JEJAK HALLIDAY DALAM LINGUISTIK KRITIS D (1)

JEJAK HALLIDAY DALAM LINGUISTIK KRITIS
DAN ANALISIS WACANA KRITIS

Anang Santoso
Jurusan Sastra Indonesia Fak. Sastra Universitas Negeri Malang

Abstract: Halliday has been inspirational. Among his seminal linguistic concepts
are the notions of language as social semiotics and language as action. The former refers to the idea that linguistic forms encode the world which socially constructed. As such, linguistic studies include the issues of 1) text, 2) context, 3) register, 4) code, 5) lingual system, and 6) social structure. The latter suggests the idea
that linguistic theorization should be attempted in view of the world of praxis; linguistics should be socially accountable. These two concepts central to Hallidayan
linguistics in turn have been influential to development of critical linguistic theories
and critical discourse analysis.
Keywords: functional-systemic linguistics, critical linguistics, critical discourse
analysis.

Sebuah forum keilmuan berlabel Seminar
dan Workshop Linguistik Fungsional Sistemik digelar di Jakarta pada 9 10 November 2006. Dilihat dari labelnya, forum keilmuan tersebut diselenggarakan un-tuk mengapresiasi karya-karya sang begawan linguistik fungsional-sistemik yang amat mashur, yakni M.A.K Halliday. Pelbagai kertas
kerja dipresentasikan untuk mendalami pikiran-pikiran Halliday yang sudah dipaparkannya dalam pelbagai buku dan artikel.
Menurut pandangan penulis, apa yang sudah banyak dihasilkan oleh Halliday seharusnya memperoleh tempat yang layak dalam dunia linguistik Indonesia, termasuk di
dalamnya adalah aplikasinya sebagai tata
bahasa pendidikan. Jumlah karya Halli-day
yang mencapai 100 publikasi ketika didaftar pada tahun 1989 oleh Hasan & Martin


menunjukkan begitu serius dan concern-nya
Halliday terhadap pelbagai persoalan kebahasaan. Pikiran-pikiran Hal-liday banyak
dikutip dalam karya-karya linguistik, sosiolinguistik, psikolinguistik, etnolinguistik,
analisis wacana, pengajaran bahasa, dan
peme-rolehan bahasa kedua.
Halliday merupakan nama besar dalam
bidang linguistik, khususnya kutub linguistik yang memandang bahasa sebagai fenomena sosial. Banyak karya linguistik yang
merasa tidak lengkap dan merasa tidak afdhol jika tidak mengutip pandanganpandangan Halliday. Pada kemudian hari,
banyak karya linguis yang begitu terinspirasi dari karya-karyanya, baik yang menyetujuinya maupun yang menyerangnya. Karyakarya dalam linguistik kritis dan analisis
1

2 BAHASA DAN SENI, Tahun 36, Nomor 1, Februari 2008

wacana kritis, misalnya, begitu terinspirasi
oleh panda-ngan Halliday itu.
Tulisan ini memfokuskan pada dua
pandangan Halliday yang terkenal, yakni
bahasa sebagai semiotika sosial dan linguistik sebagai tindakan . Kedua pandangan itu pada tahap selanjutnya telah memberikan pengaruh yang amat kuat dalam linguistik kritis karya-karya Fowler (1985;
1986; 1995) dan terhadap analisis wacana

kritis, khususnya pada karya-karya Fairclough (1989; 1995) dan van Dijk (1985).
BAHASA SEBAGAI SEMIOTIKA
SOSIAL
Akar pandangan Halliday yang pertama
adalah bahasa sebagai semiotika sosial. Hal
ini berarti bahwa bentuk-bentuk bahasa
mengodekan (encode) representasi dunia
yang dikonstruksikan secara sosial. Halliday
memberi tekanan pada keberadaan konteks
sosial bahasa, yakni fungsi sosial yang menentukan bentuk bahasa dan bagaimana
perkembangannya (Halliday, 1977, 1978;
Halliday & Hasan, 1985). Bahasa sebagai
salah satu dari sejumlah sistem makna yang
lain seperti tradisi, sistem mata pencarian,
dan sistem sopan santun secara bersamasama membentuk budaya manusia. Halliday
mencoba menghubungkan bahasa terutama
dengan satu segi yang penting bagi pengalaman manusia, yakni segi struktur sosial.
Dalam berbagai tulisannya, Halliday selalu menegaskan bahwa bahasa adalah produk proses sosial. Seorang anak yang belajar bahasa dalam waktu yang sama belajar
sesuatu yang lain melalui bahasa, yakni
membangun gambaran realitas di sekitar

dan di dalamnya. Tidak ada fenomena bahasa yang vakum sosial, tetapi ia selalu berhubungan erat dengan aspek-aspek sosial.
Dalam proses sosial itu, menurut Halliday,
konstruk realitas tidak dapat dipisahkan dari
konstruk sistem semantis tempat realitas itu
dikodekan. Selanjutnya, Halliday (1978:1)
merumuskan bahwa language is a shared

meaning potential, at once both a part of
experience and an intersubjective interpretation of experience . Dalam komunikasi,
berdasar-kan pengalaman yang dimilikinya
yang bersifat intersubjektif itu, masingmasing partisipan akan menafsirkan teks
yang ada. Dengan demikian, makna akan
selalu bersifat ganda.
Formulasi bahasa sebagai semiotik sosial berarti menafsirkan bahasa dalam konteks sosiokultural tempat kebudayaan itu
ditafsirkan dalam terminologis semiotis sebagai sebuah sistem informasi . Dalam
level yang amat konkret, bahasa itu tidak
berisi kalimat-kalimat, tetapi bahasa itu berisi teks atau wacana , yakni pertukaran
makna (exchange of meaning) dalam konteks interpersonal. Mengkaji bahasa hakikatnya mengkaji teks atau wacana.
Konteks tuturan itu sebuah konstruk
semiotis yang memiliki sebuah bentuk yang

memungkinkan partisipan memprediksikan
fitur-fitur register yang berlaku untuk memahami orang lain. Melalui tindakan pemaknaan (act of meaning) sehari-hari, masyarakat memerankan struktur sosial, menegaskan status dan peran yang dimilikinya,
serta menetapkan dan mentransmisikan sistem nilai dan pengetahuan yang dibagi. Kajian bahasa sebagai semiotik sosial dalam
(1977:13 41;
pandangan
Halliday
1978:108 126) mencakup sub-subkajian:
(1) teks, (2) trilogi konteks situasi (medan
wacana, pelibat wacana, dan modus wacana), (3) register, (4) kode, (5) sistem lingual,
yang mencakup komponen ideasional, interpersonal, dan tekstual, serta (6) struktur
sosial.
Teks
Dalam pandangan Halliday, teks dimaknai secara dinamis. Teks adalah bahasa
yang sedang melaksanakan tugas tertentu
dalam konteks situasi (Halliday & Hasan,
1992:13). Teks adalah contoh interaksi lingual tempat masyarakat secara aktual

Santoso, Jejak Halliday Dalam Linguistik Kritis 3

menggunakan bahasa; apa saja yang dikatakan atau ditulis; dalam konteks yang operasional (operational context) yang dibedakan

dari konteks kutipan (a citational context),
seperti kata-kata yang didaftar dalam kamus
(Halliday, 1978:109). Teks berkaitan dengan apa yang secara aktual dilakukan ,
dimaknai , dan dikatakan oleh masyarakat dalam situasi yang nyata.
Dalam rumusan yang lain, Halliday
berpendapat bahwa teks adalah suatu pilihan semantis (semantic choice) dalam konteks sosial, suatu cara pengungkapan makna
lewat bahasa lisan atau tulis (Sutjaja,
1990:74). Semua bahasa yang hidup yang
mengambil bagian tertentu dalam konteks
situasi dapat dinamakan teks. Terkait dengan teks, Halliday memberikan beberapa
penjelasan berikut.
Pertama, teks adalah unit semantis.
Menurut Halliday (1978:135), kualitas tekstur tidak didefinisikan dari ukuran. Teks
adalah sebuah konsep semantis. Meskipun
terdapat pengertian sebagai sesuatu di atas
kalimat (super-sentence), sesuatu yang lebih
besar daripada kalimat, dalam pandangan
Halliday hal itu secara esensial, salah tunjuk
pada kualitas teks. Kita tidak dapat merumuskan bahwa teks itu lebih besar atau lebih panjang daripada kalimat atau klausa.
Ditegaskan oleh Halliday (1978:135) dalam

kenyataannya kalimat-kalimat itu lebih merupakan realisasi teks daripada merupakan sebuah teks tersebut. Sebuah teks tidak
tersusun dari kalimat-kalimat atau klausa,
tetapi direalisasikan dalam kali-matkalimat.
Kedua, teks dapat memproyeksikan
makna kepada level yang lebih tinggi. Menurut Halliday (1978:138), sebuah teks selain dapat direalisasikan dalam level-level
sistem lingual yang lebih rendah seperti
sistem leksikogramatis dan fonologis juga
merupakan realisasi dari level yang lebih
tinggi dari interpretasi, kesastraan, sosiologis, psikoanalitis, dan sebagainya yang di-

miliki oleh teks itu. Level-level yang lebih
rendah itu memiliki kekuatan untuk memproyeksikan makna pada level yang lebih
tinggi, yang oleh Halliday diberi istilah latar depan (foregrounded).
Ketiga, teks adalah proses sosiosemantis. Halliday (1978:139) berpendapat bahwa
dalam arti yang sangat umum sebuah teks
merupakan sebuah peristiwa sosiologis, sebuah perjumpaan semiotis melalui maknamakna yang berupa sistem sosial yang sedang saling dipertukarkan. Anggota masyarakat yakni
individu-individu adalah
seorang pemakna (meaner). Melalui tindaktanduk pemaknaan antara individu bersama
individu lainnya, realitas sosial diciptakan,
dijaga dalam urutan yang baik, dan secara

terus-menerus disusun dan dimodifikasi.
Fitur esensial sebuah teks adalah
adanya interaksi. Dalam pertukaran makna
itu terjadi perjuangan semantis (semantic
contest) antara individu-individu yang terlibat. Karena sifatnya yang perjuangan itu,
makna akan selalu bersifat ganda, tidak ada
makna yang bersifat tunggal begitu saja.
Dengan demikian, pilihan bahasa pada hakikatnya adalah perjuangan atau pertarungan
untuk memilih kode-kode bahasa tertentu.
Keempat, situasi adalah faktor penentu
teks. Menurut Halliday (1978:141), makna
diciptakan oleh sistem sosial dan dipertukarkan oleh anggota-anggota masyarakat
dalam bentuk teks. Makna tidak diciptakan
dalam keadaan terisolasi dari lingkungannya. Secara tegas dirumuskan oleh Halliday
bahwa makna adalah sistem sosial . Perubahan dalam sistem sosial akan direfleksikan dalam teks. Situasi akan menentukan
bentuk dan makna teks.
Konteks Situasi
Situasi adalah lingkungan tempat teks
beroperasi. Konteks situasi adalah keseluruhan lingkungan, baik lingkungan tutur
(verbal) maupun lingkungan tempat teks itu

diproduksi (diucapkan atau ditulis). Untuk

4 BAHASA DAN SENI, Tahun 36, Nomor 1, Februari 2008

memahami teks dengan sebaik-baiknya, diperlukan pemahaman terhadap konteks situasi dan konteks budayanya. Dalam pandangan Halliday (1978:110), konteks situasi
terdiri atas tiga unsur, yakni (i) medan wacana, (ii) pelibat wacana, dan (iii) modus
wacana.
Medan wacana (field of discourse) merujuk kepada aktivitas sosial yang sedang
terjadi serta latar institusi tempat satuansatuan bahasa itu muncul. Untuk menganalisis medan, kita dapat mengajukan pertanyaan what is going on, yang mencakup
tiga hal, yakni ranah pengalaman, tujuan
jangka pendek, dan tujuan jangka panjang.
Ranah pengalaman merujuk kepada ketransitifan yang mempertanyakan apa yang
terjadi dengan seluruh proses , partisipan , dan keadaan . Tujuan jangka pendek
merujuk pada tujuan yang harus segera dicapai. Tujuan itu bersifat amat konkret. Tujuan jangka panjang merujuk pada tempat
teks dalam skema suatu persoalan yang lebih besar. Tujuan tersebut bersifat lebih abstrak.
Pelibat wacana (tenor of discourse) merujuk pada hakikat relasi antarpartisipan,
termasuk pemahaman peran dan statusnya
dalam konteks sosial dan lingual. Untuk
menganalisis pelibat, kita dapat mengajukan
pertanyaan who is taking part, yang mencakup tiga hal, yakni peran agen atau masyarakat, status sosial, dan jarak sosial.

Peran terkait dengan fungsi yang dijalankan individu atau masyarakat. Status terkait dengan tempat individu dalam masyarakat sehubungan dengan orang-orang lain,
sejajar atau tidak. Jarak sosial terkait dengan tingkat pengenalan partisipan terhadap
partisipan lainnya, akrab atau memiliki jarak. Peran, status, dan jarak sosial dapat
bersifat sementara dan dapat pula permanen.
Modus wacana (mode of discourse) merujuk pada bagian bahasa yang sedang dimainkan dalam situasi, termasuk saluran
yang dipilih, apakah lisan atau tulisan. Un-

tuk menganalisis modus, pertanyaan yang
dapat diajukan adalah what s role assigned
to language, yang mencakup lima hal, yakni
peran bahasa, tipe interaksi, medium, saluran, dan modus retoris.
Peran bahasa terkait dengan kedudukan
bahasa dalam aktivitas: bisa saja bahasa
bersifat wajib (konstitutif) atau tidak wajib/penyokong/tambahan. Peran wajib terjadi apabila bahasa sebagai aktivitas keseluruhan. Peran tambahan terjadi apabila bahasa membantu aktivitas lainnya. Tipe interaksi merujuk pada jumlah pelaku: monologis atau dialogis. Medium terkait dengan
sarana yang digunakan: lisan, tulisan, atau
isyarat. Saluran berkaitan dengan bagaimana teks itu dapat diterima: fonis, grafis, atau
visual. Modus retoris merujuk pada perasaan teks secara keseluruhan, yakni persuasif, kesastraan, akademis, edukatif, mantra,
dan sebagainya.
Register
Istilah register kali pertama digunakan

dalam pengertian keberagaman teks . Register merupakan konsep semantis yang dapat didefinisikan sebagai suatu susunan
makna yang dihubungkan secara khusus
dengan susunan situasi tertentu dari medan,
pelibat, dan sarana (Halliday & Hasan,
1992:53).
Terdapat dua hal pokok dalam pengertian register. Pertama, register disamakan
dengan gaya (style), yakni veriasi dalam
tuturan atau tulisan seseorang. Gaya umumnya bervariasi dari yang bersifat sangat
akrab sampai yang amat formal menurut
jenis situasi, orang, atau pribadi yang dituju,
lokasi, topik yang didiskusikan, dan sebagainya. Kedua, register adalah variasi tuturan yang digunakan oleh kelompok tertentu
yang biasanya memiliki pekerjaan yang sama atau kepentingan yang sama.
Register dapat diketahui dari karakteristik leksikogramatis dan fonologis yang secara khusus menyertai atau menyatakan

Santoso, Jejak Halliday Dalam Linguistik Kritis 5

makna-makna tertentu. Ciri-ciri bentuk leksikon, gramatis, dan fonologis tertentu menjadi petunjuk suatu register tertentu. Register politik, misalnya, memiliki karakteristik
yang membedakan dengan register akademik. Register kedokteran memiliki karakteristik yang membedakan dengan register
hukum. Register tertentu memiliki karakteristik yang membedakan dengan register
lainnya.

Kode
Kode merupakan prinsip organisasi semiotik yang mengatur pilihan makna oleh
penutur dan penafsiran pendengar (Halliday, 1977:22). Istilah kode yang digunakan
Halliday senada dengan kode yang digunakan dalam kajian-kajian Bernstein. Dalam
sosiolinguistik, misalnya, kode digunakan
untuk memberikan nama umum kepada semua penggunaan ragam, dialek, dan bahasa
dalam komunikasi.
Menurut Halliday (1978:111), kode diaktualisasikan dalam bahasa melalui register. Kode menentukan orientasi semantis
penutur dalam konteks sosial tertentu. Kode
bahasa yang digunakan dalam berkomunikasi dapat digolongkan menjadi dua: (i)
kode lengkap dan (ii) kode terbatas.
Sistem Lingual
Sistem lingual (linguistic system) terdiri
atas tiga tingkatan: (i) semantik, (ii) leksikogramatis, dan (iii) fonologis dengan menempatkan sistem semantis menjadi perhatian utama dalam konteks sosiolingual
(Halliday, 1978:111). Penekanan pada aspek semantis ini memberikan pengertian
bahwa kajian semiotik sosial ini lebih berupa kajian fungsional daripada kognitif .
Dalam pandangan fungsional, sistem semantis berkaitan dengan tiga fungsi bahasa,
yakni (i) ideasional, (ii) interpersonal, dan
(iii) tekstual.
Komponen ideasional merujuk pada kekuatan makna penutur sebagai pengamat

(Halliday, 1978:112). Hal itu merupakan
fungsi isi bahasa atau bahasa sebagai about something. Komponen itu menginformasikan bahwa melalui bahasa seorang penutur mengodekan pengalaman kulturalnya
dan pengalaman individu sebagai anggota
dari budaya tertentu. Dalam komponen
ideasional tersebut, bahasa memiliki fungsi
representasi. Bahasa digunakan untuk mengodekan (encoding) pengalaman manusia
tentang dunia. Bahasa digunakan untuk
membawa gambaran realitas yang ada di
sekitar manusia.
Komponen interpersonal merujuk pada
kekuatan makna penutur sebagai penyelundup yang ikut campur (Halliday,
1978:112). Hal itu merupakan fungsi partisipasi bahasa atau bahasa sebagai doing
something. Dalam komponen interpersonal,
bahasa memiliki fungsi interpersonal. Bahasa digunakan untuk mengodekan interaksi
dan menunjukkan bagaimana kita mendapatkan proposisi-proposisi tertentu. Dengan
demikian, bahasa berfungsi mengodekan
makna-makna tentang sikap, interaksi, dan
relasi timbal balik.
Komponen tekstual merujuk pada kekuatan pembentukan teks (text-forming) penutur yang membuat teks itu menjadi relevan
(Halliday, 1978: 112). Komponen tekstual
menyediakan tekstur yang membuat perbedaan antara bahasa yang diperlakukan bebas
konteks dengan bahasa yang dioperasionalkan dalam lingkungan konteks situasi. Dalam komponen tekstual, bahasa mempunyai
fungsi tekstual . Bahasa digunakan untuk
mengorganisasikan makna-makna pengalaman dan interpersonal kita ke dalam bentuk
yang linear dan koheren.
Struktur Sosial
Dalam pandangan Halliday (1978:
113 114), struktur sosial berhubungan
dengan konteks sosial, pola-pola hubungan
sosial, dan kelas atau hierarki sosial. Struktur sosial menetapkan dan memberikan arti
kepada berbagai jenis konteks sosial tempat

6 BAHASA DAN SENI, Tahun 36, Nomor 1, Februari 2008

makna-makna itu dipertukarkan. Kelompok
sosial sangat menentukan bentuk-bentuk
karakteristik konteks situasi. Sebagai contoh, relasi antara status dan peran pelibat
secara jelas akan menghasilkan struktur sosial tertentu, dapat berupa struktur sosial
yang koordinatif-egalitarian atau subordinatif-berjenjang. Pola-pola lingual yang digunakan sebagai sarana retoris menunjukkan ciri sarana wacana yang diasosiasikan
dengan strategi .
Struktur sosial masuk melalui pengaruh
hierarki sosial. Menurut Halliday (1978)
struktur sosial hadir dalam bentuk-bentuk
interaksi semiotis dan menjadi nyata melalui keganjilan dan kekacauan dalam
sistem semantis. Dalam penggunaan bahasa,
misalnya, tampak muncul adanya fenomena
kekaburan dalam bahasa yang merupakan
bagian dari ekspresi dinamis dan tegangan
sistem sosial. Kekaburan itu dipilih dalam
rangka mewujudkan ketaksaan, pertetangan
atau kebencian, ketidaksempurnaan, ketidaksamaan, serta perubahan sistem sosial
dan struktur sosial.
LINGUISTIK SEBAGAI TINDAKAN
Pokok pikiran penting kedua dari karyakarya Halliday adalah pandangannya tentang linguistik sebagai tindakan dan secara lebih spesifik linguistik sebagai sebuah
bentuk tindak politis . Terkait dengan ini,
apa dan siapa Halliday dapat dipahami dari
pernyataan Hasan & Martin (1989:4) bahwa
perhaps more clearly than any other aspect of his work it illustrates his concern
with linguistics as a form of social action
his thinking is for doing . Pandangan Halliday itu dipengaruhi oleh dua hal, yakni (1)
keterlibatan aktifnya dalam penelitian linguistik dan (2) keterlibatan aktifnya dalam
gerakan politik kiri ketika menjadi mahasiswa pada awal tahun 1950-an.

Pengaruh pertama, yakni keterlibatannya dalam gerakan pendidikan yakni pengajaran bahasa Inggris sebagai bahasa kedua dan bahasa ibu telah melahirkan gramatika yang relevan untuk kepentingan
pengajaran, yakni teori skala dan kategori . Publikasinya yang menjadi legenda
sampai sekarang, yakni Introduction to
Functional Grammar juga merupakan responnya terhadap tuntutan terhadap kehadiran gramatika yang cocok untuk menganalisis teks lisan dan tulisan dalam konteks
pendidikan.
Pengaruh kedua, yakni pelbagai keterlibatan Halliday dalam gerakan sosial-politis
telah membawanya ke dalam perumusan
teori bahasa yang dapat melayani kebutuhan
praktis itu. Bagi Halliday, sebuah linguistik
tentu saja harus dapat dipertanggungjawabkan secara sosial. Dengan demikian, sebuah
bentuk bahasa akan melayani fungsi penggunaan bahasa, bentuk ilmu bahasa juga
melayani fungsi penggunaannya.
Dalam wawancara dengan Herman Parret, Halliday (1978) menerima pandangan
bahwa linguistik itu menjadi linguistik instrumental , yakni kajian bahasa untuk memahami sesuatu yang lain. Tidak ada kontradiksi antara linguistik instrumental dengan linguistik autonom . Linguistik instrumental adalah kajian bahasa untuk memahami sesuatu yang lain, misalnya sistem
sosial. Linguistik autonom adalah kajian
bahasa untuk memahami sistem lingual itu
sendiri.
Sebuah linguistik instrumental memiliki
relevansi karakteristik dengan tujuan yang
akan dicapai. Dalam linguistik instrumental,
juga dikaji hakikat bahasa sebagai fenomena keseluruhan. Tampaknya, pandangan
tersebut untuk mempertegas model instrumental yang sudah dikemukakan sebelumnya dalam buku Explorations in the Functions of Language (1973).

Santoso, Jejak Halliday Dalam Linguistik Kritis 7

JEJAK HALLIDAY DALAM
LINGUISTIK KRITIS
Linguistik kritis (critical linguistics)
merupakan kajian ilmu bahasa yang bertujuan mengungkap relasi-relasi antara kuasa
tersembunyi (hidden power) dan prosesproses ideologis yang muncul dalam teksteks lisan atau tulisan (Crystal, 1991:90).
Fowler sang pelopor secara terangterangan mengatakan bahwa pikiran-pikiran
Halliday mendasari pengembangan linguistik ini. Untuk menganalisisnya, diperlukan
analisis linguistik yang tidak semata-mata
deskriptif.
Linguistik kritis amat relevan digunakan untuk menganalisis fenomena komunikasi yang penuh dengan kesenjangan, yakni
adanya ketidaksetaraan relasi antarpartisipan, seperti komunikasi dalam politik, relasi antara atasan-bawahan, komunikasi dalam wacana media massa, serta relasi
antara laki-laki dan perempuan dalam politik gender. Menurut Fowler (1996:5), model
linguistik itu sangat memerhatikan penggunaan analisis linguistik untuk membongkar
misrepresentasi dan diskriminasi dalam
pelbagai modus wacana publik. Be-berapa
pandangan Halliday yang berpengaruh terhadap pengembangan linguistik kritis dipaparkan berikut.
Pandangan tentang Sifat Instrumental
dalam Linguistik
Pandangan instrumental Halliday menjadi landasan pengembangan linguistik kritis. Linguistik kritis lahir dari tulisan-tulisan
dalam Language and Control (Fowler et al.,
1979) yang di dalamnya berisi sejumlah deskripsi linguistik instrumental. Istilah linguistik instrumental dimunculkan sebagai
penjabaran pandangan Halliday tentang
konsep instrumental dalam linguistik
fungsional-sistemik. Menurut Fowler (1996), linguistik fungsional-sistemik mempunyai dua pengertian: (1) linguistik fungsion-

al berangkat dari premis bahwa bentuk bahasa merespon fungsi-fungsi penggunaan
bahasa dan (2) linguistik fungsional berangkat dari pandangan bahwa bentuk linguistik
akan merespon fungsi-fungsi linguistik itu.
Linguistik seperti juga bahasa memiliki
fungsi-fungsi berbeda dan tugas-tugas berbeda. Dengan demikian, dalam aplikasinya,
seperti sudah dikemukakan sebelumnya,
kajian bahasa haruslah berfungsi untuk
memahami sesuatu yang lain.
Linguistik kritis memberikan landasan
yang kokoh untuk menganalisis penggunaan
bahasa yang nyata antara lain dalam politik,
media massa, komunikasi multikultural, perang, iklan, dan relasi gender. Fowler sudah
merumuskan sebuah analisis wacana publik,
yakni sebuah analisis yang dirancang untuk
(i) memperoleh atau menemukan ideologi
yang dikodekan secara implisit di belakang
proposisi yang jelas (overt propositions),
dan (ii) mengamati ideologi secara khusus
dalam konteks pembentukan sosial (Fowler,
1996:3). Piranti-piranti untuk menganalisisnya adalah seleksi gabungan dari kategori
deskriptif yang sesuai dengan tujuannya,
khususnya struktur-struktur yang diidentifikasikan Halliday sebagai komponen ideasional dan interpersonal.
Pandangan instrumental Halliday juga
tampak pada pandangan Fowler tentang
fungsi klasifikasi bahasa. Dunia tempat
hidup manusia bersifat kompleks dan secara
potensial membingungkan (Fowler, 1986:
13). Menghadapi dunianya yang kompleks,
manusia melakukan proses kategorisasi
sebagai bagian dari strategi umum untuk
menyederhanakan dan mengatur dunianya
itu. Manusia tidak menggunakan secara
langsung dunia objektif, tetapi menghubungkannya melalui sistem klasifikasi
dengan menyederhanakan fenomena objektif dan membuatnya menjadi sesuatu yang
dapat dikelola.
Yang menjadi persoalan adalah bahwa
klasifikasi sering memunculkan hasil yang

8 BAHASA DAN SENI, Tahun 36, Nomor 1, Februari 2008

bersifat alamiah (natural). Untuk selanjutnya, anggota masyarakat memperlakukannya sebagai asumsi-asumsi sebuah kebenaran yang tanpa pembuktian serta mempercayainya sebagai akal sehat atau pengetahuan umum (common-sense). Semuanya dipandang sebagai sebuah kebenaran
begitu saja. Kata-kata seperti pandangan
dunia , teori , hipotesis , atau ideologi
sering dianggap sebagai akal sehat. Padahal, menurut Fowler (1986:18), semua katakata seperti itu adalah distorsi . Kata-kata
itu lebih merupakan sebuah interpretasi atau
representasi daripada sebuah refleksi. Implikasi dari penggunaan kata dan istilah
yang penuh dengan akal sehat itu membuat
masyarakat menjadi begitu percaya bahwa
teorinya tentang cara dunia bekerja adalah
refleksi alamiah , bukan sebagai refleksi
kulturalnya .
Menurut Fowler (1986:19), bahasa adalah medium efisien dalam pengodean kategori-kategori sosial. Bahasa tidak hanya
menyediakan kata-kata untuk konsepkonsep tertentu, bahasa juga mengkristalisasikan dan menstabilisasikan ide-ide itu.
Fowler menunjukkan bahwa struktur bahasa
yang dipilih menciptakan sebuah jaring
makna yang mendorong ke arah sebuah
perspektif tertentu. Jaring makna itu merupakan sebuah ideologi atau teori dari
penuturnya yang tentu saja bukan berupa kategori alamiah. Jaring makna lebih merupakan kategori kultural.
Pandangan tentang Pengaruh Hierarki
Sosial terhadap Struktur Sosial
Menurut Halliday (1978), struktur sosial hadir dalam bentuk-bentuk interaksi
semiotis dan menjadi nyata melalui keganjilan dan kekacauan dalam sistem semantis. Dalam penggunaan bahasa politik,
misalnya, tampak muncul adanya fenomena
kekaburan dalam bahasa yang merupakan
bagian dari ekspresi dinamis dan tegangan
sistem sosial. Kekaburan itu dipilih dalam
rangka mewujudkan ketaksaan, perten-

tangan atau kebencian, ketidaksempurnaan,
ketidaksamaan, serta perubahan sistem sosial dan struktur sosial.
Dalam interaksi yang nyata sehari-hari,
keganjilan dan kekacauan dalam sistem semantis itu menjadi nyata. Para linguis kritis
percaya bahwa komunikasi yang tercipta
akibat kekacauan itu adalah relasi komunikasi yang timpang, di mana para partisipan
komunikasi tidak memiliki fungsi dan akses
yang sama. Beberapa tokoh linguistik kritis,
seperti Fowler (1985; 1986; 1996), Kress
(1985), Sykes (1985), West & Zimmerman
(1985), dan Birch (1996) memandang bahwa fenomena komunikasi dan interaksi
yang nyata lebih banyak diwarnai oleh
adanya
fenomena-fenomena
ketidakteraturan , kesenjangan , ketidakseimbangan , perekayasaan , dan ketidaknetralan dari isu-isu ketidakadilan dalam gender, politik, ras, media massa, kekuasaan,
dan komunikasi lintas budaya. Wacana
yang lahir lebih banyak berkutat dengan
persoalan sosial-politik dan jauh meninggalkan wacana-wacana akademis yang
ideal . Bahkan, wacana yang tampaknya
seperti biasa-biasa saja misalnya kamus ternyata adalah wacana tidak adil
(unjust discourse).
Untuk memahaminya perlu paradigma
kritis . Analisis linguistik belaka diyakini
tidak dapat mengungkapkan signifikansi
kritis. Menurut Fowler (1986:6), hanya analisis kritis yang merealisasikan teks sebagai modus wacana serta memperlakukan
teks sebagai wacana yang akan dapat melakukannya. Linguistik kritis mengarahkan
teori bahasa ke dalam fungsi yang sepenuhnya dan dinamik dalam konteks historis,
sosial, dan retoris.
Dalam hubungannya dengan makna
struktur lingual, sesuatu yang amat fundamental dalam pandangan Fowler adalah terdapatnya fungsi hubungan antara konstruksi
tekstual dengan kondisi-kondisi sosial, institusional, dan ideologis dalam proses-proses
produksi serta resepsinya. Struktur-struktur

Santoso, Jejak Halliday Dalam Linguistik Kritis 9

linguistik digunakan untuk menyistematisasikan dan mentransformasikan realitas. Oleh
karena itu, dimensi kesejarahan, struktur
sosial, dan ideologi adalah sumber utama
pengetahuan dan hipotesis dalam kerangka
kerja kritisisme linguistik (Fowler, 1986:8).
Pandangan tentang Teks adalah Proses
Sosiosemantis
Halliday (1978:139) berpendapat bahwa
sebuah teks merupakan sebuah peristiwa
sosiologis, sebuah perjumpaan semiotis melalui makna-makna yang berupa sistem sosial yang sedang saling dipertukarkan. Anggota masyarakat adalah seorang pemakna.
Dalam pertukaran makna itu, terjadi perjuangan semantis (semantic contest) antara
individu-individu yang terlibat. Karena sifatnya yang perjuangan itu, makna akan
selalu bersifat ganda, tidak ada makna yang
bersifat tunggal begitu saja. Dengan demikian, pilihan bahasa pada hakikatnya adalah
perjuangan atau pertarungan untuk memilih
kode-kode bahasa tertentu.
Jejak pandangan Halliday tersebut dapat
dilacak pada pandangan Menz dan Birch
tentang pilihan bahasa. Menurut mereka,
makna dan nilai dari pilihan bahasa bukan
menjadi milik individu yang unik, tetapi
diproduksi dalam perjuangan atau perebutan
komunikatif (communicative struggle) dan
interaksi aktual yang ditentukan secara
ideologis dan dimotivasi secara politis
(Birch, 1996:65). Merujuk pada pandangan
ini, aktor yang memproduksi teks bukanlah
individu yang merdeka , tetapi ia merupakan individu yang diatur oleh dimensidimensi sosiokultural dan institusional yang
determinatif. Individu-individu sering berada di bawah kesadaran dalam melakukan
pilihan bahasa itu.
Senada dengan pandangan Menz, menurut Birch (1996:67), pilihan bahasa dibuat
menurut seperangkat kendala (constraints)
politis, sosial, kultural, dan ideologi. Ada
kekuatan di luar individu yang ikut menen-

tukan bentuk bahasa tertentu yang akan digunakan. Hal itu sering terjadi secara bawah
sadar. Implikasinya adalah bahwa masyarakat dapat dimanipulasi, dikehendaki dalam
aturan yang baik (good order), dan dinilai
peran dan status bawahan serta atasan (inferior-superior) melalui sistem strategi sosial
yang melibatkan aspek-aspek: kuasa, aturan, subordinasi, solidaritas, kohesi, antagonisme, kesenangan, dan sebagainya yang
semuanya merupakan bagian integral dari
kontrol terhadap masyarakat.
Konsep sosiosemantis di atas juga dapat
dilacak pada pandangan Fowler (1986:27)
tentang ketidaknetralan kode kebahasaan
karena menjalankan fungsi representasi.
Kode kebahasaan atau lingual tidak merefleksikan realitas secara netral. Kode lingual
itu menafsirkan, mengorganisasikan, dan
mengklasifikasikan subjek-subjek wacana.
Wacana tertentu selalu membentuk teori
tentang bagaimana dunia itu disusun. Hal
itulah yang disebut pandangan dunia atau
ideologi . Bahasa tidak hanya sebagai
pengetahuan yang internal dan pasif. Sebaliknya, bahasa adalah aktivitas yang dibawa
dalam berbicara, menyimak, menulis, dan
membaca yang aktual dan intensif setiap
hari. Dalam konteks itu, peringatan Fowler
perlu dicamkan, yakni akal sehat itu bukan
se-suatu yang alamiah, tetapi produk dari
konvensi sosial . Oleh karena itu, akal sehat
itu perlu dikritisi.
Makna sosial dihasilkan dari konstruksi
sosial realitas. Yang menjadi persoalan adalah ketika berhadapan dengan kata-kata
yang mengandung makna sosial itu banyak
anggota masyarakat menyikapinya sebagai
kata yang mengandung makna alamiah sehingga kata-kata tersebut dianggap sebagai
sesuatu yang berupa akal sehat . Dalam
persoalan ini, Fowler (1986:148) menegaskan bahwa bahasa-bahasa itu beragam
dalam mengodekan makna, bahkan dalam
menganggap sebuah area dasar dan strukturstruktur pengalaman. Hal tersebut sesuai

10 BAHASA DAN SENI, Tahun 36, Nomor 1, Februari 2008

dengan rumusan Halliday bahwa bahasa
melayani ekspresi, bahasa memiliki representasi, atau bahasa memiliki fungsi ideasional tempat penutur atau penulis mewujudkan pengalaman dari dunia nyata ke dalam bahasa. Pengalaman manusia, apa yang
kita ketahui, dan apa yang kita butuhkan
selain sudah dikodekan dalam sumber makna yang bersifat personal, juga produk dari
posisi kita dalam relasi-relasi sosioekonomis.
Fowler (1986) selalu mempertahankan
tesisnya bahwa teks merupakan realisasi
sebuah modus wacana, biasanya lebih dari
satu modus. Sebuah teks bukan hanya karya
individual. Teks yang dihasilkan oleh penghasil teks sebagai individu bukanlah hasil
dari keseluruhan individu itu. Teks yang
dihasilkan mungkin saja berasal dari wacana praada (baca: sebelumnya) yang itu semua berakar pada kondisi-kondisi sosial,
ekonomi, politis, dan ideologis yang terletak
jauh di balik kesadaran dan kontrol penghasil teksnya. Sebuah teks yang lahir mungkin
saja hasil dari suatu perjuangan di antara
banyak tangan penghasil wacana itu.
Dengan demikian, kajian bahasa hakikatnya adalah kajian kewacanaan yang bersifat historis. Sistem bahasa merupakan bagian yang integral dari struktur dan proses
sosial. Sebuah wacana tidak dapat terlepas
dari dimensi kesejarahan. Sebuah tuturan
politik oleh seorang pemimpin partai, misalnya, bukanlah teks yang vakum sosial.
Sebaliknya, teks tuturan itu dibentuk oleh
sebuah proses yang rumit dan panjang dalam pertarungan sosial. Banyak tangan
yang ikut campur menentukan bentuk dan
isi teksturnya. Kajian terhadap teks-teks bahasa bukan semata-mata untuk kajian teks
itu sendiri yang amat terbatas. Akan tetapi,
kajian teks adalah kajian kewacanaan yang
bersifat sosiosemantis dengan mengikutsertakan dimensi kritis, yakni politis, ideologis,
dan kultural tentang bagaimana masyarakat
dan institusi membuat makna melalui teks.

Pandangan tentang Kesatuan Teks dengan Konteksnya
Halliday mengemukakan bahwa teks itu
selalu dilingkupi konteks situasi dan konteks budaya (Butt et al., 1999:11). Konteks
situasi adalah keseluruhan lingkungan, baik
lingkungan tutur (verbal) maupun lingkungan tempat teks itu diproduksi (diucapkan atau ditulis). Di atas konteks situasi
terdapat konteks budaya yang melingkupi
teks dan konteks situasi. Untuk memahami
teks dengan sebaik-baiknya, diperlukan pemahaman terhadap konteks situasi dan konteks budaya.
Jejak Halliday tersebut dapat ditemukan
dalam pandangan Fowler (1986:70) bahwa
satuan bahasa dalam penggunaan yang nyata lebih dari sekadar sebuah teks yang dibangun bersama-sama dengan konvensi dasarnya, tetapi lebih banyak berupa wacana dari yang sudah dilahirkannya itu. Fowler membedakan konsep teks dan wacana . Wacana dibangun dari teks dan
konteks . Untuk melihat bahasa sebagai
teks membawa kita kepada kajian keseluruhan unit-unit komunikasi yang dilihat sebagai struktur sintaksis dan semantik yang koheren yang dapat diucapkan atau ditulis.
Dalam pandangan kritis, teks dipandang secara dinamis sebagai komunikasi interpersonal dalam konteks. Dengan demikian,
teks dapat dipandang sebagai medium
wacana. Untuk melihat bahasa sebagai wacana membawa kita kepada keseluruhan
proses interaksi lingual yang rumit antara
masyarakat yang menghasilkan dan masyarakat yang memahami teks.
JEJAK HALLIDAY DALAM ANALISIS
WACANA KRITIS
Analisis wacana kritis (critical discourse analysis) adalah analisis bahasa dalam penggunaannya dengan menggunakan
paradigma bahasa kritis. Analisis wacana
kritis (AWK) sering dipandang sebagai
oposisi analisis wacana deskriptif yang
memandang wacana sebagai fenomena teks

Santoso, Jejak Halliday Dalam Linguistik Kritis 11

bahasa semata-mata. Dalam AWK, wacana
tidak dipahami semata-mata sebagai kajian
bahasa. AWK memang menggunakan bahasa dalam teks untuk dianalisis. Hasilnya bukan untuk memperoleh gambaran dari aspek
kebahasaan, melainkan menghubungkannya
dengan konteks. Hal itu berarti bahwa bahasa itu dipergunakan untuk tujuan dan praktik tertentu, termasuk di dalamnya praktik
kekuasaan.
AWK berkembang dalam tradisi linguistik madzab Eropa-Kontinental. Pusatpusat perkembangannya antara lain di Prancis, Inggris, Belanda, Jerman, Austria, dan
Australia. Beberapa nama dapat disebut sebagai pengembang bidang kajian itu, antara
lain Fairclough, van Dijk, Kress, dan Wodak. Dalam beberapa karyanya, Fairclough
(1989; 1995), misalnya, menyebut bahwa
teorinya adalah gabungan dari linguistik
fungsional-sistemik Halliday, linguistik
Fowler, dan teori sosial baru Foucault. Pengaruh pandangan Halliday terhadap AWK
dipaparkan berikut.
Pandangan tentang Proyeksi Teks kepada Level yang Lebih Tinggi
Menurut Halliday (1978:138), sebuah
teks selain dapat direalisasikan dalam levellevel sistem lingual yang lebih rendah
seperti sistem leksikogramatis dan fonologis juga merupakan realisasi dari level
yang lebih tinggi dari interpretasi, kesastraan, sosiologis, psikoanalitis, dan sebagainya yang dimiliki oleh teks itu. Pilihan
terhadap struktur lingual tertentu, misalnya,
dapat ditafsirkan kepada persoalanpersoalan yang lebih besar.
Jejak pandangan Halliday itu dapat dilacak pada pandangan van Dijk tentang hakikat wacana sebagai gejala dari persoalan
yang lebih besar. Menurut van Dijk
(1985:7), fitur-fitur wacana hanyalah menjadi gejala (symptoms) dari persoalanpersoalan yang lebih besar, seperti ketidakadilan, perbedaan kelas, gender, rasisme,
kekuasaan, dan dominasi yang melibatkan

lebih dari hanya sekadar teks dan tuturan.
Persoalan-persoalan itu sering memunculkan wacana yang timpang atau wacana tidak adil, di mana antara penghasil teks dengan konsumen teksnya tidak memiliki relasi yang seimbang. Dengan demikian,
menganalisis kata, frasa, kalimat, dan teks
yang dihasilkan oleh seorang tokoh dapat
mengungkap persoalan-persoalan yang lebih besar dan mendasar, misalnya perjuangan menaturalisasikan ideologi tertentu.
Pandangan tentang Wacana Sebagai
Tindakan
Halliday berpandangan bahwa linguistik pada hakikatnya adalah bentuk tindakan dan secara lebih spesifik sebagai sebuah
bentuk tindak politis (Hasan & Martin,
1989:4). Mengkaji bahasa hakikatnya adalah mengkaji tindak berbahasa. Pandangan
Halliday itu dipengaruhi oleh dua hal, yakni
(1) keterlibatan aktifnya dalam penelitian
linguistik dan (2) keterlibatan aktifnya dalam gerakan politik kiri ketika menjadi mahasiswa pada awal tahun 1950-an.
Pandangan Halliday tersebut dapat dilacak pada pikiran Fairclough tentang konsep
wacana. Dalam pandangan Fairclough (1995), wacana dipahami sebagai sebuah tindakan. Wacana adalah bentuk interaksi.
Wacana tidak ditempatkan dalam ruang
yang tertutup dan internal. Tidak ada wacana yang vakum sosial. Hal itu mengandung
dua implikasi. Pertama, wacana dipandang
sebagai sesuatu yang bertujuan, apakah untuk memengaruhi, membujuk, menyanggah,
memersuasif. Seseorang yang berbicara atau
menulis selalu mempunyai tujuan, besar
atau kecil. Kedua, wacana dipahami sebagai
sesuatu yang diekspresikan secara sadar,
terkontrol, bukan sesuatu yang di luar kendali atau diekspresikan di luar kesadaran.
Tidak ada wacana yang lahir tanpa disadari
sepenuhnya oleh penutur atau pembicaranya.

12 BAHASA DAN SENI, Tahun 36, Nomor 1, Februari 2008

Pandangan tentang Peran Konteks dalam Produksi dan Interpretasi Wacana
Dalam pandangan Halliday, teks selalu
dilingkupi oleh dua konteks, yakni konteks
situasi dan konteks budaya (Butt et al.,
1999:11). Hal itu berarti bahwa teks akan
selalu menyatu dengan konteksnya, baik
dalam pembentukannya maupun dalam
proses pemahamannya. Pandangan itu selanjutnya berpengaruh terhadap cara pandang terhadap wacana.
Dalam paradigma kritis, wacana diproduksi, dimengerti, dan ditafsirkan dalam
konteks tertentu. Wacana adalah teks dalam
konteks. Titik perhatian analisis wacana
adalah menggambarkan teks dan konteks
secara bersama-sama dalam suatu proses
komunikasi. Bahasa selalu berada dalam
konteks. Tidak ada tindakan komunikasi
tanpa partisipan, antarteks, situasi, dan sebagainya.
Dalam AWK, kajian wacana tidak dipahami semata-mata sebagai kajian bahasa.
AWK memang menggunakan bahasa dalam
teks untuk dianalisis. Hasilnya bukan hanya
untuk memperoleh gambaran dari aspek kebahasaan, melainkan menghubungkannya
dengan konteks. Hal itu berarti bahwa bahasa itu dipergunakan untuk tujuan dan praktik tertentu, termasuk di dalamnya praktik
kekuasaan.
Pandangan Halliday tentang konteks
dapat dilacak pada pokok pikiran bahwa
wacana adalah produk historis. Dalam paradigma kritis, wacana ditempatkan dalam
konteks kesejarahan tertentu. Wacana selalu
berada pada ruang waktu tertentu dan akan
selalu berhubungan dengan waktu lainnya.
Analisis terhadap bahasa politik pasca-Orde
Baru, misalnya, akan selalu mempertanyakan (i) bagaimana situasi politik yang sedang terjadi, (ii) mengapa wacana tertentu
itu yang berkembang, dan sebaliknya mengapa wacana yang lain tidak berkembang,
(iii) mengapa istilah reformasi dan reformis
begitu berkembang serta memperoleh nilai

positif, dan mengapa istilah status quo menjadi jelek dan memperoleh apresiasi negatif,
dan sebagainya (Santoso, 2000 dan 2003).
Pandangan Halliday juga dapat dilacak
pada pokok pikiran bahwa wacana hakikatnya adalah pertarungan kekuasaan. Dalam
paradigma kritis, setiap wacana yang muncul, dalam bentuk teks, percakapan, atau
apa pun, tidak dipandang sebagai sesuatu
yang alamiah, wajar, dan netral, tetapi merupakan bentuk pertarungan kekuasaan.
Wacana sesepele apa pun adalah bentuk
pertarungan kekuasaan itu. Dengan demikian, setiap analisis wacana selalu dikaitkan
dengan dimensi-dimensi kuasa itu. Tugas
analis adalah mengkritisi kekuasaan yang
tersembunyi dalam teks-teks bahasa itu.
Pandangan Halliday juga dapat dilacak
pada pokok pikiran bahwa wacana hakikatnya adalah praktik ideologi. Dalam pandangan kritis, wacana dipandang sebagai praktik ideologi, atau pencerminan dari ideologi
tertentu. Ideologi yang berada di balik
penghasil teksnya akan selalu mewarnai
bentuk wacana tertentu. Penghasil teks yang
berideologi liberalisme atau sosialisme tentu akan menghasilkan wacana yang memiliki karakter sendiri-sendiri.
Dua catatan penting berkenaan dengan
ideologi dalam wacana. Pertama, ideologi
secara inheren bersifat sosial, tidak personal
atau individu. Ideologi selalu membutuhkan
anggota kelompok, komunitas, atau masyarakat yang mematuhi dan memperjuangkan
ideologi itu. Kedua, ideologi digunakan secara internal di antara anggota kelompok
atau komunitas. Ideologi selalu menyediakan jawaban tentang identitas kelompok.
Dengan demikian, analisis wacana tidak bisa lagi menempatkan bahasa dalam sistem
tertutup, tetapi harus menempatkannya dalam konteks. Analisisnya akan selalu mengungkap bagaimana ideologi dari kelompok-kelompok yang ada berperan dalam
membentuk wacana.

Santoso, Jejak Halliday Dalam Linguistik Kritis 13

Pandangan tentang Hubungan Dialektis
antara Struktur Mikro dan Makro
Halliday (1977; 1978) berpendapat
bahwa bahasa sangat terkait dengan satu
segi yang penting dalam pengalaman manusia, yakni segi struktur sosial. Secara tegas,
Halliday merumuskan bahwa bahasa adalah
produk proses sosial. Pandangan Halliday
itu semakin diperjelas dan dieksplisitkan
oleh Fairclough (1995), yakni pandangannya tentang hubungan timbal balik antara
struktur mikro yakni teks dan struktur
makro yakni aspek sosial dan budaya
yang bersifat determinatif.
Pendekatan kritis memiliki dasar teoretis dalam memandang hubungan timbal balik antara peristiwa mikro (tindak verbal)
dan struktur-struktur makro yang mengondisikan dan menghasilkan peristiwa mikro itu. Pendekatan kritis menolak penghalang yang kaku antara kajian mikro (tempat kajian wacana merupakan bagian di dalamnya) dan kajian makro. Dengan dialektis antara makro dan mikro dalam kajiannya, analisis wacana kritis dapat mengungkap naturalisasi-naturalisasi yang terjadi
serta membuat secara jelas determinasideterminasi sosial dan pengaruh wacana
bagi partisipan.
Asumsi-asumsi yang menjadi dasar dipakainya pendekatan kritis dalam analisis
wacana adalah (1) interaksi verbal sebagai
modus aksi sosial , dan seperti modus aksi
sosial lainnya mempersyaratkan rentangan
struktur yang direfleksikan dalam dasar
pengetahuan yang meliputi struktur sosial,
tipe-tipe situasi, kode-kode bahasa, normanorma penggunaan bahasa dan (2) strukturstruktur itu tidak hanya dipersyarati oleh
aksi dan memerlukan kondisi untuk aksi,
tetapi juga memproduksi aksi, atau aksi mereproduksi struktur yang dalam istilah Giddens disebut dengan dualitas struktur ,
yakni adanya saling pengaruh antara aktor
dan struktur itu.

Pandangan tentang Kajian Bahasa Hakikatnya adalah Kajian terhadap Trilogi
Teks Konteks Situasi Konteks Budaya yang Saling Terkait
Halliday mengemukakan bahwa teks itu
selalu dilingkupi konteks situasi dan konteks budaya (Butt et al., 1999:11). Mengkaji
bahasa secara fungsional pada hakikatnya
mengkaji tiga aspek yang saling terkait,
yakni teks, konteks situasi (context of situation), dan konteks budaya (context of culture). Dalam teks, selalu terkandung unsur
tekstur dan struktur. Oleh Butt et al.
(1999:12), kajian Halliday itu digambarkan
berikut.
3

1

2

Gambar 1 Model Linguistik Fungsional-Sistemik
Halliday

Keterangan:
1: teks
2: konteks situasi
3: konteks budaya

Pandangan Halliday tersebut semakin
dieksplisitkan oleh Fairclough dalam memandang wacana dan analisis wacana. Wacana dalam pandangan Fairclough harus
dilihat secara simultan sebagai tiga serangkai yang dialogis (i) teks-teks bahasa, baik
lisan atau tulisan, (ii) praksis kewacanaan,
yaitu produksi dan interpretasi teks, dan (iii)
praksis sosiokultural, yakni perubahan-perubahan masyarakat, institusi, kebudayaan,
dan sebagainya yang menentukan bentuk
dan makna sebuah wacana. Ketiga unsur itu
menurut Fairclough disebut dengan dimensi wacana . Menganalisis wacana secara kritis hakikatnya adalah menganalisis tiga
dimensi wacana tersebut secara integral.

14 BAHASA DAN SENI, Tahun 36, Nomor 1, Februari 2008

Ketiga dimensi itu sebagai satu kesatuan
yang tidak dapat dipisahkan satu dengan
yang lainnya. Dimensi wacana dan prosedur

analisis wacana kritis digambarkan oleh
Fairclough (1995) sebagai berikut.
Deskripsi

Proses produksi

(analisis teks)
Interpretasi

Dimensi Wacana

Eksplanasi
Dimensi Analisis Wacana

Gambar 2 Model Analisis Wacana Kritis Fairclough
(Sumber: Fairclough, 1995:98)

Dari Gambar 1 dan 2 tersebut, dapat dipahami bahwa (1) kajian teks dalam pandangan Halliday dan Fairclough adalah tahap awal memahami penggunaan bahasa,
(2) kajian konteks situasi dalam pandangan
Halliday oleh Fairclough dijabarkan ke dalam proses produksi dan interpretasi teks,
dan (3) kajian konteks budaya dalam pandangan Halliday dan Fairclough diterjemahkan ke dalam praksis sosiokultural wacana.
PENUTUP
Paparan di atas dapat memberikan pemahaman bahwa apa yang sudah dikemukakan Halliday pada tahun 1960 dan 1970an masih begitu kental mewarnai teori linguistik dan teori wacana pada tahun 1980
dan 1990-an, bahkan tahun-tahun sesudahnya. Pandangan Halliday tentang bahasa
sebagai semiotik sosial dan bahasa sebagai tindak sosial politik dapat dilacak aplikasi dan implementasinya pada linguistik
kritis Fowler dan analisis wacana kritis
Fairclough. Dengan demikian, pengakuan
akademik melalui seminar, lokakarya, simposium, dan sesrawungan ilmiah lainnya
sudah pada tempatnya dipersembahkan kepada Halliday.
Pada masa-masa yang akan datang, kegiatan sejenis dalam rangka pendalaman
kajian bahasa sebagai fenomena sosial

diharapkan dapat memberikan tambahan
dan penyempurnaan kajian bahasa yang lebih dahulu mapan dalam dunia linguistik
Indonesia, yakni kajian bahasa sebagai fenomena psikologis . Tentu saja, pelbagai
kertas kerja dan hasil-hasil seminar tidak
akan memiliki arti apabila tidak dikomunikasikan kepada komunitas yang lebih luas,
khususnya komunitas linguistik Indonesia.
DAFTAR RUJUKAN
Birch, D. 1996. Critical Linguistics as Cultural Process. Dalam James, J.E. (Ed.),
The Language-Culture Connection (hlm.
64 85). Singapore: SEAMEO Regional
Language Centre.
Butt, D., Fahey, R., Spinks, S., & Yallop, C.
1995. Using Functional Grammar: An
Explorer s Guide. Sydney: Macquary
University.
Crystal, David. 1991. A Dictionary of Linguistics and Phonetics. Oxford: Basil
Blackwell Ltd.
Fairclough, N. 1989. Language and Power.
New York: Longman Group UK Limited.
Fairclough, N. 1995. Critical Discourse
Analysis: The Critical Study of Language. Harlow-Essex: Longman Group Limited.
Fowler, R. 1985. Power. Dalam van Dijk, T.
(Ed.), Handbook of Discourse Analysis

Santoso, Jejak Halliday Dalam Linguistik Kritis 15

Volume 4: Discourse Analysis in Society
(hlm. 61 82). London: Academic Press.
Fowler, R. 1986. Linguistic Criticism. Oxford: Oxford University Press.
Fowler, R. 1996. On Critical Linguistics.
Dalam Caldas-Coulthard, C.R. & Coulthard, M. (Eds.), Texts and Practices:
Reading in Critical Discourse Analysis
(hlm. 3 14). London: Routledge.
Halliday, M.A.K. 1977. Language as Social
Semiotic: Towards as General Sociolinguistic Theory. Dalam Makkai, A.,
Makkai, V.B., & Heilmann, L. (Eds.),
Linguistics at the Crossroads (hlm. 13
41). Padova: Tipografia-La Garangola.
Halliday, M.A.K. 1978. Language as Social
Semiotic: The Social Interpretation of
Language and Meaning. London: Edward Arnold.
Halliday, M.A.K. 1985/1994. An Introduction to Functional Grammar. London:
Edward Arnold Publishers Ltd.
Halliday, M.A.K. & Hasan, R. 1992. Bahasa, Konteks, dan Teks: Aspek-Aspek Bahasa dalam Pandangan Semiotik Sosial.
Terjemahan oleh Barori Tou. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Hasan, R. & Martin, J.R. Introduction. Dalam Hasan, R. & Martin, J.R. (Eds.),
1989. Language Development: Learning
Language, Learning Culture (Meaning
and Choice in Language: Studies for Michael Halliday) (hlm. 1 17). NorwoodNew Jersey: Ablex Publishing Corporation.
Kress, G. 1985. Ideological Structures in
Discourse. Dalam van Dijk, T. (Ed.),
Handbook of Discourse Analysis Volume
4: Discourse Analysis in Society (hlm.
27 42). London: Academic Press.
Santoso, A. 2000. Paradigma Kritis dalam
Kajian Kebahasaan. Bahasa dan Seni:
Jurnal Bahasa, Sastra, Seni, dan Pengajarannya, 28(2): hlm. 127 146.

Santoso, A. 2003. Bahasa Politik Pasca
Orde Baru. Jakarta: Penerbit Wedatama
Widya Sastra (WWS).
Sutjaja, IG.M. 1990. Perkembangan Teori
M.A.K. Halliday. Dalam Kaswanti Purwo, B. (Ed.), PELLBA 3: Pertemuan Linguistik Lembaga Bahasa Atma Jaya Ketiga (hlm. 59 89). Yogyakarta: PENERBIT KANISIUS.
Sykes, M. 1985. Discrimination in Discourse. Dalam van Dijk, T. (Ed.), Handbook
of Discourse Analysis Volume 4: Discourse Analysis in Society (hlm. 83
101). London: Academic Press.
van Dijk, T. 1985b. Introduction: The Role
of Discourse Analysis in Society. Dalam
van Dijk, T. (Ed.), Handbook of Discourse Analysis Volume 4: Discourse Analysis in Society (hlm. 1 8). London: Academic Press.
West, C. & Zimmerman, D.H. 1985. Gender, Language, and Discourse. Dalam
van Dijk, T. (Ed.), Handbook of Discourse Analysis Volume 4: Discourse Analysis in Society (hlm. 103 124). London:
Academic Press.
Wodak, R. 1996. D