REALISME SOSIALIS DALAM PUISI BAEKDUSAN

REALISME SOSIALIS DALAM PUISI
BAEKDUSAN KARYA JO KI CHON
Yolanda Normagupita (1306407855)
Bab 1. Pendahuluan.
1.1.

Latar Belakang.
Dalam setiap aspek kesusatraan ada berbagai macam aliran yang berkembang di

dalamnya. Baik sebagai hasil dari kondisi sosial masyarakat maupun pengaruh kepercayaan
penulis yang merasa aliran dalam karyanya paling sesuai untuk merepresentasikan kondisi sosial
masyarakatnya karena liran dalam kesusastraan berfungsi sebagai sarana penyampaian ide,
norma, cerita, dan kepentingan penulis maupun golongan. Aliran besar yang terdapat dalam
kesusastraan dunia adalah romantisme, realisme, modernisme, dan pascamodernisme. Sementara
gerakan-gerakan yang dianggap sebagai aliran kecil yang mempengaruhi aliran besar di atas
adalah klasisme, neoklasisme, praromantisme, ghotik, dadaisme,

naturalisme, realisme-

sosialis, utilitarian, pascaromantisisme, simbolisme, impresionisme, dekaden, absurdisme, dan
eksistensialisme. Aliran-aliran tersebut berasal dari kawasan Eropa dan tentunya menyebar dan

berkembang ke penjuru dunia, termasuk Korea Utara.
Berbicara mengenai Korea Utara, kita tidak bisa melupakan pengaruh Uni Soviet dalam
perkembangan kesusastraan Korea Utara sejak abad ke-20. Pengaruh Uni Soviet datang saat
masa terpenting Korea, yaitu saat Korea baru mendapatkan kebebasannya dan berada dalam fase
pembentukan negara, yaitu pada tahun 1940 – 1950an saat prioritas budaya dan cara bersikap
didefinisikan ulang dengan doktrin jiwa budaya Uni Soviet yang disebut sosialis realism 1 .
Infiltrasi budaya Uni Soviet ke Korea Utara masuk dalam berbagai celah, seperti penyebaran
objek budaya, film, terjemahan kesusastraan Uni Soviet, aliran sastra, serta kontak antara
pemerintah kedua belah pihak. Proses pertukaran informasi ini dipermudah oleh para tokoh
Korea berpendidikan tinggi yang pro dengan aliran politik Uni Soviet yang bermukim di Uni
Soviet. Para tokoh ini dimasukkan ke dalam posisi penting dalam pembentukan negara Uni

Soviet, seperti anggota pemerintahan, tokoh politik, jurnalis, dan penulis sastra. Hal ini ditujukan
ideologi realisme sosialis yang dianut Uni Soviet bisa mengakar di Korea di saat yang tepat.
Salah satu tokoh perantara ideologi tersebut dalam bidang kesusastraan adalah Jo Ki Chon yang
memiliki relasi khusus dengan pemimpin Korea Utara, Kim Il Sung.
Jo Ki Chon adalah seorang penyair Korea Utara kelahiran Uni Soviet yang diberikan
kehormatan dengan julukan Bapak Puisi Korea Utara karena kiprahnya sebagai pelopor penulis
puisi propaganda Korea Utara. Masa kecil yang dilalui di negara komunis dan hubungannya
dengan pemerintah Uni Soviet secara langsung mempengaruhi aliran puisinya yang kental

dengan kharakteristik kesusastraan Uni Soviet. Selain julukan Bapak Puisi Korea Utara, ia juga
dijuluki sebagai Vladimir Mayakovsky (1893–1930), penulis puisi doktrin realisme sosialis dari
Korea Utara. Julukan ini menunjukkan bentuk penghargaan atas loyalitasnya dalam penyebaran
ideologi sosialisme dari Uni Soviet yang ditorehkan dalam puisinya.
Dalam paper ini, saya akan mengulas tentang bagaimana apa yang dimaksud dengan
aliran realisme sosialis dan bagaimana bentuknya dalam karya representatif penulis Korea Utara
Jo Ki Chon berjudul Mt Baekdu.

Bab 2. Pembahasan.
2.1.

Aliran Sastra Realisme Sosialis
Karya sastra merupakan ungkapkan kenyataan sosial masyarakat suatu masa dengan

maksud tertentu penulis karena karya sastra selalu bergesekan dan berelasi dengan masyarakat.
Gesekan antara sastra dengan masyarakat membuat terlibatnya sastra dengan ideologi tertentu.
Dalam hal ini, sastra berfungsi sebagai pipa penyebaran ideologi. Pipa ini dibuat demi
kepentingan golongan tertentu. Seberapa panjang dan berapa banyaknya cabang pipa tersebut
tergantung oleh tujuan dan target golongan tersebut. Maka, sastra seperti ini bertujuan untuk
menggambarkan kondisi masyarakat dan propaganda mewujudkan gagasan ideologi tertentu.

Sastra jenis ini disebut realisme sosialis. Ciri-ciri sastra realisme sosialis adalah penggambaran
kenyataan sosial masyarakat; adanya keberpihakan terhadap masyarakat proletarian; propaganda
perlawanan golongan yang berkuasa. Dengan kata lain, sastra realisme sosialis menggambarkan
situasi masyarakat proletarian yang berjuang melawan penindasan. Persoalan tersebut diangkat
disesuaikan dengan garis ideologi partai yang mencerminkan kecenderungan penyair atau
pengarang terhadap ideologi sosialis komunis yang di anutnya.
Realisme sendiri merupakan aliran kesusastraan yang menjadi bagian penting dalam
sastra pada abad ke-19. khususnya dalam kurun waktu 1830-1880. Istilah realisme pertama kali
digunakan dalam majalah (mercure francais du XIX siecle) pada tahun 1826. Saat itu realisme
digambarkan sebagai peniruan sesuatu yang disajikan oleh alam. Sementara itu, ciri khas
realisme abad ke-19 adalah keinginan untuk mengambarkan secara jelas masalah dan kejadian
sehari-hari dan melukiskan manusia dalam semua kedudukan sosial. Penulis realistisme berusaha
memberi informasi objektif tentang kenyataan pada jamannya atau mengenai masa lalu dari
jaman tersebut. Sementara itu, kenyataan yang direkronstruksi dalam sebuah karya tergantung
pada cara pandang penulis mengenai kenyataan.
Realisme sosialis adalah suatu aliran sastra yang cukup kuat mendominasi di Eropa Barat
khususnya ketika rezim sosialis menempati posisi kekuasaan, terutama ketika realisme sosialis
pernah mengalami sejarah buruk ketika berada dalam genggaman kekuasaan Stalin di Uni Soviet
selama beberapa dekade. Menurut Selden (1991:24), realisme sosialis merupakan doktrin-doktrin
yang diuraikan oleh Persatuan Penulis Soviet (1932-1934) adalah sebuah kodifikasi pernyataan-


pernyataan Lenin sebelum revolusi sebagaimana ditafsirkan dalam tahun 1920-an. Teori itu
membicarakan masalah-masalah utama tertentu tentang evolusi kesusastraan, cerminan
hubungan-hubungan kelasnya, dan fungsinya dalam masyarakat. Menurut Toer (2003:15), istilah
realisme sosialis timbul pertama-tama dan dengan sendirinya di bumi yang untuk pertama kali
memenangkan sosialisme, di bumi yang telah menegakkan sosialisme, yakni Uni Soviet. Tokoh
utamanya yang biasanya mendapatkan kehormatan sebagai pelopornya adalah pujangga besar
Sovyet, Maxim Gorky, terutama dengan karya utamanya, Ibunda.
Dalam sebuah karangan yang di tulis pada tahun 1905 Lenin memaparkan apa yang
diharapkan dari karya sastra tentang evolusi kesusastraan, cerminan hubungan-hubungan
kelasnya, dan fungsinya dalam masyarakat. Tulisan itu berjudul “organisasi partai dan sastra
partai”. Dalam karangan tersebut, Lenin meneropong tulisannya dari sudut pandang jurnalis dan
publistik, ia mengutarakan pengertian mengenai “ikatan partai” yang menerapkan tiga syarat
bagi sastra:
1. Sastra harus mempunyai suatu fungsi sosial.
2. Sastra harus mengabdi kepada rakyat banyak.
3. Sastra harus merupakan suatu bagian dalam kegiatan partai komunis.
Dengan demikian sastra dijadikan suatu bagian didalam mekanisme politik, yang
digerakkan oleh gugus depan segenap kelompok ”kelas” kaum pekerja yang sadar akan politik,
sebuah unsur organik dan sebuah senjata ampuh di dalam perjuangan sosialis. Dari satu pihak

kenyataan tercermin dalam sastra sehingga sastra di anggap menyajikan suatu tafsiran yang tepat
mengenai hubungan-hubungan di dalam masyarakat(realisme). Di lain pihak, sastra yang juga
mempengaruhi kenyataan mempunyai tugas mendampingi partai komunis dalam perjuangan
membangun suatu masyarakat baru yang lebih baik (sosialistis), Jan Van Luxembrug Mikel Bal
dan Willem G Weststeijin dalam Pengantar Ilmu Sastra, “Realisme sosialis menuntut dari para
pengarang agar melukiskan kenyataan dalam perkembangan revolusionernya, selaras dengan
kebenaran dan fakta sejarah. Selain itu pelukisan yang barsifat artistik itu hendaknya di
gabungkan dengan tugas mendidik kaum buruh sesuai dengan semangat komunis”.
Dapat dikatakan bahwa hal di bawah ini adalah ciri karya realisme sosialis:
1. Fakta atau kenyataan sosial yang terjadi dalam masyarakat,

2. Penderitaan masyarakat bawah yang disebabkan oleh hegemoni struktur yang berkuasa,
3. Pertentangan kelas dalam masyarakat,
4. Keberpihakan tehadap masyarakat bawah,
5. Propaganda perlawanan terhadap struktur yang berkuasa.
2.2.

Jo Ki Chon dan Karyanya.
Kepastian akan tempat kelahiran penyair kontroversial terkenal Korea Utara, Jo Ki Chon


merupakan misteri tersendiri yang menglingkupi identitas sebenarnya sang penyair. Beberapa
media Korea Utara seperti The South Korean Dictionary of North Korean Literature menyatakan
bahwa ia lahir di Provinsi Hamkyong Utara, Joseon, dan terbang ke Uni Soviet dengan tujuan
untuk menghindari penjajahan Jepang3. Tidak ada bukti kuat yang menunjukkan kapan tepatnya
ia meninggalkan Joseon. Sementara beberapa orang terdekat dalam hidupnya, yaitu satu-satu
anaknya bernama Jo Yurii dan teman dekatnya Chon Ryul berkata bahwa Jo Ki Chon merupakan
kelahiran Uni Soviet dan baru pertama kali menginjakkan kakinya di Korea Utara tak lama
setelah kemerdekaan atas perintah pemerintah Uni Soviet. Pernyataan tersebut di perkuat oleh
data kependudukan Uni Soviet yang menyatakan bahwa ia lahir di Aetugul, Vladivostok.
Terlepas dari kontroversi mengenai tempat kelahirannya, tempat dimana ia tumbuh besar
menjadi aspek penting pembangun aliran politik dan karya sastranya.
Jo Ki Chon tumbuh besar di Uni Soviet dan mengenyam pendidikan hingga jenjang S1 di
Fakultas Sastra Gorkii Omsk Pedagogic University lulusan tahun 1937. Selama masa mudanya,
ia aktif dalam organisasi politik komunis, bernama Communist Youth League (Komsomol). Ia
terjun ke dalam organisasi tersebut disebabkan oleh ketertarikannya terhadap ideologi Komunis.
Ia merupakan salah satu orang Korea yang sangat mengagungkan ajaran sosialis komunis dan
ahli dalam berpidato penyebarluasan paham komunis. Kecintaannya terhadap kesusastraannya
dan kesungguhannya mempelajari kesusastraan membuatnya direkrut oleh Soviet 25th Army pada
1942 sebagai editor. Singkatnya, ia direkrut karena dianggap sebagai salah satu orang Korea
yang intelek dan beraliran politik Komunis, sesuai dengan penulis propagandis yang dibutuhkan

tentara dan pemerintah Uni Soviet. Pengabdianya terhadap Soviet 25th membawanya ke kampung
halamannya yang selama ini ia rindukan, Korea Utara, menjadi elemen penting bagi alur sejarah
Korea Utara.

Puisi Mt Baekdu (1947) karya Jo Ki Chon adalah puisi epik berlatar perang Pochonbo
yang terjadi pada tahun 1937 di daerah Pochonbo yang menggambarkan patriotik kepemimpinan
Kim Il Sung dalam perang yang merupakan salah satu peristiwa penting pergerakan revolusi
Korea melawan Jepang. Puisi epik tidak populer di Korea Utara pada masa itu, namun jenis puisi
seperti ini sangat berkembang dan populer di Uni Soviet saat itu. Puisi ini termasuk puisi panjang
yang mana di dalamnya terdapat bagian pembukaan, 7 syair dan bagian penutup. Bentuknya
yang berbeda dengan puisi biasa yang populer di Korea Utara membuat puisi ini mendapatkan
berbagai puisi, diantaranya adalah kritik karena bentuk dan deskripsinya yang sulit dipahami
mirip dengan prosa yang panjang, sehingga siapapun yang membacanya dapat melihat bahwa
pada bagian awal banyak terdapat deskripsi keadaan tempat kejadian.
Then the air is ripped and torn
By the roar of a machine-gun,
And the crackling rifle-fire
Fills the icy Hongsan valley
With a ringing triple echo.
Forward! Forward!

And the white-robed running figures
Hurtled down the cliffy slope
Like an avalanche of stones
Upon the Japanese.
And there was the iron clashing
Of weapons wielded hand to hand,
Bayonets were brightly glinting
Like swift bolts of steel-blue lightning.

Intensitas deskripsi kejadian semakin berkurang pada bagian tengah puisi. Bagian tengah
puisi memfokuskan pada sifat kepemimpinan Kim Il Sung dan upaya yang dilakukan oleh Kim Il
Sung bersama tokoh lain, diantaranya Chol Ho, Kkotpun. Para kritik sastra Korea Selatan merasa
deskripsi kehadiran tokoh lain dianggap lebih intens diceritakan dalam puisi. Seperti dalam syair
kedua dan ketiga yang berisi kisah tentang Chol Ho, Seok Jun dan Kkotpun. Chol Ho dan Seok
Jun tewas di akhir pertempuran, mengorbankan diri mereka demi perjuangan. Sehingga, kisah ini
dianggap bukan benar-benar kisah kepahlawanan Kim Il Sung sebagai pemimpin besar,
melainkan kisah tentang “rakyat”. Penggambaran tersebut terdapat di bagian akhir syair ketujuh.
Behind them in the mist
The Japanese were shouting.
Chol Ho awoke and saw them there.

He summoned all his strength Into his wounded arm,
Pulled a grenade out from his belt
And tossed it straight into the enemy throng.

The blast was followed by the groans of Japanese.
Chol Ho took out the last of his grenades.
But then another shell fell on the raft,
And smashed it into two,
And through the smoke and flame
Chol Ho saw Sok Jun fallen on his back
Across the barrel of his soldier’s rifle.
Chol Ho attempts to raise the stricken warrior,
But he is dead.
Another shell goes whining overhead...
Another blast...
The seething waters rise
And cover the two partisans forever.

2.3.


Realisme Sosialis dalam Puisi Baekdusan.
A. Usaha melawan penjajah yang berkuasa.
Dalam puisi realisme sosialis, pergerakan melawan kondisi masyarakat yang lemah dan

terkekang menjadi pokok utama fungsi realisme sosialis selain menggambarkan kondisi
seutuhnya

suatu

masyarakat.

Penulis

berusaha

untuk

meningkatkan

semangat


dan

mengumpulkan kekuatan masyarakat sebagai senjata perlawanan. Berikut ini bagian kepala puisi
Baekdusan yang menunjukkan usaha penulis membangkitkan semangat masyarakat melawan
kekuatan penjajah Jepang.
Friends and brothers! Thirty millions!
Today must my voice be heard!
May the waves of the Lake of the Heavens
Rising like rampant white tigers
Up to the clouds of the sky
Fill my heart with their cold flooding waters.
It is seared by the withering blasts
Which have raged in ages past In Korea, this land of mine.
I take in hand my trusty brush,
A poet untried and unknown: In days of freedom this is my weapon,
The bayonet with which I thrust.
Today must my voice be heard!

Penulis mengharapkan suaranya didengar oleh ribuan masa demi kebebasan bangsa.
Penulis mengungkapkan bahwa puisinya yang tidak diketahui banyak orang merupakan satusatunya senjata yang ia miliki. Sehingga ia akan terus menggunakan senjata itu sampai suaranya
didengar, tujuannya tercapai. Ia berandai-andai ombak dari danau surga berkumpul dan

menginggi hingga ke langit bagai macan putih dan memberikan kekuatan bagi dirinya untuk
mencapai tujuan memberontak demi masa depan bangsa.
Those who fought against Japan
Gave Korea back its freedom,
They passed across the broad river Tuman
They passed across the peaks of Changbai,
Where in every mountain valley
Lie the marks of recent battle.
O ancient ancestral land!
O lifeblood of my people
Running for over fifty centuries
Through our homeland’s veins!
We recall how you were spilt
By the knives of the Japanese.
We recall warriors in their thousands
Sleeping on the fallen leaves,
In the dark of Paektu forest,
Entering the Land of Death
Like the door of their father’s house.

Sastrawan realisme sosialis harus mampu menciptakan manusia realis yang mampu
mentransformasi dan membangun dunia. Dalam bait ketiga dan keempat, penulis menyerukan
kepada rakyat untuk tidak melupakan bagaimana penjajah merenggut kebahagiaan rakyat Korea
dan bahwa siapapun dari mereka yang melawan Jepang adalah pahlawan yang memberikan
kebebasan bagi bangsa. Pertanyaannya, siapa yang berani menjadi pahlawan gagah memimpin
kekuatan rakyat?
Speak, grey-headed Paektu!
Who in this free land
Is the champion of the people,
Who their general in the battle?

Bait berikut ini, sosok yang diagungkan dan dipercaya sebagai anak dari gunung Baekdu
hadir menjadi moncong persatuan rakyat. Ia dipanggil dengan sebutan “Comrades” . Ia adalah
Kim Il Sung. Tokoh yang disegani oleh semua orang.
“Comrades!
Let not one Japanese
Be left alive by us today!”
The sabre glinted in his hand,
And two Japanese with rifles
Who had still thought to resist,
Lay stretched out upon the snow.
Who is he, this youthful leader
Of victorious partisan struggle,

At whose name the Japanese
Waxing pale, begin to tremble?
Among the people it is said
Kim Il Sung is lord of the mountains,
That they obey his every wish,
That he can join the peaks of Paektu
And then sunder them again;
That like unto a mountain eagle
He can soar from peak to peak.

B. Penderitaan kaum kelas bawah.
Kaum kelas bawah merupakan subjek utama aliran realisme sosialis yang ingin dibangun
untuk menghadapi tekanan penguasa yang tak hanya secara politik dan ekonomi menggencat
rakyat, tapi juga melukai kebebasan di tanah Korea yang seharusnya rakyat menjadi raja. Selain
sebagai bentuk pujian dan pengagungan terhadap Kim Il Sung, puisi ini juga bermaksud untuk
membangun sentimen Anti – Jepang yang berpihak kepada Kim Il Sung. Kutipan puisi berikut
ini menunjukkan kekecewaan, kesedihan dan kemarahan penulis akan kondisi kaum kelas bawah
yang tertindas di negaranya sendiri dengan susunan kata yang menyentuh simpati rakyat dan
mengingatkan kembali kesulitan yang dilalui rakyat selama masa penjajahan.
Oh bitter Chik-root!
Here in our native land,
Where flowers are gay and butterflies abound,
Why do the women and the children wander
On legs swollen and weak from hunger
And gather bitter herbs,
While at the stations and the ports
The piles of rice mount ever higher
Gazing upon the straits of Genkai-nada?
Who carries all this rice away? Who eats it?
Oh bitter Chik-root!
How closely fate has intertwined you
With our people’s life today!

Kutipan bait berikut ini menunjukkan bahwa semangat dan kekuatan rakyat Korea sudah
habis diperas oleh kebiadaban penjajah bahkan keagungan gunung Baekdu semakin tenggelam.
Namun, penulis kembali menyadarkan bahwa kondisi seperti itu tidak boleh bertahan. Ini adalah
saat yang tepat bagi rakyat bangkit dan mengobarkan semangat perjuangan.
Our native land, nurtured by Koreans
For five thousand years,
Is now tormented by the Japanese dragon,
And even you, great Paektu mountain,

Have bowed your head in sad exhaustion.
But now the fires of struggle have been lit,
Koreans have taken up the sword,
The ranks of warriors strong and swift
Are swelling rapidly on every side. (Bag 3)

C. Usaha Penyebaran Doktrin Imej Uni Soviet.
Menurut Tatiana Gabroussenko dalam Cho Ki Chon: The Person Behind The Myth,
menuliskan bahwa walau puisi ini dibuat untuk didedikasikan untuk pergerakan kebebasan
Korea dan sentiment anti-Jepang, puisi ini terlalu dibumbui oleh dogma cinta Uni Soviet, negara
yang dianggap sebagai saudara. Hal ini sesuai dengan maksud utama Uni Soviet mengirimkan
intelek Korea yang bermukim di Uni Soviet ke Korea Utara untuk menjadi pelopor penyebaran
ideologi sosialisme dalam jalur terdekat dengan rakyat, yaitu seni. Dalam syair ketujuh, penulis
mendeskripsikan situasi akhir perang. Dengan dipimpin oleh Kim Il Sung, para pejuang
menyerukan bahwa rakyat tidak takut dan tidak akan mundur karena Korea sepenuhnya
didukung oleh Uni Soviet.
As he swore loyalty to his homeland,
Kim seized his bayonet
And raised the blade on high.
A forest of rifles sprouted up before him,
The partisans all shouted in one voice:
“Korea, we shall return!
As long as we shall live,
The enemy shall not break us!
For in our struggle we are not alone–
We have support from the land of the Soviets,
The hope of the oppressed,
The land that will rewrite the book of history.

Uni Soviet seakan merupakan negeri ideal dengan segala pesona dan keberaniannya.
Penulis bahkan menuliskan seruan pejuang yang merasa tombak kekuatan ada pada rakyat,
seperti saat Uni Soviet bergerilya. Seakan Korea tidak boleh melupakan taktik negara
panutannya. Peristiwa Pochonbo memang terjadi pada tahun 1937 saat pengaruh Uni Soviet
belum sekuat masa kemerdekaan. Namun, karena pembuatan puisi dibuat pada masa
kemerdekaan, maka pengenalan dan pencekokan cinta sedarah dengan Uni Soviet turut
disisipkan dalam posisi penting dalam puisi, yaitu pada bagian akhir puisi. Selain itu, dari
beberapa kutipan di atas, setiap penyebutan Uni Soviet selalu dihubungkan dengan nama
pemimpin Kim Il Sung. Seakan Kim Il Sung adalah Stalin versi Korea Utara.

Berikut ini adalah kutipannya pada syair ketujuh dan epilog.
Comrades!
If we want to become a big river, to become a sea,
We should remember that our base is in the people
Our strength is in the people!
Have we forgotten the Soviet guerrillas
Who became blood brothers with the people?
If we forget this
How can we become a mass movement?
From shells that fell into its waters,
And the partisans up on the mountain slopes
Send down a bail of fire upon the samurai.
The smoke of battle blew around me then
And I forgot my age and became young,
I met the Soviet warriors
Who crushed the marauders in the East and West.
I met the leader Kim Il Sung,
My own beloved son.
Shaking his snow-white mane,
The Mountain Lord makes answer thus:
“Today I see the free Korean people
Engaging in free labour,
The smoke of factory chimneys,
Fields belonging to the peasants,
Where abundant harvests ripen.
And finally, I see our Kim Il Sung,
The leader of the Democratic Front.
I see the friendly Soviet warriors.

Bab 3. Kesimpulan.
Realisme sosialis yang berkembang di Korea Utara dapat dikatakan tidak terlepas dari
settingan awal dan suatu kesengajaan golongan kiri. Pemerintah Uni Soviet tidak pernah
berekspektasi bahwa Jo Ki Chon akan menjadi tokoh utama penyebaran sastra realisme sosialis.
Setidaknya, mungkin Jo Ki Chon hanya akan menjadi agen penyambung lidah Uni Soviet –
Korea Utara biasa. Namun, seiring berjalannya waktu, integritas dan perannya dalam
penyebarluasan jenis sastra Uni Soviet semakin besar dan pengaruhnya dapat dilihat dari karyakaryanya yang bahkan masih menarik untuk dijadikan bahan akademi.
Hasil analisis terhadap kutipan puisi Baekdusan menunjukkan bahwa Jo Ki Chon secara
memilih objek cerita dari peristiwa yang ditemukan dalam kenyataan, yakni penderitaan rakyat
selama masa penjajahan dan usaha persatuan rakyat dalam pergerakan kemerdekaan. Dari pilihan
objek tersebut tampak bahwa tidak ada secercah kebahagiaan yang dirasakan oleh rakyat.
Namun, segelintir orang masih berusaha untuk keluar mencari harapan. Harapan tersebut tidak
terlepas dari keberadaan pemimpin Kim Il Sung dan hubungan dekatnya dengan Uni Soviet. Jo
Ki Chon mencampurkan realita masyarakat dengan munculnya seorang pahlawan. Akan tetapi,
dapat dilihat bahwa di dalam puisinya, Jo Ki Chon berusaha untuk membentuk sebuah imej
kekuatan asing (Uni Soviet) yang akan senantiasa menjadi penyokong bangsa Korea (Utara).

DAFTAR PUSTAKA
1. Gabroussenko, Tatiana. 2006. Cho Ki Chon: The Person Behind The Myth. Honolulu:
University of Hawaii Press.
2. Gabroussenko, Tatiana. 2010. Soldiers on the Cultural Front. Honolulu: University of
Hawaii Press.
3. Myers, B.R. 1994. Han Sorya & North Korean Literature: The Failure of Socialist
Realism in the DPRK. Ithaca: Cornell East Asia Series, 1994.