MAHKAMAH KEHORMATAN DEWAN DALAM KONTEKS

1

MAHKAMAH KEHORMATAN DEWAN DALAM KONTEKS NEGARA HUKUM
Bivitri Susanti
Frasa kunci “negara hukum” mengandung banyak pemahaman dan seakan tak pernah bisa habis
dibahas. Berbagai pengertian negara hukum tentu kerap dibahas di mahkamah yang mempunyai
peran penting dalam negara hukum ini. Mulai dari prinsip-prinsip yang kerap dibahas dan
dijadikan rujukan secara internasional maupun nasional, hingga kategori institusional. Namun
konteks negara hukum masih perlu dibahas sekali lagi dalam konteks lembaga perwakilan rakyat.
Permohonan pengujian UU No. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD,
DPRD terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya
disebut “UU MD3”) ini merupakan momentum yang baik untuk membongkar kembali konsep
pengistimewaan pejabat negara dalam negara hukum.
Pertanyaan kuncinya adalah: apakah kekhususan itu bisa dibenarkan dalam konteks negara
hukum?
Dalam paparan ini, saya membatasi pembahasan pada soal mendasar mengenai kekhususan
tersebut dan mengenyampingkan (i) prosedur 30 hari yang diatur dalam Pasal 245 ayat (2) UU
MD3; dan (ii) pengecualian yang diatur dalam Pasal 245 ayat (3) UU MD3.
Secara garis besar, saya berpendapat bahwa kekhususan dalam menjalani proses hukum untuk
pejabat-pejabat publik tertentu dapat diterima dalam konteks negara hukum karena ada tugastugas yang harus mereka jalankan.
Namun kekhususan itu harus dilihat semata-mata untuk alasan pelaksanaan tugas, bukan untuk

alasan lainnya. Karena itulah, ada konsep-konsep parliamentary privileges dan forum
privilegiatum yang dikembangkan untuk alasan ini. Dalam hal ini, saya tidak sependapat dengan
Mahkamah Konstitusi dalam Putusan MK No. 73/PUU-IX/2011. Dalam putusan tersebut,
Mahkamah Konstitusi mengakui pentingnya menjaga wibawa dan kehormatan seorang pejabat
negara sebagai “lambang dari kepemimpinan pemerintahan yang memiliki pimpinan tertinggi
pemerintahan yaitu Presiden,” dalam memahami pemberian perlakuan khusus bagi kepala
daerah.1 Dalam pandangan saya, argumentasi wibawa dan kehormatan sudah tidak layak lagi
dipergunakan dalam konteks negara hukum yang kontemporer.


Disampaikan dalam Sidang Pengujian Undang-Undang No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD terhadap
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 di Mahkamah Konstitusi RI, 9 Oktober 2014.


Peneliti pada PSHK (Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia), PhD Candidate, University of Washington School
of Law, Seattle, Amerika Serikat (bivitri.susanti@gmail.com),
1

Putusan MK No. 73/PUU-IX/2011, hlm. 74.


2

Pengkhususan untuk kelancaran pelaksaan tugas tersebut tetap memerlukan batasan agar tetap
berada dalam koridor negara hukum. Dalam hal ini, saya bersepakat dengan pendapat
Mahkamah Konstitusi dalam putusan di atas untuk membatasi pengkhususan ini dengan asasasas peradilan pidana. Pengkhususan tersebut tidak boleh sampai berakibat pada terhambatnya
proses hukum.2
Pertanyaan berikutnya, dengan alasan kelancaran pelaksanaan tugas anggota dewan dalam
negara hukum, bagaimana seharusnya pengkhususan ini dilaksanakan? Lantas, relevankah
kekhususan itu diberikan melalui persetujuan dari Mahkamah Kehormatan Dewan?
Untuk menjelaskan pendapat dan menjawab pertanyaan di atas, makalah ini saya bagi menjadi
tiga bagian. Bagian pertama membahas mengenai prinsip-prinsip negara hukum dan kaitannya
dengan prosedur khusus bagi anggota dewan. Untuk dapat menjelaskan kekhususan ini dalam
konteks UU MD3, saya akan memaparkan konsep parliamentary privileges dan forum
privilegiatum. Batasan-batasan terhadap pengkhususan ini juga akan dibahas pada bagian ini
karena batasan ini diperlukan untuk tetap menempatkan pengkhususan anggota dewan dalam
koridor negara hukum. Bagian kedua menjabarkan bentuk Mahkamah Kehormatan Dewan.
Apakah dengan bentuknya itu, Mahkamah Kehormatan Dewan adalah organ forum yang tepat
untuk memberikan izin? Bagian ketiga mengajukan skema ideal bagaimana seharusnya
pengkhususan ini diberikan, dengan didasarkan pada pembahasan sebelumnya


1.

PRINSIP NEGARA HUKUM DAN LEMBAGA PERWAKILAN

Ada dua prinsip negara hukum yang relevan dibahas dalam kasus ini: prinsip persamaan di
hadapan hukum dan prinsip independensi kekuasaan kehakiman.
1.1.

Prinsip Persamaan di Hadapan Hukum

Prinsip persamaan di hadapan hukum (equality before the law) sudah dituangkan dengan jelas
dalam konstitusi kita. Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 berbunyi, "Segala Warga Negara bersamaan
kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan
pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya"
Selain itu, Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 menyatakan, "Setiap orang berhak atas pengakuan,
jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan
hukum.”
Prinsip-prinsip negara hukum pada dasarnya merupakan hasil refleksi atas praktek dan pemikiran
mengenai bagaimana seharusnya tatanan masyarakat diatur oleh hukum. Prinsip-prinsip itu
2


Ibid., hlm. 75.

3

merupakan patokan yang sifatnya umum. Selagi diterapkan, ada banyak aspek dalam praktik
yang membutuhkan pemikiran dan rationale yang memadai. Salah satunya adalah pengkhususan
dalam proses hukum untuk anggota dewan.
Ada dua pendekatan yang relevan untuk didiskusikan untuk membahas pengkhususan ini.
Pertama, prosedur khusus untuk pejabat negara untuk dapat diproses hukum secara cepat, yang
lazim dikenal sebagai forum privilegiatum. Kedua, adanya hak-hak khusus legislator.

a.

Tentang Forum Privilegiatum

Forum Privilegiatum atau privilege forum adalah forum khusus yang diberikan untuk pejabatpejabat negara tertentu agar dapat menjalani proses hukum secara cepat, sehingga prosesnya
hanya ada di satu tingkatan dan langsung bersifat final dan mengikat. Dari segi proses, persis
dengan yang dilaksanakan oleh Mahkamah Konstitusi. Untuk menjamin integritas proses cepat
tersebut, forum ini biasanya dilakukan di pengadilan tertinggi (Mahkamah Agung) dan proses

penyidikan dan penuntutan pun dilakukan secara khusus.
Indonesia mengenalnya dari masa penjajahan Belanda. Konstitusi Belanda Pasal 119 menyatakan
berbunyi: “Present and former members of the Parliament, Ministers, and State Secretaries shall
be tried by the Supreme Court for offenses committed while in office. Proceedings shall be
instituted by Royal Decree or by a resolution of the Second Chamber.”
Forum ini di Belanda dilaksanakan oleh Hoge Raad (Mahkamah Agung). Sejak 1893, forum ini sudah
dibatasi hanya untuk perkara-perkara perdata, bukan pidana.
Saya mencoba menelusuri lebih jauh rationale adanya forum privilegiatum ini dan tidak
menemukan alasan yang mendalam kecuali bahwa orang-orang yang mempunyai jabatan tinggi
harus mempunyai sebuah forum khusus.3 Penelusuran selanjutnya menunjukkan aspek sejarah.
Forum khusus ini mulai diadakan pada sekitar abad ke-15 untuk bisa membawa pejabat-pejabat
dan penguasa feodal pada masa itu, yang tidak mau dan sangat sulit untuk dibawa ke pengadilan
karena merasa lebih tinggi dari pengadilan. Forum ini diadakan untuk membuat mereka bersedia
masuk ke ranah pengadilan; dan di sisi lainnya berguna untuk publik karena bisa membuat
penguasa bertanggung jawab di hadapan hukum.4

Roel de Lange, “Political and Criminal Responsibility,” vol 6.4 ELECTRONIC JOURNAL OF COMPARATIVE LAW,
(December 2002), http://law.kub.nl/ejcl/64/art64-18.html. Penelurusan ini perlu dilanjutkan karena dalam
penulisan makalah ini saya dibatasi oleh ketidakmampuan saya dalam berbahasa Belanda.
3


4

C. J. Zuijderduijn, Medieval Capital Markets: Markets for Renten, State Formation and Private Investment in Holland
(1300-1550) (Leiden, Boston: Brill, 2009), hlm. 40.

4

Wewenang Hoge Raad Belanda ini kemudian dibawa oleh pemerintahan kolonial Hindia Belanda.
Setelah kemerdekaan, aturan ini terus diadopsi dan dituangkan dalam UUD RIS 1949 maupun
UUDS 1950. Pasal 106 UUDS 1950 menyatakan:
“Presiden, Wakil Presiden, Menteri-menteri, Ketua, Wakil Ketua dan Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Ketua, Wakil Ketua dan Anggota Mahkamah Agung, Djaksa Agung
pada Mahkamah Agung, Ketua, Wakil Ketua dan Anggota Dewan Pengawas Keuangan,
Presiden Bank-Sirkulasi dan juga pegawai-pegawai, anggota-anggota majelis-majelis
tinggi dan pejabat-pejabat lain yang ditunjuk dengan undang-undang, diadili dalam
tingkat pertama dan tertinggi juga oleh Mahkamah Agung, pun sesudah mereka berhenti,
berhubung dengan kejahatan dan pelanggaran lain yang ditentukan dengan undangundang dan yang dilakukannya dalam masa pekerjaannya, kecuali jika ditetapkan lain
dengan undang-undang”.
Dalam melihat UUDS 1950, Soepomo tidak menjelaskan dari mana asal muasal pasal ini. Ia hanya

menyatakan bahwa pasal-pasal UUDS 1950 diambil begitu saja dari Konstitusi RIS.5 Bisa jadi, pasal
ini diadopsi dari peraturan kolonial yang mengaturnya sebelum kemerdekaan. Dalam Staatsblad
1867 No. 10 (diubah terakhir dengan Staatsblad 1941 No. 31), aturan ini resmi diberlakukan di
Hindia Belanda, dengan didasarkan pada penggolongan hukum (Eropa, timur asing, dan
bumiputera). Masuknya penguasa Jepang pada 1942 membuat aturan ini diadopsi lebih jauh
tanpa didasarkan pada penggolongan hukum. Namun kemudian UUD 1945 tidak memuat adanya
forum ini di dalamnya. Forum ini baru diadopsi kembali dengan diberlakukannya UUD RIS 1949,
yang isinya kemudian diambil sebagai UUDS 1950 yang dikutip di atas.
Berdasarkan ketentuan ini, Menteri Negara Sultan Hamid, Menteri Luar Negeri Ruslan Abdulgani,
Menteri Kehakiman Djodi Gondokusumo dan beberapa pejabat lainnya pernah diadili dengan
mekanisme forum previlegiatum. Dengan diberlakukannya kembali UUD 1945 pada 1959, forum
privilegiatum kembali tidak berlaku; dan pada 1959, Mahkamah Agung memutuskan untuk tidak
lagi mempunyai yurisdiksi ini.6 Ini kemudian dikuatkan dengan UU Mahkamah Agung dan UU
Kekuasaan Kehakiman yang dibuat kemudian.
Yang perlu diperhatikan, sesungguhnya prosedur perizinan untuk pemeriksaan pejabat negara
termasuk dalam forum privilegiatum. Konsep forum istimewa ini tidak hanya mengatur hukum
acara di pengadilan, tetapi juga proses hukum secara umum, termasuk penyelidikan, penyidikan,
dan penuntutan. Nampaknya, kewajiban izin bagi pejabat negara yang kita anut sekarang
merupakan penggalan dari forum privilegiatum yang sudah tidak lagi kita miliki.


5
6

R. Supomo, Undang Undang Sementara Republik Indonesia (Jakarta: Noordhoff-Koff, 1954).

Sebastiaan Pompe, The Indonesian Supreme Court: A Study of Institutional Collapse (Ithaca: Cornell University Press,
2005), mengutip S. Mertokusumo, Sedjarah Peradilan dan Perundangan-undangan Sedjak 1942 dan Apa
Kemanfaatnja bagi kita bangsa Indonesia, (Bandung: Kilatmadju, 1971).

5

Ini bisa dilihat dari bagian Penjelasan Umum Undang-Undang No. 13 Tahun 1970 Tata Cara
Tindakan Kepolisian terhadap Anggota-Anggota/Pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Sementara dan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong-Royong. Dikatakan:
“[U]ndang-undang Dasar 1945 tidak mengenal apa yang disebut forum privilegiatum,
sehingga apa yang diatur di dalam Undang-undang ini hanyalah mengenai tata-cara
tindakan kepolisian tersebut yang dimasukkan pula ke dalamnya mengenai pemanggilan
sehubungan dengan tindak pidana dan meminta keterangan tentang tindak pidana, tanpa
menyampingkan hukum acara yang berlaku.”
Dalam perjalanan selanjutnya, adanya izin sebagai penggalan dari konsep forum privilegiatum ini

dilestarikan dengan masuknya ketentuan itu dalam berbagai undang-undang. Dengan rationale
menjaga “harkat dan martabat” pejabat negara, pemeriksaan pejabat negara harus dengan izin
presiden sebagai kepala negara, meskipun proses yang khusus dalam beracara sudah tidak lagi
ada dalam sistem peradilan Indonesia.
b.

Tentang Parliamentary Privileges

Keistimewaan bagi anggota dewan jamak dikenal dalam berbagai praktek kenegaraan.
Parliamentary privileges (dalam tradisi parlemen Inggris/ Westminster) maupun Privileges for the
House of Representatives di Amerika Serikat, mempunyai dua tujuan.
Pertama, memberikan imunitas bagi anggota lembaga perwakilan agar tidak dapat dituntut
secara perdata di muka hukum karena apa yang dinyatakannya dalam sidang. Tanpa hak
imunitas, bisa jadi legislator merasa tak bebas mengemukakan pendapat dan mendorong
perbaikan bagi konstituennya karena selalu terancam digugat secara hukum oleh lawan-lawan
politiknya.
Esensi kebebasan berbicara inilah satu-satunya alasan yang membuat legislator seakan-akan
kebal hukum. Namun mereka tidak sepenuhnya kebal. Mereka hanya tidak bisa dihukum atas
apa yang diucapkannya di dalam sidang. Di luar kapasitasnya sebagai wakil rakyat, legislator tetap
warga negara biasa. Karena itulah, keistimewaan parlemen (parliamentary privilege) ataupun hak

imunitas hanya berlaku untuk gugatan perdata, khususnya untuk soal pencemaran nama baik
atau semacamnya. Kemudian, untuk membatasi kebebasan berbicara tersebut, dibuat pula
perangkat aturan sidang mengenai bahasa yang tidak dapat digunakan di dalam sidang parlemen.
Kata-kata kasar, makian, dan kebohongan tidak boleh digunakan dalam sidang-sidang parlemen.
Dalam tradisi parlemen Inggris, ini disebut “unparliamentary language.”
Kedua, efektivitas kerja mereka sebagai anggota dewan. Bentuknya adalah perlindungan bagi
anggota dewan agar tidak dapat ditahan untuk kasus perdata selama masa sidang. Sebab, bila
ditahan, mereka tidak akan bisa berpartisipasi dalam sidang dewan. Dengan alasan yang sama,
di negara dengan sistem jury, anggota dewan juga dibebaskan dari kewajiban menjadi anggota
jury. Selain itu, mereka juga tidak diperkenankan menjadi saksi, yang juga membuat mereka

6

absen dari sidang dewan. Perlu dicatat, di luar masa sidang mereka tetap dapat ditahan untuk
kasus perdata. Dan yang lebih penting, tidak ada pengecualian sama sekali bagi mereka untuk
perkara-perkara pidana.

1.2.

Prinsip Independensi Peradilan


Prinsip lainnya yang harus diperhatikan dalam pengistimewaan anggota dewan adalah adanya
peradilan yang bebas dan tidak memihak. Meskipun ada berbagai kriteria dan pemahaman
negara hukum, prinsip peradilan yang bebas dan tidak memihak merupakan salah satu prinsip
utama dalam negara hukum.
Adanya persyaratan izin dari Mahkamah Kehormatan Dewan, terlepas dari soal batas waktu dan
pengecualian, sesungguhnya merupakan bentuk intervensi kekuasaan kehakiman. Meski izin ini
tidak berkaitan langsung dengan hakim, kekuasaan kehakiman mencakup juga proses peradilan
secara luas. Aparat penegak hukum dalam melaksanakan proses peradilan, mulai dari
penyelidikan sampai adanya putusan pengadilan, tidak boleh mendapatkan tekanan apapun.
Mahkamah Konstitusi-pun telah berpendapat mengenai hal ini, dalam Putusan MK No. 73/PUUIX/2011, Mahakamah berpendapat “Dengan adanya syarat persetujuan tertulis dari Presiden
untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan, akan menghambat percepatan proses peradilan
dan secara tidak langsung mengintervensi sistem penegakan keadilan.”7
Selanjutnya, Mahkamah Konstitusi juga berpendapat dalam Putusan MK No. 6-13-20/PUUVIII/2010 jo. Putusan MK No. 73/PUU-IX/2011, bahwa tafsir kekuasaan kehakiman meliputi halhal yang berkaitan dengan penegakan hukum dan keadilan dalam penyelenggaraan sistem
peradilan pidana. Dengan demikian, independensi peradilan meliputi keseluruhan proses sistem
peradilan pidana yang dimulai sejak penyelidikan, penyidikan, penuntutan, proses persidangan,
sampai penjatuhan dan pelaksanaan hukuman.
Jelas dari uraian di atas, untuk prinsip negara hukum dalam hal independensi kekuasaan
kehakiman, persyaratan izin untuk memeriksa anggota dewan tidaklah tepat.

2.

RELEVANSI MAHKAMAH KEHORMATAN DEWAN

Menurut UU MD3, Mahkamah Kehormatan Dewan merupakan alat kelengkapan DPR yang
bersifat tetap dan bertugas menjaga serta menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat
DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat (Pasal 119 UU MD3).

7

Putusan MK No. 73/PUU-IX/2011, hlm. 72.

7

Mahkamah Kehormatan Dewan terdiri dari 17 orang yang terdiri dari berbagai fraksi di DPR
dengan memperhatikan perimbangan dan pemerataan jumlah anggota setiap fraksi pada
permulaan masa keanggotaan DPR dan permulaan tahun sidang (Pasal 120 UU MD3).
Ada tiga hal yang perlu disoroti dalam bagian ini. Pertama, mengenai posisi Mahkamah
Kehormatan. Kedua, mengenai potensi benturan kepentingan. Dan ketiga, mengenai tujuan
pengaturan.
2.1.

Posisi Mahkamah Kehormatan

Seperti dibahas di atas, persyaratan adanya izin pemeriksaan bagi pejabat negara di Indonesia
berakar pada forum privilegiatum yang dulu pernah diterapkan di Indonesia. Rationale-nya,
adalah untuk menjaga harkat dan martabat pejabat negara dalam konteks pejabat negara
sebagai sebagai “lambang dari kepemimpinan pemerintahan yang memiliki pimpinan tertinggi
pemerintahan yaitu Presiden.”8 Dengan demikian, yang seharusnya memberikan izin adalah
kepala negara, atau dalam konteks aparat penegak hukum, atasan aparat penegak hukum
tersebut.
Sedangkan Mahkamah Kehormatan dewan sebenarnya merupakan lembaga etik, yang setara
dengan anggota lainnya dan tidak memiliki hubungan langsung pada sistem peradilan pidana.
Adanya tambahan wewenang Mahkamah Kehormatan untuk memberikan izin pemeriksaan
berada di luar tugas sebuah lembaga etik.
2.2.

Potensi Benturan Kepentingan

Masalah lainnya adalah potensi benturan kepentingan yang sangat besar, mengingat anggotanya
yang terdiri dari fraksi-fraksi yang ada. Kerja Badan Kehormatan DPR pada periode-periode lalu
dapat dijadikan rujuan untuk pandangan ini.
Untuk kasus-kasus dugaan pelanggarankode etik yang melibatkan partai berkuasa, Badan
Kehormatan terlihat ragu dalam mengambil keputusan. Sementara bagi anggota DPR yang
posisinya hanya sebagai anggota, Badan Kehormatan dapat mengambil putusan yang signifikan,
bahkan sampai memecatnya dari keanggotaan DPR. Sebuah penelitian mengungkapkan hal ini
dengan membandingkan kasus anggota DPR Azzidin yang dilaporkan ke Badan Kehormatan
karena kasus surat berkepala surat Partai Demokrat yang dikirimkan ke Konsul Haji Di Jeddah,
berkaitan dengan percaloan pemondokan haji dan katering.9 Dikatakan dalam penelitian
tersebut, kasus tersebut diputus dalam waktu hanya enam minggu, padahal bukti yang
dilaporkan terbataskarena hanya berupa kutipan di media masa. Sementara itu, dalam kasus
pengaduan Ketua DPR Agung Laksono terkait dengan safari Ramadhan yang dilakukannya, Badan
8

Putusan MK No. 73/PUU-IX/2011, hlm. 74.

9

Fitrie Goesmayanti, “Efektivitas Badan Kehormatan DPR,” makalah tanpa tanggal, 2012.

8

Kehormatan membekukan kasus tersebut. Badan Kehormatan menyatakan tidak ada kasus yang
perlu digali lebih jauh karena buktinya tidak otentik, padahal ada bukti rekaman dari tiga daerah
pada saat safari Ramadhan itu dilakukan.
2.3.

Tujuan Pengaturan

Selain diskusi di atas, pada kesempatan yang baik ini, saya juga ingin mempertanyakan maksud
pembuat undang-undang dalam merumuskan pasal ini. Menarik untuk dilihat, meski dalam hal
materi muatan, alat-alat kelengkapan kesemua lembaga perwakilan yang diatur dalam UU MD3
mempunyai kesamaan dalam penamaan, penamaan Mahkamah Kehormatan ini hanya diberikan
untuk DPR. Sedangkan untuk DPD, MPR, maupun DPRD, yang digunakan adalah “Badan
Kehormatan”. Demikian pula, kewajiban memintakan izin pemeriksaan, hanya berlaku untuk
DPR; dan tidak untuk dewan-dewan lainnya.
Kelihatannya, ini terjadi karena “Mahkamah Kehormatan” memang mempunyai pemahaman
tersendiri.
Karena minimnya akses ke dokumen pembahasan, saya belum menemukan jawaban pasti
mengenai tujuan pembentukan Mahkamah Kehormatan ini. Namun dari penelusuran
pemberitaan di internet dari media yang cukup mempunyai kredibilitas, terlihat adanya tujuan
khusus untuk memberikan wewenang pemberian izin pemeriksaan anggota DPR kepada
Mahkamah Kehormatan. Perubahan nama Badan menjadi Mahkamah ditujukan untuk
menempatkan alat kelengkapan ini sebagai semacam lembaga yang mempunyai kedudukan yang
ditinggikan.
Benny K. Harman, anggota DPR dari Fraksi Partai Demokrat misalnya mengatakan, ketika UU MD3
masih dalam tahap pembahasan, perbedaan Badan Kehormatan dan Mahkamah Kehormatan
terletak pada kewenangan untuk membentuk komite penyelidikan. Lebih jauh dikatakannya juga,
"Didiskusikan tidak hanya anggota DPR saja atau tokoh-tokoh masyarakat. Kalau rumusan
MD3 melakukan pelanggaran sumpah janjinya, yang mengadili adakah BK. Tingkatkan
otoritasnya supaya lebih berwibawa, membentuk komite khusus untuk penyelidikan."10
Opini lainnya dari anggota DPR diungkapkan oleh anggota Komisi I DPR RI Hidayat Nur Wahid,
yang menekankan kehormatan anggota DPR RI. Nampak adanya keprihatinan mengenai
banyaknya anggota DPR yang terlibat dalam kasus korupsi. Harian Republika mengutip, Hidayat
menyatakan, saat ini anggota DPR terlalu mudah dipanggil menjadi saksi dalam persidanganpersidangan kasus korupsi. Hal ini menurutnya menimbulkan citra buruk di mata masyarakat dan
mengurangi kepercayaan publik terhadap parlemen. Dikatakannya:
10

Randi Ferdi Firdaus, UU MD3 baru, DPR wacanakan ganti BK jadi Mahkamah Kehormatan, Merdeka.com, 9 Juni
2014,
, dikutip pada 8 Oktober 2014.

9

“DPR itu dimanapun adalah orang yang terhormat. Mestinya memang mereka adalah orang
yang terhormat… Jadi di MD3 itu ada ketentuan bahwa nanti badan kehormatan itu nanti
akan berganti menjadi mahkamah kehormatan dewan. Mahkamah kehormatan itu yang
melaksanakan tugas-tugas badan kehormatan sekarang ditambah dengan beberapa hal
yang lain, termasuk kalau terkait dengan korupsi, terutama terkait dgn korupsi apalagi
tangkap tangan itu kembali lagi pada hukum KPK.”11
Bila tujuan pengaturan ini terkonfimasi, maka sesungguhnya Pasal 245 yang tengah diperiksa ini
memang dengan sengaja didisain untuk mempersulit pemanggilan anggota dewan oleh aparat
penegak hukum.

3.

SKEMA IDEAL PENGKHUSUSAN PROSES HUKUM BAGI ANGGOTA DEWAN

Meskipun dalam kesempatan ini saya tidak perlu menyampaikan masukan, pembahasan di atas
tidak akan jelas maksudnya bila tidak berujung pada skema ideal yang tepat bagi negara hukum
Indonesia. Maka izinkanlah saya memberikan sedikit kesimpulan mengenai skema ideal
pengkhususan proses hukum bagi anggota dewan sebagai penutup pemaparan ini.
Dalam konteks negara hukum, anggota dewan mempunyai peran signifikan. Dalam negara
hukum, ada aktor-aktor yang mempunyai peran penting dalam pelaksanaannya. Peran aparat
penegakan hukum dijaga dengan adanya prinsip independensi peradilan. Darinya diturunkan
perangkat aturan mengenai, antara lain, kode etik dan kode perilaku. Anggota dewan, di sisi
lainnya berperan sebagai pembentuk peraturan - pembentuk perangkat hukum. Konteks peran
anggota dewan berbeda dengan adanya konteks kompetisi dan prosedur politik. Namun dalam
tugasnya sebagai pembentuk perangkat hukum, terkandung suatu bentuk kerentanan, yaitu
dalam menyatakan pendapat dalam sidang dewan sebagai forum publik.
Anggota dewan berperan menyuarakan aspirasi publik, dalam bahasa Daniel Dhakidae, ada
“kuasa wicara” atau power of speech pada diri anggota dewan.12 Kuasa wicara ini perlu diberikan
proteksi khusus dalam konteks negara hukum agar bisa digunakan secara maksimal dalam proses
pembentukan hukum. Legislator harus merasa bebas dalam melaksanakan kuasa wicaranya.
Karena itu, dalam pandangan saya, pengkhususan ini dapat dibenarkan dalam konteks negara
hukum sepanjang tetap berada dalam koridor prinsip kemandirian kekuasaan kehakiman.
Ditambah, sesuai pendapat Mahkamah Konstitusi, perlakuan khusus ini tidak boleh bertentangan
11

DPR
Bentuk
Mahkamah
Kehormatan
Dewan,
Republika,
29
Agustus
2014,
, dikutip pada 8 Oktober 2014.
Daniel Dhakidae, “Dewan Perwakilan Rakyat dan Kemampuan Mengolah Kuasa Wicara,” dalam F. Harianto
Santoro (ed.), Wajah Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Pemilihan Umum 1999, (Jakarta: Kompas, 2000),
hlm. xxv.

12

10

dengan asas-asas peradilan pidana, apalagi sampai berakibat pada terhambatnya proses
hukum.13
Masalahnya, pemberian izin ternyata bertentangan dengan prinsip kemandirian kekuasaan
kehakiman, dan berakibat pada terhambatnya proses hukum, sehingga tidak tepat untuk
digunakan sebagai bentuk kekhususan dimaksud. Apalagi, rationale proses pemberian izin ini
tidak sejalan dengan pemahaman mengenai negara hukum karena merupakan warisan
pengaturan yang sudah bersifat usang dan tak layak lagi diterapkan, yaitu penjagaan martabat
dan kehormatan pejabat.
Argumen pemberian kekhususan yang lebih dapat diterima dalam konteks negara hukum dan
jamak dipraktekkan dalam praktek ketatanegaraan kontemporer adalah argumen pelaksanaan
tugas. Apalagi dalam konteks penegakan hukum di Indonesia pada saat ini yang masih belum bisa
memberikan kepastian waktu dalam proses peradilan.
Selain itu, perlu digarisbawahi, dalam praktik, ada persoalan kriminalisasi terhadap pejabat
negara. Dalam konteks politik dan hukum Indonesia pada saat ini, concern ini sangat valid dan
telah terbukti terjadi, misalnya dalam kasus kriminalisasi Pimpinan Komisi Pemberantasan
Korupsi pada 2009 lalu. Untuk itu, skema ideal yang perlu dipertimbangkan adalah
dikembalikannya forum privilegiatum dalam hukum Indonesia. Perlu ada prosedur yang
dipercepat, terbuka, dan dapat dipertanggungjawabkan, agar pejabat-pejabat negara tetap
dapat menjalankan tugasnya sebagai pejabat negara, tanpa melanggar prinsip kesamaan
kedudukan di hadapan hukum dan independensi kekuasaan kehakiman.

Jakarta, 9 Oktober 2014.

13

Putusan MK No. 6-13-20/PUU-VIII/2010 jo. Putusan MK No. 73/PUU-IX/2011