judul peningkatan kualitas bab 1.docx

PEMBINGKAIAN BERITA MENGENAI AKSI DEMO 411
PADA MEDIA ONLINE
(Analisis Framing Robert N. Entman pada Tempo.co Edisi 4
November 2016)

Proposal Penelitian
Mata Kuliah Kajian Media

Oleh:
Alifta Resyfa R.
10080012204

FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG
2017
BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pada tanggal 4 November 2016 lalu, Jakarta dihebohkan dengan aksi demo besar-besaran
yang dilakukan oleh beberapa ormas Islam. Tak hanya ormas-ormas Islam saja, masyarakat

Muslim yang non-ormas Islam pun turut meramaikan aksi demo tersebut. Aksi ini dilakukan
dengan tujuan menuntut Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) untuk
diproses secara hukum. Mengingat pada September 2016 lalu, masyarakat dibuat terkejut
oleh salah satu video yang memuat pernyataan Ahok mengenai Surat Al-Ma’idah ayat 51,
pada saat dirinya sedang melakukan pidato di hadapan warga Kepulauan Seribu. Dalam
pidatonya, Ahok menyebut surat Al-Ma’idah ayat 51 dipakai untuk membohongi masyarakat
agar tidak memilihnya sebagai pemimpin. Video tersebut akhirnya beredar luas di internet
dan mendapat kecaman dari berbagai masyarakat. Mereka menganggap, apa yang telah Ahok
ucapkan dalam pidatonya tersebut sudah masuk ke dalam penistaan agama Islam dan melukai
hati umat muslim. Sehingga, beberapa diantara mereka termasuk organisasi masyarakat pun
melaporkan Ahok ke polisi dan berujung pada aksi demo.
Aksi demo yang juga disebut dengan demo 411 ini berpusat di kawasan antara Bundaran
Hotel Indonesia, Bundaran Bank Indonesia dan Istana Kepresidenan. Polisi memperkirakan
sekitar 200.000 warga menghadiri aksi ini,[perkiraan lain menyebut angka 50.000. Aksi ini
berjalan dengan damai dan tertib hingga Jumat sore. Para demonstran berorasi dan
menggunakan yel-yel, mendesak agar Ahok diproses secara hukum.
Namun sekitar pukul 18:30 WIB aksi yang seharusnya sudah bubar mulai menjadi ricuh.
Diduga, elemen demonstran beratribut HMI memulai dorong-dorongan dan menyerang
polisi. Elemen lain tidak terlibat upaya kericuhan, dan sebagian massa Front Pembela Islam
(FPI) berusaha melindungi barisan polisi dari elemen yang menyerang. Awalnya, polisi

mempertahankan barisannya dengan perisai dan tanpa senjata. Namun setelah serangan
menjadi lebih parah, anggota FPI yang melindungi polisi menghindar dan polisi melepaskan
tembakan gas air mata. Dua kendaraan milik Brimob dibakar saat terjadi kericuhan di depan
Istana Merdeka, sekitar pukul 20:10 WIB. Situasi di sekitar Istana mulai terkendali sekitar
pukul 21:00 WIB, namun kericuhan terjadi di bagian lain Jakarta, tepatnya di Penjaringan,
Jakarta Utara. Sebuah mini market dijarah dan sebuah sepeda motor dibakar. Baru sekitar dini
hari para pelaku kericuhan membubarkan diri.

Dalam memberitakan suatu peristiwa, media tidak pernah lepas dari ideologi dan
kepentingan yang dimilikinya. Hal tersebut, dapat mempengaruhi cara media dalam melihat
dan menceritakan peristiwa kepada khalayak. Sehingga, bukan tidak mungkin khalayak dapat
terpengaruh oleh informasi yang disampaikan media.
Walaupun media tersebut memiliki visi ataupun mengklaim menjadi media yang jujur dan
berimbang namun tetap saja dalam peliputan peristiwa yang dilakukannya, terkadang media
secara sadar ataupun tidak telah melakukan keberpihakan kepada pihak-pihak tertentu dan
memberitakan suatu peristiwa yang berbeda dari yang terjadi di lapangan. Hal itu mungkin
saja dilakukan agar berita yang disampaikan memiliki nilai jual yang tinggi dan mendapatkan
perhatian yang lebih dari khalayak. Terlebih, peristiwa yang diangkat adalah mengenai isu
SARA. Dimana isu tersebut bisa dibilang merupakan isu yang paling sensitif. Di sinilah letak
permasalahannya, apakah media memberitakan peristiwa tersebut sesuai dengan fakta dan

apa adanya ataukah membungkusnya dengan sedikit membelokkan fakta, dimana hal tersebut
bisa saja media membungkusnya dengan hal-hal yang bertujuan untuk mendamaikan atau
malah memberi citra yang lebih buruk mengenai isu tersebut agar bisa mendapatkan
keuntungan. Tentu ini menjadi pertimbangan bagi media agar untuk memberikan informasi
yang layak bagi khalayak, terutama berita yang memuat isu SARA.
Tempo.co merupakan salah satu media online mainstream yang cukup dikenal sebagai
media yang memberitakan suatu peristiwa dengan jujur dan berimbang. Namun, belakangan
terdengar bahwa Tempo.co mulai menyimpang dalam memberitakan peristiwa dengan
memihak pada kelompok tertentu. Hal ini menjadi pertanyaan, apakah Tempo.co telah
kehilangan independensi dan mengabaikan visinya untuk menjadi media yang memberitakan
suatu peristiwa dengan berimbang? Apalagi, berita yang dimuat Tempo.co kali ini adalah
mengenai isu SARA. Di sini bisa terlihat apakah Tempo.co benar-benar mempertahankan visi
dan independensinya ataukah justru sudah mulai terlihat melenceng.

1.2 Fokus dan Pertanyaan Penelitian
1.2.1 Fokus Penelitian

Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan dalam latar belakang, maka peneliti dapat
merumuskan masalah sebagai berikut:
Bagaimana pembingkaian berita aksi demo 411 pada media online Tempo.co?

1.2.2 Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka peneliti menetapkan identifikasi masalah
sebagai berikut:
1. Bagaimana pembingkaian berita mengenai aksi demo 411 pada media online Tempo.co
dilihat dari unsur define problems?
2. Bagaimana pembingkaian berita mengenai aksi demo 411 pada media online Tempo.co
dilihat dari unsur diagnose causes?
3. Bagaimana pembingkaian berita mengenai aksi demo 411 pada media online Tempo.co
dilihat dari unsur make moral judgement?
4. Bagaimana pembingkaian berita mengenai aksi demo 411 pada media online Tempo.co
dilihat dari unsur treatment recommendation?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Untuk mengetahui pembingkaian berita aksi demo 411 pada media online Tempo.co
dilihat dari unsur define problems.
1.3.2 Untuk mengetahui pembingkaian berita aksi demo 411 pada media online Tempo.co
dilihat dari unsur diagnose causes.
1.3.3 Untuk mengetahui pembingkaian berita aksi demo 411 pada media online Tempo.co
dilihat dari unsur make moral judgement.
1.3.4 Untuk mengetahui pembingkaian berita aksi demo 411 pada media online Tempo.co
dilihat dari unsur treatment recommendation.


1.4 Kegunaan Penelitian
1.4.1 Kegunaan Teoritis

1. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi perkembangan ilmu
pengetahuan di bidang komunikasi, khususnya jurnalistik mengenai analisis teks media
massa, terutama analisis framing.
2. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan terhadap masyarakat agar dapat
menganalisis dan mengkritisi pembingkaian berita yang dilakukan oleh media.
3. Penelitian ini juga diharapkan dapat dijadikan referensi bagi mahasiswa ilmu komunikasi
yang akan melakukan penelitian sejenis.
1.4.2 Kegunaan Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dan acuan bagi para jurnalis di media
online Tempo.co agar dapat melihat dan mengidentifikasi frame dalam sebuah berita. Serta
agar Tempo.co tetap mempertahankan maupun meningkatkan kualitas medianya.
1.5 Setting Penelitian
1.5.1 Pada penelitian ini peneliti akan melakukan analisis terhadap media online Tempo.co
sebagai media yang memberitakan tentang aksi demo 411.
1.5.2 Sebagai sampel, peneliti mengambil dua buah berita yang diunggah Tempo.co pada
tanggal 4 November 2016, yang berjudul ‘Demo 4 November, Istana dikepung Massa Dari

Empat Sisi’ dan ‘Demo 4 November Ricuh, Lemparan Batu Dibalas Gas Air Mata’.
1.5.3 Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif analisis framing
Robert N. Entman.
1.6 Kerangka Pemikiran
Nurudin (2007:33) menjelaskan, bahwa media massa telah menjadi fenomena tersendiri
dalam proses komunikasi massa dewasa ini. Bahkan ketergantungan manusia pada media
massa sudah sedemikian besar.
Ketergantungan yang tinggi pada media massa tersebut akan menundukkan media sebagai
alat yang akan ikut membentuk apa dan bagaimana masyarakat.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Review Penelitian Sejenis
Penelitian yang dilakukan kali ini merupakan penelitian mengenai analisis framing pada
media online. Untuk itu, peneliti mulai mencari dan melakukan tinjauan terhadap penelitian
sejenis agar dapat menambah pengetahuan peneliti mengenai analisis framing.
Selain itu, penelitian sejenis ini juga akan sangat membantu peneliti dalam melakukan
penelitian ini. Sehingga, dapat dijadikan bahan rujukan untuk perbandingan dan
mempermudah peneliti. Berikut adalah review penelitian sejenis yang peneliti anggap
memiliki kesamaan, baik dari segi metode, teori maupun permasalahan yang dibahas .

2.1.1 Hilmy Farhan, Konstruksi Berita Kerusuhan Hari Raya Idul Fitri Di Tolikara
Dalam penelitian ini Hilmy menganalisis berita mengenai kerusuhan hari raya Idul Fitri di
Tolikara yang dimuat oleh Viva.co.id dan Eramuslim.com. Dalam analisisnya, Hilmy
mencoba menguak bagaimana konstruksi realitas yang dibentuk oleh Viva.co.id dan
Eramuslim.com dalam pemberitaan mengenai kerusuhan di Tolikara. Hilmy mengambil
empat buah berita, yang diperoleh dari masing-masing kedua media tersebut. Berita pertama
dan kedua berasal dari Viva.co.id, yang masing-masing berjudul ‘Wapres: Kerusuhan di
Papua Disebabkan Speaker’ dan ‘Tak Ada Peran Asing dalam Insiden Tolikara’.
Sedangkan, untuk berita ketiga dan keempat berasal dari Eramuslim.com, masing-masing
berjudul ‘JK Ngeles Sebut Ada Perda Larang Speaker, Menag Membantah Ada Perda
Tersebut’ dan ‘Teroris Penyerang Muslim Tolikara Adalah Peserta KKR, Bukan Penduduk
Asli, GIDI Harus Bertanggungjawab’.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan analisis framing model
Robert N. Entman. Sedangkan untuk teknik pengumpulan datanya sendiri, Hilmy
menggunakan teknik dokumentasi dan studi pustaka. Berikut adalah hasil analisis yang
dilakukan oleh Hilmy dalam penelitiannya:
Keterangan Judul Berita dan Media
Berita A: Wapres: Kerusuhan di Papua Sisebabkan Speaker (Vivanews)
Berita B: Tak Ada Peran Asing dalam Insiden Tolikara (Vivanews)
Berita C: JK Ngeles Sebut Ada Perda Larang Speaker, Menag Membantah Ada Perda

Tersebut (Eramuslim)

Berita D: Teroris Penyerang Muslim Tolikara Adalah Peserta KKR, Bukan Penduduk Asli,
GIDI Harus Bertanggungjawab (Eramuslim)
1. Pada berita A, define problems yaitu speaker merupakan masalah pemicu terjadinya
kerusuhan, diagnose cause yaitu speaker masjid, make moral judgement yaitu tidak ada sikap
saling menahan diri dari kedua belah pihak, dan treatment recommendation yaitu harapan JK
terhadap kepolisian.
2. Pada berita B, define problems yaitu tidak adanya keterlibatan pihak asing dalam insiden
Tolikara, diagnose cause yaitu dua pemuda GIDI, make moral moral judgement yaitu tidak
diperlukannya penahanan tersangka, dan treatment recommendation yaitu umat Islam di
Tolikara sebagai korban kerusuhan sudah menerima.
3. Pada berita C, define problems yaitu rancunya pernyataan JK terhadap masalah pemicu
terjadinya kerusuhan, diagnose cause yaitu perda larangan umat Islam pakai speaker, make
moral judgement yaitu tidak ada informasi valid yang diterima pemerintah, dan treatment
recommendation yaitu kesalahan dalam memberikan pernyataan.
4. Pada berita D, define problems yaitu peranan GIDI di Tolikara, diagnose cause yaitu
GIDI, khususnya peserta KKR, make moral judgement yaitu permasalahan dalam hidup
beragama di Tolikara, semenjak masuknya GIDI, dan treatment recommendation yaitu
pembangunan kembali masjid Baitul Muttaqin.

Di akhir penelitiannya, Hilmy memberikan kesimpulan bahwa terdapat banyak perbedaan
anatara Viva.co.id dan Eramuslim.com dalam memberitakan peristiwa kerusuhan hari raya
Idul Fitri di Tolikara. Hal tersebut dapat dilihat dari segi define problems, diagnose cause,
make moral judgement, dan treatment recommendation. Berikut perbedaannya yang
dikemukakan oleh Hilmy:
1. Pada unsur define problems, Viva.co.id cenderung menekankan pada aktualitas berita,
memperlihatkan ideologinya pada judul berita dengan cara menetralkan isu-isu negatif dari
pihak lain, dan melakukan standar ganda dengan cara memperhalus istilah guna mengalihkan
makna. Sedangkan Eramuslim.com memperlihatkan ideologinya dari judul berita dengan cara
pencitraan negatif dan menyerang pihak lain, dan melakukan proses investigasi pada kasus
kerusuhan tersebut.

2. Pada unsur diagnose cause, Viva.co.id kembali melakukan standar gandanya dalam
menetapkan sumber masalah kerusuhan dan menonjolkan karakteristik media mainstream
dengan mempunyai kecenderungan untuk memberikan informasi yang sekadarnya.
Sedangkan Eramuslim.com memperlihatkan karakteristik jurnalisme islami dengan cara
tabayyun pada setiap isu yang beredar dan memperlihatkan ideologinya dari sumber masalah
tersebut yang dicantumkan di judul berita dengan cara pencitraan negatif dan menyerang
pihak lain dengan sebuah istilah yang tidak biasa dilakukan oleh media Viva.co.id.
3. Pada unsur make moral judgement, Viva.co.id kembali memperlihatkan ideologinya

dengan membela pihak tertentu dengan menetralkan isu-isu negatif dari pihak lain dan
menerapkan peran jurnalisme damai walaupun fakta yang diseleksinya menimbulkan
ketidakadilan. Sedangkan Eramuslim.com kembali memainkan peran jurnalisme islami,
yakni bersikap tabayyun dengan melakukan investigasi dan menelusuri kronologi dari awal
pada isu yang beredar.
4. Pada unsur treatment recommendation, Viva.co.id menyelesaikan masalah dari sumber
tangan ketiga dan kembali memainkan peran jurnalisme damainya. Sedangkan
Eramuslim.com tidak melakukan peran jurnalisme damai, melainkan hanya meredakan saja
panasnya konflik yang terjadi.
Keterkaitan penelitian yang dilakukan oleh peneliti dan Hilmy adalah kami sama-sama
meneliti media online. Selain itu, dari segi topik yang dibahas pun hampir sama yakni
mengenai isu SARA.
2.1.2 Ahmad Syarifudin, Agama dan Media Massa
Dalam penelitian ini Ahmad melakukan analisis terhadap pembingkaian berita mengenai
LGBT yang dimuat oleh harian umum Republika edisi Februari 2016. Penelitian ini
menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan analisis framing model Robert N.Entman.
Ahmad mengambil 12 buah teks berita untuk dijadikan objek penelitian. Adapun beberapa
kriteria yang ditentukan oleh Ahmad dalam memilih teks-teks berita tersebut adalah sebagai
berikut: 1) Berita yang diteliti menjadi headline utama di surat kabar harian Republika pada
edisi Februari 2016. 2) Berita berupa indepth dari kelanjutan headline utama di edisi Februari

2016. Berikut adalah 10 berita yang diambil oleh Ahmad dalam penelitiannya:
No.

Hari/Tanggal

Rubrik

Judul

KPI Jangan Takut
1.

Ahad, 14 Februari 2016

2.

Selasa, 16 Februari 2016

3.

Selasa, 16 Februari 2016

4.

Selasa, 16 Februari 2016

5.

Rabu,17 Februari 2016

6.

Rabu, 17 Februari 2016

7.

Rabu, 17 Februari 2016

8.

Kamis, 18 Februari 2016

9.

Kamis, 18 Februari 2016

10.
11.
12.

Kamis, 18 Februari 2016
Jumat, 19 februari 2016
Jumat, 19 februari 2016

Headline
Headline

Ada Tekanan Asing Soal
LGBT

Pro dan Kontra

Pemerintah Bantah Terima
Dana

Pro dan Kontra

UNDP Perkuat Komunitas
LGBT

Headline

UNDP Sudah Bicara
Dengan Pemerintah RI

Pro dan Kontra

LGBT Inginkan UU
Antidiskriminasi

Pro dan Kontra

Pemerintah Khawatirkan
Dampak Sosial LGBT

Headline

Polisi Minta Pro-LGBT tak
Berkampanye

Pro dan Kontra
Pro dan Kontra
Headline
Fokus Publik

MUI Dorong Pidana
Kampanye LGBT
LGBT Optimalkan Media
Online
Majelis Agama Tolak
LGBT
Kampanye LGBT Kian
Masif

Di akhir penelitiannya, Ahmad memberikan beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Republika dalam melakukan pemberitaan LGBT cenderung lebih mengedepankan ideologi
yang diusung yakni Islam. Hal ini bisa dibuktikan dengan pemberitaan yang diterbitkan
Republika selalu mengutip sikap dari menteri agama maupun majelis agama.
2. Dalam framing yang dilakukan, Republika berusaha mempengaruhi persepsi pembaca
dengan menggiringnya pada pihak yang kontra LGBT. Hal ini bisa dibuktikan dengan

pemilihan judul yang memojokan kelompok LGBT. Semisal ‘KPI Jangan Takut’, ‘Ada
Tekanan Asing SOAL LGBT’, ‘Pemerintah Khawatirkan Dampak Sosial LGBT’, ‘MUI
Dorong Pidana Kampanye LGBT’, dan ‘Majelis Agama Tolak LGBT’.
3. Republika memandang persoalan LGBT merupakan orientasi seks menyimpang yang
bertentangan dengan agama ketimbang melihatnya dalam bingkai kemanusiaan, sehingga
berita yang diterbitkan cenderung menolak perilaku LGBT. Hal ini bisa dilihat dari porsi
pemberitaan pada kelompok yang kontra dengan LGBT lebih banyak dibanding yang datang
dari pihak LGBT itu sendiri.
Keterkaitan penelitian yang dilakukan oleh peneliti dan Ahmad adalah kami sama-sama
membahas mengenai isu SARA. Adapun perbedaan dari kedua penelitian ini adalah jika
peneliti menganalisis berita pada media online, sedangkan Ahmad menganalisis berita pada
media cetak.

Tabel 2.1
Review Penelitian Sejenis

Nama Peneliti dan

Hilmy Farhan, dari

Ahmad Syarifudin, dari

Alifta Resyfa R., dari

Asal Universitas

Fakultas Ilmu

Fakultas Dakwah dan

Fakultas Ilmu

Komunikasi Universitas

Komunikasi Universitas

Komunikasi

Islam Bandung (2012)

Islam Negeri Sunan

Universitas Islam

Kalijaga (2012)

Bandung (2012)

Konstruksi Berita

Agama dan Media Massa

Pembingkaian Berita

Kerusuhan Hari Raya Idul

(Analisis Framing

Mengenai Aksi Demo

Fitri Di Tolikara (Analisis

Pemberitaan LGBT di

411 pada Media

Framing Robert N.

SKH Republika Edisi

Online (Analisis

Entman terhadap Berita

Februari 2016)

Framing Robert

Judul Penelitian

Kerusuhan Hari Raya Idul

N.Entman pada

Fitri di Tolikara pada

Tempo.co Edisi 4

Viva.co.id dan

November 2016)

Eramuslim.com)
Metode Penelitian

Penelitian Kualitatif

Penelitian Kualitatif

Penelitian Kualitatif

Pendekatan Teori

Analisis Framing Robert

Analisis Framing Robert

Analisis Framing

N. Entman

N. Entman

Robert N. Entman

Viva.co.id dan

Surat Kabar Harian

Tempo.co

Eramuslim.com

Republika

Pemberitaan mengenai

Pemberitaan mengenai

kerusuhan Hari Raya Idul

LGBT pada edisi Februari aksi demo 411

Fitri di Tolikara

2016

Peneliti menemukan

Peneliti menyimpulkan

Peneliti mengambil

banyak perbedaan antara

bahwa Republika dalam

dua buah teks berita

Viva.co.id dan

melakukan pemberitaan

dari Tempo.co yang

Eramuslim.com dalam

LGBT cenderung lebih

memberitakan tentang

memberitakan kerusuhan

mengedepankan ideologi

aksi demo 411.

hari raya Idul Fitri di

yang diusung yakni Islam, Penelitian ini

Tolikara. Perbedaannya

dalam framing yang

menggunakan analisis

tersebut antara lain:

dilakukan, Republika

framing model Robert

Viva.co.id cenderung

berusaha mempengaruhi

N.Entman. Adapun

menekankan pada

persepsi pembaca dengan

penelitian ini

Subjek Penelitian

Objek Penelitian

Hasil Penelitian

Pemberitaan mengenai

aktualitas berita dan

menggiringnya pada

dimaksudkan untuk

memberikan informasi

pihak yang kontra LGBT

mengetahui bagaimana

sekedarnya, serta

dan Republika

pembingkaian yang

memainkan jurnalisme

memandang persoalan

dilakukan oleh

damainya dengan

LGBT merupakan

Tempo.co dalam berita

menetralkan isu-isu

orientasi seks

aksi demo 411, dilihat

negatif dari pihak lain,

menyimpang yang

dari unsur define

walaupun fakta yang

bertentangan dengan

problems, diagnose

diseleksinya

agama ketimbang

causes, make moral

menimbulkan

melihatnya dalam bingkai

judgement, dan

ketidakadilan.Sedangkan

kemanusiaan

treatment

Eramuslim.com

recommendation.

cenderung memberikan
pencitraan negatif dan
menyerang pihak lain,
serta memainkan peran
jurnalisme islami, yakni
bersikap tabayyun dengan
melakukan investigasi
dan menelusuri kronologi
dari awal pada isu yang
beredar.

2.2 Tinjauan Teoritis
2.2.1 Komunikasi
Kata komunikasi atau communication dalam Bahasa Inggris berasal dari kata Latin
communis yang berarti “sama”, communico, communicatio, atau communicare yang berarti
“membuat sama” (to make common). Istilah pertama (communis) adalah istilah yang paling
sering disebut sebagai asal-usul kata komunikasi, yang merupakan akar dari kata-kata Latin

lainnya yang mirip. Komunikasi menyarankan bahwa suatu pikiran, suatu makna, atau suatu
pesan dianut secara sama. (Mulyana, 2003:41)
Kata lain yang mirip dengan komunikasi adalah komunitas (community) yang juga
menekankan kesamaan atau kebersamaan. Komunitas merujuk pada sekelompok orang yang
berkumpul atau hidup bersama untuk mencapai tujuan tertentu, dan mereka berbagi makna
dan sikap. Tanpa komunikasi tidak akan ada komunitas. Komunitas bergantung pada
pengalaman dan emosi bersama, dan komunikasi berperan dan menjelaskan kebersamaan itu.
Oleh karena itu, komunitas juga berbagi bentuk-bentuk komunikasi yang berkaitan dengan
seni, agama dan bahasa, dan masing-masing bentuk tersebut mengandung dan menyampaikan
gagasan, sikap, perspektif, pandangan yang mengakar kuat dalam sejarah komunitas tersebut.
(Mulyana, 2003:42)
Komunikasi adalah suatu interaksi, proses simbolik yang menghendaki orang-orang
mengatur lingkungannya dengan membangun hubungan antarsesama melalui pertukaran
informasi untuk menguatkan sikap dan tingkah laku orang lain serta berusaha mengubah
sikap dan tingkah laku itu. (Komala, 2009:73)
Tubbs and Moss mendefinisikan komunikasi sebagai “proses penciptaan makna antara dua
orang atau lebih”, sedangkan Gudykunst dan Kim mendefinisikan komunikasi (antarbudaya)
sebagai “proses transaksional, simbolik yang melibatkan pemberian makna antara orangorang (dari budaya yang berbeda). (Mulyana, 2003:42)
Proses komunikasi terbagi menjadi dua tahap, yakni secara primer dan sekunder. Proses
primer adalah proses penyampaian pikiran dan atau perasaan seseorang kepada orang lain
dengan menggunakan lambang (symbol) sebagai media. Lambang sebagai media primer
dalam proses komunikasi adalah bahasa, kial (gesture), isyarat, gambar, warna dan lainnya
yang secara langsung mampu “menerjemahkan” pikiran dan atau perasaan komunikator
kepada komunikan. Dalam proses ini, pertama-tama komunikator akan menyandi (encode)
pesan yang akan disampaikan kepada komunikan. Kemudian menjadi giliran komunikan
untuk mengawa-sandi (decode) pesan dari komunikator itu.
Proses sekunder adalah proses penyampaian pesan oleh seseorang kepada orang lain
dengan menggunakan alat atau sarana sebagai media kedua setelah memakai lambang
sebagai media pertama. Media kedua itu seperti surat, telepon, teleks, surat kabar, majalah,
radio, televisi, film, media online/internet. (Komala, 2009:83)

Proses komunikasi terjadi manakala manusia berinteraksi dalam aktivitas komunikasi:
menyampaikan pesan untuk mewujudkan motif komunikasi. Proses tahap pertama
komunikasi adalah penginterpretasian: yang diinterpretasikan adalah motif komunikasi,
terjadi dalam diri komunikator. Artinya, proses komunikasi tahap pertama bermula sejak
motif komunikasi muncul hingga akal budi komunikator berhasil menginterpretasikan apa
yang ia pikir dan rasakan ke dalam pesan yang masih bersifat abstrak. (Komala, 2009:83)
Proses komunikasi tahap kedua adalah penyandian: tahap ini masih terjadi dalam diri
komunikator, berawal sejak pesan yang bersifat abstrak berhasil diwujudkan akal budi
manusia ke dalam lambang komunikasi. Proses ini kita sebut encoding, proses penyandian.
Akal budi manusia berfungsi encoder, alat penyandi: mengubah pesan yang abstrak menjadi
konkrit. (Komala, 2009:83-84)
Proses komunikasi tahap ketiga adalah pengiriman: proses ini terjadi ketika komunikator
melakukan tindakan komunikasi mengirim lambang komunikasi dengan peralatan
jasmaniahnya yang berfungsi sebagai transmitter, alat pengirim. (Komala, 2009:84)
Effendy (2001) (dalam Komala, 2009) mengemukakan bahwa tujuan dari komunikasi
adalah untuk perubahan sikap (attitude change), perubahan pendapat (opinion change),
perubahan perilaku (behavior change), dan perubahan sosial (social change). Selain itu,
Effendy juga menambahkan bahwa fungsi komunikasi adalah menyampaikan informasi (to
inform), mendidik (to educate), menghibur (to entertain), dan mempengaruhi (to influence).
2.2.2 Komunikasi Massa
Komunikasi massa (mass communication) adalah komunikasi yang menggunakan media
massa, baik cetak (surat kabar, majalah) atau elektronik (radio, televisi), yang dikelola oleh
suatu lembaga atau orang yang dilembagakan, yang ditujukan kepada sejumlah besar orang
yang tersebar di banyak tempat, anonim, dan heterogen. Pesan-pesannya bersifat umum,
disampaikan secara cepat, serentak dan selintas (khususnya media elektronik). (Mulyana,
2003:75)
Nurudin (2007) mengungkapkan bahwa komunikasi massa memiliki ciri-ciri sebagai
berikut:
1. Komunikator dalam Komunikasi Massa Melembaga

Di dalam komunikasi massa, komunikator merupakan lembaga media massa itu sendiri. Itu
artinya, komunikatornya bukan orang per orang Menurut Alexis S. Tan (1981) komunikator
dalam komunikasi massa adalah organisasi sosial yang mampu memproduksi pesan dan
mengirimkannya secara serempak ke sejumlah khalayak yang banyak dan terpisah.
Komunikator dalam komunikasi massa biasanya adalah media massa (surat kabar, jaringan
televisi, stasiun radio, majalah, atau penerbitan buku). Media massa ini disebut organisasi
sosial karena merupakan kumpulan beberapa individu yang bertanggung jawab dalam proses
komunikasi massa tersebut.
Nurudin (2007:21) menambahkan, bahwa komunikator dalam komunikasi massa setidaktidaknya mempunyai ciri sebagai berikut: 1) kumpulan individu, 2) dalam berkomunikasi
individu-individu itu terbatasi perannya dengan sistem dalam media massa, (3) pesan yang
disebarkan atas nama media yang bersangkutan dan bukan atas nama pribadi unsur-unsur
yang terlibat, (4) apa yang dikemukakan oleh komunikator biasanya untuk mencapai
keuntungan atau mendapatkan laba secara ekonomis.
2. Komunikan dalam Komunikasi Massa Bersifat Heterogen
Komunikan dalam komunikasi massa sifatnya heterogen/beragam. Artinya, penonton massa
itu beragam pendidikan, umur, jenis kelamin, status sosial, ekonomi, punya jabatan yang
beragam, punya agama atau kepercayaan yang tidak sama pula.
Herbert Blumer pernah memberikan ciri tentang karakteristik audience/komunikan sebagai
berikut;
a. Audience dalam komunikasi massa sangatlah heterogen. Artinya, ia mempunyai
heterogenitas komposisi atau susunan. Jika ditinjau dari asalnya, mereka berasal dari berbagai
kelompok dalam masyarakat.
b. Berisi individu-individu yang tidak tahu atau mengenal satu sama lain. Disamping itu,
antar individu itu tidak berinteraksi satu sama lain secara langsung.
c. Mereka tidak mempunyai kepemimpinan atau organisasi formal.
3. Pesannya Bersifat Umum
Pesan-pesan dalam komunikasi massa tidak ditujukan kepada satu orang atau satu
kelompok masyarakat tertentu. Dengan kata lain pesan-pesan ditujukan pada khalayak yang

plural. Oleh karena itu pesan-pesan yang dikemukakan pun tidak boleh bersifat khusus.
Khusus disini artinya pesan memang tidak disengaja untuk golongan tertentu.
4. Komunikasi Berlangsung Satu Arah
Dalam media cetak seperti koran dan TV, komunikasi hanya berjalan satu arah. Kita tidak
bisa langsung memberikan respon kepada komunikatornya (media massa yang bersangkutan).
5. Komunikasi Massa Menimbulkan keserempakan
Komunikasi massa ada keserempakan dalam proses penyebaran pesan-pesannya. Serempak
berarti khalayak bisa menikmati media massa tersebut hampir secara bersamaan. Bersamaan
sifatnya relatif.
6. Media Massa Mengandalkan Peralatan Teknis
Media massa sebagai alat utama dalam menyampaikan pesan kepada khalayaknya sangat
membutuhkan bantuan peralatan teknis. Peralatan teknis yang dimaksud misalnya pemancar
untuk media elektronik (mekanik atau elektronik). Televisi disebut media yang kita
bayangkan saat ini tidak akan lepas dari pemancar.
7. Komunikasi Massa Dikontrol oleh Gatekeeper
Gatekeeper atau yang sering disebut penepis infomasi/palang pintu/penjaga gawang adalah
orang yang sangat berperan dalam penyebaran informasi melalui media massa. Gatekeeper
ini berfungsi sebagai orang yang ikut menambah atau mengurangi, menyederhanakan,
mengemas agar semua informasi yang disebar lebih mudah dipahami.
Gatekeeper ini juga berfungsi untuk menginterpretasikan pesan, menganalisis, menambah
data, dan mengrangi pesan-pesannya. Intinya gatekeeper merupakan pihak yang ikut
menentukan pengemasan sebuah pesan dari media massa dan menentukan kualitas tidaknya
informasi yang akan disebarkan.
Menurut Nurudin, fungsi komunikasi massa adalah sebagai berikut:
a. Informasi
b. Hiburan
c. Persuasi
d. Transmisi budaya
e. Mendorong kohesi sosial
f. Pengawasan
g. Korelasi
h. Pewarisan sosial
i. Melawan kekuasaan

j. Menggugat hubungan trikotomi
2.2.3 Media Massa
Media massa adalah alat atau sarana yang digunakan dalam penyampaian pesan dari
sumber (komunikator) kepada khalayak (komunikan/penerima) dengan menggunakan alatalat komunikasi mekanis, seperti surat kabar, radio, televisi, film, dan internet. (Suryawati,
2011:37)
McQuail dalam bukunya Mass Communication Theories (1989), menyatakan ada enam
perspektif tentang peran media massa dalam konteks masyarakat modern, yaitu sebagai
berikut :
1. Media massa sebagai sarana belajar untuk mengetahui berbagai informasi dan peristiwa. Ia
ibarat 'jendela' untuk melihat apa yang terjadi di luar kehidupan.
2. Media massa adalah refleksi fakta, terlepas dari rasa suka atau tidak suka. Ia ibarat 'cermin'
peristiwa yang ada dan terjadi di masyarakat ataupun dunia.
3. Media massa sebagai filter yang menyeleksi berbagai informasi dan issue yang layak
mendapat perhatian atau tidak.
4. Media massa sebagai penunjuk arah berbagai ketidakpastian atau alternatif yang beragam.
5. Media massa sebagai sarana untuk mensosialisasikan berbagai informasi atau ide kepada
publik untuk memperoleh tanggapan/umpan balik.
6. Media massa sebagai interkulator, tidak sekadar tempat 'lalu lalang' informasi, tetapi
memungkinkan terjadinya komunikasi yang interaktif.
Media massa sendiri terbagi menjadi tiga jenis, yakni media cetak, media elektronik dan
media online.
2.2.4 Ideologi Media Massa
Menurut Peter D. Moss (dalam Eriyanto, 2002) ideologi sebagai seperangkat asumsi
budaya yang menjadi “normalitas alami dan tidak pernah dipersoalkan lagi.” Pandangan ini
sejalan dengan hipotesis Sapir-Whorf yang dikenal dalam linguistik bahwa bahasa itu tidak
sekadar deskriptif, yakni sebagai sarana untuk melukiskan suatu fenomena atau lingkungan,
tetapi juga dapat mempengaruhi cara kita melihat lingkungan kita. Implikasinya, Bahasa juga
dapat digunakan untuk memberikan aksen tertentu terhadap suatu peristiwa atau tindakan,
misalnya dengan menekankan, mempertajam, memperlembut, mengagungkan, melecehkan,
membelokkan, atau mengaburkan peristiwa atau tindakan tersebut.

Media berperan mendefinisikan bagaimana realitas seharusnya dipahami, bagaimana
realitas itu dijelaskan dengan cara tertentu kepada khalayak. Pendefinisian tersebut bukan
hanya pada peristiwa, melainkan juga aktor-aktor sosial. Di antara berbagai fungsi dari media
dalam mendefinisikan realitas, fungsi pertama dalam ideologi adalah media sebagai
mekanisme integrasi sosial. Media di sini berfungsi menjaga nilai-nilai kelompok, dan
mengontrol bagaimana nilai-nilai kelompok itu dijalankan. Salah satu kunci dari fungsi
semacam ini adalah bidang atau batas budaya. Untuk mengintegrasikan masyarakat dalam
tata nilai yang sama, pandangan atau nilai harus didefinisikan sehingga keberadaannya di
terima dan diyakini kebenarannya. Dalam kerangka ini, media dapat mendefinisikan nilai dan
perilaku yang sesuai dengan kelompok dan perilaku atau nilai apa yang dipandang
menyimpang. Perbuatan, sikap, atau nilai yang menyimpang tersebut bukanlah sesuatu yang
alamiah (nature), yang terjadi dengan sendirinya, dan diterima begitu saja. Semua nilai dan
pandangan tersebut bukan sesuatu yang terbentuk begitu saja, melainkan dikonstruksi. Lewat
konstruksi tersebut, media secara aktif mendefinisikan peristiwa dan realitas sehingga
membentuk kenyataan apa yang layak, apa yang baik, apa yang sesuai, dan apa yang
dipandang menyimpang. (Eriyanto, 2002: 144-145)
Dalam produksi berita, yang menjadi dasar dari proses produksi berita adalah semacam
konsensus: bagaimana suatu peristiwa dipahami bersama dan dimaknai. Di sini ada dua
pengertian: pada satu sisi peristiwa dan aktor yang direstui dan pada sisi lain adalah peristiwa
dan perilaku yang dikeluarkan (mbalelo) dari pembicaraan. Konsensus menyediakan suatu
kesatuan: satu negara, satu masyarakat satu budaya─dan seringkali juga diterjemahkan
sebagai ‘kami’: industri kami, kebudayaan kami, ekonomi kami, sistem pemerintahan kami,
sistem demokrasi kami, dan sebagainya. Melalui konsensus ini realitas yang beragam dan
tidak beraturan diubah menjadi realitas yang mudah dan bisa dikenali, sesuatu yang plural
menjadi tunggal. (Eriyanto, 2002: 145-146)
Daniel Hallin membuat ilustrasi dan gambaran menarik yang menolong menjelaskan
bagaimana berita kita tempatkan dalam bidang/peta ideologi. Ia membagi dunia jurnalistik ke
dalam tiga bidang: bidang penyimpangan (sphere of deviance), bidang kontroversi (sphere of
legitimate controversy), dan bidang konsensus (sphere of consensus). Bidang-bidang ini
menjelaskan bagaimana peristiwa-peristiwa dipahami dan ditempatkan oleh wartawan dalam
keseluruhan peta ideologis. Apakah peristiwa dibingkai dan dimaknai sebagai wilayah
penyimpangan, kontroversi, ataukah konsensus? Dalam wilayah penyimpangan, suatu
peristiwa, gagasan, atau perilaku tertentu dikucilkan dan dipandang menyimpang. Ini

semacam nilai yang dipahami bersama bagaimana peristiwa secara umum dipahami secara
sama antara berbagai anggota komunitas. (Eriyanto, 2002:150)
Bidang ini menunjukkan bagaimana terjadinya kesepakatan umum sehingga peristiwa,
gagasan, atau realitas dipahami dalam bingkai yang sama. Bingkai itu menyertakan nilai-nilai
yang dipahami dan disepakati secara bersama oleh anggota komunitas. Bidang kedua adalah
wilayah kontroversi. Kalau pada bidang yang paling luar ada kesepakatan umum bahwa
realitas (peristiwa, perilaku, dan gagasan) dipandang menyimpang dan buruk, dalam area ini
realitas masih diperdebatkan/dipandang kontroversial. Kegiatan seksual misalnya masih
diperdebatkan. Ia tidak serta merta dipandang sebagai perbuatan yang menyimpang, tetapi
diperdebatkan. Sedangkan wilayah yang paling dalam adalah konsensus: menunjukkan
bagaimana realitas tertentu dipahami dan disepakati secara bersama-sama sebagai realitas
yang sesuai dengan nilai-nilai ideologi kelompok.
Sebagai area ideologis, peta semacam ini dapat dipakai untuk menjelaskan bagaimana
perilaku dan realitas yang sama bisa dijelaskan secara berbeda karena memakai kerangka
yang berbeda. Masyarakat atau komunitas dengan ideologi yang berbeda akan menjelaskan
dan meletakkan peristiwa yang sama tersebut ke dalam peta yang berbeda, karena ideologi
menempatkan bagaimana nilai-nilai bersama yang dipahami dan diyakini secara bersamasama dipakai untuk menjelaskan berbagai realitas yang hadir setiap hari. (Eriyanto,
2002:151)

Sphere of
consensus
Sphere of Ligtimate Controversy
Sphere of Deviance

Gambar 2.1
Model Peta Ideologi Daniel Hallin
2.2.5 Konstruksi Sosial
Istilah konstruksi atas realitas sosial (social construction of reality) menjadi terkenal sejak
diperkenalkan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckmann melalui bukunya yang berjudul

The Social Construction of Reality: A Treatise in the Sociological of Knowledge (1966). Ia
menggambarkan proses sosial melalui tindakan dan interaksinya, dimana individu
menciptakan secara terus-menerus suatu realitas yang dimiliki dan dialami bersama secara
subyektif. (Bungin, 2008:13)
Asal usul konstruksi sosial dari filsafat konstruktivisme yang dimulai dari gagasan-gagasan
konstruktif kognitif. Menurut von Glasersfeld, pengertian konstruktif kognitif muncul
padaabad ini dalam tulisan Mark Baldwin yang secara luas diperdalam dan disebarkan oleh
Jean Piaget. Namun apabila ditelusuri, sebenarnya gagasan-gagasan pokok konstruktivisme
telah dimulai oleh Giambatissta Vico, seorang epistemolog dari italia, ia adalah cikal bakal
konstruktivisme. (Suparno, 1997:24)
Berger dan Luckmann (1990:1) mulai menjelaskan realitas sosial dengan memisahkan
pemahaman ‘kenyataan dan ‘pengetahuan’. Realitas diartikan sebagai kualitas yang terdapat
di dalam realitas-realitas yang diakui sebagai memiliki keberadaan (being) yang tidak
tergantung kepada kehendak kita sendiri. Sedangkan pengetahuan didefinisikan sebagai
kepastian bahwa realitas-realitas itu nyata (real) dan memiliki karakteristik yang spesifik.
Berger dan Luckmann (1990:61) mengatakan institusi masyarakat tercipta dan
dipertahankan atau diubah melalui tindakan dan interaksi manusia. Meskipun masyarakat dan
institusi sosial terlihat nyata secara obyektif, namun pada kenyataan semuanya dibangun
dalam definisi subjektif melalui proses interaksi. Objektivitas baru bisa terjadi melalui
penegasan berulang-ulang yang diberikan oleh orang lain yang memiliki definisi subyektif
yang sama. Pada tingkat generalitas yang paling tinggi, manusia menciptakan dunia dalam
makna simbolis yang universal, yaitu yaitu pandangan hidupnya yang menyeluruh, yang
memberi legitimasi dan mengatur bentuk-bentuk sosial serta memberi makna pada berbagai
bidang kehidupannya.
Pendek kata, Berger dan Luckmann (1966:61) mengatakan terjadi dialektika Antara
individu menciptakan masyarakat dan masyarakat menciptakan individu. Proses dialektika ini
terjadi melalui eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi. (Bungin, 2008:14-15)
Frans M. Parera (Berger dan Luckmann, 1990:xx) menjelaskan, tugas pokok sosiologi
pengetahuan adalah menjelas dialektika antara diri (self) dengan dunia sosiokultural.
Dialektika ini berlangsung dalam proses dengan tiga ‘moment’ simultan. Pertama,
ekternalisasi (penyesuaian diri) dengan dunia sosiokultural sebagai produk manusia. Kedua,
obyektivasi, yaitu interaksi sosial yang terjadi dalam dunia intersubyektif yang dilembagakan
atau mengalami proses institusionalisasi. Sedangkan ketiga, internalisasi, yaitu proses dimana

individu mengidentifikasikan dirinya dengan lembaga-lembaga sosial atau organisasi sosial
tempat individu menjadi anggotanya. (Bungin, 2008:15)
Eksternalisasi terjadi terjadi pada tahap yang sangat mendasar, dalam satu pola perilaku
interaksi antara individu dengan produk-produk sosial masyarakatnya. Proses ini dimaksud
adalah ketika sebuah produk sosial telah menjadi sebuah bagian penting dalam masyarakat
yang setiap saat dibutuhkan oleh individu, maka produk sosial itu menjadi bagian penting
dalam kehidupan seseorang untuk melihat dunia luar.
Tahap obyektivasi produk sosial terjadi dalam dunia intersubyektif masyarakat yang
dilembagakan. Pada tahap ini sebuah produk sosial berada pada proses institusionalisasi,
sedangkan individu oleh Berger dan Luckmann (1990:49) mengatakan, memanifestasikan diri
dalam produk-produk kegiatan manusia yang tersedia, baik bagi produsen-produsennya
maupun bagi orang lain sebagai unsur dari dunia bersama. Obyektivitas ini bertahan lama
sampai melampaui batas tatap muka dimana mereka dapat dipahami secara langsung.
(Bungin, 2011:16)
Internalisasi merupakan pemahaman atau penafsiran yang langsung dari suatu peristiwa
obyektif sebagai pengungkapan suatu makna, artinya, sebagai suatu manifestasi dari prosesproses subyektif orang lain yang dengan demikian menjadi bermakna secara subyektif bagi
individu sendiri. (Bungin, 2011:19)
2.2.6 Konstruksi Sosial Media Massa
Posisi “konstruksi sosial media massa” adalah mengoreksi substansi kelemahan dan
melengkapi “konstruksi sosial atas realitas”, dengan menempatkan seluruh kelebihan media
massa dan efek media pada keunggulan “konstruksi sosial media massa” atas “konstruksi
sosial atas realitas”.
Dari konten konstruksi sosial media massa, dan proses kelahiran konstruksi sosial media
massa melalui tahap-tahap sebagai berikut: (a) tahap menyiapkan materi konstruksi; (b) tahap
sebaran konstruksi; (c) tahap pembentukan konstruksi realitas; (d) tahap konfirmasi. (Bungin,
2011:194-195)
1. Tahap menyiapkan materi konstruksi
Menyiapkan materi konstruksi media massa adalah tugas redaksi media massa, tugas itu
didistribusikan pada desk editor yang ada di setiap media massa. Masing-masing media
memiliki desk yang berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan dan visi suatu media. Isu-isu
penting setiap hari menjadi fokus media massa, terutama yang berhubungan tiga hal, yaitu
kedudukan (takhta), harta, dan perempuan. (Bungin, 2011:195)

Selain tiga hal itu ada juga fokus-fokus lain, seperti informasi yang sifatnya menyentuh
perasaan banyak orang yaitu persoalan-persoalan sensitivitas, sensualitas maupun kengerian.
Ada tiga hal penting dalam penyiapan materi konstruksi sosial, yaitu:
a. Keberpihakan media massa kepada kapitalisme. Disini media massa digunakan oleh
kekuatan-kekuatan kapital sebagai mesin penciptaan uang dan pelipatgandaan modal.
b. Keberpihakan semu kepada masyarakat. Bentuk dari keberpihakan ini adalah dalam bentuk
empati, simpati, dan berbagai partisipasi kepada masyarakat, namun ujung-ujungnya adalah
juga untuk ‘menjual berita’ dan menaikkan rating untuk kepenyingan kapitalis.
c. Keberpihakan kepada kepentingan umum. Bentuk keberpihakan kepada kepentingan
umum dalam arti sesungguhnya sebenarnya adalah visi setiap media massa, namun akhirakhir ini visi tersebut tak pernah menunjukkan jati dirinya, namun slogan-slogan tentang visi
ini tetap terdengar. (Bungin, 2011:196)
2. Tahap Sebaran Konstruksi
Sebaran konstruksi media massa dilakukan melalui strategi media massa. Konsep konkret
strategi sebaran media massa masing-masing media berbeda, namun prinsip utamanya adalah
real time. Media elektronik memiliki konsep real time yang berbeda dengan media cetak.
Karena sifat-sifatnya yang langsung (live), maka yang dimaksud dengan real time oleh media
elektronik adalah seketika disiarkan, seketika itu juga pemberitaan sampai ke pemirsa atau
pendengar. Sedangkan media cetak memiliki konsep real time terdiri dari beberapa konsep
hari, minggu atau bulan, seperti terbitan harian, terbitan mingguan atau terbitan beberapa
mingguan atau bulanan.
Walaupun media cetak memiliki konsep real time yang sifatnya tertunda, namun konsep
aktualitas menjadi pertimbangan utama sehingga pembaca merasa tepat waktu memperoleh
berita tersebut. (Bungin, 2011:196)
3. Tahap Pembentukan Konstruksi Realitas
a. Tahap Pembentukan Konstruksi Realitas
Ada tiga tahap yang berlangsung secara generik pada pembentukan konstruksi realitas
yang dilakukan oleh media massa. Pertama, konstruksi realitas pembenaran; kedua,
kesediaan dikonstruksi oleh media massa; ketiga, sebagai pilihan konsumtif. Tahap pertama
adalah konstruksi pembenaran sebagai suatu bentuk konstruksi media massa yang terbangun
di masyarakat yang cenderung membenarkan apa saja yang ada (tersaji) di media massa
sebagai sebuah realitas kebenaran. Tahap kedua adalah kesediaan dikonstruksi oleh media
massa, yaitu sikap generik dari tahap pertama. Bahwa pilihan seseorang untuk menjadi
pembaca media massa adalah karena pilihannya untuk bersedia pikiran-pikirannya

dikonstruksi oleh media massa. Tahap ketiga adalah menjadikan konsumsi media massa
sebagai pilihan konsumtif, dimana seseorang secara habit tergantung pada media massa.
Media massa adalah bagian kebiasaan hidup yang tak bisa dilepaskan. Pada tingkat tertentu,
seseorang merasa tak mampu beraktivitas apabila apabila ia belum membaca koran.
b.Pembentukan Konstruksi Citra
Pembentukan konstruksi citra bangunan yang diinginkan oleh tahap konstruksi. Dimana
bangunan konstruksi citra yang dibangun oleh media massa ini terbentuk dalam dua model :
1) model good news, Model good news adalah sebuah konstruksi yang cenderung
mengkonstruksi suatu pemberitaan sebagai pemberitaan yang baik. Pada model ini objek
pemberitaan dikonstruksi sebagai sesuatu yang memiliki citra baik sehingga terkesan lebih
baik dari sesungguhnya kebaikan yang ada pada objek itu sendiri, dan 2) model bad news,
pada model bad news adalah sebuah konstruksi yang cenderung mengkonstruksi kejelekan
atau cenderung memberi citra buruk pada objek pemberitaan sehingga terkesan lebih jelek,
lebih buruk, lebih jahat dari sesungguhnya sifat jelek, buruk, dan jahat yang ada pada objek
pemberitaan itu sendiri.
(Bungin, 2011:198-200)
4. Tahap Konfirmasi
Konfirmasi adalah tahapan ketika media massa maupun pembaca member argumentasi dan
akuntabilitas terhadap pilihannya untuk terlibat dalam tahap pembentukan konstruksi. Bagi
media, tahapan ini perlu sebagai bagian untuk menjelaskan mengapa ia terlibat dan bersedia
hadir dalam proses konstruksi sosial. Alasan-alasan yang sering digunakan dalam konfirmasi
ini yaitu a) kehidupan modern menghendaki pribadi yang selalu berubah dan menjadi bagian
dari produksi media massa, b) kedekatan dengan media massa adalah life style orang modern,
dimana orang modern sangat menyukai popularitas terutama sebagai subjek media massa itu
sendiri, dan c) media massa walaupun memiliki kemampuan mengkonstruksi realitas media
berdasarkan subyektivitas media, namun kehadiran media massa dalam kehidupan seseorang
merupakan sumber pengetahuan tanpa batas yang sewaktu-waktu dapat diakses. (Bungin,
2011:200)
2.2.7 Media Online
Menurut Suryawati (2011:46), media online merupakan media komunikasi yang
pemanfaaatannya menggunakan perangkat internet. Karena itu, media online tergolong media
massa yang populer dan bersifat khas. Kekhasan media ini terletak pada keharusan untuk

memiliki jaringan teknologi informasi dengan menggunakan perangkat komputer, di samping
pengetahuan tentang program komputer untuk mengakses informasi atau berita.
Suryawati (2011:46-47) mengungkapkan bahwa media online memiliki beberapa
keunggulan diantaranya:
1. Informasinya bersifat up to date (senantiasa terbaru)
Media online dapat melakukan upgrade suatu informasi atau berita dari waktu ke waktu.
Hal ini terjadi karena media online memiliki proses penyajian informasi dan berita yang lebih
mudah dan sederhana dibandingkan dengan jenis media massa lainnya.
2. Informasinya bersifat real time
Media online dapat menyajikan informasi dan berita saat peristiwa sedang berlangsung
(live). Sebagian besar wartawan media online dapat mengirimkan informasi langsung ke meja
redaksi dari lokasi peristiwa.
3. Informasinya bersifat praktis
Keunggulan media online lainnya, seperti adanya fasilitas hyperlink, yaitu sistem koneksi
antara website ke website lain, fasilitasnya dapat dengan mudah menghubungkan dari situs ke
situs lainnya, sehingga pengguna dapat mencari atau memperloeh informasi lainnya. Tidak
sedikit wartawan sebagai pencari berita yang mencari berita dari internet.
Selain itu, menurut Muhtadi (2016) hal menarik yang membedakan media online dengan
media cetak lainnya adalah munculnya tingkat keterlibatan masyarakat yang lebih tinggi
dalam menulis dan menyampaikan beria. Tidak diperlukan keahlian khusus seperti halnya
wartawan profesional media cetak atau elektronik. Mereka seolah bebas menulis berita, mulai
dari kebingungan ibu-ibu menemukan resep masakan yang akan dipakai, hingga masalahmasalah besar, seperti konflik Muslim-Yahudi di sekitar Masjid Al-Aqsha.
2.2.8 Jurnalistik Online
Sesuai dengan media atau sarana yang digunakan, jurnalistik online dikategorikan sebagai
jurnalistik modern. Beberapa pakar jurnalistik menyebutnya dengan istilah jurnalistik baru
(new journalism) atau jurnalistik modern. Sedangkan jurnalistik yang sudah dikenal
sebelumnya (cetak, radio, dan televisi) disebut sebagai jurnalistik konvensional.
Jurnalistik online disebut sebagai jurnalistik modern karena menggunakan sebuah media
baru yang mempunyai karakteristik yang berbeda dengan media massa sebelumnya (cetak,
radio dan televsi), baik dalam format, isi, mekanisme hingga proses hubungan antara
pengelola media online dan penggunanya. (Suryawati, 2011:118)

Jurnalistik online sebagai jurnalistik modern memiliki karakteristik sebagai berikut. (dalam
Suryawati, 2011:118-120)
1. Bersifat real time
2. Bersifat interaktif
3. Mampu membangun hubungan yang partisipatif
4. Menyertakan unsur-unsur multimedia
5. Lebih leluasa dalam mekanisme publikasi
6. Kemudahan dalam pengaksesan
7. Tidak membutuhkan penyunting/redaktur seperti halnya media konvensional
8. Tidak membutuhkan organisasi resmi berikut legal formalnya sebagai lembaga pers
9. Lebih murah dibandingkan dengan media konvensional
10. Bisa didokumentasikan/diarsipkan
2.2.9 Berita
Berita (news) berasal dari bahasa Sansekerta, yaitu Vrit (persamaan dalan bahasa Inggris
dpat dimknai dengan write) yang artinya ‘ada’ atau ‘terjadi’. Sebagian ada yang menyebutnya
dengan Vritta, artinya “kejadian” atau ‘peristiwa yang telah terjadi’. Vritta dalam bahasa
Indonesia berarti ‘berita atau warta’. (Suryawati, 2011:67)
Barus (2010) mengatakan, bahwa berita adalah segala laporan mengenai peristiwa,
kejadian, gagasan, fakta yang menarik perhatian dan penting untuk disampaikan atau dimuat
dalam media massa agar diketahui atau menjadi kesadaran umum. Pada dasarnya, berita
mengandung beberapa unsur antara lain:
1.Suatu peristiwa, kejadian, gagasan, pikiran, fakta yang aktual
2. Menarik perhatian karena ada faktor yang luar biasa (extraordinary) di dalamnya
3. Penting
4. Dilaporkan, diumumkan atau dibuat untuk menjadi kesadaran umum supaya menjadi
pengetahuan bagi orang banyak (massa)
5. Laporan itu dimuat di media tertentu.
Dalam berbagai literatur, berita bisa dilihat dari berbagai sudut pandang. Berita dapat
diklasifikasikan ke dalam tiga kategori, yaitu seperti berikut. (dalam Suryawati, 2011:70-72)
1. Berita Berat (Hard News)
Hardnews adalah berita tentang peristiwa yang dianggap penting bagi masyarakat baik
sebagai individu, kelompok maupun organisasi. Hardnews tergolong berita langsung, sama

halnya dengan straightnews dan spotnews. Aktualitas merupakan unsur penting dari berita
langsung. Peristiwa/kejadian yang sudah lama terjadi tidak bernilai untuk berita langsung.
Namun, aktualitas bukan hanya menyangkut waktu, makin baru (aktual) berita itu disiarkan,
maka berita-berita tersebut makin baik. Aktualitas juga menyangkut sesuatu yang baru
diketahui atau diketemukan. Misalnya, cara b