TINJAUAN MENGENAI ATURAN SPS DALAM RANG (1)

“TINJAUAN MENGENAI ATURAN SPS DALAM RANGKA
PENGAMANAN TERHADAP KESEHATAN PUBLIK
(Study Case, Larangan Impor Produk Indomie oleh Taiwan)

MATA KULIAH : GATT 1994

KELOMPOK IV
1. IMAM KHARISMA MAKKAWARU
2. LEONARDO SILITONGA
3. RIKO NUGRAHA
4. TIESNAWATI W.

: NPM. 1006789255
: NPM. 1006789305
: NPM. 1006789482
: NPM. 1006789596

PPS. FH UI. HUKUM PERDAGANGAN INTERNASIONAL

UNIVERSITAS INDONESIA
2010


0

Bab I
Pendahuluan
Dengan diterbitkanya Undang-Undang No.7 Tahun 1994 tanggal 2 Nopember 1994
tentang pengesahan (ratifikasi) “Agreement Establising the World Trade Organization” ,
maka Indonesia secara resmi telah menjadi anggota WTO dan semua persetujuan yang ada
didalamnya telah sah menjadi bagian dari legislasi nasional. Menjadi anggota WTO berarti
terikat dengan adanya hak dan kewajiban. Disamping itu pula , WTO bukan hanya
menciptakan peluang (opportunity), tetapi juga ancaman (threat).
Masuknya Indonesia sebagai anggota perdagangan dunia melalui ratifikasi terhadap
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement on Establishing The
World Trade Organization/WTO (Persetujuan Pembentukan
Organisasi Perdagangan Dunia) membawa konsekuensi baik eksternal maupun internal.
Konsekuensi eksternal, Indonesia harus mematuhi seluruh hasil kepakatan dalam forum
WTO.
Untuk dapat kita ketahui bahwa, negara-negara maju telah menurunkan tarif untuk
industri dari rata-rata 6,3% menjadi 3,8% (penurunan sebesar 40%) dari tarif “nol” telah
meningkat dari 20% menjadi 40% dari seluruh produk industri yang masuk ke negara maju.

Hal inilah yang menjadi peluang besar terhadap ekspor negara berkembang termasuk
Indonesia.
Indonesia dengan ekonomi terbuka, dimana program ekspor non migas merupakan
salah satu pendorong pertumbuhan ekonomi nasional dan penciptaan lapangan kerja dan
dituntut untuk lebih siap untuk dapat mengambil manfaat sebesar-besarnya dari peluang yang
dihasilkan oleh WTO. Peluang dan manfaat dari keanggotaan Indonesia di WTO hanya dapat
diperoleh apabila kita menguasai semua persetujuan WTO dan menerapkannya sesuai dengan
kepentingan nasional.
Di samping itu, Perdagangan internasional merupakan salah satu bagian dari kegiatan
bisnis yang akhir-akhir ini mengalami perkembangan yang sangat pesat. Perhatian dunia
usaha terhadap kegiatan bisnis internasional juga semakin meningkat, hal ini terlihat dari
semakin berkembangnya arus peredaran barang, jasa, tenaga kerja maupun, modal dari suatu
negara ke negara lain demikiaan pula sebaliknya. Kegian-kegiatan tersebut dapat terjadi baik
melalui kegiatan ekspor impor, investasi, perdagangan jasa, lisensi dan waralaba (license and
franchise), hak atas kekayaan intelektual; atau kegiatan-kegiatan bisnis lainnya yang terkait
dengan perdaganan internasional, seperti perbankan, asuransi, perpajakan dan sebagainya.
1

Untuk mengantisipasi liberalisasi perdagangan internasional, Indonesia telah menentukan
arah kebijaksanaan di bidang hukum yang mendukung kegiatan ekonomi, sebagaimana

dituangkan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) 1999-2004, Tap MPR
No.IV/MPR/1999. Hal ini telah dinyatakan dalam butir 7, bahwa Indonesia harus
mengembangkan peraturan perundang-undangan yang mendukung kegiatan perekonomian.
Pada dasarnya, SPS merupakan suatu ketentuan dan/atau aturan internasional yang
mengatur tentang sanatari terhadap kesehatan manusia pada produk suatu pertanian maupun
makanan, dengan tujuan untuk menentukan apakah suatu produk atau barang bias dan/atau
layak di konsumsi atau di distribusikan kepada Masyarakat Internasional pada umumnya.
Di samping itu,

Salah satu Perjanjian yang dihasilkan dalam Putaran Perundingan

Uruguay adalah Perjanjian SPS (Agreement on the Application of Sanitary and Phytosanitary Measures). Perjanjian SPS mempunyai dua lipatan tujuan yaitu:
1. Mengakui hak dari anggota-anggota sebagai berdaulat untuk menentukan
tingkat perlindungan kesehatan yang mereka anggap layak; dan
2. Memastikan bahwa aturan-aturan SPS tidak merepresentasikan hambatan hambatan
perdagangan internasional yang tidak perlu, atau sewenang-wenang, tidak dapat
dibenarkan secara ilmiah dan bukan hambatan yang terselubung terhadap
perdagangan internasional.
Dengan demikian Perjanjian SPS mengakui hak dari anggota-anggota WTO untuk
menentukan sendiri standard keamanan pangan dan kesehatan hewan dan tumbuh-tumbuhan

yang berlaku di wilayah hukumnya. Namun pada saat yang bersamaan Perjanjian SPS juga
mewajibkan aturan-aturan sedemikian didasarkan pada basis ilmiah, yaitu bahwa aturanaturan SPS diterapkan hanya sejauh perlu untuk melindungi kesehatan dan aturan-aturan itu
harus tidak mendiskriminasi secara sewenang-wenang atau secara tak dapat dibenarkan
antara anggota-anggota dimana kondisi-kondisi yang identik atau sama terdapat. Untuk
mencapai tujuan tersebut, Perjanjian SPS mendorong anggota-anggota WTO untuk
menggunakan

standard-standard,

pedoman-pedoman,

dan

rekomendasi-rekomendasi

internasional sejauh ada.
Aturan-aturan SPS, mengingat sifatnya, dapat digunakan untuk membatasi perdagangan
internasional. Semua anggota WTO sepakat dan menerima kenyataan bahwa hambatanhambatan perdagangan perlu diberlakukan untuk melindungi kehidupan dan kesehatan
manusia, hewan, dan tumbuh-tumbuhan. Hambatan ini diberlakukan jika suatu produk yang


2

diimpor mengandung kandungan yang membahayakan kesehatan manusia, hewan, atau
tumbuh-tumbuhan. Sebagai contoh, pemerintah dapat melarang impor terhadap daging yang
berasal dari negara dimana terdapat wabah penyakit yang akan membahayakan bagi
konsumen pemakan daging sapi atau kehadiran dari daging impor sedemikian dapat
menyebarkan penyakit bagi sapi lokal. Nah, disini pada dasarnya kelompok kami mengupas
tentang sengketa kasus indomie antara Negara Indonesia Vs Taiwan.
Pada dasarnya Indomie merupakan salah satu produk mie instant yang cukup populer di
Indonesia. Dimana Indomie diproduksi oleh PT. Indofood CBP Sukses Makmur dan pertama
kali diproduksi pada tahun 1982. Selain di Indonesia, Indomie juga dijual di luar negeri
seperti Amerika Serikat, Australia, Asia, Afrika, dan Eropa
Indomie merupakan produk mie instant yang digemari masyarakat dari segala
kalangan karena harganya yang murah, varian produk yang beragam dan rasa yang cocok
dengan selera orang Indonesia sendiri. Untuk di Indonesia, jenis produk Indomie antara lain
ada Indomie Goreng (Fried Noodles), Indomie Rebus (Soup Noodles), Indomie Rasa
Nusantara (Regional Tastes), Indomie Premium (Special Quality Instant Noodles), Indomie
Jumbo
Sebagai salah satu makanan instant, Indomie sudah lulus uji aman untuk dikonsumsi
oleh Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) walaupun hal ini bukan berarti Indomie

dianjurkan untuk dikonsumsi sepanjang hari, karena bagaimanapun produk Indomie
mengandung bahan pengawet makanan.
Untuk dapat menjual produk mie instant ke pasaran, Indomie telah diperiksa oleh
BPOM sebagai badan regulasi kesehatan dan standar makanan di Indonesia. Tidak hanya di
Indonesia, untuk dapat menjual produknya ke berbagai negara tentu Indomie harus sesuai
dengan regulasi kesehatan dan standar makanan di negara yang akan dituju. Ketentuan
tersebut berdasarkan panduan global dari CODEX Alimentarius Commision sebagai badan
internasional untuk standar makanan.
Akan tetapi, pada tanggal 09 Juni 2010, kasus Indomie di Taiwan bermula dari,
datangnya surat dari Food and Drugs Adminstration (FDA) Taiwan kepada Kantor Dagang
dan Ekonomi Indonesia di Taiwan. Dimana surat tersebut berisikan pemberitahuan bahwa
produk Indofood tidak sesuai dengan persyaratan dari FDA.

3

Pada Tangal 08 Oktober 2010 mendengar pengumuman di media Taiwan dan
Hongkong menyatakan bahwa di kecap Indomie terdapat pengawet yang tidak sesuai dengan
standarisasi Internasional.
Berdasarkan pada pemeriksaan terhadap produk Indomie diketemukan bahan
pengawet yang tidak diizinkan oleh FDA, jenis bahan pengawet tersebut adalah E218 atau

Methyl P-Hydroxybenzoate. Maka sesuai dengan hal tersebut diatas kami dari kelompok IV
dari mata ajar GATT 1994, berkeinginan untuk mengkaji hal tersebut dengan makalah yang
berjudul : “TINJAUAN MENGENAI ATURAN SPS DALAM RANGKA PENGAMANAN
TERHADAP KESEHATAN PUBLIK (Study Case, Larangan Impor Produk Indomie oleh
Taiwan).”

4

BAB II
Tinjauan Umum Ketentuan SPS dalam WTO
SPS Agreement memberikan definisi terhadap cakupan dari penerapan SPS itu sendiri
yaitu dalam pasal 1:1 : “This Agreement applies to all sanitary and phytosanitary measures
which may, directly or indirectly, affect international trade.

Such measures shall be

developed and applied in accordance with the provisions of this Agreement”.
Dalam ketentuan WTO ada kategori khusus yang bisa diidentifikasikan yang
merupakan bagian dari kategori umum dari hambatan teknis terhadap perdagangan, yaitu
tindakan yang berkaitan dengan kehidupan atau kesehatan manusia, binatang atau tumbuhan

atau yang seringkali disebut sebagai tindakan sanitary and phytosanitary. Secara umum,
menurut Lampiran A dari SPS Agreement, suatu ‘tindakan SPS’ adalah suatu tindakan :
(a)

to protect animal or plant life or health within the territory of the Member
from risks arising from the entry, establishment or spread of pests, diseases,
disease-carrying organisms or disease-causing organisms;

(b)

to protect human or animal life or health within the territory of the Member
from risks arising from additives, contaminants, toxins or disease-causing
organisms in foods, beverages or feedstuffs;

(c)

to protect human life or health within the territory of the Member from risks
arising from diseases carried by animals, plants or products thereof, or from
the entry, establishment or spread of pests; or


(d)

to prevent or limit other damage within the territory of the Member from the
entry, establishment or spread of pests.

A. Prinsip-prinsip dari SPS Agreement
1. Hak dasar dan Kewajiban dalam SPS Agreement
SPS Agreement berlaku untuk seluruh tindakan SPS yang memberikan dampak bagi
perdagangan internasional. SPS Agreement dalam pasal 2.1, yang menyatakan: ”Members
have the right to take sanitary and phytosanitary measures necessary for the protection of
human, animal or plant life or health, provided that such measures are not inconsistent with
the provisions of this Agreement”, secara eksplisit mengakui adanya kebebasan hak dari
anggota WTO untuk menerapkan tindakan SPS dalam rangka perlindungan terhadap
kehidupan atau keseshatan manusia, binatang atau tumbuhan dalam wilayah mereka. Tetapi

5

bersama dengan itu, SPS Agreement juga memberikan kewajiban-kewajiban tertentu bagi
anggota yang ingin menerapkan tindakan SPS tersebut.
Hak untuk menerapkan SPS Agreement sesuai dengan pasal 2 dari SPS Agreement dapat

dikualifikasikan dalam 3 hal yaitu :
1. Tindakan SPS hanya diterapkan apabila benar-benar di perlukan.
2. Setiap Anggota harus juga menerapkan tindakan SPS sesuai dengan standar
Internasional, dan tidak menerapkan/menggunakannya tanpa bukti-bukti ilmiah yang
cukup.
3. Tindakan SPS tidak boleh diterapkan yang mana akan menyebabkan hambatan yang
terselubung dalam perdagangan Internasional
Walaupun diantara beberapa anggota WTO tidak memilki kesamaan dalam tingkatan
fleksibilitas atau ukuran SPS tertentu, pasal 2 menyatakan bahwa tindakan SPS yang tidak
berdasarkan pembuktian secara ilmiah dianggap tidak sah dan tidak dibenarkan. Ada dua
pilihan yang dapat diambil oleh setiap anggota untuk menyatakan bahwa tindakannya
berdasarkan prinsip-prinsip ilmiah yaitu :
1. Tindakannya sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh Badan-badan Internasional;
atau
2. Tindakannya berdasarkan perkiraan resiko yang akan timbul secara ilmiah.
Anggota WTO hanya dapat menerpakan tindakan SPS sepanjang diperlukan untuk
melindungi kesehatan manusia, binatang atau tumbuhan. Tindakan SPS harus didasarkan
pada pronsip-psinsip ilmiah (Scientific Principle) dan tidak boleh dipertahankan tanpa adanya
bukti ilmiah yang memadahi. Anggota WTO tidak boleh mengenakan tindakan SPS yang
mendiskriminasi secara sepihak (arbitraly) atau tidak berdasar atau yang menyebabkan suatu

hambatan terselubung terhadap perdagangan.
Dalam hal peraturan teknis, standar dan prosedur penilaian kepatuhan, tindakan SPS
pada hakekatnya harus didasarkan pula pada standar internasional. Anggota WTO boleh
menyimpang dari suatu standar SPS internasional bilamana anggota tersebut memilih untuk
menerapkan perlindungan yang lebih ketat daripada tingkat perlindungan yang bisa dicapai
dengan mengacu pada standar SPS internasional tersebut sebagaimana yang termuat dalam

6

pasal 3:3 Harmonization :
” Members may introduce or maintain sanitary or phytosanitary measures which
tesult in a hihger level of sanitary or phytosanitary pritection than would be achieved
by measures based on the relevant interntional standards, guidelines or
recomendation, if there is sciecntific justification, or as a consequence of the level of
sanitary or phiytosanitary protection a member determines to be appropriate in
accordance with the relevant provision of paragraph 1 through 8n of article 5.
Notwithstanding the above , all measure whish result in a level of sanitary or
phytosanitary protection different from that which would be achieved by measures
based on international standards, guidelines or recomendation shalll not be
inconsistent with any other provision of this agreement.”
Kewajiban mendasar yang diatur dalam SPS Agreement termasuk kewajiban yang
berkaitan dengan analisis resiko, misalnya, penilaian resiko dan manajemen resiko. Mengenai
penilaian resiko, pasal 5.1 dari SPS Agreement yang menyatakan :”Members shall ensure that
their sanitary or phytosanitary measures are based on an assessment, as appropriate to the
circumstances, of the risks to human, animal or plant life or health, taking into account risk
assessment techniques developed by the relevant international organizations”, mensyaratkan
bahwa anggota WTO harus memastikan tindakan SPS mereka agar didasarkan pada suatu
penilaian ilmiah yang mengkaji resiko terhadap kehidupan atau kesehatan manusia, binatang
atau tumbuhan.
Anggota WTO hanya boleh menerapkan tindakan SPS jika resiko tersebut ada.
Mengenai manajemen resiko, SPS Agreement terutama mensyaratkan bahwa anggota WTO
harus :



Memastikan bahwa tindakan SPS tersebut tidaklah lebih menghambat perdagangan
dari apa yang diperlukan untuk mencapai tingkat perlindungan yang seharusnya Pasal:
5.6 SPS Agreement yang menyatakan : “Without prejudice to paragraph 2 of Article
3, when establishing or maintaining sanitary or phytosanitary measures to achieve
the appropriate level of sanitary or phytosanitary protection, Members shall ensure
that such measures are not more trade-restrictive than required to achieve their
appropriate level of sanitary or phytosanitary protection, taking into account
technical and economic feasibility.

7



Menghidari perbedaan secara sepihak atau tidak mendasar mengenai tingkatan
perlindungan yang seharusnya dalam situasi yang berbeda, jika perbedaan ini akan
mengarah kepada diskriminasi atau hambatan terselubung terhadap perdagangan Pasal
5.5 SPS Agreement .
Jika bukti ilmiah yang dimilki untuk melakukan sebuah penilaian resiko tidak

mencukupi, pasal 5.7 SPS Agreement yang menyatakan : ”In cases where relevant scientific
evidence is insufficient, a Member may provisionally adopt sanitary or phytosanitary
measures on the basis of available pertinent information, including that from the relevant
international organizations as well as from sanitary or phytosanitary measures applied by
other Members.

In such circumstances, Members shall seek to obtain the additional

information necessary for a more objective assessment of risk and review the sanitary or
phytosanitary measure accordingly within a reasonable period of time”, memperbolehkan
anggota WTO untuk menerapkan tindakan SPS sementara dalam kondisi tertentu. Dengan
cara ini, SPS Agreement memasukkan prinsip pencegahan (precautionary).
B. Ketentuan Lain dalam SPS Agreement
SPS Agreement juga memuat ketentuan mengenai pengakuan atas persamaan
penerapan tindakan SPS oleh anggota WTO lainnya dan mengenai kewajiban transparansi
dan notifikasi dari anggota WTO yang menerapkan, merubah atau mempertahankan tindakan
SPS.
1. Equivalence.
Dalam pasal 4: dari SPS agreement memberikan penjelasan bahwa anggota WTO
harus menerima tindakan SPS dari anggota lainnya sebagai suatu kesamaan, apabila :


Jika tindakan tersebut berbeda dari yang mereka gunakan kepada anggota lainnya



untuk produk yang sama,
Jika negara pengekspor secara objektif memperagakan ke pada negara pengimpor
bahwa tindakannya mencapai level SPS yang disediakan oleh negara pengimpor.

Untuk tujuan tersebut diatas maka dalam aksesnya atas permintaan negara pengimpor
diperbolehkan untuk melakukan inspeksi, pengecekan atau hal lainnya yang sesuai dengan
prosedur.

8

2. Mutual Recognition Agreements
Pasal 4.2 mendorong untuk menyimpulkan persetujuan kesamaan dengan
mengharuskan Anggota WTO untuk masuk ke dalam konsultasi, dengan tujuan Mencapai
keberhasilan baik persetujuan bilateral maupun multilateral

dalam pengakuan teradap

kesamaan ukuran dari tindakan SPS tersebut.
3. Control, inspection and approval procedures
Dalam pasal 8 SPS Agreement menyatakan bahwa anggota WTO harus pula
mengikuti aturan-aturan tertentu sebagaimana yang terlampir dalam lampiran C (Annex C)
dari SPS Agreement, yang dimana berkenaan dengan prosedur untuk memeriksa dan
memastikan pemenuhan tindakan SPS dan tidak bertentangan dengan keetentuan tersebut.
4. Transparansi
Kewajiban transparansi dalam SPS Agreement dimuat dalam pasal 5.8 dan pasal 7
yang secara implisit menerangkan tentang transparansi dimana setiap anggota harus
menotifikasikan perubahan dari tindakan SPS nya dan mengharuskan menyedian informasi
tentang tindakan SPS-nya sesuai dengan ketentuan dalam lampiran B (Annex B) dari
ketentuan SPS tersebut.
5. Ketentuan mengenai Tindakan SPS terhadap negara Berkembang.
Sama seperti ketentuan-ketentuan lainnnya yang termasuk dalam cakupan ketentuan
GATT/WTO, perlakuan terhadap negara berkembang dalam dunia perdagangan internasional
juga diatur dalam SPS Agreement. Dalama pasal 9:1 Anggota-anggota WTO sepakat untuk
memfasilitasi ketentuan dari bantuan secara teknis kepada anggota lainnya , secara khusus
terhadap negara berkembang, juga secara bilateral atau melalui organisasi internaional.
Bantuan tersebut biasanya seperti dalam proses teknologi, penelitian dan infra struktur,
termasuk menetapkan badan regulasi nasional, memberikan nasehat, pinjaman, memberikan
donasi, termasuk untuk tujuan pencarian teknisi ahli, pelatihan dan kelengkapan untuk
mengijinkan negara-negara berkembang untuk melakukan penyesuaian, tindakan SPS yang
dibutuhkan untuk mencapai tingkatan yng semestinya dalam pasar expor mereka. Dimana
muatan investasi di perlukan untuk suatu pengeksporan negara-negara berkembang untuk
memenuhi permintaan SPS dari negara pengimpor, maka hal tersebut akan dipertimbangkan
untuk disediakannya bantuan teknis untuk mengijinkan negara-negara berkembang untuk
memperluas akses pasarnya pada produk tersebut (Pasal 9:2).
Dalam pasal 10 dari SPS agreement secara implisit memuat tentang Special and Diffrential
Treatment yang dimana :
9

1. Didalam mengaplikasikan dan mempersiapkan ukuran SPS, anggota akan
memperhatiakn menyangkut tentang kebutuhan negara berkembang dan secara
khsusus terhadap negara terbelakang.
2. Memberikan kesempatan untuk tahap perkenalan dari tindakan SPS yang baru, serta
jangka waktu yang lebih penjang untuk dipatuhi pada produk-produk yang penting,
dan juga sebagai peluang untuk ekspor mereka.
3. Dengan maksud untuk memastikan bahwa Anggota negara sedang berkembang bisa
mematuhi ketentuan dari Persetujuan ini, komite dimungkinkan untuk mengabulkan
bagi negara-negara tersebut ,atas permintaannya, menetapkan, perkecualian batas
waktu secara keseluruhan atau pada sebagian dari kewajiban di bawah persetujuan ini,
mempertimbangkan

keuangan

mereka

serta

kebutuhan

pengembangan

dan

perdagangan.
4. Anggota anggota harus mendorong dan memfasilitasi keaktifan partisipasi negara
berkembang sejalan dengan organisasi internasional.
C. Komite Sanitary and Phytosanitary.
Dalam hal komite serta administrasi dari tindakan SPS juga diatur dalam pasal 12
SPS Agreement, yang dimana bertugas :
1. Melahirkan fungsi yang dibutuhkan untuk mengimplementasikan ketentuan dari SPS
Agreement lebih lanjut, secara khusus dengan tunduk pada harmonisasi. Komite harus
mencapai keputusan secara konsensus
2. Mendorong dan memfasilitasi konsultasi yang bersifat sementara atau negosiasi antar
anggota dalam issu khusus mengenai SPS, mendorong penggunaan standar
internasional, anjuran/rekomendasi atau petunjuk oleh semua Anggota dan, mengenai
ini, akan mensponsori konsultasi teknis dan studi dengan sasaran terus meningkat
koordinasi dan pengintegrasian antara internasional dan sistem nasional dan
pendekatan

untuk

menyetujui

penggunaan

aditip

makanan

atau

untuk

pendirian/penetapan toleransi untuk zat-pencemar di (dalam) makanan, hidangan atau
feedstuffs.
3. memelihara hubungan dekat dengan organisasi intemasional yang sejalan dalam
bidang SPS, terutama dengan Codex Alimmentarius Commision, The Internasional
Office of Epizootics, dan Sekretariat dari

The International Plant Protction

Covention, dengan sasaran pengamanan teknis ilmiah yang terbaik dan nasihat yang
tersedia untuk administrasi dari Persetujuan ini dan dalam rangka memastikan bahwa
duplikasi usaha yang tak perlu dihindarkan.
10

4. Membangun prosedur pengawasan dari harmonisasi internasional dan penggunaan
standar

internasional,

anjuran/rekomendasi,

dan

Menetapkan

daftar

standar

internasional, anjuran/rekomendasi yang berhubungan dengan tindakan SPS yang
memberi dampak besar pada perdagangan.
5. Memutuskan untuk menggunakan informasi umum

sesuai prosedur untuk

menghindari duplikasi yang tidak perlu dimana dilaksanakan oleh organisasi
internasional
6. Mengundang organisasi Internasional yang relevan atau badan-badan subsidernya
untuk menguji hal spesifik berkenaan dengan standar tertentu, anjuran/rekomendasi
atau petunjuk yang tidak disediakan dalam ayat 4 berdasarkan inisiatif dari salah satu
dari Anggota.
7. Meninjau ulang implementasi dan operasional dari Persetujuan ini setelah tiga tahun
setelah tanggal dimasukkannya kedalam persetujuan WTO, dan sesudah itu ketika
memang dibutuhkan.

Bab III
Pelarangan Indomie di Taiwan
A. Produk Indomie.

11

Sebagai salah satu merek dagang yang terkenal di Indonesia, Indomie telah berhasil
memperluas pangsa pasarnya ke luar negeri terutama setelah bergabungnya Indonesia sebagai
anggota WTO.
Indomie adalah merek mi instan populer di Indonesia, diproduksi oleh PT. Indofood CBP
Sukses Makmur. Diluncurkan pada tahun 1982 oleh Sudono Salim. Selain di Indonesia,
Indomie juga dijual di luar negeri, antara lain Amerika Serikat, Australia, Asia, Afrika dan
negara-negara Eropa. Di Indonesia, sebutan "Indomie" juga umum dijadikan istilah generik
yang merujuk kepada mi instan.
Adapun komposisi dari Indomie adalah sebagai berikut:
1) Mie - Tepung gandum (62%), minyak palm yang telah ditingkatkan kualitasnya dan
mengandung antioksidan 319, zat tepung tapioka, garam, garam mineral 501 dan 500,
serat sayurang 412 dan pewarna 101;
2) Bubuk Perasa- Garam, gula, penguat rasa 621, 631 dan 627, bubuk bawang putih
dan bawang biasa, ekstrak ragi, perasa, merica, dan agen anti pengembang.
Selain itu Indomie terdiri dari beberapa jenis, antara lain:
a. Jenis-jenis Indomie


Indomie Goreng Spesial



Indomie Goreng Pedas



Indomie Goreng Sate



Indomie Goreng Rasa Ayam



Indomie Goreng Vegan



Indomie Kuah Rasa Sop Ayam



Indomie Kuah Rasa Kari Ayam



Indomie Kuah Rasa Kaldu Ayam



Indomie Kuah Rasa Kaldu Udang



Indomie Kuah Rasa Ayam Bawang



Indomie Kuah Rasa Soto Mie
12



Indomie Kuah Rasa Baso Sapi



Indomie Kuah Rasa Sup Sayuran Vegan

b. Jenis-jenis Indomie Selera Nusantara:


Indomie Goreng Cakalang



Indomie Goreng Rasa Rendang Pedas Medan



Indomie Rasa Coto Makassar



Indomie Rasa Empal Gentong



Indomie Rasa Kari Ayam Medan



Indomie Rasa Mi Cakalang



Indomie Rasa Mi Celor



Indomie Rasa Mi Kocok Bandung



Indomie Rasa Sop Buntut



Indomie Rasa Soto Banjar



Indomie Rasa Soto Banjar Limau Kuit



Indomie Rasa Soto Betawi



Indomie Rasa Soto Medan

c. Jenis-jenis Indomie istimewa:


Indomie Mie Ayam



Indomie Keriting Ayam



Indomie Keriting Goreng Spesial



Indomie Keriting Goreng Rasa Ayam Cabe Rawit

13



Indomie Keriting Goreng Rasa Kornet



Indomie Keriting Rasa Ayam Panggang



Indomie Keriting Rasa Laksa Spesial

Untuk memasarkan produknya di Indonesia, Indomie harus memperoleh izin dari Baan
Pemeriksaan Makanan dan Minuman (BPOM) sehingga layak dikonsumsi oleh masyarakat
dan Indomie telah melewati proses Badan POM Indonesia dan dinyatakan aman untuk
dikonsumsi oleh siapa saja.
Selain telah mendapat izin dari BPOM, Indomie juga telah mendapat pengakuan
standarisasi dari Codex Alimenterius Commission (CAC) pada Juli 1999 sebagai bentuk
standar internasional. Sehingga dengan demikian, Indomie memiliki lisensi untuk
memasarkan produknya di luar negeri.
Produk Indomie ini berada pada kategori segmen makanan sebagai substitusi nasi atau
beras yang merupakan makanan pokok khusunya bagi masyarakat di Asia. Oleh karenanya,
Indomie dapat diterima dengan baik oleh setiap masyarakat di negara-negara Asia.
Kebutuhan masyarakat Asia akan nasi atau beras kini dapat digantikan sementara oleh
Indomie. Karena keberhasilannya ini dalam menggantikan peran nasi atau beras maka
tidaklah heran merek indomie telah melekat dengan kuat pada pemikiran masyarakat
Indonesia. Sebagai contoh, masyarakat Indonesia selalu mengidentikan setiap produk mie
instan dengan nama Indomie meskipun mie instan yang dimaksud bukan merek Indomie.
Fenomena ini mungkin dapat dilihat dari negara-negara lain di Asia yang menjadi pangsa
pasar dari produk Indomie karena tidak menutup kemungkinan kalau banyak warga
masyarakat Indonesia yang menetap di negara-negara tersebut dan lebih mengutamakan
produk Indonesia karena faktor selera produk negeri sendiri dan berdampak pada besarnya
pendapatan yang diterima oleh PT. Indofood selaku pemilik produk dalam memasarkan
produk indomie tersebut.
B. Masuknya Indomie di Taiwan
Taiwan sebagai salah satu pangsa pasar yang dilirik oleh PT. Indofood memiliki
karakteristik yang sama pada masyarakat di negara-negara Asia umumnya, yaitu mampu
menerima dengan baik mie instan sebagai salah satu bahan makanan pengganti nasi/beras.
Bahkan pada beberapa golongan masyarakat, mie instan merupakan bahan makanan
pokok dibandingkan nasi atau beras. Dengan melihat peluang ini maka, PT. Indofood
melakukan ekspansi ke Taiwan guna memperluas pangsa pasarnya.
14

Indomie memasuki pangsa pasar di Taiwan telah memakan waktu selama ±15 tahun dan
selama rentang waktu itu belum pernah mengalami permasalahan maupun penolakan oleh
pemerintah Taiwan.
Pemerintah Taiwan sendiri menetapkan peraturan yang cukup ketat terhadap
masuknya produk-produk asing ke negaranya. Khusus untuk produk Indomie, pemerintah
Taiwan menetapkan peraturan berupa pelarangan penggunaan hydroxy methyl benzoate
pada mie instan karena bahan ini biasanya dipakai untuk bahan kosmetik. Taiwan sendiri
melarang memakai bahan pengawet ini di dalam makanan. Adapun benzoic acid dipakai
untuk bahan pengawet makanan, tetapi dilarang dipakai di mi instan.
Peraturan ini tidak bertentangan dengan produk Indomie yang dipasarkan di Taiwan
karena takaran dan bahan yang digunakan oleh PT. Indofood dalam memasarkan produk
Indomie baik di dalam negeri maupun di luar negeri berbeda-beda sesuai dengan
peraturan dari negara masing-masing. Sebagai contoh, produk Indomie yang dipasarkan
di Indonesia berbeda takaran dan bahannya dengan produk Indomie yang dijual di
Taiwan.
C. Pelarangan Indomie di Taiwan.
1. Penyebab Larangan.
Mie instan bermerek Indomie yang diproduksi oleh PT Indofood CBP Sukses
Makmur Tbk, sudah beberapa tahun dipasarkan ke berbagai negara, dimana belum ada
satu negara pun yang menyatakan Indomie bermasalah kecuali Taiwan. Alasan penarikan
Indomie di Taiwan disebabkan Indomie, oleh pemerintah Taiwan dalam hal ini
Departemen Kesehatan Taiwan, dianggap memiliki 2 (dua) bahan pengawet yang tidak
lolos dalam kualifikasi barang impor. Bahan pengawet yang dilarang tersebut adalah :
1) Bahan pengawet hidroxy methyl benzoate atau Nipagin pada minyak dan kecap serta
2) Bahan pengawet benzoid acid pada bumbu dan sausnya.
Di Taiwan penggunaan 2 (dua) bahan pengawet tersebut terlarang untuk membuat
makanan sebagaimana dikatakan oleh Kepala administrasi bagian medicine food Wang
Shu Fen menyatakan, hydroxy methyl benzoate biasanya dipakai untuk bahan kosmetik.
Taiwan sendiri melarang memakai bahan pengawet ini di dalam makanan. Adapun
benzoic acid dipakai untuk bahan pengawet makanan, tetapi dilarang dipakai di mi instan.
sebab pemakaian terhadap 2 (dua) bahan pengawet tersebut memiliki dampak negatif
terhadap kesehatan jika dikonsumsi berkepanjangan, antara lain :
1) Merusak kinerja liver,
2) Sakit maag,
3) Muntah, dan
15

4) Keracunan asidosis metabolik
Atas dasar inilah oleh karenanya Pemerintah Taiwan memutuskan untuk menarik setiap
produk Indomie yang beredar di Taiwan selama ini.
Sebenarnya banyak spekulasi yang muncul tentang kasus penarikan Indomie dari
peredaran pasar Taiwan. Pertama, beberapa ahli menduga, penarikan Indomie di Taiwan
disebabkan bahwa negara Taiwan dan beberapa negara lainnya menerapkan standarisasi
yang tidak sama dalam penggunaan bahan Nipagin pada makanan. Sehingga kalau
Indomie bisa lolos melewati Badan POM Indonesia, maka mie instan produk Indonesia
mungkin tidak akan lolos di negara lain seperti negara Taiwan.
Namun para pengamat perdagangan khususnya di Indonesia menganggap hal ini
bukanlah menjadi penyebab utama penarikan tersebut, melainkan ada penyebab lain,
sehingga muncullah spekulasi yang kedua yaitu penarikan Indomie di Taiwan lebih
dilatarbelakangi oleh persaingan dagang internasional. Alasan ini didasari ketika kasus
penarikan Indomie di Taiwan ini mencuat setelah rombongan pengusaha serta para
pejabat ekonomi Taiwan meninggalkan Indonesia pekan lalu setelah bertemu pejabat
BKPM dan sejumlah pengusaha Indonesia.
Alasan lainnya, disinyalir persaingan dagang antara produsen mie instan ini terjadi
mengingat produk mie instan Indonesia telah mendapatkan sertifikat Standar Nasional
Indonesia (SNI) dan standar dunia Codex Alimenterius Commission (CAC).
2. Peraturan dan Standarisasi Mengenai Penggunaan Bahan Pengawet Pada
Makanan.
Tak bisa dipungkiri bahwa setiap produksi mie instan dalam proses pembuatannya
pastilah harus mengandung bahan pengawet yang bertujuan untuk memperpanjang umur
produk tersebut. Namun, untuk penggunaan bahan pengawet pada makanan haruslah
memiliki standar yang sesuai dengan peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah
mengingat produk tersebut dikonsumsi oleh khalayak ramai dan demi menjaga kesehatan
masyarakat yang mengkonsumsinya.
Untuk mengetahui apakah Indomie telah melanggar ketentuan standar

undang

undang kesehatan di Taiwan maupun standar internasional, seperti yang ada pada
spekulasi yang pertama di atas, maka harus terlebih dahulu dilihat proses standarisasi
dalam negeri yang melekat pada produk Indomie tersebut.
Sebenarnya pengaturan mengenai penggunaan bahan pengawet pada Indomie yaitu
Napagin sudah diterapkan dan diberlakukan oleh negara-negara di dunia termasuk di
Indonesia, yaitu :
16

1) Di Indonesia, penggunaan Nipagin telah diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor 722 Tahun 1988 tentang bahan tambahan pangan.
Apabila dipakai dalam produk kecap, penggunaan batas maksimum adalah 250 mg
per kg. Dalam makanan lain, kecuali daging, ikan dan unggas, batas maksimum
penggunaan adalah 1.000 mg per kg.
2) Untuk di Kanada, Amerika Serikat, batas maksimum nipagin dalam pangan yang
diizinkan itu 1.000 mg per kg.
3) Sedangkan di Singapura dan Brunei Darussalam, batas maksimumnya dalam kecap
250 mg per kg dan di Hongkong sebesar 550 mg per kg.
Standarisasi juga dibutuhkan oleh setiap produk yang hendak dipasarkan baik di
dalam negeri maupun ke luar negeri. Sebab standardisasi makanan telah menjadi sebuah
kebutuhan bagi semua produsen dalam negeri, terutama bagi produk lokal yang tidak
memiliki standar internasional. Tujuannya adalah agar produk itu dapat lebih mudah
diterima pasar. Dengan adanya standardisasi, maka produk itu akan bernilai tambah besar.
Standardisasi mie instan pertama kali diusulkan Indonesia dan Jepang untuk dijadikan
standar internasional pada sidang komisi CAC (Codex Alimenterius Commission ), Juli
1999, karena dinilai standar internasional mi instan diperlukan mengingat adanya
perbedaan standar nasional di setiap negara.
Badan Standar Nasional (BSN) merupakan ketua penyusun draf standar mie instan
internasional dengan bantuan China, Jepang, Korea, dan Thailand yang akhirnya
mengeluarkan standar tersebut pada tahun 2006 lalu.
Codex Alimentarius Commission diciptakan pada tahun 1963 oleh FAO dan WHO
untuk mengembangkan standar makanan, pedoman dan teks terkait seperti kode praktek
di bawah Joint FAO / WHO Food Standards Programme. Tujuan utama dari program
adalah melindungi kesehatan konsumen dan memastikan praktek perdagangan yang adil
dalam perdagangan makanan, dan meningkatkan koordinasi semua standar makanan
pekerjaan yang dilakukan oleh organisasi-organisasi pemerintah dan non-pemerintah
internasional.
Standar Nasional Indonesia (disingkat SNI) adalah satu-satunya standar yang
berlaku secara nasional di Indonesia. SNI dirumuskan oleh Panitia Teknis dan ditetapkan
oleh BSN.

17

Agar SNI memperoleh keberterimaan yang luas antara para stakeholder, maka SNI
dirumuskan dengan memenuhi WTO Code of good practice, yaitu:
1) Openess (keterbukaan): Terbuka bagi agar semua stakeholder yang berkepentingan
dapat berpartisipasi dalam pengembangan SNI;
2) Transparency (transparansi): Transparan

agar

semua

stakeholder

yang

berkepentingan dapat mengikuti perkembangan SNI mulai dari tahap pemrograman
dan perumusan sampai ke tahap penetapannya . Dan dapat dengan mudah
memperoleh semua informsi yang berkaitan dengan pengembangan SNI;
3) Consensus and impartiality (konsensus dan tidak memihak): Tidak memihak dan
konsensus agar semua stakeholder dapat menyalurkan kepentingannya dan
diperlakukan secara adil;
4) Effectiveness and relevance: Efektif dan relevan agar dapat memfasilitasi
perdagangan karena memperhatikan kebutuhan pasar dan tidak bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku;
5) Coherence: Koheren dengan pengembangan standar internasional agar perkembangan
pasar negara kita tidak terisolasi dari perkembangan pasar global dan memperlancar
perdagangan internasional; dan
6) Development dimension (berdimensi pembangunan): Berdimensi pembangunan
agar

memperhatikan

kepentingan

publik

dan

kepentingan

nasional

dalam

meningkatkan daya saing perekonomian nasional.
Dengan demikian, Indomie sebenarnya telah memenuhi standar internasional karena
produk tersebut telah mendapatkan sertifikat Standar Nasional Indonesia (SNI) dan
standar dunia Codex Alimenterius Commission (CAC) juga telah melewati proses Badan
POM Indonesia dan dinyatakan aman untuk dikonsumsi oleh siapa saja seperti yang
termuat pada keterangan Pers dari BPOM Republik Indonesia Tentang Penarikan
Produk Mi Instan Indonesia Nomor : HM.04.01.1.23.10.10.9695 tanggal 11 Oktober
2010.
Permasalahannya, jika Indomie di Taiwan telah memenuhi standar internasional
mengapa sampai di larang oleh Departemen Kesehatan Pemerintah Taiwan ?? untuk
menjawab pertanyaan ini, ada baiknya di lihat dari pihak Taiwan sendiri. Menurut Bimo A
Tejo, Ph.D, dari Department of Chemistry Faculty of Science Universiti Putra Malaysia,
18

Asam benzoat (E210) dan methylparaben (E218) dikenal sebagai bahah pengawet oleh
Taiwan sebenarnya dinyatakan aman. Asam benzoat (E210) adalah pengawet makanan
yang legal di Taiwan.
Jika dilihat dari segi hukum WTO tindakan yang dilakukan oleh Taiwan tidak dapat
dibenarkan oleh karena methylparaben (E218) juga legal dipakai sebagai bahan
makanan di Taiwan. Hal ini dikuatkan dalam sidang FAO (Organisasi Pangan PBB)
di Beijing pada 15-19 Maret 2010 yang menyebut methylparaben layak untuk
dikonsumsi. Sehingga, patut dipertanyakan langkah Taiwan yang tiba-tiba menarik
Indomie dari peredaran disebabkan sudah 15 tahun di ekspor ke Taiwan dan tidak ada
masalah mengenai hal itu.
Kalaupun zat tersebut dilarang untuk dikonsumsi oleh masyarakat Taiwan, sebenarnya
ia telah melanggar aturan mengenai transparansi yang dimuat dalam Pasal 7 SPS
Agreement, dimana taiwan tidak memberikan informasi mengenai larangan menggunakan

zat tersebut di wilayahnya.
Hal ini lah yang menjadi kesalahan Taiwan dengan menuduh PT. Indofood telah
melanggar batas aman penggunaan bahan pengawet terhadap makanan sesuai dengan
Undang-Undang Kesehatan di Taiwan. Dengan kesalahan yang dilakukan Taiwan ini,
otomatis menggugurkan tuduhan tersebut kepada PT. Indofood.
Kasus penarikan mi instan produksi Indonesia di Taiwan disinyalir diakibatkan
adanya persaingan dagang antara produsen mi instan sesuai spekulasi yang kedua di atas.
Sebab Indomie di Taiwan menjadi salah satu produk yang paling banyak di konsumsi oleh
masyarakat Taiwan dibandingkan produk mie instan lainnya. Penarikan ini sebagai
masalah persaingan dagang oleh karena terkait dengan naiknya popularitas Indomie
akhir-akhir ini yang terjadi seiring dengan meredupnya popularitas produsen mie terbesar
di Taiwan di bawah bendera Uni-President.
Untuk mendukung spekulasi yang kedua di atas maka dapat diperhatikan tanggapan
dari pihak Indonesia:


PT Indofood:
Indofood Consumer Brand Product (ICBP) Sukses Makmur Tbk berkeyakinan, mie

instan yang disita bukan ditujukan untuk pasar Taiwan. Sebab, menurut ICBP, semua
produksi mie instan yang diekspor ke Taiwan secara resmi telah memenuhi aturan
dan ketentuan keselamatan makanan yang berlaku di negara tersebut.
19



Departemen Perdagangan Indonesia:
Mie instan merek Indomie yang dirazia Departemen Kesehatan Taiwan karena

mengandung pengawet yang tidak diizinkan adalah produk yang tidak resmi diekspor
Indofood untuk pasar Taiwan, tapi untuk pasar Indonesia. Kasus ini sebenarnya
sudah diketahui sejak 4 bulan lalu dan pihak Indofood disebut sudah pernah datang ke
Taiwan untuk mengklarifikasi kasus tersebut.
Jadi, saat ini ada dua kemasan mie instan Indomie yang beredar di pasar Taiwan.
Produk yang dirazia sama dengan mie instan yang dijual di Indonesia. Sementara yang
lain kemasan indomie yang diproduksi khusus oleh Indofood untuk pasar Taiwan.
Dengan demikian, jelaslah sebenarnya PT. Indofood tidak ada melanggar ketentuan
dalam WTO dalam memasarkan produk Indomie ke Taiwan. Pelarangan ini murni hanya
karena persaingan dagang semata. Tidak adanya pengaduan dari Taiwan kepada WTO
untuk menanggapi permasalahan ini sebagai pertanda bahwa Taiwan juga menyadari hal
ini tidak ada kaitannya dengan pelanggaran terhadap ketentuan SPS dalam hukum WTO.

20

BAB IV
KESIMPULAN
Kesimpulan yang dapat ditarik dari uraian di atas, adalah sebagai berikut
1) Mie instan bermerek Indomie yang diproduksi oleh PT. Indofood CBP Sukses Makmur
Tbk, sudah beberapa tahun dipasarkan ke berbagai negara, dimana belum ada satu negara
pun yang menyatakan Indomie bermasalah kecuali Taiwan.
2) Menurut Bimo A Tejo, Ph.D, dari Department of Chemistry Faculty of Science Universiti
Putra Malaysia, Asam benzoat (E210) dan methylparaben (E218) dikenal sebagai bahan
pengawet yang oleh Taiwan sebenarnya dinyatakan aman. Asam benzoat (E210) adalah
pengawet makanan yang legal di Taiwan.
3) Jika dilihat dari segi hukum WTO tindakan yang dilakukan oleh Taiwan tidak dapat
dibenarkan oleh karena methylparaben (E218) juga legal dipakai sebagai bahan makanan
di Taiwan. Hal ini dikuatkan dalam sidang FAO (Organisasi Pangan PBB) di Beijing pada
15-19 Maret 2010 yang menyebut methylparaben layak untuk dikonsimsi. Sehingga, patut
dipertanyakan langkah Taiwan yang tiba-tiba menarik Indomie dari peredaran disebabkan
sudah 15 tahun di ekspor ke Taiwan dan tidak ada masalah mengenai hal itu.
4) Kalaupun zat tersebut dilarang untuk dikonsumsi oleh masyarakat Taiwan, sebenarnya ia
telah melanggar aturan mengenai transparansi yang dimuat dalam Pasal 7 SPS
Agreement, dimana taiwan tidak memberikan informasi mengenai larangan menggunakan
zat tersebut di wilayahnya.
5) Penarikan ini sebagai masalah persaingan dagang oleh karena terkait dengan naiknya
popularitas Indomie akhir-akhir ini yang terjadi dan seiring pula dengan meredupnya
popularitas produsen mie terbesar di Taiwan di bawah bendera Uni-President.

21

DAFTAR PUSTAKA
_____________,The Legal Text The Result of the Uruguay Round of Multilateral Trade
Negotiation, Cambridge Unversity Press : 2005.
www.indomie.com
lintas berita .com/keterangan-perss-dari-bpom-seputar-kasus-penarikan-indomie-di-taiwan
hukumonline.com/kemendag-diminta-investigasi-kasus-indomie-di-taiwan.
Bisniskeuangan.kompas.com/indomie.dirazia.depkes.taiwan.
berita.liputan6.com/ekbis/BPOM.indonesia.aman.dikonsumsi
tribuntimur.com/read/rtikel132079

22