PEMILU DALAM KAJIAN FIQH SIYASAH

PEMILU DALAM KAJIAN FIQH SIYASAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Fiqih siyasah
Dosen Pengampu : H. Murjani, SH., MH

Oleh
Fathur Rozi
Ridwansyah
Rijal Imanullah

Jurusan Syari’ah
Program Studi Ahwal As-Syakhsyiyyah
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN)
Samarinda
2013

BAB I
PEMDAHULUAN

A. Latar Belakang
Di kebanyakan negara demokrasi, pemilihan umum dianggap lambang,

sekaligus tolak ukur dari sebuah demokrasi. Hasil pemilihan umum yang
diselenggarakan dalam suasana keterbukaan dengan kebebasan berpendapat
dan kebebasan berserikat, dianggap mencerminkan walaupun tidak begitu
akurat, partisipasi dan kebebasan masyarakat. Sekalipun demikian, disadari
bahwa pemilihan umum (PEMILU) tidak merupakan satu-satunya tolak ukur
dan perlu dilengkapi dengan pengukuran beberapa kegiatan lain yang lebih
bersifat berkesinambungan, seperti partisipasi dalam kegiatan partai, lobbying,
dan sebagainya.
Di banyak negara berkembang beberapa kebebasan seperti yang
dikenal di dunia barat kurang diindahkan. Seperti Indonesia, perkembangan
demokrasi di Indonesia telah mengalami pasang surut. Selama 67 tahun
berdirinya Republik Indonesia ternyata masalah pokok yang kita hadapi
adalah bagaimana dalam masyarakat yang beraneka ragam pola budayanya
dapat mempertinggi tingkat kehidupan ekonomi disamping membina suatu
kehidupan sosial dan politik yang demokratis.pada pokok masalah ini berkisar
pada penyusunan suatu sistem politik dimana kepemimpinaan cukup kuat
untuk melaksanakan pembangunan ekonomi serta nation building, dengan
partisipasi rakyat seraya menghindarkan timbulnya diktator.
Pemilihan umum juga menunjukkan seberapa besar partisipasi politik
masyarakat, terutama di negara berkembang. Kebanyakan negara ini ingin

cepat mengadakan pembangunan untuk mengejar keterbelakangannya, karena
dianggap bahwa berhasil-tidaknya pembangunan banyak bergantung pada
partisipasi rakyat. Ikut sertanya masyarakat akan membantu penanganan
masalah-masalah yang ditimbulkan oleh perbedaan-perbedaan etnis, budaya,
status sosial, ekonomi, budaya, dan sebagainya. Integritas nasional,

1

pembentukan identitas nasional, serta loyalitas terhadap negara diharapkan
akan ditunjang pertumbuhannya melalui partisipasi politik.
Di beberapa negara berkembang partisipasi yang bersifat otonom,
artinya lahir dari mereka sendiri, masih terbatas. Di beberapa negara yang
rakyatnya apatis, pemerintah menghadapi masalah bagaimana meningkatkan
partisipasi itu, sebab jika partisipasi mengalami jalan buntu , dapat terjadi dua
hal yaitu “anomi” atau justru “ revolusi”. Maka melalui pemilihan umum yang
sering didefenisikan sebagai “ pesta kedaulatan rakyat”, masyarakat dapat
secara aktif menyuarakan aspirasi mereka baik itu ikut berpartisipasi dalam
kegiatan partai, ataupun “menitipkan” dan “mempercayakan” aspirasi mereka
pada salah satu partai peserta PEMILU yang dianggap dapat memenuhi , serta
menjalankan aspirasi masyarakat tyang telah dipercayakan pada partai

tersebut.
Indonesia sebagai salah satu negara berkembang dan juga sebagai
demokrasi

yang sedang berusaha mencapai

stabilitas

nasional dan

memantapkan kehidupan politik juga mengalami gejolak-gejolak sosial dan
politik dalam proses pemilihan umum.
Hal inilah yang menjadi latar belakang kami dalam menulis makalah
ini, dari perspektif fiqh siyasah. Karena fiqh siyasah dalam pembahasannya
sendiri membahas nilai-nilai kedaulatan rakyat atas seorang pemimpin.

2

BAB II
PEMBAHASAN


A. Landasan Teori
Dalam undang-undang nomor 10 tahun 2008 tentang pemilu, pemilu
merupakan sarana pelaksana asas kedaulatan rakyat dalam Negara republik
Indonesia.

Pemilu

dilaksanakan

berdasarkan

asas

pancasila

dengan

mengadakan pengumutan suara secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur,
dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan pancasila

dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.1 Pemilu
diselenggarakan untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan
DPRD kabupaten/kota.2
Perencanaan, penyelenggaraan, dan pelaksanaan pemilu dilaksanakan
atas asas-asas demokrasi yang dijiwai semangat pancasila dan UUD 1945.
Cara penangkalan yang paling efektif dalam kaitannya dehgan pemilu adalah
meningkatkan kesadaran hukum dan kesadaran politik masyarakat oleh
pemerintah.
Pemilu di dalam sistem demokrasi terikat dengan prinsip demokrasi
sekuler. Pemilu dalam sistem demokrasi ditujukan untuk memilih wakil rakyat
yang memiliki beberapa fungsi, salah satunya adalah fungsi legilasi dan
control. Hal ini dijelaskan di dalam Undang-undang nomor 10 tahun 2008
tentang pemilu. Didalam pasal 3 undang-undang tersebut dinyatakan:
“Pemilu diselenggarakan untuk memilih DPR, DPD, DPRD Provonsi,
dan DPRD Kabupaten/Kota.”
Selain itu pemilu dalam negatra demokrasi merupakan mekanisme
pemerintahan yang ditunjukkan ungtuk mempertahankan sistem demokrasisekularistik. Kenyataan ini tampak jelas dam undang-undang nomor 10 tahun
2008, tentang pemilihan umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR),
Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
1

2

Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 tahun 2008.
Pasal 3 Undang-Undang Nomor 10 tahun 2008.

3

(DPRD) Tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota, dalam bab I yaitu ketentuan
umum yang menyatakan “Pemilihan umum yang selanjutnya disebut Pemilu
adalah sarana pelaksana kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.” 3
Pemilu adalah memilih wakil rakyat, yang menjadi sorotan utama yaitu
perkara yang diwakilkan yakni untuk melakukan aktivitas akad perwakilan
yang dilaksanakan. Dengan kata lain, aktivitas para wakil rakyat seharusnya
sesuai dengan syariah islam maka wakalah boleh dilakukan, sebaliknya jika
tidak sesuai maka wakalah tersebut menjadi batil dan karenanya haram
dilakukan.
Dalam pandangan hukum islam, pemilu merupakan cara untuk
memilih wakil rakyat dan merupakan salah satu bentuk akad perwakilan

(wakalah). Hukum asal wakalah adalah mubah (boleh), dalilnya terdapat
dapan hadits shahih penuturan Jabir bin Abdillah r.a yang berkata:

‫ فاتيْت ال ب ُي صلى ه‬,‫الى خيْبر‬
‫َ عليه‬
) ‫صحح‬

‫َ ضي ه‬
‫عن جابر بْن ع ْب ه‬
ْ ‫ أ‬:‫َ ع ْ ْم قال‬
ْ

‫م ْه خمس عشر سقا ( ا أبو ا‬

‫ ف‬,‫ ا ا أتيْت كيْلي ب يْبر‬:‫سلم فقال‬

Artinya: “Aku pernah hendak berangkat ke khaibar. Lalu aku menemui Nabi
Saw. Beliau kemudian bersabda: Jika engkau menemui wakilku dikhaibar,
ambillah olehmu darinya lime belas wasaq.” 4
Adapun dalam sistem demokrasi5, pemilu untuk memilih penguasa

adalah dalam rangka menjalankan sistem sekular, bukan sistem islam. Maka
status pemilu legialatif tidak sama dengan pemilu eksekutif. Dalam konteks
pemilu legialatif, status pemilu merupakan akad wakalah sehingga berlaku
ketentuan sebelumnya. Namun dalam konteks pemilu eksekutif statusnya
3

Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 tahun 2008.
H.R Abu Daud
5
Demokrasi yaitu pemerintahan rakyat; pemerintah yang segenap rakyat turut serta
memerintah dengan perantara wakil-wakilnya. Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional,
Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2007), hal. 278
4

4

tidak bisa lagi disamakan dengan status akad wakalah, melainkan akad ta’yin
wa tansib (memilih dan mengangkat) untuk mejalankana hokum-hukum
tertentu. Dalam hal ini statusnya kembali pada hokum apa yang hendak
diterapkan. Jika hokum yang diterapkan hokum Islam maka memilih penguasa

bakan saja mubah atau boleh melainkan wajib.6 Menurut Al-Farabi Negara
demokrasi adalah Negara yang tujuan penduduknya menganut kebebasan dan
setiap penduduknya melakukan apa yang dikehendaki tanpa sedikit pun yang
mengekang kehendaknya.7
Aturan ini semakin memperjelas bahwa pemilu merupakan media
untuk

melanggengkan

rezim

demokratik-sekularistik

yang

jelas-jelas

bertentangan dengan aqidah dan syari’ah Islam. Akan tetapi Allah swt Maha
Tahu dan Maha Hakim untuk memilih jalan menuju keadilan dan memberi ciri
dan tanda. Maka apapun jalan yang bisa membawa tegaknya keadilan maka

hal itu merupakan bagian dari agama dan tidak bertentangan dengan agama.
Dalam Islam apapun yang bisa melahirkan keadilan, maka dalam
bagian dari politik harus sesuai dengan syariah. Tidak ada keraguan bahwa
siapa yang menjabat sebuah kekuasaan harus menegakkan keadilan sesuai
dengan syariah Islam. Jika memang ada kemaslahatan yang dihasilkan bagi
kaum muslimin danm memiliki tujuan untuk memperbaiki parlemen ini agar
menjadi lebih baik dan berasaskan Islam, maka ini adalah suatu hal yang baik
karena bertujuan untuk mengurangi kejahatan terhadap kaum muslim dan
menghasilkan sebagian kemaslahatan.
Pada akhirnya yang paling dibutuhkan adalah al-fiqh atau pemahaman
yang baik dan bijak akan nilai-nilai syariah Allah, agar dapat melaksanakan
secara tepat dan benar sesuai dengan yang dikehendaki oleh Allah swt yang
menurunkan rahmat bagi alam semesta.

6

Abdul Karim Zaidana, Masalah Kenegaraan Dalam Pandangan Islam, (Jakarta:
Yayasan Al-Amin Kramat Raya, 1984), hal. 23
7
Al-Farabi dan Khomeini, Filsafat Politik Islam, (Bandung: Mizan, 2002), hal. 75


5

B. Sistem Pemilu di Indonesia
Pada hakekatnya menurut Ali Murtopo, pemilihan umum adalah
sarana yang tersedia bagi rakyat untuk menajlankan kedaulatannya dan
merupakan lembaga demokrasi.8 Pemilihan umum menurut Manuel Kaisiepo
memang telah menjadi tradisi penting hampir-hampir disakralkan dalam
berbagai sistem politik dunia. Lebih lanjut dikatakannya pemilihan umum
penting karena berfungsi memberi legitimasi9 atas kekuasaan yang ada dan
bagi rezim baru, dukungan dan legitimasi inilah yang dicari.10
Berbeda dengan Konstitusi RIS dan UUDS 1950, UUD 1945 dalam
pasal-pasalnya tidak secara jelas mengatur tentang pemilihan umum.
Ketentuan-tentang pemilihan itu hanya berkembang dari :
1. Pasal 1 ayat 2 UUD 1945 yang menyatakan “kedaulatan ada di tangan
rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR.” Syarat kedaulatan rakyat
adalah Pemilihan Umum.
2. Pasal 7 UUD 1945 yang menyatakan, “Presiden dan Wakil Presiden
memegang jabatannya selama 5 tahun dan sesudahnya dapat dipilih
kembali;”
3. Penjelasan Pasal 3 UUD 1945 yang menyatakan “…sekali dalam lima
tahun Majelis memerhatikan segala hal yang terjadi…” Dari butir 2 dan 3
dapat dikembangkan bahwa pemilu di Indonesia dilaksanakan sekali
dalam lima tahun.
4. Pasal 19 UUD 1945, susunan DPR ditetapkan dengan undang-undang.
Undang-undang yang dimaksud berarti mengatur Pemilihan Umum.11
Masalah pemilu diatur secara tegas dalam UUD 1945 bab VII B
tentang Pemillu. Pasal 22 E berbunyi sebagai berikut.
1. Pemilihan umm dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia,
jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.

8

Ali Murtopo, Strategi Pembangunan Nasional, (Jakarta: CSIS, 1981), hal 179
Legitimasi yaitu keterangan yang mengesahkan atau membenarkan bahwa pemegang
keterangan itu betul-betul dia. Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Umum
Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2007), hal. 680
10
Manuel Kaisiepo, Pemilihan Umum, (Jakarta: Prisma, 1981 ), hal. 2
11
Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta : RajaGrafindo Persada,
2012), hal. 286.
9

6

2. Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota
Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil
Presiden, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
3. Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan
Rakyat dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai
politik.
4. Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan
Daerah adalah perseorangan.
5. Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum
yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri.
6. Ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur dalam undangundang.12
Masyarakat Indonesia sebenarnya dapat dikatakan telah akrab dengan
pemilu. Secara teratur setiap lima tahun sekali, semenjak 1971, Indonesia
menyelanggarakan pemilu untuk memilih anggota-anggota DPRD I, DPRD II,
DPR dan imbangan suara untuk MPR. Sebelum masa liberal, Indonesia telah
menyelenggarakan pemilu satu kali, yaitu pada 25 September 1955.
Sistem pemilu ysng dianut pada Pemilu 1955 dapat disebutkan sebagai
sistem proposional murni dengan sistem daftar (list systems). Para pemilih
diberi kesempatan secara teoritis untuk memilih tanda gambar atau orang yang
ada dalam daftar calon yang diajukan orsospol peserta pemilu dan perorangan.
Sementara sistem pemilu yang dianut sejak 1971 sampai sekarang
adalah sistem proposional (suara berimabang) dan stelsel daftar. Sistem itu
dikombinasikan atau mengandung unsur-unsur sistem distrik dengan
memperhatikan faktor geografis dan demografis adnata Jawa dan Luar Jawa.13
Umumnya anggota partai politik duduk dilembaga perwakilan
memalui pemilihan umum, tetapi karena ada kelompok fungsional dalam
masyarakat yang dibutuhkan duduk di lambaga perwakilan maka dikenal cara
pengangkatan atau penunjukan oleh organisasi fungsionalnya atau perwakilan
etnis daerah. Sehubungan dengan itu maka umumnya cara yang biasa dianut
12

Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia (Surabaya: Pustaka Agung
Harapan), hal. 13
13
Bintan R. Saragih, Evaluasi Pemilu Orde Baru, (Bandung: Mizan, 1997), cet. 1, hal. 33

7

untuk mengisi keanggotaan lembaga perwakilan melalui pengangkatan
(penunjukan) atau pengangkatan biasa yang disebut sistem pemilihan organis
dan pemilihan umum yang disebut sistem pemilihan mekanis. Tetapi
pelaksanaana kedua sistem tersebut tidak sama

disemua Negara, karena

biasanya disesuaikan dengan masing-masing Negara.14
1. Sistem Pemilih Organis
Menurut Prof. G. Y. Wolhoff, dalam sistem organis ini rakyat
dipandang sebagai sejumlah individu-individu yang hidup bersama-sama
dalam beraneka warna persekutuan hidup seperti genealogi (rumah
tangga), territorial, fungsional special (cabang industri), lapisan-lapisan
sosial, dan lembaga sosial. Masyarakat dipandangnya sebagai suatu
organisasi yang terdiri dari organ-organ yang mempunyai kedudukan dan
fungsi tertentu dan totalitet organisasi itu, yaitu persekutuan-persekutuan
hidup di atas. Persekutuan-persekutuan hidup inilah sebagai pengendali
hak pilih, atau lebih tepat sebagai hak untuk mengutus wakil-wakil kepada
perwakilan masyarakat.15
2. Sistem Pemilihan Mekanis
Dalam pemilihan mekanis menurur Prof. Wolhaff rakyat
dipandang sebagai massa individu-individu yang sama. Individu-individu
inilah sebagai pengendali sebagai pengendali hak pilih aktif dalam masingmasing mengeluarkan satu suaru dalam tiap pemilihan untuk satu lembaga
perwakilan.16
Sistem pemilihan mekanis biasanya dilaksanakan dengan dua
sistem pemilihan umum, yaitu:
a. Sistem Distrik
Sistem Distrik yaitu sistem pemilihan yang didasarkan atas kesatuan
wilayah dan setiap kesatuan wilayah hanya mempunyai satu wakil
14

Bintan R. Saragih, Lembaga Perwakilan dan Pemilihan Umum di Indonesia, (Jakarta:
Gaya Media Pratama, 1987), hal. 171
15
G.Y. Wolhoff, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: Timun Mas,
1960), hal. 323-324
16
Ibid. hal. 323

8

dalam dewan perwakilan rakyat. Dalam sistem ini jumlah perwakilan
sama dengan jumalah distrik (kesatuan wilayah).17
b. Sistem Proposional
Sistem Proposional atau sistem berimbang merupakan sisten pemilihan
yang didasarkan pada prinsip bahwa jumlah kursi yang diperoleh oleh
suatu organisasi peserta pemilihan umum disesuaikan dengan
perimbangan jumlah suara yang diperolehnya dalam pemilihan
umum.18

Sistem pemilu yang dianut di Indonesia tidak meurni sistem
Proposional tetapi dapat disebutkan mengandung unsur-unsur proposional
dan unsur-unsur sistem pemilihan distrik dan mengembangkan faktorfaktor objektif yang ada di Indonesia. Karena itu dalam sistem pemilu di
Indonesia ada tiga unsur penting yang dianut, yaitu:
1. Sistem perwakilan berimbang, yaitu dirumuskan dalam pemjelasan UU
No. 15 Tahun 1969.
2. Dianutnya imbangan wakil terpilih dari Jawa dan Luar Jawa yang
diatur dalam pasal 6 UU No. 15 Tahun 1969.
3. Imbangan tersebut dalam butir 2 memungkinkan dianutnya unsur
dalam sistem distrik sebagaimana diatur dalam pasal 5 ayat (2b) yang
berbunyi “Tiap Dati II sekurang-kurangnya mempunyai seorang wakil
di DPR.”
C. Sistem Pemilu Dalam Islam
Pemilu memang ada dan dibolehkan dalam Islam. Sebab, kekuasaan
itu ada ditangan umat. Ini merupakan salah satu prinsip dalam sistem
pemerintahan Islam. Prinsip ini terlaksanan melalui baiat dari pihak umat

17
18

Amin Suprihatin, Pemilu dari Masa ke Masa, (Klaten: Campaka Putih, 2008), hal. 7
Ibid. hal. 8

9

kepada seorang untuk menjadi khalifah.19 Prinsip ini berarti, seseorang tidak
akan menjadi penguasa (khalifah), kecuali atas dasar pemilihan dan kerelaan
umat. Disinilah pemilu dapat menjadi salah satu cara bagi umat untuk memilih
siapa yang mereka kehendaki untuk menjadi khalifah.
Sistem pemilihan umum sebenarnya telah ada di dalam Islam, yaitu
pada masa Al-Khulafa Ar-Rasyidin. Tetapi, pada masa empat Al-Khulafa alRasyidin, tidak ada terdapat satu pola yang baku mengenai pengangkatan
khalifah atau kepala Negara. Abu Bakar diangkat melalui pemilihan dalam
satu musyawarah terbuka. Umar bin Khattab diangkat melalui penunjukkan
oleh pendahulunya, dan tidak melalui pemilihan dalam pertemuan terbuka,
namun penunjukkan tersebut berdasarkan konsultasi tertutup dengan beberapa
sahabat senior. Utsman bin Affan diangkat melalui pemilihan dalam satu
pertemuan terbuka oleh “dewan formatur”. Ali bin Abi Thalib diangkat
melalui pemilihan dan pertemuan terbuka, namun dalam situasi kacau, ketika
itu hanya ada beberapa tokoh senior masyarakat Islam yang tinggal di
Madinah.20
Dalam masalah pemilihan dan pengangkatan khalifah, ada metode
(thariqah) yang tetap dan hukumnya wajib, ada pula cara (uslub) yang bias
berubah dan hukumnya mudah. Dalam hal ini ada satu metode untuk
mengangkat seorang khalifah, yaitu baiat yang hukumnya adalah wajib. Dalil
wajibnya baiat adalah sabda rasulullah SAW : “siapa saja yang mati,
sedangkan dilehernya tidak ada baiat, maka ia mati seperti mati jahiliyah”.21
Rasulullah mencela dengan keras orang yang tidak punya baiat,
dengan sebutan “mati jahiliyah”. Artinya, ini merupakan indikasi, bahwa baiat
itu adalah wajib hukumnya.22
Istilah baiat berasal dari kata bai’at yang berarti “menjual”. Baiat,
mengandung makna perjanjian; janji setia atau saling berjanji dan setia. Dalam
19

J. Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah: Agama, Sejarah, dan Pemikiran, (Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2002), hal. 72
20
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, (Jakarta : UI-Press, 2003), hal. 30
21
H.R. Shahih Muslim
22
J. Suyuthi Pulungan. op. cit. hal. 73

10

pelaksanaan baiat selalu melibatkan dua pihak secara suka rela. Maka istilah
baiat secara istilah adalah ungkapan perjanjian apa yang dimilikinya dan
menyerahkan dirinya dan kesetiannya kepada pihak kedua secara ikhlas dalam
hal urusannya.23
Dalam Baiat terjadi penyerahan hak dan pernyataan ketaatan dan
kewajiban pihak pertama secara sukarela kepada pihak kedua. Pihak kedua
juga punya hak dan kewajiban atas hak pihak pertama yang diterimanya. Jadi
pelaksanaan hak dan kewajiban antara dua pihak berlangsung secara timbal
baik.24
Implementasi baiat dalam hak dan kewajiban secara timbal balik
tergambar di dalam Al-Qur’an.
              
           
             
“Hai Nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan yang beriman
untuk Mengadakan janji setia, bahwa mereka tiada akan menyekutukan Allah,
tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak-anaknya,
tidak akan berbuat Dusta yang mereka ada-adakan antara tangan dan kaki
mereka dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik, Maka
terimalah janji setia mereka dan mohonkanlah ampunan kepada Allah untuk
mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.25
Menurut Ibnu Khaldun sebagaimana dikutip oleh Suyuthi Pulungan,
baiat adalah perjanjian atas dasar kesetiaan, bahwa orang yang berbaiat
menerima seseorang yang terpilih menjadi kepala Negara (amir) sebagai

23

Ibid. hal.72
Ibid.
25
Q.S. Al-Mumtahanah : 12
24

11

pemimpinnya dalam melaksanakan urusannya dan semua urusan kaum
muslimin. 26
Adapun tata cara baiat, sebelum dilakukan akad baiat, merupakan
uslub yang bisa berbeda-beda dan berubah-ubah. Dari sinilah pemilu
(intikhabat) boleh dilakukan untuk memilih khalifah. Sebab, pemilu adalah
salah satu cara diantara sekian cara yang ada untuk melaksanakan baiat, yaitu
memilih khalifah yang akan dibaiat.27
Mengapa cara pemilihan khalifah boleh berbeda dan berubah,
termasuk dibolehkannya juga mengambil cara pemilu ? sebab ada ijma
sahabat mengenai tidak wajibnya untuk mengangkat tangan berpegang tangan
dengan satu cara tertentu untuk mengangkat khalifah, sebagaimana yang
terjadi pada masa khulafaur rasyidin. Cara yang ditempuh (sebelum baiat)
berbeda-beda untuk masing-masing khalifah. Namun, pada semua khalifah
yang empat itu selalu ada metode (thariqah) yang tetap dan tidak berubahubah, yaitu baiat. Baiat inilah yang menjadi satu-satunya metode untuk
mengangkat khalifah, tidak ada metode lain.28
Baiat

menurut

pengertian

syariah

adalah

hak

umat

untuk

melangsungkan akad khalifah. Baiat ada duam macam: pertama, baiat in’iqad,
yaitu baiat akad khilafah. Baiat ini merupakan penyerahan kekuasaan oleh
orang yang membaiat kepada seseorang sehingga kemudian ia menjadi
khalifah. Kedua, baiat at-ta’at ata bay’ah ‘ammah, yaitu baiat dari kaum
muslimin yang lainnya kepada khalifah, yang cukup ditampakkan dengan
perilaku umat menaati khalifah.29
Baiat tersebut merupakan metode yang ditetapkan untuk mengangkat
khalifah. Maka dari itu, pada masa khulafaaur rasyidin, akan selalu dijumpai
adanya baiat dari umat kepada khalifahnya masing-masing. Adapun cara
praktis pengangkatan khalifah atau cara (uslub) yang ditempuh sebelum baiat
26

J. Suyuthi Pulungan, op. cit. hal. 74.
A. Djazuli, fiqh Siyasah: Implementasi Kemaslahatan Umat dalam Rambu-Rambu
Syariah, (Jakarta: Kencana, 2003), cet. III, hal. 68
28
Ibid. hal. 7
29
J. Suyuthi Pulungan. op. cit. hal. 72
27

12

telah dilangsungkan dengan cara yang berbeda-beda. Dari cara-cara yang
pernah dilakukan pada masa khulafaaur rasyidin, dapat diambil pengangkatan
sebagai berikut:30
Pertama, cara seperti yang terjadi pada pengangkatan khalifah Abu
Bakar As-Shiddiq yaitu setelah wafatnya khalifah, dilakuakan 5 (lima)
langkah berikut:
1. Diselenggarakan pertemuan oleh mayoritas Ahl Al-Hall Wa AlAqdi,
2. Ahl Al-Hall Wa Al-Aqdi melakukan pencalonan bagi satu atau
beberapa orang tertentu yang layak untuk menjabat khalifah,
3. Dilakukan pemilihan terhadap salah satu calon tersebut,
4. Dilakukan baiat in’iqad bagi calon yang terpilih,
5. Dilakukan baiat at-ta’at oleh umumnya umat kepada khalifah.31
Kedua, cara seperti yang terjadi pada pengangkatan khalifah Umar bin
Khattab, yaitu ketika seorang khalifah merasa wafatnya seudah dekat, dia
melakukan dua langkah berikut, baik atas inisiatifnya sendiri atau atas
permintaan umat:
1. Khalifah itu meminta pertimbangan kepada Ahlul Halli Wal Aqdi
mengenai siapa uang akan menjadi khalifah setelah ia meninggal,
2. Khalifah melakukan inisiatif atau ‘ahd (penunjukkan pengganti)
kepada seseorang yang akan menjadi setelah khalifah itu
meninggal.
Setelah itu dilakukan dua langkah lagi, yaitu:
1. Calon khalifah yang telah ditunjuk dibaiat dengan baiat in’iqad
untuk menjadi khalifah,
2. Dilakukan baiat at-ta’at oleh umat kepada khalifah.32

30

A. Djazuli. op. cit. hal. 65
Ibid. hal. 66
32
Ibid. hal. 67
31

13

Ketiga, cara seperti yang terjadi pada pengangkatan khalifah Utsman
bin Affan, yaitu ketika seorang khalifah dalam keadaan sakaratulmaut, atas
inisiatifnya sendiri atau atas pwrmintaan umat, ia melakukan langkah sebagai
berikut:
1. Khalifah melakukan penunjukana pengganti bagi beberapa orang
yang layak menjadi khalifah dan memerintah mereka agar memilih
salah seorang mereka untuk menjadi khalifah setelah ia meninggal,
dalam jangka waktu tertentu, maksimal tiga hari. Setelah khalifah
meninggal dilakukan langkah,
2. Beberapa orang calon khalifah itu melakukan pemilihan terhadap
salah seorang dari mereka untuk menjadi khalifah,
3. Mengumumkan nama calon terpilih kepada umat,
4. Umat melakukakn pembaiatan an’iqad kepada calon terpilih itu
untuk menjadi khalifah,
5. Dilakukan baiat at-ta’at oleh umat secara umum kepada khalifah.33
Keempat, cara seperti yang terjadi pada pengangkatan khalifah Ali bin
Abi Thalib, yaitu setelah wafat khalifah, dilakukan langkah sebagai berikut:
1. Ahlul Halli Wal Aqdi mendatangi seseorang yang layak menjadi
khalifah,
2. Ahlul Halli Wal Aqdi meminta orang tersebut untuk menjadi
khalifah, dan orang itu menyatakan kesediaan setelah merasakan
kerelaan mayoritas umat,
3. Umat melakukan baiat at-ta’at oleh umat secara umum kepad
khalifah.34

Itulah empat cara pengangkatan khlaifah yang diambil dari praktik
pada masa khulafaur rasyidin. Berdasarkan cara pengangkatan khulafaur
rasyidin diatas, khususnya pengangkatan khalifah Utsman bin Affan, Imam
33
34

Ibid. hal. 68
Ibid. hal. 69

14

Taqiyuddin An-Nabhani dan Imam Abdul Qadim Zallum lalu mengusulkan
satu cara dalam pengangkatan. Diasumsikan telah ada majelis umat yang
merupakan majelis wakil umat dalam melakukan musyawarah dan muhasabah
(pengawasan) kepada penguasa. Cara pengangkatan khalifah ini terdiri dari
empat langkah, diantaranya:35
1. Para anggota majelis umat yang muslim melakukan seleksi terhadap calon
khalifah, mengumumkan nama-nama mereka, dan meminta umat Islam
untuk memilij salah satu dari mereka. Disinilah Pemilu bias dilaksanakan
sebagai pelaksanaannya.
2. Majelis umat mengumumkan hasil oemilihan umum dan umat Islam
mengetahui siapa yang meraih suara terbanyak.
3. Umat Islam segera membaiat orang yang meraih suara terbanyak sebagai
khalifah.
4. Setelah selesai baiat, diumumkan ke segenap penjuru orang yang menjadi
khalifah hingga berita pengangkatanya sampai ke seluruh umat, dengan
menyebut nama dan sifat-sifatnya yang membuatnya layak menjadi
khalifah.

Disamping pemilu untuk memilih khalifah, dalam sistem politik Islam
juga ada pemilu untuk memilih para anggota majelis umat. Jadi, proses untuk
menjadi anggota lembaga tersebut adalah melalui pemilihan (al-intikhabat)
oleh umat, bukan melalui pengangkatan/ penentuan oleh khalifah. Mengapa
melalui pemilihan? Sebab, disini berlaku akad wakalah (perwakilah). Anggota
majelis umat adalah wakil-wakil rakyat dalam penyampaian pendapat (arra’yu) dan pengawas kepada penguasa. Sedangkan wakil itu tiada lain dipilih
oleh yang mewakilinya. Karena itu, anggota majelis umat haruslah dipilih oleh
umat, bukan diangkat atau ditentukan oleh khalifah.36

35
36

Ibid. hal. 71
Abul A’la Al-Maududi. Hukum dan Konstitusi Politik Islam, (Bandung: Mizan, 1993),

hal. 245

15

Mengingat pemilu untuk memilih anggota majelis umat adalah akad
wakalah. Maka implikasinya berbeda dengan akad khilafah. Dalam akad
wakalah, pihak muwakil (yang mewakilkan) berhak memberhentikan
wakilnya, sebagaimana pihak wakil boleh pula memberhentikan dirinya
sendiri. Sebab, akad wakalah adalah akad yang tidak mengikat. Maka dari itu,
umat memiliki hak untuk memberhentikan para wakilnya di majelas umah. Ini
berbeda dengan akad khilafah, sebab dalam akad khilafah umat tidak berhak
memberhentikan khalifah. Jadi, meskipun umat mengangkat dan membaiat
khalifah, tetapi umat tidak berhak memberentikan khalifah, selama akad bait
telah dilakukan sempurna sesuai dengan syarian. Jika khalifah melanggar
syariah Islam, yang berhak memberhentikannya adalah mahkamah mazalim,
yaitu lembaga peradilan yang bertugas menyelesaikan persengketaan Antara
umat dan penguasa atau Negara.37
Ketika Islam membolehkan pemilu untuk memilih khalifah atau
anggota majelis umat, bukan berarti pemilu dalam Islam identic dengan
pemilu dalam sistem semokrasi sekarang. Dari segi cara atau teknis (uslub),
memang boleh dikatakan sama Antara pemilu dalam sistem demikrasi dan
pemilu dalam sistem Islam.
Namun demikian, dari segi falsafah dasar, prinsip, dan tujuan
keduanya sangatlah berbeda. Pertama, pemilu dalam demokrasi didasarkan
pada dasar falsafah dasar demokrasi itu sendiri, yaitu pemisahan agama dari
kahidupan (sekularisme), sedangkan pemilu dalam Islam didasarkan pada
akidah Islam, yang tidak pernah mengenal pemisahan agama dan kehidupan.38
Kedua, pemilu dalam sistem demokrasi didasarkan pada prinsip
kedaulatan ditangan rakyat, sehingga rakyat disamping mempunyai hak
memilih penguasa, juga berhak membuat hokum. Sebaliknya, pemilu dalam
Islam didasarkan pada prinsip kedaulatan ditangan syariah. Bukan ditangan
rakyat. Jadi, meskiupn rakyat berhak memilih pemimpinnya, kehendak rakyat

37
38

Ibid. hal. 247
Ibid. hal. 144

16

wajib tunduk pada hokum al-Qur’an dan as-Sunah. Rakyat tidak boleh
membuat hokum sendiri sebagaimana yang berlaku dalam demokrasi.39
Ketiga, tujuan pemilu dalam sistem demokrasi adalah memilih
penguasa yang akan menjalankan peraturan yang dikehendaki dan dibuat oleh
rakyat. Sebaliknya, pemilu dalam Islam bertujuan untuk memilih penguasa
yang akan menjalankan kitabullah dan sunnah Rasul-Nya.40
Dari sisi fakta kepala Negara berbeda dengan wakil rakyat, baik dari
sisi kewenangan, tugas, syarat, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, hukum
pemilu presiden dan pemilu wakil rakyat tidak boleh disamratakan, akan tetapi
harus dikaji secara terpisah, karena adanya perbedaan fakta diantara keduanya.
Pada prinsipnya, syariah Islam telah menggaris sejumlah syarat yang
harus dipenuhi seseorang agar ia layak dipilih sebagai kepala Negara. Syaratsyarat itu adalah:
1. Muslim. Jabatan kepala Negara tidak boleh diserahkan kepada orang kafir.
Pasalnya Islam telah melarang kaum muslim memberikan jalan kepada
orang kafir untuk menguasai. Selain itu, al-qur’an menyatakan dengan
jelas, bahwa ulil amri haruslah berasal dari kaum muslim.
             
              
 
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya),
dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat
tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan
Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari

39
40

Ibid. hal. 159
Ibid. hal. 160

17

kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya.”41
2. Kepala Negara harus seorang laki-laki.
3. Baligh, yakni telah mencapai usia mukallaf.
4. Berakal.
5. Kepala Negara harus adil. Jabatan kepala Negara tidak boleh diberikan
kepada orang fasik.
6. Merdeka atau mampu mengatur dan menguasai urusannya sendiri, da tidak
dibawah kendali atau penguasaan orang lan.
7. Mampu menjalankan tugas-tugas kenegaraan.
Jika syarat-syarat diatas ada pada diri seseorang, maka ia absah dipilih
untuk menduduki jabatan kepala Negara.42

41

Q.S An-nisa: 59
Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada, Fiqh Siyasah: Doktrin dan Pemikiran Politik
Islam, (Jakarta: Erlangga, 2008), cet. 1, hal. 95-107
42

18

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Pemilihan umum yang selanjutnya disebut Pemilu adalah sarana
pelaksana kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun
1945. Sistem pemilihan secara umum terbagi mejadi dua, yaitu:
1. Sistem Pemilih Organis
2. Sistem Pemilihan Mekanis
a. Sistem Distrik
b. Sistem Proposional
Sistem pemilu yang dianut di Indonesia tidak meurni sistem
Proposional tetapi dapat disebutkan mengandung unsur-unsur proposional dan
unsur-unsur sistem pemilihan distrik dan mengembangkan faktor-faktor
objektif yang ada di Indonesia.
Pemilu memang ada dan dibolehkan dalam Islam. Sebab, kekuasaan
itu ada ditangan umat. Ini merupakan salah satu prinsip dalam sistem
pemerintahan Islam. Prinsip ini terlaksanan melalui baiat dari pihak umat
kepada seorang untuk menjadi khalifah. Prinsip ini berarti, seseorang tidak
akan menjadi penguasa (khalifah), kecuali atas dasar pemilihan dan kerelaan
umat. Sistem pemilihan umum sebenarnya telah ada di dalam Islam, yaitu
pada masa Al-Khulafa Ar-Rasyidin.

19

DAFTAR PUSTAKA

Al-Farabi dan Khomeini, Filsafat Politik Islam, Bandung: Mizan, 2002.
Al-Maududi, Abul A’la., Hukum dan Konstitusi Politik Islam, Bandung: Mizan,
1993.
Djazuli, A., fiqh Siyasah: Implementasi Kemaslahatan Umat dalam RambuRambu Syariah, Jakarta: Kencana, 2003, cet. III.
Huda, Ni’matul., Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta : RajaGrafindo Persada,
2012.
Kaisiepo, Manuel., Pemilihan Umum, Jakarta: Prisma, 1981.
Murtopo, Ali., Strategi Pembangunan Nasional, Jakarta: CSIS, 1981.
Pulungan, J. Suyuthi., Fiqh Siyasah: Agama, Sejarah, dan Pemikiran, Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2002.
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Umum Bahasa Indonesia,
Jakarta: Balai Pustaka, 2007.
Saragih, Bintan R., Evaluasi Pemilu Orde Baru, Bandung: Mizan, 1997, cet. 1.
., Lembaga Perwakilan dan Pemilihan Umum di Indonesia,
Jakarta: Gaya Media Pratama, 1987.
Sjadzali, Munawir., Islam dan Tata Negara, Jakarta : UI-Press, 2003.
Suprihatin, Amin., Pemilu dari Masa ke Masa, Klaten: Campaka Putih, 2008.
Syarif, Mujar Ibnu dan Khamami Zada, Fiqh Siyasah: Doktrin dan Pemikiran
Politik Islam, Jakarta: Erlangga, 2008, cet. 1.
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia, Surabaya: Pustaka Agung
Harapan.
Undang-Undang Nomor 10 tahun 2008.
Wolhoff, G.Y., Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta: Timun
Mas, 1960.
Zaidana, Abdul Karim., Masalah Kenegaraan Dalam Pandangan Islam, Jakarta:
Yayasan Al-Amin Kramat Raya, 1984.

20