ANALISIS KINERJA DAN POTENSI PAJAK PENERANGAN JALAN DI KOTA SURAKARTA

ANALISIS KINERJA DAN POTENSI PAJAK PENERANGAN JALAN DI KOTA SURAKARTA SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat-syarat untuk meraih gelar Sarjana Ekonomi Jurusan Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret Surakarta

Disusun oleh:

ASA ASTAMIRA F0108040 JURUSAN EKONOMI PEMBANGUNAN FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2012

MOTTO

“Ilmu itu akan melapangkan hati, meluaskan cara pandang, dan membuka cakrawala, sehingga jiwa kita dapat keluar dari berbagai keresahan, kegundahan dan kegelisahan” (‘Aidh Al Qarni)

“Hai orang-orang yang beriman jadikanlah sabar dan sholat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Baqarah : 153)

^^Hadapilah Semua dengan Senyuman Karena Senyuman Dapat Membawa Ketenangan Dalam Diri Kita........

HALAMAN PERSEMBAHAN

Kupersembahkan karya sederhana ini kepada:

1. Kedua orang tuaku tercinta

2. Kakak dan adikku terkasih

3. Sahabat-sahabat seukhuwah

4. Teman-teman seperjuangan

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil ‘alamin, puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena berkat rahmat, hidayah, dan karunia-Nya penulis berhasil menyelesaikan skripsi dengan judul “ANALISIS KINERJA DAN POTENSI PAJAK PENERANGAN JALAN DI KOTA SURAKARTA”.

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui kinerja dan potensi Pajak Penerangan Jalan di Kota Surakarta. Penelitian ini menggunakan metode analisis deskriptif dan analisis kuantitatif.

Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bimbingan, dorongan, dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah turut serta membantu penyusunan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan pihak lain, penyusunan skripsi ini tidak mungkin dapat terselesaikan. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Drs. Wisnu Untoro, MS selaku dekan Fakultas Ekonomi UNS.

2. Drs. Mugi Rahardjo, M.Si selaku pembimbing akademik.

3. Drs. Sumardi selaku pembimbing yang telah memberikan bantuan, bimbingan, dan arahan pada penulis.

4. Para dosen, staf, dan seluruh civitas akademika Fakultas Ekonomi UNS yang telah memberikan ilmu dan bantuan kepada penulis selama menjalani studi di jurusan ekonomi pembangunan Fakultas Ekonomi UNS.

5. Orang tua, kakak, dan adik yang telah memberikan motivasi dan dukungan pada penulis untuk terus berusaha dan maju.

6. Para pegawai BPS Surakarta, PLN Persero APJ Surakarta, dan DPPKA Kota Surakarta yang telah menunjukkan keramahan dan dukungan serta ilmu kepada penulis sehingga mampu menyelesaikan penulisan skripsi.

7. Teman-teman, terima kasih atas semua waktu, tenaga, doa, dan pikiran sehingga skrispi dapat selesai, dan terima kasih untuk segala bantuan, kerjasama, kenangan, dan ukhuwah serta persahabatan yang telah kalian berikan.

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Maka dari itu, penulis tidak lupa mengharapkan saran dan kritik atas skripsi ini. Akhirnya dengan segala kerendahan hati, penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi masyarakat, dan dapat dijadikan referensi bagi penelitian-penelitian selanjutnya.

Surakarta, Oktober 2012

Penulis

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

3.1. Matrik kinerja pajak/retribusi daerah.................................................. 45

4.1. Luas daerah dan penggunaan lahan dirinci per kecamatan di Kota Surakarta............................................................................................. 49

4.2. Tinggi tempat dan kemiringan tanah tiap kecamatan di Kota Surakarta............................................................................................. 51

4.3. Jumlah penduduk, prosentase penduduk di Kota Surakarta tahun 1993-2010........................................................................................... 54

4.4. Struktur penduduk di Kota Surakarta menurut jenis kelamin tahun 2006-2010........................................................................................... 55

4.5. PDRB atas dasar harga konstan tahun 2000 Kota Surakarta Tahun 2000-2003........................................................................................... 57

4.6. PDRB atas dasar harga konstan tahun 2000 Kota Surakarta tahun 2004-2010........................................................................................... 58

4.7. Laju Pertumbuhan Ekonomi (LPE) Kota Surakarta tahun 2004- 2009.................................................................................................... 60

4.8. Kontribusi Pajak Penerangan Jalan..................................................... 67

4.9. Kinerja Pajak Penerangan Jalan tahun 2007-2011............................. 71

4.10. Rasio pengumpulan (collection ratio) Pajak Penerangan Jalan Tahun 2007-2011................................................................................ 72

4.11. Pertumbuhan Pajak Penerangan Jalan Tahun 2007-2011................... 72

4.12. Biaya beban dan biaya pemakaian listrik golongan tarif rumah tangga tahun 2010-2011..................................................................... 74

4.13. Biaya beban dan biaya pemakaian listrik golongan tarif bisnis tahun 2010-2011........................................................................................... 76

4.14. Biaya beban dan biaya pemakaian listrik golongan tarif industri tahun 2010-2011................................................................................. 79

4.15. Potensi penerimaan Pajak Penerangan Jalan berdasarkan golongan tarif di Kota Surakarta tahun 2010-2011............................................ 86

4.16. Perbandingan target penerimaan dan potensi penerimaan Pajak Penerangan Jalan di Kota Surakarta tahun 2010-2011....................... 87

4.17. Perhitungan efektivitas Pajak Penerangan Jalan di Kota Surakarta tahun 2010-2011................................................................................. 89

4.18. Hasil perhitungan daya pajak (tax effort) Pajak Penerangan Jalan Kota Surakarta tahun 2007-2011........................................................ 89

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

2.1. Value for money chain.......................................................................... 32

2.2. Kerangka pemikiran.............................................................................. 34

4.1. Kontribusi Pajak Penerangan Jalan terhadap pajak daerah Kota Surakarta tahun 2007-2011................................................................... 64

4.2. Kontribusi Pajak Penerangan Jalan terhadap PAD Kota Surakarta tahun 2007-2011................................................................................... 65

4.3. Perkembangan Produk Domestik Regional Bruto Kota Surakarta atas dasar harga berlaku tahun 2006-2010................................................... 66

ABSTRAK ANALISIS KINERJA DAN POTENSI PAJAK PENERANGAN JALAN DI KOTA SURAKARTA ASA ASTAMIRA

F0108040

Tujuan dalam penelitian ini adalah menganalisis kinerja dan potensi Pajak Penerangan Jalan di Kota Surakarta selama tahun 2007 hingga tahun 2011. Pajak Penerangan Jalan merupakan salah satu jenis pajak daerah yang memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) dibandingkan jenis pajak lainnya. Kinerja Pajak Penerangan Jalan terus menunjukkan progres yang bagus bagi penerimaan keuangan daerah. Pemungutan Pajak Penerangan Jalan di Kota Surakarta dilakukan oleh PLN Persero APJ Surakarta sedangkan pengelolaannya dilakukan oleh pihak DPPKA Kota Surakarta.

Selain melakukan analisis kinerja dan potensinya, dilakukan pula perhitungan daya pajak (tax effort). Untuk mengetahui kinerja dan potensi penerimaan dibutuhkan suatu data penelitian yang menggunakan runtut waktu (time series). Penelitian dengan menggunakan data runtut waktu akan membantu melihat bagaimana kinerja dari penerimaan Pajak Penerangan Jalan. Model analisis yang digunakan yaitu matrik kinerja pajak daerah dan analisis perhitungan potensi penerimaan yang didasarkan pada basis pajak dan tarif pajak Pajak Penerangan Jalan.

Hasil pengukuran kinerja Pajak Penerangan Jalan menggunakan matrik kinerja pajak daerah menunjukkan bahwa kinerja Pajak Penerangan Jalan di Kota Surakarta tahun 2007-2011 tergolong potensial seluruhnya. Sedangkan berdasarkan hasil perhitungan potensi penerimaan pajak, tingkat efektivitas (coverage ratio) Pajak Penerangan Jalan di Kota Surakarta sudah sangat efektif dengan golongan rumah tangga yang memiliki potensi penerimaan terbesar. Secara keseluruhan realisasi Pajak Penerangan Jalan sudah mampu mencapai target yang ditetapkan oleh DPPKA Kota Surakarta.

Kata Kunci: Kinerja, Potensi Penerimaan, Target dan Realisasi Pajak

Penerangan Jalan, Matrik Kinerja Pajak Daerah, Efektivitas (Coverage Ratio)

ABSTRACT PERFORMANCE AND POTENTIAL ANALYSIS OF LIGHTING STREET TAX IN SURAKARTA CITY ASA ASTAMIRA

F0108040

The purpose of this research is to analyze the performance and potential of Street Lighting Tax in Surakarta during 2007 through 2011. Street Lighting Tax is one kind of local tax that has contributed greatly to the Area Original Income (PAD) than other types of taxes. The Performance of Street Lighting Tax continues to show good progress for the local financial revenue. The collection of Street Lighting Tax is done by PLN Persero APJ Surakarta while the management is done by DPPKA of Surakarta City.

Besides analyzing the performance and potential, is also done the calculation of tax power. To determine the performance and potential revenue is needed a research data using time series. Research using time series data will help to see how the performance of street lighting tax revenue. The analysis model which used is the performance metric of local tax and the analysis of calculation revenue potential which are based the tax base and the tax rate of Street Light Tax.

The result of Street Light Tax performance measurement using the performance of local tax show that the performance of Street Light Tax in Surakarta City belong to potential entirely. While which is based on the calculation of tax revenue potential, the level of effectiveness (coverage ratio) Street Lighting Tax in Surakarta City has been very effective with group of households which have the greatest revenue potential. Overall the realization of Street Lighting Tax was able to achieve the target which is set by DPPKA Surakarta City.

Keywords: Performance, Revenue Potential, Target and Realization of Street

Lighting, Performance Metric of Local Tax, Effectiveness (Coverage Ratio)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Otonomi yang diberikan kepada daerah kabupaten dan kota dilaksanakan dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata, dan bertanggungjawab kepada pemerintah daerah secara proporsional. Artinya, pelimpahan tanggungjawab akan diikuti oleh pengaturan, pembagian, pemanfaatan, dan sumber daya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah (Mardiasmo, 2002:8 dalam Niko Oktorra, 2009). Melalui otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, pemerintah daerah memiliki wewenang untuk menggali pendapatan dan melakukan peran alokasi secara mandiri dalam menetapkan prioritas pembangunan. Pelaksanaan desentralisasi fiskal yang mengacu pada Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah yang direvisi dengan Undang-Undang No.

32 dan Undang-Undang No. 33 Tahun 2004, sudah dilakukan sejak tanggal 1 Januari 2001. Pemerintah daerah sama halnya dengan pemerintah pusat, mempunyai kepentingan yang sama dalam penyelenggaraan pemerintahan untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya. Pemerintah daerah membutuhkan dana untuk membangun daerah yang nyata, dinamis, serasi, dan bertanggungjawab.

Pembiayaan pemerintahan dan pembangunan daerah bersumber pada Pendapatan Asli Daerah itu sendiri.

Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan negara dan pembangunan nasional untuk mencapai masyarakat adil, makmur, dan merata berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 menyatakan bahwa daerah Indonesia terbagi dalam daerah yang bersifat otonom. Otonomi bagi daerah telah ditetapkan oleh pemerintah pusat. Sejak dilaksanakan otonomi daerah, tiap-tiap daerah berlomba-lomba untuk meningkatkan pendapatan daerahnya diantaranya dengan menarik investasi masuk/dengan pungutan (pajak). Menaikkan pajak bertujuan untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). PAD dialokasikan salah satunya untuk pembangunan infrastruktur daerah. Namun pada kenyataannya yang terjadi pembangunan infrastruktur daerah masih banyak yang kurang. Hal ini kebanyakan disebabkan oleh kurangnya dana yang ada dalam PAD dan biasanya dialami oleh daerah yang sedang berkembang seperti yang pernah terjadi di Kota Surakarta sehingga daerah tersebut tidak memiliki modal untuk membangun daerahnya. Karena anggaran yang dimiliki relatif terbatas, pemerintah harus membuat perencanaan yang tepat agar dana yang ada bisa dimanfaatkan secara optimal. Maka dari itu, sangat penting diperhatikan oleh daerah dan sektor mana saja yang akan memberikan efek multiplier yang besar dimana dalam hal ini adalah sektor pajak.

Pembiayaan yang dilakukan pemerintah tidak hanya didapat dari sektor- sektor unggul ataupun dari pemberdayaan sektor swasta akan tetapi didapat pula dari pungutan yang dilakukan oleh pemerintah kepada masyarakat.

Pungutan tersebut dapat berupa retribusi atau pungutan yang dilakukan secara langsung dan masyarakat dapat secara langsung menerima hasilnya serta pungutan lainnya yang berupa pajak daerah dimana masyarakat tidak dapat secara langsung menikmati pemanfaatannya. Kebijaksanaan di bidang penerimaan daerah, berorientasi pada peningkatan kemampuan daerah untuk membiayai urusan rumah tangga daerah sendiri, diprioritaskan pada penggalian dan mobilisasi sumber-sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) di samping dari hasil pajak dan bukan pajak. Jenis pajak daerah kabupaten atau kota yang dipungut antara lain pajak hotel, pajak restoran, pajak reklame, Pajak Penerangan Jalan, pajak parkir, dan pajak pengambilan bahan galian golongan

C. Pemilihan jenis pajak yang dipungut oleh daerah provinsi, kabupaten atau kota merupakan kewenangan yang dimiliki daerah otonom, setelah diperbaharuinya Undang-Undang No. 34 Tahun 2000. Pajak daerah merupakan salah satu pemberi kontribusi terbesar bagi komponen Pendapatan Asli Daerah. Pendapatan Asli Daerah (PAD) mencerminkan kemampuan atau kemandirian suatu daerah kabupaten atau kota.

Semakin kondusifnya keadaan perekonomian nasional, membawa dampak positif bagi ekonomi daerah. Kegiatan-kegiatan yang bersifat mendorong perekonomian suatu daerah seharusnya berjalan berkelanjutan sehingga dapat membawa dampak meningkatnya kesejahteraan masyarakat. Semakin tinggi tingkat kesejahteraan masyarakat maka semakin tinggi pula tingkat pemenuhan kebutuhan mereka. Salah satu jenis kebutuhan masyarakat adalah penerangan jalan yang tentu berguna bagi kehidupan mereka, dengan Semakin kondusifnya keadaan perekonomian nasional, membawa dampak positif bagi ekonomi daerah. Kegiatan-kegiatan yang bersifat mendorong perekonomian suatu daerah seharusnya berjalan berkelanjutan sehingga dapat membawa dampak meningkatnya kesejahteraan masyarakat. Semakin tinggi tingkat kesejahteraan masyarakat maka semakin tinggi pula tingkat pemenuhan kebutuhan mereka. Salah satu jenis kebutuhan masyarakat adalah penerangan jalan yang tentu berguna bagi kehidupan mereka, dengan

Pajak Penerangan Jalan atau yang sering disebut dengan pajak Penerangan Jalan Umum (PJU) merupakan hal yang perlu dikaji karena menimbulkan beberapa permasalahan di masyarakat. Pemungutan Pajak Penerangan Jalan dilakukan bersamaan dengan pembayaran rekening listrik. Hal ini menimbulkan adanya anggapan pada masyarakat bahwa dengan telah dibayarkannya Pajak Penerangan Jalan maka masyarakat berhak menikmati secara langsung fasilitas penerangan jalan di tempatnya dengan atau tanpa izin PT. PLN. Salah satu unsur Pendapatan Asli Daerah adalah pajak daerah. Pajak Penerangan Jalan merupakan salah satu jenis pajak daerah.

Dalam pemahaman Pajak Penerangan Jalan, tidak terlepas dari subyek hukum yang terkait dalam Pajak Penerangan Jalan. Subyek hukum itu meliputi PT PLN sebagai produsen listrik, wajib Pajak Penerangan Jalan (masyarakat) sebagai konsumen dan pemerintah daerah (sebagai penyelenggara daerah). Menurut Harian Media Indonesia (12 Januari 2012) Kota Surakarta mengalami penunggakan dalam pembayaran Pajak Penerangan Jalan selama empat bulan di tingkat pusat yang jumlahnya cukup banyak yaitu Rp 8,9 miliar yang mengakibatkan terjadi pemadaman lampu penerangan jalan oleh PT. PLN. Ternyata menurut pengakuan Pemerintah Kota Surakarta, selama ini uang pajak dari rakyat digunakan untuk kepentingan lain. Sebenarnya bagaimana kinerja Pajak Penerangan Jalan di Kota Surakarta sehingga terjadi masalah dalam pembayarannya. Selain itu bagaimana potensi Pajak Penerangan Jalan Dalam pemahaman Pajak Penerangan Jalan, tidak terlepas dari subyek hukum yang terkait dalam Pajak Penerangan Jalan. Subyek hukum itu meliputi PT PLN sebagai produsen listrik, wajib Pajak Penerangan Jalan (masyarakat) sebagai konsumen dan pemerintah daerah (sebagai penyelenggara daerah). Menurut Harian Media Indonesia (12 Januari 2012) Kota Surakarta mengalami penunggakan dalam pembayaran Pajak Penerangan Jalan selama empat bulan di tingkat pusat yang jumlahnya cukup banyak yaitu Rp 8,9 miliar yang mengakibatkan terjadi pemadaman lampu penerangan jalan oleh PT. PLN. Ternyata menurut pengakuan Pemerintah Kota Surakarta, selama ini uang pajak dari rakyat digunakan untuk kepentingan lain. Sebenarnya bagaimana kinerja Pajak Penerangan Jalan di Kota Surakarta sehingga terjadi masalah dalam pembayarannya. Selain itu bagaimana potensi Pajak Penerangan Jalan

B. Perumusan Masalah

Dari uraian latar belakang masalah yang dikemukakan di atas, pokok masalah yang akan dikaji dalam penulisan ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimana kontribusi Pajak Penerangan Jalan terhadap PAD Kota Surakarta?

2. Bagaimana kinerja dan potensi Pajak Penerangan Jalan di Kota Surakarta?

3. Bagaimana tingkat efektivitas (coverage ratio) dan daya Pajak Penerangan Jalan di Kota Surakarta?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui kontribusi Pajak Penerangan Jalan terhadap PAD Kota Surakarta.

2. Untuk mengetahui kinerja dan potensi Pajak Penerangan Jalan di Kota Surakarta.

3. Untuk mengetahui tingkat efektivitas (coverage ratio) dan daya Pajak Penerangan Jalan di Kota Surakarta.

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diharapkan dari kajian ini adalah:

1. Sebagai masukan bagi Pemerintah Kota Surakarta dalam menentukan arah dan kebijakan yang berkaitan dengan peningkatan PAD di Kota Surakarta, khususnya Pajak Penerangan Jalan.

2. Sebagai bahan informasi bagi instansi atau pihak lain yang tertarik untuk melakukan penelitian lebih lanjut.

E. Sistematika Penulisan

BAB I

PENDAHULUAN Bab ini berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA Bab ini menjelaskan tentang kajian teori dan hasil penelitian

terdahulu.

BAB III METODE PENELITIAN Bab ini menjelaskan tentang ruang lingkup penelitian, jenis dan sumber data, definisi operasional variabel, teknik dan metode analisis data.

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Bab ini menguraikan bagaimana data diolah beserta pembahasannya.

BAB V KETERBATASAN PENELITIAN, KESIMPULAN, DAN SARAN

Bab ini berisi keterbatasan penelitian, kesimpulan, dan saran untuk penelitian mendatang.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Pembangunan Ekonomi

Negara Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk Republik yang menganut asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan. Untuk mewujudkan pemerintahan daerah yang mandiri maka pemerintah pusat mengambil kebijakan desentralisasi yang dikenal dengan otonomi daerah. Dengan adanya kebijakan desentralisasi terjadilah perubahan yang cukup fundamental dalam mekanisme penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia. Adanya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menuntut pemerintah daerah untuk dapat mandiri dalam membangun daerahnya masing- masing. Otonomi daerah merupakan sebuah kesempatan dan tantangan baru bagi pemerintah daerah untuk membangun daerahnya secara optimal setelah peran pemerintah pusat mulai dikurangi. (Mardiasmo: 8 dalam Dibyo Prabowo, 2004: 10 oleh Aprilia Kurniawati, 2007 dalam “Analisis Penerimaan Retribusi Pasar terhadap Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Wonogiri”) mengemukakan ada 2 manfaat yang dapat diharapkan dari otonomi yaitu:

1. Mendorong partisipasi, prakarsa, dan kreativitas masyarakat di dalam pembangunan serta mendorong pemerataan hasil-hasil pembangunan di seluruh daerah dengan memanfaatkan sumber dan potensi yang tersedia di masing-masing daerah.

2. Memperbaiki alokasi sumber daya produktif melalui pergeseran peran dalam pengambilan keputusan publik ke tingkat pemerintahan yang lebih rendah yang memiliki informasi paling lengkap.

Otonomi daerah diharapkan dapat menggantikan konsep pembangunan terpusat yang oleh beberapa pihak dipandang menjadi penyebab lambannya pembangunan daerah dan besarnya ketimpangan antar daerah. Dengan adanya otonomi daerah, daerah mempunyai keleluasaan untuk mengembangkan potensi penerimaan juga terdapat keleluasaan dalam menyusun daftar prioritas pembangunan yang diharapkan dapat mendorong percepatan pembangunan daerah. Otonomi daerah ditandai dengan adanya desentralisasi kewenangan (power sharing) dan desentralisasi keuangan (fiscal desentralisation) yang dilaksanakan penuh sejak ditetapkannya Undang-Undang No. 32 tentang Pemerintahan Daerah, penyelenggaraan otonomi daerah dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata, dan bertanggungjawab kepada daerah dimana pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan serta pembagian keuangan pusat dan daerah dalam kerangka NKRI. Otonomi sebagai perwujudan pertanggungjawaban pemberian hak dan kewenangan kepada daerah melalui tugas dan kewajiban yang harus dipikul oleh daerah dalam mencapai tujuan dan maksud pemberian otonomi daerah yang pada dasarnya memberdayakan daerah, termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang merupakan bagian utama dari tujuan nasional. Keberhasilan otonomi daerah akan ditentukan oleh adanya lima kondisi strategis yang meliputi:

1. Self Reguler Power, daerah (provinsi/kabupaten/kota).

2. Self Modifying Power berupa kemampuan menyesuaikan terhadap berbagai peraturan yang telah ditetapkan secara nasional sesuai dengan kondisi termasuk ide inovatif ke arah kemajuan dalam menyikapi berbagai potensi yang ada di daerah masing-masing.

3. Creating Local Political Support, terjadinya proses penyelenggaraan pemerintah daerah yang mempunyai legitimasi yang kuat dari masyarakatnya baik dalam posisinya sebagai kepala daerah maupun dalam posisinya sebagai wakil-wakil rakyat di daerah yaitu sebagai anggota DPRD.

4. Managing Financial Resources, mampu mengembangkan kompetensi dalam mengelola secara optimal sumber penghasilan dan keuangan yang dimiliki daerah guna pembiayaan aktivitas pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan kepada masyarakat.

5. Developing Brain Power, mampu membangun sumber daya manusia yang handal dan selalu bertumpu pada kemampuan atau kapabilitas dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang sering dan selalu muncul di daerah. (Mulyanto, 2003: 5-6 dalam Aprilia Kurniawati, 2007)

Dari kelima indikator di atas, faktor kemampuan dalam mengelola keuangan daerah merupakan faktor yang sangat menentukan bagi keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Salah satu ciri dari daerah otonom, terletak pada kemampuan daerah dalam mengupayakan sendiri penerimaan bidang keuangannya, termasuk di dalamnya adalah kemampuan Dari kelima indikator di atas, faktor kemampuan dalam mengelola keuangan daerah merupakan faktor yang sangat menentukan bagi keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Salah satu ciri dari daerah otonom, terletak pada kemampuan daerah dalam mengupayakan sendiri penerimaan bidang keuangannya, termasuk di dalamnya adalah kemampuan

Daerah hendaknya mempunyai sumber-sumber keuangan yang memadai untuk membiayai penyelenggaraan otonomi sehingga ketergantungan dengan pemerintah pusat dapat dikurangi. Keberhasilan tiap daerah akan ditentukan oleh manajemen keuangan masing-masing daerah dalam mengatur keuangan daerahnya. Namun dalam upaya memperoleh sumber-sumber penerimaan keuangan daerah yang sebanyak-banyaknya perlu juga diimbangi dengan peningkatan mutu kualitas pelayanan terhadap masyarakat.

Pembangunan ekonomi adalah suatu proses kenaikan pendapatan total dan pendapatan per kapita dengan memperhitungkan adanya pertambahan penduduk dan disertai dengan perubahan fundamental dalam struktur ekonomi suatu negara. Sedangkan pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola sumberdaya- sumberdaya yang ada dalam merangsang perkembangan kegiatan ekonomi dalam daerah tersebut.

Salah satu kemampuan yang dituntut terhadap daerah adalah kemampuan daerah tersebut untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri (self- supporting ) dalam bidang keuangan. Bidang keuangan merupakan suatu faktor yang penting dalam mengukur suatu daerah atas keberhasilan otonominya. Sumber-sumber peneriman dari suatu daerah menurut Undang-Undang Republik Indonesia No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah terdiri dari:

1. Pendapatan Asli Daerah (PAD)

a. Penerimaan Pajak Daerah

Pajak daerah adalah pungutan daerah menurut peraturan pajak yang ditetapkan oleh daerah untuk pembiayaan rumah tangganya sebagai badan hukum publik. Pajak daerah sebagai pungutan yang dilakukan pemerintah daerah yang hasilnya digunakan untuk pembiayaan pengeluaran umum pemerintah yang balas jasanya tidak secara langsung diberikan, sedang pelaksanaanya dapat dipaksakan.

b. Penerimaan Retribusi Daerah

Retribusi daerah merupakan pungutan daerah sebagai pembayaran pemakaian atau karena memperoleh jasa pekerjaan, usaha atau milik pemerintah daerah yang bersangkutan. Retribusi daerah mempunyai sifat-sifat: - Pelaksanaanya bersifat ekonomis. - Ada imbalan langsung walaupun memenuhi persyaratan-persyaratan

formil dan materiil. - Ada alternatif untuk mau tidak mau membayar. - Merupakan pungutan yang pada umumnya bersifat budgetairnya tidak

menonjol. - Dalam hal-hal tertentu retribusi daerah digunakan untuk tujuan tertentu. - Dalam banyak hal retribusi daerah tidak lebih dari pengembalian biaya

yang telah dikeluarkan oleh pemerintah daerah untuk memenuhi permintaan anggota masyarakat.

c. Hasil Perusahaan Milik Daerah dan Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan

Hasil perusahaan milik daerah yang merupakan pendapatan daerah yang disetor ke kas daerah, keuntungan bersih perusahaan daerah yang berupa dana pembangunan daerah dan bagian untuk anggaran belanja daerah yang disetor ke kas daerah, meliputi perusahaan daerah yang dipisahkan sesuai dengan motif pendirian dan pengelolaan. Perusahaan daerah bersifat menambah penghasilan daerah, memberi jasa penyelenggaraan kemanfaatan umum, dan memperkembangkan perekonomian daerah.

d. Lain-Lain Pendapatan Asli Daerah yang Sah

Lain-lain yang tidak termasuk ke dalam jenis-jenis pajak daerah dan retribusi daerah dan pendapatan dinas-dinas. Lain-lain tersebut meliputi usaha daerah yang sah dan memungkinkan bagi pemerintah daerah untuk melakukan berbagai kegiatan yang menghasilkan output dimana output tersebut bertujuan untuk menunjang, melapangkan atau memantapkan suatu kebijakan pemerintah daerah pada suatu bidang tertentu. Beberapa macam lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah yaitu: - Hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan. - Jasa giro. - Pendapatan bunga. - Keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing.

2. Dana Perimbangan

Dana perimbangan diperoleh melalui bagian daerah dari penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan baik dari sektor pedesaan, perkotaan, perkebunan, pertambangan dari sumber daya alam serta bea perolehan hak atas tanah dan bangunan.

3. Pinjaman Daerah

Pinjaman daerah adalah pinjaman dalam negeri yang bersumber dari pemerintah, lembaga komersial dan atau penerbitan obligasi daerah dengan diberitahukan kepada pemerintah sebelum usulan pinjaman daerah diproses lebih lanjut. Sedangkan yang berwenang mengadakan dan menanggung pinjaman daerah adalah kepala daerah yang ditetapkan dengan keputusan kepala daerah atas persetujuan DPRD.

4. Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah

Lain-lain pendapatan daerah yang sah antara lain hibah atau penerimaan dari daerah provinsi atau daerah kabupaten/kota lainnya dan penerimaan lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Peranan Pendapatan Asli Daerah (PAD)

Berdasarkan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dijelaskan bahwa untuk membiayai pembangunan di daerah, penerimaannya bersumber dari Pendapatan Asli Daerah (pajak daerah, retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan daerah yang sah). Pemerintah daerah melakukan upaya maksimal dalam pengumpulan pajak daerah dan retribusi Berdasarkan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dijelaskan bahwa untuk membiayai pembangunan di daerah, penerimaannya bersumber dari Pendapatan Asli Daerah (pajak daerah, retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan daerah yang sah). Pemerintah daerah melakukan upaya maksimal dalam pengumpulan pajak daerah dan retribusi

1. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)

a. Pengertian PDRB

Perhitungan PDRB telah menjadi bagian yang sangat penting dalam makro ekonomi, khususnya tentang analisis perekonomian suatu wilayah. Hasil perhitungan PDRB ini memberikan kerangka dasar yang digunakan untuk mengukur pertumbuhan ekonomi suatu daerah serta aktivitas ekonomi yang terjadi dan berlangsung dalam suatu kegiatan perekonomian. Hasil PDRB tersebut sebagai indikator ekonomi makro dan juga sebagai landasan evaluasi kinerja perekonomian dan penyusunan berbagai kebijakan. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) memiliki pengertian yaitu jumlah nilai tambah yang dihasilkan untuk seluruh jenis usaha dan jasa dalam suatu wilayah yang menerapakan jumlah seluruh nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan seluruh unit ekonomi.

b. Fungsi PDRB

Fungsi dari PDRB diantaranya:

- Menunjukkan kemampuan suatu daerah dalam membiayai pengeluaran daerahnya. - Memberikan gambaran secara menyeluruh tentang kondisi makro perekonomian suatu daerah. - Indikator kinerja perekonomian dan ukuran kesejahteraan penduduk di suatu daerah. - Sebagai gambaran struktur atau susunan perekonomian. - Sebagai perbandingan kondisi perekonomian dari tahun ke tahun.

2. Pendapatan Asli Daerah (PAD)

a. Pengertian PAD

Pendapatan Asli Daerah merupakan sumber keuangan daerah yang digali dari dalam wilayah daerah yang bersangkutan. Proporsi Pendapatan Asli Daerah dalam seluruh penerimaan daerah masih rendah bila dibandingkan dengan penerimaan yang berasal dari bantuan pemerintah pusat. Berdasarkan Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, Pendapatan Asli Daerah terdiri dari: - Pajak daerah - Retribusi daerah - Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, yang bersumber

dari:

1. Bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik daerah (BUMD).

2. Bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik negara (BUMN).

3. Bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik swasta. - Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah, bersumber dari:

1. Hasil penjualan aset daerah.

2. Penerimaan jasa giro.

3. Penerimaan bunga deposito.

4. Denda atas keterlambatan pelaksanaan pekerjaan.

B. Pajak

1. Pengertian Pajak

Pengertian pajak menurut beberapa ahli, antara lain:

a. Mangkoesoebroto

Pajak adalah suatu pungutan yang merupakan hak prerogatif pemerintah, pungutan tersebut didasarkan pada Undang-Undang, pemungutannya dapat dipaksakan kepada subjek pajak untuk mana tidak ada balas jasa yang langsung dapat ditunjukkan penggunaannya.

b. Prof. Dr. M. J. H. Smeets

Pajak adalah prestasi kepada pemerintah yang terutang melalui norma-norma umum, dan yang dapat dipaksakan, tanpa ada kalanya kontraprestasi yang dapat ditunjukkan dalam hal yang individual, maksudnya adalah untuk membiayai pengeluaran pemerintah.

c. Rochmad Soemitro

Pajak adalah iuran kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat cara timbal balik (kontra prestasi), yang langsung dapat ditujukan dan digunakan untuk membayar pengeluaran umum.

Sehingga secara umum pajak adalah pungutan negara kepada rakyat yang bersifat memakasa tanpa ada kontraprestasi (timbal balik) secara langsung. Pajak dipungut berdasarkan norma-norma hukum untuk menutup biaya produksi barang-barang dan jasa kolektif untuk mencapai kesejahteraan umum. Lembaga pemerintah yang mengelola perpajakan negara di Indonesia adalah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang merupakan salah satu direktorat jenderal yang ada di bawah naungan Kementerian Keuangan Republik Indonesia.

Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan negara dan pembangunan nasional untuk mencapai masyarakat adil, makmur, dan merata berdasarkan pancasila dan UUD 1945 menyatakan bahwa daerah Indonesia terbagi dalam daerah yang bersifat otonom. Otonomi bagi daerah telah ditetapkan oleh pemerintah pusat. Otonomi yang diberikan kepada daerah kabupaten dan kota dilaksanakan dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata, dan bertanggungjawab kepada pemerintah daerah secara proporsional. Artinya, pelimpahan tanggungjawab akan diikuti oleh pengaturan, pembagian, pemanfaatan, dan sumber daya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah. (Mardiasmo, 2002:8 dalam Niko Oktorra, 2009).

Pajak merupakan sumber utama penerimaan Pemerintah Republik Indonesia di samping sektor migas dan ekspor barang-barang non migas. Sebagai salah satu penerimaan pemerintah, pajak dapat dipergunakan untuk membiayai kegiatan pemerintah (budgeter), maupun untuk meningkatkan kegiatan masyarakat. Alokasi pajak untuk pembangunan prasarana, dan perbaikan kualitas sumber daya manusia berpengaruh positif terhadap kegiatan ekonomi masyarakat (Sugianto, 1996 dalam Meutia Fatchanie, 2007).

2. Aspek Ekonomi dari Perpajakan

Sistem pajak yang baik dipandang dari ilmu ekonomi adalah sistem perpajakan yang memiki pengaruh yang baik (Suhendi, 2006 dalam Indra Riady, 2010) yaitu memenuhi konsep sistem pajak, membatasi masalah keadilan sistem pajak. Ada dua prinsip keadilan yang digunakan yaitu prinsip manfaat atau benefit principle dan prinsip kemampuan atau ability to pay . Keadilan ini mengandung arti bahwa dalam pelaksanaan pajak harus proporsional.

3. Sistem Pemungutan Pajak

Suandy (2000) (Meutia Fatchanie (2007) dalam “Analisis Efisiensi dan Efektivitas Hasil Pemungutan Pajak Parkir di Kabupaten Sleman”) mengemukakan bahwa ada beberapa sistem pemungutan pajak, yaitu:

a. Official Assessment System

Wewenang pemungutan pajak ada pada fiskus (pemeriksa pajak). Fiskus berhak menentukan besarnya utang pajak orang pribadi maupun badan dengan mengeluarkan Surat Ketetapan Pajak (SKP), yang Wewenang pemungutan pajak ada pada fiskus (pemeriksa pajak). Fiskus berhak menentukan besarnya utang pajak orang pribadi maupun badan dengan mengeluarkan Surat Ketetapan Pajak (SKP), yang

b. Semi Self Assessment System

Suatu sistem pemungutan pajak dimana wewenang untuk menentukan besarnya pajak yang dibebankan pada seseorang berada pada kedua belah pihak, yaitu wajib pajak dan fiskus. Mekanisme pelaksanaan dalam sistem ini berdasarkan suatu anggapan bahwa wajib pajak pada awal tahun menaksir sendiri besarnya beban pajak yang sesungguhnya ditetapkan oleh fiskal.

c. Witholding System

Suatu sistem pemungutan pajak dimana wewenang untuk menentukan besarnya pajak yang dibebankan kepada seseorang berada pada pihak ketiga, dan bukan oleh fiskus maupun oleh wajib pajak itu sendiri.

d. Full Self Assessment System

Suatu sistem pemungutan pajak dimana wajib pajak boleh menghitung dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang harus disetorkan. Wajib pajak harus aktif menghitung dan melaporkan jumlah pajak terutangnya tanpa campur tangan fiskus.

4. Fungsi Pajak

Peraturan pajak dibuat dengan didasarkan pada tujuan meningkatkan kesejahteraan umum. Penerimaan pajak untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat harus ditingkatkan lagi serta pemungutannya harus berdasarkan aturan-aturan yang berlaku. Pemerintah dalam melakukan pungutan pajak Peraturan pajak dibuat dengan didasarkan pada tujuan meningkatkan kesejahteraan umum. Penerimaan pajak untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat harus ditingkatkan lagi serta pemungutannya harus berdasarkan aturan-aturan yang berlaku. Pemerintah dalam melakukan pungutan pajak

a. Fungsi Budgeter

Yaitu sebagai alat untuk mengisi kas negara (daerah) yang digunakan untuk membiayai kegiatan pemerintahan dan pembangunan.

b. Fungsi Regulator

Yaitu bila pajak dipergunakan sebagai alat mengatur untuk mencapai tujuan, misalnya: pajak minuman keras dimaksudkan agar rakyat menghindari atau mengurangi konsumsi minuman keras, pajak ekspor dimaksudkan untuk mengekang pertumbuhan ekspor komoditi tertentu dalam rangka menghindari kelangkaan produk tersebut di dalam negeri.

c. Fungsi Demokrasi

Pajak dipungut sebagai wujud bentuk persamaan partisipasi dalam pembangunan oleh masyarakat.

d. Fungsi Redistribusi

Pajak dipungut kepada semua lapisan masyarakat sebagai wujud untuk menegakkan keadilan sosial, dengan diwujudkan dalam struktur tarif progresif.

5. Asas-Asas Pemungutan Pajak

Pemungutan pajak baik dikelola oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah selalu berpedoman pada asas-asas pemungutan pajak (Mardiasmo, 2003) yaitu: Pemungutan pajak baik dikelola oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah selalu berpedoman pada asas-asas pemungutan pajak (Mardiasmo, 2003) yaitu:

Bahwa pajak dipungut terhadap orang-orang yang bertempat tinggal di Indonesia.

b. Asas Tempat Tinggal

Pajak dipungut bagi orang-orang yang bertempat tinggal di Indonesia dan ditentukan menurut keadaan.

c. Asas Sumber Penghasilan

Jika sumber penghasilan berada di Indonesia dengan tidak memperhatikan subjek tempat tinggal.

6. Macam-Macam Pajak

a. Menurut Golongannya - Pajak Langsung

Pajak yang beban pajaknya tidak dapat digeserkan kepada pihak lain, atau pajak yang harus dipikul sendiri oleh wajib pajak.

- Pajak Tidak Langsung

Suatu pajak yang dapat digeserkan kepada pihak lain, misalnya pajak pembangunan.

b. Menurut Sifatnya - Pajak Subjektif

Pajak subjektif adalah pajak yang dipungut dengan memperlihatkan keadaan wajib pajak menjadi ukuran terhadap besar kecilnya jumlah pajak yang dibayar.

- Pajak Objektif

Pajak objektif adalah pajak yang pungutannya berpangkal pada keadaan objektifnya. Pajak ini dipungut karena keadaan, pembuatan, dan kejadian yang dilakukan dalam suatu wilayah dengan tidak mengindahkan atau memperhatikan sifat subyeknya.

7. Pajak Daerah

Pajak daerah merupakan salah satu andalan Pendapatan Asli Daerah di samping retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah, dan hasil pengelolaan kekayaan daerah lainnya yang dipisahkan. Menurut Undang- Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000, pajak daerah adalah iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada pemerintah daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang. Pajak daerah dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang- undangan yang berlaku, yang hasilnya digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintah daerah dan pembangunan daerah.

Kriteria pajak daerah tidak jauh berbeda dengan kriteria pajak pusat, yang membedakan keduanya adalah pihak pemungutnya. Menurut Davey dalam Suandy (2000) (Meutia Fatchanie (2007) dalam “Analisis Efisiensi dan Efektivitas Hasil Pemungutan Pajak Parkir di Kabupaten Sleman”) ada

4 (empat) kriteria dari pajak daerah yaitu: - Pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah berdasarkan peraturan dari daerah sendiri.

- Pajak yang dipungut berdasarkan peraturan pemerintah pusat dan

penetapan tarifnya dilakukan oleh pemerintah daerah. - Pajak yang ditetapkan dan dipungut oleh pemerintah daerah. - Pajak yang dipungut dan diadministrasikan oleh pemerintah tetapi hasil

pungutannya diberikan kepada pemerintah daerah. Dari kriteria di atas, dapat disimpulkan bahwa pengertian pajak daerah adalah pajak yang ditetapkan dan dipungut di wilayah daerah berdasarkan peraturan yang berlaku dan ada bagi hasil antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang hasilnya nantinya akan kembali ke masyarakat secara tidak langsung melalui pembangunan daerah.

8. Ciri-Ciri Pajak Daerah

Untuk mempertahankan prinsip-prinsip pajak daerah maka perpajakan daerah harus memiliki ciri-ciri tertentu. Adapun ciri-ciri yang dimaksud sebagai berikut:

a. Pajak daerah secara ekonomis dapat dipungut, berarti perbandingan antara penerimaan pajak harus lebih besar dibandingkan ongkos pemungutannya.

b. Relatif stabil, artinya penerimaan pajaknya tidak berfluktuatif terlalu besar (meningkat secara drastis dan adakalanya menurun secara tajam).

c. Tax base-nya harus merupakan perpaduan antara prinsip keuntungan (benefit) dan kemampuan untuk membayar (ability to pay).

9. Ketentuan Pungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah

Pengaturan kewenangan pengenaan pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah di Indonesia telah diatur sejak lama, terutama sejak tahun

1997 dengan dikeluarkannya UU No. 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Namun dalam perkembangannya, UU No. 18 Tahun 1997 dianggap kurang memberikan peluang kepada daerah untuk mengadakan pungutan baru. Walaupun dalam UU tersebut sebenarnya memberikan kewenangan kepada daerah, namun harus ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah (PP). Pada waktu UU No. 18 Tahun 1997 berlaku, belum ada satu pun daerah yang mengusulkan pungutan baru karena dianggap hal tersebut sulit dilakukan. Selain itu, pengaturan agar Peraturan daerah (Perda) tentang pajak daerah dan retribusi daerah harus mendapat pengesahan dari pusat juga dianggap telah mengurangi otonomi daerah. Seiring dengan dikeluarkannya UU No. 22/1999 tentang Pemerintah Daerah dan UU No. 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah, maka UU No.18 Tahun 1997 yang berubah menjadi UU No. 34 Tahun 2000, diharapkan pajak daerah dan retribusi daerah akan menjadi salah satu Pendapatan Asli Daerah yang penting guna membiayai penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah.

UU No. 34 Tahun 2000 Pasal 2 Ayat 2 dan Peraturan Pemerintah No.

65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah menjelaskan tentang jenis-jenis pajak daerah yang dapat dipungut oleh Pemerintah Daerah kabupaten atau kota. Dengan adanya peraturan tersebut diharapkan pemerintah daerah dapat mengetahui secara jelas jenis dan objek pajak mana saja yang dikategorikan dalam pajak daerah sehingga dalam pemungutannya dapat tepat sasaran.

Besarnya tarif yang berlaku definitif untuk pajak ditetapkan dengan peraturan daerah, namun tidak boleh lebih tinggi dari tarif maksimum yang telah ditentukan dalam UU tersebut. Dasar pengenaan tarif pajak daerah ada dalam UU No. 34/2000 tentang Pajak dan Retribusi Daerah Pasal 3 ayat (1).

Berikut jenis pajak daerah beserta tarif maksimal yang dapat dipungut oleh pemerintah daerah:

a. Jenis pajak provinsi terdiri atas:

- Pajak kendaraan bermotor dan kendaraan di atas air 5 %. - Bea balik nama kendaraan bermotor di atas air 10 %. - Pajak bahan bakar kendaraan bermotor 5 %. - Pajak pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah 20 %.

Hasil penerimaan pajak provinsi sebagian diperuntukkan bagi daerah kabupaten atau kota di wilayah provinsi yang bersangkutan dengan ketentuan sebagai berikut: - Hasil penerimaan pajak kendaraan bermotor dan kendaraan di atas air

dan bea balik nama kendaraan bermotor dan kendaraan di atas air diserahkan kepada daerah kabupaten atau kota paling sedikit 30 %.

- Hasil penerimaan pajak bahan bakar kendaraan bermotor diserahkan

kepada daerah kabupaten atau kota paling sedikit 70 %. - Hasil penerimaan pajak pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah dan air permukaan diserahkan kepada kabupaten atau kota paling sedikit 70 %.

b. Jenis pajak kabupaten atau kota terdiri atas:

- Pajak hotel 10 %.

- Pajak restoran 10 %. - Pajak hiburan 35 %. - Pajak reklame 25 %. - Pajak Penerangan Jalan 10 %. - Pajak pengambilan bahan galian golongan C 20 %. - Pajak parkir 20 %.

10. Pajak Penerangan Jalan

Pajak Penerangan Jalan merupakan salah satu jenis pajak daerah berkaitan dengan penyelenggaraan penerangan jalan yang menjadi salah satu sumber Pendapatan Asli Daerah. Berdasarkan ketentuan pasal 1 angka (12) Peraturan Pemerintah No. 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah, yang dimaksud dengan penerangan jalan adalah penggunaan tenaga listrik untuk menerangi jalan umum yang rekeningnya dibayar oleh pemerintah daerah. Obyek Pajak Penerangan Jalan berdasarkan ketentuan Pasal 58 Ayat (1) PP No 65 Tahun 2001 adalah penggunaan tenaga listrik di wilayah daerah yang tersedia penerangan jalan yang rekeningnya dibayar oleh pemerintah daerah.

Secara garis besar, subyek pajak adalah pihak-pihak (orang pribadi atau badan) yang akan dikenakan pajak, sedangkan obyek pajak adalah segala sesuatu yang akan dikenakan pajak, dan wajib pajak adalah subyek pajak yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan diwajibkan untuk melakukan pembayaran pajak yang terutang, termasuk pemungut atau pemotong pajak. Dengan kata lain setiap wajib pajak adalah subyek pajak. Subyek Pajak Penerangan Jalan berdasarkan Ketentuan Pasal

59 Ayat (2) PP No. 65 Tahun 2002 adalah orang pribadi atau badan yang 59 Ayat (2) PP No. 65 Tahun 2002 adalah orang pribadi atau badan yang