SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN SOLUSI ATAU DI

SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN : SOLUSI ATAU DILEMA?

Selain Sekolah Menengah Atas (SMA), kita juga mengenal Sekolah Menengah
Kejuruan (SMK). Perbedaan mendasar dari keduanya adalah metode pembelajaran yang
dipakai. Dalam SMK, proses belajar yang bersifat praktek langsung lebih ditekankan
dibanding proses belajar yang teoritis. Kondisi tersebut berkaitan dengan ilmu yang
dipelajari. Jika pada SMA ilmu yang dipelajari masih bersifat umum (hanya terbagi menjadi
Ilmu Alam dan Ilmu Sosial), dalam SMK ilmu-ilmu yang dipelajari lebih khusus seperti
perhotelan, teknik elektro, teknik mesin, informatika dan beragam ilmu terapan lainnya.
Keunggulan dari lulusan SMK dibanding SMA adalah pengusaannya pada
ketrampilan yang dibutuhkan di dunia industri. Metode pembelajaran yang menekankan pada
praktek langsung membuat siswa SMK, dan juga lulusannya, lebih terlatih dan terampil
dalam mengerjakan pekerjaan pada sektor-sektor industri. Dengan kata lain, SMK mampu
mencetak lulusan-lulusan yang siap kerja.
Dalam rangka mengurangi angka pengangguran di Indonesia, SMK beserta segenap
lulusannya dapat menjadi solusi. Lulusan SMK yang siap kerja dapat langsung diserap oleh
dunia industri di Indonesia sehingga angka pengangguran dapat ditekan pertambahannya atau
bahkan dikurangi. Berdasarkan kondisi tersebut, maka lumrah jika pemerintah berniat untuk
meningkat rasio perbandingan jumlah SMK dengan SMA, dari 50:50 menjadi 60:40, seperti
diberitakan oleh Kompas, tanggal 17 Oktober 2016 pada salah satu artikelnya di bagian
halaman muka.

Namun harapan dan niat baik tersebut mengalami kendala. Berdasarkan data Badan
Pusat Statistik, per Februari 2016, tingkat pengangguran di kalangan lulusan SMK berada
pada angka 9,84 persen atau sekitar 1,35 juta orang. Angka tersebut justru lebih besar

dibanding tingkat pengangguran pada kalangan lulusan SMA yang berada pada angka 6,95
persen. Lantas apa yang salah dengan strategi pengelolaan SMK di Indonesia?
Ada beberapa komponen yang dapat dijadikan sasaran perbaikan dalam pengelolaan
SMK di Indonesia. Pertama adalah perbaikan kualitas sarana pembelajaran. Mengingat
ketrampilan praktek adalah yang utama bagi lulusan SMK, maka keseriusan harus
diperlihatkan dalam menyediakan sebuah laboratorium ataupun bengkel yang memenuhi
standart peralatan produksi dunia industri dewasa ini. Tersedianya bengkel dan laboratorium
yang memadai mendukung kesiapan lulusan SMK menghadapi dunia kerja. Kedua, tenaga
pengajar juga harus mumpuni dan berkompeten. Ketersediaan tenaga pengajar yang
berkualitas menjadi sebuah keharusan bagi tercetaknya lulusan SMK yang memiliki
kompetensi tinggi dan mampu bersaing di dunia kerja.
Selain langkah-langkah perbaikan, ada juga sikap yang perlu dihindari agar
pengelolaan SMK tetap berada pada jalur yang tepat. Afiliasi penuh kepada kebutuhan
perusahaan swasta akan tenaga kerja dengan kualifikasi tertentu, agar lulusan SMK agar
dapat terserap secara penuh dan tingkat penganggurannya menurun, bukanlah sikap yang
solutif. Sikap tersebut hanya akan menggantungkan nasib para lulusan SMK pada kebutuhan

perusahaan-perusahaan swasta yang fluktuatif. Sikap tersebut juga dapat menimbulkan kesan
bahwa pemerintah seakan melimpahkan tanggung jawabnya untuk menyediakan lapangan
kerja bagi lulusan SMK kepada pihak swasta.
Harus diingat bahwa pemerintah memiliki perusahaan-perusahaan yang sebagian
besar sahamnya dimiliki oleh negara, yang tergabung di bawah payung BUMN. Perusahaanperusahaan BUMN tersebut seharusnya menjadi ujung tombak dalam menyerap lulusan SMK
di Indonesia. Selain itu sinergi diantara kementrian-kementrian yang ada juga dapat menjadi
alternatif penyerapan tenaga kerja lulusan SMK melalui program-program magang.

Pada dasarnya hak warga negara mendapatkan pendidikan yang mencerdaskan dan
ketersediaan lapangan kerja yang mampu menyejahterakannya adalah tanggung jawab penuh
negara. Pemerintah sebagai penyelenggara negara berarti berkewajiban untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan tersebut, seperti yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar negara
kita.

Yohanes de Britto Wirajati

Mahasiswa Program Magister Ilmu Religi dan Budaya
Universitas Sanata Dharma