HAK HAK MASYARAKAT ADAT YANG BERLAKU
PEDOMAN UNTUK KONVENSI ILO 169
A GUIDE TO ILO CONVENTION No. 169
Hak Cipta © Organisasi Perburuhan Internasional 2010 Edisi Bahasa Indonesia, cetakan pertama, 2010
Publikasi-publikasi International Labour Offi ce memperoleh hak cipta yang dilindung oleh Protokol 2 Konvensi Hak Cipta Universal. Meskipun demikian, kutipan-kutipan singkat dari publikasi tersebut dapat diproduksi ulang tanpa izin, selama terdapat keterangan mengenai sumbernya. Permohonan mengenai hak reproduksi atau penerjemahan dapat diajukan ke ILO Publications (Rights and Permissions), International Labour Offi ce, CH-1211 Geneva 22, Switzerland, or by email: pubdroit@ilo.org. International Labour Offi ce menyambut baik permohonan-permohonan seperti itu.
Perpustakaan, lembaga dan pengguna lain yang terdaftar di Inggris Raya dengan Copyright Licensing Agency, 90 Tottenham Court Road, London W1T 4LP [Fax: (+44) (0)20 7631 5500; email: cla@cla.co.uk], di Amerika Serikat dengan Copyright Clearance Center, 222 Rosewood Drive, Danvers, MA 01923 [Fax: (+1) (978) 750 4470; email: info@copyright.com] arau di negara-negara lain dengan Reproduction Rights Organizations terkait, dapat membuat fotokopi sejalan dengan lisensi yang diberikan kepada mereka untuk tujuan ini.
Organisasi Perburuhan Internasional Hak-hak Masyarakat Adat yang Berlaku; Pedoman untuk Konvensi ILO 169/Kantor Perburuhan Internasional, Jakarta, 2010
ISBN 978-92-2-822378-1 (print); 979-92-2-822379-8 (web pdf)
Juga tersedia dalam bahasa Inggris: “Indingenous & Tribal Peoples’ Rights in Practice” [ISBN: 979-92-2-123422-7 (print); 978-92-2- 123423-4 (web pdf)]; dalam bahasa Perancis: Les droits des peuples autochtones et tribaux dans la pratique, un guide sur la convention n° 169 de l’OIT (ISBN 978-92-2-222378-7), Jenewa, 2009, dalam bahasa Spanyol: Los derechos de los pueblos indígenas y tribales en la práctica, una guía sobre el convenio núm. 169 de la OIT (ISBN 978-92-2-322378-6), Jenewa, 2009 dan dalam bahasa Rusia: Права коренных народов и народов, ведущих племенной образ жизни, на практике. Руководство к Конвенции МОТ № 169 (ISBN 978-92-2-422378-5), Jenewa, 2009./International Labour Offi ce, Jakarta, 2010
Katalog Data Publikasi ILO
Penggambaran-penggambaran yang terdapat dalam publikasi-publikasi ILO, yang sesuai dengan praktik-praktik Perserikatan Bangsa- Bangsa, dan presentasi materi yang ada di dalamnya tidak mewakili pengekspresian opini apapun dari sisi International Labour Offi ce mengenai status hukum negara, wilayah atau teritori manapun atau otoritasnya, atau mengenai batas-batas negara tersebut.
Tanggungjawab aas opini-opini yang diekspresikan dalam artikel, studi, dan kontribusi lain yang ditandatangani merupakan tanggunjawab penulis, dan publikasi tidak mengandung suatu dukungan dari International Labour Offi ce atas opini-opini yang terdapat di dalamnya.
Rujukan ke nama perusahaan dan produk komersil dan proses tidak menunjukkan dukungan dari International Labour Offi ce, dan kegagalan untuk menyebutkan suatu perusahaan, produk komersil atau proses tertentu bukan merupakan tanda ketidaksetujuan.
Publikasi ILO dapat diperoleh melalui penjual buku besar atau kantor lokal ILO di berbagai negara, atau secara langsung dari ILO Publications, International Labour Offi ce, CH-1211 Geneva 22, Switzerland; atau Kantor ILO Jakarta, Menara Thamrin, Lantai 22, Jl. M.H. Thamrin Kav. 3, Jakarta 10250, Indonesia. Katalog atau daftar publikasi tersedia secara cuma-cuma dari alamat di atas, atau melalui email: pubvente@ilo.org
Kunjungi halaman web kami: www.ilo.org/publns; www.ilo.org/jakarta
Dicetak di Indonesia
KATA PENGANTAR
Dengan 1,072 kelompok etnik, termasuk 11 kelompok etnik dengan jumlah melebihi satu juta orang, Indonesia termasuk salah satu bangsa yang memiliki budaya yang paling beragam. Penduduk dengan beragam etnik ini merupakan bagian dari estimasi 370 juta penduduk masyarakat adat dan persukuan di dunia yang hidup hampir di 70 negara.
Kendatipun, Undang-Undang Dasar Indonesia 1945 telah memiliki dasar dan visi yang solid atas pengakuan keberadaan dan hak-hak masyarakat adat, sampai saat ini, belum ada undang-undang nasional yang mengatur secara khusus perlindungan hak-hak masyarakat adat.
ILO telah memiliki perhatian terhadap proteksi masyarakat adat sejak permulaan pendirian organisasinya di tahun 1920-an, dengan mempromosikan standar perburuhan internasional melalui upaya-upaya meningkatkan kondisi kerja dan hidup masyarakat adat dan persukuan.
Konvensi ILO 169 tahun 1989 mempromosikan hak-hak masyarakat adat atas tanah, lapangan kerja, pelatihan, jaminan sosial, pendidikan dan kerjasama lintas batas di antara masyarakat adat.
Dalam perkembangan terkini di Indonesia, berbagai upaya yang dirintis oleh beberapa lembaga masyarakat masyarakat termasuk aliansi masyarakat adat dan Dewan Perwakilan Daerah yang menaruh perhatian terhadap hak-hak masyarakat adat untuk memperjuangkan pemenuhan hak-hak masyarakat adat baik melalui usulan perundang-undangan nasional, maupun ratifi kasi Konvensi ILO 169 tahun 1989 tentang Hak-Hak Masyarakat Adat dan Persukuan.
Versi Bahasa Indonesia panduan implementasi Konvensi ILO 169 ini, merupakan revisi dokumen tentang petunjuk pelakasanaan Konvensi 169, yang menjelaskan langkah demi langkah untuk mengimplementasikan Konvensi ILO 169, termasuk di dalamnya ilustrasi tentang pengalaman dan praktek terbaik yang relevan dengan permasalahan masyarakat adat.
Panduan ini diharapkan dapat memberikan kontribusi untuk memperkuat lebih lanjut kesadaran dan kepedulian atas perlindungan masyarakat adat dan persukuan di Indonesia.
Jakarta, 30 Mei 2010
Peter van Rooij OIC ILO Jakarta
Catatan terjemahan dan adatasi:
Pedoman Untuk Konvensi ILO 169 tentang Hak-Hak Masyarakat Adat yang Berlaku ini merupakan terjemahan versi bahasa Inggris terbitan tahun 2009 panduan implementasi konvensi berjudul ”Indigenous & Tribal Peoples’ Rights in Practice: A Guide to ILO Convention No. 169” yang diterbitkan oleh PRO 169 (Programme to Promote ILO Convention No. 169), Departemen Standar Perburuhan Internasional.
”Indigenous and Tribal Peoples” dalam pedoman ini diterjemahkan sebagai ”masyarakat adat”, kata terjemahan yang dipilih sebagai jalan tengah, untuk mewakili beberapa istilah dalam bahasa Indonesia untuk ”Indigenous Peoples” yang belum disepakati secara umum di tingkat nasional.
Beberapa ilustrasi foto dalam edisi bahasa Indonesia telah diganti dan disesuaikan dengan ilustrasi foto yang lebih relevan dan merefl eksikan kondisi masyarakat adat di Indonesia.
Tauvik Muhamad Programme Offi cer Focal Point for Indigenous Peoples’ Activities ILO Jakarta
HAK-HAK MASYARAKAT ADAT YANG BERLAKU - PEDOMAN UNTUK KONVENSI ILO No. 169
DAFTAR ISI
Kata Pengantar Ucapan Terima Kasih Bagaimana Menggunakan Pedoman Ini
I. Identifi kasi Masyarakat Adat
1.1. Cakupan Konvensi ILO 169
1.2. Identifi kasi masyarakat adat dalam statistik
1.3. Tanggapan Badan Pengawas ILO: Cakupan
1.4. Penerapan dalam praktik: Pernyataan cakupan
II. Konsep Masyarakat Adat dalam Konteks Hak
III. Tanjung Jawab Pemerintah
3.1. Tindakan terkoordinasi dan sistematis
3.2. Hak-hak mendasar
3.3. Langkah-langkah khusus
3.4. Ketentuan pelaksanaan utama
3.5. Keterangan Badan Pengawas ILO: Tindakan terkoordinasi dan sistematis
3.6. Penerapan praktis: Tanggung jawab pemerintah
3.6.1. Tindakan terkoordinasi dan sistematis
3.6.2. Memerangi diskriminasi dan menghilangkan ketimpangan sosio-ekonomi
V. Lembaga Masyarakat Adat
4.1. Memelihara dan mengembangkan adat-istiadat, tradisi dan lembaga masyarakat adat
4.2. Penerapan praktis: Penghormatan atas lembga-lembaga masyarakat adat
V. Partisipasi, Konsultasi dan Persetujuan
5.1. Konsultasi dan partisipasi: Unsur penting konvensi
5.2. Tanggapan dari badan-badan pengawas ILO: Konsultasi dan partisipasi
5.3. Penerapan praktis: Konsultasi dan partisipasi
5.3.1. Prosedur-prosedur konsultasi
5.3.2. Pembentukan badan-badan konsultasi
5.3.3. Partisipasi badan-badan eksekutif
5.3.4. Partisipasi dalam pemerintahan daerah
PENDAHULUAN
VI. Hukum Adat, Sistem Penegakkan Hukum dan Akses ke Keadilan
6.1. Adat istiadat dan hukum adat
6.2. Pelanggaran dan sistem hukum
6.3. Akses keadilan
6.4. Penerapan praktis
VII. Tanah dan Wilayah
7.1. Konsep tanah
7.2. Melindungi hak kepemilikan dan penguasaan
7.3. Pemindahan
7.4. Tanggapan Badan Pengawas ILO: Hak atas tanah dan wilayah
7.5. Penerapan praktis: Tanah dan wilayah
VIII. Sumber Daya Alam
8.1. Hak-hak atas sumber daya alam, konsultasi, manfaat dan ganti rugi
8.2. Tanggapan dari badan-badan pengawas ILO: Sumber daya alam
8.3. Penerapan praktis: Sumber daya alam
IX. Pengembangan
9.1. Hak untuk berkembang
9.2. Penerapan praktis: Pengembangan
X. Pendidikan
10.1. Aspek individu dan kolektif hak pendidikan
10.2. Mutu pendidikan masyarakat adat
10.3. Mengurangi diskriminasi dan prasangka melalui pendidikan
10.4. Penerapan praktis: Hak atas pendidikan
XI. Kesehatan dan Jaminan Sosial
11.1. Kesetaraan dan memadainya layanan
11.2. Penerapan praktis: Kesehatan dan jaminan sosial
XII. Pekerjaan Tradisional, Hak-hak Pekerja dan Latihan Keterampilan
12.1. Penghargaan atas pekerjaan tradisional masyarakat adat
12.2. Penghargaan atas hak-hak pekerja
12.3. Akses ke pendidikan keterampilan
12.4. Penerapan praktis: Pekerjaan dan hak-hak pekerja
XIII. Kontak dan Kerja sama di Daerah Perbatasan
13.1. Penduduk dan masyarakat adat yang dipisahkan oleh perbatasan
13.2. Penerapan praktis: hubungan dan kerja sama lintas batas
XIV. Konvensi No. 169: Ratifi kasi, Pelaksanaan, Pengawasan Dan Bantuan Teknis
14.1. Sejarah keterlibatan ILO dengan masyarakat adat
14.2. Struktur tripartit ILO
14.3. Ratifi kasi
HAK-HAK MASYARAKAT ADAT YANG BERLAKU - PEDOMAN UNTUK KONVENSI ILO No. 169
14.4. Pelaksanaan dengan itikad baik
14.5. Pelaksanaan yang menyertai: Proses pengawasan teratur
14.6. Berbagai masalah tentang ketidaktaatan pada Konvensi No. 169
14.7. Konvensi di pengadilan nasional
14.8. Mulai berlakunya dan berlaku surut
14.9. Keluwesan dalam pelaksanaan
14.10. Kemungkinan mencari penjelasan tentang ketentuan-ketentuan konvensi ILO
14.11. Kerja sama teknik dan layanan kepenasihatan
14.12. Sumber informasi ILO
Lampiran-lampiran: Lampiran A: Konvensi No. 169 Lampiran B: Deklarasi PBB tentang Hak-hak Masyarakat Adat Lampiran C: Pembacaan selanjutnya Lampiran D: Indeks kasus-kasus negara dan acuannya
PENDAHULUAN
UCAPAN TERIMA KASIH
Stefania Errico, Morse Flores, Brenda Gonzales Panduan ini merupakan hasil kerja sama ILO,
Mena, Lelia Jimenez, Graciela Jolidon, Coen organisasi masyarakat adat, tenaga ahli dan
Kompier, Mukta Lama, Chanel Loubaky, peneliti.
Chonchuirinmayo Luithui, Hindou Oumarou, Sebelum difi nalisasi, rancangan panduan
Venant Messe, Ramiro Molinas Barrios, didistribusikan ke berbagai pihak untuk
Henriette Rasmussen, Sanna Saarto, Tove memperoleh tanggapan dan selanjutnya
Søvndal Pedersen, Sek Sophorn, Francesca dibahas serta disempurnakan dalam berbagai
Thornberry, Kanako Uzawa, Sarah Webster, lokakarya regional yang dihadiri oleh wakil-wakil
Timothy Whyte, Alexandra Xanthaki, Valeri pemerintah dan masyarakat adat dari Asia,
Kendo Yonou;Alianza Verde, Asia Indigenous Afrika dan Amerika Latin.
Peoples Pact (AIPP), Centro de Estudios Jurídicos e Investigación Social (CEJIS),
Penulis dan editor utama buku panduan Centro de Políticas públicas para el Socialismo ini adalah Brigitte Feiring, dari Program
(CEPPAS), Grupo de Apoyo Jurídico por el Pengupayaan Pemberlakuan Konvensi ILO 169,
Acceso a la Tierra (GAJAT), Lonko Puran, dengan penasihat ahli Shauna Olney (ILO),
Tamaynut.
Martin Oelz (ILO), Devasish Roy, John Henriksen, Naomi Kipuri dan Myrna Cunningham.
Secara khusus kami juga menyampaikan terima kasih kepada International Work Group for
Kami menyampaikan terima kasih kepada Indigenous Affairs (WGIA) dan para pewarta mereka serta berbagai lembaga yang telah
foto, yang memungkinkan ILO menggunakan menyumbangkan pengalaman berharga dan
hasil karya mereka dalam publikasi ini. keahliannya, baik dalam bentuk pengalaman
khusus, kasus-kasus maupun saran-saran umum. Penyelesaian panduan ini dimungkinkan Mereka antara lain:
juga atas kontribusi dana dari European Instrument for Democracy and Human Rights
Hassan Id Balkassm, Patrice Bigombe, Belkacem (EIDHR), sebuah badan dari Komisi Eropa dan Boukherouf, Serge Bouopda, Joan Carling,
Departemen Luar Negeri Denmark (Danida).
HAK-HAK MASYARAKAT ADAT YANG BERLAKU - PEDOMAN UNTUK KONVENSI ILO No. 169
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
Pada 1989, Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) mengadopsi Konvensi ILO 169 tentang Masyarakat Adat (Konvensi ILO 169). Sejak itu, Konvensi ini telah diratifi kasi oleh 20 negara. Di
20 negara itu, badan-badan pengawas ILO telah memantau dan membina proses pelaksanaan melalui pemeriksaan teratur atas berbagai laporan dan dokumen kepada pemerintah yang berkepentingan. Dalam konteks ini, berbagai organisasi pekerja juga telah membantu organisasi-organisasi masyarakat
adat 1 untuk menyampaikan berbagai masalah yang perlu diperhatikan oleh badan-badan pengawas ILO. Selain itu, Konvensi ini pun telah mengilhami peran pemerintah dan masyarakat adat, termasuk di negara-negara yang belum meratifi kasinya. Tujuannya tentu saja untuk semakin meningkatkan perlindungan hak-hak masyarakat adat. Dalam masa 20 tahun sejak adopsi Konvensi ini, telah ditempuh berbagai upaya, serta dialog dan pencapaian untuk menanamkan pengertian dan pelaksanaan hak- hak masyarakat adat.
Pada 2007, Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengadopsi Deklarasi PBB tentang Hak-hak Masyarakat Adat (A/ RES/61/295). Adopsi ini menjadi titik kulminasi dari pembahasan dan negosiasi selama bertahun-tahun antara para pemerintah dan masyarakat adat. Boleh dibilang ini merupakan pencapaian berarti, karena memberi kepada masyarakat internasional suatu kerangka yang sama untuk memenuhi hak-hak masyarakat adat.
Setelah adopsi Deklarasi PBB itu, kini telah dicapai kesepakatan umum tentang perlunya pemenuhan hak-hak masyarakat adat di tingkat negara untuk menjamin bahwa perangkat internasional akan membawa perubahan yang diperlukan bagi masyarakat adat di seluruh dunia—yang masih hidup termarjinalisasi dan kurang beruntung.
Konvensi No. 169 dan Deklarasi PBB adalah dua instrumen yang selaras dan saling menguatkan (lihat bagian 2), walaupun dinegosiasikan pada waktu yang berbeda oleh badan yang berbeda-beda sehingga menjadi beragam dalam beberapa hal. Namun demikan, proses pelaksanaan dari kedua instrumen ini sebagian besar sama, dan dengan demikian pengalaman yang diperoleh dalam konteks Konvensi No. 169 sampai batas tertentu dapat mengilhami upaya selanjutnya untuk melaksanakan amanat Deklarasi.
Tujuan utama panduan ini adalah untuk memberi cara praktis atas pemenuhan hak- hak masyarakat adat berdasarkan pengalaman, cara dan pelajaran terbaik selama ini kepada pemerintah, masyarakat adat serta organisasi pekerja dan organisasi pengusaha.
Panduan ini tidak dimaksudkan sebagai cetak biru pelaksanaan. Berbagai keadaan yang dihadapi oleh masyarakat adat tidak memungkinkan melakukan pengalihan secara sederhana atau mereplikasi berbagai model dari satu negara ke negara yang lain. Panduan ini lebih merupakan katalog buah pikiran yang diharapkan akan dinilai, dibahas dan selanjutnya mengilhami penyesuaian cara terbaik di berbagai negeri.
Panduan ini dikembangkan melalui upaya bersama, sehingga mencerminkan sifat multipihak dan kolektivitas dari proses pelaksanaannya. Sumber-sumber utama informasi dan masukan untuk panduan ini antara lain:
Analisis dan tanggapan yang diberikan oleh badan-badan ILO untuk menjadikan pelaksanaan Konvensi No. 169 sebagai pedoman oleh negara-negara yang meratifi kasinya.
Serangkaian studi kasus, yang dilaksanakan oleh organisasi-organisasi masyarakat adat yang mendokumentasikan pengalaman positif, pencapaian dan dampak dari pemenuhan hak-hak masyarakat adat.
Serangkaian contoh ringkas dari sejumlah pengalaman utama, yang dapat dipelajari pembaca dengan mengikuti berbagai mata rantai dan acuan yang disertakan dalam panduan ini.
1 Konvensi ILO 169 menggunakan penduduk pribumi dan masyarakat adat (lihat bagian 1 untuk pembahasan lebih rinci tentang istilah tersebut). Konvensi tidak membedakan hak dari kedua kelompok ini. Kendati begitu, untuk praktisnya, panduan ini menggunakan istilah masyarakat adat yang juga menjadi istilah yang paling umum digunakan serta menjadi istilah yang digunakan oleh perangkat internasional seperti Deklarasi PBB tentang Hak-hak Msyarakat Adat.
BAGAIMANA MENGGUNAKAN PANDUAN INI
Panduan juga mencakup berbagai bidang tentang hak-hak masyarakat adat, seperti:
Pedoman ini tidak harus dibaca dari awal hingga
1. Identifi kasi masyarakat adat. Bagian akhir, namun lebih bersifat katalog. Dengan
ini menjelaskan cakupan Konvensi demikian, pembaca dapat memilihnya sesuai
serta kriteria yang digunakan untuk pokok bahasan dan mengikuti acuan silang
mengidentifi kasi masyarakat adat di untuk memahami seluruh hak masyarakat adat
berbagai wilayah, termasuk hak untuk yang saling berkaitan.
mengidentifi kasi diri.
Panduan ini terdiri dari bagian-bagian yang
2. Konsep hak masyarakat adat. Bagian ini mencakup berbagai aspek utama dari hak-hak
menjabarkan implikasi penggunaan istilah masyarakat adat. Masing-masing bagian terdiri
“masyarakat”, termasuk konotasinya, dari sebagai berikut:
sehubungan dengan hak untuk Pendahuluan. Menjelaskan pasal-pasal dari
menentukan nasib sendiri sebagaimana Konvensi No. 169 dan implikasinya. Bagian
diakui dalam Deklarasi PBB tentang Hak- ini juga menunjukkan acuan pada ketentuan
hak Masyarakat Adat.
yang sama dari Deklarasi PBB tentang Hak-
3. Tanggung jawab pemerintah. Bagian ini hak Masyarakat Adat.
menjelaskan tanggung jawab negara untuk Rangkuman tentang tanggapan badan-
melakukan langkah-langkah koordinatif dan badan pengawas ILO. Dimaksudkan
sistematis guna mengakhiri diskriminasi menjadi petunjuk dan panduan bagi
terhadap masyarakat adat. Caranya, berbagai negara tentang pelaksanaan
dengan menghargai hak-hak dasar mereka Konvensi No. 169. Memang tidak semua
serta mengembangkan langkah-langkah bidang yang berada dalam ruang lingkup
khusus untuk mencapainya. Konvensi diberi tanggapan, melainkan
4. Lembaga-lembaga masyarakat adat. hanya beberapa bagian yang terkait yang
Bagian ini menjelaskan hak untuk membina diberi ulasan.
dan mengembangkan lembaga-lembaga Berbagai contoh penerapan praktis dari
masyarakat adat sebagai hak dasar ketentuan-ketentuan yang terkait Konvensi
yang mampu untuk menentukan dan No. 169, diambil dari berbagai belahan dunia.
mempertahankan identitas dan otonomi Lampiran D menunjukkan indeks berbagai kasus
masyarakat adat.
yang disajikan dalam panduan ini.
5. Partisipasi, konsultasi dan persetujuan. Konvensi No. 169 adalah instrumen holistik
Bagian ini menjelaskan prinsip-prinsip yang berupaya membahas semua aspek utama
dasar partisipasi dan konsultasi untuk hak-hak masyarakat adat. Berbagai hak yang
mencapai kesepakatan dan persetujuan, terdapat dalam instrumen ini saling berkaitan
seperti yang diamanatkan Konvensi No. dan berbagai masalah seperti hak atas konsultasi
dan keterlibatan menjadi saling beririsan dan
6. Hukum adat, sistem perundang- membawa korelasi dampak. Misalnya, hak-hak
undangan dan akses terhadap keadilan. yang tercantum dalam sektor kesehatan dan
Bagian ini menjelaskan hak untuk pendidikan.
mempertahankan hukum adat, termasuk sistem perundang-undangan, sepanjang
Hal ini, misalnya, tercermin dalam pedoman tidak bertentangan dengan hak-hak asasi yang diawali dengan fokus pada prinsip-prinsip internasional, serta mampu meningkatkan utama dari kebijakan umum Konvensi No. 169 akses masyarakat adat terhadap keadilan. (terutama pasal 1-12) baru kemudian menyentuh
masalah-masalah substansif yang lebih khusus
7. Tanah dan wilayah. Bagian ini menjelaskan (terutama pasal-pasal 12-32).
konsep-konsep budaya dari tanah dan wilayah masyarakat adat serta semua hak,
HAK-HAK MASYARAKAT ADAT YANG BERLAKU - PEDOMAN UNTUK KONVENSI ILO No. 169 HAK-HAK MASYARAKAT ADAT YANG BERLAKU - PEDOMAN UNTUK KONVENSI ILO No. 169
pekerja dalam pasar tenaga kerja.
13. Hubungan dan kerja sama antara sesama tentang hak-hak masyarakat adat atas
8. Sumber daya alam. Bagian ini menjelaskan
di negara yang berbeda. Bagian ini sumber daya alam dalam wilayah mereka
menjelaskan tentang hak-hak masyarakat serta hak atas konsultasi, kepesertaan dan
adat untuk tetap berhubungan, walaupun bagi hasil dari negara atas hak sumber daya
mereka sudah terpisah dalam batas-batas mineral.
internasional.
14. Ratifi kasi, pelaksanaan, pengawasan dan hak-hak masyarakat adat untuk menentukan
9. Pembangunan. Bagian ini menjelaskan
bantuan teknis Konvensi No. 169. Bagian prioritas mereka sendiri dalam proses
ini menjelaskan aspek-aspek prosedural pembangunan termasuk dilibatkan dalam
dari Konvensi No. 169, bagaimana proses agenda pembangunan internasional terkini.
meratifi kasinya; bagaimana mekanisme
10. Pendidikan. Bagian ini menjelaskan hak- pengawasan dan keluhan berfungsi; hak umum masyarakat adat atas pendidikan
kedudukan hukum di tengah sistem hukum serta perlunya konsep pendidikan khusus
nasional; serta kemungkinan memperoleh untuk memenuhi kebutuhan dan prioritas
bantuan teknis dari ILO.
mereka. Misalnya, pendidikan antar-budaya Panduan ini dimaksudkan untuk mengilhami dalam dwi bahasa.
dan memotivasi pembaca. Oleh karena itu,
11. Kesehatan dan jaminan sosial. Bagian ini serangkaian acuan dan pertautan diberikan menjelaskan hak-hak umum masyarakat
dalam teks ini. Selain itu, lampiran C berisi adat atas kesehatan dan jaminan sosial
daftar bacaan tentang berbagai masalah yang serta perlunya memperhitungkan kondisi
dibahas dalam buku ini.
ekonomis, geografi s, sosial dan budaya Informasi tambahan dalam teks lengkap dari mereka serta upaya pencegahan,
beberapa hasil studi kasus dapat dilihat di situs penyembuhan dan obat-obatan tradisional
jaringan ILO tentang masyarakat adat: www. mereka.
ilo.org/indigenous atau dapat diminta dalam
12. Pekerjaan, hak pekerja dan pelatihan CD dari pro169@ilo.org. Selain itu, serangkaian keterampilan tradisional. Bagian ini
sumber informasi, termasuk video wawancara, menjelaskan tentang perlunya melindungi
sajian PowerPoint dan materi latar belakang pekerjaan masyarakat adat termasuk
tersedia di pro169@ilo.org.
upaya melindungi mereka dari diskriminasi
PENDAHULUAN
I. IDENTIFIKASI
MASYARAKAT ADAT
HAK-HAK MASYARAKAT ADAT YANG BERLAKU - PEDOMAN UNTUK KONVENSI ILO No. 169
1.1. CAKUPAN KONVENSI ILO 169
Masyarakat adat meliputi sekurang-kurangnya 5.000 penduduk yang jumlahnya mencapai 370 juta jiwa dan terdapat di 70 negara. Keragaman ini tentu tidak mudah diartikan dalam defi nisi universal, dan karena itulah muncul kesepakatan bahwa defi nisi resmi “masyarakat adat” tidak perlu dan tidak dikehendaki. Demikian juga tidak ada kesepakatan internasional tentang defi nisi istilah “golongan minoritas” atau istilah “masyarakat”.
Konvensi ini tidak secara khusus mendefi nisikan siapa yang dimaksud sebagai masyarakat adat, tetapi lebih menitikberatkan bagaimana melindunginya (Pasal 1).
Konvensi ILO 169 Pasal 1(1). Konvensi ini berlaku untuk: (a) Masyarakat adat di negara-negara
merdeka yang keadaan sosial, budaya dan ekonominya membedakan mereka dengan dari warga bangsa lainnya, dan yang statusnya diatur sepenuhnya atau sebagian oleh kebiasaan dan tradisi mereka sendiri atau oleh peraturan perundang-undangan khusus.
(b) Masyarakat di negara-negara merdeka yang dianggap sebagai penduduk asli berdasarkan keturunan mereka dari penduduk yang mendiami negeri, atau wilayah geografi s yang dimiliki negara itu, pada waktu penaklukan atau kolonisasi atau pembentukan batas negara sekarang dan yang apa pun status hukumnya, mempertahankan
Unsur-unsur masyarakat adat:
sebagian atau semua lembaga sosial, ekonomi, budaya dan politik mereka
Budaya, organisasi sosial, kondisi ekonomi sendiri.
dan cara hidup yang berbeda dengan segmen lain dari penduduk di negara yang
Pasal 1(2) sama, seperti cara mereka mencari nafkah, Identifi kasi diri sebagai masyarakat adat
berbahasa, dan lain sebagainya. dianggap sebagai kriteria mendasar
Tradisi dan adat-istiadat sendiri dan/atau untuk menentukan pada kelompok
pemahaman hukum yang khas. mana ketentuan Konvensi berlaku.
I. IDENTIFIKASI MASYARAKAT ADAT
Unsur-unsur masyarakat adat: proses politik serta hukum internasional dan Keberlanjutan historis, bahwa mereka nasional, jauh melebihi negara-negara yang sudah meratifi kasi Konvensi.
adalah masyarakat yang terkena penaklukan Karenanya instrumen ini mampu dan kolonisasi. digunakan sebagai defi nisi kerja Hubungan kewilayahan (leluhur mereka
internasional untuk mengidentifi kasi mendiami negara atau wilayah itu).
masyarakat adat, termasuk penerapan Lembaga sosial, ekonomi, budaya dan
Deklarasi PBB tentang Hak-hak politik yang khas (mereka mempertahankan
Masyarakat Adat dan telah menjadi sebagian atau semua lembaganya).
dasar berbagai badan-badan khusus PBB Usur-unsur yang disebut dalam Pasal 1 ayat (1)
untuk mengembangkan defi nisi operasional merupakan kriteria objektif tentang cakupan
mereka sendiri tentang istilah masyarakat adat, Konvensi No. 169. Hal ini secara objektif juga
termasuk Bank Dunia dan United Nations dapat ditentukan apakah suatu masyarakat
Development Programme (UNDP). adat memenuhi persyaratan dalam Pasal 1 ayat
(1) dan mengakui serta menerima seseorang sebagai bagian dari masyarakat ini.
Deklarasi PBB tentang Hak-hak Masyarakat Adat
Pasal 1 ayat (2) mengakui identifi kasi diri masyarakat adat sebagai kriteria mendasar. Ini
Deklarasi PBB tentang Hak-hak Masyarakat adalah kriteria subjektif dari Konvensi No. 169,
Adat mengidentifi kasi “masyarakat adat” yang menyertakan arti landasan penting apakah
sebagai mereka yang menerima hak-hak penduduk tertentu menamakan dirinya sebagai
yang tercantum dalam Deklarasi, tanpa masyarakat adat dalam Konvensi dan apakah
mendefi nisikannya.
seseorang juga menempatkan dirinya termasuk Namun Mukadimah Deklarasi menunjuk pada masyarakat ini. Konvensi No. 169 adalah
pada sifat tertentu yang umumnya menjadi instrumen internasional pertama yang mengakui
ciri masyarakat adat, seperti sifat khas, arti penting dari identifi kasi diri ini.
tanpa kepemilikan lahan, wilayah dan Cakupan Konvensi didasarkan pada gabungan
sumber daya alam, kehadiran historis dan antara kriteria objektif dan subjektif. Identifi kasi
prakolonial di wilayah-wilayah tertentu, diri juga melengkapi kriteria objektif, begitu pula
ciri-ciri khas budaya dan linguistik, serta sebaliknya.
marjinalisasi politik dan hukum. Konvensi ini menggunkan pendekatan inklusif
Juga, pasal 33 ayat (1) menyatakan sehingga dapat berlaku untuk masyarakat
masyarakat adat memunyai hak untuk adat. Dengan demikian Konvensi memusatkan
menentukan identitas mereka sendiri perhatiannya pada keadaan masyarakat adat,
atau keanggotaan menurut kebiasaan- walaupun keberlanjutan historis dan hubungan
kebiasaan dan tradisi mereka. Ini tidak kewilayahan mereka menjadi unsur-unsur
akan menghambat hak-hak warga dari penting dalam mengidentifi kasi masyarakat
masyarakat adat untuk memperoleh adat.
kewarganegaraan negara di mana mereka hidup.
Kriteria yang dijabarkan dalam Pasal 1 ayat (1) b Konvensi No. 169 telah diterapkan secara luas untuk mengidentifi kasi masyarakat adat dalam
14
HAK-HAK MASYARAKAT ADAT YANG BERLAKU - PEDOMAN UNTUK KONVENSI ILO No. 169
I. IDENTIFIKASI MASYARAKAT ADAT
1.2. IDENTIFIKASI MASYARAKAT ADAT DALAM STATISTIK
Pengakuan dan identifi kasi masyarakat adat memunyai implikasi pada terlihatnya keberadaan mereka dalam statistik dan sistem informasi nasional, serta kemampuan negara dalam merespons kebutuhan khusus dan prioritas mereka serta memantau dampak dari inventarisasi tersebut.
Di banyak negara, tidak ada data terpisah atau statistik yang tepat tentang keadaan masyarakat adat. Bahkan informasi kependudukan tentang populasi serta lokasi mereka mungkin juga tidak ada. Oleh karena itu, analisis tentang keadaan masyarakat adat seringkali tergantung pada taksiran kasar atau memanfaatkan keterwakilan, misalnya, dengan menilai keadaan di daerah geografi s tertentu terutama yang dihuni oleh masyarakat adat. Sangat susah untuk bisa menemukan data terpisah yang menggambarkan keadaan yang dibedakan dari masyarakat adat tertentu di suatu negara atau di dalam masyarakat adat, misalnya yang terkait dengan gender dan usia.
Tentu, risikonya, keadaan khas dari masyarakat adat, serta berbagai perbedaan antara dan dalam masyarakat pribumi tidak tampak dalam statistik nasional. Ini menyulitkan untuk secara akurat memantau hasil intervensi negara dalam mengatasi masalah masyarakat adat dan membuat para pembuat kebijakan tidak memiliki informasi lengkap untuk mengembangkan berbagai kebijakan dan program.
Beberapa kesulitan dalam mengumpulkan statistik terpisah tentang masyarakat adat antara lain:
Kontroversi tentang defi nisi dan terminologi.
Ketidakstabilan identitas etnik. Migrasi, konfl ik dan perang. Tidak adanya ketentuan hukum/dukungan
politik. Tidak adanya pemahaman tentang
pentingnya data atau statistik terpisah.
Kemampuan nasional yang rendah dalam pengumpulan, analisis dan pemisahan data.
Penolakan masyarakat adat. Including Indigenous Peoples in Poverty
Reduction Strategies, ILO 2007
Pengalaman, terutama dari Amerika Latin, mampu menunjukkan bahwa untuk mengatasi kesulitan ini dibutuhkan suatu proses, dialog berkelanjutan, dan kemudian baru dikembangkan pemahaman yang lebih dalam dan penghargaan atas identitas masyarakat adat yang beragam. Belakangan ini, fokus untuk mengikutsertakan masyarakat adat dalam sensus nasional makin berkembang di Asia. Berbagai organisasi dan tenaga ahli masyarakat adat di Nepal dan Filipina bekerja bersama pemerintah dan lembaga donor untuk mempersiapkan rencana penyelenggaraan sensus nasional.
1.3. TANGGAPAN BADAN PENGAWAS ILO: CAKUPAN
Dalam pemantauan penerapan Konvensi ILO 169 di negara-negara yang telah meratifi kasinya, badan-badan pengawas ILO, terutama Komite Tenaga Ahli tentang Penerapan Konvensi dan Rekomendasi (Komite Tenaga Ahli) (lihat bagian 14 untuk informasi lebih rinci) telah membuat berbagai tanggapan tentang penerapan Pasal 1 tentang lingkup penerapan Konvensi.
Paraguay: Memasukkan identifi kasi diri sebagai kriteria dasar
Komite Tenaga Ahli mencatat, data statistik yang disediakan oleh pemerintah sejak sensus 2002 yang dilaksanakan Direktorat Statistik, Survei dan Sensus, menunjukkan populasi masyarakat adat di negara menurut wilayah dan kelompok etnik. Namun Komite juga mencatat bahwa pemerintah belum menyempurnakan Piagam Masyarakat Pribumi, dan identifi kasi Komite Tenaga Ahli mencatat, data statistik yang disediakan oleh pemerintah sejak sensus 2002 yang dilaksanakan Direktorat Statistik, Survei dan Sensus, menunjukkan populasi masyarakat adat di negara menurut wilayah dan kelompok etnik. Namun Komite juga mencatat bahwa pemerintah belum menyempurnakan Piagam Masyarakat Pribumi, dan identifi kasi
memenuhi kriteria sebagai masyarakat adat Konvensi belum dimasukkan. Menurut Komite
sebagaimana tertera dalam Konvensi dan Tenaga Ahli, dalam Pasal 1 ayat (2) Konvensi,
mereka telah menggunakan tanahnya sesuai identifi kasi diri sebagai anggota masyarakat
dengan cara kerja leluhur dan tradisi mereka. adat harus dianggap sebagai kriteria mendasar
Merujuk undang-undang negara yang untuk menentukan kelompok-kelompok yang menyatakan, “masyarakat berkulit hitam diidentifi kasi berdasarkan ketentuan Konvensi. terdiri dari keluarga-keluarga gabungan Karena itu, Komite meminta agar pemerintah asal Afrika-Kolombia yang memiliki budaya membuat ketegasan legislatif tentang kriteria ini sendiri, kesamaan sejarah, serta adat istiadat dalam berkonsultasi dengan masyarakat adat. dalam konteks hubungan antara wilayah yang
Committee of Experts, 77 th Session, 2006, ditempati dan wilayah pedesaan, di mana Individual Direct Request, Paraguay, submitted
mereka mampu menunjukkan dan tetap 2007
mempertahankan kesadaran tentang identitas yang membedakan dirinya dari kelompok etnik lain”, maka Komite Tenaga Ahli berkesimpulan,
Argentina: Mengakui masyarakat adat sebagai masyarakat berkulit hitam Curbaradó dan badan hukum
Jiguamiandó memenuhi syarat sebagaimana Komite Tenaga Ahli mencatat, di beberapa
tertera dalam Pasal 1 ayat 1 (a) Konvensi. provinsi, masyarakat adat mengajukan status
Selanjutnya, untuk menjaga prinsip-prinsip hukum perorangan sebagai perhimpunan
identifi kasi diri, Komite Tenaga Ahli mencatat masyarakat. Komite pun meminta pemerintah
“dengan indikasi bahwa wakil-wakil dalam menempuh langkah-langkah untuk memastikan
dewan masyarakat Curbaradó dan Jiguamiandó bahwa mereka diakui sebagai masyarakat
turut serta dalam komunikasi, maka dalam adat. Perhimpunan masyarakat di sini memang menentukan penerapan Konvensi pada
terkesan sebagai suatu badan baru yang tidak masyarakat, mereka mengidentifi kasi-diri sepenuhnya sesuai dengan prinsip Konvensi.
sebagai suku dalam masyarakat adat”. Komite juga tertarik pada keputusan pengadilan
Committee of Experts, 76 th Session, 2005, di Provinsi Chacho, di mana Konvensi dan
Observation, Colombia, published 2006 konstitusi provinsi diandalkan untuk “meminta
pemerintah Provinsi Chacco membentuk tempat pendaftaran penduduk dan organisasi pribumi
Meksiko: Bahasa sebagai kriteria untuk dalam bentuk deklarasi, serta mendaftar dewan
menentukan siapa masyarakat adat yang berkaitan dalam lima hari. “Karena status
Dalam laporan pemerintah, masyarakat adat hukum perorangan kelompok-kelompok pribumi
Meksiko merupakan jumlah terbesar di Amerika adalah fakta yang sudah ada sebelumnya dan
Latin, sebagaimana diperkirakan oleh National memerlukan pengakuan tanpa syarat oleh Council of Population (CONAPO). Laporan negara,” begitu kesimpulan Komite. tersebut diperoleh dari survei atas 12,7 juta
Committee of Experts, 77 th Session, 2006, orang yang terdiri dari 62 masyarakat adat. Individual Direct Request, Argentina,
Survei CONAPO meliputi pertanyaan tentang submitted 2007
bahasa asli yang digunakan anggota kelompok pribumi dari sekurang-kurangnya satu anggota rumah tangga. Survei ini memberikan enam
Kolombia: Penerapan Konvensi pada kategori dalam jawaban terhadap pertanyaan, masyarakat Kolombia keturunan Afrika di mana keempatnya berbunyi, “Tidak
Pada tahun 2005, Komite Tenaga Ahli menerima berbahasa asli dan termasuk dalam kelompok informasi tentang dua masyarakat Kolombia
masyarakat adat.”
keturunan Afrika. Informasi itu menyatakan,
HAK-HAK MASYARAKAT ADAT YANG BERLAKU - PEDOMAN UNTUK KONVENSI ILO No. 169
Namun demikian, laporan pemerintah juga
itu menyebutkan Denmark
menunjukkan proses “de-indianisasi” telah
tidak mematuhi ketentuan
menyebabkan banyak orang asli meninggalkan
Pasal 14 ayat (2) Konvensi
masyarakat asalnya, sehingga menyebabkan
No. 169, yang menyatakan
mereka kehilangan bahasa asli serta identitas
bahwa pemerintah harus
etniknya.
mengambil langkah-langkah untuk mengidentifi kasi
Sejak sensus resmi pertama dilakukan di Meksiko
tanah-tanah yang secara adat
pada 1895, bahasa menjadi kriteria utama
ditempati oleh masyarakat adat,
untuk mengidentifi kasi masyarakat adat. Namun
dan menjamin perlindungan
demikian, karena banyak masyarakat adat
tegas atas hak milik mereka.
tidak lagi menggunakan bahasa asli mereka, Komite Tenaga Ahli meminta pemerintah
Keluhan ini timbul sehubungan
untuk menyatakan bahwa orang-orang dalam
dengan adanya relokasi atas
kategori tidak berbahasa asli dan tidak termasuk
penduduk yang mendiami
dalam kelompok masyarakat adat harus ikut
pemukiman Uummannaq (distrik
mendapatkan perlindungan yang diberikan
Thule) di Greenland barat laut
menurut ketentuan Konvensi. untuk perluasan Pangkalam Udara Thule, pada Mei 1953. Masyarakat Ummannaq pun
Komite mencatat bahwa penerapan Pasal 1 mengklaim hak khusus atas tanah di wilayah tidak terbatas, karena ini tidak meliputi bahasa
Greenland tersebut. Dalam konteks kasus ini, sebagai kriteria untuk menentukan masyarakat
diperdebatkan apakah masyarakat Ummannaq yang dilindungi menurut Konvensi.
merupakan penududuk asli dengan tanah Committee of Experts, 76 th Session, 2005,
yang jelas, atau mereka adalah bagian dari Individual Direct Request, Mexico, submitted
masyarakat adat Greenland yang lebih luas 2006
(Inuit). Dalam meneliti kasus ini, komite tripartit ILO
mencatat para pihak dalam kasus ini tidak Greenland: Pengakuan sebagai penduduk
memperselisihkan bahwa masyarakat Inuit bukan sebagai masyarakat individu
yang mendiami Uummannaq pada saat relokasi Pada 1999, sesuai Pasal 24 Anggaran Dasar
memiliki asal-usul yang sama dengan Inuit di ILO, suatu kasus diajukan kepada ILO. Kasus
daerah lain di Greenland, menggunakan bahasa
I. IDENTIFIKASI MASYARAKAT ADAT I. IDENTIFIKASI MASYARAKAT ADAT
mana masyarakat itu tinggal atau bagaimana menyebut diri mereka sebagai orang Greenland
mereka secara tradisional mencari nafkah. Di (Kalaalit).
negara-negara Asia, misalnya, istilah-istilah yang digunakan adalah “orang gunung” atau
Selanjutnya Komite mencatat, mereka “memiliki “peladang berpindah”, sementara sejumlah kesamaan sosial, ekonomi, budaya dan politik masyarakat adat di Afrika dikenal sebagai seperti penduduk Greenland lainnya (lihat “pastoralists” dan “pemburu-pengumpul”. Di Pasal 1 ayat (1) Konvensi), keadaan yang Amerika Latin, istilah “petani” sudah digunakan tidak membedakan penduduk Uummannaq di beberapa negara. Dalam beberapa dekade dari penduduk Greenland lainnya. Mengenai terakhir, sebagian besar negara dan wilayah ketentuan Pasal 1 ayat (2) Konvensi yang
menyebutkan identifi kasi diri menjadi kriteria telah menetapkan pengertian praktis tentang dasar untuk menentukan kelompok, ini secara
konsep masyarakat adat.
khusus menyangkut identifi kasi diri masyarakat Seiring dengan perjalanan waktu, masyarakat asli atau masyarakat adat, dan mereka tidak
adat pun makin menyebut dirinya sebagai harus merasa menjadi “masyarakat” yang
masyarakat atau bangsa khusus sehingga berbeda dengan masyarakat adat lain. Komite
memperoleh pengakuan secara konstitusional merasa tidak ada dasar untuk menganggap
dan legal di banyak negara. Kecenderungan penduduk Uummannaq sebagai masyarakat
lainnya, berkaitan dengan meningkatnya yang terpisah dari penduduk Greenland
masyarakat migran yang mulai bergaya hidup lainnya”.
perkotaan, di mana mereka menerima bentuk baru dalam menyatakan identitas mereka.
Komite mencatat, “tanah yang secara adat ditempati oleh orang Inuit sudah ditentukan
Ungkapan-ungkapan baru untuk identifi kasi diri dan terdiri dari seluruh wilayah Greenland”.
juga turut memengaruhi perubahan, seperti Dengan demikian dalam keadaan khusus
transformasi dari struktur masyarakat adat dan dari kasus ini, Komite berpendapat, meminta
munculnya masyarakat yang berupa keluarga pembatasan tanah di Greenland untuk
besar, warga dwi kebangsaan dan masyarakat kepentingan kelompok khusus warga Greenland
transnasional.
akan bertentangan dengan sistem yang sudah ditetapkan yaitu hak bersama atas tanah
Afrika: Identifi kasi masyarakat adat oleh berdasarkan tradisi penduduk Greenland dan African Commission on Human and People’s itu tetap harus diberlakukan oleh pemerintah
Rights
Greenland.”
Pada 2003, Kelompok Kerja di bawah African Governing Body, 280 Session, March 2001, Commission on Human and People’s Rights Representation under article 24 of ILO (ACHPR) menerbitkan laporan tentang Constitution, Denmark, GB.280/18/5. Penduduk/Masyarakat Pribumi di Afrika.
th
Laporan ini menyimpulkan, defi nisi ketat
1.4. PENERAPAN DALAM PRAKTIK:
tentang masyarakat adat tidak penting dan
PERNYATAAN CAKUPAN
tidak dikehendaki karena akan berisiko pada tidak dimasukkannya kelompok-kelompok
Pernyataan cakupan ILO digunakan secara tertentu. Laporan itu juga membahas tentang luas sebagai prinsip penuntun menyeluruh,
argumentasi umum yang mengatakan semua baik dalam proses nasional maupun wilayah,
orang Afrika adalah pribumi, yang dilihat dalam mengidentifi kasi masyarakat adat.
sebagai argumentasi yang berkaitan dengan Beberapa negara tidak menggunakan bahasa
kolonisasi bangsa Eropa. Selain itu, laporan juga penduduk “pribumi” atau “adat” melainkan
menekankan bahwa ini bukan masalah hak-hak menggunakan istilah nasional atau lokal lain.
khusus atas bagian-bagian lain masyarakat, melainkan masalah perlunya hak-hak khusus
HAK-HAK MASYARAKAT ADAT YANG BERLAKU - PEDOMAN UNTUK KONVENSI ILO No. 169 HAK-HAK MASYARAKAT ADAT YANG BERLAKU - PEDOMAN UNTUK KONVENSI ILO No. 169
adat
masyarakat adat. Di Afrika, masyarakat adat disebut juga
Laporan ini merekomendasikan pendekatan dengan istilah etnik minoritas, kelompok untuk mengidentifi kasi, bukan mendefi nisikan,
rawan, pastoralis, pemburu/pengumpul, masyarakat adat berdasarkan kriteria dan
pygnies, dan lain sebagainya. Sebagian besar menekankan ciri-ciri dari masyarakat Afrika,
dari masyarakat yang mengidentifi kasikan yakni:
diri sebagai pribumi, mempraktikkan cara Budaya dan gaya hidup yang berbeda jauh berburu untuk nafkah mereka—walaupun ada juga sedikit masyarakat pemburu/petani
dari budaya dan gaya hidup masyarakat yang menyebut dirinya sebagai pribumi. umumnya. Masyarakat ini berangsur-angsur diterima
Budaya sedang terancam, dalam beberapa sebagai masyarakat adat, terutama di hal justru mendekati kepunahan.
Kenya dan Afrika Selatan. Proses ini sudah Bertahannya gaya hidup yang khas,
dipromosikan dan didorong pengakuannya tergantung pada akses dan hak-hak atas
dengan dilakukannya kunjungan ke kedua tanah dan sumber daya adat.
negara oleh UN Special Rapporteur tentang Mendiami daerah yang sulit dicapai, hak asasi manusia dan kemerdekaan hakiki
terpencil secara geografi s. masyarakat adat pada 2006. Di Kenya, Special Rapporteur merekomendasikan hak-hak
Mengalami marjinalisasi politik dan sosial masyarakat pemburu-pengumpul harus berakar sertaberhadapan dengan dominasi dan
konstitusional, karenanya peraturan perundang- eksploitasi dalam struktur politik dan
undangan khusus harus diberlakukan untuk ekonomi nasional.
melindungi mereka.
Report of the African Commisison’s Working Di Afrika Selatan, kabinet mengadopsi Groups of Experts on Indigenous Populations/
memorandum tahun 2004 yang menetapkan proses kebijakan untuk mengakui Khoe
Communities, adopted by ACHPR, at its 28 th
Session, 2005, Published by the ACHPR and dan San sebagai masyarakat pribumi IWGIA
yang rawan mengalami marjinalisasi dan berhak mendapatkan perlindungan khusus.
19
I. IDENTIFIKASI MASYARAKAT ADAT
20 HAK-HAK MASYARAKAT ADAT YANG BERLAKU - PEDOMAN UNTUK KONVENSI ILO No. 169
Namun demikian, memorandum ini belum diterjemahkan ke dalam kebijakan resmi yang mengakui Koe dan San sebagai masyarakat adat Afrika Selatan. Di Uganda, tidak ada kebijakan resmi pemerintah yang mengakui masyarakat adat sebagaimana dipahami dalam hukum internasional, namun ada proses ke arah pengakuan beberapa kelompok masyarakat sebagai kaum minoritas. Kementerian Urusan Gender, Perburuhan dan Pembanguan Sosial, misalnya, baru-baru ini melakukan persiapan pengembangan bank data yang dapat memberi informasi tentang masyarakat etnik minoritas. Di Rwanda, walaupun tidak ada pengakuan resmi tentang masyarakat adat, pada tahun 2006 Komisi Nasional Persatuan dan Rekonsiliasi mengakui bahwa masyarakat Batwa sudah secara sistematis dilupakan dan diacuhkan sehingga perlu diberi perhatian khusus. Untuk itu, Komisi merekomendasikan langkah-langkah khusus untuk kepentingan Batwa dalam segi layanan pendidikan dan kesehatan.
Report of the UN Special Rapporteur on the human rights and fundamental freedoms of indigenous people,’ Mission to South Africa and Kenya, 2006; IWGIA, the Indigenous World, 2006; CAURWA, Convention relative aux droits de l’enfant, Contre rapport présenté par CAURWA, Kigali, 2004. Case prepared by Naomi Kipuri
Nepal: Pengakuan atas bangsa pribumi Pemerintah Nepal pertama kali mengakui
konsep bangsa pribumi pada tahun 1997 dengan membentuk Komite Nasional untuk Pengembangan Bangsa Pribumi. Bersama dengan dokumen perencanaan nasional, yaitu Rencana Kesembilan (1997-2002), ini merupakan pengakuan resmi atas satu daftar kelompok etnik khusus sebagai pribumi. Namun demikian, baik dokumen maupun ketentuan hukum tidak menetapkan istilah “bangsa pribumi” dan baru diwujudkan lima tahun kemudian sebelum dibentuknya National Foundation for the Development of Indigenous Nationalities (NFDIN/Badan Nasional untuk Pengembangan Bangsa-bangsa Pribumi). Dengan dibentuknya NFDIN pada 2002, masyarakat adat memiliki
landasan semi otonomi, memiliki dewan pemerintahan yang terdiri dari wakil-wakil pemerintah dan masyarakat adat.
Pada praktiknya, daftar yang dibuat pemerintah atas kelompok-kelompok pribumi yang diakui serta prosedur pengakuan telah menimbulkan sedikit pertentangan. Kini daftar isi ini berisi 59 kelompok, tetapi masih ada sejumlah kelompok yang mengaku sebagai masyarakat adat. Ada juga masyarakat yang diakui termasuk kelompok yang lebih besar, tetapi mengaku sebagai penduduk berciri khusus, yang berhak mendapatkan nama dan pengakuan terpisah.
Dalam batas lebih luas, pertentangan ini tumbuh akibat dari sistem dan cara-cara yang berkembang di Nepal untuk menjamin adanya wakil-wakil dan akses masyarakat adat ke layanan pemerintah. Masing-masing dari
59 kelompok memiliki organisasi nasional. Belakangan, NFDIN dan organisasi payung masyarakat adat, yaitu Nepal Federation of Indigenous Nationalities (NEFIN), sangat mengandalkan organisasi ini sebagai wadah keterwakilan, konsultasi dan partisipasi. Dengan cara ini, organisasi-organisasi nasional dan pengurus mereka mampu menjadi pemegang kunci proses konsultasi dan partisipasi masyarakat adat. Bila sebagian masyarakat merasa kurang diwakili oleh organisasi, mereka akan cenderung mencari pengakuan sebagai masyarakat adat sendiri untuk mendapatkan akses yang lebih baik pada pemerintahan. Dengan cara ini, ketegangan dan konfl ik tentang perwakilan di organisasi pribumi nasional, berkembang menjadi keraguan atas pengakuan pemerintah terhadap kelompok- kelompok tertentu.
Setelah ratifi kasi Konvensi No. 169 pada 2007, pemerintah Nepal membentuk komite untuk meninjau kembali daftar kelompok pribumi yang diakui. Selain itu, Satuan Tugas Pemerintah untuk Pelaksanaan Konvensi No. 169 (lihat bagian 3) telah merekomendasikan pemerintah untuk mengadopsi defi nisi resmi tentang masyarakat adat, berdasarkan kritera identifi kasi dalam Konvensi. Meski proses belum berjalan tetapi ada kemungkinan hasilnya merupakan pendekatan yang kurang statik dan lebih berorientasi pada proses atas kelompok- Setelah ratifi kasi Konvensi No. 169 pada 2007, pemerintah Nepal membentuk komite untuk meninjau kembali daftar kelompok pribumi yang diakui. Selain itu, Satuan Tugas Pemerintah untuk Pelaksanaan Konvensi No. 169 (lihat bagian 3) telah merekomendasikan pemerintah untuk mengadopsi defi nisi resmi tentang masyarakat adat, berdasarkan kritera identifi kasi dalam Konvensi. Meski proses belum berjalan tetapi ada kemungkinan hasilnya merupakan pendekatan yang kurang statik dan lebih berorientasi pada proses atas kelompok-
sumber daya alam pada habitat dan wilayah memastikan hak masyarakat atas konsultasi,
ini; lembaga budaya, ekonomi, sosial atau partisipasi dan keterwakilan dalam hubungan
politik berdasarkan kebiasaan yang terpisah mereka dengan organisasi nasional, masih perlu
dari masyarakat dan budaya dominan; dan (d) dicari jawabannya.
bahasa asli, seringkali berbeda dengan bahasa Pertanyaan penting lain yang berkembang di
resmi dari negara atau wilayah.
Nepal adalah apakah pengakuan masyarakat Defi nisi operasional dari istilah masyarakat adat adat dengan sendirinya akan membuat
didasarkan pada pernyataan cakupan dalam anggotanya berhak atas program positif dari
Konvensi No. 169 dan meliputi unsur-unsur pemerintah (lihat bagian 11).
utama defi nisi ILO yakni identifi kasi diri sebagai warga pribumi, keterikatan historis pada wilayah
Programme to Promote ILO Convention leluhur, lembaga budaya, ekonomi, sosial dan No. 169, project reports Nepal, 2008-2009;
politik yang khas.
Krishna Bhattachan: Indigenous Peoples and Minorities in Nepal, 2008
Operational Policy 4.10 on Indigenous Peoples, World Bank 2005; John Henriksen: Key Principles in Implementing ILO
Bank Dunia: Kriteria menentukan penerapan
Convention No. 169, ILO, 2008
kebijakan bank atas masyarakat adat Bank Dunia menggunakan istilah masyarakat
Bangladesh: Identifi kasi
adat dalam arti umum untuk menunjuk pada kelompok-kelompok khusus dengan ciri-ciri
Dengan penduduk berjumlah 120 juta jiwa, dalam skala bervariasi: (a) identifi kasi diri sebagai
Bangladesh menempati urutan kedelapan anggota dari kelompok budaya asli yang khas
sebagai negara dengan jumlah penduduk dan pengakuan identitas tersebut oleh pihak
terbesar di dunia. Masyarakat adat berjumlah lain; keterikatan bersama pada habitat khas
sekitar 1,08 persen dari total penduduk negeri.
I. IDENTIFIKASI MASYARAKAT ADAT
Masyarakat adat di Bangladesh dikenal dalam Jumlah masyarakat adat di Bangladesh beberapa nama seperti pahari (orang gunung),
diperkirakan meliputi 12-46 masyarakat. jumma (dari tradisi jhum/jum atau peladangan
Ketidakpastian jumlah ini disebabkan karena berpindah), adivasi (penduduk asli), upajati atau
nama-nama yang digunakan masyarakat suku bangsa. Ada juga undang-undang tertentu
berbeda-beda, penulisan yang berbeda atas yang menggunakan istilah pribumi orang
nama kelompok, kategorisasi sub kelompok gunung atau suku pribumi.
sebagai kelompok tersendiri, dan makin banyaknya jumlah kelompok yang menamakan
Sebelumnya, pemerintah Bangladesh memilih
dirinya sebagai pribumi.