KEBIJAKAN HUKUM DI BIDANG KETAHANAN PANG

KEBIJAKAN HUKUM DI BIDANG KETAHANAN PANGAN
Oleh : Siska Windu Natalia, SH
Perancang Peraturan Perundang-Undangan Ahli Pertama
Sekretariat Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian
ABSTRAK
Pangan merupakan salah satu komoditas strategis di suatu Negara yang
pemenuhannya menjadi masalah sensitif bagi masyarakat. Ketersediaan akan
pangan, distribusi serta akses pangan menjadi salah satu kewajiban Pemerintah
dalam memastikan terpenuhinya hak warga negara akan pangan. Ketahanan
pangan menjadi tujuan Pemerintah yang diwujudkan dalam berbagai kebijakan
yang diambil. Pengambilan kebijakan Pemerintah akan pangan tersebut dapat
berbentuk kebijakan tertulis melalui peraturan perundang-undangan. Penyusunan
peraturan perundang-undangan sebagai kebijakan akan pangan diharapkan
menjadi alat yang tepat untuk mencapai tujuan negara dalam mewujudkan
Ketahanan Pangan.
Kata Kunci:
Pangan, ketahanan pangan, ketersediaan pangan, distribusi, akses pangan,
kebijakan, peraturan perundang-undangan.
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling utama selain sandang

dan papan, dimana pemenuhan terhadap kebutuhan akan pangan menjadi salah
satu hak asasi manusia, yang di Indonesia dijamin dan diatur dalam UUD NRI
Tahun 1945 khususnya Pasal 28A dan Pasal 28C ayat (1) demi terwujudnya
sumber daya manusia yang berkualitas. Pangan menjadi komoditas yang penting
dan kompleks, dimana pemenuhan kebutuhan akan pangan menjadi hal yang
krusial dalam kehidupan manusia yang harus dipenuhi oleh Negara dan masyarakat
secara bersama-sama.
Permasalahan pangan menjadi hal yang krusial dan sensitif dewasa ini, baik bagi
masyarakat maupun Pemerintah. Stabilisasi pasokan dan harga pangan menjadi
salah satu isu yang saat ini tidak hanya terjadi pada saat menjelang hari raya tetapi
juga menjadi isu hampir sepanjang tahun. Permasalahan pangan yang terjadi ini
tidak hanya dikarenakan produksi yang menurun ataupun distribusi yang terhambat,
banyak faktor yang mempengaruhi permasalahan pangan. Untuk menangani dan
mencegah permasalahan pangan di masa yang akan datang diperlukan suatu

kebijakan dalam bentuk regulasi di bidang pangan,khususnya untuk mencapai
ketahanan pangan.
Permasalahan pangan di Indonesia seperti menjadi warisan turun temurun dari
zaman Orde Baru. Pada tahun 1980-an Indonesia pernah meriah penghargaan dari
Food and Agriculture Organization (FAO) atas keberhasilannya mencapai

swasembada beras,. Namun beberapa tahun setelah itu Indonesia harus
mengimpor beras dari beberapa negara tetangga seperti Vietnam dan Thailand.
Pada tahun 2013, Indonesia mendapatkan penghargaan dari FAO yaitu Recognition
For Outstanding Achievement In Fighting Hunger And Undernourishment.
Penghargaan ini diberikan atas keberhasilan Indonesia menurunkan proporsi tingkat
kelaparan dari 19,9 persen pada periode 1990-1992 menjadi 8,6 persen pada
periode 2010-2012. Indonesia telah berhasil menurunkan angka penduduk yang
menderita kelaparan dari 37 juta orang di tahun 1990 hingga 21 juta orang di tahun
2012 atau baru mencapai 43,8 persen1.
Di tingkat internasional, konsep ketahanan pangan (food security) diperkenalkan
oleh FAO dalam rangka menghadapi tuntutan pemenuhan ketahanan pangan
masyarakat.
Pendefinisian ketahanan pangan (food security) berubah dalam tiap konteks, waktu
dan tempat. Lebih dari 200 definisi ketahanan pangan (FAO 2003 dan Maxwell
1996) dan sedikitnya ada 450 indikator ketahanan pangan (Hoddinott 1999).
Pada tahun 1996, World Food Summit mengemukakan bahwa ketahanan pangan
ada saat semua orang, setiap waktu, memiliki akses fisik dan ekonomi terhadap
makanan yang cukup, aman, dan bergizi yang memenuhi kebutuhan makanan dan
preferensi makanannya untuk kehidupan yang aktif dan sehat2.
Ketahanan pangan mencakup faktor ketersediaan, distribusi, dan konsumsi. Faktor

ketersediaan pangan berfungsi menjamin pasokan pangan untuk memenuhi
kebutuhan seluruh penduduk, baik dari segi kuantitas, kualitas, keragaman dan
keamanannya. Distribusi berfungsi mewujudkan sistem distribusi yang efektif dan
efisien untuk menjamin agar masyarakat dapat memperoleh pangan dalam jumlah,
kualitas dan keberlanjutan yang cukup dengan harga yang terjangkau. Sedangkan
Faktor konsumsi berfungsi mengarahkan agar pola pemanfaatan pangan secara
nasional memenuhi kaidah mutu, keragaman, kandungan gizi, kemananan dan
kehalalannya.

1

http://id.beritasatu.com/agribusiness/fao-nilai-indonesia-mampu-turunkan-tingkat-kelaparan/63068,
diakses tanggal 9 Agustus 2017
2 http://www.fao.org/forestry/13128-0e6f36f27e0091055bec28ebe830f46b3.pdf, diakses tanggal 9
Agustus 2017

2. Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kebijakan hukum di bidang ketahanan
pangan Indonesia saat ini.
3. Metode

Penelitian ini dilakukan dengan metode pustaka yaitu mengambil berbagai data
terkait dari peraturan perundanag-undangan dan literatur.
4. Hasil dan Pembahasan
Kebijakan hukum di bidang ketahanan pangan saat ini diatur dalam Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan (UU Pangan). Pada UU Pangan terdapat tiga
istilah penting yaitu kedaulatan pangan, kemandirian pangan, dan ketahanan
pangan. Kedaulatan pangan adalah hak negara dan bangsa yang secara mandiri
menentukan kebijakan Pangan yang menjamin hak atas Pangan bagi rakyat dan
yang memberikan hak bagi masyarakat untuk menentukan sistem Pangan yang
sesuai dengan potensi sumber daya lokal. Kemandirian Pangan adalah kemampuan
negara dan bangsa dalam memproduksi Pangan yang beraneka ragam dari dalam
negeri yang dapat menjamin pemenuhan kebutuhan Pangan yang cukup sampai di
tingkat perseorangan dengan memanfaatkan potensi sumber daya alam, manusia,
sosial, ekonomi, dan kearifan lokal secara bermartabat. Dan Ketahanan Pangan
adalah kondisi terpenuhinya Pangan bagi negara sampai dengan perseorangan,
yang tercermin dari tersedianya Pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya,
aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan
agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan
produktif secara berkelanjutan.
Selain UU Pangan, kebijakan tentang ketahanan pangan secara luas tercermin dari

berbagai peraturan perundang-undangan terkait pangan dan pertanian.
a. UU 19/2013 tentang Pemberdayaan dan Perlindungan Petani (substansi
mengenai asuransi bagi petani)
b. UU 30/2010 tentang Hortikultura (komoditas hortikultura sebagai sumber pangan)
c. UU 41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan
(substansi untuk mengurangi laju konversi lahan sawah)
d. UU 18/2009 tetang Peternakan dan Kesehatan Hewan qsebagaimana telah
diubah dengan UU …. (ternak sebagai salah satu sumber pangan, pengaturan
mengenai impor produk peternakan)
e. UU 18/2004 tentang Perkebunan
f. UU 12/1992 tentang Budidaya Pertanian

Undang-undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan merupakan pengganti dari
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan, karena Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan tersebut sudah tidak sesuai lagi dengan
dinamika perkembangan kondisi eksternal dan internal, demokratisasi, desentralisasi,
globalisasi, penegakan hukum, dan beberapa peraturan perundang-undangan lain.
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan mendelegasikan beberapa
pengaturan dalam:

a. Peraturan Pemerintah sebanyak 3 (tiga) Peraturan Pemerintah;
b. Peraturan Presiden sebanyak 1 (satu) Peraturan Presiden;
c. Peraturan Menteri sebanyak 2 (dua) Peraturan Menteri; dan
d. Peraturan Daerah sebanyak 2 (dua) Peraturan Daerah.
Pada tahun 2015 peraturan perundang-undangan amanat UU No. 18 Tahun 2012
tentang Pangan yang sudah ditetapkan adalah Peraturan Pemerintah Nomor 17
Tahun 2015 tentang Ketahanan Pangan dan Gizi, sedangkan peraturan perundangundangan yang lain masih dalam tahap penyusunan oleh kementerian/lembaga
terkait.
Peraturan Perundang-undangan amanat UU No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan
yang belum ditetapkan sampai pada tahun 2016 sebagai berikut:
a. Rancangan Peraturan Presiden tentang Badan Pangan Nasional
Penyusunan Rancangan Peraturan Presiden tentang Badan Pangan Nasional
(Rperpres BPN) merupakan amanat Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012
tentang Pangan yang diprakarsai oleh Badan Ketahanan Pangan Kementerian
Pertanian.
Menteri Pertanian telah menyampaikan draf RPerpres BPN ke Menteri PAN dan
RB melalui Surat Nomor 04/OT.010/M/1/2016 tanggal 13 Januari 2016.
Draft RPerpres tersebut merupakan hasil pertemuan antara Deputi Kelembagaan
dan Tata Laksana Kementerian PAN-RB dengan Sekjen Kementerian Pertanian.
RPerpres BPN merupakan tindak lanjut dari Pasal 129 UU Pangan, yang isinya

meliputi:
1) Bab I Kedudukan, Tugas, dan Fungsi;
BPN adalah lembaga pemerintah non-kementerian yang berada di bawah dan
bertanggung jawab kepada Presiden, dan mempunyai tugas melaksanakan
tugas pemerintahan di bidang pangan.
Fungsi BPN:

a) perumusan dan penetapan kebijakan pangan nasional;
b) koordinasi perumusan kebijakan ketersediaan, distribusi, stabilisasi harga,
kerawanan, gizi, penganekaragaman konsumsi, dan keamanan pangan;
c) pengendalian ketersediaan dan distribusi pangan nasional;
d) pengadaan, pengelolaan, dan penyaluran cadangan pangan pemerintah;
e) pengendalian stabilisasi pasokan dan harga pangan;
f)

penetapan kebijakan tarif pangan;

g) pengendalian kerawanan pangan;
h) penyaluran bantuan pangan untuk masyarakat berpendapatan rendah;
i)


pengawasan pemenuhan persyaratan gizi pangan;

j)

pengembangan dan pemantapan penganekaragaman dan pola konsumsi
pangan;

k) pengawasan penerapan standar keamanan pangan;
l)

pembinaan dan supervisi di bidang pangan;

m) dukungan yang bersifat substantive pada seluruh unsur organisasi di
lingkungan Badan Pangan Nasional;
n) pembinaan dan penyelenggaraan dukungan administrasi kepada seluruh
unit di lingkungan Badan Pangan Nasional; dan
o) pengawasan atas pelaksanaan tugas di lingkungan Badan Pangan
Nasional.
2) Bab II Organisasi;

Badan Pangan Nasional terdiri atas:
a) Kepala;
b) Sekretariat Utama;
c) Deputi Ketersediaan dan Stabilisasi Pangan;
d) Deputi Kerawanan Pangan dan Gizi; dan
e) Deputi Penganekaragaman Konsumsi dan Keamanan Pangan;
f)

Inspektorat;

g) Unsur Pendukung (Pusat yang berada di bawah dan bertanggung jawab
kepada Kepala melalui Sekretaris Utama);
h) Jabatan Fungsional.
3) Bab III Kelompok Ahli;
Kelompok ahli dapat dibentuk dalam rangka perumusan kebijakan nasional di
bidang pangan, yang mempunyai tugas memberikan saran dan pertimbangan
kepada Kepala BPN dalam penyusunan dan perumusan kebijakan nasional di
bidang pangan.
4) Bab IV Tata Kerja;


Dalam melaksanakan tugas dan fungsi Kepala BPN berkoordinasi dengan
menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertanian,
perdagangan, perindustrian, sosial, perikanan, kesehatan, dan penanganan
daerah tertinggal serta menteri/kepala lembaga lain yang terkait.
5) Bab V Eselonisasi, Pengangkatan, dan Pemberhentian;
6) Bab VI Pendanaan;
7) Bab VII Ketentuan Peralihan;
8) Bab VIII Ketentuan Lain-Lain;
9) Bab IX Ketentuan Penutup.
b. Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Label dan Iklan Pangan
Penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Label dan Iklan
Pangan merupakan amanat dari Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang
Pangan yang diprakarsai oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
RPP Label dan Iklan Pangan saat ini sedang dalam tahap pengharmonisasian,
pembulatan, dan pemantapan konsepsi di Kementerian Hukum dan HAM.
RPP Label dan Iklan Pangan merupakan tindak lanjut dari UU Pangan yaitu:
a) Pasal 102 ayat (4);
b) Pasal 103;
c) Pasal 106 ayat (3);
d) Pasal 107; dan

e) Pasal 112.
Isi RPP Label dan Iklan Pangan meliputi:
a) Bab I Ketentuan Umum yang memuat definisi dan pengertian yang terdapat
dalam RPP Label dan Iklan Pangan;
b) Bab II Label Pangan yang memuat ketentuan mengenai:


Penggunaan label pada kemasan pangan yang memuat paling sedikit
keterangan mengenai : (i) nama produk; (ii) daftar bahan yang digunakan;
(iii) berat bersih atau isi bersih; (iv) nama dan alamat pihak yang
memproduksi atau mengimpor; (v) halal bagi yang dipersyaratkan; (vi)
tanggal dan kode produksi; (vii) tanggal, bulan, dan tahun kedaluwarsa;
(viii) nomor izin edar bagi pangan olahan; dan (ix) asal usul bahan pangan
tertentu.



Dalam hal pangan segar, ketentuan penggunaan label pada kemasan
pangan memuat paling sedikit keterangan mengenai: (i) nama produk; (ii)
berat bersih atau isi bersih; (iii) nama dan alamat pihak yang memproduksi
atau mengimpor; (iv) halal bagi yang dipersyaratkan; (v) tanggal dan kode
produksi bagi pangan segar asal ikan; (vi) tanggal, bulan dan tahun

kedaluwarsa bagi pangan segar asal ikan; dan/atau (vii) nomor izin edar
atau nomor lain yang disamakan.


Penggunaan label pada kemasan pangan yang memiliki kondisi tertentu
wajib mencantumkan keterangan mengenai: (I) kalim; (ii) kandungan gizi;
(iii) peruntukkan; (iv) cara penggunaan; (v) cara penyimpanan; (vi)
allergen; (vii) bahan tambahan pangan; (viii) pangan produk rekayasa
genetik; (ix) pangan organik; (x) iradiasi pangan; (xi) standar nasional
Indonesia; (xii) asal usul bahan; dan/atau (xiii) peringatan.



Ketentuan lebih lanjut mengenai pencantuman keterangan yang wajib
dicantumkan pada label pangan olahan ditetapkan oleh kepala lembaga
pemerintah

yang

melaksanakan

tugas

pemerintahan

di

bidang

pengawasan obat dan makanan. Sedangkan ketentuan lebih lanjut
mengenai pencantuman keterangan yang wajib dicantumkan pada Label
Pangan Segar ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang pertanian atau menteri yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang kelautan dan perikanan sesuai bidang
tugas dan kewenangannya.
c) Bab III Iklan Pangan yang memuat ketentuan mengenai:


Iklan pangan harus memuat keterangan atau pernyataan mengenai
Pangan dengan benar, tidak menyesatkan dan menggunakan bahasa
yang mudah dipahami oleh masyarakat, dan sesuai dengan informasi
padal label.



Publikasi iklan dapat dilakukan pada media periklanan sebagai media
cetak, media elektronik, media luar ruang; dan/atau media lainnya.



Iklan harus memuat pernyataan tentang pesan bagi masyarakat untuk
berhati-hati dalam memilih dan mengonsumsi pangan.

d) Bab IV Pembinaan yang memuat ketentuan mengenai:


Pembinaan terhadap pelaku usaha, pengawas, dan masyarakat terkait
penerapan ketentuan label dan iklan pangan olahan dilaksanakan oleh
kepala lembaga pemerintah yang melaksanakan tugas pemerintahan di
bidang pengawasan obat dan makanan.



Dalam hal Pangan Olahan merupakan pangan siap saji, pembinaan
terhadap Pelaku Usaha, pengawas, dan masyarakat terkait penerapan
ketentuan Label dan Iklan Pangan dilaksanakan oleh menteri yang
menyelenggarakan

urusan

pemerintahan

di

bidang

kesehatan,

bupati/walikota.


Dalam hal Pangan Olahlan merupakan pangan industri rumah tangga,
pembinaan terhadap Pelaku Usaha, pengawas, dan masyarakat terkait

penerapan ketentuan Label dan Iklan Pangan dilaksanakan oleh kepala
lembaga pemerintah yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang
pengawasan obat dan makanan dan bupati/walikota secara sendiri atau
bersama-sama.


Pembinaan terhadap Pelaku Usaha, pengawas, dan masyarakat terkait
penerapan ketentuan Label dan Iklan Pangan Segar dilaksanakan oleh
menteri

yang

menyelenggarakan

urusan

pemerintahan

di

bidang

pertanian, atau menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang kelautan dan perikanan, gubernur, bupati/walikota, sesuai bidang
tugas dan kewenangan masing-masing.
e) Bab V Pengawasan yang memuat ketentuan mengenai:


Pengawasan terhadap pemenuhan persyaratan Label dan Iklan Pangan
Olahan,

dilaksanakan

oleh

kepala

lembaga

pemerintah

yang

melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan obat dan
makanan, yang mencakup mencakup pengawasan dalam rangka
pencegahan dan pengawasan dalam rangka penegakan hukum.


Pengawasan terhadap persyaratan Label dan Iklan Pangan Segar,
dilaksanakan oleh lembaga pemerintah yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang Pangan.



Pengawasan terhadap pencantuman keterangan tentang halal pada Label
dan

Iklan

Pangan

Segar

dilaksanakan

oleh

menteri

yang

menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agama berkoordinasi
dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
pertanian atau menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang kelautan dan perikanan sesuai bidang tugas dan kewenangan
masing-masing.


Pengawasan terhadap pencantuman keterangan tentang halal pada Label
dan

Iklan

Pangan

Olahan

dilaksanakan

oleh

menteri

yang

menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agama berkoordinasi
dengan

kepala

lembaga

pemerintah

yang

melaksanakan

pemerintahan di bidang pengawasan obat dan makanan.
f) Bab VI Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif;
g) Bab VII Peran Serta Masyarakat;
h) Bab VIII Ketentuan Peralihan; dan
i) Bab IX Ketentuan Penutup.
c. Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Keamanan Pangan

tugas

Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Keamanan Pangan merupakan
amanat dari Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan yang
diprakarsai oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). RPP Keamanan
Pangan saat ini sedang dalam tahap pengharmonisasian, pembulatan, dan
pemantapan konsepsi di Kementerian Hukum dan HAM.
Isi RPP Keamanan Pangan meliputi:
a) Bab I Ketentuan Umum yang memuat definisi dan pengertian yang terdapat
dalam RPP Keamanan Pangan, dan ruang lingkup penyelenggaraan
keamanan pangan;
b) Bab II Penyelenggaraan Keamanan Pangan yang memuat ketentuan
mengenai:


Sanitasi pangan
 Sanitasi Pangan dilakukan dalam kegiatan atau proses Produksi
Pangan, Penyimpanan Pangan, Pengangkutan Pangan, dan/atau
Peredaran Pangan.
 Persyaratan Sanitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
paling sedikit berupa: penghindaran penggunaan bahan yang dapat
mengancam Keamanan Pangan di sepanjang Rantai Pangan;
pemenuhan persyaratan Cemaran Pangan; pengendalian proses di
sepanjang Rantai Pangan; penerapan sistem ketertelusuran bahan;
dan pencegahan penurunan atau kehilangan kandungan Gizi Pangan.
 Persyaratan Sanitasi diatur dalam pedoman cara yang baik yang akan
diatur lebih lanjut dalam peraturan menteri yang menyelenggarakan
urusan

pemerintahan

di

bidang

pertanian,

menteri

yang

menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan dan
perikanan, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang

kesehatan,

menteri

yang

menyelenggarakan

urusan

pemerintahan di bidang perindustrian, atau Kepala Badan sesuai
dengan bidang tugas dan kewenangan masing-masing.


Bahan Tambahan Pangan
 Setiap Orang yang melakukan Produksi Pangan untuk diedarkan
dilarang menggunakan Bahan Tambahan Pangan yang melampaui
ambang batas maksimal yang ditetapkan dan/atau bahan yang dilarang
digunakan sebagai Bahan Tambahan Pangan.
 Ambang batas maksimal Bahan Tambahan Pangan mencakup
golongan Bahan Tambahan Pangan, jenis Bahan Tambahan Pangan,
jenis Pangan, spesifikasi, dan batas maksimal yang akan diatur lebih
lanjut dalam Peraturan Kepala BPOM, dan dalam hal Pangan Olahan

siap saji, batas maksimal Bahan Tambahan Pangan ditetapkan oleh
menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
kesehatan.


Pangan Produk Rekayasa Genetik
 Pangan Produk Rekayasa Genetik wajib mendapatkan persetujuan
Keamanan Pangan sebelum diedarkan yang ditetapkan oleh Kepala
Badan setelah mendapat rekomendasi dari Komisi..
 Pemerintah

menetapkan

persyaratan

dan

prinsip

penelitian,

pengembangan, dan pemanfaatan metode Rekayasa Genetik Pangan
dalam kegiatan atau proses Produksi Pangan, serta menetapkan
persyaratan bagi pengujian Pangan yang dihasilkan dari Rekayasa
Genetik Pangan.


Iradiasi Pangan
 Iradiasi Pangan wajib menggunakan fasilitas iradiasi yang telah
memiliki izin pemanfaatan sumber radiasi pengion dan bahan nuklir
dari kepala lembaga yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang
pengawasan tenaga nuklir.
 Izin pemanfaatan sumber radiasi pengion dan bahan nuklir diberikan
setelah memenuhi persyaratan: kesehatan; teknik dan peralatan;
konstruksi

bangunan/fasilitas;

penanganan

limbah

dan

penanggulangan bahaya zat radioaktif; keselamatan kerja; dan
kelestarian lingkungan.


Standar kemasan pangan
 Setiap Orang yang melakukan Produksi Pangan dalam Kemasan wajib
menggunakan bahan Kemasan Pangan yang tidak membahayakan
kesehatan manusia.
 Setiap Orang dilarang membuka kemasan akhir Pangan untuk dikemas
kembali dan diperdagangkan, dan dikecualikan terhadap Pangan yang
pengadaannya dalam jumlah besar dan lazim dikemas kembali dalam
jumlah kecil untuk diperdagangkan lebih lanjut.
 Setiap Orang yang mengemas Pangan harus memenuhi tata cara
pengemasan Pangan yaitu paling sedikit harus memenuhi persyaratan:
melindungi dan mempertahankan mutu Pangan dari pengaruh luar;
tahan terhadap perlakukan selama pengolahan, pengangkutan, dan
peredaran; melindungi Pangan dari cemaran, mencegah kerusakan,
dan memungkinkan pelabelan yang baik; dan bahan pengemas harus
disimpan dan ditangani pada kondisi higenis, terpisah dari bahan baku
dan produk akhir.



Jaminan Keamanan Pangan dan Mutu Pangan
 Setiap Orang yang memproduksi dan memperdagangkan Pangan
wajib memenuhi standar Keamanan Pangan dan Mutu Pangan melalui
penerapan sistem jaminan Keamanan Pangan dan Mutu Pangan.
 Standar Keamanan Pangan mencakup ketentuan Sanitasi Pangan,
Bahan Tambahan Pangan, Pangan Produk Rekayasa Genetik, Iradiasi
Pangan, Kemasan Pangan, dan penggunaan bahan lainnya.
 Standar Mutu Pangan mencakup karakteristik dasar sesuai dengan

jenis Pangan dalam keadaan normal yang didasarkan pada kriteria
organoleptik, fisik, komposisi, dan/atau kandungan Gizi Pangan.
 Standar Mutu Pangan dapat ditetapkan melalui penyusunan SNI oleh
menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
pertanian, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang kelautan dan perikanan, menteri yang menyelenggarakan
urusan

pemerintahan

di

bidang

kehutanan,

menteri

yang

menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perindustrian,
menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
kesehatan, atau Kepala Badan sesuai dengan bidang tugas dan
kewenangan masing-masing.
 Dalam hal Pangan yang mempunyai tingkat risiko Keamanan Pangan
yang tinggi, standar Mutu Pangan, menteri yang menyelenggarakan
urusan

pemerintahan

di

bidang

pertanian,

menteri

yang

menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan dan
perikanan, atau Kepala Badan sesuai bidang tugas dan kewenangan
masing-masing menetapkan ketentuan Mutu Pangan di luar SNI.
 Penerapan sistem jaminan Keamanan Pangan dan Mutu Pangan
dilakukan secara bertahap sesuai dengan jenis Pangan dan/atau skala
usaha.
 Setiap Orang yang menerapkan sistem jaminan Keamanan Pangan
dan Mutu Pangan dapat diberi sertifikat jaminan Keamanan Pangan
dan Mutu Pangan secara bertahap sesuai dengan jenis Pangan
dan/atau skala usaha oleh menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang pertanian, menteri yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang kelautan dan perikanan, menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan, menteri
yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perindustrian,
Kepala Badan, atau Bupati/Walikota, sesuai dengan bidang tugas dan
kewenangan masing-masing.

 Pemberian sertifikat jaminan Keamanan Pangan dan Mutu Pangan
dapat dilakukan oleh lembaga sertifikasi yang terakreditasi atau yang
ditunjuk

oleh

Pemerintah

sesuai

dengan

ketentuan

peraturan

perundang-undangan.
 Setiap Orang yang memproduksi Pangan untuk diedarkan harus
melakukan pendaftaran sarana produksi kecuali petani, peternak, dan
nelayan.
 Setiap Pangan Olahan yang diproduksi di dalam negeri atau yang
diimpor untuk diperdagangkan dalam kemasan eceran sebelum
diedarkan wajib memiliki izin edar, kecuali Pangan Olahan tertentu
yang diproduksi oleh industri rumah tangga, yang diterbitkan oleh
Bupati/Walikota.
 Setiap orang yang memproduksi Pangan Olahan siap saji untuk
diperdagangkan harus menggunakan sarana produksi yang memiliki
sertifikat untuk menjamin Keamanan Pangan dan Mutu Pangan yang
diterbitkan oleh Bupati/Walikota.
 Setiap Pangan Segar asal tumbuhan yang diedarkan di wilayah
Republik Indonesia baik yang diproduksi di dalam negeri maupun impor
yang diperdagangkan dalam kemasan berlabel wajib memiliki izin edar
yang diterbitkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang pertanian, gubernur, atau Bupati/Walikota.
 Persyaratan untuk mengimpor pangan meliputi : (i) Pangan telah diuji,
diperiksa, dan/atau dinyatakan memenuhi persyaratan Keamanan
Pangan dan Mutu Pangan oleh pihak yang berwenang di Indonesia
serta

tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya

masyarakat; (ii) Pangan yang telah diuji oleh pihak yang berwenang di
negara asal yang telah menjalin kesepakatan saling pengakuan
dengan pihak yang berwenang di Indonesia sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan, tidak perlu diuji atau diperiksa; (iii)
Pangan dilengkapi dengan dokumen
pemeriksaan;

dan

(iv)

Pangan

hasil pengujian

telah

mendapat

dan/atau

persetujuan

pemasukan.


Jaminan Produk Halal bagi yang Dipersyaratkan
 Pemerintah dan Pemerintah Daerah melakukan pengawasan terhadap
penerapan sistem jaminan produk halal bagi yang dipersyaratkan
terhadap Pangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.

c) Bab III Pengawasan yang memuat ketentuan mengenai:



Pengawasan terhadap persyaratan Keamanan Pangan, Mutu Pangan, dan
Gizi Pangan untuk Pangan Segar dilaksanakan oleh menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertanian, menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan dan perikanan,
Gubernur dan/atau Bupati/Wali Kota.



Pengawasan terhadap persyaratan Keamanan Pangan, Mutu Pangan, dan
Gizi Pangan untuk Pangan Olahan dilaksanakan oleh Kepala Badan.



Pengawasan terhadap persyaratan Keamanan Pangan, Mutu Pangan, dan
Gizi Pangan untuk Pangan Olahan industri rumah tangga dilaksanakan
oleh Kepala Badan dan/atau Bupati/Wali Kota secara sendiri atau bersama.



Pengawasan terhadap persyaratan Keamanan Pangan, Mutu Pangan, dan
Gizi Pangan untuk untuk Pangan Olahan Siap Saji dilaksanakan oleh
menteri

yang

menyelenggarakan

urusan

pemerintahan

di

bidang

kesehatan atau Bupati/Wali Kota sesuai dengan kewenangan masingmasing.
d) Bab IV Kejadian Luar Biasa dan Kedaruratan Keamanan Pangan yang
memuat ketentuan mengenai:


Setiap Orang yang mengetahui adanya dugaan keracunan Pangan yang
dialami lebih dari satu orang harus melaporkan kepada Fasilitas Pelayanan
Kesehatan.



Dalam hal dugaan keracunan Pangan terdapat di wilayah pelabuhan,
bandar udara, dan pos pemeriksaan lintas batas, setiap orang yang
mengetahui adanya dugaan keracunan Pangan yang dialami lebih dari satu
orang wajib melaporkan kepada kantor kesehatan pelabuhan setempat.



Fasilitas

Pelayanan

Kesehatan

memberikan

laporan

kepada

Bupati/Walikota dengan tembusan kepada menteri menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang kesehatan dan Kepala Badan dalam waktu
paling lama 1x24 jam sejak laporan diterima.


Kepala kantor kesehatan pelabuhan wajib segera melaporkan kepada
menteri menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan
dengan tembusan kepada Kepala Badan, Gubernur, Bupati/Walikota dalam
waktu paling lama 1x24 jam sejak laporan diterima.



Bupati/Walikota atau Kepala kantor kesehatan pelabuhan melakukan
upaya pencegahan meluasnya KLB Keracunan Pangan berkoordinasi
dengan

Kepala Badan meliputi pertolongan pada korban, penyelidikan

epidemiologi, dan pencegahan.


Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaporan, pengkajian, penetapan,
pencabutan, dan penanggulangan KLB Keracunan Pangan ditetapkan oleh

menteri

yang

menyelenggarakan

urusan

pemerintahan

di

bidang

kesehatan.


Masalah Keamanan Pangan dapat merupakan Kedaruratan Keamanan
Pangan yang ditetapkan berdasarkan kriteria: beredarnya Pangan yang
sangat membahayakan kesehatan; beredarnya informasi Keamanan
Pangan yang menyesatkan di masyarakat; terjadinya masalah Keamanan
Pangan akibat bencana.



Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertanian,
menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan
dan perikanan, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang kesehatan, Kepala Badan atau Gubernur/Bupati/Walikota sesuai
dengan bidang tugas dan kewenangan masing-masing segera melakukan
tindakan penanganan cepat terhadap Kedaruratan Keamanan Pangan.

e) Bab V Sanksi Administratif


Sanksi administratif dapat berupa: denda; penghentian sementara dari
kegiatan, produksi, dan/atau peredaran; penarikan Pangan dari peredaran
oleh produsen; ganti rugi; dan/atau pencabutan izin.

f) Bab VI Peran Serta Masyarakat;
g) Bab VII Ketentuan Penutup.

d. Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2015 tentang Ketahanan Pangan
dan Gizi
Peraturan Pemerintah yang telah ada sekarang sebagai peraturan pelaksana
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan adalah Peraturan
Pemerintah Nomor 17 Tahun 2015 tentang Ketahanan Pangan dan Gizi.
Sedangkan peraturan pemerintah mengenai label dan iklan pangan serta
peraturan pemerintah mengenai keamanan dan mutu pangan sedang dalam
tahap penyusunan.
Peraturan

Pemerintah

Nomor

17

Tahun

2015

mengamanatkan

untuk

ditindaklanjuti dengan: (i) 4 (empat) Peraturan Presiden; (ii) 11 (sebelas)
Peraturan Daerah Peraturan Gubernur, dan/atau Peraturan Bupati/Walikota; (iii)
15 (lima belas) Peraturan Menteri/Kepala Lembaga Pemerintah, dengan rincian
seperti tertera pada tabel.

NO PASAL AYAT

AMANAT PERATURAN PEMERINTAH
NOMOR 17 TAHUN 2015 TENTANG
KETAHANAN PANGAN DAN GIZI

1

2

3

4

PERATURAN PRESIDEN
1.

4

Jenis Pangan Pokok Tertentu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ditetapkan oleh Presiden
sebagai Cadangan Pangan Pemerintah

2.

11

2

Penugasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan oleh Presiden

3.

12

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
penyelenggaraan Cadangan Pangan Pemerintah
Diatur dengan PeraturanPresiden

4.

36

3

Ketentuan lebih lanjut mengenai perencanaan,
pemantauan, evaluasi, pengawasan, dan
pengendalian diatur dengan PeraturanPresiden

PERATURAN DAERAH, PERATURAN GUBERNUR, DAN/ATAU
PERATURAN BUPATI/WALIKOTA
1.

16

3

Dalam hal Pemerintah tidak menetapkan harga
pembelian, pembelian sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan harga
pembelian untuk Cadangan Pangan Pemerintah
Desa yang ditetapkan oleh Gubernur

2.

16

4

Dalam hal Gubernur tidak menetapkan harga
pembelian , pembelian sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan harga
pembelian untuk Cadangan Pangan Pemerintah
Desa yang ditetapkan oleh bupati/wali kota

3.

17

1

Bupati/wali kota menetapkan Jenis dan Jumlah
Pangan Pokok Tertentu sebagai Cadangan Pangan
Pemerintah Kabupaten/Kota sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf b

4.

19

3

Dalam hal Pemerintah tidak menetapkan harga
pembelian, pembelian sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan harga
pembelian untuk Cadangan Pangan Pemerintah
Kabupaten/Kota yang ditetapkan oleh Gubernur

5.

19

4

Dalam hal Gubernur tidak menetapkan harga
pembelian, pembelian sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan harga

AMANAT PERATURAN PEMERINTAH

NO PASAL AYAT

NOMOR 17 TAHUN 2015 TENTANG
KETAHANAN PANGAN DAN GIZI

1

2

3

4
pembelian untuk Cadangan Pangan Pemerintah
Kabupaten/Kota yang ditetapkan oleh bupati/wali
kota

6.

20

1

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
penyelenggaraan Cadangan Pangan Pemerintah
Kabupaten/Kota diatur dengan peraturan daerah
kabupaten/kota

7.

23

3

Dalam hal Pemerintah tidak menetapkan harga
pembelian, pembelian sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan harga
pembelian untuk Cadangan Pangan Pemerintah
Provinsi yang ditetapkan oleh Gubernur

8.

24

1

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
penyelenggaraan Cadangan Pangan Pemerintah
Provinsi diatur dengan peraturan daerah provinsi

9.

43

3
huruf
b

Program kesiapsiagaan Krisis Pangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disusun dan
ditetapkan oleh : b. Gubernur, untuk Program
kesiapsiagaan Krisis Pangan Provinsi

10.

43

3

Program kesiapsiagaan Krisis Pangan

huruf

sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disusun dan

c

ditetapkan oleh : c. bupati/wali kota, untuk Program
kesiapsiagaan Krisis Pangan Kabupaten/Kota

11.

70

2

Ketentuan lebih lanjut mengenai bantuan pangan
pemerintah daerah diatur dengan Peraturan
Gubernur atau bupati/wali kota sesuai dengan
kewenangannya

PERATURAN MENTERI/KEPALA LEMBAGA PEMERINTAH
1.

5

1

Jumlah Pangan Pokok Tertentu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ditetapkan oleh Kepala
Lembaga Pemerintah sebagai Cadangan Pangan
Pemerintah

NO PASAL AYAT

AMANAT PERATURAN PEMERINTAH
NOMOR 17 TAHUN 2015 TENTANG
KETAHANAN PANGAN DAN GIZI

1

2

3

2.

8

4

4
Ketentuan mengenai batas waktu simpan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur
dengan Peraturan Kepala Lembaga Pemerintah

3.

27

3

Ketentuan mengenai pola pangan harapan
dan/atau ukuran lainnya diatur dengan Peraturan
Kepala Lembaga Pemerintah

4.

28

2

Standar Mutu produk Pangan Lokal sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b ditetapkan oleh
menteri/kepala lembaga terkait

5.

39

4

Penambahan jenis dan komposisi zat gizi pada
Pangan tertentu yang diedarkan dan persyaratan
khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang kesehatan

6.

43

3

Program kesiapsiagaan Krisis Pangan

huruf

sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disusun dan

a

ditetapkan oleh : a. Kepala Lembaga Pemerintah,
untuk Program kesiapsiagaan Krisis Pangan
Nasional

7.

43

7

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
pelaksanaan dan rincian kajian diatur dengan
Peraturan Kepala Lembaga Pemerintah

8.

44

5

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
penyusunan program kesiapsiagaan Krisis Pangan
diatur dengan Peraturan Kepala Lembaga
Pemerintah

9.

60

5

Ketentuan lebih lanjut mengenai rincian dan tata
cara pengembangan infrastruktur distribusi pangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur
dengan Peraturan Menteri yang
menyelenggarakan urusan Pemerintahan di bidang
pekerjaan umum

NO PASAL AYAT

AMANAT PERATURAN PEMERINTAH
NOMOR 17 TAHUN 2015 TENTANG
KETAHANAN PANGAN DAN GIZI

1

2

3

10.

60

6

4
Ketentuan lebih lanjut mengenai rincian
pengembangan sarana distribusi pangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur
dengan Peraturan Menteri yang
menyelenggarakan urusan Pemerintahan di bidang
perhubungan

11.

62

2

Ketentuan lebih lanjut mengenai rincian dan tata
cara perwujudan kelancaran dan keamanan
distribusi pangan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri yang
menyelenggarakan urusan Pemerintahan di bidang
perdagangan

12.

64

4

Ketentuan lebih lanjut mengenai mekanisme dan
tata cara penyimpanan pangan pokok oleh pelaku
usaha pangan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dan jumlah maksimal penyimpanan pangan
pokok sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur
dengan Peraturan Menteri yang menyelenggarakan
urusan Pemerintahan di bidang perdagangan

13.

67

Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi
administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal
65 ayat (4) dan ayat (5) diatur dengan Peraturan
Menteri yang menyelenggarakan urusan
Pemerintahan di bidang perdagangan

14.

70

1

Ketentuan lebih lanjut mengenai bantuan Pangan
Pemerintah diatur dengan PeraturanKepala
Lembaga Pemerintah berdasarkan hasil rapat
koordinasi tingkat menteri/ kepala lembaga

15.

73

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
pengawasan ketersediaan dan/atau kecukupan
pangan pokok diatur dengan PeraturanKepala
Lembaga Pemerintah

Pada tahun 2017, belum ada peraturan pelaksana dari Peraturan Pemerintah Nomor
17 Tahun 2015 tentang Ketahanan Pangan dan Gizi yang ditetapkan, selain itu
Peraturan Pemerintah ini juga belum dapat dioperasionalkan karena belum terbentuk
Lembaga Pemerintah yang menangani bidang pangan sesuai amanat UU Pangan
dan PP ini, sehingga fungsi Lembaga Pemerintah tersebut masih dilaksanakan oleh
Kementerian Pertanian yang dalam hal ini oleh Badan Ketahanan pangan. Dalam
pelaksanaannya Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian tidak dapat
secara maksimal karena kurangnya koordinasi.
Terkait Cadangan Pangan Pemerintah, PP Nomor 17 Tahun 2015 tentang
Ketahanan Pangan dan Gizi mengamanatkan untuk diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Presiden/Keputusan Presiden yang memuat:
1. Jenis pangan pokok tertentu sebagai CPP (Pasal 4);
2. Penugasan BUMN di bidang pangan (Pasal 11 ayat (2));
3. Tata cara penyelenggaraan CPP (Pasal 12).

Dalam Peraturan Presiden Nomor 48 Tahun 2016 tentang Penugasan kepada
Perusahaan Umum (Perum) Bulog dalam rangka Ketahanan Pangan Nasional, telah
diatur mengenai penugasan Bulog untuk melakukan pengelolaan Cadangan Pangan
Pemerintah terhadap jenis pangan pokok beras, jagung, dan kedelai.
Pasal 2:
(1) Dalam

rangka mewujudkan

ketahanan pangan nasional, Pemerintah

menugaskan badan usaha milik negara untuk menjaga ketersediaan pangan
dan stabilisasi harga pangan pada tingkat konsumen dan produsen.
(2) Pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas jenis pangan pokok:
a. beras;
b. jagung;
c. kedelai;
d. gula;
e. minyak goreng;
f. tepung terigu;
g. bawang merah;
h. cabe;
i. daging sapi;
j. daging ayam ras; dan
k. telur ayam.
(3) Pemerintah menugaskan Perum BULOG dalam menjaga ketersediaan
pangan dan stabilisasi harga pangan pada tingkat konsumen dan produsen

untuk jenis pangan pokok beras, jagung, dan kedelai sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c.
(4) Untuk jenis pangan pokok selain yang ditugaskan kepada Perum BULOG
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pemerintah melalui Menteri dapat
menugaskan kepada badan usaha milik negara diluar Perum BULOG atau
kepada Perum BULOG dengan persetujuan menteri yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang badan usaha milik negara dan berdasarkan
Keputusan Rapat Koordinasi.
(5) Penugasan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dengan Peraturan
Menteri.
Pasal 3:
(1) Perum BULOG dalam melaksanakan penugasan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (3) melakukan:
a. pengamanan harga pangan ditingkat produsen dan konsumen;
b. pengelolaan Cadangan Pangan Pemerintah;
c. penyediaan dan pendistribusian pangan;
d. pelaksanaan impor pangan dalam rangka pelaksanaan tugas sebagaimana
dimaksud dalam huruf
a, huruf b, dan huruf c sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan;
e. pengembangan industri berbasis pangan; dan
f. pengembangan pergudangan pangan.
(2) Perum BULOG dalam menjaga ketersediaan pangan dan stabilisasi harga
pangan pada tingkat konsumen dan produsen untuk jenis pangan pokok
beras, melakukan:
a. pengamanan harga beras ditingkat produsen dan konsumen;
b. pengelolaan cadangan beras Pemerintah;
c. penyediaan dan pendistribusian beras kepada golongan masyarakat
tertentu;
d. pelaksanaan impor beras dalam rangka pelaksanaan tugas sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan;
e. pengembangan industri berbasis beras, termasuk produksi padi/gabah,
pengolahan gabah dan beras; dan
f. pengembangan pergudangan beras.
Pasal 4:
(1) Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertanian
menetapkan:

a. besaran jumlah Cadangan Pangan Pemerintah yang akan dikeIola oleh
Perum BULOG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b;
b. besaran jumlah Cadangan Beras Pemerintah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (2) huruf b.
(2) Dalam rangka pelaksanaan pengelolaan Cadangan Pangan Pemerintah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri menetapkan HPP.
(3) Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), dilakukan
berdasarkan keputusan Rapat Koordinasi.
Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2009 tentang Kebijakan Percepatan
Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal
Penganekaraman konsumsi pangan merupakan upaya untuk memantapkan atau
membudayakan pola konsumsi pngan yang beranekaragam dan seimbang serta aman
dalam jumlah dan komposisi yang cukup guna memenuhi kebutuhan gizi untuk
mendukung hidup sehat, aktif dan produktif.Indikator untuk mengukur tingkat
keanekaragaman dan keseimbangan konsumsi pangan masyarakat adalah dengan skor
Pola Pangan Harapan (PPH) yang ditunjukkan dengan nilai 95 dan diharapkan dapat
dicapai

pada

tahun

2015.

Perpres

ini

merupakan

kebijakan

percepatan

penganekaragaman konsumsi pangan berbasis sumber daya lokal yang ditargetkan
selesai pada tahun 2015.
Perpres 22 Tahun 2009 ini telah ditindaklanjuti oleh 24 provinsi melalui Peraturan
Gubernur maupun Instruksi Gubernur, namun tindak lanjut tersebut belum menjabarkan
secara rinci program atau usaha yang dilakukan Pemerintah Daerah dalam upaya
percepatan diversfikasi. Nantinya diharapkan Peraturan Gubernur dan Instruksi
Gubernur yang dibentuk sebagai tindak lanjut Perpres 22 Tahun 2009 ini dapat lebih
operasional sehingga dapat dilaksanakan.
Di tahun 2015 target capaian PPH yang diharapkan berdasarkan Peraturan Presiden ini
adalah sebesar 95, namun target capaian ini belum dapat terlaksana karena berbagai
hambatan. Sehingga diharapkan Peraturan Presiden ini dapat dilanjutkan dan tidak
selesai pada tahun 2015. Oleh karena hal itu maka akan disusun Peraturan Presiden
tentang Kebijakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi yang diharapkan dapat
mengatasi permasalahan yang tidak dapat diselesaikan dengan Peraturan Presiden
sebelumnya sebagai pengganti Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2009 tentang
Kebijakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumber Daya
Lokal. Selain itu PP Nomor 17 Tahun 2015 tentang Ketahanan Pangan dan Gizi juga
mengamanatkan Peraturan Presiden tentang Penganekaragaman Konsumsi.

Peraturan Presiden Nomor 20 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Peraturan
Presiden Nomor 48 Tahun 2016 tentang Penugasan Kepada Perusahaan Umum
(Perum) BULOG Dalam Rangka Ketahanan Pangan Nasional
Perpres ini ditetapkan untuk mengantisipasi dampak kondisi iklim ekstrem yang dapat
mengganggu penyerapan produksi gabah dan beras dalam negeri, memperkuat dan
mempercepat persediaan beras, serta stabilisasi harga beras pada tingkat konsumen
dan produsen. Perpres ini ditetapkan tanggal 24 Februari 2017 dan diundangkan
tanggal 28 Februari 2017. Beberapa ketentuan dalam Perpres Nomor 48 Tahun 2016
diubah yaitu disisipkan 6 (enam) pasal di antara Pasal 17 dan Pasal 18 yaitu:
a. Pasal 17A, yang melimpahkan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
ayat (2) dan ayat (3), Pasal 5 ayat (4) dan ayat (5), Pasal 7 ayat (2), ayat (3) dan
ayat (4), Pasal 8 ayat (1) huruf b dan ayat (2), dan Pasal 11 ayat (2), ayat (3) dan
ayat (4) Perpres Nomor 48 Tahun 2016 kepada Menteri Pertanian khusus untuk
komoditas gabah dan beras. Pelimpahan kewenangan tersebut dilakukan untuk
jangka waktu 6 (enam) bulan.
b. Pasal 17B, kebijakan pengadaan pangan melalui pembelian gabah dan beras dalam
negeri mengacu pada Harga Pemeblian Pemerintah (HPP) sebagaimana diatur
dalam Inpres Nomor 5 Tahun 2015 tentang Kebijakan Pengadaan Gabah/Beras dan
Penyaluran Beras oleh Pemerintah. Menteri Pertanian diamanatkan untuk membuat
ketentuan lebih lanjut mengenai pembelian gabah dan beras dalam negeri dengan
kualitas di luar ketentuan dalam Inpres Nomor 5 Tahun 2015.
c. Pasal 17C, Menteri Pertanian bertanggung jawab dalam hal penyelesaian
administrasi dan pembayaran yang ditimbulkan dari penugasan selama jangka waktu
6 )enam) bulan tersebut.
d. Pasal 17D, dalam pelaksanaan pelimpahan kewenangan tersebut, Menteri Pertanian
berkoordinasi dengan Menko Perekonomian.
e. Pasal 17E, peraturan pelaksanaan dari Perpres tersebut harus ditetapkan oleh
Menteri Pertanian paling lama 7 (tujuh) hari terhitung Perpres tersebut diundangkan.
f. Pasal 17F, Menetri Pertanian melaporkan hasil pelaksanaan Perpres tersebut
kepada Presiden atau sewaktu-waktu bila diperlukan.
Pelimpahan kewenangan berdasarkan Perpres Nomor 48 Tahun 2016 dari Menteri
Perdagangan kepada Menteri Pertanian untuk jangka waktu 6 (enam) bulan
berdasarkan Perpres 20 Tahun 2017meliputi:
a. Penetapan HPP gabah dan beras (Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3));
b. Fleksibilitas pembelian harga gabah dan beras (Pasal 5 ayat (4));
c. Harga Ecerean Tertinggi (HET) beras (Pasal 5 ayat (5));
d. Peraturan Menteri untuk pengadaan beras luar negeri (Pasal 7 ayat (2), ayat (3), dan
ayat (4));

e. Penggunaan Cadangan Pangan Pemerintah atau Cadangan Beras Pemerintah
untuk Operasi Pasar Umum dan Khusus (Pasal 8 ayat (1) huruf b dan ayat (2));
f. Usulan alokasi anggaran untuk kompensasi dan margin penugasan kepada Perum
BULOG (Pasal 11 ayat 2, ayat (3), dan ayat (4).
Untuk menindaklanjuti Perpres Nomor 20 Tahun 2017, Menteri Pertanian telah
menetapkan:
a. Peraturan Menteri Pertanian Selaku Ketua Harian Dewan Ketahanan Pangan Nomor
03/Permentan/PP.200/3/2017 tentang Perubahan Ketiga Atas Pertauran Menteri
Pertanian

Selaku

Ketua

Harian

Dewan

Ketahanan

Pangan

Nomor

71/Permentan/PP.200/12/2015 tentang Pedoman Harga Pembelian Gabah dan
Beras Diluar Kualitas oleh Pemerintah;
b. Peraturan

Menteri

Pertanian

Nomor

07/Permentan/PP.200/3/2017

tentang

Penyerapan Gabah Di Luar Kualitas Dalam Rangka Penugasan Pemerintah;
c. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 12/Permentan/PP.200/5/2017 tentang Operasi
Pasar Menggunakan Cadangan Beras Pemerintah Dalam Rangka Stabilisasi Harga.
5. Kesimpulan
Peraturan perundang-undangan yang dibentuk dan ditetapkan oleh Pemerintah
terkait ketahanan pangan secara kuantitas telah cukup banyak, tetapi secara kualitas
perlu pengkajian mendalam karena pangan merupakan masalah kompleks yang
penanganannya melibatkan berbagai sektor.
6. Saran
Penyusunan peraturan perundang-undangan sebagai kebijakan hukum di bidang
ketahanan pangan sebaiknya melalui proses perencanaan dan penyusunan yang
lebih matang dan melibatkan semua sektor terkait agar kebijakan yang diambil oleh
Pemerintah khususnya terkait ketahanan pangan dapat bermanfaat nyata di
masyarakat.