TASYRI PADA MASA MUQQALLIDUN DAN FAKTOR

TASYRI’ PADA MASA MUQQALLIDUN DAN FAKTOR YANG
MELATARBELAKANGI
A. PENDAHULUAN
Agama Islam mempunyai sejarah yang panjang dalam pembuatan
hukum-hukum untuk mengatur kehidupan manusia. Di mulai sejak zaman
Nabi Muhammad SAW hingga saat ini. Masa yang paling panjang adalah
cara pengambilan hukum lewat jalan ijtihad. Ijtihad mengalami naik-turun
hingga saat ini. Menurut sejarawan hukum Islam, kegiatan ijtihad mulai
mengalami penurunan semenjak meninggalnya para mujtahid terkenal.
Hal ini terjadi pada masa-masa akhir kejayaan imperium Islam. Yaitu
ketika daulah Abbasiyah sudah di ambang pintu kehancuran. Sebagian
ulama memandang cukup untuk merujuk pendapat imam mahzabnya
tanpa harus melakukan ijtihad lagi. Fase ini merupakan fase pergeseran
orientasi. Kalau masa-masa sebelumnya merujuk pada Al-Qur’an dan
Sunnah, maka pada masa ini yang dirujuk adalah kitab-kitab fiqih yang
dikarang oleh imam-imam yang dipandang lebih berkompeten.
Untuk menjaga kesucian kitab-kitab fiqih disamping Al-Qur’an dan
Sunnah, ulama melakukan kegiatan yang bersifat internal, yaitu
membangun mahzab yang dianutnya sehingga dapat berkembang.
Terdapat dua ciri yang menandai kemunduran fiqih Islam, yaitu
munculnya taqlid dan tertutupnya pintu ijtihad.

Berbagai faktor, baik politik, mental sosial dan sebagainya yang telah
mempengaruhi kegiatan para ulama dalam bidang hukum. Sehingga tidak
sanggup mempunyai kepribadian fikiran sendiri, melainkan harus selalu
bertaqlid.
B. SUBSTANSI KAJIAN
1. KONSEP TAQLID
Taqlid berasal dari bahasa Arab “qallada”, “yuqallidu”, “taqliidan”, yang
mempunyai arti banyak: mengalungi, meniru, mengikuti. Sedangkan para
ulama fiqih mengartikan taqlid sebagai berikut:
‫قبول قول القائل وانت لتعلم من اين قاله‬
Artinya: penerimaan perkataan seseorang sedang engkau tidak
mengetahui dari mana asal perkataan itu. Menurut Al-Ghazali taqlid

adalah menerima atau mengamalkan pendapat orang lain yang tidak
diketahui hujjahnya dari Al-Qur’an dan Sunnah. Sedang menurut
Muhammad Rasyid Ridha adalah mengikuti pendapat seseorang yang
dianggap terhormat dan ahli hukum agama tanpa memperhatikan benar
atau salah, baik atau buruk, manfaat atau mudharat . Dja’far Amir, dalam
bukunya Ushul Fqih III menjelaskan taqlid adalah mengikuti pendapat
orang lain, mengikuti perkataan orang lain, dengan tidak mengetahui dari

mana asal pengambilannya, entah orang lain tadi benar atau salah,
pokoknya asal mengikuti saja tanpa mengetahui dasar-dasar
pengambilannya, hanya mengikuti saja tanpa berfikir. Dan orang yang
bertaqlid disebut MUQALLID (‫)مقلد‬.
Taqlid menurut Ali Syari’ati (1992; 73), dalam pemikiran Syi’ah, taqlid
(mengikuti ulama dalam masalah-masalah yang seseorang tak mampu
memahaminya) adalah hubungan yang logis, ilmiah, alamiah dan penting,
antara orang-orang awam atau bukan ahli dengan ulama dalam masalahmasalah praktis dan hukum yang mengandung aspek-aspek teknis yang
tidak diketahui oleh orang bukan ahli.
Dalam pemikiran Syafawi, taqlid hanyalah sekadar kepatuhan buta
kepada seorang ulama, tunduk sepenuhnya, tanpa mempertanyakan
pikiran, pendapat atau keputusan seorang ulama. Singkat kata, ia sama
artinya dengan menyembah gagasan-gagasan kaum agamawan.
Demikianlah, ketika selama berabad-abad, mazhab Syi’ah Alawi
mempersembahkan darah tak berdosanya guna mengatakan “tidak”
kepada segala bentuk agresi, penyimpangan, dan penindasan, kita
melihat bahwa kaum Syafawi justru sebaliknya sibuk mengatakan ”ya”!.
Misalnya, orang-orang yang meminta fatwa hukum tentang suatu
masalah kepada seorang mujtahid atau mufti. Mereka itu harus menerima
fatwa hukum atau hukum ijtihad dari mujtahid atau mufti itu tanpa harus

mengetahui dalil-dalil. Sebab mereka hanya diperintah oleh agama untuk
bertanya kepada ahlu adz-dzikir (orang yang mempunyai pengetahuan).
Sebagaimana tersebut dalam Al-Qur’an Surat An-Nahl ayat 43:
!$tBur $uZù=y™ö™r& ÆÏB y7Î=ö6s% žwÎ) Zw%y`͙ ûÓÇrq™R öNÍköŽs9Î 4
(#þqè=t«ó¡sù ™@÷dr& ̙ø.Ïe%!$# bÎ) óOçGYä. ™w tbqçHs>÷ès? ÇÍÌÈ
43. Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki

yang Kami beri wahyu kepada mereka; Maka bertanyalah kepada orang
yang mempunyai pengetahuan [454] jika kamu tidak mengetahui,
[454] Yakni: orang-orang yang mempunyai pengetahuan tentang Nabi
dan kitab-kitab.
Masjfuk Zuhdi mengatakan, mujtahid itu menjadi tempat bertanya dan
rujukan bagi masyarakat awam. Mereka wajib mengikuti hukum ijtihad
mujtahid, tanpa harus mengikuti dalil-dalilnya. Sebab mujtahid itu pasti
menyandarkan semua pendapatnya atas dalil-dalil syara’, Sekalipun ia
tidak menerangkan dalil-dalilnya itu kepada masyarakat awam yang
meminta fatwanya. Para mujtahid dari sahabat dan tabi’in banyak sekali
memberikan fatwa hukum kepada masyarakat awam tanpa menerangkan
landasan fatwanya, dan mereka pun dapat menerima fatwa atau hukum
ijtihadnya dengan baik. Namun, hal ini tidak berarti bahwa tidak ada

orang yang mengikuti hukum ijtihad itu mengetahui dalil dan tempat
pengambilannya. Dan orang-orang yang mengerti hukum ijtihad dengan
mengetahui dalil-dalilnya itu sudah tentu tingkatannya lebih tinggi
daripada orang-orang yang mengikuti hukum ijtihad tanpa mengetahui
dalil-dalilnya. Karena itu, sebagian ulama memberi nama muttabii’, bukan
muqallid kepada orang-orang yang mengikuti hukum ijtihad dengan
mengetahui dalil-dalil yang dipakai sebagai dasar hukum ijtihadnya.
Ulama telah sepakat bahwa pandangan dan sikap seorang mujtahid tidak
boleh berbeda dengan hukum ijtihadnya dan mujtahid lain. Tetapi ulama
belum ada kesepakatan mengenai suatu masalah yang belum pernah
diijtihadkan oleh seorang mujtahid, sedangkan mujtahid lain telah
melakukan ijtihad.
Adapun orang yang awam dan juga orang yang mempunyai pengetahuan
sedikit tentang berijtihad, tetapi belum sampai ketingkat mujtahid, para
ulama pada prinsipnya membolehkan mereka meminta fatwa dan taqlid.
Hanya saja ulama membedakan masalah furu’ dengan masalah ushul
atau aqidah.
Misalnya saja orang berbuat sesuatu karena semata-mata karena orang
tuanya berbuat demikian. Sebagaimana dalam Q.S. Asy Syu’ara: 74 yang
berbunyi

(#qä9$s% ö@t/ !$tRô™y`ur $tRuä!$t/#uä y7Ï9ºx™x. tbqè=yèøÿt™ ÇÐÍÈ

74. Mereka menjawab: “(Bukan karena itu) sebenarnya Kami mendapati
nenek moyang Kami berbuat demikian”.
Jadi mereka berbuat semata-mata asal meniru saja, hanya mengikut saja.
2. GAMBARAN POLITIK
Drs. Muhammad Zuhri berpendapat bahwa periode taklid tejadi sejak
runtuhnya Baghdad ditangan Holako sampai sekarang. Unsur Turki atau
Thurani adalah suatu unsur yang besar sekali yang terdiri dari beberapa
kabilah yang berbeda-beda, setelah menyiapkan sarana-sarana berkelana
ia jelajahi negeri-negeri Islam untuk menguasainya sebagai tambahan
atas negeri asalnya.
3. IJTIHAD PADA PERIODE INI
1. Pada periode pertama dimana Allah mewahyukan syari’at-Nya dihati
Rasullullah SAW yaitu\
sesuatu yang diturunkan oleh Allah lalu beliau terangkan pada manusia.
2. Pada periode kedua dan tiga para sahabat dan tabi’in menerangkan
metode-metode dari Kitabullah, Sunnah RasulNya dan ra’yu (pendapat)
yang benar.
3. Pada periode keempat, para imam-imam besar dan fuqaha-fuqaha

yang cerdik berusaha keras lalu mereka memetik buahnya yang
membukukan hukum-hukum syari’at secara terperinci.
4. Pada periode kelima mereka membuat urutan-urutan, membersihkan,
memilih dan mengunggulkan.
Drs. Muhammad Zuhri juga berkata, sebesar-besar keistimewaan periode
ini adalah menetapnya ruh taklid semata-mata pada jiwa ulama, dan
hanya sedikit saja dari kalangan mereka yang sampai ke derajat ijtihad.
Demikian itu pada sebagian pertama dari periode ini, yaitu di masa Kairo
menempati kedudukan Baghdad dan menjadi pusat kerajaan Islam dan
khilafah Abbasiyah. Pada masa ini muncullah dari waktu ke waktu orang
yang sampai ke tingkat ijtihad. Namun mereka berhenti membangsakan
diri kepada para imam yang terkenal.
Adapun pada sebagian yang kedua yaitu dari abad ke sepuluh sampai
sekarang keadaannya telah berganti dan tanda-tanda telah berubah dan

diumumkan bahwasannya tidak boleh bagi seorang fakih unuk memilih
dan mentarjih karena zamannya telah lalu serta terhalang antara orangorang dan kitab-kitab orang-orang yang terdaulu. Dan mereka
mencukupkan diri pada kitab-kitab yang ada di hadapan mereka.
Seperti pada situasi Mesir sebelum kerajaannya jatuh dan khilafah pindah
dari padanya. Kita jumpai nama-nama Al’Izz bin Abdus Salam, Ibnul Hajib,

Ibnu Daqiqil ‘Id, Ibnu Rif’ah, Ibnu Taimiyah, As Subki dan puteranya, Ibnul
Qayyim, Al Bulqini, Al Asnawi, Kamal bin Hammam dan Jalalluddin As
Sayuthi. Mereka itu orang-orang pandai dari madzhab empat. Kemudian
kita kembali menengok kepada masa sesudah itu maka kita tidak
mendengar nama seorang alim atau faqih besar, atau atau pengarang
yang baik, namun kita jumpai suatu kaum yang tinggal menerima saja
dalam fiqih.
Drs. Muhammad Zuhri berpendapat seolah-seolah jatuhnya bidang politik
adalah kemunduran ilmu, lebih-lebih ilmu agama yang mundur
sedemikian jauh. Ketika Mesir menuntut kembalinya kemuliaan maka
terbentur beberapa penghalang, yaitu:
1. Terputusnya hubungan antara ulama-ulama negara besar Islam.
2. Terputusnya hubungan antara kita dan kitab-kitab para imam.
4. SEBAB-SEBAB TAQLID
Drs. Yusron Asmuni dalam buku Dirasah Islamiyah II mengatakan bahwa
taqlid mulai muncul sekitar abad VII H sampai dengan abad XIII H. Yaitu
pada masa kemunduran umat Islam. Pada masa ini umumnya para ulama
tidak mau lagi melakukan ijtihad, mereka hanya membeda-bedakan mana
dalil yang kuat dan mana dalil yang lemah, dengan demikian ilmu fiqih
pada abad-abad ini dalam keadaan statis.

Pada periode taqlid ini memang terdapat beberapa ulama yang berani
menentang taqlid dan menyeru untuk ijtihad serta kembali kepada
sumber aslinya, yaitu Al-Qur’an dan Al-Hadist, di antaranya adalah Ibnu
Taimiyah (661-728 H), Ibnul Qayyim (691-751 H). Meskipun seruan ini
mendapat tantangan hebat dari ulama-ulama semasanya, akan tetapi
pada abad selanjutnya terutama setelah abad XIII H, mempunyai
pengaruh besar terhadap kemajuan Ilmu Fiqih.
Di dalam buku Sejarah Dan Perkembangan Hukum Islam, DR. Jaih

Mubarok mengemukakan bahwa secara umum keterpakuan tekstual
terjadi karena keterbelengguan akal pikiran sebagai akibat hilangnya
kebebasan berfikir. Farouk Abu Zaid berpendapat bahwa kebebasan
berfikir hilang karena disebabkan oleh pemaksaan penggunaan aliran
atau mahzab tertentu oleh pihak penguasa, seperti khalifah al-Makmun,
al-Mu’tasshim, dan al-Watsiq memaksakan muktazilah kepada ulama.
Salah satu akibat keterbelengguan akal dan pikiran adalah timbulnya
pendapat ulama yang memandang bahwa pendapat para imam mahzab
sepadan dengan nash Al-Qur’an dan Sunnah yang tidak dapat diubah,
digugat, atau diganti. Salah satu ulama mahzab Hanafi pernah berkata,
“Setiap ayat Al-Qur’an dan Hadist yang bertentangan dengan mahzab

Hanafi dapat ditakwilkan atau di-nasakh-kan.”. Imam Iyadl juga pernah
berkata, “Bagi yang taqlid, kedudukan pendapat imam mahzabnya dinilai
sejajar dengan Al-Qur’an dan Sunnah.”
Drs. Yusran Asmuni menyebutkan sebab-sebab timbulnya taqlid antara
lain:
a. Adanya pembukuan kitab-kitab Fiqih dan pembelaannya terhadap
mahzab yang dianut dalam kitab itu.
b. Kurangnya perhatian umat Islam terhadap ilmu agama dan terpecah
belahnya umat Islam atau negara-negara Islam.
c. Pengangkatan hakim-hakim muqallid dan membatasi agar keputusankeputusan hakim hanya dari mahzab tertentu.
d. Adanya kitab-kitab Manaqib, yaitu kitab yang menerangkan keutamaan
dan kelebihan suatu mahzab.
Selain dari yang disebutkan oleh Drs. Yusran Asmuni ada beberapa tokoh
lain yang menyebutkan beberapa sebab munculnya taqlid. Tokoh-tokoh
itu diantaranya adalah:
1. Sulaiman al-Asyqar (1991: 146-162) menyebutkan lima sebab:
a. Adanya penghargaan yang berlebihan kepada guru. Hal itu tercermin
dalam anggapan bahwa, pertama, setiap orang dewasa diwajibkan
menganut salah satu mahzab dan haram jika keluar dari mahzab
tersebut. Kedua, mengambil pendapat selain pendapat imam yang

dianutnya adalah haram, Ketiga, guru yang terdahulu lebih mengetahui
nash daripada kita.

b. Banyaknya kitab fiqih. Pada zaman Abu Bakar dan Umar, hadist tidak
boleh dibukukan karena Nabi SAW melarangnya. Cegahan tersebut
dilakukan karena Nabi khawatir para sahabat akan meninggalkan AlQur’an karena disibukkan dengan kegiatan pengumpulan dan pembukuan
hadist. Yang dikhawatirkan setelah munculnya kitab-kitab fiqih adalah
disibukkannya ulama dengan kegiatan yang berkutat pada kitab fiqih
melalui upaya pembuatan ringkasan (al-mukhtashar), penjelasan (syarh),
dan penjelasan atas penjelasan (hasyiyah).” Dalam kitab Muqaddimah,
Ibnu Khaldun menyatakan bahwa melakukan kegiatan yang berkutat pada
kitab fiqih adalah kegiatan yang menyulitkan karena akan belajar
haruslah menguasai, menghafal dan menjaga seluruh isi dan cara-cara
yang ditempuhnya.
c. Melemahnya Daulah Islamiyah. Sebagaimana yang kita ketahui
bersama, dukungan pemerintah sangat mempengaruhi terhadap kegiatan
ilmiah. Dunia Islam pun mulai berkembang dan maju setelah khalifah
berpihak kepada pengembangan ilmu dan penerjemahan terhadap bukubuku filsafat, astronomi dan kedokteran ke dalam bahasa Arab.
Sebaliknya melemahnya pemerintahan berarti melemah juga tehadap
pengembangan ilmu.

d. Adanya anjuran sultan yang menganjurkan untuk mengikuti aliran yang
dianutnya. Kedudukan sultan berpengaruh terhadap taqlid karena sultan
hanya mengangkat qadli atau hakim dari mahzab yang dianutnya.
e. Adanya keyakinan sebagian ulama yang beranggapan bahwa pendapat
setiap mujtahid itu benar. Menurut sebagian ulama, pendapat ulama
sejajar dengan syariat, sehingga pendapat ulama yang mana saja boleh
digunakan. Ada kesan bahwa pendapat ulama adalah agama yang mesti
diikuti.
2. Kamil Musa (1989: 180) menyebutkan tujuh alasan mengapa muncul
taqlid, yaitu:
a. Adanya ajakan kuat dari guru kepada muridnya untuk mengikuti
mahzab yang ia anut.
b. Lemahnya pemikiran dan peradilan.
c. Adanya upaya pembentukan dan pelestarian mahzab.
d. Munculnya faham bahwa ijtihad (mengeluarkan pendapat sendiri) telah

keluar dari mahzab yang ia anut.
e. Berkembangnya sikap berlebih-lebihan dalam memperlakukan kitabkitab fiqih.
f. Banyaknya kitab-kitab fiqih
g. Tidak adanya kesesuaian antara perkembangan akal dan
perkembangan pemahaman (fiqih).
3. Adapun menurut pandangan Muhammad ‘Ali al-Sayyis (1990: 138-139),
yang menyebabkan taqlid muncul adalah:
a. Munculnya ajakan yang kuat dari para penerus mahzab untuk
mengikuti mahzabnya sehingga yang tidak mengambil dan
mengggunakan pendapat imam mahzabnya dianggap keluar dari mahzab
dan melakukan bid’ah.
b. Adanya degradasi kecerdasan para hakim. Sebelumnya para hakim
diangkat dari kalangan ulama yang mampu melakukan istinbath al-ahkam
dari Al-Qur’an dan Sunnah secara langsung. Mereka memutuskan
sengketa dan perselisihan di pengadilan berdasarkan Al-Qur’an dan
Sunnah. Namun, dalam perkembangan selanjutnya, hakim diangkat dari
ulama yang mengikatkan diri dengan aliran hukum tertentu.
c. Berkembangnya pembentukan aliran-aliran fiqih.
d. Adanya “ulama” yang saling hasut.
e. Munculnya perdebatan ahli hukum secara tidak sehat.
f. Berkembangnya sikap berlebihan dalam mengajarkan fiqih mahzab
g. Rusaknya sistem belajar.
h. Banyaknya kitab-kitab fiqih.
i. Hilangnya kecerdasan individu.
j. Munculnya kesenangan masyarakat kepada harta secara berlebihan
(materialistik).
Menurut DR. Jaih Mubarok sebab munculnya taqlid adalah karena dua hal:
pertama, keterbelengguan pemikiran sehingga ulama lebih suka
mengikatkan diri dengan aliran fiqih tertentu; dan kedua, karena ulama
kehilangan kepercayaan diri untuk berdiri sendiri yang didasarkan pada
bahwa ulama pendiri mahzab itu lebih cerdas dan pintar daripada dirinya.
Ahmad Hanafi, M.A di dalam buku Pengantar dan Sejarah Hukum Islam

juga menjelaskan beberapa sebab munculnya taqlid, yaitu:
a. Pergolakan politik telah mengakibatkan perpecahan di dalam negeri
Islam menjadi negeri-negeri kecil sehingga negeri-negeri tersebut selalu
mengalami kesibukan perang, saling menfitnah, dan hilangnya
ketentraman masyarakat. Sehingga berkurangnya perhatian terhadap
kemajuan ilmu.
b. Timbul berbagai mahzab yang mempunyai metode berfikir sendiri
dibawah seorang imam mujtahid. Akibatnya para pengikut mahzab
berusaha untuk membela mahzabnya tanpa memperkuat dasar maupun
pendapatnya dengan cara mengemukakan alasan kebenaran mahzabnya
dan menyalahkan pendapat mahzab lain dengan cara memuji imam yang
mereka anut. Akhirnya seseorang tidak mengarahkan perhatiannya
kepada Al-Qur’an dan Hadist, tapi baru menggunakan kedua sumber ini
untuk memperkuat pendapat imamnya. Dengan demikian kebebasan
orang untuk berfikir menjadi hilang, orang berilmu menjadi awam dan
akhirnya hanya bisa bertaqlid.
c. Pembukuan terhadap pendapat mahzab menyebabkan orang mudah
untuk mencarinya, orang hanya mencari yang mudah bukan yang sulit.
Sebelumnya para fuqaha berijtihad untuk menyelesaikan masalah syara’.
Tapi setelah hasil ijtihad dibukukan para pencari ilmu hanya mencukupkan
dengan pendapat yang telah ada. Sehingga hilanglah dorongan untuk
maju.
d. Masa sebelumnya para hakim berasal dari orang yang bisa berijtihad
sendiri, tapi masa sesudahnya hakim diangkat dari orang yang bertaqlid
pada pendapat mahzab-mahzab tertentu.
e. Penutupan pintu ijtihad.
Jaih Mubarok menyebutkan beberapa penyebab tertutupnya ijtihad, yaitu:
Pertama, munculnya hubb al-dunya di kalangan para ulama. Imam alGhazali dalam kitab Ihya ‘Ulum al-Din, membagi ulama menjadi dua
bagian: ulama dunia dan ulama akhirat. Ulama dunia adalah ulama yang
ilmunya digunakan hanya untuk mengejar kepentingan duniawi; dan ia
lalai dalam ibadah serta kehilangan sifat zuhud.
Kedua, adanya perpecahan politik. Pada akhir kekuasaan Abbasiyah,
khalifah dijadikan boneka; daerah yang dikuasainya masing-masing

berdiri sendiri dan saling bermusuhan. Pada tahun 324 H, umat Islam
terbagi ke dalam beberapa kerajaan: Bashrah dikuasai dinasti Ra’iq, Fez
dikuasai dinasti ‘ali ibn Buwaihi, Ray dikuasai oleh Abi ‘Ali al-Husain ibn alBuwaihi, Diyar Bakr oleh bani Hamdan, Mesir dan Syam dikuasai dinasti
Fatimiyah, dan Bahrain dikuasai oleh dinasti Qaramithah. Khalifah hanya
berkuasa di Baghdad.
Ketiga, adanya perpecahan aliran fiqih. Umat Islam ada yang
beranggapan bahwa pendapat ulama sepadan dan sejajar dengan Alqur’an dan Sunnah. Pendapat ulama tidak boleh diubah atau diganti
dengan pendapat lain. Sehingga melahirkan ketidakharmonisan dalam
kalangan umat Islam, karena dalam sejarah umat Islam memiliki banyak
aliran. Setiap pengikut mahzab mengklaim bahwa pendapat imamnya
yang paling benar dan pendapat imam lain salah. Selain itu faktor lain
adalah munculnya keterbelengguan pemikiran atau kegiatan
pengembangan ilmu. Ijtihad adalah bagian dari kegiatan ilmiah. Sehingga
tertutupnya ijtihad merupakan implikasi kemunduran umat Islam.
Inilah beberapa pendapat yang mengemukakan sebab-sebab munculnya
taqlid. Dimana, karena semua itu menyebabkan orang-orang muslim
tidak mau lagi berijtihad dalam menyelesiakan permasalahan mereka.
Saling menghina dan menyalahkan aliran atau ajaran mahzab lain adalah
kebiasaan orang-orang muslim pada masa muqallidun. Dan kemunduran
Islam pun semakin parah dan tidak bisa bangkit seperti masa-masa
sebelumya.
HUKUM TAQLID
Pada dasarnya para ulama sepakat mengharamkan taqlid karena dapat
membuat manusia malas untuk berijtihad. Dalam buku Ushul Fiqih II
karangan Drs. H.A. Mu’in disebutkan ada tiga hukum taqlid, yaitu:
a. Taqlid yang haram
Para ulama membagi taqlid yang dihukumi haram ini menjadi tiga
macam:
1. Taqlid semata-mata mengikuti adat kebiasaan atau pendapat nenek
moyang atau orang-orang dahulu kala, yang bertentangan dengan AlQur’an dan Sunnah. Contohnya adat kebiasaan yang terjadi pada

masyarakat yang sampai sekarang masih sulit untuk ditinggalkan, yaitu
pada setiap bulan syuro diadakan yang namanya “bersih desa” atau
“grebeg suro” yang ditandai dengan ritual-ritual yang menandai
perbuatan syirik dan perdukunan yang masih kental di dalam masyarakat
awam di daerah-daerah terpencil. Allah berfiman dalam surat Al-Baqarah:
#s™Î)ur ™@™Ï% ãNßgs9 (#qãèÎ7®?$# !$tB tAt™Rr& ª!$# (#qä9$s% ö@t/
ßìÎ6®KtR !$tB $uZø™xÿø9r& Ïmø™n=tã !$tRuä!$t/#uä 3 öqs9urr& ™c%x.
öNèdät!$t/#uä ™w ™cqè=É)÷èt™ $\«ø™x© ™wur tbrߙtGôgt™ ÇÊÐÉÈ
170. Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Ikutilah apa yang telah
diturunkan Allah,” mereka menjawab: “(Tidak), tetapi Kami hanya
mengikuti apa yang telah Kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang
kami”. “(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang
mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat
petunjuk?”.
Dan fiman Allah SWT dalam Surat Al-Maidah ayat 104:
#s™Î)ur ™@™Ï% óOçlm; (#öqs9$yès? 4™n#x™yèø9$# ÇÊÏÎÈ ™Î)

r&§™t7s? tûïÏ%©!$# (#qãèÎ7™?$# z`ÏB ™úïÏ%©!$# (#qãèt7•?$#
(#ãrr&u™ur z>#x™yèø9$# ôMyè©Üs)s?ur ãNÎgÎ/ Ü>$t7ó™F{$# ÇÊÏÏÈ
165. Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah
tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana
mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat
cintanya kepada Allah. Dan jika seandainya orang-orang yang berbuat
zalim itu [57] mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat),
bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya, dan bahwa Allah Amat
berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal).
166. (yaitu) ketika orang-orang yang diikuti itu berlepas diri dari orangorang yang mengikutinya, dan mereka melihat siksa; dan (ketika) segala
hubungan antara mereka terputus sama sekali.
[57] Yang dimaksud dengan orang yang zalim di sini ialah orang-orang
yang menyembah selain Allah.
3. Taqlid kepada perkataan atau pendapat seseorang, sedang yang
bertaqlid mengetahui bahwa perkataan dan pendapat itu salah.
Sebagaimana firman Allah SWT dalam Q.S At-Taubah ayat 31:
(#ÿrä™s™ªB$# öNèdu™$t6ômr& öNßguZ»t6÷dâ™ur $\/$t/ö™r& `ÏiB Âcrߙ «!
$# yx™Å¡yJø9$#ur ™Æö/$# zNt™ö™tB !$tBur (#ÿrã™ÏBé& žwÎ)
(#ÿrߙç6÷èu™Ï9 $Yg»s9Î) #Y™Ïmºur ( Hw tm»s9Î) žwÎ) uqèd 4
¼çmoY»ysö7ߙ $£Jt㠙cqà2̙ô±ç™ ÇÌÊÈ
31. Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka
sebagai Tuhan selain Allah[372] dan (juga mereka mempertuhankan) Al
masih putera Maryam, Padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan
yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci
Allah dari apa yang mereka persekutukan.
[372] Maksudnya: mereka mematuhi ajaran-ajaran orang-orang alim dan
rahib-rahib mereka dengan membabi buta, biarpun orang-orang alim dan
rahib-rahib itu menyuruh membuat maksiat atau mengharamkan yang
halal.
Berkenaan dengan ayat di atas Nabi Muhammad SAW bersabda:
‫اليس يحلون لكم ما حرم الله عليكم فتحلونه ويحرموت عليكم ما احل الله لكم فتحرمونه‬

Artinya: ”Bukankah mereka menhalalkan bagimu apa yang telah
diharamkan Allah, dan mereka telah mengharamkan atasmu apa yang
telah dihalalkan Allah bagimu. Lalu kamu mengharamkannya pula”?
Dalam ayat ini dijelaskan orang-orang yahudi dan nasrani mengikuti
perkataan dan pendapat rahib-rahib dan pendeta pendeta tanpa
memperhatikan dasar-dasar dalil yang mereka ucapkan karena mereka
menganggap rahib dan pendeta adalah Tuhan. Hal ini dikemukakan Allah
secara analogi dalam ayat ini bahwa bertaqlid kepada orang lain, sedang
mereka mengetahui berbagai kesalahan sama dengan menyembah
kapada selain Allah. Dan hal ini sangat dicela Alah dan Rasulnya. Taqlid
semacam ini kelak akan dimintai tanggung jawab di akhirat. Allah
berfirman:
™wur ß#ø)s? $tB }§ø™s9 y7s9 ¾ÏmÎ/ íOù=Ïæ 4 •bÎ) yìôJ¡¡9$# u Ž|
Çt7ø9$#ur y™#xsàÿø9$#ur ™@ä. y7Í´¯»s9’ré& tb%x. çm÷Ytã Zwqä«ó¡tB
ÇÌÏÈ
36. “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai
pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan
hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya”. (Q.S Al-Israa’:
36)
Sehubungan dengan taqlid yang diharamkan diatas Ad Dahlawi
mengatakan bahwa tidak boleh seorang awam bertaqlid kepada seorang
ulama dengan anggapan bahwa ulama itu tidak munkin salah atau
dengan anggapan bahwa semua yang dikatakan ulama itu pasti benar,
serta enggan mengikuti perkataan atau pendapat orang lain walaupun
ada dalil yang membenarkannya. Ad Dahlawi juga mengatakan bahwa
tidak boleh bertaqlid kepada orang yang mengharuskan berfatwa sesuai
dengan mahzab Hanafi sehingga semua persoalan harus dikembalikan
kepada mahzab Hanafi saja atau dengan mahzab tertentu saja, karena
hal ini menyalahi kesepakatan ulama dan berlawanan dengan pendapat
sahabat dan tabi’in.
b. Taqlid yang Dibolehkan

Drs. H.A. Mu’in mengatakan diperbolehkan bertaqlid kepada seorang
mujtahid dalam hal yang belum ia ketahui hukum Allah dan Rasulnya
yang berhubungan dengan persoalan atau suatu peristiwa, dengan syarat
bahwa ia harus selalu mencari dalil dan menyelidiki kebenaranya,
maksudnya bahwa taqlidnya adalah bersifat sementara. Dan jika
kebenarannya sudah diketahui dari Al-Qur’an dan Hadist dan ternyata
pendapat mujtahid tersebut salah maka pendapat itu harus ditinggalkan
dan kembali pada Al-Qur’an dan Hadist. Sebagai contoh adalah jika kita
ketinggalan waktu sholat ashar ada ulama yang berpendapat boleh
dijama’ dengan sholat magrib sesudahnya. Untuk sementara kita boleh
mengikuti pendapat tersebut. Tapi jika kita menemukan dalil yang
menyalahkan pendapat tersebut kita harus meninggalkannya.
Taqlid ini biasanya terjadi pada orang awam kepada ulama yang
dipercayainya, selama orang awam itu belum menemukan alasan dari
pendapat ulama yang diikutinya itu. Hal semacam ini sudah terjadi
dikalangan umat Islam sejak zaman Nabi Muhammad SAW.
Sekalipun para imam mujtahid, seperti imam, Abu Hanifah, Malik, AsySyafi’i, Ahmad bin Hanbal tidak mengharuskan orang bertaqlid kepada
pendapat mereka, namun para ulama mutaakhirin membagi masyarakat
yang bertaqlid menjadi dua golongan , yaitu:
1. Golongan awam atau orang yang tidak berpendidikan wajib bertaqlid
kepada pendapat salah satu dari ke empat imam tersebut.
2. Golongan yang memenuhi syarat ijtihad, sehingga tidak boleh bertaqlid
kepada ulama. Ulama yang berpendapat demikian antara lain:
1. Al ‘Adhud (wafat 573 H)
2. Ibnul Hajib (wafat 646 H)
3. Ibnus Subki (wafat 771 H)
4. Al Mahalli (wafat 886 H)
Mereka berempat mengemukakan ada dua arti taqlid:
1. Taqlid dengan arti lughawi (bahasa), yaitu beramal atau mengikuti
pendapat seseorang tanpa mengetahui sama sekali dasar dari pendapat
itu.
2. Taqlid dengan arti ‘urfi (populer), yaitu beramal atau mengikuti

pendapat seeorang, sedang dasar dari pendapat itu tidak diketahui
dengan sempurna.
Ahmad Hanafi menjelaskan bahwa bagi orang yang sudah mencapai
tingkatan mujtahid, maka dengan kesepakatan fuqaha ia tidak boleh
menggunakan pendapat orang lain dengan menyalahi hasil ijtihadnya
sendiri. Tetapi apabila dalam suatu persoalan ia belum mengambil ijtihad,
sedangkan orang lain telah mengadakan ijtihad apakah ia boleh
mengikuti mendapat mereka?
Menurut pendapat yang kuat ia tidak boleh mengambil ijtihad orang lain
dan ia harus ijtihad sendiri sebagai kewajiban pokok. Kebolehan mengikuti
pendapat orang lain bagi orang awam tidak berlaku bagi orang yang
sanggup melakukan ijtihad sendiri. Kebolehan mengikuti pendapat bagi
orang biasa hanya terbatas dalam masalah furu’ (masalah yang lahir),
bukan masalah kepercayaan dan orang yang diikuti bukanlah orang yang
awam, tapi orang yang ahli dalam melakukan ijtihad, berdasarkan
keyakinan yang maksimal.
Kalau dalam suatu negeri terdapat beberapa tingkatan orang mujtahid,
maka yang harus diikuti adalah orang yang paling taat beragama, karena
kedudukan para mujtahid bagi orang-orang awam sama dengan
kedudukan dalil syara’ bagi seorang mujtahid, harus diadakan penarjihan
mana yang lebih kuat. Pendapat lain mengatakan, orang awam bisa
mengikuti mujtahid mana yang disukai, karena di kalangan sahabatsahabat sendiri terdapat tingkatan keijtihadannya. Walaupun begitu tidak
ada riwayat yang mengharuskan bagi orang awam untuk mengikuti
sahabat tertentu dan tidak ada kritikan terhadap orang yang mengikuti
mujtahid sahabat dari kalangan biasa.
c. Taqlid yang Diwajibkan
Pada zaman sekarang ini taqlid yang berkembang seperti di Indonesia
adalah taklid kepada buku, bukan taqlid kepada imam-imam yang
terkenal. Imam-imam yang terkenal itu adalah Abu Hanifah, Malik, Asy
Syafi’i, dan Ahmad Bin Hanbal. Jika seseorang bertaqlid kepada seorang
imam dia harus mengikuti ajaran imam tersebut secara murni, atau
setidaknya kepada muridnya yang paling dekat. Orang yang bertaqlid

pada salah satu imam tidak boleh mengikuti ajaran imam lain. Tapi
kenyataan yang terjadi adalah tidak demikian, kebanyakan orang
mengikuti pendapat seseorang yang digolongkan termasuk mahzab salah
satu imam.
Jadi kenyataan menunjukkan bahwa taqlid yang berkembang masa
sekarang, bukan taqlid kepada mujtahid, sebagaimana yang dikehendaki
Al ‘Adhud (wafat 573 H), Ibnul Hajib (wafat 646 H), Ibnus Subki (wafat 771
H), dan Al Mahalli (wafat 886 H) dan para ushul fiqih, tetapi adalah taqlid
kepada orang yang mengaku bertaqlid kepada imam yang terkenal,
sambil menyisipkan pendapatnya ke dalam kitab karangan imam-imam
yang terkenal. Hal semacam ini sangat dilarang oleh para ulama,
khususnya Ad Dahlawi, Ibnu Abdil Bar, Al Jauzi dan sebagainya.
6. TAQLID dalam MASALAH FAR’IJJAH
Dja’far Amir mengemukakan taqlid dalam masalah far’ijjah sebagai
berikut:
‫واختلفوا فى المسائل الشرعية هل يجوزالتقليد فيها فذهب الجمهور من اهل العلم انه ليجوز‬
‫مطلقا‬
Para ulama berselisih dalam masalah far’ijjah (hukum syara’), adakah
diperbolehnya taqlid dalam soal syara’ itu.
1. Para ulama jumhur melarang hal itu secara mutlak. Maksudnya, agar
supaya tiap orang itu berusaha supaya mengetahui hukum Allah dengan
sungguh-sungguh. Tidak hanya ikut saja, tapi kita beramal harus disertai
ilmu dan amal tanpa ilmu adalah tidak karuan serta tidak dapat
dipertanggung jawabkan ke hadapan Allah SWT. Jadi ulama jumhur
mencela taqlid.
2. Sebagian ulama mewajibkan taqlid. Berarti yang belum mengerti
diwajibkan mengikuti dan meniru saja kepada yang sudah mengerti. Tidak
boleh berfikir, karena berfikirnya orang yang tidak mengerti akan keliru
dan sia-sia, dan sulit untuk dapat dipertanggung jawabkan.
Taqlid bagi dia lebih aman daripada berfikir sendiri.
‫يجب مطلقا ويحرم النظر‬
3. Ulama yang lain berpendapat harus diperinci ialah bahwa taqlid wajib

bagi orang awam dan haram bagi seorang mujtahid. Karena mengingat
tidak semua orang dapat mengetahui dengan sendiri tentang hukum
syara’.
‫التفصيل وهو يجب للعام ويحرم على المجتهد‬
Masjfuk Zuhdi menjelaskan mengenai taqlid dalam masalah-masalah furu’
(masalah bukan aqidah), ada tiga pendapat , ialah:
1. Tidak boleh taqlid begitu saja, tetapi mereka wajib berusaha
mengetahui hukum- hukum ijtihad atau fatwa dari mujtahid/mufti.
2. Boleh taqlid dalam masalah-masalah ijtihadiyah, bukan masalahmasalah yang sudah ada kepastian hukumnya dalam nash Al-Quran dan
Sunnah.
3. Wajib mengikuti pendapat mujtahid dan mengambil fatwanya (taqlid).
Karena itu sesuai dengan tradisi di zaman sahabat dan tabi’in,
masyarakat awam selalu bertanya kepada mujtahid dari kalangan
sahabat dari tabi’in itu mengenai masalah-masalah hukum syara’. Dan
mereka menanggapi secara cepat dengan memberikan fatwa-fatwanya
kepada masyarakat awam yang meminta fatwanya. Kemudian mereka
dengan penuh kepercayaan dapat menerima fatwa-fatwa para mujtahid
itu, sekalipun fatwa-fatwa hukumnya tidak disertai dalil syara’, sebab
masyarakat awam itu seolah-olah menganggap mujtahid sebagai dalil
sendiri kedudukannya.
Mengenai taqlid dalam masalah-masalah ushul atau aqidah, kebanyakan
ulama Ushul Fiqh berpendapat, bahwa tidak boleh taklid dalam masalah
ushul/akidah, sekalipun bagi masyarakat awam. Siapa pun orang muslim
wajib mengetahui dan memahami dalil-dalilnya secara global dengan
alasan sebagai berikut:
1. Masalah yang menyangkut ushul/akidah itu terbatas dan tertentu,
berbeda dengan masalah furu’ yang tidak terbatas jumlahnya, sehingga
kewajiban mengetahui dan memahami dalil-dalil aqidah secara global itu
tidak akan menimbulkan kerepotan dan kesulitan hidup masyarakat.
2. Manusia diperintahkan untuk mencapai tingkatan yakin dalam masalah
akidah. Misalnya Surat Al-A’raf ayat 185:
óOs9urr& (#rã™ÝàZt™ ™Îû ÏNqä3n=tB ÏNºuq»yJ¡¡9$# ÇÚö™F{$#ur $tBur
t,n=y{ ª!$# `ÏB &äóÓx« ÷br&ur #Ó|¤tã br& tbqä3t™ ϙs% z>uŽtIø%$#

öNßgè=y_r& ( Äd™r’Î7sù ¤]™Ï™tn ¼çny™÷èt/ tbqãZÏB÷s㙠ÇÊÑÎÈ
185. Dan Apakah mereka tidak memperhatikan kerajaan langit dan bumi
dan segala sesuatu yang diciptakan Allah, dan kemungkinan telah
dekatnya kebinasaan mereka? Maka kepada berita manakah lagi mereka
akan beriman sesudah Al Quran itu?
3. Pada dasarnya taklid itu tercela dan dilarang oleh agama. Dan kalau
kita diperbolehkan taklid dalam masalah furu’ itu tidak lain sebagai
dispensasi. Banyak ayat Al-Quran yang mencela sikap bertaqlid. Antara
lain surat Al-Baqarah ayat 170,yang artinya:
“Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Ikutilah apa yang telah
diturunkan Allah,” mereka menjawab: “(Tidak), tetapi Kami hanya
mengikuti apa yang telah Kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang
kami”. “(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang
mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat
petunjuk?”.
7. BERTANYA
Dja’far Amir juga mengemukakan bahwa bagi orang yang tidak mengerti
sebenarnya diharuskan oleh Allah bertanya kepada yang mengerti,
sehingga jelaslah dia soal-soal agama, mengerti hukum-hukum Allah
dengan baik, tidak hanya ikut-ikut saja. Karena Allah membekali manusia
dengan akal adalah untuk berfikir dan juga untuk memikirkan tentang
hukum-hukum Allah. Allah berfiman dalam sebuah ayat:
!t4 (#þqè=t«ó¡sù ™@÷dr& ̙ø.Ïe%!$# bÎ) óOçGYä. ™w tbqçHs>÷ès? ÇÍÌÈ
Artinya: “Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan
[454] jika kamu tidak mengetahu”. (Q.S An-Nahl: 43)
[454] Yakni: orang-orang yang mempunyai pengetahuan tentang Nabi
dan kitab-kitab.
Allah juga berfirman yang artinya: …”Apakah kamu tidak berfikir”. (Q.S
Al-An’am: 50)
™xsùr& tbr㙩3xÿtGs? ÇÎÉÈ
8. PENDAPAT PENDAPAT IMAM MAHZAB TENTANG TAQLID
Drs. H.A. Mu’in, dkk dalam buku Ushul Fiqih menjelaskan para ulama

sepakat bahwa boleh bertaqlid kepada seorang mujtahid yang telah
diakui oleh para ulama sebagai mujtahid selama seseorang belum
memiliki kesanggupan untuk melakukan ijtihad, sesuai dengan ketentuan
Ushul Fiqih bahwa dilarang bertaqlid kepada muqallid sementara boleh
bertaqlid kepada mujtahid.
Pada masa kehidupan imam-imam mahzab, belum ada persoalan taqlid
karena para imam menganjurkan dan mendorong umat Islam untuk
menuntut ilmu agama Islam sehingga mereka bisa berijtihad. Pendapat
para imam mahzab tentang taqlid adalah sebagai berikut:
1. Abu Hanifah (80-150 H)
Imam Abu Hanifah sangat melarang seseorang mengikuti apa yang
dikatakannya, jika ia tidak mengetahui dasar perkataan itu. Beliau
menyatakan: “Tidak boleh seseorang mengikuti perkataan yang telah
kami katakan, sehingga ia mengetahui dari mana asal perkataan kami
itu”. Bahkan beliau mengharamkan orang mengikuti fatwanya, jika ia
tidak mengetahui dalil dari fatwa itu.
Abu Hanifah pernah ditanya orang: ‘apakah engkau akan mengatakan
suatu perkataan, sedang kitab Allah melarangnya, bagaimana
pendapatmu’. Beliau menjawab: ‘tinggalkanlah perkataanku dan ikutilah
kitab Allah’. Orang itu bertanya: ‘Bila khabar Rosululloh menyalahkannya’.
Beliau menjawab: ‘tinggalkanlah perkataanku dan ikutilah khabar dari
Rosululloh SAW’. Bila perkataan sahabat menyalahkannya,’ Beliau
menjawab: ‘tinggalkan perkataanku dan ikutilah perkataan para sahabat’.
2. Malik bin Anas (93-179 H)
Beliau menyatakan bahwa beliau adalah seorang manusia biasa yang
tidak luput dari berbagai kesalahan. Beliau berkata: sesungguhnya aku ini
tidak lain adalah manusia biasa, munkin aku salah dan mungkin benar.
Karena itu hendaklah kamu perhatikan pendapatku. Semua pendapatku
yang sesuai dengan kitab Allah dan Sunnah Rasul, ambillah, dan semua
yang tidak sesuai dengan Sunnah Rasul tinggalkanlah’.
Sewaktu beliau ziarah ke makam Rasululloh SAW, beliau berkata kepada
temannya: ‘Setiap orang dapat diterima atau ditolak pendapatnya,

kecuali perkataan orang yang ada di dalam kubur ini’ sambil menunjuk ke
kuburan Rasul. Hal ini berarti setia pendapat dan perkataan orang sampai
kepada kita harus diperiksa dan diteliti lebih dulu, jika benar diikuti dan
jika salah ditinggalkan.
3. Imam Asy Syafi’i (150-204)
Beliau adalah murid Imam Malik. Ia belajar kepada Imam Malik selama 9
tahun. Kemudian belajar kepada Muhammad bin Hasan, murid imam
Malik selama sekitar dua tahun. Imam Syafi’i lebih tegas terhadap taqlid,
dan ada nada mengecam orang yang taqlid dan orang yang
menganjurkan bertaqlid. Beliau menyatakan: “Terhadap apa yang telah
aku katakan, sedang Hadist Nabi telah menyalahi perkataanku, maka
riwayat yang benar adalah dari Nabi SAW lebih utama dan janganlah
kamu bertaqlid padaku”.
Beliau juga menyatakan bahwa beliau akan meninggalkan pendapatnya,
pada setiap saat ia mengetahui bahwa pendapatnya tidak sesuai dengan
Hadist Nabi SAW. Setiap masalah yang benar-benar berasal dari Nabi SAW
dan menyalahi pendapatku, maka aku akan kembali kepada Hadist Nabi,
di waktu aku hidup atau setelah mati.
Bahkan beliau berpesan kepada Abu Ishaq dan Al-Muzzani: ‘Hai Abu Ishaq
janganlah bertaqlid kepada setiap apa yang aku katakan, perhatikanlah
yang demikian untuk dirimu sendiri, karena hal ini berhubungan dengan
masalah agama’.
4. Imam Hambali (164-241)
Imam Hambali sangat melarang taqlid. Imam Abu Daud berkata: ‘aku
pernah bertanya kepada Imam Hambali: “Apakah Imam Auza’i yang aku
ikuti atau Imam Malik”. Beliau menjawab: “Jangan kamu mengikuti
pendapat salah seorang dari keduanya dalam hal yang berhubungan
dengan hal agamamu. Apa yang berasal dari Nabi SAW dan sahabatnya,
hendaklah kamu ambil dan pegang kokoh, kemudian apa yang berasal
dari tabi’in boleh kamu ambil setelah kamu seleksi atau teliti.
Dari permyataan ini difahamkan bahwa beliau melarang bertaqlid pada
para imam manapun, dan beliau menyuruh orang agar mengikuti semua
yang berasal dari Nabi SAW dan orang-orang sesudahnya agar diselidiki

lebih dahulu. Mana yang benar diikuti dan mana yang salah ditinggalkan.
Beliau pernah menyatakan bahwa tanda menunjukkan sedikitnya ilmu
seorang itu, ialah ia bertaqlid kepada seseorang tentang urusan agama.
Banyak pernyataan-pernyataan beliau yang menunjukkan bahwa beliau
seorang yang tidak menyetujui taqlid.
9. ULAMA YANG HIDUP PADA MASA TAQLID
1. IBNU HAZM AL-ZHAHIRI (384-456 H)
Ibnu Hazm hidup dalam dua masa kerajaan Islam yaitu dinasti Umayah
dan zaman Muluk Al Thawaif. Ia hidup di masa Umayah selama 37 tahun
dan 32 tahun pada zaman Muluk al-Thawaif. Sebagai anak seorang
menteri ia mulai mengenal politik sejak muda, yaitu usia lima belas
tahun. Dia melihat berbagai macam kerusuhan dalam pemerintahan
Negara. Bahkan dia ikut dalam kancah politik dan menyelesaikan
kericuhan sampai beberapa kali sehingga keluar masuk penjara. Setelah
keluar dari penjara yang terakhir, Ibnu Hazm mencurahkan perhatiannya
dan menuliskan gagasan-gagasannya.
Kemelut politik yang berkepanjangan membuat Ibnu Hazm melakukan
penelitian tentang hukum yang berlaku. Mahzab resmi bani Umayah
adalah mahzab Imam Maliki. Dalam pandangannya fiqih Maliki
menggunakan mashlahah mursalah yang menggunakan ra’yu ternyata
tidak bisa mengatasi permasalahan politik yang terjadi dalam tubuh bani
Umayah.
Ibnu Hazm mengajukan solusi ntuk mengganti mahzab yang resmi yang
tidak dapat mengatasi kemelut politik tersebut adalah mengajukan empat
sumber yaitu al-kitab, al-sunnah, ijma’ al-shahabah, dan al-dalil.
Guru-guru Ibnu Hazm:
1. Al- Husain Ibnu ‘Ali al-Farasy
2. Ahmad ibn Yusuf
3. Ibnu ‘Abd al-Birri al-Maliki
4. ‘Abd al-Qasim ‘Abd al-Rahman al-Azdi
5. Abu Bakr Muhammad ibn Ishaq
6. ‘Abd Allah al-Azdi
7. Abu Khiyar Mas’ud ibn Sulaiman ibn Maflat al-Zahiri

8. Abu ‘Abd Allah ibn Hasan al-Madhaji.
Dalam ijtihad, Ibnu Hazm menentukan langkah-langkah sebagai berikut:
‫الصول التى ليعرف شيء من الشارع ال منها اربعة وهي نص القران ونص كلم رسول الله‬
‫صلى الله عليه وسلم الذى انما هو عن الله مما صح عنه عليه السلم ونقله الثقات او التواتر‬
‫واجماع الئمة ودليل منها ليحتمل ال وجها واحدا‬
“ Dasar-dasar hukum Allah yang sama sekali tidak dapat diketahui kecuali
dengan empat dasar, yaitu nash Al-Qur’an, nash sabda Nabi Muhammad
SAW yang dasarnya berasal dari Allah yang diriwayatkan oleh rawi tsiqah
(cerdas, adil, dan kuat ingatan) atau diriwayatkan secara mutawatir, ijma’
ulama, dan al-dalil”.
Karya Ibnu Hazm
Kitab fiqih Ibnu Hazm yang terkenal adalah al-Muhalla (tiga belas jilid).
Sedangkan dalam bidang ushul al-fiqh adalah al-Ihkam fi Ushul al Ahkam
(delapan jilid). Kitab kitab yang lain adalah sebagai berikut:
a. Risalah fi al-Fadll al-Andalus
b. Al-Ishal ila Fahm al-Hishal al-Jami’ah li Jumal al-Syara’i al-Islam
c. Al-fashl fi al-Milal wa al-Ahwal wa al-Niha
d. Al-Ijma’
e. Maratib al-Ulum wa Kaifiyyat Thalabuha
f. Idhar al-Tabdil al-Yahud wa al-Nashara
g. Al-Taqrib bi Hadd al-Manthiq
h. Thauq al-Hamamah
2. ABU HAMID AL-GHAZALI (450-505 H./W. 1111 M.)
Beliau lahir di Ghazaleh (khurasa), dan ia dijuluki sebagai hujjat al-Islam.
Beliau menuntut ilmu di Nisyapur dan Khurasan yang pada waktu itu
merupakan pusat ilmu pengetahuan yang penting di dunia Islam. Ia
belajar tentang teologi, fiqih, dan ushul-nya, filsafat, logika dan sufisme.
Sedangkan ilmu yang ia kuasai adalah akidah, ushul fiqih, fiqih, mantik,
filsafat dan tasawuf.
Dalam berijtihad beliau melakukan langkah-langkah sebagai berikut:
a. Nushul al-Kitab
b. Hadis Mutawatir

c. Hadis ahad
d. Apabila tidak didapatkan dalam tiga landasan di atas, ia menggunakan
zhahir al-Kitab
e. Apabila tidak di dapatkan keempatnya, menggunakan ijma’ jika
diketahui terdapat ijma’
f. Apabila dalam ijma’ pun tidak ada ia menggunakan analogi (qiyas).
Karya imam Ghazali jumlahnya banyak sekali, diantaranya adalah, kitab
Ihya ‘Ulum al-din, al-Wajiz fi al-fiqih, Bayan al-Qaulain li al-Syafi’I dan alFatawa. Kitab Ihya ‘Ulum al-Din adalah kitab yang paling terkenal. Dalam
pendahuluan kitab itu Badawi Ahmad Thahah (1957) menjelaskan
berbagai kitab karya Imam al-Ghazali dalam berbagai bidang. Ia
menuliskan karya al-Ghazali yang jumlahnya 47, diantaranya dalam
bidang fiqih adalah kitab Ihya ‘Ulum al-Din (empat jilid); dalam bidang
tafsir adalah Jawahir al-Qur’an; dalam bidang filsafat Tahayut al-Falasiyah;
dalam bidang tasawuf adalah Kimiya’ al- Sa’adah; dalam bidang ushul
fiqih adalah al-Musthasfa.
C. SKEMATIKA
1. Pendahuluan
Berisi latar belakang penulisan makalah
2. Substansi Kajian
Berisi isi makalah yang meliputi seluruh bab:
a. konsep taklid: mencangkup pengertian taqlid secara bahasa maupun
terminologi.
b. gambaran politik: merupakan gambaran keadaan politik pada masa
periode taqlid.
c. gambaran ijtihad: mencangkup keadaan ijtihad yang semakin hilang
karena maraknya orang bertaqlid.
d. sebab taqlid: merupakan hal-hal yang melatarbelakangi mnculnya
taqlid.
e. hukum taqlid: adalah hukum mengenai taqlid.
f. taqlid masalah far’ijjah: adalah bagian yang menjelaskan hukum taqlid
dalam masalah far’ijjah.
g. bertanya: menjelaskan agar orang yang awam bertanya jika tidak tahu

sesuatu kepada ulama.
h. pendapat para ulama: berisi pendapat para ulama tentang taqlid.
i. ulama yang hidup pada masa taqlid: berisi biografi ulama yang hidup
pada masa taqlid.
j. kesimpulan: merupakan ringkasan dari masalah yang dibahas.
D. KESIMPULAN
Taqlid adalah mengikuti pendapat orang lain tanpa mengetahui dari mana
asal hujjahnya. Sedangkan orang yang bertaqlid disebut muqallid. Taqlid
muncul ketika kekuasaan Islam sudah di ambang pintu kehancuran, yaitu
pada masa kemunduran. Kemunduran Islam dipengaruhi oleh beberapa
faktor, diantaranya politik, tertutupnya ijtihad dan sebagainya.
Pada dasarnya para ulama jumhur sangat melarang perbuatan taqlid
karena hal itu dapat menyebabkan orang tidak mau berfikir tentang
masalah agamanya. Sehingga umat Islam hanya mencukupkan tentang
perkara agamanya itu dengan kitab-kitab karangan para imam ijtihad.
Tapi dalam kalangam umat Islam sendiri tidak ada keharmonisan, hal ini
disebabkan karena masing-masing pengikut mahzab mengklaim bahwa
mahzabnya yang paling benar.
Orang yang berpendidikan tinggi dan dianggap mampu untuk berijtihad
sendiri dilarang untuk bertaqlid. Taqlid boleh dilakukan oleh orang awam
tapi dengan syarat bahwa ia harus selalu berusaha mencari dasar-dasar
dalilnya. Dan jika ia telah menemukan dasarnya ia harus kembali pada
dalil tersebut, yaitu Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW.
DAFTAR PUSTAKA
Amir, Dja’far. 1972. Ushul Fiiqh III. Semarang: CV. Toha Putra
Asmuni, Yusran. 1996. Dirasah Islamiyah II. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada
Hanafi, Ahmad, MA. 1970. Pengantar Dan Sejarah Hukum Islam. Jakarta:
Bulan Bintang

Mubarok, Jaih. 2000. Sejarah Dan Perkembangan Hukum Islam. Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya
Rosyada, Dede. 1993. Hukum Islam Dan Pranata Sosial. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada
Mu’in, H.A, dkk. 1986. Ushul Fiqih II (Qaidah-Qaidah Istinbat Dan Ijtihad).
Jakarta: Depag
Syari’ati, Ali. 1992. Islam Mazhab Pemikiran dan Aksi. Bandung: Mizan
Zuhri, Muhammad. 1980. Tarjamah Tarikh Al-tasyri’ Al-Islami. Semarang:
Darul Ikhya
Zuhdi, Masjfuk. 1987. Pengantar Hukum Syariah. Jakarta: CV Haji
Masagung
_____. 2005. Al-Qur’an Dan Terjemahnya. Jakarta: PT Syaamil Cipta Media
1.

Asal Usul Istilah
Periode ini dimulai sejak tahun 656 H, ketika kota Baghdad jatuh ketangan
tentara mongol dan berakhir pada akhir abad ketiga belas.
Perkembangan fiqh pada periode ini merupakan lanjutan dari
perkembangan fiqh yang semakin menurun pada periode sebelumnya.
Pada era ini kondisi perjalanan fiqih islam sangat buruk sekali, karena pada
periode ini para ulamanya sudah beralih profesi menjadi taqlid buta,
padahal mereka memiliki kemampuan untuk menempuh jalan para
pendahulunya. Selain itu, semangat untuk menulis buku juga menurun
sehingga hasil karya ilmiah para fuqoha juga sangat minim dan hanya
terbatas pada apa yang sudah mereka temukan dalam kitab-kitab
terdahulu.
b. Faktor-faktor Penyebab Kemunduran
Ada beberapa sebab terjadinya kemunduran ilmu fiqh pada zaman ini,
diantaranya sebagai berikut,
• Pergolakan politik dalam tubuh Negara Islam, hal tersebut menyebabkan
Negara Islam menjadi lemah, yang berdampak pada lemahnya
perkembangan ilmu pengetahuan dan diantaranya adalah fiqh Islam.
• Pada periode ini, para fuqoha lebih memperhatikan warisan fiqh mazhab
dan mengajak masyarakat untuk mengikutinya, berfanatik dan menghujat
orang-orang yang berbeda pendapat dengan mereka.
• Para fuqoha membatasi ruang geraknya dan tidak mau berijtihad.

• Munculnya beberapa buku yang sarat dengan rumusan yang perlu
dipecahkan, sehingga masyarakat melupakan buku-buku warisan yang
sangat berharga, gaya bahasanya mudah dipahami, dan penjelasannya
mudah untuk dicerna.
Share this:

Dokumen yang terkait

PENGARUH PEMBERIAN SEDUHAN BIJI PEPAYA (Carica Papaya L) TERHADAP PENURUNAN BERAT BADAN PADA TIKUS PUTIH JANTAN (Rattus norvegicus strain wistar) YANG DIBERI DIET TINGGI LEMAK

23 199 21

KEPEKAAN ESCHERICHIA COLI UROPATOGENIK TERHADAP ANTIBIOTIK PADA PASIEN INFEKSI SALURAN KEMIH DI RSU Dr. SAIFUL ANWAR MALANG (PERIODE JANUARI-DESEMBER 2008)

2 106 1

ANALISIS KOMPARATIF PENDAPATAN DAN EFISIENSI ANTARA BERAS POLES MEDIUM DENGAN BERAS POLES SUPER DI UD. PUTRA TEMU REJEKI (Studi Kasus di Desa Belung Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang)

23 307 16

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

MANAJEMEN PEMROGRAMAN PADA STASIUN RADIO SWASTA (Studi Deskriptif Program Acara Garus di Radio VIS FM Banyuwangi)

29 282 2

ANALISIS PROSPEKTIF SEBAGAI ALAT PERENCANAAN LABA PADA PT MUSTIKA RATU Tbk

273 1263 22

PENERIMAAN ATLET SILAT TENTANG ADEGAN PENCAK SILAT INDONESIA PADA FILM THE RAID REDEMPTION (STUDI RESEPSI PADA IKATAN PENCAK SILAT INDONESIA MALANG)

43 322 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PEMAKNAAN BERITA PERKEMBANGAN KOMODITI BERJANGKA PADA PROGRAM ACARA KABAR PASAR DI TV ONE (Analisis Resepsi Pada Karyawan PT Victory International Futures Malang)

18 209 45

STRATEGI KOMUNIKASI POLITIK PARTAI POLITIK PADA PEMILIHAN KEPALA DAERAH TAHUN 2012 DI KOTA BATU (Studi Kasus Tim Pemenangan Pemilu Eddy Rumpoko-Punjul Santoso)

119 459 25