SEJARAH PERKEMBANGAN PERADILAN AGAMA DI
ILMIAH Volume VI No.II,
Dewi Indasari. Sejarah Perkembangan Peradilan
SEJARAH PERKEMBANGAN PERADILAN AGAMA DI INDONESIA
Dewi Indasari
Staf Pengajar UP. MPK Politeknik Negeri Sriwijaya
Jln. Srijaya Negara Bukit Besar Palembang Telp. 082179541298
ABSTRACT
The ministry of religion in Indonesia, has walked through all the circumstances up and down. From times to
times, authority and power of the ministry of religion based on the value of Islam and the fact found around
the civilization. In this chance both power and authority are limited societyby various policy and constitution
roles, instead of undergoing many challenges from the controller and groups of society in order to
positionate this ministry becomes weak. There are some, historical phases of the ministry of religion begun
from Islam which came to Ind, the era of Islam kingdoms, cobonization era, and the era of post-freedom to
era.
ABSTRAK
Perjalanan kehidupan pengadilan agama mengalami pasang surutnya.Adakalanya wewenang dan kekuasaan
yang dimilikinya sesuai dengan nilai-nilai Islam dan kenyataan yang ada dalam masyarakat. Dan pada
kesempatan lain kekuasaan dan wewenangnya dibatasi dengan berbagai kebijakan dan peraturan perudangundangan, bahkan seringkali mengalami berbagai rekayasa dari penguasa dan golongan masyarakat tertentu
agar posisi pengadilan agama melemah. Adapun fase-fase bersejarah pengadilan agama diawali dari
masuknya Islam ke Indonesia, masa kerajaan-kerajaan Islam, masa penjajahan dan masa pasca kemerdekaan
hingga era reformasi.
Kata Kunci : Qadla Asy-Syar’i, Wali al-amri, Tahkim, Regerings Reglement (RR), Indische Staats
Regeling (IS), Kailkoyo Kooto Hooin, Sooryo Hooin, Kompilasi Hukum Islam (KHI)
berdiri sendiri telah mempunyai kedudukan yang
kuat, baik di masyarakat maupun dalam peraturan
perundang-undangan Negara.Kerajaan Islam yang
pernah berdiri di Indonesia melakukan hokum
Islam dalam wilayah hukumnya masing-masing.
Kerajaan Islam Pasai yang berdiri di Aceh Utara
pada akhir abad ke 13 M, merupakan kerajaan
Islam yang pertama yang kemudian di ikuti
dengan berdirinya kerajaan-kerajaan Islam
lainnya, misalnya Demak, Jepara, Tuban, Gresik,
Ngampel dan Banten (Amrullah, 1996:55). Di
bagian Timur Indonesia berdiri pula kerajaan
Islam seperti Tidore dan Makasar, Pada
pertengahan abad ke 16, suatu dinasti baru yaitu
kerajaan Mataram memerintah Jawa Tengah dan
akhirnya berhasil menaklukan kerajaan kesil di
pesisir utara, sangat besar perannya dalam
penyebaraan Islam di Nusantara. Dengan
masuknya penguasa kerajaan Mataram ke dalam
agama Islam, maka pada permulaan abad ke 17 M
penyebaran agama Islam hampir meliputi
sebagian besar wilayah Indonesia.
Agama Islam masuk ke Indonesia melalui
jalan perdagangan di kota-kota pesisir secara
damai tanpa gejolak sehingga norma-norma Islam
diterima oleh masyarakat Indonesia bersamaan
dengan penyebaran dan penganut agama Islam.
Dengan
timbulnya
komunitas-komunitas
masyarakat Islam, maka kebutuhan akan lembaga
peradilan yang menuntut perkara berdasarkan
hokum Islam semakin diperlukan (Murodi,
2006:121-125)
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Berbicara tentang perjalanan peradilan
agama yang telah dilalui dalam rentang waktu
yang demikian panjang berarti berbicara tentang
masa lalu yakni sejarah Peradilan Aama. Hal ini
dianggap penting untuk rencana melangkah
kemasa yang akan datang.Peradilan Agama telah
tumbuh dan melembaga di bumi nusantara ini
sejak agama Islam dianut oleh penduduk yang
berada di wilayah ini, berabad-abad lamanya
sebelum kehadiran penjajah. Tumbuh dan
berkembangnya Peradilan agama itu adalah
karena kebutuhan dan kesadaran hokum sesuai
dengan keyakinan mereka (Sjadzali, 1994:42).
Namun diakui bahwa data sejarah Peradilan
Agama tidak mudah mendapatkannya seperti
yang dikatakan, para ahli mengakui bahwa
sumber rujukan Peradilan Agama sangatlah
minim karena sengaja dilewatkan oleh para cerdik
pandai masa lalu yang mungkin belum
menganggap penting.
Untuk mengetahui bagaimana fase-fase
bersejarah perkembangan Peradilan Agama dari
awal masuknya islam ke Indonesia, masa kerajaan
Islam, masa penjajahan dan masa pasca
kemerdekaan hingga era reformasi, mari kita kaji
dalam tulisan ini.
PEMBAHASAN
Sebelum melancarkan politik hukumnya di
Indonesia, hokum Islam sebagai hokum yang
20
ISSN: 1979-0759
ILMIAH Volume VI No.II,
Dewi Indasari. Sejarah Perkembangan Peradilan
seseorang yang dianggap memenuhi syarat atau
pemuka agama. Tahkim (menundukkan diri
kepada seseorang yang mempunyai otoritas
menyelesaikan masalah hokum) hanya dapat
berlaku apabila kedua belah pihak terlebih dahulu
sepakat untuk menerima dan mentaati putusannya
nanti, juga tidak boleh menyangkut pelaksanaan
pidana seperti had (ketentuan hokum yang sudah
positip bentuk hukumnya) dan ta’zir (ketentuan
hokum yang bentuk hukumnya melihat
kemaslahatan masyarakat). Bila tidak ada Imam,
maka penyerahan wewenang untuk pelaksanaan
peradillan dapat dilakukan oleh ahlu al-hadly wa
al-aqdi (lembaga yang mempunyai otoritas
menentukan hukuman), yaitu para sesepuh dan
ninik mamak dengan kesepakatan (Ramulyo,
2004:30).
Pengadilan Agama di masa raja-raja Islam
diselenggarakan oleh para penghulu yaitu pejabat
administrasi kemasjidan setempat.Sidang-sidang
pengadilan agama pada masa itu biasanya
berlangsung di serambi masjid, sehingga
pengadilan agama sering pula disebut dengan
“Pengadilan Serambi”.Keadaan ini dapat dijumpai
di semua wilayah swapraja Islam di Indonesia
yang
kebanyakan
menempatkan
jabatan
keagamaan, penghulu atau hakim sebagai bagian
dari yang tak terpisahkan dengan pemerintahan
umum.Peradilan dan lembaga peradilan pada
masa ini masih sangat sederhana, demikian juga
para pegawainya biasanya diangkat oleh para
pejabat setempat.Pengadilan Agama yang
diselenggarakkan oleh para pejabat (penghulu)
yaitu pejabat administrasi kemasjidan setempat
dan begitu pula dengan sidang-sidang yang
berlangsung di serambi masjid.Sejak pengadilan
serambi masjid tersebut belum ada, muncul
pengadilan yang secara resmi menangani urusan
perdata, yaitu melayani dan menangani rakyat di
Jawa.Baru kemudian pengadilan agama berada
dan muncul di bawah pengadilan colonial yaitu
“Landraad” (pengadilan negeri).Hanya Landraad
inilah yang berwenang untuk memerintahkan
suatu pelaksanaan bagi keputusan Pengadilan
Agama
dalam
bentuk
“Executor
Verklaring”(pelaksanaan
putusan)
(Basyir,
1992:9-11).
Di sini Pengadian Agama sangat terbatas
kewenangannya terutama hak menyita barang
milik yang berperkara tersebut tidak ada (hak
menyita barang atau lainnya hilang), padahal
pengadilan agama merupakan salah satu
pengadilan golongan orang Jawa di dalam salah
satu bidang hokum perorangan. Fakta dari suatu
badan lembaga-lembaga hokum tersebut sudah
ada dalam berbagai bentuk dan kualitasnya yang
berada di bawah tekanan-tekanan suatu proses
adaptasi. Dalam perkembangannya ternyata
1.Peradilan Agama pada Awal Masuknya
Islam hingga Kerajaan-kerajaan Islam
Para pakar dan ahli hokum sejarah sepakat
bahwa sistem Peradilan Agama di Indonesia
sudah dikenal sejak Islam masuk ke bumi
Indonesia pada abad ke 7 M. Pada masa itu
hokum Islam mulai berkembang di wilayah
nusantara bersama-sama hokum adat, kendati
demikian dalam perjalanannya keberadaan
peradilan agama mengalami pasang surut.
Sebelum Islam datang ke Indonesia telah ada dua
macam peradilan yaitu Peradilan Perdata dan
Peradilan Padu. Materi hokum Peradilan Perdata
bersumber dari ajaran Hindu dan ditulis dalam
Papakem,
sedangkan
Peradilan
Padu
menggunakan hokum materiil tidak tertulis yang
berasal dari kebiasaan-kebiasaan masyarakat.
Dalam prakteknya, Peradilan Perdata menangani
persoalan-persoalan yang berhubungan dengan
wewenang raja.Keberadaan dua peradilan ini
berakhir setelah raja Mataram menggantikan
dengan sistem Peradilan Serambi yang berasaskan
Islam.Penggantian ini bertujuan untuk menjaga
integrasi wilayah kerajaan Mataram.Karena itu
para ahli sejarah sependapat bahwa sistem
peradilan agama di Indonesia pertama kali
diperkenalkan oleh penguasa Mataram.
Peradilan Agama sebagai bagian dari
mekanisme penyelenggaraan kenegaraan pernah
mengalami pasang surut ketika Sultan Agung
meninggal dan digantikan oleh Amangkurat I.
Amangkurat I pernah menutup Peradilan Agama
dan menghidupkan kembali Peradilan Perdata.
Setelah masa ini, Peradilan Agama eksis kembali,
Hal ini dibuktikan dengan diterbitkannya sebuah
kitab hokum Islam “Shirath al-Mustaqim” yang
ditulis Nurudin ar-Ramiri, kitab ini menjadi
rujukan para hakim di Indonesia.
Peradilan Agama (qadlo Asy-Syar’i) di
Indonesia sudah ada pada masa-masa periode
Tahkim yaitu pada awal masuknya Islam ke
Indonesia dimana kondisi masyarakat belum
mengetahui banyak masalah-masalah hokum
Islam, sedangkkan lembaga Peradilan Agama
terbentuk dalam periode Taudiyah Ahlul Hadli
Wal’Aqdi. Keadaan yang demikian ini Nampak
pada masa kerajaan Islam di nusantara dengan
bentuk-bentuk
lembaga
peradilan
yang
memberlakukan
hokum
Islam
yang
pelaksanaannya di serambi-serambi masjid oleh
hakim-hakim yang menjalankan hokum Islam
terhadap perkara-perkara perdata, perkawinan dan
kekeluargaan
sehingga
pada
saat
itu
penampungan perkara perdata sudah ada
tempatnya yang pasti (Depag, 1985:8).
Dalam keadaan tertentu, terutama bila tidak
ada hakim disuatu wiayah tertentu, maka dua
orang yang bersengketa dapat bertahkim kepada
21
ISSN: 1979-0759
ILMIAH Volume VI No.II,
Dewi Indasari. Sejarah Perkembangan Peradilan
dikembangkan oleh Cornelis van Vollenhoven
(1874-1933), dia yang perkenalkan het indisch
Adattrect (hokum adat Indonesia). Istilah “hokum
adat” nya sendiri diciptakan oleh Snouck
Hurgronje kemudian dikembangkan oleh Van
Vollenhoven.Mereka berdua inilah melakukan
perubahan pasal-pasal RR(Stb 1885 No.2) yang
mengatur pelaksanaan undang-undang agama
bagi bumi putera. Awal mulanya yang diubah
adalah pasal 75 RR melalui Stb.Bld 1906 No.364
(Stb Hindia Belanda 1907 No.204). Istilah
“undang-undang
agama”
diganti
dengan
“peraturan yang berkenaan dengan agama dan
kebiasaan”, pasal 78 dan pasal 109 masih
dibiarkan dengan bunyi “undang-undang agama”.
Lalu Stb 1919 No.286 (Stb Hindia Belanda 1919
No.621) kata-kata “memperlakukan peraturan
yang berkenaan dengan agama” dari pasal 78 dan
pasal 109 tetap tidak dirubah.
Dengan rumusan ini maka berarti hokum
islam tidak berlaku lagi di Indonesia kecuali telah
diterima oleh hokum adat. Berdasarkan Stb 1937
No 638 pengadilan agama di Jawa dan Madura
serta Kalimantan Selatan hanya berwenang
menangani hokum perkawinan saja hal ini
dirumuskan dalam pasal 2a. Ketentuan tersebut
mulai berlaku 1 April 1937. Perkara-perkara
selain tersebut dalam pasal 2a Stb 1882 No.15 jo
Stb 1917 No.116 menjadi wewenang pengadilan
negeri, ketentuan ini tidak berubah dan tetap
berlaku pada masa pemerintahan Jepang
berdasarkan peraturan peralihan yang dituangkan
dalam UU No.1 Tahun 1942. Peradilan Agama
hanya berubah nama menjadi “Kaikoyo Kootoo
Hooin” untuk Mahkamah Islam Tinggi dan
Sooryo Hooin untuk Pengadilan agama.
Menurut
secara
internal
keberadaan
Peradilan Agama pada zaman kerajaan dan
penjajahan Belanda membawa dampak positif
bagi fundamental peradilan islam/syariah di
Indonesia, karena pada zaman inilah keberadaan
peradilan agama kemungkinan menjadi peradilan
yang modern dan mandiri untuk menciptakan
kepastian hokum berdasarkan syariat agama,
sedangkan secara eksternal keberadaan peradilan
agama pada zaman ini, pemerintah Hindia
Belanda berupaya memecah belah umat muslim.
Hal ini tidak berhasi dikarenakan Peradilan
Agama merupakan suatu wadah kaum muslim
yang bersengketa dan tidak dipengaruhi oleh
kekuasaan kolonial Belanda.
Dalam sejarah perkembangannya personil
peradian agama sejak dulu selalu dipegang oleh
para ulama yang disegani yang menjadi panutan
masyarakat. Hal ini sudah dapat dilihat dari sejak
proses pertumbuhan peradilan agama. Pada masa
kerajaan-kerajaan Islam penghulu keraton sebagai
pemimpin keagamaan Islam di lingkungan
banyak orang yang ingin meng hindari diri dari
Landraad dan tetap menginginkan dan
menggunakan lembaga peradilan agama yang
mana rakyat sudah menganggap sebagai lembaga
yang sah dan dapat diterima.
2. Peradilan Agama pada Masa Pemerintahan
Kolonial Belanda
Ketika VOC berada di Indonesia, hokum
Islam tetap berlaku dimana masyarakat bangsa
Indonesia masih diberikan kebebasan dalam
melaksanakan hokum Islam dengan seluasluasnya selama tidak menganggu kepentingankepentingan VOC di Indonesia. VOC pernah akan
memberlakukan hokum Belanda di Indonesia
guna memperlancar hubungan mereka dalam
perniagaan dengan negara-negara lain, namun
gagal total dikarenakan mendapat reaksi keras
dari kelompok masyarakat lain, kejadian tersebut
menjadika rasa enggan mereka untuk ikut campur
terhadap hokum Islam, bahkan VOC kemudian
membuat alternatif lain yaitu dengan membentuk
peradilan lain untuk bangsa pribumi dengan cara
memberlakukan hokum Islam disetiap peradilan
orang-orang pribumi dan mengumpulkan materimateri sebagai hokum Islam, hal ini tertuang
dalam sebuah resolusi (dar indische regering)
Peraturan resmi yang mengatur eksistensi
Peradilan Agama di bumi nusantara ini adalah
keputusan raja Belanda No.24 tertanggal 19
Januari 1882, dimuat dalam Stb. 1882 No. 152
tentang Pembentukan Pengadilan Agama di Jawa
dan Madura. Para pakar hokum sependapat bahwa
lahirnya keputusan raja tersebut adalah
merupakan hasil dari teori “receptio in
complexu” oleh Van Den Berg.Kemudian teori itu
digugat oleh Van Vollenhoven dan Snouck
Hurgronje, dan diganti dengan teori “receptie.”
Menurut nya teori receptio in complex adalah
merupakan suatu kesalahan besar kolonial
Belanda, yakni pengadilan agama diberi keluasan
memberlakukan hokum Islam secara keseluruhan
adalah keliru, yang benar adalah hokum Islam
baru dapat diterima apabila telah diterima oleh
hokum adat mereka.
Snouck Hurgronje kemudian mengkritik dengan
menyatakan bahwa sebenarnya para pejabat
kolonial Belanda masih sangat kurang sekali akan
arti dari pengadilan agama di Indonesia dan
keberadaannya. Dengan datangnya Snouck
Hurgronje tersebut membawa akibat yang tidak
diinginkan oleh masyarakat yang beragama Islam
khususnya dan dampaknya terlihat dalam
kehiduppan beragama terutama lembaga-lembaga
pendidikan, lembaga peradilan.Lembaga-lembaga
keagamaan (peradilan) tidak dapat bergerak
secara leluasa disebabkan di dalamnya telah
dicampuri
oleh
pemerintah
Hindia
Belanda.Pikiran Snouck Hurgronje tersebut
22
ISSN: 1979-0759
ILMIAH Volume VI No.II,
Dewi Indasari. Sejarah Perkembangan Peradilan
PeradilanNegara
RI
menjalankan
dan
melaksanakan hokum yang mempunyai fungsi
pengayoman
yang
dilaksanakan
dalam
lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama,
Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha
Negara. Namun tidak lama UU ini diganti dengan
UU No.14 tahun 1970 tentang KetentuanKetentuan Pokok-Pokok Kehakiman karena sudah
dianggap tidak sesuai lagi dengan keadaan. Dalam
Undang-undang baru ini ditegaskan bahwa
kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang
merdeka, dan ditegaskan pula bahwa sejak tahun
1945-1966 ke empat lingkungan peradilan diatas
bukanlah kekuasaan yang merdeka secara utuh
melainkan disana sini masih mendapatkkan
intervensi dari kekuasaan lain (Amrullah,
1996:137).
3. Periode 1974-1989
Pada masa kurang lebih 15 tahun yakni
menjelang disahkannya UU No.1/1974 tentang
perkawinan sampai menjelang lahirnya UU
No.7/1989 tentang Peradilan Agama. Ada dua hal
yang menonjol dalam perjalanan peradilan agama
di Indonesian
1. Tentang proses lahirnya UU No.1/1974
tentang perkawinan dengan peraturan
pelaksanaannya PP No.9/1974
2. Tentang lahirnya PP No.28/1977 tentang
perwakafan tanah milik, sekarang telah
diperbaharui UU No.41/2004
Terlepas dari itu semua harus diakui bahwa
UU No1/1974 ini sangat berarti dalam
perkembangan peradilan agama di Indonesia
karena selain menyelamatkan keberadaan
peradilan agama itu sendiri sejak disahkan UU
No.1/1974 tentang perkawinan jo PP No.9/1975
tentang peraturan pelaksanaannya maka terbit
pula lah ketentuan hokum acara di peradilan
agama biar pun baru sebagian kecil saja.
Ketentuan Hukum Acara yang berlaku di
lingkungan peradilan agama baru disebutkan
secara tegas sejak diterbitkannya UU No.7/1989
tentang Peradilan Agama.Hukum Acara yang
dimaksud diletakkan pada Bab IV yang terdiri
dari 37 pasal. Pada tanggal 27 Desember 1989
UU No.7/1989 tentang peradilan agama disahkan
oleh DPR yang kemudian diikuti dikeluarkannya
Inpres No 1/1991 tentang Kompilasi Hukum
Islam (Ramulyo, 2004:43)
4. Kompilasi Hukum Islam
Untuk
mengatasi
ke
simpangsiuran
pengambilan landasan hokum dan guna mencapai
keseragamman, muncul gagasan untuk menyusun
sebuah buku yang menghimpun hokum terapan
yang berlaku di lingkungan peradilan agama yang
dapat dijadikan pedoman oleh para hakim
peradilan agama dalam melaksanakan tugasnya.
Arifin (1996 : 45-46) Mengatakan gagasan dibuat
keraton yang membantu tugas raja di bidang
keagamaan yang bersumber dari ajaran Sejak
tahun 1970 an perekrutan tenaga personil di
lingkungan peradilan agama khususnya untuk
tenaga hakim dan kepaniteraan diambil dari
alumni IAIN dan perguruan tinggi Agama (Arifin,
1996:82).
3.Peradilan Agama Setelah Kemeerdekaan
a. Periode 1945-1957
Pada awal tahun 1946 tepatnya tanggal 3
Januari
1946
dibentuklah
Kementerian
Agama.Kementerian
ini
dimungkinkan
berkonsolidasi atas seluruh administrasi lembagalembaga Islam dalam sebuah badan yang bersifat
nasional.Berlakunya UU No.22 Tahun 1946
menunjukkan dengan jelas maksud-maksud untuk
mempersatukan administrasi nikah talak dan rujuk
di seluruh Indonesia di bawah pengawasan
Departemen Agama sendiri. Pada masa ini
Pengadilan Agama dan Mahkamah Islam Tinggi
yang telah ada tetap berlaku berdasarkan aturan
peralihan, selang tiga bulan berdirinya
Departemen Agama yang dibentuk melalui
Keputusan Pemerintah No.1/SD, pemerintah
mengeluarkan penetapan No.5/SD tanggal 25
Maret 1946 yang memindahkan semua urusan
mengenai Mahkamah Islam Tinggi dari
Departemen Kehakiman kepada Departemen
Agama dan sejak saat itulah Peradilan Agama
menjadi bagian dari Departemen Agama.
Setelah Pengadilan Agama diserahkan pada
Departemen Agama, masih ada sementara pihak
yang berusaha menghapuskan keberadaan
peradilan agama.Usaha pertama dilakukan
melalui UU No.19 Tahun 1948, usaha kedua
melalui UU Darurat No.1 Tahun 1951 tentang
Susunan Kekuasaan Peradilan Sipil. Usaha-usaha
yang mengarah pada penghapusan Peradilan
Agama ini menggugah minat untuk lebih
memperhatikan Pengadilan Agama, Selanjutnya
Pengadilan Agama di bawah tanggung jawab
Jawatan Urusan Agama, penetapan pengadilan
agama di bawah Departemen Agama merupakan
langkah yang sangat menguntungkan sekaligus
sebagai pengamanan, karena meskipun Indonesia
telah merdeka namun pengaruh teori receptive
yang berupaya untuk meng-eliminir Peradilan
Agama masih tetap hidup, hal ini terbukti dengan
lahirnya UU No.19 Tahun 1948 (Sjadzali,
1994:46).
b. Periode 1957-1974
ada empat hal yang perlu kita ketahui dengan
kelahiran PP dan UU yaitu PP No.29/1957, PP
No.45/1957, UU No.19/1970 dan penambhan
kantor dan cabang dari peradilan agama.
Kemudian tanggal 31 oktober 1964 disahkannya
UU No.19 tahun 1964 tentang Ketentuan Pokokpokok Kekuasaan Kehakiman. Menurut UU ini
23
ISSN: 1979-0759
ILMIAH Volume VI No.II,
Dewi Indasari. Sejarah Perkembangan Peradilan
tujuan untuk mewujudkan tata kehidupan bangsa,
Negara dan masyarakat yang tertib, bersih,
makmur dan berkeadilan. Bahwa Peradilan
Agama merupakan lingkungan peradilan dibawah
Mahkamah Agung sebagai pelaku kekuasaan
kehakiman
yang
merdeka
untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan
hokum dan keadilan, namun hal ini terjadi
perubahan kembali yaitu dikeluarkannya UU
No.3/2006 masih perlu disempurnakan kembali
yaitu dengan mengadakan perubahan kedua
yakni UU No.50/009 tentang Perubahan Kedua
atas UU No. 7/1989 tentang Peradilan Agama.
Demikian juga terdapat penambahan pasal 52a
yaitu tentang Pengadilan Agama memberikan
itsbat kesaksian ru’yat hilal penentuan awal bulan
pada tahun Hijriah yakni kewenangan baru
peradilan agama.Dengan bersumber pada UU
No.14/1985
tentang
Mahkamah
Agung
sebagaimana telah diubah dengan UU No.5/2004
tentang Perubahan atas UU No.14/1985
tentangMahkamah Agung.
Adapun berlakunya UU No.50/2009 no. 22
tentang Perubahan Kedua atas UU No.7/1989
tentang Peradilan Agama adalah : Pasal 1 dalam
UU ini yang dimaksud dengan (1) Pengadilan
Agama adalah peradilan bagi orang-orang yang
beragama Islam. (2) Pengadilan adalah
pengadilan agama dan pengadilan tinggi agama di
lingkungan peradilan agama (3) Hakim adalah
hakim pada pengadilan agama dan hakim pada
pengadilan tinggi agama (4) Pegawai Pencatat
Nikah adalah pegawai pencatat nikah pada Kantor
Urusan Agama (5) Juru Sita dan/atau Juru Sita
Pengganti adalah juru sita dan/atau juru sita
pengganti pada pengadilan agama.
Dalam pembahasan rancangan UU tentang
Perbankan Syari’ah yang kemudian ditetapkkan
menjadi UU No. 21/2008 telah terjadi hubungan
kerja yang intens antara Mahkamah Agung c.q.
Ditjen Badan Peradilan Agama dengan
Departemen Agama dan Majelis Ulama
Indonesia.
Hal
tersebut
terjadi
karena
kewenangan untuk menyelesaikan sengketa pada
perbankan syari’ah yang merupakan salah satu
dari 11 cabang ekonomi syari’ah yang disebutkan
dan ditetapkan menjadi kewenangan Peradilan
Agama oleh UU No.3/2006 dalam DIM (Daftar
Isian Masalah) yang disampaikan oleh pemerintah
terhadap RUU inisiatif DPR RI tersebut dialihkan
ke Peradilan Umum. Hubungan kerja tersebut
harus terus berlanjut karena masih banyak tugastugas lain yang sebenarnya merupakan tugas
bersama yang harus diselesaikan antara lain
pengajuan dan pembahasan RUU tentang Hukum
Materiel Peradilan Agama (HMPA) bidang
perkawinan yang sudah tercantum dalam
Prolegmas 2007, kemudian di carry over ke
nya Kompilasi Hukum Islam berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan diantaranya :
Untuk dapat berlakunya hokum (Islam) di
Indonesia yang jelas dan dapat dilaksanakan oleh
aparat penegak hokum maupun oleh masyarakat.
1. Persepsi yang tidak seragam tentang
syari’ah dan sudah menyebabkkan
beberapa hal yaitu (1) Ketidak
seragaman dalam hal menentukan apaapa yang disebut hokum Islam, (2)
Tidak mendapat kejelasan bagaimana
menjalankan syari’ah itu, (3) Akibat
kepanjangannya adalah tidak mampu
menggunakan jalan-jalan dan alat-alat
yang tersedia dalam UUU 1945 dan
perundang-undangan lainnya.
2. Dalam sejarah Islam, pernah di tiga
negara hokum Islam diberlakukan
sebagai perundang-undangan Negara
yaitu (1) Di India pada masa raja AnRijeb
yang
membuat
dan
memberlakukan perundang-undangan
yang terkenal dengan fatwa alamfirli,
(2) Kerajaan Turki Usmani yang
terkenal dengan Majalah Al-Ahkam AlAdliyah, (3) Indonesia yaitu Subang
dimana Hukum Islam pada tahun 1983
dikodifikasikan.
Gagasan ini disepakati dan dibentuklah Tim
Pelaksana Proyek yang ditunjuk dengan Surat
Keputusan Bersama (SKB) Ketua Mahkamah Rid
an Mentri Agama RI No. 07/KMA/1985 dan
No.25 tahun 1985 tertanggal 25 Maret 1985.
Akhirnya keluar Instruksi Presiden No. 1 Tahun
1991 memerintahkan kepada Mentri Agama RI
untuk menyebarluaskan KOmpilasi Hukum Islam
yang terdiri dari Buku I tentang Hukum
Perkawinan, Buku II tentang Hukum Kewarisan,
Buku III tentang Hukum Perwakafan, intruksi ini
di ikuti oleh Keputusan menteri Agama No. 154
tahun 1991 tanggal 22 Juli 1991 (Amrullah,
1996:12).
4. Peradilan Agama pada Era Reformasi
Dalam Peradilan Satu Atap
Pada era reformasi terjadi perubahan secara
besar-besaran pada lembaga peradilan khususnya
peradillan agama, dimana peradilan agama harus
menundukkan diri kepada UU satu atap yaitu UU
No.5/2004 tentang Mahkamah Agung RI dan UU
No. 4/2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Namun hal terjadi lagi perubahan UU No.4/2004
diganti dengan UU No.48/2009 tentang
Kekuasaan kehakiman sementara itu UU
No.5/2004 diubah menjadi UU No.3/2009 tentang
Mahkamah Agung
Demikian
pula
dikeluarkannya
dan
berlakunya UU No.3/2006 tentang Perubahan atas
UU No. 7/1989 tentang Peradilan Agama.Dengan
24
ISSN: 1979-0759
ILMIAH Volume VI No.II,
Dewi Indasari. Sejarah Perkembangan Peradilan
Prolegmas
2008
(http://aryokarlan.blogspot.com.di akses tanggal
27 Oktober 2011).
yakni PP No.29/1957, PP No.45/1957, UU
No.19/1970 dan Penambahan kantor dan cabang
kantor peradilan agama, lalu dalam masa kurang
lebih 15 tahun disahkannya UU No.1/1974
tentang Perkawinan dan lahir pula UU
No.7/1989 tentang Peradilan Agama, dan diikuti
penyusunan Kompilasi Hukum Islam.
4. Pada era reformasi, Peradilan Agama harus
menundukkan diri kepada UU satu atap yaitu
UU No.5/2004 tentang Mahkamah Agung dan
UU No.4/2004 tentang Kekuasaan Kehakiman,
juga terdapat penambahan pasal 52a yaitu
pengadillan agama memberikan itsbat kesaksian
ru’yat hilal. Dalam pembahasan RUU tentang
perbank-an syari’ah yang kemudian ditetapkan
menjadi UU No.21/2008 telah terjadi hubungan
kerja yang intens antara Mahkamah Agung c.q.
Ditjen Badan Peradilan Agama dengan
Departemen Agama dan Majelis Ulama
Indonesia.
KESIMPULAN
Peradilan agama telah tumbuh dan melembaga di
bumi nusantara ini sejak agama islam dianut oleh
penduduk yang berada di wilayah ini berabadabad sebelum kehadiran penjajah. Adapun fasefase perkembangan Peradilan Agama di Indonesia
adalah sebagai berikut :
1.Peradilan Agama pada awal masuknya Islam
hingga kerajaan-kerajaan Islam, dimana
terjadinya qadla Asy-Syiar (Peradilan Agama)
di Indonesia sudah terjadi pada masa-masa
Tahkim, sedangkan lembaga Peradilan Agama
terbentuk dalam periode Tauliyah Ahlul Hadli
Wal-Aqdi, lalu Tauliyah dari Imamah yang
didasarkan atas pelimpahan wewenang atau
delegation of outhority
2.Pada masa kolonial Belanda, peraturan resmi
yng mengatur eksistensi Peradilan agama di
bumi nusantara ini adalah keputusan Raja
Belanda No.24 tertanggal 19 januari 1882
dimuat dalam Stb 1882 No.1552 tentang
Pembentukan Pengadilan Agama di Jawa dan
Madura, ini merupakan hasil dari teori receptio
in complexu oleh Van Den Berg, kemudian teori
ini digugat oleh Van Vollenhoven dan Snouck
Hurgronje dan menggantikannya dengan
teorireceptive. Pikiran Snouck Hurgronje
tersebut dikembangkan oleh Cornelis Van
Vollenhoven (1874-1933), dia memperkenalkan
het indisch adatrech (hokum adat Indonesia).
3.Setelah kemerdekaan, pemerinah mengeluarkan
penetapan No.5/SD tanggal 25 Maret 1946 yang
memindahkan
semua
urusan
mengenai
Mahkamah Islam Tertinggi dari Departemen
Kehakiman kepada Departemen Agama. Dalam
rentang waktu 1957-1974 lahir PP dan UU
DAFTAR PUSTAKA
Abimanyu, Timur, Tinjauan dan Kajian Sejarah
Peradilan Agama serta Implementasinya
Ahmad, Azhar Basyir, 1992, Kuliah Hukum
Indonesia.
Ahmad, Amrullah, 1996, Dimensi Hukum Islam
Dalam
Sistem
Hukum
Nasional,
Jakarta:Gema Insani Pers.
Busthanul Arifin, 1996, Pelembagaan Hukum
Islam di Indonesia, Akar Sejarah, Hambatan dan
Prospeknya, Jakarta:Gema Insani Pers.
Ditbinbapera, 1985, Jakarta:Departemen Agama
Idris, Ramulyo, 2004, Asas-asas Hukum Islam,
Jakarta:Sinar Grafika
Munawir, Sjadzali, 1994, Hukum Islam di
Indonesia Pemikiran dan Praktek,
Bandung:Rosdakarya
Murodi, 2006, Sejarah kebudayaab Islam,
Semarang:PT Karya Toha Putra
25
ISSN: 1979-0759
Dewi Indasari. Sejarah Perkembangan Peradilan
SEJARAH PERKEMBANGAN PERADILAN AGAMA DI INDONESIA
Dewi Indasari
Staf Pengajar UP. MPK Politeknik Negeri Sriwijaya
Jln. Srijaya Negara Bukit Besar Palembang Telp. 082179541298
ABSTRACT
The ministry of religion in Indonesia, has walked through all the circumstances up and down. From times to
times, authority and power of the ministry of religion based on the value of Islam and the fact found around
the civilization. In this chance both power and authority are limited societyby various policy and constitution
roles, instead of undergoing many challenges from the controller and groups of society in order to
positionate this ministry becomes weak. There are some, historical phases of the ministry of religion begun
from Islam which came to Ind, the era of Islam kingdoms, cobonization era, and the era of post-freedom to
era.
ABSTRAK
Perjalanan kehidupan pengadilan agama mengalami pasang surutnya.Adakalanya wewenang dan kekuasaan
yang dimilikinya sesuai dengan nilai-nilai Islam dan kenyataan yang ada dalam masyarakat. Dan pada
kesempatan lain kekuasaan dan wewenangnya dibatasi dengan berbagai kebijakan dan peraturan perudangundangan, bahkan seringkali mengalami berbagai rekayasa dari penguasa dan golongan masyarakat tertentu
agar posisi pengadilan agama melemah. Adapun fase-fase bersejarah pengadilan agama diawali dari
masuknya Islam ke Indonesia, masa kerajaan-kerajaan Islam, masa penjajahan dan masa pasca kemerdekaan
hingga era reformasi.
Kata Kunci : Qadla Asy-Syar’i, Wali al-amri, Tahkim, Regerings Reglement (RR), Indische Staats
Regeling (IS), Kailkoyo Kooto Hooin, Sooryo Hooin, Kompilasi Hukum Islam (KHI)
berdiri sendiri telah mempunyai kedudukan yang
kuat, baik di masyarakat maupun dalam peraturan
perundang-undangan Negara.Kerajaan Islam yang
pernah berdiri di Indonesia melakukan hokum
Islam dalam wilayah hukumnya masing-masing.
Kerajaan Islam Pasai yang berdiri di Aceh Utara
pada akhir abad ke 13 M, merupakan kerajaan
Islam yang pertama yang kemudian di ikuti
dengan berdirinya kerajaan-kerajaan Islam
lainnya, misalnya Demak, Jepara, Tuban, Gresik,
Ngampel dan Banten (Amrullah, 1996:55). Di
bagian Timur Indonesia berdiri pula kerajaan
Islam seperti Tidore dan Makasar, Pada
pertengahan abad ke 16, suatu dinasti baru yaitu
kerajaan Mataram memerintah Jawa Tengah dan
akhirnya berhasil menaklukan kerajaan kesil di
pesisir utara, sangat besar perannya dalam
penyebaraan Islam di Nusantara. Dengan
masuknya penguasa kerajaan Mataram ke dalam
agama Islam, maka pada permulaan abad ke 17 M
penyebaran agama Islam hampir meliputi
sebagian besar wilayah Indonesia.
Agama Islam masuk ke Indonesia melalui
jalan perdagangan di kota-kota pesisir secara
damai tanpa gejolak sehingga norma-norma Islam
diterima oleh masyarakat Indonesia bersamaan
dengan penyebaran dan penganut agama Islam.
Dengan
timbulnya
komunitas-komunitas
masyarakat Islam, maka kebutuhan akan lembaga
peradilan yang menuntut perkara berdasarkan
hokum Islam semakin diperlukan (Murodi,
2006:121-125)
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Berbicara tentang perjalanan peradilan
agama yang telah dilalui dalam rentang waktu
yang demikian panjang berarti berbicara tentang
masa lalu yakni sejarah Peradilan Aama. Hal ini
dianggap penting untuk rencana melangkah
kemasa yang akan datang.Peradilan Agama telah
tumbuh dan melembaga di bumi nusantara ini
sejak agama Islam dianut oleh penduduk yang
berada di wilayah ini, berabad-abad lamanya
sebelum kehadiran penjajah. Tumbuh dan
berkembangnya Peradilan agama itu adalah
karena kebutuhan dan kesadaran hokum sesuai
dengan keyakinan mereka (Sjadzali, 1994:42).
Namun diakui bahwa data sejarah Peradilan
Agama tidak mudah mendapatkannya seperti
yang dikatakan, para ahli mengakui bahwa
sumber rujukan Peradilan Agama sangatlah
minim karena sengaja dilewatkan oleh para cerdik
pandai masa lalu yang mungkin belum
menganggap penting.
Untuk mengetahui bagaimana fase-fase
bersejarah perkembangan Peradilan Agama dari
awal masuknya islam ke Indonesia, masa kerajaan
Islam, masa penjajahan dan masa pasca
kemerdekaan hingga era reformasi, mari kita kaji
dalam tulisan ini.
PEMBAHASAN
Sebelum melancarkan politik hukumnya di
Indonesia, hokum Islam sebagai hokum yang
20
ISSN: 1979-0759
ILMIAH Volume VI No.II,
Dewi Indasari. Sejarah Perkembangan Peradilan
seseorang yang dianggap memenuhi syarat atau
pemuka agama. Tahkim (menundukkan diri
kepada seseorang yang mempunyai otoritas
menyelesaikan masalah hokum) hanya dapat
berlaku apabila kedua belah pihak terlebih dahulu
sepakat untuk menerima dan mentaati putusannya
nanti, juga tidak boleh menyangkut pelaksanaan
pidana seperti had (ketentuan hokum yang sudah
positip bentuk hukumnya) dan ta’zir (ketentuan
hokum yang bentuk hukumnya melihat
kemaslahatan masyarakat). Bila tidak ada Imam,
maka penyerahan wewenang untuk pelaksanaan
peradillan dapat dilakukan oleh ahlu al-hadly wa
al-aqdi (lembaga yang mempunyai otoritas
menentukan hukuman), yaitu para sesepuh dan
ninik mamak dengan kesepakatan (Ramulyo,
2004:30).
Pengadilan Agama di masa raja-raja Islam
diselenggarakan oleh para penghulu yaitu pejabat
administrasi kemasjidan setempat.Sidang-sidang
pengadilan agama pada masa itu biasanya
berlangsung di serambi masjid, sehingga
pengadilan agama sering pula disebut dengan
“Pengadilan Serambi”.Keadaan ini dapat dijumpai
di semua wilayah swapraja Islam di Indonesia
yang
kebanyakan
menempatkan
jabatan
keagamaan, penghulu atau hakim sebagai bagian
dari yang tak terpisahkan dengan pemerintahan
umum.Peradilan dan lembaga peradilan pada
masa ini masih sangat sederhana, demikian juga
para pegawainya biasanya diangkat oleh para
pejabat setempat.Pengadilan Agama yang
diselenggarakkan oleh para pejabat (penghulu)
yaitu pejabat administrasi kemasjidan setempat
dan begitu pula dengan sidang-sidang yang
berlangsung di serambi masjid.Sejak pengadilan
serambi masjid tersebut belum ada, muncul
pengadilan yang secara resmi menangani urusan
perdata, yaitu melayani dan menangani rakyat di
Jawa.Baru kemudian pengadilan agama berada
dan muncul di bawah pengadilan colonial yaitu
“Landraad” (pengadilan negeri).Hanya Landraad
inilah yang berwenang untuk memerintahkan
suatu pelaksanaan bagi keputusan Pengadilan
Agama
dalam
bentuk
“Executor
Verklaring”(pelaksanaan
putusan)
(Basyir,
1992:9-11).
Di sini Pengadian Agama sangat terbatas
kewenangannya terutama hak menyita barang
milik yang berperkara tersebut tidak ada (hak
menyita barang atau lainnya hilang), padahal
pengadilan agama merupakan salah satu
pengadilan golongan orang Jawa di dalam salah
satu bidang hokum perorangan. Fakta dari suatu
badan lembaga-lembaga hokum tersebut sudah
ada dalam berbagai bentuk dan kualitasnya yang
berada di bawah tekanan-tekanan suatu proses
adaptasi. Dalam perkembangannya ternyata
1.Peradilan Agama pada Awal Masuknya
Islam hingga Kerajaan-kerajaan Islam
Para pakar dan ahli hokum sejarah sepakat
bahwa sistem Peradilan Agama di Indonesia
sudah dikenal sejak Islam masuk ke bumi
Indonesia pada abad ke 7 M. Pada masa itu
hokum Islam mulai berkembang di wilayah
nusantara bersama-sama hokum adat, kendati
demikian dalam perjalanannya keberadaan
peradilan agama mengalami pasang surut.
Sebelum Islam datang ke Indonesia telah ada dua
macam peradilan yaitu Peradilan Perdata dan
Peradilan Padu. Materi hokum Peradilan Perdata
bersumber dari ajaran Hindu dan ditulis dalam
Papakem,
sedangkan
Peradilan
Padu
menggunakan hokum materiil tidak tertulis yang
berasal dari kebiasaan-kebiasaan masyarakat.
Dalam prakteknya, Peradilan Perdata menangani
persoalan-persoalan yang berhubungan dengan
wewenang raja.Keberadaan dua peradilan ini
berakhir setelah raja Mataram menggantikan
dengan sistem Peradilan Serambi yang berasaskan
Islam.Penggantian ini bertujuan untuk menjaga
integrasi wilayah kerajaan Mataram.Karena itu
para ahli sejarah sependapat bahwa sistem
peradilan agama di Indonesia pertama kali
diperkenalkan oleh penguasa Mataram.
Peradilan Agama sebagai bagian dari
mekanisme penyelenggaraan kenegaraan pernah
mengalami pasang surut ketika Sultan Agung
meninggal dan digantikan oleh Amangkurat I.
Amangkurat I pernah menutup Peradilan Agama
dan menghidupkan kembali Peradilan Perdata.
Setelah masa ini, Peradilan Agama eksis kembali,
Hal ini dibuktikan dengan diterbitkannya sebuah
kitab hokum Islam “Shirath al-Mustaqim” yang
ditulis Nurudin ar-Ramiri, kitab ini menjadi
rujukan para hakim di Indonesia.
Peradilan Agama (qadlo Asy-Syar’i) di
Indonesia sudah ada pada masa-masa periode
Tahkim yaitu pada awal masuknya Islam ke
Indonesia dimana kondisi masyarakat belum
mengetahui banyak masalah-masalah hokum
Islam, sedangkkan lembaga Peradilan Agama
terbentuk dalam periode Taudiyah Ahlul Hadli
Wal’Aqdi. Keadaan yang demikian ini Nampak
pada masa kerajaan Islam di nusantara dengan
bentuk-bentuk
lembaga
peradilan
yang
memberlakukan
hokum
Islam
yang
pelaksanaannya di serambi-serambi masjid oleh
hakim-hakim yang menjalankan hokum Islam
terhadap perkara-perkara perdata, perkawinan dan
kekeluargaan
sehingga
pada
saat
itu
penampungan perkara perdata sudah ada
tempatnya yang pasti (Depag, 1985:8).
Dalam keadaan tertentu, terutama bila tidak
ada hakim disuatu wiayah tertentu, maka dua
orang yang bersengketa dapat bertahkim kepada
21
ISSN: 1979-0759
ILMIAH Volume VI No.II,
Dewi Indasari. Sejarah Perkembangan Peradilan
dikembangkan oleh Cornelis van Vollenhoven
(1874-1933), dia yang perkenalkan het indisch
Adattrect (hokum adat Indonesia). Istilah “hokum
adat” nya sendiri diciptakan oleh Snouck
Hurgronje kemudian dikembangkan oleh Van
Vollenhoven.Mereka berdua inilah melakukan
perubahan pasal-pasal RR(Stb 1885 No.2) yang
mengatur pelaksanaan undang-undang agama
bagi bumi putera. Awal mulanya yang diubah
adalah pasal 75 RR melalui Stb.Bld 1906 No.364
(Stb Hindia Belanda 1907 No.204). Istilah
“undang-undang
agama”
diganti
dengan
“peraturan yang berkenaan dengan agama dan
kebiasaan”, pasal 78 dan pasal 109 masih
dibiarkan dengan bunyi “undang-undang agama”.
Lalu Stb 1919 No.286 (Stb Hindia Belanda 1919
No.621) kata-kata “memperlakukan peraturan
yang berkenaan dengan agama” dari pasal 78 dan
pasal 109 tetap tidak dirubah.
Dengan rumusan ini maka berarti hokum
islam tidak berlaku lagi di Indonesia kecuali telah
diterima oleh hokum adat. Berdasarkan Stb 1937
No 638 pengadilan agama di Jawa dan Madura
serta Kalimantan Selatan hanya berwenang
menangani hokum perkawinan saja hal ini
dirumuskan dalam pasal 2a. Ketentuan tersebut
mulai berlaku 1 April 1937. Perkara-perkara
selain tersebut dalam pasal 2a Stb 1882 No.15 jo
Stb 1917 No.116 menjadi wewenang pengadilan
negeri, ketentuan ini tidak berubah dan tetap
berlaku pada masa pemerintahan Jepang
berdasarkan peraturan peralihan yang dituangkan
dalam UU No.1 Tahun 1942. Peradilan Agama
hanya berubah nama menjadi “Kaikoyo Kootoo
Hooin” untuk Mahkamah Islam Tinggi dan
Sooryo Hooin untuk Pengadilan agama.
Menurut
secara
internal
keberadaan
Peradilan Agama pada zaman kerajaan dan
penjajahan Belanda membawa dampak positif
bagi fundamental peradilan islam/syariah di
Indonesia, karena pada zaman inilah keberadaan
peradilan agama kemungkinan menjadi peradilan
yang modern dan mandiri untuk menciptakan
kepastian hokum berdasarkan syariat agama,
sedangkan secara eksternal keberadaan peradilan
agama pada zaman ini, pemerintah Hindia
Belanda berupaya memecah belah umat muslim.
Hal ini tidak berhasi dikarenakan Peradilan
Agama merupakan suatu wadah kaum muslim
yang bersengketa dan tidak dipengaruhi oleh
kekuasaan kolonial Belanda.
Dalam sejarah perkembangannya personil
peradian agama sejak dulu selalu dipegang oleh
para ulama yang disegani yang menjadi panutan
masyarakat. Hal ini sudah dapat dilihat dari sejak
proses pertumbuhan peradilan agama. Pada masa
kerajaan-kerajaan Islam penghulu keraton sebagai
pemimpin keagamaan Islam di lingkungan
banyak orang yang ingin meng hindari diri dari
Landraad dan tetap menginginkan dan
menggunakan lembaga peradilan agama yang
mana rakyat sudah menganggap sebagai lembaga
yang sah dan dapat diterima.
2. Peradilan Agama pada Masa Pemerintahan
Kolonial Belanda
Ketika VOC berada di Indonesia, hokum
Islam tetap berlaku dimana masyarakat bangsa
Indonesia masih diberikan kebebasan dalam
melaksanakan hokum Islam dengan seluasluasnya selama tidak menganggu kepentingankepentingan VOC di Indonesia. VOC pernah akan
memberlakukan hokum Belanda di Indonesia
guna memperlancar hubungan mereka dalam
perniagaan dengan negara-negara lain, namun
gagal total dikarenakan mendapat reaksi keras
dari kelompok masyarakat lain, kejadian tersebut
menjadika rasa enggan mereka untuk ikut campur
terhadap hokum Islam, bahkan VOC kemudian
membuat alternatif lain yaitu dengan membentuk
peradilan lain untuk bangsa pribumi dengan cara
memberlakukan hokum Islam disetiap peradilan
orang-orang pribumi dan mengumpulkan materimateri sebagai hokum Islam, hal ini tertuang
dalam sebuah resolusi (dar indische regering)
Peraturan resmi yang mengatur eksistensi
Peradilan Agama di bumi nusantara ini adalah
keputusan raja Belanda No.24 tertanggal 19
Januari 1882, dimuat dalam Stb. 1882 No. 152
tentang Pembentukan Pengadilan Agama di Jawa
dan Madura. Para pakar hokum sependapat bahwa
lahirnya keputusan raja tersebut adalah
merupakan hasil dari teori “receptio in
complexu” oleh Van Den Berg.Kemudian teori itu
digugat oleh Van Vollenhoven dan Snouck
Hurgronje, dan diganti dengan teori “receptie.”
Menurut nya teori receptio in complex adalah
merupakan suatu kesalahan besar kolonial
Belanda, yakni pengadilan agama diberi keluasan
memberlakukan hokum Islam secara keseluruhan
adalah keliru, yang benar adalah hokum Islam
baru dapat diterima apabila telah diterima oleh
hokum adat mereka.
Snouck Hurgronje kemudian mengkritik dengan
menyatakan bahwa sebenarnya para pejabat
kolonial Belanda masih sangat kurang sekali akan
arti dari pengadilan agama di Indonesia dan
keberadaannya. Dengan datangnya Snouck
Hurgronje tersebut membawa akibat yang tidak
diinginkan oleh masyarakat yang beragama Islam
khususnya dan dampaknya terlihat dalam
kehiduppan beragama terutama lembaga-lembaga
pendidikan, lembaga peradilan.Lembaga-lembaga
keagamaan (peradilan) tidak dapat bergerak
secara leluasa disebabkan di dalamnya telah
dicampuri
oleh
pemerintah
Hindia
Belanda.Pikiran Snouck Hurgronje tersebut
22
ISSN: 1979-0759
ILMIAH Volume VI No.II,
Dewi Indasari. Sejarah Perkembangan Peradilan
PeradilanNegara
RI
menjalankan
dan
melaksanakan hokum yang mempunyai fungsi
pengayoman
yang
dilaksanakan
dalam
lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama,
Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha
Negara. Namun tidak lama UU ini diganti dengan
UU No.14 tahun 1970 tentang KetentuanKetentuan Pokok-Pokok Kehakiman karena sudah
dianggap tidak sesuai lagi dengan keadaan. Dalam
Undang-undang baru ini ditegaskan bahwa
kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang
merdeka, dan ditegaskan pula bahwa sejak tahun
1945-1966 ke empat lingkungan peradilan diatas
bukanlah kekuasaan yang merdeka secara utuh
melainkan disana sini masih mendapatkkan
intervensi dari kekuasaan lain (Amrullah,
1996:137).
3. Periode 1974-1989
Pada masa kurang lebih 15 tahun yakni
menjelang disahkannya UU No.1/1974 tentang
perkawinan sampai menjelang lahirnya UU
No.7/1989 tentang Peradilan Agama. Ada dua hal
yang menonjol dalam perjalanan peradilan agama
di Indonesian
1. Tentang proses lahirnya UU No.1/1974
tentang perkawinan dengan peraturan
pelaksanaannya PP No.9/1974
2. Tentang lahirnya PP No.28/1977 tentang
perwakafan tanah milik, sekarang telah
diperbaharui UU No.41/2004
Terlepas dari itu semua harus diakui bahwa
UU No1/1974 ini sangat berarti dalam
perkembangan peradilan agama di Indonesia
karena selain menyelamatkan keberadaan
peradilan agama itu sendiri sejak disahkan UU
No.1/1974 tentang perkawinan jo PP No.9/1975
tentang peraturan pelaksanaannya maka terbit
pula lah ketentuan hokum acara di peradilan
agama biar pun baru sebagian kecil saja.
Ketentuan Hukum Acara yang berlaku di
lingkungan peradilan agama baru disebutkan
secara tegas sejak diterbitkannya UU No.7/1989
tentang Peradilan Agama.Hukum Acara yang
dimaksud diletakkan pada Bab IV yang terdiri
dari 37 pasal. Pada tanggal 27 Desember 1989
UU No.7/1989 tentang peradilan agama disahkan
oleh DPR yang kemudian diikuti dikeluarkannya
Inpres No 1/1991 tentang Kompilasi Hukum
Islam (Ramulyo, 2004:43)
4. Kompilasi Hukum Islam
Untuk
mengatasi
ke
simpangsiuran
pengambilan landasan hokum dan guna mencapai
keseragamman, muncul gagasan untuk menyusun
sebuah buku yang menghimpun hokum terapan
yang berlaku di lingkungan peradilan agama yang
dapat dijadikan pedoman oleh para hakim
peradilan agama dalam melaksanakan tugasnya.
Arifin (1996 : 45-46) Mengatakan gagasan dibuat
keraton yang membantu tugas raja di bidang
keagamaan yang bersumber dari ajaran Sejak
tahun 1970 an perekrutan tenaga personil di
lingkungan peradilan agama khususnya untuk
tenaga hakim dan kepaniteraan diambil dari
alumni IAIN dan perguruan tinggi Agama (Arifin,
1996:82).
3.Peradilan Agama Setelah Kemeerdekaan
a. Periode 1945-1957
Pada awal tahun 1946 tepatnya tanggal 3
Januari
1946
dibentuklah
Kementerian
Agama.Kementerian
ini
dimungkinkan
berkonsolidasi atas seluruh administrasi lembagalembaga Islam dalam sebuah badan yang bersifat
nasional.Berlakunya UU No.22 Tahun 1946
menunjukkan dengan jelas maksud-maksud untuk
mempersatukan administrasi nikah talak dan rujuk
di seluruh Indonesia di bawah pengawasan
Departemen Agama sendiri. Pada masa ini
Pengadilan Agama dan Mahkamah Islam Tinggi
yang telah ada tetap berlaku berdasarkan aturan
peralihan, selang tiga bulan berdirinya
Departemen Agama yang dibentuk melalui
Keputusan Pemerintah No.1/SD, pemerintah
mengeluarkan penetapan No.5/SD tanggal 25
Maret 1946 yang memindahkan semua urusan
mengenai Mahkamah Islam Tinggi dari
Departemen Kehakiman kepada Departemen
Agama dan sejak saat itulah Peradilan Agama
menjadi bagian dari Departemen Agama.
Setelah Pengadilan Agama diserahkan pada
Departemen Agama, masih ada sementara pihak
yang berusaha menghapuskan keberadaan
peradilan agama.Usaha pertama dilakukan
melalui UU No.19 Tahun 1948, usaha kedua
melalui UU Darurat No.1 Tahun 1951 tentang
Susunan Kekuasaan Peradilan Sipil. Usaha-usaha
yang mengarah pada penghapusan Peradilan
Agama ini menggugah minat untuk lebih
memperhatikan Pengadilan Agama, Selanjutnya
Pengadilan Agama di bawah tanggung jawab
Jawatan Urusan Agama, penetapan pengadilan
agama di bawah Departemen Agama merupakan
langkah yang sangat menguntungkan sekaligus
sebagai pengamanan, karena meskipun Indonesia
telah merdeka namun pengaruh teori receptive
yang berupaya untuk meng-eliminir Peradilan
Agama masih tetap hidup, hal ini terbukti dengan
lahirnya UU No.19 Tahun 1948 (Sjadzali,
1994:46).
b. Periode 1957-1974
ada empat hal yang perlu kita ketahui dengan
kelahiran PP dan UU yaitu PP No.29/1957, PP
No.45/1957, UU No.19/1970 dan penambhan
kantor dan cabang dari peradilan agama.
Kemudian tanggal 31 oktober 1964 disahkannya
UU No.19 tahun 1964 tentang Ketentuan Pokokpokok Kekuasaan Kehakiman. Menurut UU ini
23
ISSN: 1979-0759
ILMIAH Volume VI No.II,
Dewi Indasari. Sejarah Perkembangan Peradilan
tujuan untuk mewujudkan tata kehidupan bangsa,
Negara dan masyarakat yang tertib, bersih,
makmur dan berkeadilan. Bahwa Peradilan
Agama merupakan lingkungan peradilan dibawah
Mahkamah Agung sebagai pelaku kekuasaan
kehakiman
yang
merdeka
untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan
hokum dan keadilan, namun hal ini terjadi
perubahan kembali yaitu dikeluarkannya UU
No.3/2006 masih perlu disempurnakan kembali
yaitu dengan mengadakan perubahan kedua
yakni UU No.50/009 tentang Perubahan Kedua
atas UU No. 7/1989 tentang Peradilan Agama.
Demikian juga terdapat penambahan pasal 52a
yaitu tentang Pengadilan Agama memberikan
itsbat kesaksian ru’yat hilal penentuan awal bulan
pada tahun Hijriah yakni kewenangan baru
peradilan agama.Dengan bersumber pada UU
No.14/1985
tentang
Mahkamah
Agung
sebagaimana telah diubah dengan UU No.5/2004
tentang Perubahan atas UU No.14/1985
tentangMahkamah Agung.
Adapun berlakunya UU No.50/2009 no. 22
tentang Perubahan Kedua atas UU No.7/1989
tentang Peradilan Agama adalah : Pasal 1 dalam
UU ini yang dimaksud dengan (1) Pengadilan
Agama adalah peradilan bagi orang-orang yang
beragama Islam. (2) Pengadilan adalah
pengadilan agama dan pengadilan tinggi agama di
lingkungan peradilan agama (3) Hakim adalah
hakim pada pengadilan agama dan hakim pada
pengadilan tinggi agama (4) Pegawai Pencatat
Nikah adalah pegawai pencatat nikah pada Kantor
Urusan Agama (5) Juru Sita dan/atau Juru Sita
Pengganti adalah juru sita dan/atau juru sita
pengganti pada pengadilan agama.
Dalam pembahasan rancangan UU tentang
Perbankan Syari’ah yang kemudian ditetapkkan
menjadi UU No. 21/2008 telah terjadi hubungan
kerja yang intens antara Mahkamah Agung c.q.
Ditjen Badan Peradilan Agama dengan
Departemen Agama dan Majelis Ulama
Indonesia.
Hal
tersebut
terjadi
karena
kewenangan untuk menyelesaikan sengketa pada
perbankan syari’ah yang merupakan salah satu
dari 11 cabang ekonomi syari’ah yang disebutkan
dan ditetapkan menjadi kewenangan Peradilan
Agama oleh UU No.3/2006 dalam DIM (Daftar
Isian Masalah) yang disampaikan oleh pemerintah
terhadap RUU inisiatif DPR RI tersebut dialihkan
ke Peradilan Umum. Hubungan kerja tersebut
harus terus berlanjut karena masih banyak tugastugas lain yang sebenarnya merupakan tugas
bersama yang harus diselesaikan antara lain
pengajuan dan pembahasan RUU tentang Hukum
Materiel Peradilan Agama (HMPA) bidang
perkawinan yang sudah tercantum dalam
Prolegmas 2007, kemudian di carry over ke
nya Kompilasi Hukum Islam berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan diantaranya :
Untuk dapat berlakunya hokum (Islam) di
Indonesia yang jelas dan dapat dilaksanakan oleh
aparat penegak hokum maupun oleh masyarakat.
1. Persepsi yang tidak seragam tentang
syari’ah dan sudah menyebabkkan
beberapa hal yaitu (1) Ketidak
seragaman dalam hal menentukan apaapa yang disebut hokum Islam, (2)
Tidak mendapat kejelasan bagaimana
menjalankan syari’ah itu, (3) Akibat
kepanjangannya adalah tidak mampu
menggunakan jalan-jalan dan alat-alat
yang tersedia dalam UUU 1945 dan
perundang-undangan lainnya.
2. Dalam sejarah Islam, pernah di tiga
negara hokum Islam diberlakukan
sebagai perundang-undangan Negara
yaitu (1) Di India pada masa raja AnRijeb
yang
membuat
dan
memberlakukan perundang-undangan
yang terkenal dengan fatwa alamfirli,
(2) Kerajaan Turki Usmani yang
terkenal dengan Majalah Al-Ahkam AlAdliyah, (3) Indonesia yaitu Subang
dimana Hukum Islam pada tahun 1983
dikodifikasikan.
Gagasan ini disepakati dan dibentuklah Tim
Pelaksana Proyek yang ditunjuk dengan Surat
Keputusan Bersama (SKB) Ketua Mahkamah Rid
an Mentri Agama RI No. 07/KMA/1985 dan
No.25 tahun 1985 tertanggal 25 Maret 1985.
Akhirnya keluar Instruksi Presiden No. 1 Tahun
1991 memerintahkan kepada Mentri Agama RI
untuk menyebarluaskan KOmpilasi Hukum Islam
yang terdiri dari Buku I tentang Hukum
Perkawinan, Buku II tentang Hukum Kewarisan,
Buku III tentang Hukum Perwakafan, intruksi ini
di ikuti oleh Keputusan menteri Agama No. 154
tahun 1991 tanggal 22 Juli 1991 (Amrullah,
1996:12).
4. Peradilan Agama pada Era Reformasi
Dalam Peradilan Satu Atap
Pada era reformasi terjadi perubahan secara
besar-besaran pada lembaga peradilan khususnya
peradillan agama, dimana peradilan agama harus
menundukkan diri kepada UU satu atap yaitu UU
No.5/2004 tentang Mahkamah Agung RI dan UU
No. 4/2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Namun hal terjadi lagi perubahan UU No.4/2004
diganti dengan UU No.48/2009 tentang
Kekuasaan kehakiman sementara itu UU
No.5/2004 diubah menjadi UU No.3/2009 tentang
Mahkamah Agung
Demikian
pula
dikeluarkannya
dan
berlakunya UU No.3/2006 tentang Perubahan atas
UU No. 7/1989 tentang Peradilan Agama.Dengan
24
ISSN: 1979-0759
ILMIAH Volume VI No.II,
Dewi Indasari. Sejarah Perkembangan Peradilan
Prolegmas
2008
(http://aryokarlan.blogspot.com.di akses tanggal
27 Oktober 2011).
yakni PP No.29/1957, PP No.45/1957, UU
No.19/1970 dan Penambahan kantor dan cabang
kantor peradilan agama, lalu dalam masa kurang
lebih 15 tahun disahkannya UU No.1/1974
tentang Perkawinan dan lahir pula UU
No.7/1989 tentang Peradilan Agama, dan diikuti
penyusunan Kompilasi Hukum Islam.
4. Pada era reformasi, Peradilan Agama harus
menundukkan diri kepada UU satu atap yaitu
UU No.5/2004 tentang Mahkamah Agung dan
UU No.4/2004 tentang Kekuasaan Kehakiman,
juga terdapat penambahan pasal 52a yaitu
pengadillan agama memberikan itsbat kesaksian
ru’yat hilal. Dalam pembahasan RUU tentang
perbank-an syari’ah yang kemudian ditetapkan
menjadi UU No.21/2008 telah terjadi hubungan
kerja yang intens antara Mahkamah Agung c.q.
Ditjen Badan Peradilan Agama dengan
Departemen Agama dan Majelis Ulama
Indonesia.
KESIMPULAN
Peradilan agama telah tumbuh dan melembaga di
bumi nusantara ini sejak agama islam dianut oleh
penduduk yang berada di wilayah ini berabadabad sebelum kehadiran penjajah. Adapun fasefase perkembangan Peradilan Agama di Indonesia
adalah sebagai berikut :
1.Peradilan Agama pada awal masuknya Islam
hingga kerajaan-kerajaan Islam, dimana
terjadinya qadla Asy-Syiar (Peradilan Agama)
di Indonesia sudah terjadi pada masa-masa
Tahkim, sedangkan lembaga Peradilan Agama
terbentuk dalam periode Tauliyah Ahlul Hadli
Wal-Aqdi, lalu Tauliyah dari Imamah yang
didasarkan atas pelimpahan wewenang atau
delegation of outhority
2.Pada masa kolonial Belanda, peraturan resmi
yng mengatur eksistensi Peradilan agama di
bumi nusantara ini adalah keputusan Raja
Belanda No.24 tertanggal 19 januari 1882
dimuat dalam Stb 1882 No.1552 tentang
Pembentukan Pengadilan Agama di Jawa dan
Madura, ini merupakan hasil dari teori receptio
in complexu oleh Van Den Berg, kemudian teori
ini digugat oleh Van Vollenhoven dan Snouck
Hurgronje dan menggantikannya dengan
teorireceptive. Pikiran Snouck Hurgronje
tersebut dikembangkan oleh Cornelis Van
Vollenhoven (1874-1933), dia memperkenalkan
het indisch adatrech (hokum adat Indonesia).
3.Setelah kemerdekaan, pemerinah mengeluarkan
penetapan No.5/SD tanggal 25 Maret 1946 yang
memindahkan
semua
urusan
mengenai
Mahkamah Islam Tertinggi dari Departemen
Kehakiman kepada Departemen Agama. Dalam
rentang waktu 1957-1974 lahir PP dan UU
DAFTAR PUSTAKA
Abimanyu, Timur, Tinjauan dan Kajian Sejarah
Peradilan Agama serta Implementasinya
Ahmad, Azhar Basyir, 1992, Kuliah Hukum
Indonesia.
Ahmad, Amrullah, 1996, Dimensi Hukum Islam
Dalam
Sistem
Hukum
Nasional,
Jakarta:Gema Insani Pers.
Busthanul Arifin, 1996, Pelembagaan Hukum
Islam di Indonesia, Akar Sejarah, Hambatan dan
Prospeknya, Jakarta:Gema Insani Pers.
Ditbinbapera, 1985, Jakarta:Departemen Agama
Idris, Ramulyo, 2004, Asas-asas Hukum Islam,
Jakarta:Sinar Grafika
Munawir, Sjadzali, 1994, Hukum Islam di
Indonesia Pemikiran dan Praktek,
Bandung:Rosdakarya
Murodi, 2006, Sejarah kebudayaab Islam,
Semarang:PT Karya Toha Putra
25
ISSN: 1979-0759