PERAN SUNAN GUNUNG JATI DALAM PROSES PEN

PERAN SUNAN GUNUNG JATI DALAM PROSES PENYEBARAN ISLAM
DI JAWA
Oleh :
Aulia Urrohman*
*Mahasiswa ilmu perpustakaan semester 6 b
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
A. Pendahuluan
Masuknya agama Islam ke daerah-daerah di Indonesia tidak dalam waktu
bersamaan.Pada abad ke-7 sampai ke-10 kerajaan Sriwijaya meluaskan kekuasaannya
sampai ke Malaka dan Kedah.Hingga sampai akhir abad ke-12 perekonomian
Sriwijaya mulai melemah.Keadaan seperti ini dimanfaatkan Malaka untuk
melepaskan diri dari Sriwijaya hingga beberapa abad kemudian Islam masuk ke
berbagai wilayah Nusantara, dan pada abad ke-11 Islam sudah masuk di pulau Jawa.
Pada abad 15 para saudagar muslim telah mencapai kemajuan pesat dalam
usaha bisnis dan dakwah hingga mereka memiliki jaringan di kota-kota bisnis di
sepanjang pantai Utara. Komunitas ini dipelopori oleh Walisongo yang membangun
masjid pertama di tanah Jawa. Masjid Demak yang menjadi pusat agama yang
mempunyai peran besar dalam menuntaskan Islamisasi di seluruh Jawa.Walisongo
berasal dari keturunan syeikh ahmad bin isa muhajir dari hadramaut. Beliau dikenal
sebagai tempat pelarian bagi para keturunan nabi dari arab saudi dan daerah arab lain
yang tidak menganut syiah.1

Penyebaran agama Islam di Jawa terjadi pada waktu kerajaan
Majapahit runtuh disusul dengan berdirinya kerajaan Demak. Era tersebut
merupakan masa peralihan kehidupan agama, politik, dan seni budaya. Di
kalangan penganut agama Islam tingkat atas ada sekelompok tokoh pemuka
1

Mukhlis PaeEni, Sejarah Kebudayaan Indonesia, (Religi dan Filsafat), ( Jakarta, PT Raja
Grafindo Persada, 2009), h. 76.

1

agama dengan sebutan Wali. Istilah Wali diartikan sebagai “orang suci”,
sementara istilah “sunan” berasal dari bahasa jawa “suhun” yang artinya
dihormati atau disembah. Dengan demikian, sunan merupakan gelar kehormatan
yang diberikan kepada orang-orang suci atau keramat yaitu para wali dan juga
diberikan kepada para raja Islam di Jawa di samping gelar Sultan. Para wali itu
dalam tradisi Jawa dikenal sebagai “Walisanga”, yang merupakan lanjutan
konsep pantheon dewa Hindhu yang jumlahnya juga Sembilan orang. Adapun
Sembilan orang wali yang dikelompokkan sebagai pemangku kekuasaan
pemerintah yaitu Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan

Drajat, Sunan Giri, Sunan Muria, Sunan Kudus, Sunan Kalijaga, dan Sunan
Gunung Jati.2 Dalam makalah ini saya akan membahas tentang “peran sunan
gunung jati dalam proses penyebaran islam di Jawa” yang kajiannya mencakup
pada biografi, proses dan cara penyebarannya, dan pengaruhnya.
Biografi Sunan Gunung Jati
Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah adalah satu-satunya Wali yang
menyebarkan agama Islam di Jawa barat. Sunan Gunung Jati dilahirkan Tahun 1448
Masehi. Ayahnya adalah Syarif Abdullah bin Nur Alam bin Jamaluddin Akbar,
seorang Mubaligh dan Musafir besar dari Gujarat, India yang sangat dikenal sebagai
Syekh Maulana Akbar bagi kaum Sufi di tanah air. Syekh Maulana Akbar adalah
putra Ahmad Jalal Syah putra Abdullah Khan putra Abdul Malik putra Alwi putra
Syekh Muhammad Shahib Mirbath, ulama besar di Hadramaut, Yaman yang
silsilahnya sampai kepada Rasulullah melalui cucunya Imam Husain. Sedangkan Ibu
Sunan Gunung Jati adalah Nyai Rara Santang (Syarifah Muda'im) yaitu putri dari Sri
Baduga Maharaja Prabu Siliwangi dari Nyai Subang Larang, dan merupakan adik
dari Kian Santang atau Pangeran Walangsungsang yang bergelar Cakrabuwana /
2

Tatang Ibrahim, Sejarah Kebudayaan Islam, Madrasah Tsanawiyah Untuk Kelas IX Semester
1 dan 2, (Bandung,: CV ARMICO, 2009), h. 25-26.


2

Cakrabumi atau Mbah Kuwu Cirebon Girang yang berguru kepada Syekh Datuk
Kahfi, seorang Muballigh asal Baghdad bernama asli Idhafi Mahdi bin Ahmad.
Pada masa remajanya Sunan Gunung jati berguru kepada Syekh Tajudin alKubri dan Syekh Ataullahi Sadzili di Mesir, kemudian ia ke Baghdad untuk belajar
Tasawuf.3
Pada usia 20 tahun, Syarif Hidayatullah pergi ke Mekah untuk menuntut Ilmu.
Setelah selesai menuntut ilmu pada tahun 1470 dia berangkat ketanah Jawa untuk
mengamalkan ilmunya. Disana beliau bersama ibunya disambut gembira oleh
pangeran Cakra Buana. Syarif Hidayatullah dan ibunya Syarifah Muda’im datang di
negeri Caruban Larang Jawa Barat pada tahun 1475 sesudah mampir dahulu di
Gujarat dan Pasai untuk menambah pengalaman. Kedua orang itu disambut gembira
oleh Pangeran Cakrabuana dan keluarganya. Syarifah Mada’in minta agar diizinkan
tinggal dipasumbangan Gunung Jati dan disana mereka membangun pesantren untuk
meneruskan usahanya Syeh Datuk Latif gurunya pangeran Cakra Buana. Oleh karena
itu Syarif Hidayatullah dipanggil Sunan Gunung Jati. Lalu ia dinikahkan dengan putri
Cakra Buana Nyi Pakung Wati kemudian ia diangkat menjadi pangeran Cakra Buana
yaitu pada tahun 1479 dengan diangkatnya ia sebagai pangeran dakwah islam
dilakukannya melalui diplomasi dengan kerajaan lain. Selanjutnya yaitu pada tahun

1479, karena usianya sudah lanjut Pangeran Cakrabuana menyerahkan kekuasaan
Negeri Caruban kepada Syarif Hidayatullah dengan gelar Susuhunan artinya orang
yang dijunjung tinggi.
Disebutkan, pada tahun pertama pemerintahannya Syarif Hidayatullah
berkunjung ke Pajajaran untuk mengunjungi kakeknya yaitu Prabu Siliwangi. Sang
Prabu diajak masuk Islam kembali tapi tidak mau. Mesti Prabu Siliwangi tidak mau
masuk Islam, dia tidak menghalangi cucunya menyiarkan agama Islam di wilayah
Pajajaran. Syarif Hidayatullah kemudian melanjutkan perjalanan ke Serang.
3

Budiono Hadi Sutrisno, Sejarah walisongo Misi Pengislaman di Tanah Jawa,(Yogyakarta:
Graha Pustaka, 2009), h. 162.

3

Penduduk Serang sudah ada yang masuk Islam dikarenakan banyaknya saudagar dari
Arab dan Gujarat yang sering singgah ke tempat itu. Kedatangan Syarif Hidayatullah
disambut baik oleh adipati Banten. Bahkan Syarif Hidayatullah dijodohkan dengan
putri Adipati Banten yang bernama Nyi Kawungten. Dari perkawinan inilah
kemudian Syarif Hidayatullah di karuniai orang putra yaitu Nyi Ratu Winaon dan

Pangeran Sebakingking. 4
Pada usia 89 tahun, Sunan Gunung Jati mundur dari jabatannya untuk hanya
menekuni dakwah. Kekuasaan itu diserahkannya kepada Pangeran Pasarean. Pada
tahun 1568 M, Sunan Gunung Jati wafat dalam usia 120 tahun, di Cirebon (dulu
Carbon). Ia dimakamkan di daerah Gunung Sembung, Gunung Jati, sekitar 15
kilometer sebelum kota Cirebon dari arah barat.5

Proses dan Cara Penyebaran Islam Sunan Gunung Jati
Dalam menyebarkan agama islam di Tanah Jawa, Sunan Gunung Jati tidak
bekerja sendirian, beliau sering ikut bermusyawarah dengan anggota wali lainnya di
Masjid Demak. Bahkan disebutkan beliau juga membantu berdrinya Masjid Demak.
Dari pergaulannya dengan Sultan Demak dan para Wali lainnya ini akhirnya Syarif
Hidayatullah

mendirikan

Kesultanan

Pakungwati


di

Cirebon

dan

ia

memproklamirkan diri sebagai Raja yang pertama dengan gelar Sultan. Pada era
Syarif Hidayatullah atau lebih dikenal dengan gelar Sunan Gunung Jati dapat
dikatakan

sebagai

era

keemasan

(Golden


Age)

perkembangan

Islam

di

Cirebon. Sebelum Syarif Hidayatullah, Cirebon dipimpin oleh Pangeran Cakrabuana
(1447-1479) merupakan rintisan pemerintahan berdasarkan asas Islam, dan setelah

4

Edi S. Ekajati, Sejarah Lokal Jawa Barat, (Jakarta: Interumas Sejahtera, 1992), h. 32.
Agus Sunyoto, Wali Songo: Rekonstruksi Sejarah yang Disingkirkan, (Jakarta: Transpustaka,
2011), h. 90.
5

4


Syarif Hidayatullah, pengaruh para penguasa Cirebon masih berlindung di balik
kebesaran nama Syarif Hidayatullah. 6
Dengan berdirinya Kesultanan tersebut Cirebon tidak lagi mengirim upeti
kepada Pajajaran yang biasanya disalurkan lewat Kadipaten Galuh. Tindakan ini
dianggap sebagai pembangkangan oleh Raja Pajajaran. Raja Pajajaran tak peduli
siapa yang berdiri di balik Kesultanan Cirebon itu maka dikirimkannya pasukan
prajurit pilihan yang dipimpin oleh Ki Jagabaya. Tugas mereka adalah menangkap
Sunan Gunung Jati yang dianggap lancang mengangkat diri sebagai raja tandingan
Pajajaran. Tapi usaha ini tidak berhasil, Ki Jagabaya dan anak buahnya malah tidak
kembali ke Pajajaran, mereka masuk Islam dan menjadi pengikut Sunan Gunung Jati.
Dengan bergabungnya prajurit dan perwira pilihan ke Cirebon maka makin
bertambah besarlah pengaruh Kesultanan Pakungwati. Daerah-daerah lain seperti :
Surantaka, Japura, Wana Giri, Telaga dan lain-lain menyatakan diri menjadi wilayah
Kesultanan Cirebon. Lebih-lebih dengan diperluasnya Pelabuhan Muara Jati, makin
bertambah besarlah pengaruh Kasultanan Cirebon.7
Sebagai anggota Wali Songo dalam berdakwahnya Sunan Gunung Jati
menerapkan berbagai metode dalam proses islamisasi di tanah Jawa. Adapun ragam
metode dakwahnya menurut Dadan Wildan (2003) adalah sebagai berikut :
1. Metode “maw’izhatul hasanah wa mujahadalah bilati hiya ahsan”. Dasar
metode ini merujuk pada Al-qur’an surat An-Nahl ayat 125, yang artinya:

“Seluruh manusia kepada jalan tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang
baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu
yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalanNya dan Dialah
yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”.

6

Mastuki HS, dan M. Ishom El-Saha (edit.), Intelektualisme Pesantren: Potret Tokoh dan
Cakrawala Pemikiran di era Pertumbuhan Pesantren, (Jakarta: Diva Pustaka, 2003), h. 21-34
7
Edi S. Ekajati, Sejarah Lokal Jawa Barat, (Jakarta: Interumas Sejahtera, 1992), h. 32.

5

2. Metode “Al-Hikmah” sebagai sistem dan cara berdakwah para wali yang
merupakan jalan kebijaksanaan yang diselanggarakan secara populer, atraktif,
dan sensasional. Cara ini mereka pergunakan dalam menghadapi masyarakat
awam. Dengan tata cara yang amat bijaksana, masyarakat awam itu mereka
hadapi secara masal, kadang-kadang terlihat sensasional bahkan ganjil dan
unik sehingga menarik perhatian umum.

3. Metode “Tadarruj” atau “Tarbiyatul Ummah”, dipergunakan sebagai proses
klasifikasi yang disesuaikan dengan tahap pendidikan umat, agar ajaran islam
dengan mudah dimengerti oleh umat dan akhirnya dijalankan oleh masyarakat
secara merata. Metode ini diperhatikan setiap jenjang, tingkat, bakat. Materi
dan kurikulumnya, tradisi ini masih tetap dipraktekan dilingkungan pesantren.
4. Metode pembentukan dan penanaman kader serta penyebaran juru dakwah ke
berbagai daerah. Tempat yang dituju ialah daerah yang sama sekali kosong
dari pengaruh Islam.
5. Metode kerjasama, dalam hal ini diadakan pembagian tugas masing-masing
para wali dalam mengislamkan masyarakat tanah Jawa. Misalnya Sunan
Gunung Jati bertugas menciptakan doa mantra untuk pengobatan lahir batin,
menciptakan hal-hal yang berkenaan dengan pembukaan hutan, transmigrasi
atau pembangunan masyarakat desa.
6. Metode musyawarah, para Wali sering berjumpa dan bermusyawarah
membicarakan berbagai hal yang berkaitan dengan tugas dan perjuangan
mereka. Semetara dalam pemilihan wilayah dakwahnya tidaklah sembarangan
dengan mempertimbangkan faktor geogstrategi yang sesuai dengan kondisi
zamannya.
Sunan Gunung Jati sendiri dilingkungan masyarakatnya selain sebagai
pendakwah, juga berperan sebagai politikus, pemimpin dan juga berperan sebagai

budayawan. Pemilihan Cirebon sebagai pusat aktivitas dakwahnya Sunan Gunung
Jati, tidak dapat dilepaskan hubungannya dengan jalur perdagangan, demikian juga

6

telah dipertimbangkan dari aspek sosial, politik, ekonomi, nilai geostrategis,
geopolitik dan geoekonomi yang menentukan keberhasilan penyebaran Islam
selanjutnya.8
Pengaruh Sunan Gunung Jati di Jawa
Sebagaimana disebut di awal pembahasan, setiap Sunan dalam Wali Songo
mempunyai tugas masing-masing. Seperti disebutkan Sunyoto, tugas tokoh-tokoh Wali
Songo dalam mengubah dan menyesuaikan tatanan nilai dan sistem sosial budaya
masyarakat, sebagai berikut:

 Sunan Ampel membuat peraturan-peraturan yang Islami untuk masyarakat
Jawa. Raja Pandhita di Gresik merancang pola kain batik, tenun lurik, dan
perlengkapan kuda. Susuhunan Majagung mengajarkan mengolah berbagai
macam jenis masakan, lauk pauk, memperbarui alat-alat pertanian, membuat
gerabah. Syarif Hidayatullah di Cirebon mengajarkan tatacara berdoa dan
membaca mantera, tatacara pengobatan, serta tatacara membuka hutan. Sunan
Giri membuat tatanan pemerintahan di Jawa, mengatur perhitungan kalender
siklus perubahan hari, bulan, tahun, windu, menyesuaikan siklus pawukon,
juga merintis pembukaan jalan. Sunan Bonang mengajar ilmi suluk, membuat
gamelan, menggubah irama gamelan. Sunan Drajat, mengajarkan tatacara
membangun rumah, alat yang digunakan orang untuk memikul orang seperti
tandu dan joli. Sunan Kudus, merancang pekerjaan peleburan, membuat keris,
melengkapi peralatan pande besi, kerajinan emas, juga membuat peraturan
undang-undang hingga sistem peradilan yang diperuntukkan bagi orang
Jawa.9
8

Dadang Kurnia, Metode Dakwah Sunan gunung Jati (Suatu Tinjauan dari Sudut Pandang
Antropologi Pendidikan), Jurnal Pendidikan Dasar Volume : V- Nomor : 7-April 2007.
9
Sunyoto., h. 90-91. Dalam bahasa Primbonnya, sebagai berikut: Susuhunan ing Ngampeldenta handamel pranating agami Islam, kanggenipun ing tiyang Jawi. Raja Pandhita ing Gresik
amewahi ing polanipun ing sinjang, sinjang batik, kaliyan sinjang lurik, saha amewahi ing
wangunipun kakapaning kuda. Susuhunan ing Majagung amewahi wangunipun ing olah-olahan,
dadaharan hutawi ulam-ulaman, kaliyan amewahi parabotanipun ing among tani, utawi andamel
garabah. Kanjeng Susuhunan ing Gunung Jati ing Cirebon, amewahi donga hakaliyan mantra, utawi

7

 Menurut Serat Walisana, seperti disebut Sunyoto, tokoh Syarif Hidayatullah
dikisahkan memiliki kaitan dengan ajaran sufisme melalui kitab-kitab Syaikh
Ibrahim Arki, Syaikh Sbti, Syaikh Muhyiddin Ibn ‘Arabi, Syaikh Abu Yazid
Bustomi, Syaikh Rudadi, dan Syaikh Samangun Asarani. Perkembangan
Tarekat Syattariyah dan Akmaliyah, sering pula dinisbatkan pada ajaranajaran Wali Songo, khususnya Syarif Hidayatullah, Sunan Giri, Sunan
Kalijaga, dan Syekh Siti Jenar.10
 Dalam Serat Kanda, seperti dikutip Muljana, terdapat berita bahwa Sunan
Cirebon ikut serta membangun masjid Demak sebagai salah satu di antara
Sembilan wali.11 Keterlibatan Syarif Hidayatullah dengan kerajaan Islam di
Demak, disebutkan pula dalam Naskah Mertasinga. Sekurangnya terdapat
beberapa peristiwa besar di Demak, antara lain rapat Walisongo pernah
dipindah dari Demak ke Cirebon untuk membicarakan banyak hal di Jawa.
Bukti kedekatan pengaruh juga ditunjukkan dengan pola pernikahan putra
putrinya. Begitu pula dengan keterlibatannya dengan kerajaan Islam di
Banten. Menurut sumber lain, Syarif Hidayatullah juga ikut dalam perjuangan
Islam di Jayakarta melalui utusannya Fatahillah.12

Kesimpulan
parasat miwah jajampi utawi amewahi dadamelipun tiyang babad wana. Kanjeng Susuhunan ing Giri
adamel pranatanipun ing karaton Jawi, kaliyan amewahi bangsa pepetangan lampahing dinten wulan
tahun windu, utawi amewahi lampahing pawukon sapanunggalipun, kaliyan malih amiwiti damel
dalan tiyang Jawi. Kanjeng Susuhunan Bonang, adamel susuluking ngelmi kaliyan amewahi
ricikanipun ing gangsa, utawi amewahi lagunipun ing gending. Kanjeng Susuhunan Drajat, amewahi
wanguning griya, utawi tiyang ingkang karembat ing tiyang, tandu joli sapanunggalanipun. Kanjeng
Susuhunan Kudus amewahi dapuripun dadamel, waos duwung sapanunggalanipun, utawi amewahi
parabotipun bekakasing pande, kaliyan kemasan, saha adamel angger-anggeripun hingga pangadilan
hokum ingkang keninging kalampahan ing titiyang Jawi.
10
Sunyoto., Ibid., h. 91-92.
11
Slamet Muljana, Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di
Nusantara, (Yogyakarta: LKiS, 2007), cet. V, h. 100-101.
12
Amman N. Wahju, Sejarah wali Syekh Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati (Naskah
Mertasinga), (Bandung: Pustaka, 2007), h. 72-88.

8

Sebagai sosok historis, intelektual dan muballig yang lebih memilih dakwah
syiar Islam bagi masyarakatnya, daripada sebagai penguasa formal birokratis di kesultanan
Cirebon, Syarif Hidayatullah telah menanamkan suatu peradaban moral dan teologis bagi
muslim Indonesia terutama di Cirebon. Karena itu, bukti kejayaannya dapat ditemukan
melalui bangunan tajug atau masjid dengan keragaman seni dan filosofinya. Masjid Agung
Sang Cipta Rasa dan Masjid Merah Panjunan, barangkali diantara bukti peradaban muslim
klasik Indonesia dari Syarif Hidayatullah selama kurun 1479-1568 di Cirebon.

Pengaruh Syarif Hidayatullah terhadap perkembangan Islam di Jawa sangat
besar sekali. Adanya kerajaan Islam di Demak dan Banten merupakan beberapa
contohnya. Tak kalah pentingnya lagi kontribusi Syarif Hidayatullah pada
perkembangan Islam di Jawa Barat dengan cara dakwah dengan damai, mulai dari
Kuningan, Indramayu, Majalengka, Cianjur, Garut, Ciamis, Sumedang, bahkan
Jayakarta (Betawi).

DAFTAR PUSTAKA

9

Ekajati, Edi S., Sejarah Lokal Jawa Barat, Jakarta: Interumas Sejahtera, 1992.

HS, Mastuki, dan M. Ishom El-Saha (edit.), Intelektualisme Pesantren: Potret Tokoh
dan Cakrawala Pemikiran di era Pertumbuhan Pesantren, Jakarta: Diva
Pustaka, 2003.

Ibrahim, Tatang, Sejarah Kebudayaan Islam, Madrasah Tsanawiyah Untuk Kelas IX
Semester 1 dan 2, Bandung: CV ARMICO, 2009.
Kurnia, Dadang, Metode Dakwah Sunan gunung Jati (Suatu Tinjauan dari Sudut
Pandang Antropologi Pendidikan),

Jurnal Pendidikan Dasar Volume : V-

Nomor : 7-April 2007.

Muljana, Slamet, Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara
Islam di Nusantara, Yogyakarta: LKiS, 2007.

PaeEni, Mukhlis, Sejarah Kebudayaan Indonesia (Religi dan Filsafat), Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2009.

Sutrisno, Budiono Hadi, Sejarah walisongo Misi Pengislaman di Tanah
Jawa,Yogyakarta: Graha Pustaka, 2009.

10

Sunyoto, Agus, Wali Songo: Rekonstruksi Sejarah yang Disingkirkan, Jakarta:
Transpustaka, 2011.

Wahju, Amman N., Sejarah wali Syekh Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati
(Naskah Mertasinga),Bandung: Pustaka, 2007.

11