PERSINGGUNGAN HAK CIPTA DAN MEREK STUDI

PERSINGGUNGAN HAK CIPTA DAN MEREK : STUDI KASUS SENGKETA LOGO
BADAK DAN SENGKETA LOGO NATASHA
Boy Prawiranegara dan Agus Sardjono
Program Kekhususan Hukum Tentang Kegiatan Ekonomi, Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, Depok, 16424

Abstrak
Kurangnya pemahaman mengenai perbedaan antara perlindungan hak cipta dan merek
menyebabkan munculnya sengketa hak cipta yang sesungguhnya merupakan sengketa merek.
Pada dasarnya Perlindungan hak cipta hanya diterapkan dalam kaitannya dengan komersialisasi
Ciptaan. Ciptaan yang dimaksud dalam konteks perlindungan hak cipta adalah karya yang
memiliki sifat khas dan pribadi yang menunjukan keasliannya dalam lapangan ilmu pengetahuan,
seni, atau sastra. Dengan demikian yang menjadi objek adalah Ciptaan itu sendiri yang
dikomersialkan melalui perbanyakan atau pengumuman. Sedangkan perlindungan merek pada
dasarnya bertujuan melindungi produk, baik itu berupa barang ataupun jasa, dari asosiasi yang
keliru terkait sumber dari produk tersebut yang kemudian akan melindungi produsen maupun
konsumen atas produk yang bersangkutan. merek sendiri didefinisikan sebagai tanda yang
berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari
unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan
barang atau jasa. Perbedaan antara kedua perlindungan diatas sering menjadi kabur terutama
ketika kekayaan intelektual yang disengketakan berupa logo yang dijadikan merek. Perlindungan

ganda memang dimungkinkan terhadap logo yang dijadikan merek namun penerapannya
haruslah melihat kembali kepentingan sebenarnya dibalik klaim yang diajukan penggugat. Jika
ingin melindungi sebuah Ciptaan dari tindakan yang melanggar hak eksklusif seseorang atas
sebuah Ciptaan (baik hak ekonomi maupun moral) maka gunakanlah perlindungan hak cipta.
Namun gunakanlah perlindungan merek apabila yang ingin dilindungi adalah sebuah produk
(barang maupun jasa) dari adanya pemalsuan asosiasi oleh pihak lain (kompetitor) yang dapat

Analisis perjanjian..., Prama Dwi Putra, FH UI, 2014 .

mengganggu tingkat penjualan maupun reputasi produk tersebut. Kata kunci : Hak Cipta, Merek,
Persinggungan HKI.
Abstract
Lack of understanding of the difference between the protection of Copyright and
protection of Trademark led to Copyright disputes which actually, if correctly characterized, at
the heart of Trademark domain. Copyright deals with protection of works in the domain of
literature, science, and art. The set of rights copyright law offers creators all relate to exploitation
of the work itself. On the other hand, Trademark law deals with association of a product, it gives
the right holder ability to attempt to control the association consumers make when they
encounter a mark. Trademark law seek to protect a product (services or goods) from false
association. Law No. 15 of 2001 regarding Marks defined Trademark as sign in the form of a

picture, name, word, letters, numeral composition of colours, or a combination of said elements,
having distinguishing features and used in the activities of trade in goods or services.The line
between these two different regime is often blurred when it comes to logo. Logo, particularly
when they are used as a mark, is one of those spaces of intellectual property where there is great
deal of overlap between Copyright and Trademark. Even though Copyright and Trademark
protection may be applied to such a logo, its application, when a dispute arise, should depend on
the interest the claimant seek to protect. Copyright protection should be applied if the interest
seek to protect are the incentives given by Copyright law and the economic rights that come form
the limited monopoly copyright law grants. Trademark protection applied when the interest seek
to protect inhere in integrity, reputation, or false association of a product.
Keywords : Copyright, Trademark, Intellectual Property Rights Interfaces

Pendahuluan
Untuk memudahkan konsumen mengenali barang atau jasa yang diinginkannya maka
dibuatlah suatu merek. merek berfungsi sebagai sarana bagi konsumen untuk mengidentifikasi
sumber barang. Fungsi yang demikian mengharuskan suatu merek berbeda dengan merek lain
agar tidak menimbulkan kesulitan bagi konsumen dalam mengidentifikasi sumber barang.

Analisis perjanjian..., Prama Dwi Putra, FH UI, 2014 .


Dengan adanya kemudahan mengidentifikasi sumber barang ini maka konsumen akan lebih
mudah dalam memilih barang sesuai dengan reputasi yang diinginkannya.
Dalam dunia perdagangan sering terjadi peniruan merek terutama terhadap merek yang
memiliki reputasi baik. Pelanggaran merek ini dilakukan agar konsumen mengira produk yang
akan dibelinya tersebut seolah-olah memiliki kualitas baik sesuai dengan yang diharapkan
konsumen di pasar pada umumnya. Pelanggaran merek ini umumnya dilatarbelakangi
pertimbangan ekonomi karena untuk membangun reputasi yang baik biasanya produsen harus
menghabiskan biaya dan waktu yang tidak sedikit.
Adanya kerugian-kerugian diatas sejatinya merupakan latar belakang atau kepentingan
dibalik suatu klaim pelanggaran merek. Namun dalam praktiknya, penulis menemukan adanya
kekurangpahaman hakim dalam menganalisa kepentingan sesungguhnya dibalik suatu klaim
terhadap sengketa HKI yang objeknya memilik perlindungan HKI yang bersinggungan.
Kekurangpahaman tersebut terefleksi dalam Sengketa logo “Badak” (Putusan Pengadilan
Niaga No. 28/Hak cipta/2010/PN.Niaga.JKT.PST Tanggal 21 Juli 2010 jo Putusan Mahkamah
Agung RI No. 766 K/Pdt.Sus/2010 Tanggal 30 November 2010), dan Sengketa logo
“NATASHA” (Putusan Pengadilan Niaga No. 02/HAKI /C/2009/PN.NIAGA.Smg jo Putusan
Mahkamah Agung Nomor : 698 K/Pdt.Sus/2009). Kedua sengketa diatas dianggap sebagai
sengketa hak cipta, namun apabila melihat kepentingan sesungguhnya dibalik klaim yang
diajukan penggugat, sengketa tersebut seharusnya merupakan sengketa merek.
Dalam kedua sengketa diatas terjadi persinggungan antara hak cipta dan merek.

Persingungan dalam kedua sengketa diatas terjadi karena logo adalah salah satu bentuk kekayaan
intelektual yang perlindungannya dapat berupa hak cipta maupun merek. Meskipun kedua
perlindungan tersebut dimungkinkan ada pada objek yang sama namun lingkup perlindungan hak
cipta dan merek terhadap objek tersebut berbeda karena antara perlindungan hak cipta dan merek
terdapat perbedaan mendasar terutama dari segi tujuan.
Pembahasan
Dalam praktiknya sering ditemukan adanya kasus hak cipta yang sebenarnya merupakan
sengketa merek. hak cipta dan merek pada dasarnya merupakan perlindungan kekayaan

Analisis perjanjian..., Prama Dwi Putra, FH UI, 2014 .

intelektual yang berbeda. Namun perbedaan tersebut terkadang menjadi kabur ketika
membicarakan kekayaaan intelektual berupa logo yang didaftarkan sebagai merek. Dalam
sebuah jurnal hak kekayaan intelektual, terkait persinggungan antara hak cipta dan merek, Agus
Sardjono memberikan gambaran kasus yang rentan terhadap persinggungan tersebut sebagai
berikut : 1
A sebuah perusahaan memesan logo dari seseorang bernama B. Kemudian setelah B
selesai membuat logo tersebut, kita asumsikan logo tersebut merupakan Ciptaan atau dengan
kata lain gambar yang dilindungi hak cipta berdasarkan Pasal 12 ayat (1) f Undang-Undang No.
19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta. Karena logo tersebut merupakan Ciptaan, B dapat disebut

sebagai Pencipta berdasarkan Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta.
A kemudian mendaftarkan logo tersebut ke Direktorat Hak Cipta, DJHKI. Berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang ada, Direktorat Hak Cipta biasanya akan menerima
pendaftaran itu, meskipun dalam ranah perlindungan hak cipta, pendaftaran bukanlah syarat
untuk adanya perlindungan hak cipta. A sebagai pihak yang melakukan pendaftaran itu
kemudian memperoleh kualifikasi sebagai pemegang hak cipta atas logo tersebut.
Selanjutnya karena niat perusahaan itu ketika memesan logo adalah memang untuk untuk
menjadikannya sebagai merek, maka A kemudian mendaftarkan logo tersebut ke Direktorat
Merek. Setelah terdaftar, logo itu dilekatkan pada sebuah produk.
Perlindungan manakah yang berlaku terhadap logo tersebut ? hak cipta ataukah merek ?
Apakah keduanya dapat diberlakukan secara bersamaan apabila terjadi sengketa terhadap logo
tersebut ? Sebelum menjawab pertanyaan tersebut mari kita lihat beberapa komentar yang khusus
membahas mengenai perbedaan antara hak cipta dan merek.2 Berikut beberapa definisi yang
perlu diperhatikan dalam memahami perbedaaan antara perlindungan hak cipta dan merek :

Pasal 1 angka (1) UU 19 2002 hak cipta

                                                             
1


Sardjono, Titik Singgung Perlindungan HKI : Hak cipta, merek, dan Desain Industri, 32.

2

Adanya pemahaman yang mendalam mengenai perbedaan antara Hak cipta dan merek dapat membantu
kita untuk menentukan perlindungan HKI yang sebaiknya diterapkan dalam sengketa tersebut.

Analisis perjanjian..., Prama Dwi Putra, FH UI, 2014 .

“Hak cipta adalah hak eksklusif bagi Pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau
memperbanyak Ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi
pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”.3

Pasal 1 angka (3) UU 19 2002 hak cipta
“Ciptaan adalah setiap karya Pencipta yang menunjukan keasliannya dalam lapangan ilmu
pengetahuan, seni, atau sastra”.4

Pasal 1 angka (1) UU 15 2001 merek
“Merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan
warna, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan

dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa”.5

Pasal 1 angka (2) UU 15 2001 merek
“Merek Dagang adalah merek yang digunakan pada barang yang diperdagangkan oleh
seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan
dengan barang-barang lainnya”.6
Dari definisi-definisi tersebut dapat disimak beberapa clue yang sesungguhnya dan
seharusnya mendasari penafsiran tentang subject matter dari tiap-tiap peraturan di atas.7
Beberapa hal berikut adalah analisis tentang clue yang dimaksud:
1.

Perlindungan hak cipta hanya diterapkan dalam kaitannya dengan komersialisasi
ciptaannya (the works). Dengan demikian, yang menjadi objek adalah ciptaan (works) itu

                                                             
3

Indonesia, Undang-Undang Tentang Hak Cipta. UU No. 19 2002, LN No. 85 Tahun 2002, TLN No.
4220, Ps. 1 angka 1.
4

Ibid.
5
Indonesia, Undang-Undang Tentang merek. UU No. 15 2001, LN No. 110 Tahun 2001, TLN No. 4131,
Ps. 1 angka 1.
6
Ibid.
7
Sardjono, Titik Singgung Perlindungan HKI : Hak cipta, merek, dan Desain Industri, Volume 1 Nomor 1,
Asosiasi Konsultan Hak Kekayaan Intelektual, April 2012, 29.

Analisis perjanjian..., Prama Dwi Putra, FH UI, 2014 .

sendiri yang dikomersialkan melalui perbanyakan atau pengumuman, bukan produk yang
ada di dalam kemasan atau barang-barang (produk) yang dibuat berdasarkan pola desain
tertentu.
2.

Kemasan biasanya digunakan sebagai penanda (merek) dari produk yang dikemas.
Dengan demikian, komersialisasinya dilakukan bukan terhadap kemasannya, melainkan
atas produknya. Contoh : produknya adalah kacang. Kacang itu dikemas di dalam plastik,

karton, atau kertas yang diberi gambar dan tanda-tanda lainnya. Meskipun gambar pada
kemasan tentu saja diciptakan oleh seseorang, tetapi gambar itu sendiri tidak
dimaksudkan sebagai produknya, melainkan sebagai identitas produk atau untuk
mengidentifikasi suatu produk dari produk lainnya yang sejenis. Itu sebabnya
dipersyaratkan adanya daya pembeda (distinctiveness). Di sinilah domain hukum merek.

3.

Ciptaan (works) yang dimaksud dalam konteks perlindungan hak cipta adalah ciptaan
dalam lapangan ilmu pengetahuan, seni, atau sastra. WIPO IP Handbook dengan jelas
menyebutkan bahwa “Copyright protection is above all one of the means of promoting,
enriching, and disseminating the national cultural heritage”. Dengan demikian, ada
kualitas tertentu dari ciptaan (bersifat kultural), yang tentunya tidak dimaksudkan sebagai
tanda merek (mark), dan bukan pula sebagai pola (pattern). Ciptaan dibuat dalam
kaitannya dengan ilmu pengetahuan (misal : text book), seni (musik, lukisan, atau
patung), atau sastra (puisi, novel, dsb).8

Agus Sardjono menyimpulkan perbedaan antara hak cipta dan merek sebagai berikut : 9
-


Perlindungan hak cipta hanya diterapkan dalam kaitannya dengan komersialisasi Ciptaan.
Dengan demikian yang menjadi objek adalah Ciptaan itu sendiri yang dikomersialkan
melalui perbanyakan atau pengumuman.

-

Kemasan biasanya digunakan sebagai penanda (merek) dari produk yang dikemas.
Dengan demikian komersialisasinya dilakukan bukan terhadap kemasannya, melainkan
atas produknya. Bukan kemasannya yang bagus, tapi produknya yang bagus. Kemasan
beserta gambar-gambarnya hanya menunjukan sumber pembuat produk tersebut.
Meskipun gambar itu sendiri diciptakan oleh seseorang, tetapi gambar itu sendiri tidak

                                                             
8
9

Ibid., hal. 31.
Sardjono, Titik Singgung Perlindungan HKI : Hak cipta, merek, dan Desain Industri, 30-31.

Analisis perjanjian..., Prama Dwi Putra, FH UI, 2014 .


dimaksudkan sebagai produknya, melainkan sebagai identitas produk atau untuk
mengidentifikasi suatu produk dari produk lainnya yang sejenis. Itu sebabnya
dipersyaratkan adanya daya pembeda (distinctiveness).
-

Ciptaan yang dimaksud dalam konteks perlindungan hak cipta adalah ciptaan dalam
lapangan ilmu pengetahuan, seni, atau sastra. "Copyright protection is above all one of the
means of promoting, enriching, and disseminating the national cultural heritage". Dengan
demikian ada kualitas tertentu dari ciptaan (bersifat kultural), yang tentunya tidak
dimaksudkan sebagai tanda merek, dan bukan pula sebagai pola. Ciptaan dibuat dalam
kaitannya dengan ilmu pengetahuan (text book), seni (musik, lukisan, patung), atau sastra
(puisi, novel, dsb) .10

Terdapat beberapa hal yang bisa disimpulkan dari pendapat-pendapat diatas.
Perlindungan hak cipta dan perlindungan merek pada dasarnya memiliki tujuan yang berbeda.
hak cipta bertujuan untuk memacu Pencipta atau “calon-calon Pencipta” menggunakan
kreatifitas yang dimilikinya untuk memproduksi Ciptaan. Hak yang diberikan dalam
Perlindungan hak cipta merupakan sebuah insentif untuk memacu kreatifitas. Konsep
perlindungan hak cipta didasari adanya pandangan bahwa apabila perlindungan hak cipta
(beserta insentif-insentif yang ada didalamnya) tidak ada, maka sebagian besar orang akan
enggan untuk menjadi Pencipta.
Perlindungan merek, disisi lain, tidak menempatkan kreatifitas sebagai tujuan utama.
Bahkan dikatakan bahwa tidak diperlukan kreatifitas untuk membuat suatu merek.11
Perlindungan merek sangat erat kaitannya dengan menjaga asosiasi yang ada antara suatu
produk, merek, dan produsen dari produk yang bersangkutan. Semangat dari kerangka hukum
perlindungan merek pada dasarnya bertujuan melindungi produk, baik itu berupa barang ataupun
jasa, dari asosiasi yang keliru terkait sumber dari produk tersebut. Hak ekslusif yang terdapat
dalam hak cipta memberikan Pencipta hak untuk mengendalikan distribusi dari Ciptaan itu
                                                             
10

Lihat juga Jurnal yang ditulis oleh Bernt Hugenholtz, berjudul : Works of Literature, Science and Art.
http://www.ivir.nl/publications/hugenholtz/100jrAUTWET.pdf dimana terdapat gagasan yang menegaskan bahwa
perlindungan Hak cipta hanya berlaku apabila Ciptaan tersebut dalam lingkup ilmu pengetahuan, seni, atau sastra.
Suatu karya intleketual berada di luar ketiga lingkup tersebut maka sesungguhnya tidak dilindungi Hak cipta.
11
Penulis berpendapat bahwa kreatifitas, dalam pembuatan merek, tetap dibutuhkan dalam rezim merek.
Akan tetapi kreatifitas tersebut berada dalam ruang yang berbeda dengan Hak cipta. Kreatifitas dalam Hak cipta
berada dalam ruang ilmu pengetahuan, seni atau sastra.

Analisis perjanjian..., Prama Dwi Putra, FH UI, 2014 .

sendiri. Sedangkan Hak atas merek merupakan hak yang memberikan pengendalian terhadap
asosiasi yang akan didapatkan konsumen ketika melihat suatu merek.
Perbedaan tujuan ini juga membedakan kepentingan dari klaim pelanggaran hak cipta dan
merek. Dalam hal terjadi sengketa pelanggaran hak cipta, terutama bila terjadi pelanggaran
terhadap hak ekonomi dari hak cipta, kepentingan dibalik klaim yang diajukan oleh penggugat
adalah tergugat telah melanggar hak eksklusif milik penggugat dengan mengkomersialisasikan
Ciptaan itu sendiri baik dengan perbanyakan maupun pengumuman Ciptaan.
Sedangkan dalam sengketa merek, kepentingan dibalik klaim yang diajukan penggugat
adalah terkait perlindungan terhadap penjualan dari produk yang dilekatkan merek yang
disengketakan itu sendiri. Pemegang merek merasa komersialisasi produknya terganggu karena
tindakan tergugat yang melanggar asosiasi yang muncul dari produk milik penggugat. Penggugat
menginginkan ketika konsumen di pasar melihat merek dari penggugat melekat dalam sebuah
produk, konsumen mengasosiasikan produk tersebut dengan penggugat sebagai sumber dari
produk tersebut. Penggugat tidak ingin produk (barang maupun jasa) yang bukan hasil
produksinya diasosiasikan dengan dirinya.
Kembali kepada pertanyaan “apabila logo yang dipesan A tersebut kemudian digunakan
sebagai merek perlindungan manakah yang berlaku ? hak cipta ataukah merek ? Apakah
keduanya dapat diberlakukan secara bersamaan apabila terjadi sengketa terhadap logo tersebut ?
Menurut Agus Sardjono berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang No. 19
Tahun 2002 Tentang Hak Cipta dan Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 Tentang Merek,
memang dimungkinkan adanya double protection terhadap objek tersebut. Namun apabila kita
cermati betul tujuan dari pengaturan masing-masing peraturan itu (teleological perspective) dan
sistematika pengaturannya, maka sejatinya logo yang dipesan A tersebut hanya akan dilindungi
perlindungan merek.12
Rumusan-rumusan yang terdapat dalam Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 Tentang
Hak Cipta memberikan peluang bagi A untuk menggunakan perlindungan hak cipta atas logonya
tersebut meskipun sebenarnya yang terjadi adalah pelanggaran merek. Hal semacam ini dapat

                                                             
12

Sardjono, Titik Singgung Perlindungan HKI : Hak cipta, merek, dan Desain Industri, 32.

Analisis perjanjian..., Prama Dwi Putra, FH UI, 2014 .

terjadi karena dalam pelanggaran merek hampir selalu terdapat tindakan perbanyakan logo yang
dijadikan merek.
Perlindungan hak cipta juga kerap diterapkan terhadap sengketa yang objeknya berupa
merek dengan alasan adanya pendaftaran Ciptaan terhadap merek tersebut. Dalam praktek
banyak gambar-gambar yang didaftarkan sebagai hak cipta tetapi sesungguhnya akan digunakan
sebagai merek.13 Hal ini semakin memperkeruh batasan perlindungan hak cipta dan merek
terhadap suatu karya. Disini penegak HKI harus lebih memahami perbedaan antara perlindungan
hak cipta dan merek terutama dari segi tujuan. Penafsiran terhadap undang-undang (dalam hal ini
Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta dan Undang-Undang No. 15 Tahun
2001 Tentang Merek) yang dilakukan secara parsial berpotensi menimbulkan gesekan, terutama
disebabkan karena undang-undang tersebut memberi peluang untuk adanya gesekan itu.
Dalam ranah akademik, persoalan ini dimaknai sebagai titik singgung perlindungan HKI
yang disebabkan karena bunyi norma undang-undang yang memiliki makna ganda.14 Makna
ganda tersebut dapat membuat garis pemisah antara suatu perlindungan HKI dengan lainnya
menjadi samar-samar. Ketika hal ini terjadi, pemahaman terhadap tujuan dari masing-masing
perlindungan kekayaan intelektual tersebut dapat memperjelas garis pemisah yang sebelumnya
samar-samar tersebut.
Jika ingin melindungi sebuah Ciptaan dari tindakan yang melanggar hak eksklusif
seseorang atas sebuah Ciptaan (baik hak ekonomi maupun moral) maka gunakanlah
perlindungan hak cipta. Namun gunakanlah perlindungan merek apabila yang ingin dilindungi
adalah sebuah produk (barang maupun jasa) dari adanya pemalsuan asosiasi oleh pihak lain
(kompetitor) yang dapat mengganggu tingkat penjualan maupun reputasi produk tersebut.

ANALISIS KASUS
Sengketa Hak Cipta Logo Badak (Hak cipta : Putusan Nomor 28/ hak cipta/ 2010/ PN. Niaga.
JKT. PST. Jo. Putusan Mahkamah Agung Nomor 766 K/ Pdt Sus/ 2010).
                                                             
13
14

Sardjono, Titik Singgung Perlindungan HKI : Hak cipta, merek, dan Desain Industri, 32.
Ibid.

Analisis perjanjian..., Prama Dwi Putra, FH UI, 2014 .

Gambar 115

Wen Ken Drug, sebuah perusahaan yang berkedudukan di Singapura, adalah produsen
minuman dengan merek Cap Kaki Tiga disertai dengan Logo Badak. Dalam keterangannya, logo
tersebut telah digunakan Wen Ken Drug sejak tahun 1937. merek Cap Kaki Tiga dengan logo
Badak milik Wen Ken Drug adalah merek yang sudah diperkenalkan atau dipromosikan ke
publik sejak tahun 1937. Wen Ken Drug mengatakan bahwa promosi merek Cap Kaki Tiga
dengan Lukisan Badak tersebut telah dilakukan olehnya ke seluruh dunia khususnya Asia
sehingga sudah menjadi merek yang sangat terkenal.
Pada tahun 1980 Wen Ken Drug dan Tjio Budi Yuwono pernah melakukan kerja sama
dalam memproduksi, menjual, memasarkan, dan mendistribusikan produk minuman larutan
penyegar dengan mempergunakan merek Cap Kaki Tiga hingga akhirnya keduanya memutuskan
hubungan kerja sama pada tahun 2008. Setelah kerja sama keduanya berakhir, Wen Ken Drug
mengetahui adanya penggunaan logo Badak serta adanya pendaftaran Ciptaan logo Badak oleh
Tjio Budi Yuwono (TBY). Wen Ken Drug kemudian, melalui kuasa hukumnya, melakukan
gugatan pembatalan pendaftaran Ciptaan lukisan dengan judul “Badak dan Tulisan Laroetan
Penjegar” nomor 028036 (27 Juli 2005) dan lukisan dengan judul “Badak + Kaligrafi Arab &
Tulisan Larutan Penyegar Badak” nomor 027523 (11 Agustus 2004) keduanya atas nama Tjio
Budi Yuwono. Gugatan didasarkan pada adanya itikad tidak baik yang dilakukan Tjio Budi
Yuwono (Tergugat) dengan tanpa seizin maupun sepengetahuan Penggugat mendaftarkan
lukisan atau Logo Badak yang telah digunakan Penggugat sebagai merek sejak tahun 1937
                                                             
15

  Ciptaan

lukisan Badak + Kaligrafi Arab & Tulisan Larutan Penyegar Badak” nomor

027523 

Analisis perjanjian..., Prama Dwi Putra, FH UI, 2014 .

tersebut. Selain gugatan pembatalan pendaftaran Ciptaan, Penggugat juga menggugat TBY
dalam perkara yang terpisah dengan gugatan pembatalan pendaftaran merek.
Bagi Penggugat, sejak tahun 1937,

Logo Badak tersebut merupakan satu kesatuan

dengan merek Cap Kaki Tiga yang dimilikinya. Tergugat, selain mendaftarkan hak cipta kedua
Logo Badak tersebut atas namanya, juga menggunakan logo tersebut sebagai merek atas produk
minuman yang diproduksinya. Hal ini menyebabkan adanya dua produk minuman larutan
penyegar di pasar yang sama-sama menggunakan Logo Badak dalam kemasannya. Penggugat
keberatan dengan hal tersebut karena kerjasama antara keduanya sudah berakhir dan Penggugat
sudah tidak memberikan izin kepada Tergugat terhadap penggunaan Logo Badak yang
disengketakan.
Analisis Terhadap Sengketa Logo Badak
Apakah kepentingan dibalik klaim yang diajukan oleh Penggugat ? Penggugat keberatan
terhadap penggunaan Logo Badak yang dilakukan oleh Tergugat yang digunakan dalam produk
minuman yang diproduksi oleh Tergugat. Penggugat merasa dirugikan karena penggunaan logo
tersebut dapat berdampak negatif terhadap penjualan produk minuman yang dilakukan
Penggugat. Dampak negatif tersebut terutama terhadap tingkat penjualan dimana kemungkinan
besar akan berkurang akibat adanya pengambilan sebagian pasar oleh Tergugat.
Penggugat merasa logo tersebut merupakan haknya karena sejak tahun 1937 Penggugat
telah memperkenalkan atau mempromosikan ke publik merek Cap Kaki Tiga beserta logo Badak
yang merupakan satu kesatuan dalam produknya. Penggugat merasa logo Badak tersebut
merupakan media untuk mengasosiasikan Penggugat dengan produknya yang telah memiliki
reputasi yang baik.
Perlu diketahui bahwa terhadap logo Badak tersebut selain sengketa hak cipta (Putusan
Nomor 28/ hak cipta/ 2010/ PN. Niaga. JKT. PST. Jo. Putusan Mahkamah Agung Nomor 766 K/
Pdt Sus/ 2010) terdapat juga sengketa merek (Putusan Nomor 29/ merek/ 2010/ PN. Niaga. JKT.
PST. Jo. Putusan Mahkamah Agung Nomor 767 K/ Pdt Sus/ 2010). Dalam sengketa merek
tersebut Penggugat (WKD) keberatan dengan penggunaaan dan pendaftaran lukisan Badak oleh
Tergugat (SBS) karena lukisan tersebut mempunyai persamaan pada pokoknya dengan merek
Terkenal Cap Kaki Tiga yang terdapat Lukisan Badak milik Penggugat.

Analisis perjanjian..., Prama Dwi Putra, FH UI, 2014 .

Dalam sengketa hak cipta (Putusan No. 28 hak cipta/ 2010/PN. Jkt.Pst Jo. Putusan 766 K
Pdt Sus 2010) Objek : Lukisan Badak 028036 dan 027523 Penggugat menyatakan bahwa dia
adalah yang pertama kali mengumumkan lukisan Badak tersebut yang digunakan dalam
perdagangan larutan penyegar yang melekat pada merek Cap Kaki Tiga. Pernyataan ini
memperjelas peruntukan dari lukisan Badak sebagai merek atau dengan kata lain komersialisasi
dilakukan bukan terhadap lukisan Badak namun terhadap produk minuman yang diproduksi oleh
Penggugat.
Dalam sengketa merek (Putusan No. 29 merek/2010/PN.Niaga.Jkt.Pst. Jo. Putusan 767 K
Pdt Sus 2010) Objek : “Merek Lukisan Badak” Penggugat berargumen bahwa merek Cap Kaki
Tiga dengan lukisan Badak adalah satu kesatuan yang merupakan merek milik Penggugat
sehingga Penggugat (WKD) keberatan dengan penggunaaan dan pendaftaran lukisan Badak oleh
Tergugat (SBS) yang memiliki persamaan pada pokoknya dengan lukisan Badak milik
Penggugat.
Berdasarkan argumen-argumen yang disampaikan Penggugat dalam kedua sengketa
diatas, kepentingan Penggugat terhadap logo Badak sejatinya merupakan kepentingan merek.
Penggugat tidak hanya keberatan dengan perbanyakan atau pengumuman logo Badak semata
melainkan terhadap perbanyakan atau pengumuman yang diikuti pelekatan logo Badak tersebut
pada produk yang tidak diproduksi olehnya.
Kesimpulan
Menurut penulis kepentingan dibalik klaim Penggugat sebenarnya lebih dilindungi rezim
merek. Penggugat tidak ingin logo tersebut digunakan oleh Tergugat dalam produk yang
diproduksi oleh Tergugat. Kerugian yang dialami Penggugat bukan akibat perbanyakan Logo
Badak semata, tapi lebih karena adanya pelekatan logo badak dalam produk yang diproduksi
oleh Tergugat. Apabila Tergugat hanya melakukan perbanyakan terhadap Logo Badak semata
tanpa menjadikannya sebuah merek maka hal tersebut bisa jadi tidak merugikan Penggugat,
justru yang terjadi adalah Tergugat membantu Penggugat mengiklankan produknya.
Penggugat merasa Logo badak tersebut merupakan haknya karena merupakan satu
kesatuan dengan merek Penggugat yang terdaftar dengan nama "Cap Kaki Tiga".

Hal ini

mengingat adanya fakta bahwa sejak 1937 dalam produk milik Penggugat Logo Cap Kaki Tiga

Analisis perjanjian..., Prama Dwi Putra, FH UI, 2014 .

selalu diikuti dengan adanya logo Badak, sehingga menurutnya lukisan badak merupakan satu
kesatuan dengan merek Penggugat yang terdaftar dengan nama Cap Kaki Tiga.
Salah satu hal yang menarik adalah adanya fakta bahwa antara Penggugat maupun
Tergugat pada awalnya merupakan rekan bisnis akan mempersulit untuk mengatakan bahwa
dalam penggunaan logo badak tersebut telah terjadi kerugian di pihak konsumen akibat adanya
penurunan kualitas dalam produk milik Tergugat. Hal ini mengingat jauh sebelum sengketa
tersebut terjadi keduanya memang sempat bersama-sama membangun produk tersebut dan besar
kemungkinan kualitas dari kedua produk yang dihasilkan sama karena Penggugat telah
memberikan lisensi sehingga melakukan pengawasan kualitas terhadap kinerja Tergugat selama
kurang lebih 30 tahun memproduksi produk tersebut. Meskipun sulit untuk mengatakan terjadi
kerugian di pihak konsumen karena adanya penurunan kualitas, adanya kepentingan Penggugat
yang tidak ingin logo tersebut digunakan oleh Tergugat dalam produk yang diproduksi oleh
Tergugat tidak menghalangi penulis untuk mengatakan bahwa sengketa ini merupakan sengketa
merek.
Bagaimana pemahaman Majelis Hakim yang menangani sengketa hak cipta tersebut
terhadap penerapan Perlindungan hak cipta dan merek ? Berdasarkan pendapat-pendapat dari
Majelis Hakim yang menangani perkara tersebut yang terdapat dalam putusan baik tahap judex
factie (Pengadilan Niaga) maupun tahap judex juris (Pengadilan Mahkamah Agung), terutama
yang telah penulis jabarkan sebelumnya, Penulis melihat Majelis Hakim gagal dalam
mengidentifikasi kepentingan dibalik klaim yang dilakukan Penggugat dan mengaitkannya
dengan semangat dari Perlindungan hak cipta dan merek. Selain itu Penulis melihat adanya
percampuran pemahaman antara Perlindungan hak cipta dan merek.
Dalam tingkat Pengadilan Niaga pendapat Majelis Hakim “Bahwa yang menjadi pokok
permasalahan dalam perkara ini, apakah benar Penggugat telah menggunakan atau yang pertama
kali mengumumkan seni Lukis Badak, sehingga Tergugat mendaftarkan seni lukis tersebut
dengan itikad tidak baik ? dan pendapat “Bahwa dari uraian pertimbangan tersebut di atas
dimana pihak Tergugat tidak dapat membuktikan kalau dia terlebih dahulu menggunakan atau
mengumumkan Ciptaan Badak, maka telah terbukti kalau Penggugatlah yang pertama kali
menggunakan

dan

mengumumkan

Ciptaan

seni

lukis

Badak”

ketidakpahaman Majelis Hakim tentang munculnya hak cipta.

Analisis perjanjian..., Prama Dwi Putra, FH UI, 2014 .

menunjukan

adanya

Menurut Pasal 1 angka (2) Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta,
“seseorang atau beberapa orang dapat disebut sebagai Pencipta setelah melahirkan suatu Ciptaan
berdasarkan kemampuan pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan, atau keahlian yang
dituangkan dalam bentuk yang khas dan pribadi”. Kemudian dalam penjelasan Pasal 12 ayat (3)
Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta, “perlindungan hak cipta berlaku juga
terhadap semua Ciptaan yang tidak atau belum diumumkan, tetapi sudah merupakan suatu
kesatuan yang nyata, yang memungkinkan perbanyakan hasil karya itu”. Dari rumusan tersebut
dapat disimpulkan bahwa hak cipta muncul atau lahir sesaat setelah dilakukan fiksasi atau
dengan kata lain setelah sebuah ide telah dituangkan (fixation) kedalam sebuah “bentuk” yang
nyata (fixed form). Persoalan siapakah yang “Pertama kali menggunakan” atau “pertama kali
mengumumkan” sebuah Ciptaan tidak menentukan siapa yang menjadi Pencipta dari Ciptaan
tersebut.
Penggunaan pertama merupakan konsep perlindungan merek dalam sistem deklaratif
yang pernah dianut di Indonesia sebelum kemudian diubah menjadi sistem konstitutif.16
Kemudian dalam tingkat yang sama (Pengadilan Niaga) pendapat Majelis Hakim “Bahwa dari
bukti P-4 Jo T-15 berupa surat persetujuan pemberian merek Dagang Cap Kaki Tiga bila
dihubungkan dengan bukti P-2 berupa gambar kemasan Cap Kaki Tiga dengan menggunakan
logo Badak, bukti mana membuktikan bahwa sejak adanya Cap Kaki Tiga yaitu sejak tahun
1937, maka sejak itu seni lukis Badak telah dipakai dan dipromosikan oleh Penggugat”
menunjukan bahwa Majelis Hakim, dalam tingkat ini, telah mengetahui logo Badak tersebut
peruntukannya sebagai merek.
Dalam tingkat Mahkamah Agung Majelis Hakim berpendapat “Bahwa Pemohon
Kasasi/Tergugat dengan kreasi sendiri gambar Badak yang sudah cukup banyak digunakan,
dengan menggunakan bahasa Indonesia dengan adanya tulisan Arab yang tidak ada persamaan
sama sekali dengan apa yang digunakan oleh Penggugat di Negaranya”. mereka juga
berpendapat “Pemohon Kasasi Sebagai pengusaha nasional Indonesia telah mendaftarkan merek
Ciptaan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku”. Kalimat “digunakan” menunjukan
                                                             
16

Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1961 Tentang merek Perusahaan dan merek
Perniagaan “Hak khusus untuk memakai suatu merek guna membedakan barang-barang hasil perusahaan atau
barang-barang perniagaan seseorang atau sesuatu badan dari barang-barang orang lain diberikan kepada barangsiapa
yang untuk pertama kali memakai merek itu untuk keperluan tersebut di atas di Indonesia...”

Analisis perjanjian..., Prama Dwi Putra, FH UI, 2014 .

bahwa Majelis Hakim mengetahui bahwa komersialisasi tidaklah dilakukan terhadap Logo
Badak tersebut. Para pihak yang bersengketa bukanlah penjual logo Badak. mereka adalah
produsen minuman yang menggunakan Logo Badak sebagai merek atau paling tidak bagian dari
suatu merek. Perlindungan hak cipta pada dasarnya hanya diterapkan dalam kaitannya dengan
komersialisasi Ciptaan. Dengan demikian yang menjadi objek adalah Ciptaan itu sendiri yang
dikomersialkan melalui perbanyakan atau pengumuman.
Majelis Hakim dalam tingkat Pengadilan Niaga sempat mempertanyakan kesesuaian
pendaftaran yang dilakukan oleh Tergugat dengan ketentuan Undang-Undang No. 19 Tahun
2002 Tentang Hak Cipta dari segi kriteria Pencipta sebagaimana dimaksud Pasal 1 angka (2)
Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta dan kriteria Ciptaan yang dimaksud
dalam Pasal 1 angka (3) Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta. Menurut Pasal
1 angka (2) “Pencipta adalah seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama yang atas
inspirasinya melahirkan suatu Ciptaan berdasarkan kemampuan pikiran, imajinasi, kecekatan,
dan keterampilan atau keahlian yang dituangkan dalam bentuk yang khas dan pribadi”. Pasal 1
angka (3) mendefinisikan Ciptaan sebagai “...hasil setiap karya Pencipta yang menunjukan
keasliannya dalam lapangan ilmu pengetahuan, seni, atau sastra”.
Kalimat “Bentuk yang khas dan pribadi” dan “dalam lapangan ilmu pengetahuan, seni,
atau sastra” menurut Penulis merupakan kunci utama dalam mendefinisikan Ciptaan. Kedua
kalimat tersebut merupakan fondasi dari tujuan perlindungan hak cipta yaitu untuk mendorong
kreatifitas terhadap hal-hal yang memiliki nilai budaya. Apakah Logo Badak tersebut memiliki
“Bentuk yang khas dan pribadi” ? Penulis berpendapat Logo Badak tersebut tidak jauh berbeda
dengan badak bercula satu pada umumnya. Namun Majelis Hakim nampaknya berpendapat
sebaliknya.
Menurut Penulis, adanya fakta telah dilakukan pendaftaran Ciptaan oleh Tergugat
membuat Majelis Hakim tidak lagi melihat kepentingan dari klaim yang diajukan oleh Penggugat
atau lebih tepatnya kepentingan para pihak bersengketa terhadap Logo Badak yaitu sebagai tanda
pembeda atau merek. Fakta ini merupakan salah satu faktor kaburnya sengketa ini menjadi
sengketa hak cipta meskipun sejatinya perlindungan merek yang berlaku terhadap Logo Badak
tersebut.

Analisis perjanjian..., Prama Dwi Putra, FH UI, 2014 .

Sengketa hak cipta Logo NATASHA (Putusan Nomor : 02/HAKI/C/2009/PN.NIAGA.Smg.
Jo. Putusan Mahkamah Agung Nomor : 698 K/Pdt.Sus/2009).
Sengketa ini terjadi antara dr. Fredy Setyawan sebagai pendiri sebuah usaha perawatan
kecantikan bernama NATASHA Skin Care melawan Then Gek Tjoe. NATASHA Skin Care
telah dirintis oleh dr. Fredy Setyawan di Yogyakarta sejak tahun 1999 dimana usaha tersebut
kemudian mulai menjadi terkenal pada tahun 2002. Dalam menunjang usaha tersebut dr. Fredy
Setyawan telah menggunakan logo NATASHA dimana nama “NATASHA” sendiri diambil dari
nama anak perempuannya yang bernama NATASHA Heidi Setyawan sedangkan untuk
gambarnya dituangkan dalam bentuk desain terkomputerisasi oleh rekan dr. Fredy Setyawan
bernama Gideon.
Logo NATASHA itu pun sudah didaftarkan oleh dr. Fredy Setyawan sebagai Ciptaan
pada tanggal 9 Maret 2004 dengan Judul Seni logo “NATASHA” Surat Pendaftaran Ciptaan No.
024379/2004 dan sebagai merek berdasarkan Sertifikat merek yang terdaftar dalam Daftar
Umum merek dengan nomor pendaftaran 539840 tertanggal 11 Juni 2003 dalam kelas 3.
Penggunaan logo NATASHA tersebut telah digunakan sebelum logo tersebut terdafar sebagai
merek tepatnya sejak pertama kali NATASHA Skin Care berdiri pada tahun 1999.
Kemudian Penggugat menemukan adanya produk kosmetik atau produk yang
berhubungan dengan kecantikan yang bukan merupakan produk produksi Penggugat yang
menggunakan merek dengan logo “NATASHA”. Hal ini ditemukannya dalam website
www.NATASHA.indonesia.com dan berbagai iklan di media masa seperti pada halaman muka
Harian Umum Tangerang Tribun tertanggal 27 Nopember 2008. Sekalipun Penggugat
merupakan pemegang merek berupa nama dan logo “NATASHA” dalam jasa salon kecantikan
dan perawatan kulit, Penggugat tidak pernah mengeluarkan produk kosmetik maupun barangbarang kecantikan lainnya dengan merek berupa nama dan logo “NATASHA”. Penggugat
kemudian melakukan pengecekan pada Direktorat Jenderal HKI terutama bagian merek dan
menemukan adanya merek berupa nama dan logo “NATASHA” atas nama Then Gek Tjoe dalam
kelas 3 dengan nomor IDM00099671 tertanggal 27 November 2006. Penggugat kemudian
mengajukan gugatan pembatalan pendaftaran Ciptaan atas Ciptaan dengan judul “Seni logo

Analisis perjanjian..., Prama Dwi Putra, FH UI, 2014 .

NATASHA” nomor 024379 atas nama Then Gek Tjoe dan gugatan pembatalan pendaftaran
merek nama dan logo “NATASHA” No. IDM000099671 yang juga atas nama Then Gek Tjoe.
Analisis terhadap Sengketa Logo NATASHA
Menurut Penulis kepentingan dibalik klaim Penggugat sebenarnya lebih dilindungi rezim
merek sehingga sengketa ini seharusnya merupakan sengketa merek. Seperti kasus sebelumnya,
Penggugat tidak ingin logo tersebut digunakan oleh Tergugat dalam produk yang diproduksi oleh
Tergugat. Pelanggaran yang dituduhkan kepada Tergugat, apabila dikategorikan secara benar,
merupakan pelanggaran merek karena Tergugat dapat menimbulkan asosiasi yang keliru antara
produk Tergugat dengan Penggugat. Kerugian yang dialami Penggugat bukan akibat
perbanyakan Logo NATASHA semata, tapi lebih karena adanya pelekatan Logo NATASHA
dalam produk yang diproduksi oleh Tergugat. Apabila Tergugat hanya melakukan perbanyakan
terhadap Logo NATASHA semata tanpa menjadikannya sebuah merek, kecil kemungkinan hal
tersebut merugikan Penggugat. Komersialisasi dilakukan bukan terhadap Logo NATASHA
melainkan terhadap produknya.
Perlu diketahui bahwa terhadap Logo NATASHA tersebut selain sengketa hak cipta
(Putusan Nomor : 02/HAKI/C/2009/PN.NIAGA.Smg. Jo. Putusan Mahkamah Agung Nomor :
698 K/Pdt.Sus/2009) terdapat juga sengketa merek (Putusan Nomor 01/HAKI/M/2009/ PN.
Niaga.Smg. Jo. Putusan Mahkamah Agung Nomor 699 K/ Pdt Sus/ 2009) dimana dalam
sengketa merek tersebut penggugat keberatan dengan pendaftaran merek yang dilakukan
Tergugat karena hal tersebut dapat menimbulkan ambigu dan kebingungan pada konsumen
mengenai produsen dari produk kecantikan yang diproduksi oleh Tergugat. Penggugat khawatir
konsumen dapat tersesat dengan adanya persamaan merek tersebut dengan beranggapan seolaholah telah terjadi kerjasama atau afiliasi antara Penggugat dan Tergugat. Dalam sengketa hak
cipta tersebut, beberapa kali Penggugat menjelaskan

bahwa peruntukan Logo NATASHA

tersebut sedari awal adalah sebagai merek. Kerugian dari Penggugat sejatinya lebih diuraikan
oleh Penggugat dalam sengketa merek Logo NATASHA.
Bagaimana pemahaman Majelis Hakim yang menangani sengketa hak cipta tersebut
terhadap penerapan hak cipta dan merek ? Menurut Penulis Majelis Hakim gagal dalam
mengidentifikasi kepentingan dibalik klaim yang dilakukan Penggugat dan dalam memahami

Analisis perjanjian..., Prama Dwi Putra, FH UI, 2014 .

semangat dari Perlindungan hak cipta dan merek. Dalam tingkat Pengadilan Niaga Majelis
Hakim yang menangani perkara tersebut berpendapat bahwa “masalah yang harus dipecahkan
adalah apakah seni Logo NATASHA yang telah didaftarkan oleh Penggugat... merupakan
Ciptaan Penggugat ataukah memang berbeda dengan Ciptaan Tergugat I... Dengan kata lain
apakah tindakan Tergugat I mendaftarkan seni Logo NATASHA pada Tergugat II merupakan
suatu tindakan hukum dan melanggar hak moral Penggugat sehingga tidak patut mendapat
perlindungan hukum”. Dalam sengketa tersebut Majelis Hakim sempat menjabarkan definisi dari
hak cipta, Pencipta, Ciptaan, serta syarat-syarat suatu karya dilindungi Undang-Undang No. 19
Tahun 2002 Tentang Hak Cipta.
Permasalahan orisinalitas merupakan hal yang paling disorot dalam sengketa ini. Majelis
Hakim dalam sengketa tersebut menilai orisinalitas dengan membandingkan tampilan bentuk
fisik antara kedua Logo NATASHA yang disengketakan. Penilaian tersebut berujung pada
kesimpulan bahwa perbedaan antara kedua Logo NATASHA tersebut hanya terletak pada
adanya tulisan NATASHA dan komposisi pewarnannya sementara bentuk dasar tampilannya
adalah sama persis, yakni merupakan tampilan dari wajah seorang wanita yang digambar
sedemikian rupa dalam bentuk violet.17
Pendapat Majelis Hakim “bahwa pembatasan perlindungan hak cipta sangat menentukan
dalam menelaah bentuk-bentuk perlindungan hak cipta dalam kehidupan sehari-hari. Dasar teori
perlindungan hak cipta melahirkan pembatasan bahwa hak cipta hanya berlaku bagi karya Cipta
seni (art work), karya cipta literatur (literary work), dan karya Cipta dalam bidang ilmu
pengetahuan (science)...” dan adanya putusan yang menyatakan bahwa Penggugat merupakan
Pencipta dan Pemegang hak cipta yang sah atas seni Logo NATASHA menunjukan bahwa
Majelis Hakim memahami Logo NATASHA sebagai karya yang masuk ke dalam domain seni,
literatur, atau ilmu pengetahuan.
Pendapat tersebut menarik karena dalam sebuah jurnal hak kekayaan intelektual, Agus
Sardjono berpendapat bahwa Ciptaan (works) yang dimaksud dalam konteks perlindungan hak
cipta adalah karya yang memiliki kualitas tertentu yang bersifat kultural. WIPO IP Handbook
                                                             
17

Majelis Hakim dalam hal ini melakukan penilaian kulitatif dimana pengambilan bagian yang paling
substansial dan khas yang menjadi ciri dari Ciptaan, meskipun pemakaian itu kurang dari 10%, dapat dikatakan
sebagai pelanggaran Hak cipta. Lihat Penjelasan Pasal 15 huruf a Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 Tentang Hak
Cipta.

Analisis perjanjian..., Prama Dwi Putra, FH UI, 2014 .

menyebutkan bahwa “Copyright protection is above all one of the means of promoting,
enriching, and disseminating the national cultural heritage”.18 Dengan demikian, ada kualitas
tertentu dari ciptaan (bersifat kultural), yang tentunya tidak dimaksudkan sebagai tanda (merek).
Berdasarkan pendapat ini maka Logo NATASHA tersebut sejatinya bukanlah Ciptaan yang
dimaksud dalam konteks perlindungan hak cipta.
Berdasarkan pendapat-pendapat dari Majelis Hakim yang menangani perkara tersebut
yang terdapat dalam putusan baik tahap judex factie (Pengadilan Niaga) maupun tahap judex
juris (Pengadilan Mahkamah Agung), terutama yang telah penulis jabarkan sebelumnya, Penulis
melihat bahwa Majelis Hakim mengetahui adanya fakta bahwa logo tersebut sedari awal
peruntukannya sebagai merek dan telah didaftarkan sebagai merek Dagang berdasarkan
Sertifikat merek yang terdaftar dalam Daftar Umum merek dengan nomor pendaftaran 539840
tertanggal 11 Juni 2003 dalam kelas 3. Adanya pendaftaran Logo NATASHA sebagai Ciptaan,
seolah-olah membuat Majelis Hakim percaya bahwa sengketa tersebut adalah sengketa hak cipta.
Terlepas dari Logo tersebut dapat dianggap sebagai Ciptaan atau tidak, perlindungan ganda
memang dimungkinkan terhadap Logo NATASHA tersebut19 namun Majelis Hakim tidak
melihat bahwa kepentingan dibalik klaim Penggugat sebenarnya lebih dilindungi rezim merek.
Kesimpulan
Pemahaman Majelis Hakim terhadap penerapan perlindungan hak cipta dan merek
khususnya dalam sengketa Logo Badak dan Logo NATASHA masih kurang. Dalam sengketa
Logo Badak dan Logo NATASHA Penulis melihat Majelis Hakim gagal dalam mengidentifikasi
kepentingan dibalik klaim yang dilakukan Penggugat dan mengaitkannya dengan semangat dari
Perlindungan hak cipta dan merek. Bahkan dalam sengketa Logo Badak Penulis melihat adanya
percampuran pemahaman antara Perlindungan hak cipta dan merek.
Pada dasarnya Perlindungan hak cipta hanya diterapkan dalam kaitannya dengan
komersialisasi Ciptaan. Dengan demikian yang menjadi objek adalah Ciptaan itu sendiri yang
dikomersialkan melalui perbanyakan atau pengumuman. Dalam sengketa tersebut, kemasan
                                                             
18

Sardjono, Titik Singgung Perlindungan HKI : Hak cipta, merek, dan Desain Industri, 31.
Sayangnya tidak dijelaskan secara detail dalam putusan Pengadilan Niaga dari sengketa Hak cipta Logo
NATASHA alasan Majelis Hakim menganggap Logo NATASHA memenuhi kriteria Ciptaan yang dilindungi
Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta.
19

Analisis perjanjian..., Prama Dwi Putra, FH UI, 2014 .

beserta logo yang melekat terhadapnya digunakan sebagai penanda atau merek dari produk yang
dikemas. Komersialisasi dilakukan bukan terhadap kemasannya, melainkan terhadap produknya.
Bukan kemasannya yang bagus, tapi produknya yang bagus. Kemasan beserta gambargambarnya hanya menunjukan sumber dari masing-masing pembuat produk tersebut.
Meskipun gambar atau logo dalam sengketa tersebut diciptakan oleh seseorang, tetapi
logo itu sendiri tidak dimaksudkan sebagai produknya, melainkan sebagai identitas produk atau
untuk mengidentifikasi suatu produk dari produk lainnya yang sejenis. Itu sebabnya
dipersyaratkan adanya daya pembeda (distinctiveness). Ciptaan yang dimaksud dalam konteks
perlindungan hak cipta adalah karya yang memiliki sifat khas dan pribadi yang menunjukan
keasliannya dalam lapangan ilmu pengetahuan, seni, atau sastra. Ada kualitas tertentu dari
Ciptaan (bersifat kultural), yang tentunya tidak dimaksudkan sebagai tanda merek, dan bukan
pula sebagai pola. Ciptaan dibuat dalam kaitannya dengan ilmu pengetahuan (text book), seni
(musik, lukisan, patung), atau sastra (puisi, novel, dsb).
Terlepas apakah logo yang disengketakan tersebut masuk dalam kriteria Ciptaan atau
bukan, perlindungan ganda memang dimungkinkan terhadap logo tersebut. Namun sebenarnya,
kepentingan dibalik klaim yang dilakukan oleh masing-masing Penggugat bukanlah terkait
kontrol terhadap perbanyakan logo semata, melainkan perbanyakan logo yang diikuti dengan
pelekatan logo tersebut dalam produk yang bukan hasil produksinya. Masing-masing Penggugat
ingin asosiasi antara produknya, logo yang digunakan olehnya sebagai merek, dan dirinya tetap
terjaga. Asosiasi yang terjaga akan melindungi produk yang mereka jual. Produk tersebut
terlindungi baik dari segi penjualan maupun reputasi. Mengingat komersialisasi dilakukan oleh
produsen terhadap produk bukan terhadap logonya maka sejatinya kepentingan semacam ini
sejatinya merupakan kepentingan yang dilindungi oleh rezim merek.
Saran
Hal yang paling krusial bagi Majelis Hakim dalam menghadapi sengketa-sengketa yang
terdapat persinggungan semacam ini adalah dengan terlebih dahulu memahami secara mendalam
tujuan dari masing-masing kerangka perlindungan HKI untuk kemudian menentukan
perlindungan mana yang sejatinya berlaku terhadap kekayaan intelektual yang disengketakan.

Analisis perjanjian..., Prama Dwi Putra, FH UI, 2014 .

Pemahaman yang mendalam tersebut seharusnya juga dimiliki oleh aparatur pada instansi
yang berwenang mengadministrasikan HKI. Jika mereka sebagai salah penegak HKI tidak
memahami pemahaman yang mendalam tersebut maka tujuan dari perlindungan HKI
kemungkinan besar tidak tercapai.

Analisis perjanjian..., Prama Dwi Putra, FH UI, 2014 .

Kepustakaan

Buku :
Hasibuan, H.D Effendy. Perlindungan merek Studi Mengenai Putusan Pengadilan Indonesia
dan Amerika Serikat. Depok : Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia,
2003.
Sardjono, Agus. hak cipta Desain Grafis. Jakarta :Yellow Dot Publishing, 2008.
Tim Lindsey, et.al. Hak Kekayaan Intelektual Suatu Pengantar. Bandung : PT Alumni, 2006.

Jurnal
Sardjono, Agus. Titik Singgung Perlindungan HKI : hak cipta, merek, dan Desain Industri.
Asosiasi Konsultan Hak Kekayaan Intelektual, Volume 1 Nomor 1, April 2012.

Undang-Undang :
Indonesia, Undang-Undang Tentang Hak Cipta. UU No. 19 Tahun 2002, LN No. 85 Tahun
2002. TLN No. 4220
_______________, Undang-Undang Tentang Merek. UU No. 15 Tahun 2001. LN No. 110
Tahun 2001. TLN No. 4113.

Internet :
“Copyright and Related Rights”, http://www.wipo.int/copyright/en/overview.html , diakses pada
13 September 2013.

“What is a Trademark ?”, http://www.wipo.int/trademarks/en/, diakses pada 30 Agustus 2013.

Analisis perjanjian..., Prama Dwi Putra, FH UI, 2014 .

Bernt

Hugenholtz.



Works

of

Literature,

Science

http://www.ivir.nl/publications/hugenholtz/100jrAUTWET.pdf,

and

diakses

Art”,

pada

20

Oktober 2013.
Laura

A.

Heymann,

“The

Trademark/Copyright

http://scholarship.law.wm.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1216&context=facpubs,

pada 30 April 2013.

Analisis perjanjian..., Prama Dwi Putra, FH UI, 2014 .

Divide”
diakses