ETIKA BISNIS DAN PELESTARIAN LINGKUNGAN

ETIKA BISNIS DAN PELESTARIAN
LINGKUNGAN HIDUP

DISUSUN

OLEH

PUTRA
16102
PRAKASA

TEDDY
ANGGARA
( 1610210767 )
DIYNI FARID
IMTIYAZ
(
10667 )
DIPHA BAGUS
( 1610210577 )


SM 6 / SEMESTER 4

Program Studi S-1 Managemen
Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Indonesia

5.1 Persoalan dan isu-isu Lingkungan Hidup
Masalah sekitar lingkungan hidup baru mulai disadari sepenuhnya dalam tahun 1960-an.
Sekaligus disadari bahwa masalah itu secara langsung atau tidak langsung disebabkan oleh bisnis
modern, khususnya oleh cara berproduksi dalam industri yang berlandaskan ilmu dan teknologi
maju. Sejak permulaan industri akhir abad ke 18, sudah terdengar banyak keluhan tentang

pengaruh negatif dari industri atas lingkungan hidup. Masalah sekitar lingkungan mengakibatkan
timbulnya kota–kota yang suram dan kotor. Tempat penghunian yang ada disekitar pabrik–
pabrik diasosiasikan dengan suasana asap, jelaga, dan bau tak sedap.
Menurut Jacson (1993), dewasa ini menusia hidup berada dalam empat krisis besar,
yaitu :
1.

Masalah populasi penduduk
Pertumbuhan penduduk membawa konsekuensi bertambahnya kebutuhan pangan, sandang,

dan papan. Selain itu, manusia yang bertambah banyak membutuhkan pula penambahan ruang
hidup di muka bumi ini, sedangkan pada kenyataannya luas perumukaan bumi tetap. Akibatnya,
dapat terjadi suatu ketimpangan antara kebutuhan dan ketersediaan alam. Manusia cenderung
mendahulukan kepentingan jangka pendek daripada kepentingan jangka panjang.

2.

Masalah sumber daya alam
Setiap sumber daya alam di muka bumi in pasti memiliki manfaat bagi umat manusia.
Pemanfaatannya bergantung pada umat manusia itu sendiri. Manusia harus memiliki rasa
kesadaran dan tanggung jawab untuk menjaga kelestariannya agar dapat dimanfaatkan sepanjang
masa. Pelestarian berbagai jenis sumber daya alam merupakan bagian dari pelestarian
lingkungan. Sumber daya alam merupakan bagian dari lingkungan. Dalam memanfaatkan
sumber daya alam, harus menggunakan cara-cara yang bijaksana dan bertanggung jawab. Hal ini
disebabkan oleh keterbatasan sumber daya alam tidak merata di permukaan bumi, dan adanya
sumber daya alam yang dapat diperbarui dan tidak dapat diperbarui.

3.

Masalah pencemaran lingkungan

Pencemaran adalah keadaan suatu zat atau energi dan unsur lain yang diintroduksikan ke
dalam suatu lingkungan oleh kegiatan manusia, baik secara langsung maupun tidak langsung
dapat menyebabkan gangguan baik terhadap kesejahteraan maupun kesadaran. Berbagai macam
jenis penyakit yang bersifat akut seringkali oleh masalah pencemaran lingkungan. Pencemaran
akan bertambah tidak hanya disebabkan oleh berkembangnya penduduk paad daerah yang sempit

peruntukannya untuk per orang, tetapi juga disebabkan oleh hasil buangannya yang
meningkatkan setiap tahun.
4.

Iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi)
Kemajuan teknologi yang meningkat secara cepat dan terus-menerus tanpa perencanaan yang
mantap dan matang akan membuka kemungkinan makin meningkatkan pencemaran lingkungan.
Pada hakikatnya teknologi dapat membawa kesejahteraan bagi manusia tetapi teknologi dapat
pula mengancam keselamatan manusia dan membawa bencana.
5.2 Lingkungan hidup dan ekonomi

1.

Lingkungan hidup sebagai “the commons”

Di zaman modern, bisnis dikendalikan begitu saja, lingkungan dianggapnya sebagai milik
umum sehingga perusahaan bebas saja melakukan bisnisnya meskipun bisnis tersebut dapat
memperburuk keadaan lingkungan. The commons adalah ladang umum yang dulu dapat
ditemukan dalam banyak daerah pedesaan di Eropa dan dimanfaatkan secara bersama-sama oleh
semua penduduknya (pengertian ini mirip dengan “tanah hak ulayak” di beberapa daerah di
Indonesia). The commons juga sering diartikan sebagai padang rumput yang dipakai oleh semua
penduduk kampung sebagai tempat pengangonan ternak. Dalam zaman modern, sistem tersebut
sudah tidak bisa digunakan lagi. Bagi masyarakat yang bersangkutan hal tersebut merupakan
suatu kejadian perubahan sosial ekonomi yang besar, karena menjadi awal mula kepemilikan
tanah dalam kuantitas besar oleh orang kaya. Kemudian pada abad ke-12 the commons
dihapuskan dan diganti dengan nama enclosure (pemagaran).

Menurut Hardin, masalah lingkungan hidup dan masalah kependudukan dapat
dibandingkan dengan proses menghilangnya the commons. Disini tidak ada solusi teknis, solusi
teknis hanya bersifat sementara dan tidak menangani masalahnya pada akarnya. Jalan keluar
yang efektif terletak pada bidang moral, yakni dengan membatasi kebebasan. Solusi ini memang
bersifat moral karena pembatasan kebebasan harus dilaksanakan dengan adil. The tragedy of the
commons dapat dipandang sebagai kebalikannya dari the invisible hand menurut Adam Smith.
Adam Smith berpendapar bahwa kemakmuran umum dengan sendirinya akan terwujud, jika


semua orang mengejar kepentingan diri masing-masing dalam konteks lingkungan hidup, tidak
akan dihasilkan kemakmuran umum, melainkan justru kehancuran bersama.
2.

Lingkungan hidup tidak lagi eksternalitas
Pengandaian tentang sumber-sumber daya alam itu tak terbatas harus disingkirkan. Mau
tidak mau perlu kita akui bahwa lingkungan hidup dan komponen-komponen di dalamnya tetap
terbatas, walupun barangkali tersedia dalam kuantitas besar. Sumber daya alampun ditandai
dengan kelangkaan. Jika komponen-komponen lingkungan hidup mempunyai harga ekonomis,
maka lingkungan hidup tidak lagi merupakan eksternalitas untuk ekonomi. Eksternalitas dalam
ekonomi maksudnya adalah faktor-faktor yang sebenarnya bersifat ekonomis, tapi tetap tinggal
diluar perhitungan ekonomis.

3.

Pembangunan berkelanjutan
Jika krisis lingkungan dipertimbangkan dengan serius, bagi ekonomi masih ada suatu
konsekuensi lain yang sulit dihindarkan, sedangka ekonomi selalu menekankan perlunya
pertumbuhan. Pada tahun 1972 the Club of Roma menerbitkan buku Limits to Growt yang
membuktikan bahwa pertumbuhan ekonomi terus-menerus tidak mungkin dicocokkan dengan

keadaan terbatas dari sumber daya alam. Buku ini banyak memicu diskusi tentang perlunya
membatasi pertumbuhan ekonomi. Karena, kapasitas alam untuk menampung tekanan polusi
udara , air, dsb tidak dapat diimbangi dengan teknologi baru. Karena faktor itulah pembatasan
pertumbuhan ekonomi harus dilakukan.

5.3 Dasar-dasar Etika tanggung jawab perusahaan pada upaya Pelestarian Llingkungan
Hidup
Hasil analisa kita sampai sekarang adalah bahwa hanya manusia mempunyai tanggung
jawab moral terhadap lingkungannya walaupun manusia termasuk alam dan sepenuhnya dapat
dianggap sebagai sebagian dari alam namun hanya ialah yang sanggup melampaui status
alaminya dengan memikul tanggung jawab. Isi tanggung jawab dalam konteks ekonomi dan

bisnis adalah melestarikan lingkungan hidup atau memanfaatkan sumber daya alam sedemikian
rupa hingga kualitas lingkungannya tidak dikurangi tetapi bermutu sama seperti sebelumnya.
1.

Hak dan Deontologi
Dalam sebuah artikel terkenal yang untuk pertama kali terbit pada 1974, William T.
Blackstone mengajukan pikiran bahwa setiap manusia berhak atas lingkungan berkualitas yang
memungkinkan dia untuk hidup dengan baik. Ia menyebutnya the right to to a livable

environment. Lingkungan yang berkualitas tidak saja merupakan sesuatu yang sangat
diharapkan, tetapi juga sesuatu yang harus direalisasikan karena menjadi hak setiap manusia..
Manusia berhak atas lingkungan yang berkualitas karena mempunyai hak moral atas segala
sesuatu yang perlu untuk hidup dengan pantas sebagai manusia, artinya yang memungkinkan dia
memenuhi kesanggupannya sebagai mahluk yang rasional dan bebas. Jika kita mempunyai hak
atas lingkungan yang berkualitas, bisa saja hak-hak ini mengalahkan hak lain. Menurut
Blackstone, hal itu kini menjadi aktual dengan hak-hak ekonomis yang didasarkan atas hak milik
pribadi. Dalam konteks ekonomi pasar bebas, setiap orang berhak untuk memakai miliknya guna
menghasilkan keuntungan. Tetapi hak atas lingkungan yang berkualitas bisa saja mengalahkan
hak seseorang untuk memakai miliknya dengan bebas. Jika perusahaan memiliki tanah sendiri,
tetap tidak boleh membuang limbah disitu, karena dapat mencemari lingkungan yang tidak
pernah menjadi milik pribadi begitu saja. Dengan banyak cara lain lagi hak milik pribadi dari
beberapa orang bisa dibatasi atau malah dikalahkan oleh hak seluruh masyarakat atau lingkungan
berkualitas. Pandangan hak ini akhirnya berdasarkan teori deontologi yang menegaskan bahwa
manusia selalu harus diperlakukan juga sebagai tujuan pada dirinya dan tidak pernah sebagai
sarana belaka.

2.

Utilitarianisme

Teori utilitarianisme dapat dipakai juga guna menyediakan dasar moral bagi tanggung
jawab kita untuk melestarikan lingkungan hidup. Malah utilitariansme bisa menunjuk jalan
keluar bagi beberapa kesulitan yang dalam hal ini ditimbulkan oleh pandangan hak. Menurut
utilitarianisme, suatu perbuatan (atau aturan) adalah baik, kalau membawa kesengangan paling
besar untuk jumlah orang besar atau dengan kata lain kalau memaksimalkan manfaat. Kiranya

sudah jelas pelestarian lingkungan hidup membawa keadaan paling menguntungkan untuk
seluruh umat manusia, termasuk juga generasi-generasi yang akan datang. Jika kelompok
terbatas misalnya, para pemegang hak penguasaan hutan (HPH) mengeksploitasi alam dengan
seenaknya dan dengan demikian memperoleh untung banyak, hal itu justru bisa mengakibatkan
kondisi yang membawa penderitaan besar bagi banyak orang. Jika kita tidak melanjutkan
pembangunan berkelanjutan kita akan merugikan semua generasi setelah kita. Perhitungan
ekonomis tidak boleh dibatasi pada keuntungan untuk kelompokmkecil atau saat sekarang saja.
Dalam konsep utilitarianisme, sudah menjadi jelas bahwa lingkungan hidup tidak lagi
boleh diperlukukan sebagai suatu eksternalitas ekonomis. Perhitungan cos benefit pada dasarnya
menjalankan suatu pendekatan utilitarian, tetapi kalau begitu dampak atas lingkungan tidak
diperhitungakan dalam biaya manfaat,pendekatan itu menjadi tidak etis, apalagi jika kerusakan
dibebankan pada orang lain.
3.


Keadilan
Pendasaran bagi tanggung jawab untuk untuk melestarikan lingkungan hidup dapat dicari
juga dalam tuntutan etis untuk mewujudkan keadilan. Kalau begitu keadilan distributuf, artinya
keadilan yang mewajibkan kita untuk membagi dengan adil. Sebagaimana sudah kita lihat,
lingkungan hidup menyangkut tentang kelangkaan dan karena itu harus “di bagi” dengan adil.
Perlu dianggap tidak adil, bila kita memanfaatkan alam demikian rupa, sehingga orang lain
misalnya generasi-generasi yang akan datang tidak bisa lagi memakai alam untuk memenuhi
kebutuhan mereka dengan baik. Dibawah ini kami menyajikan tiga cara, tetapi tidak mustahil
ada cara lain lagi untuk mengaitkan keadilan dengan masalah lingkungan hidup.

a)

Persamaan
Jika bisnis tidak melestarikan lingkungan, akibatnya untuk semua orang tidak sama.
Dengan cara mengeksploitasi alam ini para pemilik perusahaan termasuk pemegang saham justru
akan maju, tetapi terutama orang kurang mampu akan dirugikan. Dalam studi-studi ekonomi,
sudah sering dikemukakan bahwa kemungkinan buruk dari kerusakan lingkungan hidup terutama
dirasakan oleh orang miskin. Mereka pertama-tama terkena, bila terjadi kemarau berkepanjangan

atau banjir akibat kerusakan lingkungan. Atau kita lihat saja bagaimana keadaan

diperkampungan kumuh yang mengelilingi daerah industri. Hal-hal semacam itu harus dinilai
tidak adil, karena menurut keadilan distributif semua orang harus diperlakukan sama, jika tidak
ada cara relevan untuk memperlakukan dengan cara berbeda.
b)

Prinsip Penghematan Adil
Dalam rangka pembahasannya tentang keadilan distributif,John Rawls pun berbicara
tentang masalah lingkungan hidup, tetapi ia mengaitkannya bukan dengan keadaan sekarang,
melainkan dengan generasi-generasi yang akan datang. Kita tidak berlaku dengan adil, bila kita
mewariskan lingkungan yang rusak kepada generasi-generasi sesudah kita. Untuk itu ia
merumuskan the just saving principle, “prinsip penghematan adil”. Artinya, kita harus
menghemat dalam memakai sumber daya alam, sehingga masih tersisa cukup bagi generasigenerasi yang akan datang. Waktu Rawls merumuskan prinsip ini agaknya ia terutama
memikirkan sumber daya alam yang tidak bisa diperbarui seperti batu bara, gas, logam, dan
minyak bumi. Tetapi sumber daya alam semacam itu mau tidak mau kita habiskan, bila kita
pakai terus. Kalau kita mengekstraksi minyak bumi sekarang, tidak mungkin kita serentak juga
menyimpannya untuk semua generasi yang akan datang. Keadilan hanya menuntun bahwa kita
meninggalkan sumber-sumber energi alternatif bagi generasi-generasi sesudah kita. Tetapi
prinsip penghematan adil lebih mendesak untuk diterapkan pada integritas alam.

a.


Keadilan Sosial
Masalah lingkungan hidup dapat disoroti juga dari sudut keadilan social. Pelaksanaan
keadilan individual semata-mata tergantung pada kemauan baik atau buruk dari individu tertentu.
Secara tradisisonal keadilan social hamper selalu dikaitkan dengan kondisi kaum buruh dalam
industrialisasi abad ke-19 dan ke-20. Pelaksanaan keadilan di bidang kesempatan kerja,
pendidikan, pelayanan kesehatan dan sebagainya. Hal yang sejenis berlaku juga dalam konteks

lingkungan hidup. Jika di Eropa satu perusahaan memutuskan untuk tidak lagi membuang
limbah industrinya ke dalam laut utara, kualitas air laut dan keadaan flora dan faunanya hampir
tidak terpengaruhi, selama terdapat ribuan perusahaan di kawasan itu yang tetap mencemari laut
dengan membuang limbahnya.
Kini sudah tampak beberapa gejala yang menunjukkan bagaimana lingkungan hidup
memang mulai disadari sebagai suatu masalah keadilan social yang berdimensi global. Di manamana ada Lembaga Swadaya Masyarakat yang aktif di bidang lingkungan hidup. Di beberapa
Negara di Eropa Barat malah ada partai politik yang memiliki sebagian program pokok
memperjuangkan kualitas lingkungan hidup. Walaupun di bidang lingkungan hidup sebagai
masalah keadilan social para individu masing-masing tidak berdaya, itu tidak berarti bahwa
manusia perorangan sebaiknya diam saja. Keadilan social dalam konteks lingkungan hidup
barangkali lebih mua terwujud dengan kesadaran atau kerja sama semua individu, ketimbang
keadilan social pada taraf perburuan, karena pertentangan kelas dan kepentingan pribadi di sini
tidak begitu tajam. Masalah lingkungan hidup menyangkut masa depan kita semua. Jika ada
kesadaran umum, bersama-sama akan dicapai banyak kemajuan.

KASUS PT GALUH CEMPAKA

PT Galuh Cempaka bergerak dalam bidang pertambangan intan, PT tersebut membuang
limbah industri ke aliran sungai yang dapat membahayakan bagi kesehatan dan keselamatan
masyarakat sekitar. Menurut data yang didapatkan dari siaran pers WALHI Kalimantan selatan,
pencemaran yang dilakukan oleh PT. Galuh Cempaka tersebut mengakibatkan tingkat

keasaaman air sungai mencapai ph 2,97. Hal ini sangat bertentangan dengan peraturan yang telah
ditetapkan oleh Pemerintah Daerah Kalimantan Selatan, yaitu tingkat ph normal air sungai
sebesar 6 hingga 9 ph. Selain itu efek dari penambangan tersebut mengancam ketahanan pangan
dikota Banjarbaru. Lumbung padi kota banjarbaru terancam dengan aktivitas penambangan PT
Galuh Cempaka. Dampak lingkungan ini juga menuruni fungsi sungai sebagai pengatur tata air,
minimal pada tiga sungai di kelurahan palam. Penyebabnya tak lain pengelolaan tambang yang
carut marut dimana perencanaan pertambangan tidak mengakomodir kepentingan masyarakat
sekitar dan terkesan arogan.
Setelah ditelusuri ternyata dokumen AMDAL yang dibuat PT Galuh Cempaka cacat
hukum dan pada implementasinya juga tidak dijalankan. Dengan kata lain dokumen amdal hanya
sebagai persyaratan administrasi belaka. Dampak langsung yang terjadi adalah penurunan
kualitas air yang menyebabkan rusaknya fungsi biologis. Hal ini terlihat dari ikan-ikan yang
mati, tidak mengalirnya air secara normal bahkan dua sungai tidak berfungsi. Belum lagi
genangan air banjir yang mengakibatkan terendamnya ribuan hektare sawah masyarakat yang
berakibat pada keterlambatan panen untuk musim tanam. Jika hal ini terus dibiarkan dapat
mengakibatkan penurunan kualitas air yang akan mengancam kepunahan biota air. Sungai yang
tidak berfungsi sebagai pengatur tata air akan mengakibatkan krisis yang lebih jauh dan
berdampak besar berupa krisis ketahanan pangan yang dapat mengakibatkan krisis ekonomi.
Masalah ini dianggap sebagai kejahatan korporasi lingkungan karena sudah jelas melanggar UU
yang telah ditatapkan, yaitu UU No 23 Tahun 1997, Tentang pengelolaan Lingkungan Hidup,
Bab VI Pasal 20 ayat 1 “Tanpa suatu keputusan izin, setiap orang dilarang melakukan
pembuangan limbah ke media lingkungan hidup.
Kejahatan lingkungan adalah kejahatan yang dilakukan oleh orang atau kelompok atau
Badan hukum yang bersifat merusak dan mencemari lingkungan. Dalam kacamata krimonologi,
kejahatan lingkungan memiliki perbedaan dengan kejahatan konvensional. Ciri utama dari
kejahatan ini adalah dilakukan oleh perusahaan-perusahaan (korporasi) dalam menjalankan
usahanya. Permasalahan lingkungan yang disebabkan oleh perusahaan PT Galuh Cempaka
seakan menjadi benalu yang menguras sumber kekayaan alam, dan sekaligus memberikan
dampak kerusakan bagi lingkungan yang akhirnya akan memberikan kerugian yang sangat besar
bagi kehidupan masyarakat di Indonesia.

Solusinya
Menurut saya kenapa kasus tersebut bisa terjadi karena kurangnya kontrol dari
pemerintah terhadap perusahaan-perusahaan yang mengadakan eksploitasi di bumi nusantara ini.
Selain itu, pelaksanaan kententuan hukum yang berlaku terhadap pelaku kejahatan lingkungan
terasa masih setengah-setengah. Pelaku kejahatan lingkungan tidak mendapatkan stigma
masyarakat yang berat dan melekat. Karena apa yang dilakukan oleh pelaku kejahatan tidak
memberikan dampak secara langsung melainkan secara lamban namun sangat fatal. Hal ini
disebabkan oleh kurangnya sosialisasi kepada masyarakat tentang kejahatan lingkungan itu
sendiri. Meskipun sudah jelas dicantumkan dalam UU tentang pelanggaran yang berkaitan
dengan lingkungan, tetapi masih banyak dari masyarakat yang tidak mengetahui tolak ukur untuk
menentukan apakah suatu kejahatan masuk ke dalam kategori kejahatan lingkungan atau tidak.
Masyarakat baru akan sadar ketika telah jatuh korban dan munculnya berbagai masalah yang
diakibatkan oleh pencemaran lingkungan tersebut, seperti masalah penyakit kulit yang terjadi
pada kasus PT Galuh Cempaka. Seharusnya untuk menangani permasalahan ini peran
pemerintah sangat dibutuhkan karena dalam karakteristik kejahatan korporasi, pembuktian
apakah suatu perusahaan melakukan kejahatan atau tidak, hanya bisa dilakukan oleh pemerintah
atau Badan Hukum yang bersangkutan. Penting untuk melakukan upaya rehabilitasi dari
kerusakan lingkungan yang terjadi. Sehingga kasus ini juga bisa dijadikan pembelajaran bagi
kehidupan berbangsa dan bernegara untuk melindungi warga Negara dan kepentingan ekonomi,
sosial dan lingkungan hidupnya.