HAK CIPTA DI ERA MODERN PERSPEKTIF HUKUM

1 Nur Sania Dasopang

HAK CIPTA DI ERA MODERN (PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
DALAM MENYELESAIKAN PERSOALAN BISNIS
KONTEMPORER)
A. Latar Belakang Masalah
Hak Kekayaan Intelektual biasa disebut HKI atau Intellectual Property
Rights (IPR) pada dasarnya merupakan hak yang lahir berdasarkan hasil karya
intelektual seseorang.1 Karya-karya Intelektualitas seperti hasil penelitian, seni dan
karya sastra, yang mencakup semua karya tulis (literary works), seperti buku,
program computer, database, laporan teknis, manuskripsi, karya arsitektur, peta, hasil
terjemahan,2 hingga apresiasi budaya yang memiliki kualitas seni yang tinggi, tidak
lahir begitu saja, akan tetapi memerlukan banyak “energi” dan tidak jarang disertai
dengan pengeluaran biaya yang besar.3 Pengorbanan ini seharusnya mendapatkan
imbalan yang sepadan, namun

ternyata kreativitas yang dihasilkan dengan

mengerahkan segenap potensi itu tidak mendapatkan penghargaan yang patut.
Dalam era globalisasi, eksploitasi karya cipta semakin sensitif, kompleks,
dan multifacet sehingga cenderung mengabaikan penghormatan tehadap Hak Moral

pencipta terutama karena Kemajuan Media Tekhnologi Informasi, telekomunikasi,
dan transportasi. Ketiganya berimplikasi terhadap munculnya segala bentuk upaya
penjiplakan, pembajakan dan sejenisnya yang terjadi secara massif dan dapat
dilakukan dengan sangat mudah.
Serbuan produk-produk Multimedia yang bermuatan Hak Cipta telah
menampilkan secara lebih dominan nilai ekonomi ciptaan ketimbang eksistensi Hak
Moral. Kecenderungan seperti ini pada gilirannya akan semakin memperparah
ketidak pastian hukum dan membahayakan sendi-sendi kehidupan bangsa, terutama
1 Endang Purwaningsih, Hukum Bisnis, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), hlm. 119.
2 Adul Rasyid Saliman, Hukum Bisnis untuk Perusahaan: Teori dan Contoh Kasus, Cetakan
ke-5 (Jakarta: Kencana, 2010), h. 172.
3 Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual, (Intellectual Proferty Rights), (Jakarta:
Rajawali Press, 2010), h. 56.

2 Nur Sania Dasopang

aspek ketertiban, keselarasan, dan keadilan yang bertumpu pada tatanan hukum dan
norma-norma aturan yang ditetapkan.4
Di bidang tekhnologi diramalkan bahwa saat ini perang global terkeji dalam
upaya pendominasian ekonomi adalah mengenai Hak Kekayaan Intelektual yang

biasa disingkat dengan HKI (Hak Cipta adalah bagian dari HKI ). 5 Jika masa lampau
ketika Negara-negara saling bertikai untuk mengontrol jalur perdagangan dan bahan
mentah, namun pada saat ini dan masa mendatang akan bertikai untuk hak-hak
eksklusif terhadap ide, inovasi, kereasi dan penemuan-penemuan.6
Salah satu contoh kasus baru yang menyedot perhatian khalayak pada tahun
2012 yang baru saja berlalu adalah penjiplakan artikel oleh Marwan Ja’far ketua
Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) DPR RI terhadap tulisan Jusman Dalle
Mahasiswa asal Universitas Muslim Indonesia Makassar tentang “Analisis Society
Research And Humanity Development (SERUM) Institute” yang berjudul “ Perang
Ideotik Libya” yang pernah dimuat di salah satu media online bulan 28 Maret 2011
lalu diterbitkan di Koran dengan penulis Marwan Ja’far dengan judul yang berbeda “
Pengolahan Energi Libya Pasca-Qardhafi”. Tulisan Marwan tersebut hampir 85
persen mirip dengan tulisan Jusman Dalle, bahkan ada dua alinea yang tidak diedit
sama sekali dengan susunan kalimat dan diksi yang sama persis. Dalam hubungan ini,
hak Jusman Dalle sebagai pencipta terkibiri, disebabkan oleh kemajuan tekhnologi.
Kemudian kasus Plagiat Prof. Dr. Anak Agung Banyu Perwira, Dosen
Universitas Parahyangan, Bandung.7 Kasus plagiarisme ini juga sempat menjadi
pemberiataan yang meluas dan sensional di media. Masalahnya, Profesor muda yang
selama ini dikenal cemerlang dan menjadi bintang di Universitas Parahyangan


4 Henry Soelistyo, Hak Cipta Tanpa Hak Moral, Cet. I (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2
011), h. xx.
5 Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual…, h. 7.
6 Insane Maulana, Pelangi Hak Kekayaan Intelektual dan Anti Monopoli, (Yogyakarta: Pusat
Studi Hukum Fakultas Hukum, UII, 2000), h. 151-152.
7 Henry Soelistyo, Plagiarisme pelanggaran Hak Cipta dan Etika, (Yogyakarta: Kanisius,
2011), h. 150.

3 Nur Sania Dasopang

Bandung, di duga telah beberapa kali melakukan plagiarisme, sebuah kejahatan
akademik yang serius dan memalukan.
Dalam tulisan Banyu yang dimuat The Jakarta Post, berjudul “RI As A New
Middle Power”, ditemukan unsur plagiasi dari artikel Carl Ungerer, dengan Judul”
The Middle Power Concept in Australian Foreign Policy” yang diterbitkan dalam
Austalian Journal of Politics and History, Volume 53, Number 4, Tahun 2007.
Publikasi itu berlangsung dua tahun sebelum artikel Prof. Banyu dimuat di Harian
The Jakarta Post, 12 November 2009.
Kasus di atas adalah merupakan contoh dari banyak fenomena penjiplakan
dan pembajakan dari berbagai kelompok masyarakat baik di kalangan akademisi

maupun praktisi. Mengapa masih terjadi pelanggaran-pelanggaran padahal payung
hukum tentang Hak Cipta sudah diatur dalam Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002
tentang Hak cipta. Usaha apa yang bisa dilakukan sehingga pelanggaran tersebut
terhapuskan. Hal inilah yang ingin coba penulis uraikan.
Dalam tulisan ini penulis coba melihat dari sudut pandang hukum Islam,
dengan terlebih dahulu mendeskripsikannya dari Hukum Positif di Indonesia, yaitu
Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak cipta. Alasan penulis memilih
hukum Islam adalah karena sering kali intelektual Barat menuduh Islam (terutama
hukumnya) tidak dapat mengikuti perkembangan modernitas. Ketika dunia sudah
berubah, baik dari segi perilaku, sikap, maupun pandangan-pandangan manusia
tentang dunia, Islam masih menyuguhkan penyelesaian-penyelesaian abad ketujuh
untuk menyelesaikan problematika hidup yang terjadi di penghujung abad kedua
puluh satu ini. Bahkan banyak yang beranggapan bahwa hukum Islam tidak bisa
bersaing dengan perkembangan zaman dan kemajuan tekhnologi yang sudah
berkembang pesat. Terkait dengan aturan hukum Hak Cipta yang sudah di atur dalam
UUHC No.19 Tahun 2002 perlu untuk dicermati aturan hukum tersebut dalam hak ini
dilihat dari kaca mata hukum Islam.
Penulisan ini akan dikofokuskan untuk membahas tiga persoalan dibawah
ini. Bagaimana sejarah hak cipta konvensional, kemudian penulis ingin melihat


4 Nur Sania Dasopang

bagaimana Perundang-undangan Hak Cipta secara Nasional maupun Internasional,
dan bagaimana perspektif hukum Islam terhadap UU No.19 tentang hak cipta.
B. Pembahasan.
1.

Sejarah Hak Cipta
Dari segi sejarahnya, konsep perlindungan hak cipta mulai tumbuh dengan

pesat sejak ditemukannya mesin cetak oleh J. Gutenberg pada pertengahan abad
kelima belas di Eropa. Keperluan di bidang ini timbul karena dengan mesin cetak,
karya cipta khususnya karya tulis, dengan mudah diperbanyak secara mekanik. Inilah
pada awalnya menumbuhkan copyright. Hukum yang berhubungan dengan hak cipta
(copyrigh) dapat dijumpai dalam copyright Act 1956 dan yang lebih mutakhir pada
copyright Designs and Patens Act 1988.
Di Inggris, pemaikaian istilah copyright pertama kali berkembang untuk
menggambarkan perlindungan terhadap penerbit dari tindakan penggandaan buku
oleh pihak lain yang tidak mempunyai hak untuk menerbitkannya. Perlindungan ini
bukan diberikan kepada pencipta melainkan kepada pihak penerbit dalam membiayai

pencetakan suatu karya.8
Setelah Inggris, berikutnya menyusul pemberian hak tertentu kepada para
pengarang di Prancis yang timbul sebagai dampak dari adanya Revolusi Prancis. Hak
cipta dalam perkembangan selanjutnya menjelma menjadi hak eksklusif bagi
pengarang, baik untuk melakukan eksploitasi secara ekonomi maupun hak atas
fasilitas-fasilitas lain yang berkenaan dengan karyanya.9
Kemudian di Indonesia, keberadaan pengaturan mengenai hak cipta dimulai
dengan diterbitkannya Undang-undang Hak Cipta Nomor 6 Tahun 1982 yang
diberlakukan oleh pemerintah.10 Pengaturan Hak Moral dalam UU Hak Cipta
8 Muhammad Djumhana dan R. Djubaidillah, Hak Milik Intelektual, Sejarah, Teori dan
Praktiknya di Indonesia, (Bandung: Citra Aditiya Bakti, 1997), h. 48.
9 Sudargo Adisumarto, Hak Milik Intelektual Khususnya Hak Cipta, (Jakarta: Akademika
Pressindo, 1990), h. 44.
10 Yusran Isnaini, Hak Cipta dan Tantangannya di Era Cyber Space, (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 2009), h. 9.

5 Nur Sania Dasopang

Indonesia tidak memiliki akar keterkaitan yang jelas dengan nilai-nilai budaya
bangsa. Dari segi subtansi, UU Hak Cipta 1982 lebih merupakan adopsi konsep

hukum Belanda Auteurswet 1912 berikut karakter monopoli yang lebih menonjolkan
aspek Hak Ekonomi.11 Setelah Undang-undang Hak Cipta tahun 1982, berturutberturut dilakukan perubahan terhadap undang-undang hak cipta di Indonesia, di
antaranya Undang-undang hak cipta No.7 Tahun 1987 yang kemudian diubah
menjadi Undang-undang No.12 Tahun 1997 tentang Perubahan atas Undang-undang
No.6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta, sebagaimana telah diubah dengan Undangundang No.7 Tahun 1987.12
Dikeluarkannya Undang-undang Hak Cipta No. 12 Tahun 1997 ini
sebenarnya merupakan konsekuensi dari keikutsertaan Indonesia dalam Organisasi
Perdagangan Dunia (WTO), dimana Indonesia telah meratifikasi perjanjian tersebut
dalam Undang-undang No.7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing
The World Trade Organization. Dengan demikian, segala perangkat perundangundangan yang menyangkut hak kekayaan intelektual harus disesuaikan atau merujuk
pada ketentuan yang ada dalam TRIPS (Trade Relate Intellectual Property Rights)
yang dihasilkan oleh WTO.13
Dalam perkembangannya, setelah dilakukan revisi beberapa kali UU Hak
Cipta No.7 Tahun 1987 dan UU Hak Cipta No.12 Tahun 1997 dan diganti dengan
Undang-undang No.19 tahun 2002 tentang Hak Cipta. Undang-Undang ini
dikeluarkan sebagai upaya pemerintah untuk merombak sistem hukum yang
ditinggalkan oleh Pemerintahan Hindia Belanda kepada suatu sistem hukum yang
dijiwai falsafah Negara Indonesia, yaitu Pancasila.14 Hanya saja, UU Hak Cipta tetap
alpa mengartikulasi nilai-nilai, kaidah, dan norma-norma budaya secara jelas dan
lugas, sehingga gagal beperan sebagai pagar, tuntutan maupun pemberi arah dalam


11 Henry Soelistyo, Hak Cipta Tanpa Hak Moral…, h. xix
12 Yusran Isnaini, Hak Cipta dan Tantangannya di Era Cyber Space…, h. 9.
13 Ibid.
14 Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual…, h. 45.

6 Nur Sania Dasopang

tatanan kepemilikan, pengelolaan, dan pemanfaatan Hak Cipta, khususnya terkait
dengan jaminan perlindungan Hak Moral kepada pencipta.15
Dari uraian diatas, terlihat dengan sangat terang bahwa Hak Cipta sudah
dilindungi oleh peraturan perundang-undang, akan tetapi masih banyak pelanggaranpelanggaran yang terjadi secara terang-terangan pula. Artinya, Undang-undang Hak
Cipta belum dipatuhi secara penuh keasadaran. Masyarakat belum juga jera sekalipun
diancam dengan sanksi-sanksi yang berat.
Problem ini kemudian menimbulkan pertanyaan dalam pikiran kita, seperti
apa aturan hukum hak cipta tersebut, kenapa masih banyak pelanggaran-pelanggaran
tentang hak cipta, oleh sebab itu penulis akan coba uraikan tentang gambaran umum
hak cipta tersebut. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002
tentang Hak Cipta:
Bab I Ketentuan Umum, Bab II Lingkup Hak Cipta, Bab III Masa Berlaku

Hak cipta, Bab IV Pendaftaran ciptaan, Bab V Lisensi, Bab VI Dewan Hak Cipta,
Bab VII Hak Terkait, Bab VIII Pengelolaan Hak Cipta, Bab IX Biaya, Bab X
Penyelesaian sengketa, Bab XI Penetapan Sementara Pengadilan, Bab XII
Penyidikan, Bab XIII Ketentuan Pidana, Bab XIV Ketentuan Peralihan, Bab XV
Ketentuan Penutup.
2.

Aturan Hukum Hak Cipta
Secara normatif, HKI adalah ”Product Of Mind” atau oleh World Intellectual
Property Organization atau WIPO disebut “Creation Of The Mind ” yang berarti
suatu karya manusia yang lahir dari curahan tenaga, karsa, cipta, waktu dan biaya.
Segala jerih payah itu menjadi menjadi kontribusi yang memiliki nilai ekonomi. Oleh
karena itu, setiap karya intelektual patut diakui, dihargai dan dilindungi baik secara
moral dan etika maupun secara hukum. Sikap pengakuan dan penghormatan terhadap

15 Henry Soelistyo, Hak Cipta Tanpa Hak Moral…, h. xix

7 Nur Sania Dasopang

pencipta dibangun dari konsep moral dan etika, sedangkan dalam perlidungannya

difasilitasi dengan instrument hukum Hak Cipta.16
Dari segi pranata, HKI dibangun sebagai instrument hukum yang berbasis
etika pengakuan, penghargaan, dan perlindungan terhadap hak atas kreasi intelektual
yang diberikan sebagaimana lazimnya hak milik yang mempunyai nilai ekonomi dan
sekaligus menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi.17 Sejauh menyangkut
pengakuan dan penghargaan, yang diperlakukan adalah timbulnya sikap apresiasi
yang membentuk etika dan budaya hukum dalam lingkungan kehidupan masyarakat.
Selanjutnya adalah jaminan perlindungan yang harus disediakan oleh Negara, yaitu
sistem hukum HKI. Dalam tatanan hukum seperti itu konsep monopoli diakui dan
dilakukan dalam kepemilikan individu dengan batas waktu tertentu.18
Pada pasal 2 Undang-undang Hak Cipta Indonesia secara tegas menyatakan
dalam mengumumkan atau memperbanyak ciptaan, itu harus memperhatikan
pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pembatasan dimaksud sudah tentu bertujuan agar dalam setiap menggunakan atau
memfungsikan hak cipta harus sesuai dengan tujuannya. 19 Sebenarnya yang
dikehendaki dalam pembatasan terhadap hak cipta ini adalah agar setiap orang atau
badan hukum tidak menggunakan haknya secara sewenang-wenang.
Setiap pengguna hak harus memperhatikan terlebih dahulu apakah hal itu
tidak bertentangan atau tidak merugikan kepentingan umum. Walaupun sebenarnya
pasal 2 Undang-undang Hak Cipta Indonesia ini menyatakan hak cipta adalah hak

eksklusif, yang member arti bahwa selain pencipta orang lain tidak berhak atasnya
kecuali atas izin pencipta. Hak itu muncul secara otomatis setelah suatu ciptaan
dilahirkan.
Perlindungan hak cipta adalah salah satu tujuan dari diterbitkannya seluruh
peraturan hukum tentang hak cipta, termasuk konvensi internasional. Oleh karenanya
16 Henry Soelistyo, Hak Cipta Tanpa Hak Moral…, h. 2.
17 Ibid., h. 3.
18 Ibid.
19 Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual…, h. 62.

8 Nur Sania Dasopang

adalah wajar perlindungan yang diberikan terhadap pengolahan dari ciptaan asli
kepada sipengelola, dengan memperhatikan hak si pencipta asli. Oleh karenanya
sipengelola diharuskan pula memprioritaskan kepentingan hukum pemegang hak
cipta asli atau sipenerima haknya. Demikian halnya dengan menerjemahkan karya
lain si penerjemah harus terlebih dahulu meminta persetujuan dari si pemegang hak
aslinya.20
Semestinya seorang penerjemah sebelum menerjemahkan karya cipta asli
terlebih dahulu meminta izin kepada pencipta atau pemegang hak (penerbit) izin
(lisensi). Tindakan itu sudah barang tentu disertai dengan kesepakatan mengenai hak
dan kewajiban masing-masing pihak. Pencipta karya cipta asli biasanya juga
mendapat royalty dari hasil penjualan karya cipta terjemahan. Besarnya royalty
tergantung kesepakatan para pihak. Izin untuk penerjemahan itu bisa juga
dimohonkan oleh penerbit kepada pencipta atau kepada penarbit yang menerbitkan
karya cipta asli itu.21
3. Dampak negatif pelanggaran Hak Cipta
Dalam era perdagangan bebas, pembajakan atau pemalsuan barang atau jasa
terkait dengan Hak Cipta dikategorikan sebagai jasa, dan hal ini akan mempunyai
dampak seperti berikut:
a. Kerugian besar terhadap ekonomi global, setiap tahun 3 s/d 7% dari jumlah
total barang adalah merupakan barang tiruan, kerugian yang diderita sekitar 70
s/d 80 juta dolar Amerika pertahun.
b. Dampak terhadap pemilik HKI menanggung biaya-biaya yang cukup besar
untuk mencegah terjadinya pembajakan.
c. Dampak terhadap konsumen, akan membahayakan keselematan konsumen
apabila produk yang dipergunakan kualitasnya jauh lebih rendah dari aslinya.

20 Ibid., h. 80.
21 Ibid.

9 Nur Sania Dasopang

d. Dampak terhadap masyarakat, keuntungan tidak sah yang diperoleh para
pemalsu akan mengalir ke tempat pencucian uang oleh kelompok-kelompok
kejahatan.
e. Pemilik HKI atau produsen resmi barang-barang asli sesungguhnya dirugikan
oleh menurunnya permintaan pasar dan juga hilangnya reputasi nama baik.
Untuk mencegah peredaran barang tiruan dan bajakan, polisi, jaksa,
pengadilan dan bea cukai, serta badan pemerintah terkait lainnya perlu mengambil
tindakan. Pengaruh buruknya terhadap ekonomi nasional adalah penganggugaran,
masalah pemalsuan menyebabkan pengangguran.22
Dari gambaran umum dampak negative pelanggaran hak cipta diatas menjadi
jelas pelanggaran hak cipta berdampak negatif terhadap seorang pencipta dan bahkan
merugikan ekonomi gelobal. Persoalan ini memunculkan tanda tanya sejauh mana
efektivitas undang-undang untuk mencegah pelanggaran- pelanggaran terhadap hak
cipta. Berikut ini penulis uraikan.
4. Analisis terhadap Pelanggaran Hukum
Idealnya, hukum dapat berperan sebagai alat pengatur atau pengontrol (law
as a tool of social control), dan dapat pula berperan sebagai alat rekayasa/ perubahan
sosial (law as a tool of social engineering), bahkan ahli sociological jurisprudence,
Rosce Pund sangat yakin bahwa hukum dapat menjadi alat untuk mengubah
masyarakat ke arah yang lebih baik. Hukum dapat digunakan untuk melakukan
perubahan-perubahan

yang

dikehendaki

dan

perubahan-perubahan

yang

direncanakan.23
Tidak dipatuhinya hukum sebenarnya menjadi problematika tersendiri yang
sangat kompleks. Menurut teori kekuatan (might theory), hukum dapat berlaku jika
22 Ade Maman, Aspek Hukum dalam Ekonomi Global, Edisi Revisi (Bogor: Ghalia Indonesia
anggota IKAPI, 2005), hlm. 131-132.
23 Soerjono Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2012), hlm. 126.

10 Nur Sania Dasopang

dipaksakan oleh penguasa terlepas diterima atau tidak oleh masyarakat. Teori ini
kelihatannya dapat berlaku efektif untuk kondisi negara dimana penguasanya betulbetul kuat, dilengkapi dengan aparatur yang terampil, tegas dan displin. Untuk negara
yang menerapkan demokrasi secara konsisten might theory ini menurut hemat penulis
tidak begitu relevan.
Sementara menurut teori pengakuan (acknowledgment theory), hukum
mempunyai kekuatan berlaku jika diterima dan diakui oleh masyarakat. Oleh karena
itu hukum mestinya merupakan the living law, hukum yang hadir dalam denyut nadi
kehidupan masyarakat. Pemberlakuan hukum mesti mempunyai dasar-dasar sosial
yang kuat agar komunitas hukum dimaksud benar-benar merasa memiliki sekaligus
mematuhi hukum. Jika tidak, suatu ketentuan hukum akan mengambil jarak dengan
masyarakat pemakainya. Hukum tersebut tidak akan pernah terinternalisasi dengan
baik ke dalam kesadaran masyarakat.
Sebuah contoh dapat dikemukakan bahwa larangan melakukan penebangan
hutan dan dipandang sebagai tindakan illegal logging di masyarakat Kubu tidak akan
pernah mereka patuhi sekalipun sanksinya cukup berat.

Suku Kubu tidak akan

pernah berhenti menebang pohon sekedar untuk kebutuhan mereka sehari-hari demi
mempertahankan hidup. Di lain pihak para penegak hukum sedang ingin membangun
citra dengan menindak tegas semua penebang pohon, bahkan seorang yang menebang
pohon di halam rumahnyapun dapat ditangkap dengan alasan melakukan penebangan
liar. Bagi mereka ketentuan hukum berupa larangan penebangan hutan tersebut
bukanlah hukum yang sesuai dengan kehidupannya, bahkan bertentangan dengan cara
hidup dan kebutuhan nyata mereka. Dan terkait dengan perlindungan hak cipta di
atas telah dikemukakan bahwa UU Hak Cipta telah alpa mengartikulasi nilai-nilai,
kaidah, dan norma-norma budaya secara jelas dan lugas, sehingga gagal beperan
sebagai pagar, tuntutan maupun pemberi arah dalam tatanan kepemilikan,
pengelolaan, dan pemanfaatan Hak Cipta, khususnya terkait dengan jaminan
perlindungan Hak Moral kepada pencipta.

11 Nur Sania Dasopang

Untuk melakukan analisis yang komprehensif terhadap hukum sebagai suatu
system, ada tiga aspek yang dapat dikaji yaitu 1. Legal substance, 2. Legal structure,
dan 3. Legal culture.24
Dari aspek legal substance dilakukan analisis terhadap materi undangundang atau peraturan lain. Dalam hal ini Undang-undang hak Cipta masih
mengandung beberapa kelemahan, misalnya karena tidak tertampungnya dengan
baik aspek budaya seperti telah disinggung. Disamping itu penting juga untuk
mencermati kekuatan undang-undang tersebut, dan dalam kaitan ini penulis akan
memfokuskan pada aspek sanksi dan denda yang terdapat pada Undang-undang
terhadap pelanggaran Hak cipta. Sebab hukum yang baik mestinya adalah hukum
yang secara imperative mengatur dan memberi sanksi yang tegas, sehingga
mempunyai efek jera.
Sanksi pidana terhadap pelanggaran hak cipta di dalam UU No.6 Tahun
1982, dan ketentuan ini berdasarkan UU No.7 Tahun 1987 sebagaimana dijelaskan
tabel dibahwah ini:
Sanksi Pidana dan Denda Pelanggaran Hak Cipta UU No.6 Tahun 1982
N
Pelanggaran
o.
1. Psl. 44 (1)
1.
2. Psl. 44 (2)- Menyiarkan
2.
3. Psl. 18
4.

Pidana Kurungan

Denda

Maksimal 3 Thn

Rp. 5 Jt

< 9 Bln

Rp 5 Jt

< 6 Bln

Rp 500 Ribu

Sanksi Pidana dan Denda Pelanggaran Hak Cipta UU No.7 Tahun 1987
N
Pelanggaran
o.
1. Psl. 44 (1)
1.
2. Psl. 44 (2)- Menyiarkan

Pidana Kurungan

Denda

Maksimal 7 Thn

Rp. 100 Jt

< 3 Thn

Rp 25 Jt

24 Khoiruddin Nasution, Pengantar Studi Islam, (Yogyakarta: ACAdeMIA+TAZZAFA, 2010),
h. 192.

12 Nur Sania Dasopang

2.
3. Psl. 16
4.
4. Psl. 18

< 6 Bln

Rp 500 Ribu

< 2 Thn

Rp 15 Jt

Ada perubahan yang cukup signifikan menyangkut ketentuan Pidana Hak
Cipta. Menurut Pasal 72 UU No. 19 Tahun 2002, bagi para pihak yang dengan
sengaja melanggar pasal-pasal dari UU No. 19 Tahun 2002 ini, di samping ancaman
pidana kurungan yang semakin berat juga ancaman dendanya semakin besar pula,
petikan dari pasal 72 tersebut dapat dilihat dari tabel-tabel sebagai berikut:
Sanksi Pidana dan Denda Pelanggaran Hak Cipta UU No. 19 Tahun 2002
No.
1.
1.
2.
2.
3.
3.
4.
4.
5.
5.
6.
6.
7.
7.
8.
8.
9.
9.

Pelanggaran
Psl. 2 (1), 49 (1). Dan (2)

Pidana Kurungan
1 bln < 7 Thn

Denda
Rp. 1 jt-5 M

Psl. 2 (1)- Mengedarkan

< 5 Thn

Rp 500 Jt

Program komputer

< 5 Thn

RP 500 Jt

Psl. 17

< 5 Thn

Rp 1 M

Psl. 19, 20, 49 (3)

< 2 Thn

Rp 150 Jt

Psl. 24, 55

< 2 Thn

Rp 150 Jt

Psl. 25

< 2 Thn

Rp 150 Jt

Psl. 27

< 2 Thn

Rp 150 Jt

Psl. 28

< 5 Thn

Rp 500 Jt

Sumber: UU No. 19 Tahun 2002
Dari penjelasan tabel di atas, sebenarnya sanksi terhadap pelanggaran Hak
Cipta

termasuk berat. Sesuai dengan landasan perubahan undang-undang

sebelumnya di pandang perlu untuk mengganti undang-undang terbaru. Kemudian

13 Nur Sania Dasopang

lahirlah UU No. 19 tahun 2002 dengan tujuan Indonesia memerlukan perlindungan
hukum yang memadai agar terdapat iklim persaingan usaha yang sehat dalam
melaksanakan pembangunan nasional.25
Diberlakukannya UU No.19 Tahun 2002 berharap membawa suatu harapan
yang positif bagi proses perlindungan hak cipta ke depan, mengingat UU No.19 tahun
2002 merupakan penyempurnaan dari UU sebelumnya sekaligus sudah diupayakan
harmonisasi dengan hasil persetujuan dalam TRIPs.26 Dengan berlandaskan pada
pembaharuan-pembaharuan ini, asumsi yang dapat di tangkap dari pembuatan
undang-undang (DPR dan presiden) adalah terciptanya upaya perlindungan hukum
hak cipta yang lebih efektif lagi dibanding dengan undang-undang sebelumnya.27
Namun menurut hemat penulis mulai tahun 2002 Undang-undang telah
diberlakukan, akan tetapi masih banyak terjadi pelanggaran terhadap hak cipta,
seperti kasus yang sudah penulis ungkapkan. Sekalipun sudah termasuk berat, sanksi
tersebut masih bisa diperberat lagi apabila dimungkinkan memasukkan unsur perdata.
Artinya, perlu dipikirkan ulang, secara substansi hukum apakah sanksi pidana telah
cukup memadai atau melengkapinya dengan sanksi perdata. Sanksi perdata bisa lebih
berat jika misalnya kerugian yang diderita oleh pemegang hak cipta ternyata sangat
besar dan melebihi angka yang terdapat pada ketentuan pidana. Seperti yang
dilakukan Microsoft terhadap penggunaan software bajakan yang dijual pedagang
komputer rakitan, karena diselesaikan secara perdata kemudian dilakukan
penghitungan kerugian yang sangat besar. Hanya saja memang terdapat kendala
karena di Indonesia belum ada penilai independen, seperti negara lain terutama
negara maju, untuk menghitung nilai kerugian akibat pelanggaran hak cipta.
Apabila kita melihat dari legal structure, lembaga, penegak hukum yang
terdiri dari hakim, jaksa, pengacara serta proses dan struktur hukum secara umum
belum terbilang menggembirakan. Kondisi hukum dari aspek ini bahkan relative
25 Adrian Sutedi, Hak Atas Kekayaan Intelektual, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hlm. 115.
26 Riswandi Budi Agus, Hak Kekayaan Intelektual dan Budaya Hukum, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2005), hlm. 23.
27 Ibid., hlm. 22.

14 Nur Sania Dasopang

memprihatinkan. Menyangkut sepak terjang hakim, Sulistyowati Irianto mensinyalir
bahwa dalam mengadili perkara, hakim lebih mengabdi pada kepentingan birokrasi
(atasan) dari pada memberi putusan sesuai keyakinan keadilannya. Lebih lanjut
Sulistyowati mengatakan bahwa hakim membutuhkan kemandirian agar dapat
menjalankan fungsinya memberi keadilan substantif kepada pencari keadilan.
Berikut ini suatu keputusan hakim yang membebaskan pelanggar hak cipta
sehingga dianggap sebagai keputusan yang tidak memenuhi rasa keadilan. Majlis
Hakim yang diketuai oleh Hanifah Hidayat Noor,SH ( 14/1-2010) membebaskan
terdakwa Hadiyanto Tjukup Wirawan, yang menggunakan Hak Cipta seni lukis logo
Asic TIGER tanpa izin milik Theng Tjhing Djie als Dede. Terdakwa Hadiyanto
Tjukup Wirawan memproduksi sepatu dengan merk profsional dari tahun 1991- 2008,
menggunakan model gambar hak cipta yang di miliki oleh Theng Tjhing Djie pada
sisi kanan dan kiri sepatu.
Sertifikat design industri yang menurut terdakwa, milik terdakwa sendiri,
baru diajukan permohonan pendaftaranya pada tanggal 29 Pebruari 2008 dan 12
maret 2008 serta memperoleh sertifikatnya pada tanggal 03 Februari 2009.
Menurut keterangan Theng Tjhing Djie pada bulan Mei 2008, dirinya telah
melaporkan terdakwa Hadiyanto kepada Polres Jakbar atas kasus Hak cipta, yaitu
menggunakan hak cipta seni lukis logo Asic TIGER milik Theng Tjhing Djie tanpa
izin.
Kemudian Agustus 2008 terdakwa melakukan gugatan perdata kepada
pengadilan Niaga Jakarta Pusat , yang intinya gugatan keberatan atas hak cipta seni
lukis logo tersebut. Namun putusan majelis hakim Pengadilan Niaga tanggal 26
November 2008 pada intinya menolak gugatan penggugat untuk seluruhnya.atas
putusan tersebut terdakwa melakukan upaya hukum kasasi ke M.A RI tanggal 11
Pebruari 2009, dan putusan MA menolak permohonan kasasi Hadiyanto Tjukup
Wirawan, hingga akhirnya in kracht. Menurut Sudjanto Sudiana, SH,MM selaku
kuasa hukum dari saksi pelapor, hakim dalam memutuskan perkara tersebut tidak
melihat dan tidak membaca putusan yang menguatkan sebelumnya dimana

15 Nur Sania Dasopang

kepemilikan yang sah atas hak cipta seni lukis logo tersebut berada di tangan Theng
Tjhing Djie alias Dede. Karena keputusannya sudah in in kracht maka tentu saja
sudah memiliki kekuatan hukum yang tetap. Selain itu, terdakwa sudah mengakui
membuat dan memproduksi sepatu itu dengan alasan design industri milik orang lain
itu dianggap variasi.28
Untuk mencegah kerugian yang lebih besar pada pihak yang hak ciptanya di
langgar, maka hakim sesuai dengan keyakinannya yang diperoleh selama pemeriksa
di pengadilan, berhak untuk memerintahkan kepada terdakwa untuk menghentikan
kegiatan pembuatan, perbanyakan, penyiaran, peredaran dan penjualan benda yang di
duga sementara sebagai benda hasil pelanggaran hak cipta.29
Reformasi peradilan belum membuahkan hasil karena masih ada peradilan
berbiaya tinggi, yang semakin menjauhkan warga masyarakat dari keadilan. Masih
ada banyak persoalan yang dihadapi hakim di lapangan, diantaranya: (1)
kesejahteraan dan fasilitas yang tidak memadai, (2) kultur pengadilan yang kurang
kondusif, (3) hakim tak punya suara dalam menentukan anggaran bagi kebutuhan
peradilan, (4) ketiadaan perlindungan keamanan, terutama mereka yang didaerah
terpencil, perbatasan, perbatasan, atau rawan konflik.30
Terkait dengan penegak hukum Hak Cipta Indonesia yang telah dilengkapi
dengan perangkat perundang-undangan yang memadai yaitu UUHC 2002 masih perlu
ditindak lanjuti dengan tindakan-tindakan untuk meningkatkannya. Misalnya, dengan
mengadakan perluasan jaringan HKI melalui kerja sama instansi yang mau tidak mau
harus dilaksanakan. Terutama dalam kondisi yang bertujuan melindungi konsumen
dari barang-barang hasil pembajakan atau peniruan produk-produk industry seperti
buku dan program komputer.31
28 http://otoritasdaerah.blogspot.com/2010/02/putusan-bebas-majelis-hakim-terhadap_01.html
diunduh pada tanggal 20 Maret 2013 pukul 15.18 WIB.
29 Roosono Harjowidigdo, Mengenal Hak Cipta Indonesia: beserta peraturan
pelaksanaannya…, hlm. 58.
30 Redaksi : Sulistyowatin Irianto, Hakim dan Ilmuan, (Kompas, No. 175 Tahun Ke- 48
(Jum’at 1 Maret 2013). hlm.7.
31 Eddy Damian, Hukum Hak Cipta, Edisi Ketiga Cetakan Ke-1 (Bandung: PT. Alumni, 2009),
h. 281.

16 Nur Sania Dasopang

Perlu diketahui pelanggaran hak cipta bukan merupakan delik aduan
melainkan delik biasa. Artinya setiap pelanggaran hak cipta bisa digugat secara
perdata oleh pemegang hak ciptanya dengan tanpa mengurangi hak Negara untuk
melakukan penuntunan secara pidana. Oleh sebab itu apabila terjadi tindak kejahatan
berupa pelanggaran hak cipta, tanpa diminta oleh pemegang hak cipta yang dilanggar
haknya, polisi atau penyidik pegawai negeri sipil yang diberi wewenang khususnya
untuk melakukan penyidikan atas pelanggaran tersebut.32
Pada kenyataannya, institusi-institusi penegak hukum di Indonesia, seperti
Direktorat Jedral HKI, Pengadilan, Polisi, Kejaksaan dan Bea Cukai di Indonesia
mempunyai jurisdiksi sendiri-sendiri dan wewenang yang dibutuhkan dalam hal
perlindungan HKI. Akan tetapi, disisi lain adalah suatu kenyataan bahwa masingmasing jurisdiksi yang dimiliki dan wewenang yang diberikan kepada institusiinstitusi ini dibatasi dengan cakupan dan tujuan wewenang yang diberikan pada
intitusi tersebut. Dengan kata lain, misalnya kasus pelanggaran hak cipta yang rumit
atau masuknya barang-barang bajakan atau tiruan memerlukan bantuan dan kerja
sama yang cepat dan tepat dari institusi berkaitan.33
Dengan demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa sampai dewasa ini,
penegakan hukum hak cipta masih menghadapi kendala-kendala yang cukup berat. 34
Penyebabnya adalah kurangnya koordinasi diantara para penegak hukum kepolisian,
kejaksaan, hakim, beacukai dan intansi lainnya yang membidangi persoalan
pelaksanaan dan strategi penegakan hukum hak cipta.35
Meskipun gairah aparat hukum dalam merespon berbagai pembajakan di
Negara kita belakangan ini tergolong tinggi, namun kalangan pencipta menilai kiprah
aparat ini masih kurang memuaskan. “ Tak ada rotan akar pun jadi”. Kiranya pepatah
using itu sangat relevan, jika dihubungkan dengan maraknya pembajakan karya-karya
32 Roosono Harjowidigdo, Mengenal Hak Cipta
pelaksanaannya, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1992), hlm. 63.
33 Ibid., h. 282.
34 Ibid., h. 276.
35 Ibid.

Indonesia:

beserta

peraturan

17 Nur Sania Dasopang

intelektualitas belakang ini. Betapa tidak Bak Jamur tumbuh dimusim hujan, bukubuku bajakan yang lagi digandrungi merebak kemana-mana. Masyarakat tidak lagi
memedulikan apakah barang tersebut asli apa palsu. Di samping kualitasnya tidak
lagi menjadi tuntutan. Daya beli yang merosot tajam, dan perang harga ikut
memperparah tingginya angka penjualan buku bajakan ini. Selain harganya relative
lebih murah di banding dengan buku asli. Jadi diharapkan pemerintah bertekad
memberantas pembajakan dengan tindakan nyata. Bila perlu apatar yang terkait
membentuk tim khusus untuk memberantas pembajakan.
Sedangkan dari aspek legal culture, belum tercipta budaya hukum yang
memungkinkan semua pihak mentaati hukum secara konsisten. Demi menciptakan
budaya hukum yang baik dibutuhkan penguatan asumsi dasar individual tentang
kemanusiaan, kebenaran, dan hubungan dengan lingkungan sosial dan alam untuk
menumbuhkan manusia-manusia berintegritas. Manusia-manusia inilah yang akan
membentuk budaya hukum masyarakat dan budaya hukum aparat penegak hukum. Ini
tentu kerja besar yang tidak dapat dilakukan secara sektoral.
Oleh karena itu masyarakat dihimbau untuk tidak membeli barang hasil
pelanggaran hak cipta/bajakan. Walaupun kemampuan atau daya beli masyarakat itu
hanya mampu untuk membeli barang bajakan yang harganya relative murah di
bandingkan dengan harga barang asli yang bukan bajakan.36
Karena itu, agenda pembangunan budaya hukum tidak dapat hanya
dilakukan dengan cara sosialisasi peraturan perundang-undangan, tetapi harus
menjadi agenda nasional dan integral dengan upaya mewujudkan bangsa Indonesia
yang bermartabat dan berintegritas.
Berdasarkan uraian tersebut dibutuhkan solusi alternative berupa ketentuan
hukum yang lebih terandalkan. Hukum Islam kiranya dapat dilirik untuk mengisi
kebutuhan ini, mengingat bahwa hukum Islam memiliki karakter yang lebih dapat
membuat masyarakat mematuhinya. Ini karena hukum Islam mengandung aspek
36 Roosono Harjowidigdo,
pelaksanaannya…, hlm. 61.

Mengenal

Hak

Cipta

Indonesia:

beserta

peraturan

18 Nur Sania Dasopang

eskatologi, yaitu pertanggungjawaban yang lebih berkelanjutan, disamping daya
akomodasinya terhadap kemaslahatan umum sesuai dengan kebutuhan objektif
manusia.
5. Hak Cipta Perspektif Hukum Islam
Islam sebagai agama yang mempunyai pedoman al-Qur’an dan Sunnah telah
mengatur atau menjelaskan bagaimana seseorang menghargai hasil cipta atau karya
orang lain. Hukum Islam memandang tindakan seseorang yang melanggar hak cipta
hanyalah sebatas domain halal atau haram. Halal dalam arti sah untuk dilakukan,
sedangkan haram, sebaliknya, dilarang keras untuk dilakukan. Karena itu kepada
pelanggaranya dikatakan telah berbuat dosa dan akan mendapat siksa kelak di
akhirat.37
Di dalam ajaran Islam terhadap larangan mencuri, hukum mencuri telah
ditegaskan dalam kitab suci al-Qur’an terdapat pada Surah al-Maidah, 5:38 yang
artinya: “laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah kedua
tangannya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan
dari Allah. Allah Maha perkasa dan Maha bijaksana.”38
Dalam kaitan ini Nabi Muhammad saw sendiri sangat tegas menjatuhkan
hukuman kepada siapapun saja yang terbukti melakukan pencurian, sebagai
sabdanya: “Demi Allah! Kalau sekiranya Fatimah binti Muhammad yang mencuri,
pasti akan kupotong tangannya.” (Riwayat Bukhari).39
Ketegasan aturan mengnai perbuatan “mencuri” ini menunjukkan pengakuan
Islam mengenai hak milik yang harus dihormati oleh setiap orang. Bagaimanapun hak
hak milik harus dilindungi dan perlu diatur perpindahannya secara adil. Di dalam
Islam, mencuri bukan hanya dianggap merugikan orang dicuri secara individual,

37 Muhammad Djakfar, Hukum Bisnis Membangun Wacana Integrasi Perundangan Nasional
dengan Syariah, (Malang: UIN Malang Press, 2009), hlm. 251-257.
38 Ibid.
39 Ibid.

19 Nur Sania Dasopang

namun juga secara sosial dalam arti luas atau bahkan juga menciderai nilai itu juga
termasuk mendhalimi Allah swt karena dianggap tidak mematuhi larangannya.40
Hukum potong tangan terhadap orang yang mencuri yang biasa di
berlakukan di Negara-negara yang berasaskan Pancasila. Di Indonesia sendiri karena
tidak berasaskan Islam maka jika terjadi pencurian hanyalah dikenakan aturan hukum
positif yang berlaku yang bersumber dari KUHPidana.41
Majelis Ulama indinesia sebagai resmi pengawal hukum Islam di Indinesia,
juga telah menetapkan bahwa hak kekayaan intelektual di pandang sebagai salah satu
huqqul al-maliyyah (hak kekayaan) yang mendapat perlindungan hukum sebagai mal
(kekayaan). Salah satunya adalah berkaitan dengan hak cipta.42
Di dalam upaya membangun atau memajukan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang sangat dibutuhkan oleh umat manusia diperlukan aturan-aturan
perilku yang harus ditaati yakni norma-norma akademis atau norma keilmuan. Yang
pokok dalam norma-norma ini adalah kejujuran ilmiah yang menuntut agar setiap
penggiat keilmuan (akademisi) misalnya, menyebutkan sumber pengambilan dari
pendapat orang lain sebagai bahan karya mereka secara jelas. Demikian saja agar
hasil ciptaannya benar-benar orosinil, bukanlah sebagai hasil plagiasi atau bajakan
karya orang lain.43
Tentu saja sebaliknya, masyarakat selaku pengguna atau penikmat jasa
ciptaan, seyogyanya menghargai setiap karya ciptaan orang lain. Setiap hasil ciptaan
sudah barang tentu melekat hak atau kepemilikan bagi si penciptanya, sehingga
dengan demikian jika sekiranya terjadi praktik duplikasi atau peniruan tanpa seizin
40 Ibid.
41 Ibid. Pengertian Pencurian menurut hukum beserta unsur-unsurnya dirumuskan dalam pasal
362 KHUP yaitu: "Barang siapa mengambil suatu benda yang seluruhnya atau sebagian milik orang
lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana
penjara paling lama 5 tahun atau denda paling banyak sembilan ratus rupiah".
42 Muhammad Djakfar, Hukum Bisnis Membangun Wacana Integrasi Perundangan Nasional
dengan Syariah..., hlm. 251-257. Fatwa yang dimaksud adalah Keputusan Fatwa Majelis Ulama
Indonesia Nomor. 1 Munas VII MUI/15/2005 Tentang Perlidungan Hak Kekayaan Intelektual (HKI).
43 Muhammad Djakfar, Hukum Bisnis Membangun Wacana Integrasi Perundangan Nasional
dengan Syariah..., hlm. 251-257.

20 Nur Sania Dasopang

pemiliknya, maka dapat dikatakan telah merampas hak orang lain tanpa alasan yang
sah.44
Hak cipta dalam pandangan Islam adalah hak kekayaan yang harus
mendapat perlindungan hukum sebagaimana perlindungan hukum terhadap harta
milik seseorang.45 Kalangan ulama kontemporer bersepakat bahwa hak-hak cipta itu
menurut syariat terpelihara. Para pemiliknya bebas memperlakukan hak cipta itu
sekehendak mereka. Tak seorangpun yang berhak melanggarnya, namun dengan
syarat, jangan sampai dalam karya-karya tulis itu ada yang melanggar syariat Islam
yang lurus. Itulah yang menjadi keputusan akhir dari lembaga pengkajian fikih Islam
yang lahir dari organisasi konferensi Islam pada pertengahan kelima di Kuwait tahun
1409 H, bertepatan dengan tahun 1988 M.46 Islam melarang terhadap perbuatan
pencurian yang dalam hal ini bisa dicontohkan seperti praktik pembajakan dan
penggandaan karya tulis yang sering terjadi di indosia. Perbutan itu jelas merupakan
tindakan pidana menurut hukum Islam.47
Bila tidak mampu untuk membeli membaca buku di tokoh buku atau
meminjam sama temankan bisa, banyak cara yang halal yang bisa diperoleh tidak
harus dengan cara haram atau melanggar undang-undang. Menurut Ippho Santosa
pengarang buku betseller yang paling terlaris sepanjang tahun 2010-2011 dia amat
menyesalkan kalau anda/kita membeli bukunya yang bajakan atau membaca PDF
illegal. Katanya itu sama saja menikamati barang curian. Karena buku buku-buku
tersebut sudah hak penerbit dan penerbit serta distributor juga ikut dirugikan. Dan
katanya jelas membeli buku-buku bajakan atau membaca illegal itu tidak berkah.48

44 Ibid.
45 Ibid.
46 Shalah ash-Shawi dan Abdullah al-Muslih, Fikih Ekonomi Keuangan Islam, (Jakarta: Darul
Haq, 2008), hlm. 315.
47 Muhammad Djakfar, Hukum Bisnis Membangun Wacana Integrasi Perundangan Nasional
dengan Syariah...., hlm. 251-257.
48 Ippho Santosa, Hanya 2 Menit Anda Bisa Tahu Potensi Rezeki Anda, Cetakan ke 4 (Jakarta:
PT Elex Media Kompitindo (Gramdia), 2012), hlm. 102.

21 Nur Sania Dasopang

Syriat Islam diturunkan untuk merealisasikan kemaslahatan dan menghindari
kerusakan.49 Dan prinsip penting yang harus dipahami secara baik adalah bahwa
dalam Islam pemilik harta yang hakiki adalah Allah Swt. Manusia hanya sebatas
menjalankan fungsi istikhlaf saja. Konsep ini memperkuat karakteristik ilahiah dalam
ekonomi Islam. Seorang muslim sejati harus mempunyai keyakinan yang kokoh
bahwa ia adalah makhluk Allah. Ia melangsungkan aktivitasnya di bumi ciptaan Allah
ini, dengan kemampuan-kemampuan yang sepenuhnya juga merupakan anugerah
Allah, dengan media yang disediakan Allah dan tentu juga mengikuti aturan-atauran
yang telah dibuat oleh Allah.50
Apabila setelah itu seorang muslim memperoleh harta, maka harta tersebut
adalah harta Allah, sedangkan manusia adalah wakil dan pemegang amanah terhadap
harta tersebut, yang pada waktunya akan dimintai pertanggungjawaban.51 Jadi
sesungguhnya kepemilikan harta bagi manusia merupakan amanah, istikhlaf, dan
mas`uliyah.
Salah satu bentuk aturan kepemilikan dalam Islam adalah diakuinya
kepemilikan individu yang diperoleh melalui cara-cara yang halal. Kepemilikan ini
pada satu sisi perlu tetap dimaknai sebagai amanah Allah, pemiliknya harus terus
menginsafi bahwa ia hanya menjalankan fungsi istikhlaf. Di sisi lain kepemilikan
tersebut harus tetap lestari, tidak boleh diserobot melalui cara-cara yang haram.
Elemen-elemen hukum Islam semisal ini perlu mewarnai aturan hukum
tentang hak cipta. Pencipta patut diberi apresiasi yang diantaranya bisa berbentuk
materi, termasuk royalty atas temuannya. Yang bersangkutan dapat menggunakan hak
tersebut untuk kepentingan kesejahteraan dirinya. Orang lain harus menghormati hak
tersebut, dan mesti menyadari bahwa tindakan pelanggaran terhadap hak cipta itu
49 Muhammad Djakfar, Hukum Bisnis Membangun Wacana Integrasi Perundangan Nasional
dengan Syariah..., hlm. 251-257.
Shalah ash-Shawi dan Abdullah al-Muslih, Fikih Ekonomi Keuangan Islam..., hlm. 316.
50 Yusuf Qardhawi, Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam, diterjemahkan oleh
Didin Hafidhuddin dkk. (Jakarta: Robbani Press, 2001), hlm. 39.
51 Muhammad Syauqi al-Fanjariy, Al-Mazhab al-Iqtisadiy fi al-Islam (Riyadh: Dar al-Funun,
1981), hlm. 135.

22 Nur Sania Dasopang

tidak hanya diancam dengan sanksi yang akan dia tanggung secara langsung di dunia
ini saja, tapi ia juga harus mempertanggungjawabkannya pada kehidupan yang lain.
Aspek istikhlaf yang memperkuat karakter ilahiah ekonomi Islam, mesti juga
menyadarkan orang bahwa mematuhi hukum berarti sekaligus mematuhi Allah SWT.

C. Kesimpulan.
HKI atau hak cipta telah mendapat jaminan kepastian hukum dengan
terbitnya UU No.19 tahun 2002. Namun payung hukum tersebut belum berkontribusi

23 Nur Sania Dasopang

secara signifikan dalam melindungi hasil karya seseorang. Undang-undang dimaksud
belum begitu efektif mengubah perilaku masyarakat dalam bertransaksi untuk
menggunakan produk kreatif di negeri ini. Persoalannya begitu kompleks, dan apabila
ditelusuri masalah utamanya bermauara pada persoalan moral.
Orientasi material ternyata berdampak sangat dalam terhadap merosotnya
nilai-nilai moral, dan dalam perilaku hukum menimbulkan tidak munculnya
kesadaran hukum masyarakat termasuk untuk mematuhi Undang-undang tentang Hak
Cipta. Aspek moral ini, ke depan harus mendapat perhatian khusus dan mesti ada
langkah-langkah serius yang simultan untuk menumbuhkan kesadaran hukum dalam
bentuk penyuluhan-penyuluhan hukum yang dapat menyentuh aspek moral
msyarakat.
Hukum Islam tampaknya dapat menjadi solusi alternative bagi perlindungan
hak cipta secara lebih efektif. Karakter hukum Islam yang bernilai ilahiah mestinya
dapat menjadi nilai tambah yang membuat orang termotivasi untuk mematuhinya, dan
diperkuat oleh pandangan objektif bahwa adalam aturan itu ada kemaslahatan yang
akan diperoleh oleh semua pihak.
Elemen-elemen

hukum

Islam

yang

berkarakter

ilahiah

patut

dipertimbangkan untuk melengkapi hukum positif tentang hak cipta. Nilai-nilai
ilahiah dan aspek eskatologi diharapkan mampu membuat orang lebh mawas diri
untuk mematuhi hukum. Kesadaran tersebut diperkuat lagi dengan pemahaman yang
utuh terhadap kemaslahatan yang dikandung oleh aturan tentang hak cipta.

DAFTAR PUSTAKA

24 Nur Sania Dasopang

Ade Maman, Aspek Hukum dalam Ekonomi Global, Edisi Revisi Bogor: Ghalia
Indonesia anggota IKAPI, 2005.
Adrian Sutedi, Hak Atas Kekayaan Intelektual, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hlm.
115.
Adul Rasyid Saliman, Hukum Bisnis untuk Perusahaan: Teori dan Contoh Kasus,
Cetakan ke-5 Jakarta: Kencana, 2010.
Eddy Damian, Hukum Hak Cipta, Edisi Ketiga Cetakan Ke-1 Bandung: PT. Alumni,
2009.
Endang Purwaningsih, Hukum Bisnis, Bogor: Ghalia Indonesia, 2010.
Fatwa yang dimaksud adalah Keputusan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor. 1
Munas VII MUI/15/2005 Tentang Perlidungan Hak Kekayaan Intelektual
(HKI).
Henry Soelistyo, Hak Cipta Tanpa Hak Moral, Cet. I Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2 011.
Henry Soelistyo, Plagiarisme pelanggaran Hak Cipta dan Etika, Yogyakarta:
Kanisius, 2011.
http://otoritasdaerah.blogspot.com/2010/02/putusan-bebas-majelis-hakimterhadap_01.html diunduh pada tanggal 20 Maret 2013 pukul 15.18 WIB.
Insane Maulana, Pelangi Hak Kekayaan Intelektual dan Anti Monopoli, (Yogyakarta:
Pusat Studi Hukum Fakultas Hukum, UII, 2000.
Ippho Santosa, Hanya 2 Menit Anda Bisa Tahu Potensi Rezeki Anda, Cetakan ke 4
(Jakarta: PT Elex Media Kompitindo Gramdia, 2012.
Khoiruddin Nasution, Pengantar Studi Islam, Yogyakarta: ACAdeMIA+TAZZAFA,
2010.
Muhammad Djakfar, Hukum Bisnis Membangun Wacana Integrasi Perundangan
Nasional dengan Syariah, Malang: UIN Malang Press, 2009.
Muhammad Djumhana dan R. Djubaidillah, Hak Milik Intelektual, Sejarah, Teori dan
Praktiknya di Indonesia, Bandung: Citra Aditiya Bakti, 1997.

25 Nur Sania Dasopang

Muhammad Syauqi al-Fanjariy, Al-Mazhab al-Iqtisadiy fi al-Islam Riyadh: Dar alFunun, 1981.
Redaksi : Sulistyowatin Irianto, Hakim dan Ilmuan, Kompas, No. 175 Tahun Ke- 48
Jum’at 1 Maret 2013.
Riswandi Budi Agus, Hak Kekayaan Intelektual dan Budaya Hukum, Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2005.
Roosono Harjowidigdo, Mengenal Hak Cipta Indonesia: beserta peraturan
pelaksanaannya, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1992.
Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual, (Intellectual Proferty Rights),
Jakarta: Rajawali Press, 2010.
Shalah ash-Shawi dan Abdullah al-Muslih, Fikih Ekonomi Keuangan Islam, Jakarta:
Darul Haq, 2008.
Soerjono Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2012.
Sudargo Adisumarto, Hak Milik Intelektual Khususnya Hak Cipta, (Jakarta:
Akademika Pressindo, 1990.
Yusran Isnaini, Hak Cipta dan Tantangannya di Era Cyber Space, Jakarta: Ghalia
Indonesia, 2009.
Yusuf Qardhawi, Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam, diterjemahkan
oleh Didin Hafidhuddin dkk. (Jakarta: Robbani Press, 2001.