran. Dia dinobatkan sebagai father of Doctors
(bapak kedokteran). Karya tulisnya yang terkenal al-Qanun fith-Thibb
(dasar-dasar ilmu kedokteran), berisi ensiklopedia ilmu kedokteran.
2) Ar-Razi (865- 925 M). Ar-Razi adalah tokoh pertama yang membedakan
antara penyakit cacar dengan kolera, dalam bukunya Small-pax and
Measless (ilmu campak dan kolera).
3) Ibnu Rusyd (1126-1198 M). Ibnu Rusyd dikenal sebagai perintis ilmu
kedokteran umum dan histologi (ilmu jaringan tubuh). Juga berjasa
dalam bidang penelitian pembuluh darah dan penyalit cacar.
4) Abu Nasr al-Farabi. Karyanya yang terkenal dalam bidang kedokteran
adalah Kunci Ilmu (Key of Sciences) 976 yang ditulis ulang oleh
Muhammad al-Khawarizmi dan buku Fihrist al-Ulum (Indec of sciences)
988 yang ditulis ulang oleh Ibnu Nadim.23
c. Matematika
Terjemahan dari buku-buku asing ke dalam bahasa Arab menghasilkan
karya dalam bidang matematika. Di antara ahli matematika Islam yang
terkenal adalah Al-Khawarizmi. Ia ialah pengarang kitab al-Jabar wal
Muqabalah (Ilmu Hitung) dan penemu angka nol. Sedangkan angka latin : 1,
2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, dan 0 disebut angka Arab karena diambil dari Arab.
Sebelumnya dikenal angka Romawi I, II, III, IV , V dan seterusnya. Tokoh
lainnya adalah Abu al-Wafa Muhammad bin Muhammad bin Ismail bin alAbbas, yang terkenal dengan ahli ilmu matematika.
1985), h. 73.
23

Abu Su’ud, Islamologi, Cet 1, (Jakarta : PT Rineka Cipta, 2003), h. 72.

11

d. Farmasi
Di antara ahli farmasi pada masa Dinasti Abbasiyah adalah Ibnu Baithar,
karyanya yang terkenal adalah al-Mughni Iberisi tentang obat-obatan), Jami
Al-Muradat Al-Adawiyah (berisi tentang obat-obatan dan makanan bergizi).
e. Ilmu Astronomi
Kaum muslimin mengkaji dan menganalisis berbagai aliran ilmu astronomi
dari berbagai bangsa seperti bangsa Yunani, India, Persia, dan Kaldan. Di
antara ahli astronomi Islam adalah :24
1) Abu Mansur al-Falaki (wafat pada tahun. 272 H). Karyanya yang
terkenal adalah Isbat Al-Ulum dan Hayat Al-Falak.
2) Jabir al-Batani (wafat pada tahun 319 H). Al-Batani adalah pencipta
teropong bintang pertama. Karyanya yang tekenal adalah kitab Ma’rifat
Mathiil Buruj Bina Arbai Al-Falak.
3) Raihan al-Biruni (w. 440 H). Karyanya adalah At-Tafhim li Awal AsSina At-Tanjim.
f. Geografi
Ilmuan-ilmuan bumi juga sangat memperhatikan bumi dan segala isinya.
Imu tentang bumi pada zaman modern terbagi menjadi beberapa disiplin
ilmu, geografi, geologi, geofisika dan meteorogi. Sarjana-sarjana ilmu
geografi yang lahir pada zaman kemajuan peradaban Islam, di antaranya :
Hisyam al-Kalbi, al-Khawarizmi, Abu Ubaid al-Bakri, al-Biruni, Ibnul Haik,
Ibnu Fadhlan, al-Muqaddasy, Syarif Idrisy, Abu Hamid al-Ghamathy, Yaqut
al-Hamawy.25
g. Sejarah
Pada masa dinasti Abbasiyah , muncul tokoh-tokoh sejarah, di antaranya
ialah Ahmad bin Ya’kubi (wafat pada tahun 895 M), dengan karyanya
24

Rizem Aizid, Sejarah Peradaban Islam, h. 288.
Fadil SJ, Pasang Surut Peradaban Islam dalam Lintasan Sejarah, (Malang : UIN Malang

25

Press, 2008), h,193

12

berjudul al-Buldan (negeri-negeri) dan at-Tarikh (sejarah).26
h. Sastra
Dalam bidang sastra, Baghdad merupkan kota pusat seniman dan sastrawan.
Para tokoh sastra antara lain :
1) Abu Nuwas, salah seorang penyair terkenal dengan karya cerita
humornya.
2) An-Nasyayi, penulis buku Alfu Lailah wa Lailah (The Arabian Night),
adalah buku cerita sastra Seribu Satu Malam yang sangat terkenal dan
diterjemahkan ke dalam hampir seluruh bahasa dunia.27

D. Lembaga-Lembaga Pendidikan pada Masa Dinasti Abbasiyah
Sebelum timbulnya sekolah dan universitas yang kemudian dikenal sebagai
lembaga pendidikan formal, dalam dunia Islam sebenarnya telah berkembang
lembaga-lembaga pendidikan Islam yang bersifat non formal. Lembaga-lembaga
ini berkembang terus dan bahkan bersamaan dengannya tumbuh dan berkembang
bentuk-bentuk lembaga pendidikan non formal yang semakin luas. Di antara
lembaga-lembaga pendidikan Islam yang bercorak non formal tersebut adalah :28
1. Kuttab Sebagai Lembaga Pendidikan Dasar
Kuttab atau maktab berasal dari kata dasar kataba yang berarti menulis atau
tempat menulis. Jadi kataba adalah tempat belajar menulis. Sebelum datangnya
Islam Kuttab telah ada di Negeri Arab, walaupun belum banyak dikenal. Di
antara penduduk Makkah yang mula-mula belajar menulis huruf Arab di Kuttab
ialah Sufyan ibnu Umayyah ibnu Abdu Syams dan Abu Qais Ibnu Abdi Manaf
ibnu Zuhroh ibnu Kilab.29

26

Rizem Aizid, Sejarah Peradaban Islam, h. 290

27

Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaan Islam, h. 152

28

Zuhairi Muchtarom, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta : Bumi Aksara, 1995), h. 89.

29

Suwito, Sejarah Sosial Pendidikan Islam, (Jakarta : Kencana, 2008), h.11.

13

2. Pendidikan Rendah di Istana
Timbulnya pendidikan rendah di istana untuk anak-anak pelajar didasarkan
atas pemikiran bahwa pendidikan itu harus bersifat menyiapkan peserta didik agar
mampu melaksanakan tugas-tugasnya di kelas setelah dewasa. Untuk itu, daulah
dan keluarganya serta pembesar sudah diperkenalkan dengan lingkungan dan
tugas-tugasnya yang akan diemban nanti. Oleh karena itu, mereka memanggil
guru-guru khusus untuk memberikan pendidikan kepada anak-anak mereka.30
Pendidikan di istana yang membuat rencana pelajaran adalah orang tua
murid (para pembesar istana) diselaraskan dengan tujuan yang dikehendaki oleh
orangtua murid. Guru yang bertugas disebut muaddib, dan muaddib ini tinggal di
31

istana, agar pengawasannya kepada putra raja lebih sempurna.
3. Perpustakaan

Para ulama’ dan sarjana dari berbagai macam keahlian, pada umumnya
menulis buku dalam bidangnya masing-masing dan selanjutnya untuk diajarkan
atau disampaikan kepada para penuntut ilmu. Bahkan para ulama’ dan sarjana
tersebut memberikan kesempatan kepada para penuntut ilmu untuk belajar
diperpustakaan pribadi mereka.
Baitul hikmah di Baghdad yang didirikan khalifah Al-Rasyid adalah
merupakan salah satu contoh dari perpustakaan Islam yang lengkap, yang berisi
ilmu-ilmu agama Islam dan bahasa arab, bermacam-macam ilmu pengetahuan
yang telah berkembang pada masa itu.32
Perpustakaan pada masa itu lebih merupakan sebuah universitas karena
disamping terdapat kitab-kitab, di sana orang juga dapat membaca, menulis dan
berdiskusi.33

30

H. Ramayulis, Sejarah Pendidikan Islam; perubahan konsep, filsafat dan metodologi

dari era Nabi SAW sampai Ulama Nusantara, h.77.
31

H. Haidar Putra Daulay & Nurgaya Pasa, Pendidikan Islam Dalam Lintasan Sejarah;

kajian dari zaman pertumbuhan sampai kebangkitan, h. 80.
32

Zuhairi Muchtarom, Sejarah Pendidikan Islam, h. 98.

33

Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta : Rajawali Pers, 2010), h. 49.

14

4. Masjid
Semenjak berdirinya dizaman nabi Muhammad SAW masjid telah menjadi
pusat kegiatan dan informasi berbagai masalah kehidupan kaum muslimin.Ia,
menjadi tempat bermusyawarah, tempat mengadili perkara, tempat menyampaikan
penerangan agama dan informasi lainnya dan tempat menyelenggarakan
pendidikan.
Pada masa Bani Abbas dan masa perkembangan kebudayaan Islam, masjidmasjid yang didirikan oleh para pengusaha pada umumnya di perlengkapi dengan
berbagai macam sarana dan fasilitas untuk pendidikan.34
5. Rumah Para Ulama
Sebenarnya rumah bukanlah tempat yang baik untuk melakukan kegiatan
belajar dan mengajar oleh karena penghuni dan para pelajar tidak akan merasa
tenteram belajar di rumah-rumah tersebut.
Akan tetapi, disebabkan oleh alasan-alasan yang dapat diterima, seperti para
ulama tersebut tidak mungkin memerikan pelajaran di tempat lain, maka ia
dikunjungi oleh murid-muridnya ke rumah, shingga ditempat tersebut berlangsung
proses belajar dan mengajar.
Diantara rumah ulama yang terkenal yang menjadi tempat belajar antara lain
; rumah Ibnu Sina, Al-Fhajali, Ali Ibny Muhammad AL-Fashishi, Ya’qub Ibnu
Killis Wazir Khalifah Al-Azizi Billahi Al-Fathimy, dan Ahmad Bin Ahmad Abu
Tahir.35
6. Tokoh-tokoh Buku (al-Hawarit al-Waraqin)
Selama masa kejayaan daulah Abbasiyah, toko-toko buku berkembang
dengan pesat seiring dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan. Tokotoko ini tidak saja menjadi pusat pengumpulan dan penyebaran (penjualan) bukubuku tetapi juga menjadi pusat studi dengan lingkaran-lingkaran studi
berkembang di dalamnya. Pemilik toko buku biasanya berfungsi sebagai tuan
34

Zuhairi Muchtarom, Sejarah Pendidikan Islam, h. 99.

35

H. Haidar Putra Daulay & Nurgaya Pasa, Pendidikan Islam Dalam Lintasan Sejarah;
kajian dari zaman pertumbuhan sampai kebangkitan, h. 95.

15

rumah (pemilik toko), dan kadang-kadang berfungsi sebagai muallim dalam
lingkaran studi (halaqah) yang memimpin pengajian, sebagian yang memiliki
tokoh buku adalah para ulama. Hal ini menunjukan betapa antusias umat Islam
masa itu dalam menuntut ilmu.36
7. Rumah Sakit
Pada zaman jayanya perkembangan kebudayaan Islam, dalam rangka
menyebarkan kesejahteraan dikalangan umat Islam, maka banyak didirikan rumah
sakit oleh kholifah dan pembesar-pembesar Negara. Rumah-rumah sakit tersebut
bukan hanya berfungsi sebagai tempat merawat dan mengobati orang-orang sakit,
tetapi juga mendidik tenaga-tenaga yang berhubungan dengan perawatan dan
pengobatan.
E. Tujuan Pendidikan Dinasti Abbasiyah
1. Tujuan Keagamaan dan Akhlak
Anak-anak didik diajar membaca/menghafal Al-Qur’an, ialah karena hal itu
suatu kewajiban dalam agama, supaya mereka mengikut ajaran agama dan
berakhlak menurut agama. Begitu juga mereka diajar ilmu tafsir, hadis dan
sebagainya adalah karena tuntutan agama.
2. Tujuan Kemasyarakatan
Tujuan kemasyarakatan, yaitu pemuda-pemuda belajar dan menuntut ilmu,
supaya mereka dapat mengubah dan memperbaiki masyarakat, dari
masyarakat yang penuh kejahilian menjadi masyarakat yang bersinar ilmu
pengetahuan, dari masyarakat yang mundur menjadi masyarakat yang maju
dan makmur.
3. Cinta terhadap Ilmu Pengetahuan
Masyarakat pada saai itu belajar tak mengharapkan keuntungan apa-apa,
selain dari pada memperdalam ilmu pengetahuan. Mereka merantau
36

H. Ramayulis, Sejarah Pendidikan Islam; perubahan konsep, filsafat dan metodologi
dari era Nabi SAW sampai Ulama Nusantara, h.80.

16

keseluruh negara Islam untuk menuntut ilmu tanpa mempedulikan susah
payah dalam perjalanan, yang umumnya dilakukan dengan berjalan kaki
atau mengendarai keledai. Tujuan mereka tidak lain untuk memuaskan
jiwanya yang haus akan ilmu pengetahuan.
4. Tujuan Kebendaan
Mereka menuntut ilmu supaya mendapat penghidupan yang layak dan
pangkat yang tinggi, bahkan kalau mungkin mendapat kemegahan dan
kekuasaan di dunia ini, seperti tujuan setengah orang pada masa kita
sekarang.37
F. Pola dan Sistem Pendidikan pada Masa Dinasti Abbasiyah
1. Tingkatan Jenjang Pendidikan
Pada masa Abbasiyah sekolah-sekolah terdiri dari beberapa tingkat. Di
awal Islam, lembaga pendidikan sudah mulai berkembang. Ketika itu lembaga
pendidikan terdiri dari dua tingkat :38
a. Tingkatan dasar, yang bertempat di maktab dan owiyah (sudut kecil masjid).
Di tempat ini anak-anak belajar al-Qur’an, aritmatika seni menulis, dan
bahasa Arab
b. Tingkatan pendalaman (sekarang setara dengan sekolah menengah dan
pendidikan yang lebih tinggi). Para murid pergi keluar daerah untuk
menyempurnakan pendidikan mereka di bawah bimbingan  atau ahli yang
berwenang di bidangnya masing-masing.
Pada masa Dinasti Abbasiyah sekolah-sekolah atas beberapa tingkat :
a. Tingkat sekolah rendah, namanya Kuttab sebagai tempat belajar bagi anakanak. Di samping Kuttab ada pula anak-anak belajar di rumah, di istana, di
toko-toko dan di pinggir-pinggir pasar.
b. Tingkat sekolah menengah, yaitu di masjid dan majelis sastra dan ilmu
pengetahuan sebagai sambungan pelajaran di kuttab.
37

Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, Cet. 7, (Jakarta : PT. Hidakarya Agung,
1990), h .46
38
Hassan Ibrahim Hassan, Sejarah dan Kebudayan Islam, (Yogyakarta : Kota Kembang,
1997), h. 129.

17

c. Tingkat perguruan tinggi, seperti Baitul Hikmah di Bagdad dan Darul Ilmu
di Mesir (Kairo).39
2. Kurikulum Pendidikan pada Masa Dinasti Abbasiyah
Kurikulum yang dikembangkan dalam pendidikan Islam saat itu, yaitu :
pertama, kurikulum pendidikan tingkat dasar yang terdiri dari pelajaran
membaca, menulis, tata bahasa, hadis, prinsip-prinsip dasar matematika dan
pelajaran syair. Ada juga yang menambahnya dengan mata pelajaran nahwu
dan cerita-cerita. Ada juga kurikulum yang dikembangkan sebatas menghapal
al-Quran dan mengkaji dasar-dasar pokok agama.
Kedua, kurikulum pendidikan tinggi. Pada pendidikan tinggi, kurikulum
sejalan dengan fase dimana dunia Islam mempersiapkan diri untuk
memperdalam masalah agama, menyiarkan dan mempertahankannya. Akan
tetapi bukan berarti pada saat itu, yang diajarkan melulu agama, karena ilmu
yang erat kaitannya dengan agama seperti bahasa, sejarah, tafsir dan hadis juga
diajarkan.40
3. Metode Pembelajaran
Pada masa Dinasti Abbasiyah pengajaran diberikan kepada murid-murid
seorang demi seorang dan belum berkelas-kelas seperti sekarang, sehingga
guru harus mengajar muridnya dengan berganti-ganti.41 Praktik pembelajaan
seperti dilakukan dengan membentuk formasi lingkaran yang disebut dengan

halaqah. Sementara metode pendidikan atau cara belajar yang digunakan dapat
dikelompokkan menjadi tiga macam: 1) Metode Lisan, berupa dikte (imla’),
ceramah (al-sama’), qiraat dan diskusi. 2) Metode Menghafal metode ini
merupakan ciri umum pendidikan masa ini. Murid-murid harus membaca
39

Philip Hitti, History od The Arabs, Cet. 10 (New York: PT. Serambi Ilmu Semesta,

2002), h. 358.
40

Zuhairini, Moh. Kasiran, dkk, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta : DEPAG, 1985), h.

100
41

Suwito, Fauzan, Sejarah Social Pendidikan Islam, (Jakarta: Fajar Interpratama Offset,

2004), h. 17

18

secara berulang-ulang pelajarannya sehingga dapat melekat pada benak mereka.
3) Metode Tulisan, metode ini dianggap sebagai metode yang paling penting,
sebab metode ini efektif untuk melestarikan ilmu pengetahuan.42
G. Kemunduran dan Kehancuran Dinasti Abbasiyah
Sebagaimana terlihat dalam periodisasi khilafah Abbasiyah, masa
kemunduran dimulai sejak periode kedua. Namun demikian, faktor-faktor
penyebab kemunduran itu tidak datang secara tiba-tiba. Benih-benihnya sudah
terlihat pada periode pertama, hanya karena khalifah pada periode ini sangat kuat,
benih-benih itu tidak sempat berkembang. Dalam sejarah kekuasaan Bani Abbas
terlihat bahwa apabila khalifah kuat, para menteri cenderung berperan sebagai
kepala pegawai sipil, tetapi jika khalifah lemah, mereka akan berkuasa mengatur
roda pemerintahan.
Disamping kelemahan khalifah, banyak faktor lain yang menyebabkan
khilafah Abbasiyah menjadi mundur, masing-masing faktor tersebut saling
berkaitan satu sama lain. Beberapa diantaranya adalah sebagai berikut:43
1. Faktor Intern
a. Kemewahan hidup di kalangan penguasa
Perkembangan peradaban dan kebudayaan serta kemajuan besar yang
dicapai bani Abbasiyah pada periode pertama telah mendorong para
penguasa untuk hidup mewah, bahkan cenderung mencolok. Setiap
khalifah cenderung ingin lebih mewah daripada pendahulunya. Kondisi
ini memberi peluang kepada tentara profesional Turki untuk mengambil
alih kendali pemerintahan.44
b. Melebihkan bangsa asing dari bangsa Arab
Keluarga Abbasiyah memberikan pangkat dan jabatan negara yang
42

Syamsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam, h.114

43

Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam; Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta:

Bulan Bintang, 1975), h. 13.
44

Dedi Supriadi, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), h. 137.

19

penting-penting dan tinggi-tinggi, baik sipil ataupun militer kepada
bangsa Persia. Mereka itu sebagian besar diangkat menjadi wazir,
panglima tentara, wali provinsi, hakim-hakim dan lain sebagainya. Oleh
karena itu, umat Arab benci dan amarah kepada khalifah-khalifah serta
menjauhkan diri dari padanya. Kebengisan keluarga Abbasiyah menindas
dan menganiaya

keluarga Bani Umayah dan perbuatan mereka

memusuhi kaum Alawiyin, kian menambah amarah dan sakit hati
mereka.45
c. Kemerosotan ekonomi
Setelah khilafah memasuki periode kemunduran, pendapatan negara
menurun sementara pengeluaran meningkat lebih besar. Menurunnya
pendapatan negara itu disebabkan oleh makin menyempitnya wilayah
kekuasaan,

banyaknya

terjadi

kerusuhan

yang

mengganggu

perekonomian rakyat. diperingannya pajak dan banyaknya dinasti-dinasti
kecil yang memerdekakan diri dan tidak lagi membayar upeti. Sedangkan
pengeluaran membengkak antara lain disebabkan oleh kehidupan para
khalifah dan pejabat semakin mewah. Jenis pengeluaran makin beragam
dan para pejabat melakukan korupsi.46
d. Luasnya wilayah kekuasaan Bani Abbasiyyah
Luasnya wilayah kekuasaan Bani Abbasiyyah sementara komunikasi
pusat dengan daerah sulit dilakukan. Bersamaan dengan itu, tingkat
saling percaya di kalangan para penguasa dan pelaksana pemerintahan
sangat rendah.
e. Perebutan kekuasaan antara keluarga Bani Abbasiyah
Banyak sejarawan yang menyatakan bahwa perebutan kekuasaan antara
keluarga Bani Abbasiyah ialah ketika terjadinya perang saudara antara alAmin dan al-Makmun. Tetapi kalau dicermati lebih dalam bahwa
45

A. Latif Osman, Ringkasan Sejarah Islam, (Jakarta: Widjaya, 2000), h. 128.

46

Ahmad Amin, Islam dari Masa ke Masa, (Bandung: CV. Rusyda, 1987), h.42.

20

perebutan kekuasaan antara keluarga bani Abbasiyah adalah ketika masa
khalifah Musa al-Hadi yaitu ketika Musa al-Hadi ingin membatalkan
putra mahkota yang diberikan khalifah al-Mahdi kepada Harun ar-Rasyid
dan membai’atkan putranya sendiri yang bernama Jafar.47
2. Faktor Ekstern
a. Banyaknya pemberontakan
Banyaknya daerah yang tidak dikuasai oleh khalifah dengan memberikan
atau memilih gubernur dari orang yang telah berjasa kepada khalifah
sebagai hadiah dan penghormatan untuknya48. Ditambah dengan
kebijakan yang lebih menekankan pada pembinaan peradaban dan
kebudayaan Islam. Akibatnya provonsi-provinsi yang diberikan khalifah
kepada gubernur-gubernur

banyak yang ingin melepaskan diri dari

genggaman khalifah Abbasiyah. Adapun cara provinsi-provinsi tersebut
melepaskan diri dari kekuasaan Baghdad adalah: Pertama, seorang
pemimpin

lokal

memimpin

suatu

pemberontakan

dan

berhasil

memperoleh kemerdekaan penuh, seperti Bani Umayah di Spanyol dan
Idrisiyah di Maroko. Kedua, seseorang yang ditunjuk menjadi gubernur
oleh khalifah, kedudukannya semakin bertambah kuat, kemudian
melepaskan diri, seperti Bani Aghlabiyah di Tunisia dan Thahiriyah di
Kurasan.
b. Perang salib
Perang Salib ini terjadi pada tahun 1095 M, saat Paus Urbanus II berseru
kepada umat Kristen di Eropa untuk melakukan perang suci, untuk
memperoleh kembali keleluasaan berziarah di Baitul Maqdis yang
dikuasai oleh Penguasa Seljuk, serta menghambat pengaruh dan invasi
dari tentara Muslim atas wilayah Kristen49. Selain seruan Paus Urbanus
47

A. Latif Osman, Ringkasan Sejarah Islam, h. 116

48

Umar al-Iskandari dan Al-Miraj Safdaj, At-Tarikh al-Islamiyyi Juz II, (Ponorogo:

Darussalam Pers), h. 10.
49

Dedi Supriadi, Sejarah Peradaban Islam, h. 171.

21

ada juga dua faktor penyebab terjadinya perang salib yaitu para pedagang
besar yang berada di pantai Timur laut Tengah, terutama yang berada di
kota Venezia, Genoa dan Pisa berambisi untuk menguasai sejumlah kota
dagang di sepanjang pantai Timur dan selatan laut Tengah untuk
memperluas jaringan dagang mereka. Sedangkan sebab lainnya adalah
orang-orang Kristen beranggapan jika mereka mati dalam perang salib
maka jaminannya adalah surga.
c. Serangan Bangsa Mongol dan jatuhnya Baghdad
Pada tahun 565 H/1258 M, tentara Mongol yang berkekuatan sekitar
200.000 orang tiba di salah satu pintu Baghdad. Khalifah Al-Musta’shim,
penguasa terakhir bani Abbas di Baghdad (1243 – 1258), betul-betul
tidak berdaya dan tidak mampu membendung “topan” tentara Hulagu
Khan. Dengan adanya

serangan dari bangsa Mongol ini maka

berakhirlah kekuasaan Abbasiyah di Baghdad. Kota Baghdad sendiri
dihancurkan rata dengan tanah, sebagaimana kota-kota lain yang dilalui
tentara Mongol tersebut. Walaupun sudah dihancurkan, Hulagu Khan
memantapkan kekuasaannya di Baghdad selama dua tahun, sebelum
melanjutkan gerakan ke Syria dan Mesir. Jatuhnya kota Baghdad pada
tahun 1258 M ke tangan bangsa Mongol bukan saja mengakhiri
kekuasaan khilafah Bani Abbasiyah di sana, tetapi juga merupakan awal
dari masa kemunduran politik dan peradaban Islam, karena Bagdad
sebagai pusat kebudayaan dan peradaban Islam yang sangat kaya dengan
khazanah ilmu pengetahuan itu ikut pula lenyap dibumi dihanguskan oleh
pasukan Mongol yang dipimpin Hulaghu Khan tersebut.50

50

A. Latif Osman, Ringkasan Sejarah Islam, h. 136

22

BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Dinasti Abbasiyah sebagaimna disebutkan adalah dinasti yang melanjutkan
kekuasaan dinasti Umayyah. Dinamakan Abbasiyah karena pendiri penguasanya
adalah keturunan al-Abbas, paman Nabi Muhammad SAW. Dinasti Abbasiyah
didirikan oleh Abdullah AL-Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn alAbbas. Kekuasaannya berlangsung dalam rentang waktu yang panjang, dari tahun
132 H (750 M) sampai dengan 656 H (1258 M).
Puncak perkembangan kebudayaan dan pemikiran Islam terjadi pada masa
pemerintahan Bani Abbas. Hal ini disebabkan karena kebijakan-kebijakan di
dalam kekhilafahan abbasiyah atau situasi sosial politik yang akhirnya berimbas
pada kemajuan di segala bidang terutama bidang pendidikan atau ilmu
pengetahuan.
Perkembangan ilmu pengetahuan pada dinasti Abbasiyah mencapai
puncaknya pada masa khalifah Harun Ar-Rasyid dan Al-Ma’mun, kekayaan yang
dimiliki khalifah Harun Ar-Rasyid dan putranya Al-Ma’mun juga digunakan
untuk kepentingan sosial yang dapat menunjang jalannya proses pendidikan. Akan
tetapi gerakan membangun ilmu secara besar-besaran dirintis oleh khalifah Ja’far
al-Mansur. Beliau mengumpulkan banyak ulama dan para ahli di Baghdad untuk
melakukan usaha pembukuan berbagai cabang ilmu dan melakukan upaya-upaya
untuk menerjemahkan buku ilmu yang berasal dari luar. Adanya gerakan
penerjemahan membawa pengaruh besar terhadap kemajuan ilmu pengetahuan
agama dan juga ilmu umum. Yang akhirnya melahirkan berbagai cendekiawan
dari berbagai disiplin ilmu yang kemudian menghasilkan karya ilmiah.
Kemajuan ilmu pengetahuan melahirkan dua disiplin ilmu, ilmu naqli dan
juga ilmu aqli. Kemajuan pada ilmu naqli ialah adanya berbagai ilmu, seperti ilmu
tafsir, hadis, ilmu kalam, fiqih, dan ilmu bahasa. Kemajuan pada ilmu aqli ialah
adanya berbagai ilmu, seperti filsafat, kedokteran, matematika, farmasi, ilmu
astronomi, geografi, sejarah, dan sastra.
23

Kemunduran dan kehancuran dinasti Abbasiyah disebabkan oleh dua faktor
yaitu faktor intern/dari dalam di antaranya : Kemewahan hidup di kalangan
penguasa; Melebihkan bangsa asing dari bangsa Arab; Kemerosotan ekonomi;
Luasnya wilayah kekuasaan Bani Abbasiyyah; dan Perebutan kekuasaan antara
keluarga Bani Abbasiyah. Sedangkan faktor ekstern/dari luardi antaranya :
Banyaknya pemberontakan; Perang salib; dan Serangan bangsa Mongol dan
jatuhnya Baghdad. Dari serangan bangsa Mongol ini tidak hanya dinasti
Abbasiyah yang runtuh. Akan tetapi, juga menajdi awal dari masa kemunduran
politik dan peradaban Islam, karena Bagdad sebagai pusat kebudayaan dan
peradaban Islam yang sangat kaya dengan khazanah ilmu pengetahuan itu ikut
pula lenyap dibumi dihanguskan oleh pasukan Mongol yang dipimpin Hulaghu
Khan tersebut.

24

DAFTAR PUSTAKA
Abu Bakar, Istianah, Sejarah Peradaban Islam, Malang : UIN Malang Press, 2008.
Aizid, Rizem, Sejarah Peradaban Islam Terlengkap, Yogyakarta : DIVA Press,
2015.
Al-Iskandari, Umar, dan Al-Miraj, Safdaj, At-Tarikh al-Islamiyyi Juz II,
Ponorogo: Darussalam Pers.
Al-Usairy, Ahmad, Sejarah Islam Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX, Jakarta :
Akbar. 2002.
Amin , Ahmad, Islam dari Masa ke Masa, Bandung: CV. Rusyda, 1987.
Amin, Samsul Munir, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Amzah, 2010.
Daulay, H. Haidar Putra & Nurgaya Pasa, Pendidikan Islam Dalam Lintasan

Sejarah; kajian dari zaman pertumbuhan sampai kebangkitan, Cet. 1
Jakarta : Kencana, 2013.
Fadil SJ, Pasang Surut Peradaban Islam dalam Lintasan Sejarah, Malang : UIN
Malang Press, 2008.
Hassan, Hassan Ibrahim, Sejarah dan Kebudayan Islam, Yogyakarta : Kota
Kembang, 1997.
Hitti, Philip, History od The Arabs, Cet. 10, New York: PT. Serambi Ilmu
Semesta, 2002.
H. Ramayulis, Sejarah Pendidikan Islam; perubahan konsep, filsafat dan

metodologi dari era Nabi SAW sampai Ulama Nusantara, Cet 1, Jakarta :
Kalam Mulia, 2012.
Lubis, Nur Ahmad Fadhil, Dinasti Abbasiyah dalam Ensiklopedia Tematis,
Jakarta : PT. Ichtiar Baru Van Houve, 2002.
Muchtarom , Zuhairi, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta : Bumi Aksara, 1995.

25

Nasution, Harun, Pembaharuan dalam Islam; Sejarah Pemikiran dan Gerakan,
Jakarta: Bulan Bintang, 1975.
Nasution, Harun, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspekny, Jilid 1, Jakarta : UI-Press,
1985.
Nizar, Syamsul, Sejarah Pendidikan Islam, Cet. 4. Jakarta : Kencana, 2011.
Osman, A. Latif, Ringkasan Sejarah Islam, Jakarta: Widjaya, 2000.
Sunanto, Musyrifah, Sejarah Islam Klasik Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam,
Jakarta: Prenada Media, 2004.
Sulaiman, Suparman, Sejarah Islam di Asia & Eropa, Bandung: Pustaka Setia,
2013.
Stryzewska, Bojena Gajane, Tarikh al-Daulat al-Islamiyah. Beirut : Al-Maktab Al
-Tijari.
Supriadi, Dedi, Sejarah Peradaban Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2008.
Su’ud, Abu, Islamologi. Jakarta : PT Rineka Cipta, 2003.
Suwito, Sejarah Sosial Pendidikan Islam, Jakarta : Kencana, 2008.
Suwito, Fauzan, Sejarah Social Pendidikan Islam, Jakarta: Fajar Interpratama
Offset, 2004.
Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1993.
Jakarta : Rajawali Pers, 2010.
Jakarta : Rajawali Pers, 2014.
Yunus, Mahmud, Sejarah Pendidikan Islam, Cet. 7, Jakarta : PT. Hidakarya
Agung, 1990.
Zuhairini, Moh. Kasiran, dkk, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta : DEPAG, 1985.
Zuhairi, Sejarah Pendidikan Islam, Cet. 5, Jakarta : Bumi Aksara, 1997.

26