BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kepemimpinan Partisipatif Dalam Peningkatan Kompetensi Pedagogis Guru SMAN 1 Boja

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kepemimpinan Partisipatif di Sekolah

  Kepemimpinan yang efektif akan terwujud apabila pemimpin mampu menjalankan fungsinya dengan tepat. Menurut Nawawi (1993: 74) ada lima fungsi kepemimpinan yaitu fungsi instruktif, fungsi konsultatif, fungsi partisipasi, fungsi delegasi dan fungsi pengendalian. Kelima fungsi tersebut saling terkait satu sama lain, namun peneliti hanya akan menfokuskan pada salah satu fungsi kepemimpinan, yaitu fungsi partisipasi.

  Kepemimpinan partisipatif muncul dari beberapa teori kepemimpinan, diantaranya adalah teori Path- Goal. Teori ini menganalisa dampak kepemimpinan (terutama perilaku pemimpin) terhadap motivasi bawahan, kepuasan kerja dan pelaksanaan kerja. Teori path-goal memasukkan empat gaya pokok perilaku pemimpin (Lunenburg & Ornstein, 1991:143-144 dalam Reksohadiprojo dan Handoko, 2001:289-290), yaitu kepemimpinan direktif, kepemimpinan suportif, kepemimpinan partisipatif dan kepemimpinan orientasi prestasi. Menurut teori ini kepemimpinan partisipatif adalah meminta dan menggunakan saran saran bawahan, tetapi masih membuat keputusan. Sebagian besar penelitian dalam organisasi menyimpulkan bahwa dalam tugas tugas yang tidak rutin karyawan lebih puas dibawah pimpinan yang partisipatif daripada pemimpin yang non partisipatif.

  Dari teori tersebut dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan partisipatif menitik beratkan pada persamaan kekuatan dan sharing dalam pemecahan masalah bersama dengan bawahan, dengan cara melakukan konsultasi dengan bawahan sebelum membuat keputusan.

  Kepemimpinan partisipatif menyangkut usaha oleh seorang manajer untuk mendorong dan memudahkan partisipasi orang lain dalam pengambilan keputusan yang jika tidak akan dibuat tersendiri oleh manajer tersebut (Yukl,1998:132)

  Kepemimpinan partisipatif berkaitan erat dengan penggunaan berbagai macam prosedur pengambilan keputusan, yang memberikan kepada orang lain suatu pengaruh tertentu terhadap keputusan-keputusan pemimpin tersebut. Istilah lain yang biasa digunakan untuk mengacu aspek-aspek kepemimpinan partisipatif termasuk konsultasi, pembuatan keputusan bersama, pembagian kekuasaan, desentralisasi, dan manajemen demokratis. Pada dasarnya kepemimpinan pertisipatif adalah kepemimpinan yang selalu melibatkan seluruh elemen organisasi dalam mengambil kebijakan organisasi. Titik beratnya hanya kepada penggunaan partisipasi mereka, pemimpin hanya akan menjadi seseorang yang melegalkan apa yang menjadi keputusan semua pihak.

  Hal itu didukung oleh Nawawi (1993:77) yang menyatakan bahwa dalam menjalankan fungsi partisipasi, pemimpin berusaha mengaktifkan orang orang orang yang dipimpinnya baik dalam keikutsertaan pengambilan keputusan maupun dalam melaksanakannya. (1) kualitas keputusan yang diambil, biasanya lebih baik, bila para peserta mempunyai informasi dan pengetahuan yang tidak dipunyai sang pemimpin, (2) bersedia untuk kerjasama dalam mencari suatu pemecahan yang baik, untuk suatu masalah keputusan, (3) keputusan yang diambil, biasanya lebih dapat diterima oleh para partisipan, (4) peluang untuk memperoleh suatu pengaruh terhadap sebuah keputusan, biasanya akan meningkatkan komitmen dalam hal tersebut, (5) kepuasan terhadap proses pengambilan keputusan, biasanya juga lebih tinggi, (6) menumbuhkan dan mengembangan keahlian dalam pengambilan keputusan.

2.1.1 Aktivitas Kepemimpinan Partisipatif

  Kepala sekolah selalu berupaya mencurahkan kemampuannya dalam menjalankan tugasnya untuk mencapai tujuan. Nawawi (1991:74-79) menjelaskan bahwa secara operasional dapat dibedakan lima fungsi pokok kepemimpinan, yaitu fungsi instruktif, fungsi konsultatif, fungsi partisipasi, fungsi delegasi dan fungsi pengendalian. Sedangkan Purwanto (2012:67-71) menyatakan bahwa pengambilan keputusan merupakan kegiatan yang selalu dijumpai dalam setiap kegiatan kepemimpinan. Bagaimana cara pengambilan putusan yang dilakukan pemimpin menentukan gaya kepemimpinannya. Dari pendapat para pakar di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa pengambilan putusan merupakan fungsi kepemimpinan yang turut menentukan proses dan tingkat keberhasilan kepemimpinan itu sendiri.

  Selain itu, fungsi konsultasi dan fungsi delegasi juga memegang peranan yang penting. Seorang pemimpin harus menjalankan fungsi konsultasi. Bawahan yang dipimpin dalam menjalankan tugasnya sering menemui kesulitan atau hal-hal yang tidak dapat diputuskan oleh dirinya sendiri. Oleh karena itu, konsultasi dengan pimpinan diperlukan guna menyelesaikan masalah tersebut. Demikian juga dengan fungsi delegasi. Pemimpin tidak mungkin melaksanakan tugas sendiri. Ada berbagai tugas yang wewenangnya harus didelegasikan pada anak buahnya sehingga tujuan bersama dapat tercapai. Oleh karena itu, penelitian ini mengamati gaya kepemimpinan yang digunakan pemimpin untuk mencapai tujuan, yaitu ke dalam kegiatan: (1) pengambilan keputusan, (2) konsultasi, dan (3) pendelegasian wewenang.

2.1.1.1 Pengambilan Keputusan

  Pengambilan keputusan menurut Stoner dan Freeman (1994) yang dikutip oleh Wahyudi (2009:43) merupakan proses mengidentifikasi dan memilih cara bertindak menghadapi suatu masalah atau memanfaatkan suatu peluang. Siagian (2008) dalam Wahyudi (2009:43) menjelaskan bahwa pengambilan keputusan adalah suatu pendekatan yang sistematis terhadap suatu masalah yang dihadapi. Berdasarkan uraian diatas, dapat diketahui bahwa pengambilan keputusan adalah pemilihan suatu tindakan di antara bebrapa alternatif skenario untuk menyelesaikan permasalahan.

  Langkah-langkah pengambilan keputusan menurut Purwanto (2012:67) terdiri dari langkah- langkah: (1) mendefinisikan masalah masalah, (2) menentukan pedoman pemecahan masalah, (3) mengidentifikasi alternatif, (4) mengadakan penilaian terhadap alternatif yang telah didapat, (5) memilih alternatif yang baik, dan (6) implementasi alternatif yang dipilih. Sedangkan menurut Wahyudi (2009:44- 45), pengambilan keputusan terdiri dari langkah- langkah: (1) identifikasi dan perumusan hakikat masalah yang dihadapi, (2) analisis situasi pemecahan masalah, (3) pencarian dan penemuan alternatif, (4) implementasi dan evaluasi keputusan, serta (5) penilaian hasil yang dicapai.

  Wahyudi (2009: 44-45) menjelaskan tahapan pengambilan keputusan sebagai berikut. Identifikasi masalah didefinisikan sebagai segala sesuatu yang mengandung ketidakpastian, keraguan, kesulitan atau sesuatu pertanyaan yang menuntut solusi pembahasan. Analisis situasi pemecahan masalah meliputi usaha yang sistematis menyajikan fakta, opini dan ide tentang situasi yang ada. Pencarian dan penemuan alternatif yaitu mengembangkan alternatif yang mungkin dapat memecahkan masalah. Implementasi dan evaluasi keputusan artinya implementasi keputusan bukan hanya sekedar memberikan perintah yang tepat, akan tetapi harus memperkirakan alokasi sumber daya sesuai yang diperlukan.

  Purwanto (2012:67-68) menjelaskan tahapan pengambilan keputusan sebagai berikut : (1) Mendefinisikan dan menetapkan masalah. (2) Menentukan pedoman pemecahan masalah. (3) Mengidentifikasi alternative.(4) Mengadakan penilaian terhadap alternatif yang didapat. (5) Memilih alternatif. (6) Implementasi alternatif.

  Wahyosumiodjo (2011:92) menjelaskan ada empat aktivitas kepala sekolah sebagai pengambil keputusan yaitu: entrepeneur, disturbance handler (pemerhati gangguan), resource allocater (penyedia segala sumber), dan negotiator roles. Entrepeneur artinya kepala sekolah selalu berusaha untuk memperbaiki penampilan sekolah melalui berbagai macam pemikiran program-

  Distributor handler program baru. artinya memperhatikan gangguan yang timbul di sekolah. Resource roles artinya menyediakan segala sumber daya sekolah. Negotiator roles artinya kepala sekolah harus mampu untuk mengadakan pembicaraan dan musyawarah dengan pihak luar.

  Kepemimpinan partisipatif menyangkut baik pendekatan kekuasaan maupun perilaku kepemimpinan. Kepemimpinan, menyangkut aspek- aspek kekuasaan seperti:(1) bersama-sama menanggung kekuasaan (power sharing), (2) pemberian kekuasaan (empowering) ,(3) proses-proses yang saling mempengaruhi secara timbal balik ,(4)prosedur- prosedur spesifik yang digunakan untuk berkonsultasi dengan orang lain, untuk memperoleh gagasan dan saran-saran, serta perilaku spesifik yang digunakan untuk pendelegasian kekuasaan.

  Perilaku partisipatif memiliki kualitas yang sangat dinamis dan dapat berubah seiring waktu. Sebagai contoh, perilaku yang sebelumnya merupakan konsultasi, dapat berubah menjadi keputusan bersama ketika bawahan menyetujui pilihan atasannya. Kepemimpinan partisipatif, potensial memberikan beberapa manfaat, di antaranya adalah:

2.1.1.2 Konsultasi

  Hubungan kerja sama antara kepala sekolah dengan guru, karyawan, siswa, wali murid dan stakeholder lainnya sangat penting dalam mewujudkan tujuan sekolah yang akan dicapai. Salah satu bentuk hubungan interpersonal tersebut adalah dalam aktivitas konsultasi (Ditjen Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan, 2007:44). Konsultasi (counseling) merupakan upaya bantuan yang diberikan seseorang dalam upaya memecahkan persoalan- persoalan yang dialaminya (Purwanto, 2012:169:170). Demikian juga Minor (2010:7) mendefinisikan konsultasi sebagai sebuah proses yang mendukung yang dilakukan oleh seorang manajer untuk membantu karyawan menentukan dan bekerja melalui masalah- masalah pribadi atau perubahan organisasi yang mempengaruhi kinerja.

  Menurut Purwanto (2012:169-170), aktivitas konsultasi (counseling) berbeda dengan pembinaan (coaching). Pembinaan lebih memfokuskan pada kinerja, sedangkan konsultasi lebih pada pemahaman persoalannya, kemudian seseorang dapat memecahkan masalahnya sendiri. Termasuk di dalam pengertian konseling adalah membantu seseorang bagaimana memutuskan sesuatu perkara, bukan pula sekedar berbicara tentang apa yang harus dikerjakan, tetapi lebih dari itu adalah memberikan asumsi-asumsi berkaitan persoalan yang sedang dihadapi beserta alternatif jalan keluar yang lebih sesuai.

  Berdasarkan uraian diatas dapat diketahui terdapat beragam definisi aktivitas konsultasi dari pakar namun pada dasarnya mempunyai kesamaan. Aktivitas konsultasi secara umum dapat didefinisikan sebagai upaya untuk membantu seseorang untuk memahami dan memecahkan masalahnya sendiri.

  Tujuan konsultasi menurut Dale (Sudarmanto, 2009:239) adalah untuk: (1) mendapatkan pemahaman yang lebih baik dari seseorang membuat keputusan pribadi yang penting, (2) menetapkan tujuan pribadi yang dapat dicapai, (3) menyusun solusi yang efektif untuk masalah pribadi atau antarpribadi, (4) menghadapi lingkungan yang sulit, dan (5) menghadapi emosi pribadi yang negatif. Untuk dapat menjadi konselor yang baik, seorang pemimpin organisasi harus memiliki kompetensi meliputi: (1) mendengarkan yang baik, (2) memahami masalah yang disampaikan oleh bawahan, (3) mencari tahu inti permasalahan, (4) bersikap empatis terhadap seseorang yang mempunyai permasalahan, dan (5) memberikan arah jalan keluar (Sudarmanto, 2009:239).

2.1.1.3 Pendelegasian Wewenang

  Menurut Hasibuan (2000:73), pendelegasian adalah tindakan mempercayakan tugas (yang pasti dan jelas), kewenangan, hak, tanggung jawab, kewajiban dan pertanggung jawaban kepada bawahan secara individu dalam setiap posisi tugas. Pendelegasian dilakukan dengan cara membagi tugas, hal, tanggung jawab, kewajiban dan pertanggung-jawaban yang ditetapkan dalam suatu penjabaran/deskripsi formal dalam organisasi. Pendelegasian wewenang adalah tindakan mempercayakan tugas, kewenangan, hak, tanggung jawab, kewajiban dan pertanggungjawaban kepada bawahan atau orang lain. Atasan perlu melakukan pendelegasian wewenang agar mereka bisa menjalankan operasi manajemen dengan baik.

  Wahyosumidjo (2002:94) menjelaskan tujuan pendelegasian wewenang, yaitu bahwa: (1) pendelegasian memungkinkan manajer mencapai hasil yang lebih baik dari pada semua kegiatan ditangani sendiri, (2) agar organisasi berjalan lebih efisien, (3) pendelegasian memungkinkan manajer dapat memusatkan perhatian terhadap tugas-tugas prioritas yang lebih penting, (4) dengan pendelegasian, memungkinkan bawahan untuk tumbuh dan berkembang, bahkan dapat dipergunakan sebagai bahan informasi untuk belajar dari kesalahan atau keberhasilan.

  Delegasi wewenang yang efektif (Hasibuan, 2000: 84) dapat diuraikan sebagai berikut: (1) Memutuskan pekerjaan mana yang akan didelegasikan, akrena tidak semua pekerjaan dapat didelegasikan; (2) Memutuskan siapa yang akan memperoleh penugasan, dengan beberapa pertimbangan: waktu yang dipunyai karyawan, kemampuan yang dimiliki karyawan dan kesempatan yang akan dimanfaatkan oleh karyawan; (3) Mendelgasikan tugas, disertai dengan informasi dan pemberian wewenang ysng cukup dan bentuk hasil yang diharapkan; (4) Menetapkan feedback, untuk memonitor kemajuan yang dicapai oleh bawahan.

  Yukl (2007:124) menjelaskan beberapa aspek yang perlu dipertimbangkan dalam pendelegasian tugas dan wewenang yang meliputi aspek karakteristik personal dan tugas serta kontrol delegasi. Karakteristik personal dan tugas adalah berkaitan dengan pentingnya delegasi serta siapa yang didelegasikan. Kontrol delegasi adalah berkaitan dengan seberapa besar wewenang didelegasikan, komunikasi wewenang, delegasi wewenang dan pengawasan, bagaimana meminimumkan konflik-konflik dari dampak wewenang serta apa yang harus dikerjakan bla seseorang menyalahi wewenang.

  Kepemimpinan situasional memandang kematangan sebagai kemampuan dan kemauan orang- orang atau kelompok untuk memikul tanggung jawab mengarahkan perilaku mereka sendiri dalam situasi tertentu. Maka, perlu ditekankan kembali bahwa kematangan merupakan konsep yang berkaitan dengan tugas tertentu dan bergantung pada hal yang ingin dicapai pemimpin.

  Dengan mengenal tipe bawahan (kematangan dan kesediaan) maka seorang pemimpin akan dapat memakai gaya kepemimpinan yang sesuai dalam mendelegasikan tugas dan tanggungjawab. Sedang bagi para anggota kesempatan berpartisipasi dilaksanakan dan dikembangkan dalam berbagai kegiatan di lingkungan unit masing-masing dengan mendorong terwujudnya kerja sama, baik antara anggota dalam satu maupun unit yang berbeda.

2.2 Kompetensi Pedagogis

  Depdiknas (2004:7) merumuskan definisi kompetensi sebagai pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai dasar yang direfleksikan dalam kebiasaan berfikir dan bertindak. Kompetensi guru merupakan seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dikuasai, dan diaktualisasikan oleh guru dalam melaksanakan tugas keprofesionalan. Kompetensi yang dimiliki oleh setiap guru akan menunjukkan kualitas guru dalam mengajar. Kompetensi tersebut akan terwujud dalam bentuk penguasaan pengetahuan dan profesional dalam menjalankan fungsinya sebagai guru.

  Ini berarti bahwa guru yang professional harus menguasai dan menerapkan pengetahuan, ketrampilan dan perilaku untuk keberhasilan peserta didik.

  Sebagai standar kompetensi yang harus dimiliki oleh guru dalam melaksanakan profesinya, pemerintah mengeluarkan Permendiknas nomor 16 tahun 2007 tentang Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru. Kompetensi yang harus dimiliki oleh guru meliputi (1)kompetensi pedagogik, (2) kompetensi kepribadian, (3) kompetensi sosial, dan (4)kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi. Kompetensi guru tersebut bersifat menyeluruh dan merupakan satu kesatuan yang satu sama lain saling berhubungan dan saling mendukung.

  Kompetensi pedagogis merupakan salah satu jenis kompetensi yang mutlak perlu dikuasai guru. Kompetensi pedagogis pada dasarnya adalah kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran peserta didik. Kompetensi pedagogis merupakan kompetensi khas, yang akan membedakan guru dengan profesi lainnya dan akan menentukan tingkat keberhasilan proses dan hasil pembelajaran peserta didiknya (Kemendiknas, 2010).

  Ini berarti bahwa setiap guru harus menguasai kompetensi pedagogis dengan baik agar menghasilkan output yang bermutu. Kompetensi ini tidak diperoleh secara tiba-tiba tetapi melalui upaya belajar secara terus menerus dan sistematis, baik pada masa pra jabatan (pendidikan calon guru) maupun selama dalam jabatan, yang didukung oleh bakat, minat dan potensi keguruan lainnya dari masing-masing individu yang bersangkutan.

  Berkaitan dengan kegiatan Penilaian Kinerja Guru terdapat 7 (tujuh) aspek dan 45 (empat puluh lima) indikator yang berkenaan penguasaan kompetensi pedagogis yang meliputi (1)Menguasai karakteristik peserta didik, (2) Menguasasi teori belajar dan prinsipā€prinsip pembelajaran yang mendidik, (3) Pengembangan kurikulum, (4) Kegiatan pembelajaran yang mendidik, (5) Pengembangan potensi peserta didik, (6) Komunikasi dengan peserta didik, (7) Penilaian dan Evaluasi.

  Ini berarti bahwa guru harus memiliki dan menggunakan informasi tentang karakteristik peserta didik untuk membantu proses pembelajaran. Guru harus mampu menetapkan berbagai metode dan teknik pembelajaran yang kreatif dan mendidik. Guru harus menyusun silabus danrancangan pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan peserta didik. Guru harus mampu menganalisis potensi pembelajaran setiap peserta didik, serta memotivasi agar mereka berparisipasi aktif. Guru harus melakukan evaluasi pembelajaran sebagai umpan balik untuk menentukan kegiatan selanjutnya.

2.3 Model Evaluasi Program

  Model-model evaluasi yang satu dengan yang lainnya memang tampak bervariasi, akan tetapi maksud dan tujuannya sama yaitu melakukan kegiatanpengumpulan data atau informasi yang berke- naan dengan objek yang dievaluasi. Selanjutnya informasi yang terkumpul dapat diberikan kepada pengambil keputusan agar dapat dengan tepat menentukan tindak lanjut tentang program yang sudah dievaluasi. Menurut Kaufman dan Thomas yang dikutip oleh Arikunto dan Jabar (2014:40), membedakan model evaluasi menjadi delapan, yaitu:1)Goal Oriented Evaluation Model, dikembangkan oleh Tyler; 2)Goal Free Evaluation Model, dikembangkan oleh Scriven; 3)Formatif Summatif Evaluation Model, dikembangkan oleh Michael Scriven; 4)Countenance Evaluation Model, dikembangkan oleh Stake; 5)Responsive Evaluation Model, dikembangkan oleh Stake; 6)CSE-UCLA Evaluation Model, menekankan pada “kapan” evaluasidilakukan; 7)CIPP Evaluation Model, dikembangkan oleh Stufflebeam; 8)Discrepancy Model, dikembangkan oleh Provus.

2.3.1 Evaluasi Program CIPP

  Model evaluasi CIPP mulai dikembangkan oleh Daniel Stufflebeam pada tahun 1966. Stufflebeam dalam Wirawan (2011:91) mendefinisikan evaluasi sebagai proses melukiskan, memperoleh, dan menye- diakan informasi yang berguna untuk menilai alternatif-alternatif pengambilan keputusan. Melukiskan artinya menspesifikasi, mendefinisikan, dan menjelaskan untuk memfokuskan informasi yang diperlukan oleh para pengambil keputusan. Memeroleh artinya dengan memakai pengukuran dan statistik untuk mengum-pulkan, mengorganisasi dan menga- nalisis informasi. Menyediakan artinya mensintesiskan informasi sehing-ga akan melayani dengan baik kebutuhan evaluasi para pemangku kepentingan evaluasi.

  Model CIPP terdiri dari empat jenis evaluasi, yaitu: Evaluasi konteks (Context Evaluation), Evaluasi Masukan (Input Evaluation), Evaluasi Proses (Process evaluation), dan Evaluasi Hasil (Product Evaluation). Keempat kata yang disebutkan dalam singkat CIPP tersebut merupakan sasaran evaluasi, yang tidak lain adalah komponen dari proses sebuah program kegiatan, dengan kata lain model CIPP adalah model evaluasi yang memandang program yang dievaluasi sebuah sistem. a. Evaluasi konteks. Menurut Stuffflebeam dalam Wirawan (2011:92) mengungkapkan konteks untuk men-jawab pertanyaan apa yang perlu dilakukan? (What needs to be done). Evaluasi konteks merupakan evaluasi yang paling mendasar dan memiliki misi untuk menyediakan suatu rasional atau landasan atau sebagai latar belakang suatu program. Arikunto dan Jabar (2014:46), menambahkan bahwa evaluasi konteks mengidentifikasi kebutuhan yang belum terpenuhi sehingga dapat memperkecil kesenjangan antara kondisi faktual dan kondisi yang diharapkan. Evaluasi konteks dilak-sanakan sebagai suatu kebutuhan serta memberikan informasi bagi pengambilan keputusan dalam perencanaan suatu program yang akan dilak-sanakan.

  b. Evaluasi masukan atau input ialah untuk membantu mengatur keputusan, menentukan sumber-sumber yang dimiliki, alternatif-alternatif apa saja yang diambil serta rencana yang dibuat untuk mencapai tujuan. Menurut Sudjana (2008:55), evaluasi masukan (input) program menyediakan data untuk menentukan bagaimana penggunaan sumber-sumber yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan program. Sejalan dengan pendapat tersebut, Arikunto dan Jabar (2014:47), menyatakan bahwa evaluasi input adalah 1) kemampuan awal warga belajar; 2) kemampuan sekolah menyediakan petugas yang tepat; 3) bahan ajar; 4) kurikulum; 5) sarana belajar; 6) pembiayaan.

  c. Evaluasi proses dalam model CIPP menunjukkan pada “apa” (what) kegiatan yang dilakukan dalam program, “siapa” (who) orang yang ditunjuk sebagai penanggung jawab program, “kapan” (when) kegiatan akan selesai. Model CIPP pada evaluasi proses diarahkan pada seberapa jauh kegiatan yang dilaksanakan di dalam program sudah terlaksanaan sesuai dengan rencana. Menurut Arikunto dan Jabar (2014:47), menyatakan bahwa evaluasi proses diarahkan pada seberapa jauh kegiatan yang dilaksanakan di dalam program sudah terlaksana sesuai dengan rencana.

  d. Evaluasi produk atau hasil diarahkan pada hal-hal yang menunjukkan perubahan yang terjadi pada masukan mentah. Evaluasi hasil merupakan tahap akhir dan berfungsi untuk membantu penanggung- jawab program dalam mengambil keputusan. Menurut Sudjana (2008:56), evaluasi program mengukur dan menginterpretasi pencapaian program selama pelaksanaan program.

2.4 Penelitian yang Relevan

  Penelitian Maday (2013) fokus pada konsep kepemimpinan kepala sekolah yang visoner dan dampaknya terhadap kinerja guru SMA Lab Satya Wacana Salatiga. Kepala sekolah menggunakan visi dan misi untuk mempersatukan warga sekolah menuju tujuan yang sama dengan melakukan pengawasan, memenuhi kebutuhan guru, komunikasi terbuka, dan mengelola keuangan secara transparan. Visi dan misi selalu disosialisasikan kepada warga sekolah untuk memotivasi dan melibatkan warga sekolah demi pencapaian tujuan bersama.

  Penelitian Desiyanti (2014) yang berjudul Strategi Kepala Sekolah Dalam Meningkatkan Kinerja Guru Di SMA Bina Nusantara Semarang mengemukakan bahwa strategi peningkatan kinerja guru merupakan langkah nyata mewujudkan sekolah yang sukses. Dalam analisisnya disebutkan bahwa strategi yang digunakan kepala sekolah adalah dengan memberdayakan sumber daya lingkungan sekolah, memberdayakan sumber daya guru, memperbaiki pembelajaran, dan meningkatkan komitmen guru. Artinya, guru dilibatkan dalam strategi peningkatan kinerja mereka.

  Penelitian Suherman (2010), yang berjudul Kontribusi Implementasi Manajemen Partisipatif terhadap Kinerja Guru dan dan terhadap Kegiatan Belajar Mengajar di SMA 4 Bogor, menyimpulkan bahwa manajemen partisipatif yang diterapkandi SMA 4 Bogor telah berdampak positif pada kinerja guru. Selain itu, proses belajar mengajar juga berjalan dengan lebih efektif. Hal-hal yang membuat kinerja guru dan proses belajar mengajar berjalan efektif adalah bahwa visi dan misi sekolah disusun bersama, kepala sekolah selalu melibatkan guru dalam pengambilan keputusan, penilaian kinerja dilakukan secara terbuka, tugas didelegasikan sesuai dengan keahlian, dan kepala sekolah melakukan back up terhadap kinerja bawahannya.

  Penelitian Hasanuddin (2010) berjudul Kompetensi Pedagogis Guru yang telah Tersertifikasi di SMA Negeri Kota Banda Aceh. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa kompetensi pedagogis meliputi pemahaman terhadap peserta didik, penyusunan rencana pelaksanaan pembelajaran, pelaksanaan penilaian hasil belajar, dan pengembangan peserta didik. Semua komponen tersebut menunjukkan kategori baik

  Penelitian Rabiyah (2012) Hubungan Kepemimpinan Kepala Sekolah dan Iklim Organisasi terhadap Kinerja Guru SMP. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara kepemimpinan kepala sekolah dengan kinerja guru, artinya, kepemimpinan sekolah yang baik akan memajukan kinerja guru.

  Penelitian Helen M. Marks and Susan M. Printy (2003) berjudul Principal Leadership and School Performance: An Integration of Transformational and Instructional Leadership, menfokuskan pada hubungan kepemimpinan sekolah antar kepala sekolah dan guru.

  Studi ini menguji potensi kerja sama aktif mereka tentang masalah pembelajaran untuk meningkatkan kualitas pembelajaran dan prestasi atau perfoma siswa. Analisis ini didasarkan pada dua konsep kepemimpinan

  • – Transformasional dan instruksional. Sampelnya terdiri dari 24 sekolah yang diseleksi secara nasional- 8 Sekolah Dasar, 8 Sekolah Menengah Pertama, 8 Sekolah Menengah Atas. Dalam mengolah struktur data yang multi level, teknis analisi primernya adalah HLM (Hierarchical Linear Modeling). Studi ini menemukan bahwa kepemimpinan transformasional adalah penting tetapi kondisinya tidak cukup untuk kepemimpinan instruksional. Bila kepemimpinan transformasional digabung dengan instruksional dalam satu bentuk kepemimpinan yang terintegrasi pengaruhnya pada kinerja sekolah, yang diukur dengan kualitas pedagogis dan prestasi siswanya menjadi sangat bagus.

2.5 Kerangka Berpikir

  Sekolah merupakan lembaga pendidikan yang berhadapan langsung dengan masyarakat sehingga perlu dikelola dengan kepemimpinan yang kuat, tangguh dan punya visi yang jelas dalam meningkatkan mutu pendidikan. Kepala sekolah merupakan salah satu komponen pendidikan yang memiliki peran yang sangat strategis untuk mengelola sumber daya yang ada di sekolah. Dalam hal ini, kepemimpinan kepala sekolah sangat menentukan kemajuan atau prestasi yang dapat dicapai oleh sekolah. Kepemimpinan menggerakkan bawahan untuk mencapai tujuan melalui gaya kepemimpinan. Baik buruknya proses pendidikan di suatu sekolah banyak ditentukan oleh gaya kepemimpinan kepala sekolah, sebab kepala sekolah adalah orang yang paling bertanggung jawab atas segala sesuatunya yang diterapkan kepala sekolah melalui gaya kepemimpinannya.

  SMAN 1 Boja merupakan salah satu sekolah menengah atas negeri di lingkungan Kabupaten Kendal. Berdasarkan observasi awal dan wawancara terbatas dengan beberapa orang guru, diperoleh informasi bahwa penguasaan kompetensi pedagogis guru masih lemah karena guru cenderung hanya mengejar materi yang harus disampaikan kepada siswa. Guru belum mampu menerapkan cara mengajar yang efektif serta belum menerapkan pembelajaran yang inovatif. Guru hanya memperdalam materi dengan membaca materi pelajaran, tidak membaca dan memperdalam cara mengajar yang baik. Hal ini merupakan tantangan bagi kepala sekolah untuk melakukan perbaikan dan peningkatan kompetensi pedagogis guru.

  Kepala sekolah yang menerapkan model partisipatif harus mengetahui kebutuhan dan kelemahan guru. Dalam merespon fenomena lemahnya kompetensi pedagogis guru, kepala sekolah harus mengarahkan guru untuk kompetensi pedagogisnya. Pengamatan peneliti menunjukkan bahwa kepala sekolah yang sedang menjabat selalu turun ke bawah untk meninjau siswa, guru-guru dan sekaligus menjalin hubungan sosial dan emosional. Konsultasi dilakukan dengan siswa, guru dan karyawan juga rutin dilakukan baik jika terdapat permasalahan maupun tidak. Ketika kepala sekolah jarang turun ke bawah untuk mengetahui keluhan keluhan serta masukan dari siswa dan guru, kompetensi pedagogis guru tidak dapat dikontrol dengan baik.

  Model kepemimpinan partisipatif sangat berkaitan dengan performa kompetensi pedagogis yang dimiliki guru. Guru yang terbiasa dengan model kepemimpinan partisipatif diduga memiliki kompetensi pedagogis yang lebih baik. Hal ini dapat ditinjau secara teroretis bahwa guru yang banyak dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan akan terbiasa dengan suasana demokratis. Guru tersebut akan membawa budaya tersebut ke dalam kelas sehingga siswa juga akan dilibatkan dalam proses-proses pembelajaran.

  Model kepemimpinan kepala sekolah dapat diidentifikasi dengan aktivitas kepemimpinan kepala sekolah. Aktivitas-aktivitas kepemimpinan tersebut dapat tercermin dalam aspek pengambilan keputusan, konsultasi dan pendelegasian kewenangan. Model kepemimpinan kepala sekolah tercermin pada peran kepala sekolah dalam memobilisasi faktor lingkungan serta karakteristik personal karyawan seperti dalam: pengelolaan keputusan, pengelolaan interpersonal (konsultasi) dan delegasi wewenang. Hal ini dapat dilihat dari bagan sebagai berikut. Profesionalisme Globalisasi Tuntutan Mutu Pendidik Lulusan Manajemen

  Kepemimpinan

Sekolah yang Kuat

Model Kepemimpinan Partisipatif

  CIPP

  Pendelegasian Pengambilan Konsultasi Wewenang

  Keputusan Kompetensi pedagogis guru

Gambar 2.1 Bagan kerangka pikir penelitian

  Penelitian ini mengevaluasi gaya kepemimpinan partisipatif yang dilakukan oleh kepala SMAN 1 Boja. Model evaluasi yang digunakan adalah Context, Input, Process, dan Product (CIPP). Konteks yang digunakan adalah kepemimpinan partisipatif kepala SMAN 1 Boja. Input yang ada adalah seluruh guru SMAN 1 Boja. Proses yang diamati adalah aktivitas-aktivitas pengambilan keputusan, konsultasi, dan pendelegasian wewenang. Produk yang diamati adalah kompetensi pedagogis guru. Keempat ranah tersebut diamati untuk dievaluasi satu per satu sehingga dilahirkan rekomendasi yang layak untuk perbaikan gaya kepemimpinan partisipatif di SMAN 1 Boja.

Dokumen yang terkait

3.1.2. Waktu Penelitian - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peningkatan Keterampilan Bercerita dengan Menggunakan Model Talking Stick Berbantuan Komik Pada Siswa Kelas 5 SD

0 0 14

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peningkatan Keterampilan Bercerita dengan Menggunakan Model Talking Stick Berbantuan Komik Pada Siswa Kelas 5 SD

0 0 39

i UPAYA PENINGKATAN KETERAMPILAN BERCERITA BAHASA INDONESIA MENGGUNAKAN MODEL TALKING STICK BERBANTUAN MEDIA KOMIK PADA SISWA KELAS V SD NEGERI GENDONGAN 02 SALATIGA TAHUN AJARAN 20162017 Tugas Akhir - Institutional Repository | Satya Wacana Christian Uni

0 0 14

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peningkatan Keterampilan Bercerita dengan Menggunakan Model Talking Stick Berbantuan Komik Pada Siswa Kelas 5 SD

0 0 78

BAB I PENDAHULUAN - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Konseling Kelompok Behavioral untuk Meningkatkan Motivasi Belajar Siswa Kelas XI SMA Negeri 1 Singorojo Kendal

0 0 8

BAB II LANDASAN TEORI - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Konseling Kelompok Behavioral untuk Meningkatkan Motivasi Belajar Siswa Kelas XI SMA Negeri 1 Singorojo Kendal

0 0 22

BAB III METODE PENELITIAN - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Konseling Kelompok Behavioral untuk Meningkatkan Motivasi Belajar Siswa Kelas XI SMA Negeri 1 Singorojo Kendal

0 0 12

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Konseling Kelompok Behavioral untuk Meningkatkan Motivasi Belajar Siswa Kelas XI SMA Negeri 1 Singorojo Kendal

0 0 22

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Konseling Kelompok Behavioral untuk Meningkatkan Motivasi Belajar Siswa Kelas XI SMA Negeri 1 Singorojo Kendal

0 0 81

BAB I PENDAHULUAN - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kepemimpinan Partisipatif Dalam Peningkatan Kompetensi Pedagogis Guru SMAN 1 Boja

0 0 9