BANJIR BANDANG DI Sub DAS KALIPUTIH JEMB

BANJIR BANDANG DI Sub DAS KALIPUTIH KABUPATEN
JEMBER : PENYEBAB DAN UPAYA MENGATASINYA
Oleh :
SUBHAN ARIF BUDIMAN1
NIM. 137040100111013

Abstrak
Kejadian banjir bandang seringkali menimbulkan kerusakan dan kerugian yang luar biasa serta
membawa korban jiwa. Banjir bandang merupakan potensi bencana di daerah dengan dominasi mineral
vulkanik, kelas lereng tinggi, memiliki beban berat di atas permukaan dan memiliki bidang gelincir di
bawah permukaan yang kemudian dipicu oleh curah hujan tinggi dengan durasi panjang. Peluang
potensi kejadian ulang bencana ini sangat besar seiring dengan periode ulang hujan. Beberapa
pengukuran kuantitatif seperti perubahan distribusi spasial-temporal geografi, geofisika, geokimia dan
sistem hidrologi dilakukan untuk mengidentifikasi daerah-daerah rawan terjadinya pergerakan tanah.
Hasil menunjukkan bahwa Sub DAS Kaliputih mengalami perubahan penggunaan lahan yang cukup
signifikan dari hutan menjadi pemukiman dan lahan budidaya, adanya bidang gelincir di bawah lapisan
batuan andesit, potensi kembang-kerut yang luar biasa pada tanah dan fakta terjadinya curah hujan
cukup tinggi dengan durasi panjang secara simultan. Upaya memperkecil resiko dilakukan dengan dua
cara yaitu mitigasi dan adaptasi. Mitigasi difokuskan pada usaha identifikasi dan pemetaan titik-titik
rawan terjadinya gerakan massa sedangkan adaptasi dilakukan dengan peningkatan kapasitas
masyarakat lokal akan sadar bencana. Diharapkan, ke depan meskipun banjir bandang tetap terjadi

periode ulang dapat lebih diperpanjang dan kerusakan-kerugian dapat ditekan seminimal mungkin.
Kata kunci : debris flow, gerakan massa, hujan, likuifaksi, dan kerentanan.

I. PENDAHULUAN
Bencana sedimen berupa longsor, banjir, dan banjir bandang merupakan bencana
dengan potensi frekuensi kejadian nomor tiga di Indonesia setelah bencana vulkanik
(erupsi Gunung Api) dan Gempa Bumi dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir
(BNPB, 2014). Longsor sering disebut sebagai gerakan massa (mass wasting/mass
movement). Gerakan massa tanah dan atau massa batuan merupakan istilah yang
sering dipakai untuk menjelaskan fenomena turunnya massa tanah dan atau batuan
penyusun lereng akibat gangguan pada lereng. Definisi ini menunjukkan bahwa
gerakan massa tanah/batuan tidak harus melewati bidang luncur. Longsoran tanah
merupakan salah satu jenis gerakan tanah/batuan (Karnawati, 2004).
Kejadian longsor semakin berisiko karena hampir tiap tahun terjadi bersamaan
dengan datangnya musim hujan dan telah menyebabkan korban jiwa, kerusakan
fisik, serta kerugian ekonomi yang cukup besar. Sejak tahun 2005 setidaknya
terdapat 918 lokasi rawan longsor di Indonesia dan setiap tahunnya estimasi
kerugian terjadi sekitar 100-800 Miliar rupiah per kejadian, dengan jumlah korban
jiwa terancam semakin banyak (PVMBG, 2005). Jumlah kejadian longsor akhir akhir
ini semakin besar intensitasnya dan cakupan dampaknya semakin luas, terutama di

kawasan Gunung Api yang sudah tidak aktif.
Banyak faktor yang mempengaruhi terjadinya longsor. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa kondisi topografi (Rijsdijk, 2007a), penggunaan lahan (Pawitan,
2012), geomorfologi (Rijsdijk, 2007b), geologi (Newhalla et al., 2000; Priyantani dkk,
2008), karakteristik tanah (Widodo, 2011), keberadaan vegetasi di permukaan tanah
(Hermiyanto dkk, 2010), dan cuaca (Karnawati, 1996) merupakan faktor yang

1 Mahasiswa Sekolah Pasca Sarjana Pertanian Program Doktor Ilmu Pertanian, Minat Manajemen Sumberdaya
Lahan Universitas Brawijaya. Kontak : sabudiman@gmail.com

berpengaruh terhadap longsor dan banjir bandang di Indonesia. Sebagian besar
tanah Gunung Api inaktif di Indonesia merupakan tanah residu volkanik Kuarter Tua
dengan luasan cukup besar dan tersebar di berbagai tempat. Tingkat kesuburannya
yang cukup tinggi ditunjang dengan curah hujan yang cukup menyebabkan daerahdaerah ini berkembang menjadi lahan permukiman dan aktivitas ekonomi.
Implikasinya, daerah-daerah ini berubah menjadi daerah dengan tingkat kerawanan
tinggi dengan potensi kerusakan-kerugian yang sangat besar bila terjadi bencana.
Proses terjadinya longsor dan banjir bandang diawali dengan terjadinya proses
pelapukan yang berlangsung secara simultan dalam waktu cukup lama yang lrmufisn
menghasilkan solum tanah yang tebal. Tanah hasil pelapukan akan terus mengalami
penebalan dan terus mengalami perubahan fisik-kimia dan terus semakin menghalus

ukuran butirnya atau semakin melunak. Oleh karena waktu dan oleh karena terletak
di lereng yang tajam maka tanah hasil pelapukan akan retak, kritis dan atau longsor.
Retakan ini akan menjadi media lewatnya air masuk ke dalam tanah akibatnya di
sepanjang retakan ini akan terjadi translokasi (mineral, unsur-unsur dan bahan
organik), terjadi transformasi dan proses pelapukan lebih intensif dibandingkan di
sekitarnya sehingga terjadi anomali-anomali di sepanjang retakan dan kemudian
terjadi longsor (Widodo, 2011).
Beberapa contoh kejadian bencana sedimen yang menimbulkan kerugian dan
kerusakan besar antara lain adalah bencana Bukit Lawang Bohorok Sumatra (2003),
Gowa Sulawesi Selatan (2004), dan Cililin Bandung (2004). Periode berikutnya
(2006-2008) terjadi longsor di Banjarnegara, Manggarai Nusa Tenggara, Sulawesi,
Jawa Barat, dan Karanganyar Jawa Tengah. Sementara itu longsor di Jawa Timur
tercatat terjadi mulai tahun 1990 di lereng Gunung Wilis, tahun 2002 di Bondowoso
dan di Pacet, 2004 di Situbondo dan tahun 2006 di Kecamatan Panti Kabupaten
Jember.
Sudrajat dkk (2006) mengidentifikasi tingkat kerusakan yang diakibatkan banjir
bandang Panti meliputi 264 rumah hanyut dan rusak, 98 orang tewas, puluhan lukaluka, ratusan hektar persawahan rusak, ratusan rumah hancur, 6 jembatan hancur, 9
cekdam hancur serta sarana dan prasarana lainnya. Badan Kesatuan Bangsa,
Politik, dan Perlindungan Masyarakat (Bakesbangpolinmas) Kabupaten Jember
sebagai institusi yang membawahi Satuan SAR melansir tingkat kerugian dari

perinstiwa ini mencapai 681 Milyar rupiah. Firmansyah dan Kadarsetia (2010)
menjelaskan bahwa faktor-faktor penyebab terjadinya gerakan tanah yang diikuti
banjir bandang di Sub DAS Kaliputih adalah :









Kondisi batuan : Batuan penysun di lokasi longsor adalah batuan vulkanik
produk Gunung Iyang-Argopuro yang tingkat pelapukannya sangat tinggi,
karena Gunung Iyang-Argopuro merupakan gunungapi tua (Tipe B).
Adanya batuan dasar yang kedap air seperti lava dan breksi vulkanik yang
sangat kompak dan padu, sehingga menjadi bidang penahan air dan bidang
gelincir.
Kemiringan lereng (geomorfologi) : longsoran umumnya terjadi pada lereng
yang curam dan di tebing-tebing sungai.

Hidrologi : Intensitas hujan yang tinggi menyebabkan batuan menjadi jenuh air,
sehingga menjadi repui, lembek dan mudah longsor. Batuan disekitar aliran
sungai menjadi lebih jenuh.
Vegetasi dan tataguna lahan : Pohon berfungsi sebagai penghisap air tanah
dan sebagai pengikat tanah, sehingga keberadaannya akan berguna untuk
mengurangi terjadinya longsoran. Pembangunan rumah/permukiman di tepi
gawir atau di bawah gawir dapat memperburuk keadaan.



Jika gerakan tanah terjadi di tebing-tebing sungai di daerah hulu seperti K.
Dinoyo, K. Petung, K. Petawan, K. Wates, K. Pola, K. Jompo dan lain-lain,
maka sungai-sungai tersebut sangat rawan terkena banjir bandang.

Makalah ini merupakan sintesis dari serangkaian hasil penelitian terkait kondisi
biofisik di Sub Daerah Aliran Sungai (DAS) Bedadung khususnya Sub DAS Kaliputih,
yang secara administratif masuk dalam wilayah Kecamatan Panti Kabupaten Jember
yang dilaksanakan sampai 2012. Alternatif solusi berupa tindakan mitigasi dan
adaptasi merupakan hasil dari kajian formal, informal dan pustaka yang terdapat
dalam dokumen-dokumen institusi dan LSM pemerhati bencana terutama terkait

dengan longsor dan banjir bandang.

II. KONDISI GOLOGI DAN POTENSI GERAKAN TANAH
Pada berbagai kejadian longsoran selama ini dapat teridentifikasi 3 tipologi lereng
yang rentan untuk bergerak/longsor, yaitu (1) lereng yang tersusun oleh tumpukan
tanah gembur dialasi oleh batuan atau tanah yang lebih kompak, (2) lereng yang
tersusun oleh perlapisan batuan yang miring searah kemiringan lereng, dan (3)
lereng yang tersusun oleh blok-blok batuan (Karnawati, 2001). Longsor dapat
digambarkan dalam gambaran sederhana sebagai gerak benda pada bidang miring
Berat masa benda dan sudut kemiringan merupakan faktor utama yang mengontrol.
Pada lereng alam benda ini berupa tanah dan atau batuan, sehingga sifat fisik kimia
biologi tanah/batuan merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap
stabilitasnya di lereng. Sifat ini akan mempengaruhi ada tidaknya dan banyak
sedikitnya air yang mampu disimpan atau mampu dialirkannya. Air berperanan
terhadap stabilitas masa tanah/batuan yang ada di lereng karena air akan
menambah berat, akan menyebabkan kohesi tanah menurun, akan menyebabkan
peningkatan proses kimia dan air akan memisahkan/memindahkan unsur kimia
pengikat tanah menuju ke bawah (leach out). Bila air mengalir dalam massa
tanah/batuan akan menyebabkan terjadinya perpindahan titik berat, akan terjadi
perpindahan komponen kimia pengikat tanah dan lain sebagainya.

Kondisi geologi mengalami perubahan secara terus menerus meski sangat lambat.
Sulistiarto (2010) menunjukkan bahwa sebagian besar wilayah kecamatan Panti,
Arjasa dan Patrang yang merupakan daerah hulu DAS Bedadung memiliki tingkat
kerawanan tinggi dilihat dari karakteristik topografi, kelas lereng, jenis tanah dan
hujan. Firmansyah dan Kadarsetia (2010) menunjukkan Peta Geologi Regional untuk
daeral inlet DAS Bedadung (Gambar 1). Lebih lanjut, penelitian ini juga berhasil
memetakan daerah-daerah yang memiliki potensi gerakan tanah tinggi di Kabupaten
Jember (Gambar 2).
Secara fisiografi daerah ini termasuk dalam lembar Jember yang dapat dibagi atas:
bagian selatan termasuk lajur pegunungan selatan, bagian tengah lajur depresi
tengah dan bagian utara lajur gunungapi kuarter (van Bemmelen, 1949). Daerah ini
berada bagian tengah pada lajur depresi tengah. Secara geologi daerah ini tersusun
oleh Formasi Breksi Argopuro (Qvab), merupakan breksi gunungapi bersusunan
andesit dan bersisipan lava. Satuan formasi Qvab ini merupakan hasil kegiatan
Gunung Iyang-Argopuro yang terakhir. Batuannya sudah sangat lapuk sehingga
membentuk tanah laterit yang cukup tebal berwarna merah bata (Safei dkk, 1992).
Dibawah satuan Breksi Argopuro (Qvab) terdapat satuan Tuf Argopuro (Qvat),
dengan tuf sebagai satuan utama yang terdiri dari tuf sela, tuf abu, dan tuf kaca. Tuf
sela terdiri dari pecahan batuan bersusun andesit piroksen dengan tekstur porfiritik.
Fenokrisnya plagioklas yang mengapung dalam masa dasar mikrolit plagioklas dan


kaca. Tuf abu tersusun oleh mikrolit plagioklas dan sejumlah mineral hitam. Tuf kaca
tersusun sebagian besar oleh kaca gunungapi. Satuan Tuf Argopuro (Qvat) ini sering
muncul pada gawir-gawir (bekas) longsoran dan lembah-lembah sungai.

Gambar 1. Peta Geologi Daerah Panti dan Sekitarnya
Sumber : Firmansyah dan Kadarsetia (2010)

Perubahan kondisi geologi yang simultan akan berpengaruh terhadap karakteristik
tanah. Badan Geologi, Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Departemen
ESDM (2011) menyatakan bahwa terdapat 72 titik retakan tanah di sekitar Panti.
Retakan ini akan menjadi tempat masuk air jika terjadi hujan, sehingga tekanan air
pori tanah meningkat dan tekanan efektif tanah akan turun. Kondisi ini akan sangat
berbahaya jika tekanan efektif yang ada tidak mampu menahan beban sendiri tanah.
Berdasarkan Peta Zona Kerentanan Gerakan Tanah Jawa Timur (Djadja dkk, 2006),
daerah bencana termasuk zona kerentanan gerakan tanah menengah sampai tinggi,
artinya pada daerah ini sering terjadi gerakan tanah dan gerakan tanah lama bisa
terjadi lagi apabila curah hujan tinggi. Gerakan tanah dapat berkembang menjadi
”debris flow” atau aliran bahan rombakan yang selanjutnya menjadi banjir bandang.
Bendung alam terbentuk di beberapa lokasi di bagian hulu sungai-sungai di daerah

bencana, akibatnya terjadilah akumulasi air dan penumpukan material longsoran,
yang sewaktu - waktu bisa jebol dan mengakibatkan terjadinya banjir bandang.
Gerakan tanah di sepanjang tebing sungai mulai dari hulu sampai hilir menyebabkan
terjadinya penyumbatan aliran air atau bendung alam, sehingga terjadi akumulasi air
yang cukup besar.

Gambar 2. Peta Potensi Gerakan Tanah Kabupaten Jember
Sumber : Firmansyah dan Kadarsetia (2010)

Pola aliran sungai dendritik, dengan lembah berbentuk ”V” serta kemiringan lereng
yang curam menyebabkan arus sungai menjadi sangat deras ketika terjadi banjir
bandang yang dapat menyeret berbagai material di sekitar alur sungai, sehingga
memperparah dampak dari banjir tersebut. Kejadian gerakan tanah yang
berkembang menjadi banjir bandang telah terjadi beberapa kali. Pola aliran sungai
merupakan pola aliran dendritik yang tidak begitu lebar, hampir menyempit seperti
pohon cemara. Type pola aliran sungai yang demikian mempunyai karakteristik
peningkatan debit air yang tajam dalam waktu yang singkat, peningkatan debit
sungai akibat curah hujan yang tinggi dapat menyebabkan banjir bandang.

III. PERUBAHAN TATA GUNA LAHAN

Peristiwa banjir bandang dan tanah longsor di Kecamatan Panti pada 2 Januari
tahun 2006 mengakibatkan berbagai kerugian. Beberapa penelitian yang telah
dilakukan di daerah ini menunjukkan bahwa peristiwa tersebut merupakan dampak
dari alihfungsi hutan sehingga menyebabkan degradasi hutan di daerah upland
Pegunungan Argopuro (Priyantani, 2008; Widodo, 2011). Lebih lanjut, Priyantani
menjelaskan bahwa daerah upland Pegunungan Argopuro sebagai kawasan hutan
lindung yang merupakan daerah resapan air, beralih menjadi perkebunan kakao dan
kopi, serta hutan produksi kemudian terjadi penebangan yang berakibat pada
penggundulan. Selain itu, fenomena bencana banjir bandang dan tanah longsor tidak
hanya dipengaruhi oleh kondisi geomorfologi permukaan, akan tetapi juga
dipengaruhl oleh tanah bawah permukaan. Serangkaian pengukuran geofisika
bawah permukaan untuk dapat mengungkap kondisi maupun dinamika bawah
permukaan berkaitan dengan litologi, hidrologi maupun potensi bencana.
Hasil penelitian Widodo (2011) menunjukkan bahwa alihfungsi lahan hutan di Sub
DAS Kaliputih, Dinoyo dan Kalijompo Kecamatan Panti Kabupaten Jember
mengalami penurunan luas secara simultan sejak dengan dibandingkan dengan luas

hutan tahun 1994 (Gambar 3). Penurunan terbesar terjadi pada periode 1994-2002
dimana penurunan mencapai lebih dari 50%. Hal ini terjadi sebagai akibat peristiwa
1998 dimana Presiden saat itu membuat statement atas UUD 1945 pasal 33 (1)

dimana hasil bumi dan kekayaan alam Indonesia dimanfaatkan sebesar-besarnya
untuk kemakmuran rakyat sehingga rakyat diperbolehkan memanfaatkan seluruh
hasil alam termasuk sumberdaya hutan. Tafsiran berikutnya di level grassroot bahwa
salah satu model pemanfaatan hutan adalah dengan memanfaatkan tegakannya
yang diperoleh dengan cara menebang kayu hutan. Tren setelah tahun 2002 tetap
menunjukkan penurunan luas hutan meskipun tingkat penurunannya tidak sedrastis
periode 1994-2002.

Luas lahan
(ha)

Gambar 3. Perubahan Penggunaan Lahan di daerah Panti 1994-2008
Sumber : Widodo (2011)

Selain lahan hutan, penurunan luas dalam periode lima belas tahun (1994-2008)
juga terjadi pada luas badan air/sungai. Hal ini menunjukkan indikasi bahwa
kapasitas infiltrasi beberapa Sub DAS di DAS Bedadung telah mengalami penurunan
kapasitas tampung sehingga debit sungai dan jumlah sumber air berkurang dari
waktu ke waktu. Di lain pihak, terjadi peningkatan luas lahan pertanian, pemukiman
dan lahan terbuka. Hasil penelitian Zimmer (1981) menyebutkan bahwa longsor
terjadi setelah pembabatan hutan selama sekitar 12 tahun, maka untuk di daerah
penelitian sekitar 9 tahun kemudian terjadi longsor.

III. KARAKTERISTIK GEOKIMIA
Widodo (2011) menunjukkan bahwa Berdasarkan hasil yang diperoleh di lapangan
menunjukkan bahwa proses pelapukan Breksi Volkanik G. Argopuro yang berumur
Kuarter Tua telah mencapai kedalaman lebih dari 20 meter dari muka tanah terdiri
dari tanah residu dengan tebal 16 meter, tanah lapuk dengan tebal 4 meter. Kadar
bahan organik sepanjang profil tanah menunjukkan pola terjadi kenaikan pada
kedalaman 3-9 m dari 1,60% menjadi 2,35% kemudian kembali turun pada
kedalaman 12-15 m menjadi 0,32-0,83% (Gambar 4). Kadar bahan organik dalam
kaitannya dengan longsor berfungsi sebagai material pengikat air dan memperbesar
kapasitas infiltrasi. Semakin besar bahan organik maka jumlah air yang dapat
terserap juga semakin tinggi; artinya adalah bahwa kapasitas infiltrasi tanah juga
semakin meningkat. Pengukuran kadar bahan organik dilakukan pada kedalaman
setelah 3 m dengan asumsi bahwa pada kedalaman tersebut kadar bahan organik

tidak mendapat usikan dari tanaman dan proses-proses hidrologi di atas permukaan
sehingga dinamikanya tidak terlalu besar.

Gambar 4. Kadar Bahan Organik dalam Profil Tanah
(kanan : daerah atas ; kiri : daerah bawah)
Sumber : Widodo (2011)

Hasil analisis permeabilitas lapangan menunjukkan bahwa tanah dipermukaan
sampai kedalaman – 1,0 dan - 2,0 m harga permeabilitasnya antara 1,33 x 10 -5
sampai dengan 9,50 x 10-5 cm/detik. Nilai ini menunjukkan bahwa lapisan tanah
permukaan sampai kedalaman 2 meter termasuk lapisan kedap air. Sementara
indeks plastis dan potensi mengembang memiliki nilai yang tinggi. Kondisi ini
menunjukkan bahwa pada lapisan tersebut, air dapat masuk maksimal sehingga
diduga lapisan tersebut berfungsi sebagai bidang gelincir saat kondisi jenuh (Tabel
1). Ditinjau dari sivil teknis, hasil analisa besar butir tanah dan konsistensi tanah ini
termasuk lanau plastisitas sedang sampai plastisitas tinggi dan potensi mengembang
rendah sampai sangat tinggi.

Tabel 1.

Kadar clay, Indeks Plastis, Aktifitas Lempung dan Potensi mengembang pada berbagai
kedalaman tanah

Kedalaman

% clay

-3
-6
-9
-12
-15

72.76
89.00
88.58
89.06
80.00

Indeks
Plastis
16.82
46.39
18.40
5.00
11.17

Aktivitas
0.23
0.52
0.21
0.06
0.14

Potensi
Mengembang
2.12
25.15
2.63
0.11
0.78

Sumber : Widodo (2011)

Bila dilihat dari distribusi ukuran partikel (% clay, % silt dan % sand), secara umum
clay mengalami peningkatan konsentrasi seiring dengan bertambahnya kedalaman
(Gambar 5). Tetapi pola kemudian berubah ketika kdelaman mencapai 9-12 m
dimana kadar clay kemudian menurun dan sebaliknya terjadi peningkatan kadar silt
dan sand. Terkait dengan potensi longsor, kadar clay berperan sangat penting
dimana saat lapisan clay berada pada kondisi jenuh partikel tersebut secara fisik
berubah karakter dari padat menjadi seperti kolodi. Akibatnya, lapisan tersebut akan
terjadi peristiwa likuifaksi dan clay berfungsi sebagai bidang luncur dan
menyebabkan terjadinya longsor.

Gambar 5. Kadar Clay, Silt dan Sand pada kedalaman -3 sd -15 m
(kanan : daerah atas ; kiri : daerah bawah)
Sumber : Widodo (2011), digambar ulang (2015)

Hasil analisis geokimia tanah dengan menggunakan dengan XRF menunjukkan
adanya anomali SiO2/(Al2O3+Fe2O3) (rasio silica-sesquioxides) pada kedalaman 9, 12
dan 15 meter. Pada kondisi normal, akibat pencucian dan pelindian terjadi
pengurangan nilai rasio silica-sesquioxida ke arah permukaan dan semakin
membesar ke arah lebih dalam (Gambar 6). Berdasarkan Chemical Index of
Alteration (CIA) > 90% merupakan tanah residu dan dikombinasikan dengan diagram
ACNK menunjukkan bahwa tanah residu didominasi lempung kelompok kaolin.
Harga Chemical Weathering Index (CWI) sekitar 60% menunjukkan tanah residu.
Hasil analisis bahan organik menunjukkan bahwa hampir di setiap kedalaman tanah
mengandung bahan organik.

Gambar 6. Kandungan Basa tertukar dan Analisis Geokimia dalam Profil Tanah
Sumber : diadaptasi dari Widodo (2011)

Mineral haloisit mendominasi hampir di setiap kedalaman dan karena termasuk
mineral lempung dari mineral gelas yang amorf maka rekaman XRD tidak
memperlihatkan kristal-kristal yang menonjol seperti umumnya grafik XRD (Tabel 2).
Munculnya mineral-mineral hasil alterasi hidrotermal menunjukkan bahwa Breksi
Argopuro telah teralterasi, yang terjadi bersamaan dan atau setelah Breksi Argopuro
terbentuk. Mineral-mineral hasil ubahan hidrotermal seperti mineral kristobalit,
tridimit, kuarsa, smektit, kaolin, monmorilonit bisa bertahan lebih dari 500 tahun.
Masuknya air melewati retakan menimbulkan dispersi unsur kimia dan material di
lereng yang menyebabkan pemiskinan dan pengkayaan. Unsur-unsur mayor seperti
Ca2+, Na+, Mg2+, K+, Mg2+, Si4+, Fe2+ , Fe3+, dan Al3+ secara umum mengalami
penurunan konsentrasi yang dicirikan oleh menunrunnya harga senyawa oksida atau

di dalam istilah geokimia mengalami pemiskinan di kedalaman 12 meter. Unsurunsur ini tertranslokasi (alih tempat) ke lain tempat dan atau tertransformasi (alih
rupa) yaitu mengalami pelapukan lebih intensif. Proses translokasi ini juga
menyebabkan berpindahnya bahan organiik, material berukuran lempung dan atau
ditambah dengan proses pelapukan yang intensif sehingga pada kedalaman 12
meter dijumpai material berukuran lempung cukup banyak. Oleh karena itu maka
silica-sesquioxides mengecil padahal kalau tidak ada gangguan akan membesar ke
arah dalam. Masuknya air kedalam retakan juga menyebabkan transformasi yaitu
dengan terbentuknya mineral lempung haloisit di kedalaman 12 meter ke arah atas
dan ke arah bawah sehingga hampir di seluruh tubuh tanah hasil pelapukan dijumpai
mineral haloisit.
Tabel 2.

Hasil analisis X-Ray Difussion (XRD) jenis mineral clay pada berbagai kedalaman hasil
pelapukan Breksi Argopuro

Kedalaman (m)
-3

-6

Titik Atas
Montmorillonite-15 A
Polygorskite
Magnetite
Halite potassian, syn
hydrated Halloysite
Polygorskite

-9

hydrated Halloysite
Muscovite-3\TT\RG
Graphite

-12

hydrated Halloysite
Sericite [NR]
Clinochlore
Wairakite
Chloritoid
hydrated Halloysite
Halite potassian, syn
Wairakite
Silicon oxide

-15

Titik Bawah
hydrated Halloysite

Sericite [NR]
Illite-Montmorillonite
Halloysite
Quartz
hydrated Halloysite
Chlorotoid
Illite-2\ITM\RG# [NR]
Silicon oxide - HT
Metahalloysite
Muscovite 2\ITM\RG#1
Tridymite
Cristobalite SGB. Syn

Sumber : Widodo (2011)

IV. KARAKTERISTIK GEOFISIKA
Hasil pengamatan visual menunjukkan bahwa Sub DAS Kaliputih memiliki kondisi
lapisan tanah permukaan merupakan batuan produk vulkanik yang belum
terkompaksi, dengan pelapukan tebal > 20 meter serta kemiringan lereng yang
curam lebih dari 450. Kelongsoran yang paling sering di jumpai di lapangan memiliki
permukaan tidak horisontal (lingkaran) serta dipengaruhi komponen gravitasi. Bila
gaya (beban) yang terjadi karena komponen gravitasi sedemikian besar, sehingga
perlawanan geser total pada bidang gelincirnya terlampaui, maka akan terjadi
longsoran (Hardiyatmo, 2002). Bentuk lembah umumnya sempit dan curam (bentuk
V) dengan kedalaman lembah 20 - 40 m. Di lereng bagian tengah merupakan daerah
berglombang dengan kemiringan lereng 15 - 20°, di lereng bagian tengah - bawah
merupakan daerah medan bergelombang sampai datar, merupakan daerah
peladangan dan permukiman penduduk. Daerah ini merupakan daerah yang
terparah tingkat kerusakannya akibat banjir bandang (Firmansyah dan Kadarsetia,
2010).

Salah satu persamaan umum yang dipakai untuk menentukan kuat geser lereng
adalah persamaan Mohr-Coulomb. Kekuatan geser tanah yang tersedia atau yang
dapat dikerahkan oleh tanah dapat dihitung dengan persamaan :

T =c + ( σ −u ) . tan ϕ
Dalam metode ini, parameter kekuatan geser tanah yang tersedia berturut-turut
direduksi secara otomatis hingga kelongsoran terjadi. Sehingga faktor aman
(Stability Factor, SF) dari satu stabilitas lereng dihitung dengan persamaan :
ΣMsf = tan ∅input / tan ∅reduksi = cinput /creduksi
Sehingga

SF=

Kekuatan geser yang tersedia
Kekuatan geser saat longsor

Nilai ΣMsf = indeks potensi pada saat kelongsoran (metode Finite Equilibrium
Method, FEM); cinput = kohesi tanah, ∅input = sudut geser dalam tanah, creduksi = kohesi
tanah tereduksi dan ∅reduksi = sudut geser dalam tereduksi. Sedangkan SF
merupakan nilai kuat geser tanah yang dikenal dengan metode Limit Equilibrium
Method (LEM). Adapun kriteria keamanan nilai faktor aman (SF) stabilitas lereng
untuk lereng galian timbunan (cut and fill) menurut Sowers (1979) dalam Cheng Liu
(1981) adalah : SF < 1 = Tidak Aman,1 ≤ SF ≤ 1,2 = Stabilitas lereng meragukan SF
> 1,2 = Aman.
Hasil simulasi menunjukkan bahwa faktor utama penyebab ketidakstabilan lereng
sangat mungkin dipengaruhi oleh naiknya muka air tanah (drainase tidak ada) yang
dapat menurunkan stabilitas lereng. Saat tidak hujan (muka air tanah) jauh dari
permukaan bidang tanah, angka keamanan (Safety factor) nya lebih dari satu (SF =
1,063). Sebaliknya, saat muka air tanah naik dengan anggapan terjadi hujan yang
mengakibatkan kondisi tanah menjadi semakin jenuh, nilai SF turun menjadi 0,873.
Nilai SF mendekati 1 tersebut mengindikasikan bahwa Sub DAS Kaliputih memiliki
tingkat kerawanan tinggi terhadap potensi longsor. Akan tetapi, kondisi potensi
longsor dalam kondisi jenuh lebih tinggi dari pada potensi longsor pada kondisi tak
jenuh (Arief dan Widodo, 2008). Hasil simulai lain juga menunjukkan bahwa tanah
yang cenderung longsor adalah tanah pada Lapisan 1 (dengan bidang longsor
antara lapisan 1 dan lapisan 2) yaitu lapisan tanah yang mengalami pelapukan
(tanah residual), sedang lapisan 2 maupun lapisan 3 tidak terdeformasi (Arief dan
Widodo, 2009).
Listyawan dkk (2009) mencoba membuat model untuk potensial runtuh dengan titik
berat keseimbangan moment.
Pada potongan, permukaan runtuh potensial
diasumsikan sebagai sebuah bujur sangkar. Ketidakstabilan potensial disebabkan
oleh berat total massa tanah (W persatuan panjang) di atas permukaan runtuh.
Faktor keamanan dihitung dengan rumus Craig (1994) :
R

F=

cu La ❑
Wd

dengan :F = Faktor keamanancu = komponen kohesi tanpa drainase (kN/m2) R = Jari
– jari lingkaran bidang longsor (m) La = Panjang bagian lingkaran (juring) (m)W =
Berat massa tanah efektif (kN)d = Jarak pusat berat W terhadap O (m).
Penelitian geofisika menunjukkan adanya zona-zona resistivitas rendah di bawah
batuan yang memiliki resistivitas tinggi yang diduga merupakan formasi lebih lunak,
zona saturasi air atau merupakan bidang gelincir. Zona low resistivity ini diduga
merupakan formasi lapisan laterit, zona saturasi air atau bahkan bidang gelincir dari

lapisan (Priyantani dkk, 2008). Hasil serupa juga ditunjukkan oleh Andriyani dkk.
(2011) untuk tanah-tanah Karst di Pacitan.

Hasil F untuk lempung jenuh didapat sebesar
5,073 untuk tanah lereng atas dan 4,959 untuk
tanah lereng bawah dengan tingkat probabilitas
93,96%. Interpretasi hasil menunjukkan bahwa
tanah lempung jenuh lereng bawah dapat
menahan beban dan kemungkinan kecil terjadi
longsor. Sebaliknya, lereng atas lebih tidak
stabil.
Gambar 5. Stabilitas Lereng Lempung Jenuh
Sumber : Listyawan dkk (2009)

V. KARAKTERISTIK HUJAN
Peristiwa tanah longsor merupakan fenomena alam, yaitu alam mencari
keseimbangan baru akibat adanya gangguan atau faktor yang mempengaruhinya
dan menyebabkan terjadinya pengurangan kuat geser serta peningkatan tegangan
geser tanah (Suryolelono, 2002). Pada umumnya di daerah pegunungan yang
ditutupi oleh lapisan tanah penutup yang lunak/gembur, air hujan dapat dengan
mudah merembes pada tanah yang gembur dan batuan lempung yang berongga
atau retak-retak. Air rembesan ini berkumpul antara tanah penutup dan batuan asal
yang segar pada lapisan alas yang kedap air. Tempat air rembesan ini berkumpul
dapat berfungsi sebagai bidang luncur. Meningkatnya kadar air dalam lapisan tanah
atau batuan, terutama pada lereng-lereng bukit akan mempermudah terjadinya
gerakan massa.

Gambar 7. Pola hujan setahun di Provinsi Jawa Timur periode 1983-2012
Sumber : data sekunder Kebun PTPN XII dan PTPN X, diolah (2014)

Secara umum terdapat dua tipe hujan pemicu longsoran di Indonesia, yaitu tipe
hujan deras dan tipe hujan normal tapi berlangsung lama. Tipe hujan deras misalnya
adalah hujan yang dapat mencapai 70 mm per jam atau lebih dari 100 mm per hari.
Tipe hujan deras hanya akan efektif memicu longsoran pada lereng - lereng yang
tanahnya mudah menyerap air (Karnawati 1996, 1997), seperti misalnya pada tanah
lempung pasiran dan tanah pasir. Pada lereng demikian longsoran dapat terjadi pada
bulan-bulan awal musim hujan, misalnya pada akhir Oktober atau awal Nopember.
Tipe hujan normal contohnya adalah hujan yang kurang dari 20 mm per hari. Hujan
tipe ini apabila berlangsung selama beberapa minggu hingga beberapa bulan dapat
efektif memicu longsoran pada lereng yang tersusun oleh tanah yang lebih kedap air,
misalnya lereng dengan tanah lempung (Karnawati, 2000). Pada lereng ini longsoran
umumnya terjadi mulai pada pertengahan musim hujan, misalnya pada bulan
Desember hingga Maret.
Data curah hujan dari PTPN-XII menunjukkan terjadinya perobahan pola hujan pada
dua dasawarsa terakhir dibandingkan dengan dua dasawarsa sebelumnya (Gambar
7). Pola curah hujan dua dasawarsa terakhir menunjukkan pola lebih merata
sepanjang tahun dengan puncak hujan antara 300 – 350 mm per bulan. Puncak
hujan terjadi mulai bulan November sampai dengan Maret dan saat hujan bulanan
tertinggi terjadi di bulan Januari. Pada saat kejadian bencana Panti, Dinas PU
Pengairan mencatat curah hujan di Stasiun Pengamat hujan DAS Bedadung adalah
sebagai berikut :







Stasiun Rambipuji
Stasiun Klatakan
Stasiun Dam Makam
Stasiun Semampir
Stasiun Pono
Stasiun Dam Pecoro

: 115 mm/hari
: 178 mm/ hari
: 127 mm/ hari
: 120 mm/ hari
: 107 mm/ hari
: 75 mm/ hari

Stasiun pengamat hujan terdekat dengan daerah bencana adalah Stasiun Klatakan
yang menunjukkan bahwa curah hujan harian saat bencana mencapai 178 mm.
Stasiun pengamat hujan lain juga menunjukkan angka curah hujan harian yang
cukup tinggi, yaitu lebih dari 100 mm kecuali di Dam Pecoro yang letaknya berada di
outlet Sub DAS Kaliputih. Artinya bahwa pada saat tersebut, hampir seluruh wilayah
selatan Pegunungan Argopuro terjadi hujan dengan intensitas yang cukup tinggi dan
durasi yang panjang. Meskipun proses infiltrasi berjalan lambat tetapi dengan durasi
hujan yang panjang akan menyebabkan kapasitas infiltrasi menjadi maksimum. Saat
tanah jenuh air, beban tanah mengalami kenaikan sehingga kuat geser tanah
menjadi turun.

Gambar 8. Curah hujan Tahunan di Sub DAS Kaliputih periode 1973-2012
Sumber : data sekunder Kebun PTPN XII dan PTPN X, diolah (2014)

Curah hujan tahunan di Sub DAS Kaliputih selama empat puluh tahun terakhir
menunjukkan trend penurunan dari 3200 mm menjadi 2850 mm/tahun (Gambar 8).
Hal ini menunjukkan bahwa potensi terjadinya banjir bandang dari faktor hujan tidak
terlalu besar. Peta dadi BIG dan BMKG menunjukkan bahwa sebagian wilayah sub
DAS Kaliputih memiliki curah hujan tahunan hingga mencapai 5000 mm. Hanya saja,
realitas yang terjadi adalah sebaliknya akibat perubahan penggunaan lahan dan
tutupan lahan dari lahan hutan menjadi lahan pertanian, perkebunan dan
pemukiman.

IV. UPAYA MEMPERKECIL RESIKO
Berdasarkan identifikasi penyebab bencana longsor dan banjir bandang pada
bahasan sebelumnya, maka dapat diidentifikasi beberapa permasalahan ikutan yang
terjadi di Sub DAS Kaliputih. Permasalahan-permasalahan tersebut antara lain
adalah :








Alih guna lahan dari lahan hutan menjadi lahan budidaya dan pemukiman
Tingkat erosi dari erosi lembar sampai erosi alur
Degradasi lahan pertanian dan perkebunan
Penurunan kapasitas infiltrasi tanah terutama di daerah konversi bekas hutan
Suplai air bersih untuk livestock terutama di perkotaan
Berkurangnya volume sungai dan semakin besarnya gradien debit sungai
antara musim penghujan dan musim kemarau
Tingkat potensi bencana longsor dan banjir bandang dengan tingkat
kerusakan, kerugian dan korban jiwa yang sangat besar

Tabel 3. Permasalahan, usaha mitigasi, adaptasi dan Instansi penanggungjawab
Permasalahan
Alih guna lahan dari lahan
hutan menjadi lahan
budidaya dan pemukiman

Tingkat erosi dari erosi
lembar sampai erosi alur
Degradasi lahan pertanian
dan perkebunan

Penurunan kapasitas
infiltrasi tanah terutama di
daerah konversi bekas
hutan

Mitigasi
Pembuatan RTRW
yang lebih fokus
terhadap penanganan
lingkungan
Penerapan law
enforcement yang
tegas terhadap para
pelanggar
Pembuatan tanggul
sungai
Sosialisasi bahaya
erosi
Perbaikan sistem
budidaya

Penanaman pohonOBIT (one billion trees
for Indonesia)
Gerakan kembali ke
hutan (Gerhan)
Program Rehabilitasi
Sosial dan

Penanggung
Jawab
Bappeda
DPRD
Polri

Dinas PU Pengairan
Dinas Pertanian
Dinas Pertanian
Dinas Perkebunan
Dinas Kehutanan
Akademisi
Lembaga Riset
BPDAS Sampean
Akademisi
Dinas Kehutanan

Adaptasi

Penanggung Jawab

Sosialisasi pada
masyarakat akibat
alihfungsi hutan

Dinas Kehutanan
Perhutani
PTPN-XII
Kebun Sentool
PDP Jember
PTP JA. Wattie

Penanaman
tanaman budidaya
maksimal di daerah
penyangga
Pemanfaatan lahan
bekas hutan dengan
tanaman tahunan

LMDH
Kelompok Tani
Kelompok Masyarakat

Penambahan
kapasitas dan
jumlah biopori di
pekarangan

Pondok Pesantren
Aparat Desa
Kelompok Masyarakat

Perhutani
LMDH
Kelompok Tani

Permasalahan
Suplai air bersih untuk
livestock terutama di
perkotaan

Berkurangnya volume
sungai dan semakin
besarnya gradien debit
sungai antara musim
penghujan dan musim
kemarau
Tingkat potensi bencana
longsor dan banjir bandang
dengan tingkat kerusakan,
kerugian dan korban jiwa
yang sangat besar

Mitigasi
Pelestarian sumber air
Pelestarian kawasan
hutan dan suaka
margasatwa Gunung
Argopuro
Penggunaan energi
alternatif untuk sungai
yang memenuhi syarat
Pelestarian kawasan
hutan dan suaka
margasatwa Gunung
Argopuro
Pengelolaan dan
Pemeliharaan sungai
Bedadung
Relokasi pemukiman
dan aktivitas warga
dari dataran banjir dan
zona merah ke lokasi
yang lebih aman
Penentuan titik
kumpul, titik evakuasi
dan dapur umum di
setiap titik lokasi
potensi bencana

Penanggung
Jawab
Perum Jasa Tirta-II
PDAM Jember
Dinas Kehutanan
BPDAS Sampean
Kebun Sentool
PDP Jember
PT. JA. Wattie

Adaptasi

Penanggung Jawab

Pelestarian daerah
inlet

LMDH
Kelompok Masyarakat
Pondok Pesantren
Aparat Desa

BPDAS Sampean
Dinas PU Pengairan
Balai Pengelolaan
Wilayah Sungai
Bedadung, Mayang,
Bajulmati dan
Sampean

Efisiensi
penggunaan air
untuk Rumah
Tangga, Pertanian
dan Industri

Kelompok Masyarakat
HIPPA
Perusahaan dan
Industri

BPBD Kab. Jember
Polri
Kodim XXII Jember
Brigif VIII Kostrad
Yon Armed XI
Koramil
JICA
Lembaga-lembaga
pemerhati bencana
Akademisi
Satkorlak PB
Organisasi pencinta
alam
Aparat Desa
PT. JA. Wattie
PDP Jember
Dinas Perhubungan

Peningkatan
Kapasitas
Masyarakat “sadar
bencana”
Pembuatan rencana
tindak (kontinjensi)
bila terjadi bencana
berbasis masyarakat
Pengenalan tandatanda alam saat
akan terjadi
bencana

BPBD Kab. Jember
BNPB
JICA
Universitas Jember
Unmuh Jember
UIJ
STAIN Sunan Kalijaga
Organisasi pencinta
alam
Aparat Desa dan
Kecamatan

Sumber : dokumentasi personal penulis, JICA (2011), Bakesbangpolinmas Jember (2012)

Solusi dari permasalahan di atas dapat dilakukan dengan dalam dua kegiatan utama,
yaitu mitigasi dan adaptasi. Usaha mitigasi dilakukan dengan fokus memperkecil
faktor penyebab bencana, sedangkan upaya adaptasi lebih ditekankan pada usaha
masyarakat untuk lebih menyesuaikan diri dengan lingkungan tempat tinggalnya
yang secara alami memiliki resiko bencana besar. Berikutnya, implementasi di
lapangan dapat dilakukan melalui beberapa sistem yaitu dari faktor kebijakan
pemerintah yang tertuang dalam aturan legal formal (UU, PP, Pergub dan Perda,
RTRW), kerjasama antar institusi pemerintah-akademisi, serta pelaku di lapangan
(kelembagaan dalam masyarakat formal-informal, perusahaan). Penjelasan usaha
Mitigasi dan Adaptasi bencana Longsor dan Banjir bandang di Sub DAS Kaliputih
disajikan secara lengkap dalam Tabel 3 di atas.
Permasalahan utama dalam penanganan bencana adalah dana dan koordinasi stake
holder. Faktor budget ini meliputi sumber dana, besar share yang dapat dilakukan
masing-masing stakeholder dan pertanggungjawaban dana. Sumber dana dapat
diperoleh dari APBD Kabupaten, dana DIPA masing-masing instansi dan APBD
Provinsi Jawa Timur. Selain itu masih ada dana On-Call yang dimiliki oleh Badan
Nasional Penanggulangan Bencana yang dapat dipakai dengan syarat bahwa
kejadian bencana tersebut ditetapkan sebagai kejadian Nasional melalui Inpres
maupun Perpres.

Koordinasi antar institusi penanggungjawab seringkali juga menjadi masalah
terutama dalam kaitannya dengan pelaksanaan Otonomi Daerah. Seringkali tindakan
tidak dapat dilakukan dengan cepat ketika terdapat salah satu Instansi
penanggungjawab yang merasa menjadi penanggungjawab kegiatan. Keterlambatan
ini kebanyakan terjadi saat tahap penanganan bencana (dapur umum, evakuasi dan
SAR korban bencana). Beberapa kejadian bencana di Jember, Yogyakarta dan
Klaten tiga tahun terakhir menunjukkan adanya tren penggunaan bencana sebagai
ajang pencitraan Partai Politik maupun Lembaga-lembaga “sosial” lain. Ke depan,
perlu dibuat aturan baku siapa saja institusi yang bertanggungjawab saat kejadian
bencana dan dilakukan koordinasi yang lebih bagus antar instansi agar penanganan
bencana dapat lebih tepat, cepat dan sesuai sasaran. Perwujudan kegiatan tersebut
dapat berupa rapat koordinasi antar instansi atau dalam bentuk simulasi dan
pembuatan rencana tindak ketika musim penghujan tiba.

PENUTUP
Bencana banjir bandang Panti merupakan bencana sedimen berupa debris flow yang
sangat mungkin terulang kembali dengan periode ulang 9-12 tahun. Proses
terjadinya banjir bandang diawali dengan kejadian longsor di beberapa lokasi yang
kemudian menutup aliran air dan membentuk bendung alam. Saat terjadi hujan
periode berikutnya, bendung alam akan jebol dan membawa material yang berfungsi
sebagai bendung alam ke daerah dibawahnya dalam bentuk debris flow. Penyebab
longsor di Sub DAS Kaliputih disebabkan oleh adanya alihfungsi lahan hutan,
karakteristik geokimia (rasio Silika/Seskuioksida), geofisika (keterdapatan zona
gelincir di atas dan di bawah lapisan batuan Andesit) dan dipicu oleh hujan dengan
volume lebih dari 100 mm/hari dan durasi lebih dari tiga hari. Upaya penanganan
bencana dilakukan melalui dua metode yaitu Mitigasi dan Adaptasi bencana yang
harus dikelola dengan baik di bawah koordinasi Badan Penanggulangan Bencana
Daerah (BPBD) yang melibatkan akademisi, instansi pemerintah, Polri, TNI, LSM
bidang Kebencanaan, Organisasi Pencinta Alam, dan Perusahaan dengan model
bottom up sesuai dengan kondisi sosial-budaya masyarakat setempat. Diharapkan
dengan koordinasi yang baik, adanya rencana tindak yang melibatkan masyarakat
dan simulasi setiap akhir musim kemarau dapat menekan kerusakan dan kerugian
serta meminimalisir korban jiwa setiap kejadian bencana.

DAFTAR PUSTAKA

Arief, M dan A. Widodo. 2003. Analisa Balik Kelongsoran : Studi Kasus di Jember. Jurnal Ilmiah MKTS
Volume 16 (2): 130-147.
Coussot, P. and M. Meunier. 1996. Recognition, classification and mechanical description of debris
flows. Earth-Science Reviews 40 : 209-227. Elsevier Science, SSDI 0012-8252(95)00065-8.
Firmansyah, MN. dan E. Kadarsetia. 2010. Penyelidikan Potensi Banjir Bandang Di Kabupaten Jember,
Jawa Timur. Bulletin Vulkanologi dan Bencana Geologi, Volume 5 Nomor 2, Agustus 2010 : 1422.
Hermiyanto, B., SA. Budiman dan N. Sulistyaningsih. 2010. Indeks Kualitas Tanah di daerah Selatan
Pegunungan Argopuro dan hubungannya dengan Longsor. Laporan Akhir Hibah Bersaing
Batch-2. Lembaga Penelitian Universitas Jember, tidak dipublikasikan.
Karnawati, D. 1996. Mechanism of rain-induced land slides in Java. Media Teknik no 3 th XVIII Nov.
Lavignea, F. and H. Suwa. 2004. Contrasts Between Debris Flows, Hyperconcentrated Flows and
Stream Flows at a Channel of Mount Semeru, East Java, Indonesia. Geomorphology 61 : 4158.
Liong, GT. Dan DJG. Herman. 2012. Analisa Stabilitas Lereng Limit Equilibrium vs Finite Element
Method. Prociding HATTI-PIT-XVI, 4-5 Desember 2012, Hotel Borobudur Jakarta.
Listyawan, AB., SR. Hernaini, dan B. Chahyono. 2012. Analisis Probabilitas Stabilitas Lereng Tanah
Lempung Jenuh. Dinamika Teknik Sipil Vol. 12 (2) : 166-171.
Newhalla, CG., S. Brontob, B. Allowayc, N.G. Banks, I. Bahar, M.A. del Marmol , R.D. Hadisantono, R.T.
Holcomb, J. McGeehin, J.N. Miksic, M. Rubin, S.D. Sayudi, R. Sukhyar, S. Andreastuti, R.I.
Tilling, R. Torleya, D. Trimblea, A.D. Wirakusumah. 2000. 10,000 Years of explosive eruptions
of Merapi Volcano, Central Java: archaeological and modern implications. Journal of
Volcanology and Geothermal Research 100 : 9–50. www.elsevier.nl/locate/jvolgeores.
Pawitan, H. 2012. Perubahan Penggunaan Lahan Dan Pengaruhnya Terhadap Hidrologi Daerah Aliran
Sungai. ISBN 979-9474-34-5 : 65-80.
Priyantani, N., A. Suprianto, dan Supeno. 2008. Integrasi Pengukuran Secara Terpadu (Geographycal,
Geophysical, Geotechnical System) untuk Aplikasi Tata Guna Lahan di Kecamatan Panti,
Kabupaten Jember. Laporan Akhir Hibah Bersaing Tahun ke-2. Lembaga Penelitian Universitas
Jember, tidak dipublikasikan.
Rijsdijk, A., L.A. (Sampurno) Bruijnzeel, and Th. M. Prins. 2007a. Sediment yield from gullies, riparian
mass wasting and bank erosion in the Upper Konto catchment, East Java, Indonesia.
Geomorphology 87 : 38-52. www.sciencedirect.com.
Rijsdijk, A., L.A. Sampurno Bruijnzeel, and CK. Sutoto. 2007b. Runoff and sediment yield from rural
roads, trails and settlements in the upper Konto catchment, East Java, Indonesia.
Geomorphology 87 : 28-37.
Siswowidjoyo, S., U. Sudarsono and AD. Wirakusumah. 1997. The Threat of Hazard in Semeru Volcano
region in East Java, Indonesia. Journal of Asian Earh Sciences Vol. 15 Nos. 2-3 : 185-194.
Elsevier Science.
Widodo, A. 2011. Peranan Geokimia Terhadap Stabilitas Lereng Tanah Residu Volkanik Di Daerah Panti
Jember Jawa Timur. Digilib UGM, www.ugm.ac.id. Diakses 29 Desember 2014.
Widodo, J. 2013. Pemetaan Karakteristik Dinamik Tanah Panti UntukMikrozonasi Seismik Untuk
Stabilitas Lereng Daerah Rawan Longsor Dalam Rangka Mengurangi Resiko Terjadinya Tanah
Longsor Di Panti, Kabupaten Jember. Laporan Penelitian Sumber dana BOPTN Universitas
Jember. Lembaga Penelitian Universitas Jember, tidak dipublikasikan.