BAB II LANDASAN TEORI - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Konseling Kelompok Behavioral untuk Meningkatkan Motivasi Belajar Siswa Kelas XI SMA Negeri 1 Singorojo Kendal

BAB II LANDASAN TEORI

2.1 Manajemen Pendidikan

  Manajemen pada hakikatnya merupakan seni mengelola berbagai kegiatan oleh sekelompok orang dalam suatu organisasi dengan menggunakan kemampuan manajerial dan keterampilan teknis pada kegiatannya untuk mencapai tujuan yang efektif dan efisien (Siagian, 2007: 1). Seni yang dimaksud adalah bagaimana mengkolaborasi pengetahuan, pengalaman dan kreativitas dalam wadah manajemen. Manajemen dapat juga berarti suatu proses atau kerangka kerja, yang melibatkan bimbingan, pengarahan pada sekelompok orang kearah tujuan organisasional atau tujuan yang nyata (Terry dan Rue, 2009: 1).

  Pembelajaran merupakan suatu bentuk pelatihan, sehingga pengelolaannya mengacu pada manajemen sumber daya pelatihan yaitu man, money,

  

machines, material,) methods (Emerson dalam Usman,

2009: 15).

1. Planning (Perencanaan)

  Menurut Siagian (2007: 35), perencanaan merupakan suatu kegiatan untuk menetapkan tujuan yang ingin dicapai beserta menetapkan strategi untuk mencapai tujuan tersebut, dengan kata lain perencanaan merupakan usaha konkretisasi langkah- langkah yang harus ditempuh yang dasar-dasarnya telah ditetapkan dalam strategi organisasi.

   Organizing (Pengorganisasian)

  Pengorganisasian merupakan keseluruhan suatu proses pengelompokan orang, alat, tugas, serta wewenang dan tanggung jawab yang bergerak secara bersama untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dengan kata lain pengorganisasian dilakukan untuk menghimpun dan mengatur semua sumber-sumber yang diperlukan, sehingga pekerjaan yang dikehendaki berhasil dilaksanakan. Handoko (2008: 167), menjelaskan pengorganisasian merupakan proses penyusunan struktur organisasi yang sesuai dengan tujuan organisasi, sumber-sumber daya yang dimilikinya, dan lingkungan yang melingkupinya. Hal senada dikemukan oleh Terry dan Rue (2010: 82), bahwa pengorganisasian adalah proses pengelompokan kegiatan-kegiatan untuk mencapai tujuan-tujuan dan penugasan setiap kelompok pada seorang manajer yang mempunyai kekuasaan, yang perlu mengawasi anggota kelompoknya.

3. Actuating (Pelaksanaan)

  Pelaksanaan program pelatihan mencakup program penggerakkan dan pembinaan (Sudjana, 2007: 12). Pelaksanaan (actuating) merupakan fungsi manajemen yang utama. Fungsi actuating lebih menekankan pada kegiatan. Actuating merupakan usaha untuk menggerakkan sekelompok orang dengan terencana sehingga mencapai tujuan organisasi yang diinginkan (Terry & Rue, 2010: 168). Pada pembelajaran, actuating merupakan upaya menjadikan perencanaan menjadi kenyataan, melalui kegiatan dalam bentuk pengarahan, transfer pengetahuan, melaksanakan kegiatan secara optimal.

4. Controlling (Pengawasan)

  Pengawasan merupakan proses pengamatan dari seluruh kegiatan organisasi guna lebih menjamin bahwa semua pekerjaan yang sedang dilakukan sesuai dengan rencana yang telah ditentukan sebelumnya (Siagian, 2007: 125). Sedangkan menurut Handoko (2008: 360) pengawasan dapat juga berarti menetapkan standar pelaksanaan dengan tujuan- tujuan perencanaan, merancang sistem informasi umpan balik, membandingkan kegiatan nyata dengan standart yang telah ditetapkan sebelumnya, menetapkan dan mengukur penyimpangan-penyimpan gan, serta mengambil tindakan koreksi yang diperlukan untuk menjamin bahwa semua sumber daya perusahaan dipergunakan dengan cara efektif dan efisien dalam pencapaian perusahaan. Hal senada dikemukan oleh Terry dan Rue (2010: 10) pengawasan adalah kegiatan mengukur pelaksanaan dengan tujuan-tujuan menentukan sebab-sebab penyimpangan dan mengambil tindakan-tindakan korektif bilamana diperlukan. Dari beberapa pendapat tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa pengawasan merupakan suatu tindakan untuk mengontrol kesesuaian antara pelaksanaan dan perencanaan serta mengambil tindakan korektif jika diperlukan.

  Berdasarkan tahapan-tahapan manajemen yaitu

  

planing, organizing, actuating dan controlling maka

  dapat direalisasikan dalam bentuk manajemen dalam berikut.

  Gambar 2.1 Skema Manajemen Konseling Kelompok

  Motivasi merupakan satu penggerak dari dalam hati seseorang untuk melakukan atau inginkan mencapai sesuat. Schunk (2008: 4) menyatakan bahwa

  

motivation is a process whereby goal-directed activity is

istigated and sustained. Motivasi terkait dengan tujuan

  yang mendorong secara langsung untuk bertindak.

  Planing Pengembangan perangkat Layanan Bimbingan Kelompok

  Organizing Penyiapan sarana penunjang pelaksanaan bimbingan kelompok Actuating Pelaksanaan Layanan Konseling Kelompok

  Controling Mengevaluasi melalui pengamatan dan tes psikologi motivasi belajar

  Out put Peningkatan Motivasi Belajar

2.2 Motivasi Belajar

  yang mendapatkan perhatian karena penting untuk mencapai tujuan. Motivasi membutuhkan aktivitas fisik dan mental. Aktivitas fisik memerlukan usaha, ketekunan dan tindakan nyata lainnya. aktivitas mental masuk dalam aktivitas kognitif berupa perencanaan, mendengarkan kembali, pengaturan, pengawasan, mengambil keputusan, pemecahan masalah dan memperkirakan kemajuan yang dicapai.

  Terkait dengan belajar, diperlukan dorongan agar siswa melakukan aktivitas fisik maupun mentalnya dalam belajar. Dorongan seseorang untuk melakukan aktivitas belajar selanjutnya disebut dengan motivasi belajar. Menurut Mitchel alam Schunk (2008: 5), motivasi dapat berpengaruh pada belajar dan tindakan yang mendasari keterampilan, strategi dan perilaku. Motivasi belajar berkaitan dengan suatu topik tertentu mendorong siswa melakukan aktivitas dan dipercaya dapat membantunya dalam belajar seperti memahami pejelasan pengajaran, mengatur mental, mendengarkan kembali materi yang dipelajarai, membuat catatan untuk memfasilitasi belajar, melakukan pengecekan terhadap pemahaman diri, dan bertanya untuk membantu mereka ketika tidak memahami materi (Zimmerman dalam Schunk an Pintrich (2008: 5).

  Ciri ciri individu yang memiliki motivasi belajar adalah : 1) memiliki standart prestasi; 2) inovatif; 3) tidak menyukai keberhasilan yang bersifat kebetulan (McClealland, 2001: 42). Ciri lain menurut (Birch dan Atkinson, 2001: 58) yaitu : 1) menetapkan tujuan yang menantang namun realistic; 2) mau mengambil resiko tidak merasa terganggu oleh kegagalan yang diperoleh. Indikator motivasi menurut Pintrich (1990:12) dinyatakan sebagai berikut.

  1) Choice of tasks; selection of tasks under free- choice conditions indicates motivation to perform the task.

  2) Effort; High effort-especially on difficult tasks-is indicative of motivation. 3) Persistence; working for a longer time-especially when one encounters obstacles-is associated with higher motivation.

  4) Achievement; choice, effort, and persistence raise task achievement.

  Dari pernyataan Pintrich dan Schunk yang menjelaskan tentang indicator dari motivasi adalah 1) penghargaan tugas: dimana jika seeseorang memilih tugasnya sendiri maka orang tersebut memiliki motivasi dalam melaksanakan tugas tersebut. 2) upaya; semakin tinggi usaha seseorang dalam menjalankan tugas, apalagi tugas yang sulit, maka hal tersebut menunjukkan motivasi. 3) Kegigihan; melakukan suatu pekerjaan secara terus menerus dan dalam waktu yang lama, dan orang tersebut menghadapi masalah, maka semakin tinggi moti vasi orang tersebut. 4) prestasi; pemilihan tugas, usaha yang dilakukan, serta ketekunan dapat meningkatkan prestasi dalam menjalankan tugas.

2.3 Konseling Kelompok Behavioral

  Layanan konseling kelompok merupakan layanan bimbingan dan konseling yang memungkinkan siswa memperoleh kesempatan untuk pembahasan dan dinamika kelompok. Dinamika kelompok merupakan suasana yang hidup, bergerak yang ditandai dengan adanya interaksi sesama anggota kelompok (Prayitno, 2008: 63). Menurut Winkel (2004: 198), layanan konseling kelompok merupakan suatu proses antar pribadi yang dinamis, terpusat pada pikiran dan perilaku yang disadari, dibina dalam suatu kelompok kecil mengungkapkan diri kepada sesama anggota dan konselor, dimana komunikasi antara pribadi tersebut dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan pemahaman dan penerimaan diri terhadap nilai-nilai kehidupan dan segala tujuan hidup serta untuk belajar perilaku tertentu ke arah yang lebih baik.

  Intervensi konseling kelompok, dapat dilaksana kan dengan berbagai jenis pendekatan, salah satu pendekatan yang dapat digunakan adalah dengan pendekatan Behavioral, yaitu untuk menciptakan kondisi-kondisi baru bagi proses belajar, dengan alasan bahwa segenap tingkah laku dipelajari (learned), termasuk tingkah laku yang maladaptif. Jika tingkah laku neurotik learned, maka ia bisa unlearned (dihapus dari ingatan), dan tingkah laku yang lebih efektif bisa diperoleh (Corey, 2009: 199). Konseling perilaku merupakan penerapan aneka ragam teknik dan prosedur yang berakar pada berbagai teori tentang belajar dengan menyertakan penerapan yang sistematis menggunakan prinsip-prinsip belajar pada pengubahan tingkah laku ke arah cara-cara yang lebih adaptif (Corey, 2009:193).

   Tujuan dan Karakteristik Konseling Kelompok Behavioral

  Pendekatan perilaku (beheavior) menjadi semakin populer dalam kelompok kerja. Salah satu alasan dari popularitas ini adalah penekanan pendekatan ini menempatkan pada pengajaran keterampilan manajemen diri pada klien yang dapat digunakan untuk mengontrol hidup mereka, menangani secara efektif dengan permasalahan sekarang dan masa depan, dan berfungsi dengan baik tanpa terapi yang berkelanjutan (Krumboltz & Thorensen, 1976; Mahoney & Thorensen, 1974; Thorensen & Mahoney,1974) dalam (Corey, 2004:337). Tujuan secara umum terapi tingkah laku (Behavioral) adalah menciptakan kondisi-kondisi baru bagi proses belajar. Alasan mendasar bahwa segenap tingkah laku adalah dipelajari, termasuk tingkah laku yang maladaptif.

  Tujuan konseling Behavioral adalah membantu klien untuk mendapatkan tingkah laku baru. Dasar alasannya adalah bahwa segenap tingkah laku adalah dipelajari (learned), termasuk tingkah laku maladaptif. Konseling Behavioral pada hakikatnya terdiri atas proses penghapusan hasil belajar yang tidak adaptif dan pemberian pengalaman-pengalaman belajar yang didalamnya respon-respon yang layak yang belum dipelajari. Dari tujuan di atas dapat dibagi menjadi beberapa tujuan yang lebih konkrit yaitu: 1) Membantu klien untuk menjadi asertif dan mengekspresikan pemikiran-pemikiran dan hasrat-hasrat ke dalam situasi yang membangkitkan tingkah laku asertif (mempunyai ketegasan dalam bertingkah laku); 2) tidak realistis yang menghambat dirinya dari keterlibatan peristiwa-peristiwa sosial; 3) Membantu untuk menyelesaikan konflik batin yang menghambat klien dari pembuatan pemutusan yang penting bagi hidupnya (Corey, 2013: 201).

  Menurut Corey (2008) ada tiga fungsi tujuan konseling Behavioral, yaitu : (1) sebagai refleksi masalah klien dan dengan demikian sebagai arah bagi proses konseling, (2) sebagai dasar pemilihan dan penggu naan strategi konseling, dan (3) sebagai kerangka untuk menilai konseling.

  Konseling Behavioral memiliki beberapa karakteris- tik (Corey, 2008) yaitu sebagai berikut:

  1. Kebanyakan perilaku manusia dapat dipelajari dan karena itu dapat diubah;

  2. Perubahan-perubahan khusus terhadap lingku ngan individual dapat membantu dalam mengubah perilaku-perilaku yang relevan; pro sedur-prosedur konseling berusaha membawa perubahan-perubahan yang relevan dalam perilaku konseli dengan merubah lingkungan;

  3. Prinsip-prinsip belajar sosial, seperti misalnya

  reinforcement dan social modeling, dapat diguna

  kan untuk mengembangkan prosedur-prosedur konseling;

  4. Keefektifan konseling dan hasil konseling dinilai dari perubahan-perubahan dalam perilaku-perilaku khusus konseli diluar dari layanan konseling yang diberikan;

  Prosedur-prosedur konseling tidak statik, tetap, atau ditentukan sebelumnya, tetapi dapat secara khusus didisain untuk membantu konseli dalam memecahkan masalah khusus.

2.5 Peran dan Fungsi Konselor

  Menurut Corey (2012: 205) menyatakan bahwa terapis tingkahlaku harus memainkan peran aktif dan direktif dalam pemberian treatment, yaitu terapis menerapkan pengetahuan ilmiah pada pencarian pemecahan-pemecahan bagi masalah manusia, para kliennya. Terapis tingkah laku secara khas berfungsi sebagai guru, pengarah, ahli dalam mendiagnosis tingkahlaku yang maladatif dan dalam menentukan prosedur-prosedur penyembuhan yang diharapkan mengarah pada tingkah laku yang baru dan adjustive.

  Hakikatnya fungsi dan peranan konselor terhadap konseli dalam teori Behavioral menurut Corey (2007 : 205) adalah : 1) Mengaplikasikan prinsip dari mempelajari manusia untuk memberi fasilitas pada penggantian perilaku maladaptif dengan perilaku yang lebih adaptif. 2) Menyediakan sarana untuk mencapai sasaran konseli, dengan membebaskan seseorang dari perilaku yang mengganggu kehidupan yang efektif sesuai dengan nilai demokrasi tentang hak individu untuk bebas mengejar sasaran yang dikehendaki sepanjang sasaran itu sesuai dengan kebaikan masyarakat secara umum.

  Perubahan dalam perilaku itu harus di usahakan melalui suatu proses belajar atau belajar kembali, yang berlangsung selama proses konseling. Oleh karena itu, pendidikan yang berpusat pada usaha membantu dan kesediaan di bantu untuk belajar perilaku baru dan dengan demikian mengatasi berbagai macam permasalah. Perhatian di fokuskan pada perilaku- perilaku tertentu yang dapat di amati ,yang selama proses konseling melalui berbagai prosedur dan aneka teknik tertentu akhirnya menghasilkan perubahan yang nyata, yang juga dapat di saksikan dengan jelas.

  Dalam kegiatan konseling, konselor memegang peranan aktif dan langsung. Hal ini bertujuan agar konselor dapat menggunakan pengetahuan ilmiah untuk menemukan masalah-masalah konseli sehingga diharapkan kepada perubahan perilaku yang baru. Sistem dan prosedur konseling Behavioral amat terdefinisikan, demikian pula peranan yang jelas dari konselor dan konseli. Konseli harus mampu berpartisipasi dalam kegiatan konseling, ia harus memiliki motivasi untuk berubah, harus bersedia bekerjasama dalam melakukan aktivitas konseling, baik ketika berlangsung konseling maupun di luar konseling.

  Dalam hubungan konselor dengan konseli ada beberapa hal yang harus dilakukan, yaitu: 1) Konselor memahami dan menerima klien; 2) antara konselor dan konseli saling bekerjasama; 3) Konselor memberikan bantuan dalam arah yang di inginkan klien; 4) Inti dari hubungan adalah rasa saling menghormati, yang mencakup kepercayaan akan potensi klien untuk secara otentik menangani kesulitan mereka.

   Tahap Konseling Kelompok Behavioral

  Menurut Corey (2008 : 344) ada beberapa tahapan yang perlu dilakukan dalam melakukan konseling kelompok Behavioral yaitu tahap awal, tahap kegiatan, penguatan dan kontrak kontingensi.

1. Tahap Awal

  Pada tahap awal, pemimpin kelompok menyam paikan tujuan konseling kelompok. Menurut Corey (2008:345), tahap ini perlu dilakukan karena biasanya sangat sedikit calon klien mengetahui tentang program perilaku. Sebelum mereka bergabung dengan kelompok, mereka diberi semua informasi yang relevan tentang proses kelompok. Berkumpul kembali untuk melakukan wawancara individu pada sesi kelompok pertama yang dikhususkan dengan harapan mengidentifikasi calon anggota dan membantu mereka memutuskan apakah mereka akan bergabung dengan kelompok. Mereka yang memutuskan untuk bergabung dengan menerima kesepakatan layanan. kesepakatan tertulis ini merinci apa yang pemimpin kelompok harapkan dari anggota kelompok, serta apa yang klien dapat harapkan dari pemimpin kelompok. Kontrak, yang dinegosiasikan, berfungsi untuk memperjelas saling ada harapan. Lebih lanjut menurut Corey (2008: 344), tahap awal dari kelompok adalah fokus membangun keterpaduan, menjadi akrab dengan struktur terapi kelompok, dan mengidentifikasi perilaku yang bermasalah perlu diperbaiki.

  Menurut Rose (1980) dalam Corey (2008:345) pemimpin awalnya harus berusaha untuk membuat kelompok yang menarik bagi para anggotanya, kompetensi sosial bagi anggota, serta membuat banyak peran fungsional yang anggota dapat bermain dalam kelompok; mendelegasikan tanggung jawab kepemimpi nan untuk anggota secara bertahap dan sesuai; ada situasi di mana anggota berfungsi sebagai terapi mitra untuk satu sama lain; kontrol berlebihan konflik kelompok dan menemukan cara untuk melibatkan semua anggota dalam kelompok untuk berinteraksi. Penilaian adalah komponen penting dari sesi awal ini, karena, sebelum konseling dapat dimulai, masalah harus dinyatakan dalam istilah perilaku yang spesifik. Masalah yang kompleks tidak dihindari tetapi dipecah menjadi komponen yang lebih kecil, sehingga mereka dapat ditangani dengan lebih memadai dalam kelompok.

  Menurut Rose (1977) dalam Corey (2008: 346) menunjukkan bahwa masalah yang dipilih untuk pengobatan harus cukup penting bagi klien agar membuat komitmen mereka untuk bekerja sehari-hari. Anggota juga harus bersedia untuk berbicara tentang masalah ini dalam kelompok. Untuk membantu anggota dalam mengidentifikasi dan menjelaskan masalah-masalah mereka, berbagai metode penilaian yang digunakan, beberapa di antaranya adalah pre treatment kuesioner, Daftar pembanding perilaku, wawancara, buku harian, umpan balik prosedur, peran bermain, berbagai latihan dalam grup, dan diskusi grup. Termasuk dalam proses penilaian ini adalah sebuah diskusi tentang kekuatan anggota mereka, kompetensi mereka dan aspek-aspek diri mereka yang perilaku mereka. Proses penilaian ini dimulai disesi awal kelompok dan disempurnakan serta diperluas di seluruh anggota kelompok.

2. Tahap Kegiatan

  Pada tahap kegiatan konseling menurut Corey (2008:346) melibatkan serangkaian prosedur dari strategi spesifik yang telah menunjukkan untuk menjadi efektif dalam mencapai perubahan perilaku yang paling tepat. Pemimpin kelompok harus memperoleh data klien melalui wawancara disesi awal. Mereka harus terus-menerus mengevaluasi tingkat efektivitas sesi dan seberapa tingkat pencapaian tujuan pengobatan. Untuk membuat evaluasi ini selama tahap kerja, pemimpin kelompok terus mengumpulkan data mengenai hal-hal seperti partisipasi, kepuasan anggota kelompok dan penyelesaian tugas disepakati.

  Pengumpulan data untuk menentukan masalah apa yang ada di dalam kelompok dan mengetahui tujuan kelompok yang akan dicapai. Melalui proses evaluasi ini, para anggota dan pemimpin memiliki dasar untuk melihat strategi alternatif dan lebih efektif. Beberapa strategi ini yang biasanya digunakan selama tahap kerja: penguatan kontingensi kontrak, pemodelan perilaku latihan, pembinaan, restrukturisasi kognitif. Pemecahan masalah, stres inokulasi, keterampilan mengatasi teknik, dan sistem buddy.

  a. Penguatan Penguatan merupakan kunci prosedur intervensi dalam perilaku kelompok. Selain penguatan yang disediakan oleh pemimpin kelompok, anggota lain persetujuan, dukungan dan perhatian. Booraem (1978) dalam Corey (2008:347) menekankan nilai awal setiap sesi dengan anggota laporan keberhasilan daripada kegagalan. Ini menetapkan nada keberhasilan dalam kelompok, menyediakan bantuan bagi mereka yang melakukan baik dalam kehidupan sehari-hari, dan mengingatkan kelompok dalam perubahan. Jika penguatan sosial adalah metode yang kuat untuk membentuk perilaku yang diinginkan, adalah penguatan diri. Para peserta diajarkan bagaimana untuk memperkuat diri untuk kemajuan mereka, untuk meningkatkan pengendalian diri mereka dan menjadi kurang bergantung pada penguatan orang lain.

  b. Kontrak Kontingensi Kontrak kontingensi menjabarkan perilaku yang harus dilakukan, berubah, atau dihentikan imbalan yang terkait dengan pencapaian tujuan-tujuan dan kondisi di bawah penghargaan yang diterima. Bila mungkin, kontrak juga menetapkan jangka waktu untuk melakukan perilaku yang diinginkan.

  c. Model Menurut Corey (2008: 349), peran model merupakan salah satu alat pengajaran paling kuat oleh pemimpin kelompok. Salah satu keuntungannya adalah bahwa situasi kelompok menawarkan berbagai anggota sosial dan model peran yang mereka bisa meniru. Fungsi pemodelan dilakukan oleh pemimpin dan peserta. Hal ini dilakukan karena orang-orang cenderung meniru lebih cepat dan benar-benar dengan siapa mereka berbagi fasilitas umum, pemodelan oleh dari anggota lain. Hasil penelitian Bandura (1969) dalam Corey (2008: 349) menunjukkan bahwa model yang mirip dengan pengamat dalam usia, jenis kelamin, ras, dan sikap lebih mungkin untuk ditiru dari model yang berbeda pengamat. Model yang memiliki gelar prestise dan status lebih mungkin untuk ditiru daripada mereka yang memiliki rendahnya tingkat prestise.

  d. Pembinaan Perilaku Tujuan dari pembinaan perilaku ini menurut

  Corey (2008:348) adalah untuk mempersiapkan anggota untuk melakukan perilaku yang diinginkan di luar kelompok, ketika isyarat pemodelan tidak akan tersedia. Perilaku baru yang dipraktekkan dalam konteks yang aman untuk mensimulasikan di dunia nyata. Cormier dan Cormier (1979) dalam Corey (2008) menunjukkan bahwa praktek perilaku aktual yang diinginkan harus mengambil tempat di bawah kondisi yang serupa mungkin situasi yang terjadi di lingkungan klien, sehingga generalisasi dari grup ke dunia nyata akan berlangsung maksimal. Pembinaan Perilaku, yang dapat dianggap sebagai suatu proses bertahap, menggunakan teknik yang berguna dalam mengajarkan keterampilan sosial.

  e. Pembinaan Selain penggunaan pemodelan dan pembinaan perilaku, anggota kelompok kadang-kadang memerlukan pelatihan teknik yang menyediakan mereka dengan informasi tentang kelayakan dari perilaku mereka. Pembinaan dapat berjalan dengan terlibat dalam latihan perilaku. Ketika anggota terjebak dan tidak tahu bagaimana untuk melanjutkan, anggota kelompok lain dapat berfungsi sebagai pelatih untuk memberi saran.

  f. Restrukturisasi kognitif Restrukturisasi kognitif merupakan proses mengidentifikasi dan mengevaluasi seseorang, memahami dampak perilaku negatif dari pikiran tertentu, dan belajar untuk menggantikan kognisi ini dengan pikiran yang lebih realistis dan sesuai (corey, 2008). Rose (1983) dalam Corey (2008:349) menjelaskan proses restrukturisasi kognitif yang diaplikasikan secara kelompok. Pada awalnya, anggota dapat diajarkan melalui latihan kelompok bagaimana membedakan antara pernyataan yang merugikan diri sendiri dan meningkatkan diri. Biasanya, anggota kelompok menyediakan satu sama lain dengan umpan balik dan berbagai model analisis kognitif. Langkah lebih lanjut adalah untuk mendorong para peserta untuk merancang pernyataan diri meningkatkan dan mendorong dalam pemecahan masalah atau tindakan yang efektif. Setelah klien memutuskan pada serangkaian pernyataan kognitif yang realistis, kemudian pemodelan kognitif digunakan, di mana anggota membayangkan diri dalam situasi stres. Mereka mengganti pernyataan diri meningkatkan untuk komentar diri sendiri. Langkah terakhir dari restrukturisasi kognitif, pekerjaan rumah diberikan di akhir setiap sesi dan kemudian dimonitor pada awal sesi berikutnya.

  Pemecahan masalah.

  Pemecahan masalah merupakan pendekatan perilaku kognitif yang memungkinkan individu dapat mengembangkan pola perilaku untuk menangani berbagai masalah. Tujuan utama dari pemecahan masalah adalah untuk mengidentifikasi alternatif yang paling efektif untuk masalah di situasi tertentu dan memberikan pelatihan sistematis keterampilan kognitif dan perilaku yang akan membantu klien yang menghadapi masalah situasi di dunia nyata secara mandiri.

  Tahap-tahap dalam proses pemecahan masalah yang dijelaskan oleh Goldfried dan Davison (1976) dalam Corey (2008: 349) sebagai berikut. 1) Pelatihan dimulai dengan orientasi yang umum untuk masalah. Saat ini, klien membantu untuk memahami mengapa situasi masalah tertentu mungkin terjadi dan diberikan harapan bahwa mereka dapat belajar cara efektif mengatasi masalah ini. 2) Pengajaran klien untuk lebih spesifik dalam menggambarkan peristiwa eksternal yang mengarah ke situasi masalah serta peristiwa-peristiwa internal (pikiran dan perasaan). Klien mendefinisikan situasi masalah, dan kemudian mereka merumuskan masalah dengan mengidentifikasi tujuan utama mereka dan aspek yang membuat situasi bermasalah bagi mereka. 3) Perumusan masalah. Klien diperintahkan untuk melakukan tukar pendapat dan solusi yang mengatasi situasi. 4) alternatif keputusan, yaitu membuat Membuat beberapa keputusan tentang strategi terbaik untuk pemecahan masalah. Ini adalah tugas klien untuk memprediksi yang kemungkinan dari alternatif adalah untuk mengikuti yang terbaik. 5) Setelah tahap pengambilan keputusan, klien harus didorong untuk mengambil tindakan pada keputusan ini dan kemudian memverifikasi tingkat efektivitas tindakan mereka.

  h. Stres Inokulasi.

  Menurut Corey (2008: 350), stres inokulasi memiliki tujuan untuk menyediakan seperangkat keterampilan secara efektif untuk menangani situasi stres di masa depan. Prosedur ini melibatkan tiga fase: pertama adalah tahap pendidikan, yang dirancang untuk menyediakan klien yang berhubungan dengan pekerjaan rumah untuk memahami sifat dari reaksi stres mereka. Pada tahap kedua, klien praktek teknik tertentu mengatasi kognitif dan perilaku serta berlatih keterampilan baru. Dalam fase akhir anggota membantu menerapkan pelatihan dan keterampilan kognitif dan perilaku baru yang telah mereka peroleh untuk situasi stres yang mereka jumpai dalam kehidupan sehari-hari. Prosedur ini terdapat pelatihan didaktik, diskusi, kognitif dan pemodelan terang- terangan, pembelajaran diri dan pembinaan penguatan perilaku.

   Penelitian Terdahulu

  Beberapa penelitian yang terkait dengan penerapan layanan konseling kelompok Behavioral antara lain sebagai berikut.

  Wilantara (2013) meneliti tentang penerapan konseling Behavioral dengan teknik desensitisasi sistematik untuk meningkatan motivasi belajar siswa di kelas VII F SMP Negeri 2 Seririt Tahun Pelajaran 2012/2013. Hasil penelitian tindakan bimbingan konseling yang dirancang menjadi dua siklus memberikan hasil bahwa konseling Behavioral dengan teknik desensitisasi sistematik mempu meningkatan motivasi belajar dari 48% menjadi 59% pada siklus I dan dari 59% menjadi 76% pada siklus II.

  Penelitian lainnya oleh Wirnawati, dkk (2013) tentang penerapan model konseling Behavioral teknik pembiasan melalui konseling kelompok menanggulangi kesulitan belajar siswa X AP4 SMK N 2 Singaraja tahun 2012/2013. Hasil penelitian tindakan bimbingan konseling yang dilakukan sampai

  2 siklus menunjukkan bahwa ada peningkatan mutu belajar sehingga menganggulangi kesulitan belajar. Peningkatan mutu belajar dapat dilihat dari peningkatan perilaku yang sudah bisa berkonsentrasi, tidak mengantuk, menunjukkan motivasi belajar serta keseriusan untuk bersekolah dan sudah dapat mengatur waktu belajar dengan baik.

  Penelitian Indayani (2014) tentang penerapan konseling Behavioralal dengan teknik penguatan positif sebagai upaya untuk meminimalisasi perilaku membolos pada siswa kelas X.1 SMA Negeri 1 Sawan bimbingan dan konseling yang dilakukan sampai dua siklus memberikan dampak terhadap penurunan perilaku membolos.

2.8 Kerangka Pikir

  Rendahnya motivasi belajar di kalangan siswa SMA merupakan masalah yang umum terjadi, dan biasanya ditandai dengan perilaku-perilaku maladaptif, seperti kebiasaan membolos di saat pelajaran-pelajaran tertentu, tidak konsentrasi mengikuti kegiatan pembelajaran, membuat suasana gaduh, tidak menyelesaikan tugas-tugas sekolah dan sebagainya.

  Perilaku-perilaku tersebut perlu dilakukan perbaikan dengan layanan konseling kelompok. Layanan ini di sekolah jarang dilakukan karena pada umumnya konselor lebih memilih layanan informasi yang bersifat klasikal.

  Gambar 2.2 Skema Kerangka Pikir penelitian satu jenis layanan konseling yang memanfaatkan dinamika kelompok untuk membahas berbagai hal yang berguna bagi pengembangan pribadi dan/atau pengentasan masalah individu yang menjadi peserta . Pendekatan yang dilakukan untuk pemecahannya adalah Behavioral yaitu suatu pendekatan yang dapat membantu individu mengontrol atau mengubah tingkah lakunya membentuk perilaku yang baru agar meninggalkan perilaku lama yang maladaptif. Berdasarkan proses layanan konseling dengan pendekatan Behavioral yang direncanakan melalui rencana pelaksanaan layanan dalam jangka tertentu diharapkan akan berdampak pada output peserta didik yang memiliki motivasi belajar tinggi.

2.9 Hipotesis Penelitian

  Hipotesis penelitian ini adalah layanan konseling kelompok Behavioral dapat meningkatkan motivasi belajar pada siswa kelas XI SMA Negeri 1 Singorojo Kendal.

Dokumen yang terkait

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian 4.1.1 Deskripsi Pra Siklus - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Upaya Peningkatan Keaktifan dan Hasil Belajar PKN Melalui Metode Pembelajaran Take and Give pada Kelas I

0 0 26

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Upaya Peningkatan Keaktifan dan Hasil Belajar PKN Melalui Metode Pembelajaran Take and Give pada Kelas IV

0 0 15

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Upaya Peningkatan Keaktifan dan Hasil Belajar PKN Melalui Metode Pembelajaran Take and Give pada Kelas IV

0 0 114

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peningkatan Keterampilan Bercerita dengan Menggunakan Model Talking Stick Berbantuan Komik Pada Siswa Kelas 5 SD

0 0 7

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peningkatan Keterampilan Bercerita dengan Menggunakan Model Talking Stick Berbantuan Komik Pada Siswa Kelas 5 SD

0 0 25

3.1.2. Waktu Penelitian - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peningkatan Keterampilan Bercerita dengan Menggunakan Model Talking Stick Berbantuan Komik Pada Siswa Kelas 5 SD

0 0 14

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peningkatan Keterampilan Bercerita dengan Menggunakan Model Talking Stick Berbantuan Komik Pada Siswa Kelas 5 SD

0 0 39

i UPAYA PENINGKATAN KETERAMPILAN BERCERITA BAHASA INDONESIA MENGGUNAKAN MODEL TALKING STICK BERBANTUAN MEDIA KOMIK PADA SISWA KELAS V SD NEGERI GENDONGAN 02 SALATIGA TAHUN AJARAN 20162017 Tugas Akhir - Institutional Repository | Satya Wacana Christian Uni

0 0 14

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peningkatan Keterampilan Bercerita dengan Menggunakan Model Talking Stick Berbantuan Komik Pada Siswa Kelas 5 SD

0 0 78

BAB I PENDAHULUAN - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Konseling Kelompok Behavioral untuk Meningkatkan Motivasi Belajar Siswa Kelas XI SMA Negeri 1 Singorojo Kendal

0 0 8