ISU KORUPSI SURAT KABAR DI ERA ORDE LAMA (1)

ISU KORUPSI SURAT KABAR DI ERA ORDE LAMA, ORDE BARU, DAN REFORMASI
(STUDI EKSPLORATIF HEADLINE ISU KORUPSI HARIAN SUARA MERDEKA)
Elisabeth Adventa Galuh Previtapuri
Jurusan Ilmu Komunikasi
Universitas Brawijaya
(email: elisabethadventagaluh@gmail.com)

ABSTRAK
Isu korupsi merupakan unlimitted issue, isu yang tidak akan ada habisnya dibahas di era
apapun, baik Orde Lama, Orde Baru, maupun Reformasi. Korupsi didefinisikan sebagai tindak
kejahatan yang identik dengan „penyalahgunaan kewenangan/ posisi‟, merugikan rakyat, keuangan
negara dan perekonomian negara, dan sesungguhnya dekat dengan bangunan kekuasaan legal.
Kekuasaan legal dalam sebuah negara dipegang oleh pemerintah, sehingga dapat dikatakan bahwa
korupsi dekat dengan pemerintah.
Isu-isu menarik di masyarakat tak akan luput dari incaran media massa, termasuk isu korupsi.
Dalam proses operasionalnya, media massa dipengaruhi oleh kekuatan legal pemerintah atau
politik, begitu pula sebaliknya, media massa memengaruhi proses politik yang sedang berlangsung.
Kekuatan legal yang ada pada pemerintah, biasa disebut sebagai sistem pemerintahan, salah satu
kebijakannya berpengaruh pada sistem pers sekaligus berita sebagai salah satu produk pers.
Hubungan kedekatan antara isu korupsi dan media dengan sistem pemerintahan akan menghasilkan
suatu kecenderungan pemberitaan isu korupsi sesuai dengan eranya. Di Indonesia, era pemerintahan

terbagi menjadi Orde Lama, Orde Baru, dan Reformasi. Kecenderungan pemberitaan tersebut dapat
dilihat pada headline dengan metode analisis isi.
Kata Kunci : Sistem Pemerintah, Isu Korupsi, Headline, Kecenderungan
Pemberitaan, Analisis Isi.
PENDAHULUAN
Isu korupsi dapat menjadi topik yang tidak akan habis dan selalu menarik untuk dibahas oleh
media massa. Eksistensinya dikenal mulai zaman penjajahan hingga saat ini. “Kajian tentang
korupsi di Indonesia sudah banyak disampaikan kepada publik, baik melalui diskusi, seminar, hasil
survei, media massa, dan sebagainya” (Badjuri, 2011, h.85). Salah satu sisi menarik dari isu korupsi
ialah karena korupsi identik dengan kekuasaan legal, di mana ada kekuasaan, di situ ada peluang
besar untuk korupsi. “Karena sifat korupsi yang tidak mungkin lepas dari unsur „penyalahgunaan
kewenangan/ posisi‟, merugikan rakyat, keuangan negara dan perekonomian negara, maka korupsi
itupun sesungguhnya berpusat pada bangunan kekuasaan” (Diansyah, 2009, h.10).
Di sisi lain, dalam paradigma konstruktivisme media massa dipahami sebagai subyek yang
mengkonstruksi realitas, lengkap dengan pandangan, bias, dan pemihakannya, bukan hanya sebagai

penyalur dan pendistribusi pesan. Media massa dipandang sebagai agen konstruksi sosial yang
mendefinisikan realitas (Hidayat, 1999). “Di sini media dipandang sebagai agen konstruksi sosial
yang mendefinisikan realitas” (Eriyanto, 2002, h.26). Hamid (2011), mengemukakan bahwa media
massa memang tidak mungkin melepaskan diri dari nilai, ideologi, kepentingan, dan sistem

kehidupan yang ada di mana media tersebut tumbuh dan berkembang. Dalam sistem kehidupan,
media massa masuk ke dalam sistem pers, sedangkan kepentingan, nilai, dan ideologi pemerintah
masuk ke dalam sistem pemerintahan. Sistem pemerintahan memiliki pengaruh yang cukup penting
bagi sistem pers, begitu pula sebaliknya. Pengaruh tersebut dapat dilihat dari kebijakan yang dibuat
pemerintah untuk mengatur sistem pers-nya. Selain berkaitan erat dengan kebijakan, keadaan saling
memengaruhi

tersebut

juga

memiliki

kaitan

dengan

sejarah.

Singkatnya,


pers

bisa

merepresentasikan „wajah‟ sistem pemerintahan pada jamannya lewat pemberitaan.
Sejarah perkembangan pers di Indonesia berjalan beriringan dengan sejarah Indonesia sendiri,
secara khusus, sejarah perkembangan sistem pemerintahan dan politiknya.
Menulis tentang sejarah pers Indonesia adalah suatu cerita yang panjang sekali, karena
untuk membentangkan sejarah pers Indonesia, mau tidak mau, terpaksa disinggung pula
sejarah perjuangan bangsa Indonesia, yang memperjuangkan kemerdekaan nasionalnya
dari tangan penjajahan Belanda, terutama sejarah perjuangan bangsa Indonesia yang
diatur secara berorganisasi, yaitu sejak berdirinya Budi Utomo pada tanggal 20 Mei
1908. (Taufik, 1977, h.17)
Dalam bukunya “Sejarah Perjalanan Bangsa Indonesia” dan seorang Sejarawan, Sartono Kartodirjo
(2005), membagi masa setelah kemerdekaan ke dalam 3 era, yakni Orde Lama, Orde Baru dan
Reformasi. Pada era Orde Lama, pers Indonesia mulai diwarnai oleh pembredelan dan keharusan
memiliki izin terbit atau lisensi bagi media pers cetak. Pemerintah mengeluarkan Surat Ijin Terbit
(SIT) berdasarkan Peraturan Penguasa Perang Tertinggi (Peperti) No.10 Tahun 1960 yang
diberlakukan dalam UU Pokok Pers Tahun 1966, Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) dalam

UU Pokok Pers Tahun 1982, Penetapan Presiden Nomor 6 Tahun 1963 tentang Ketentuanketentuan Pembinaan Pers, dan Keputusan Menteri Penerangan Nomor 29 Tahun 1965 tentang
Norma-Norma Pokok Perusahaan Pers dalam Rangka Pembinaan (Atmakusumah, 2009).
Memasuki Orde Baru, sejumlah 46 surat kabar dari antara 163 surat kabar yang ada di seluruh
Indonesia dibredel tanpa batas waktu karena dianggap bersimpati pada PKI (Atmakusumah, 2009).
Lain halnya dengan era Reformasi, Reformasi diawali oleh Habibie dengan beberapa perubahan,
seperti pelepasan tahanan politik Orde Baru, pencabutan 1UU Subversi, pencabutan ketentuan

1

UU Subversi merupakan Undang-Undang yang dibuat saat pemerintahan Orde Lama, diberlakukan saat Orde Baru
dan dihentikan saat awal Reformasi. UU subversi adalah alat utama yang digunakan Orde Baru untuk meredam semua
ekspresi masyarakat mulai dari kegiatan aktivis mahasiswa sampai pada perlawanan intelektual dan kebebasan pers
(Wimar Witoelar : 2009 dalam www.perspektif.net).

pembatalan 2SIUPP, dan pengungkapan kasus kerusuhan era Orde Baru. Hal tersebut juga
berdampak pada kehidupan pers nasional, yaitu dengan dikeluarkannya deregulasi dalam bidang
pers yakni Peraturan Menteri (Permen) No.01 Tahun 1998 tentang kemudahan mendapatkan Surat
Ijin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Termasuk syarat menjadi Pemimpin Redaksi dan Permen
No.02/1998 tentang organisasi kewartawanan serta adanya penyederhanaan prosedur dan
persyaratan mendapatkan SIUPP. Kebebasan pers mulai dijamin saat dikeluarkannya UU No.40

Tahun 1999 tentang Pers, undang-undang ini menjamin tidak adanya campur tangan pemerintah
dalam kehidupan pers nasional (Atmakusumah, 2009).
Adanya keterkaitan antara sistem pemerintah sebagai kekuasaan legal dengan pemberitaan
sebagai produk pers dan isu korupsi membuat penelitian ini melihat bagaimana kecenderungan
pemberitaan headline isu korupsi di harian Suara Merdeka. Rizal Mallarangeng (2010)
mengemukakan bahwa headline atau berita utama adalah informasi atau berita yang dianggap
penting dari seluruh informasi yang disajikan oleh suatu koran. Peneliti menggunakan metode
analisis isi kualitatif untuk menganalisis kecenderungan pemberitaan headline isu korupsi harian
Suara Merdeka di era Orde Lama, Orde Baru, dan Reformasi. Analisis isi kualitatif memfokuskan
penelitian pada isi suatu informasi tertulis atau tercetak dalam media massa yang tersurat dan
bersifat mendalam. Downe-Wamboldt, 1992, p.314 (dalam Hsieh & Shannon, 2005) “tujuan akhir
analisis isi ialah untuk memberikan pengetahuan dan pemahaman terhadap suatu fenomena dalam
sebuah kajian.”
ISU KORUPSI DI ERA ORDE LAMA
Dengan melihat frekuensi nama Soekarno dalam pemberitaan isu korupsi Orde Lama, sosok
presiden memiliki peran kuat sebagai the market frame dalam pemberitaan, sekaligus sebagai pusat
pemerintahan termasuk dalam hal menanggulangi korupsi. Sosok Soekarno sebagai presiden dinilai
mampu menarik lebih banyak publik untuk membaca berita. Dalam beberapa kesempatan Soekarno
juga tampil di hadapan masyarakat untuk memberikan himbauan, salah satunya pada saat upacara
pelantikan anggota-anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) (dalam headline Singkirkan

Korupsi, Birokrasi, dan Misadministration).
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang merupakan lembaga strategis kenegaraan karena
perannya dianggap penting dan rawan korupsi, kontrolnya dipegang secara langsung oleh presiden
Soekarno. “. . . karena sebagai Pemimpin Besar Revolusi harus bertanggungdjawab terhadap
djalannja revolusi, maka putjuk pimpinan BPK langsung dipegang oleh Presiden, . . .” begitu kata
Soekarno dalam headline Singkirkan Korupsi, Birokrasi, dan Misadministration. Kontrol secara

2

SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers) berlaku sejak tahun 1984.

langsung tersebut menandakan bahwa Soekarno ingin memastikan segala kebijakan dan kinerja
yang ada di BPK berjalan baik, langsung di bawah kontrolnya. BPK merupakan lembaga negara
penting yang berfungsi melindungi dan menjaga stabilitas keuangan negara secara keseluruhan. Di
dalamnya terdapat peluang besar untuk melakukan korupsi. Sehingga, keputusan Soekarno untuk
mengambil alih pimpinan BPK secara langsung merupakan salah satu bentuk penanggulangan
preventif presiden terhadap tindak korupsi.
Meskipun demikian, Pemerintah Orde Lama belum sepenuhnya menaruh perhatian khusus
terhadap isu korupsi, nampak dari cara pemerintah dalam menanggulangi terjadinya tindak korupsi
yang cukup dengan himbauan kepada masyarakat maupun BPK. Dua diantara enam headline Orde

Lama berisi tentang himbauan. Himbauan dilakukan melalui pidato dan media massa. Pemerintah
merasa cukup menanggulangi korupsi dengan himbauan. Berikut beberapa contoh kutipan
himbauan:
 “MENTERI/ DJ. AGUNG Mr. Gunawan dalam menjambut tahun baru 1961 menjatakan
harapannja jang penuh kepada segenap lapisan masjarakat, agar tahun 1961 ini, didjadikan
sebagai tahun kesadaran sepenuh2nja, tahun bekerdjakeras kearah pembinaan suatu
masjarakat adil-makmur sesuai dengan komando Presiden/ Panglima Tertinggi Sukarno
dan tjita2 segenap rakjat Indonesia,” (dalam headline Djaksa Agung Sudah Punja Bukti
Orang2 Jg Mau ,Tenung‟ Pedjabat2, 5 Djanuari 1961).
 “Menteri/ Djaksa Agung mengandjurkan kepada segenap masjarakat agar lebih
mempertbal kepertjajaan kepada Tuhan Jang Maha Kuasa mendjauhkan diri betul2 dari
pada perbuatan2 terkutuk seperti disebutkan diatas,” (dalam headline Djaksa Agung Sudah
Punja Bukti Orang2 Jg Mau ,Tenung‟ Pedjabat2, 5 Djanuari 1961)..
 “PRESIDEN SUKARNO dalam amanatnja pada upatjara pelantikan anggota-anggota
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) hari Rabu berseru dan memerintahkan, agar penjakit2
revolusi jaitu korupsi, birokratisme dan misadministration disingkirkan dari revolusi kita,”
(dalam headline Singkirkan Korupsi, Birokrasi, Dan Misadministration, 19 Maret 1965).
 “Karena adanja penjakit korupsi, birokratisme dan misadministration. Djadi BPK bertugas
untuk menentang dan menjingkirkan penjakit2 tersebut” (dalam headline Singkirkan
Korupsi, Birokrasi, Dan Misadministration, 19 Maret 1965).


Dalam salah satu himbauannya di atas, presiden Soekarno menganggap bahwa birokrasi,
korupsi, dan misadministrasi dapat menghambat revolusi, sehingga harus disingkirkan. Dalam
headline yang lain (headline Perlu Pembersihan Alat-alat Negara Dari Anasir-anasir Korupsi)
menyebutkan bahwa penyebab timbulnya korupsi ialah birokrasi. “. . . RUU tentang tindak pidana
ekonomi menjatakan bahwa salah satu sebab timbulnja korupsi adalah birokrasi jang

mengakibatkan kematjetan tidak sadja dilapangan pemerintah, tetapi djuga dilapangan ekonomi dan
sosial.” “. . . berseru dan memerintahkan, agar penjakit2 revolusi jaitu korupsi, birokratisme dan
misadministration disingkirkan dari revolusi kita,” (dalam headline Singkirkan Korupsi, Birokrasi,
Dan Misadministration, 19 Maret 1965). Ada konstruksi di era Orde Lama bahwa birokrasi selalu
sepaket dengan misadministrasi, keduanya merupakan penyebab korupsi dan dianggap sebagai
penyakit revolusi oleh Soekarno. Pemerintah menganggap bahwa di dalam birokrasi terdapat sistem
hirarki yang membuka peluang besar untuk melakukan korupsi. Tindakan korup tersebut menjadi
sulit diungkap karena terbentur prosedur-prosedur yang ada di dalam birokrasi. Himbauan yang
diberikan disampaikan secara retoris dan berisi hal normatif karena dikaitkan dengan keimanan
kepada Tuhan yang sesuai dengan sila pertama Pancasila “Ketuhanan Yang Maha Esa”. .
Jika ditinjau dari segi the frame of law and regulation yang merupakan kerangka kebijakan
publik, hukum, dan aturan, tidak satupun dari keenam headline isu korupsi harian Suara Merdeka di
era Orde Lama menyantumkannya. Padahal, sebenarnya kebijakan hukum dan regulasi terkait

pemberantasan korupsi telah dibuat sejak tahun 1957. Diawali oleh UU No.74 Tahun 1957 buatan
pemerintah tentang keadaan bahaya, kemudian digantikan oleh Peraturan Penguasa Militer No.
PRT/PM/06/1957 yang dibuat oleh Kolonel Zulkifli Lubis sebagai acuan untuk operasi militer.
Operasi militer tersebut dilakukan untuk memberantas korupsi di bidang logistik (Badjuri, 2011).
Kemudian pemerintah mengeluarkan Perpu No.24 Tahun 1960 sebagai pengganti UU sebelumnya.
“Pemberantasan korupsi dilakukan berdasarkan UU Nomor 24 Perpu Tahun 1960 tentang
Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi dengan menambah perumusan
tindak pidana korupsi yang ada dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan dibentuk
Lembaga khusus untuk memberantas korupsi,” (Mudzakkir, 2011, h.1).
Ada beberapa lembaga khusus pemberantasan korupsi yang dibentuk oleh Presiden Soekarno,
diantaranya Operasi Budhi (Keppres No. 275/1963), Komando Tertinggi Retooling Aparat Revolusi
(Kontrar) dengan ketua Presiden Soekarno dibantu Soebandrio dan Ahmad Yani, Tim Pemberantas
Korupsi (Keppres No. 228/1967), dan Komite Anti Korupsi/ KAK (1967) (Mudzakkir, 2011).
“Dibentuknya Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) pada tahun1967 dengan tujuan melaksanakan
pencegahan dan pemberantasan korupsi,” (Badjuri, 2011, h.87). Namun tidak satupun nama
lembaga di atas muncul dalam headline.
Meski korupsi telah diatur lewat KUHP tentang Tindak Pidana Jabatan dan UU Nomor 24
Perpu Tahun 1960, namun beberapa headline Suara Merdeka yang mengupas kasus korupsi tidak
menjelaskan secara detail hukuman yang diterima oleh pelaku. Seperti contoh beberapa kalimat
dalam headline Suara Merdeka era Orde Lama berikut ini:


 “. . .kini sudah diambil tindakan2 terhadapnja.” (dalam headline Penjelundupan Raksasa
Terbongkar). Pertanyaan yang muncul ialah tindakan seperti apa yang dilakukan, tidak
ada keterangan tambahan untuk mendukung pernyataan terebut.
 “Pihak jang berwadjib menurut keterangan telah menahan anggota pimpinan perusahaan
dagang jang melakukan penjelundupan itu . . .”(dalam headline Penjelundupan Raksasa
Terbongkar). Upaya penahanan telah dilakukan oleh pihak yang berwajib, namun tidak
ada keterangan lanjutan berapa lama pelaku ditahan.
 “. . . Kedjaksaan Agung dalam hal ini telah mengambil tindakan2 dan pasti akan terus
mengambil tindakan2 sekerasnja terhadap pihak2 jang bersangkutan serta sumber2
perbuatan.” (dalam headline Djaksa Agung Sudah Punya Bukti Orang2 Jg Mau
,Tenung‟ Pedjabat2).
Dari contoh kalimat-kalimat di atas tidak tercantum keterangan lanjutan berupa lama
hukuman tahanan dan jumlah hukuman denda. Tuduhan yang dinyatakan dalam pemberitaan Suara
Merdeka terhadap sesuatu/ seseorang sebagai faktor/ aktor korupsi tidak mencantumkan landasan
hukum yang jelas. Peneliti beranggapan bahwa peran UU dan lembaga pemberantasan korupsi tidak
mendapat dukungan maksimal dari seluruh elemen pemerintahan dan penegak hukum. Hanya
Presiden Soekarno dan beberapa orang saja yang mendukung implementasi UU dan lembagalembaga pemberantasan korupsi tersebut. Padahal, dalam KUHP telah diatur mengenai berapa lama
hukuman maksimal yang harus diterima oleh pelaku. Contohnya, pasal 424 berbunyi, “Seorang
pejabat dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan

menyalahgunakan kekuasaannya, menggunakan tanah negara di atas mana ada hak-hak pakai
Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun,” dalam pasal tersebut
disebutkan pidana penjara paling lama enam tahun.
Dalam beberapa headline era Orde Lama, sorotan utama peran penegak hukum dalam
menangani kasus korupsi lebih banyak tertuju pada pihak Kejaksaan dan Jaksa Agung. Konstruksi
yang dibentuk oleh harian Suara Merdeka yaitu menampilkan Jaksa Agung sebagai „pahlawan‟
pemberantas korupsi. Judul dalam headline “Djaksa Agung Sudah Punja Bukti Orang2 Jg Mau
„Tenung, Pedjabat2” contohnya, ingin menunjukkan bahwa Jaksa Agung merupakan tokoh utama
yang dapat menemukan bukti tindakan tenung3 pejabat. Hanya Jaksa Agung yang mampu
memberantas kasus tenung tersebut. Konstruksi sikap „pahlawan‟, kewibawaan, dan kesungguhan
kinerja Jaksa Agung dan Kejakssan terlihat dalam beberapa kutipan berikut ini :

Tenung  perbuatan-perbuatan mistik yang memiliki unsur ilmu hitam di dalamnya (dalam headline Djaksa Agung
Sudah Punja Bukti Orang2 Jg Mau „Tenung, Pedjabat2).
3

 “Menurut Mr. Gunawan, instansi Kedjaksaan Agung telah mendapatkan bahan2 bahkan
bukti2 konkrit tentang adanja orang2 jg tidak bertanggung djawab, jang melakukan
perbuatan2 mistik jg bersifat “black-magic alias perbuatan2 “teluh” (tenung-guna2), . . .”
(dalam headline Djaksa Agung Sudah Punja Bukti Orang2 Jg Mau ,Tenung‟ Pedjabat2).
 “Kedjaksaan Agung dalam hal ini telah mengambil tindakan2 dan pasti akan terus
mengambil tindakan2 sekerasnja terhadap pihak2 jang bersangkutan serta sumber2
perbuatan.” (dalam headline Djaksa Agung Sudah Punja Bukti Orang2 Jg Mau ,Tenung‟
Pedjabat2).
 “Menteri/ Djaksa Agung mengandjurkan kepada segenap masjarakat agar lebih
mempertbal kepertjajaan kepada Tuhan Jang Maha Kuasa mendjauhkan diri betul2 dari
pada perbuatan2 terkutuk seperti disebutkan diatas.” (dalam headline Djaksa Agung
Sudah Punja Bukti Orang2 Jg Mau ,Tenung‟ Pedjabat2).
 “KEPALA KEDJAKSAAN Tandjung Balai Karimun Susanto SH menerangkan bahwa
penjelundup2 jang terdapat antara Sumatera dan Malaya dapat dibagi dalam dua bagian
jaitu “penjelundupan jang diatur” dan “penjelundupan liar”.” (dalam headline Ada
Penjelundupan Jang Diatur & Ada Penjelundupan Jang Liar).

Jaksa Agung merupakan pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh UU untuk bertindak
sebagai penuntut umum dan pelaksana putusan pengadilan. Dalam tugasnya, Jaksa memiliki tugas
yang sangat luas, mulai dari tahap penyidikan, tahap penuntutan, tahap pemeriksaan di sidang
pengadilan, tahap upaya hukum dan tahap eksekusi. Kompleksnya tugas Jaksa, maka tidak heran
jika pada masa Orde Lama, peran Jaksa dalam usaha penanggulangan korupsi menjadi sorotan
utama media. Meskipun sebenarnya pihak kejaksaan tidak berjalan sendiri dalam melaksanakan
tugas memberantas korupsi, mereka dibantu oleh pihak lain, seperti pihak bea cukai, kepolisian,
hakim, dan Mahkamah Agung (MA). Pemerintah lewat pemberitaan harian Suara Merdeka ingin
membangun citra positif Jaksa dengan konstruksi „pahlawan‟ tersebut.
The frame of public responsibility yang dijalankan oleh Suara Merdeka sebagai institusi
media terlihat pada pemberitaan tentang kasus korupsi di era Orde Lama. Pemberitaan tersebut
merupakan wujud dari tanggungjawab sosial sekaligus bentuk perhatian Suara Merdeka terhadap
apa yang sedang terjadi di masyarakat. Kasus korupsi yang muncul pada headline era Orde Lama
harian Suara Merdeka ialah kasus penyelundupan dan penggelapan uang nikah. Kebanyakan
penyelundupan merupakan hasil kerjasama antara perusahaan dagang lokal (dalam negeri) dengan
perusahaan asing. Barang-barang yang diselundupkan berupa hasil bumi, seperti karet, kopi, dll.
“Penjelundupan raksasa itu menurut keterangan jang diperoleh wartawan ,,Antara” berbentuk suatu
penjelundupan devisen dari suatu export djumlah besar hasil2 bumi penting Indonesia keluar negeri

antaranja karet,” (dalam headline Penjelundupan Raksasa Terbongkar). “Susanto SH jang
memeriksa perkara2 penjelundupan ini menerangkan selandjutnja bahwa jang banjak diselundupkan
ialah barang2 hasil bumi seperti karet, lada, kopi, kopra bahkan ada pula jang menjelundupkan bidji
timah,” (dalam headline Ada Penjelundupan Jang Diatur & Ada Penjelundupan Jang Liar). Selain
kasus penyelundupan, terdapaat pula kasus penggelapan uang nikah yang menjerat mantan Sekjen.
Kementerian Agama juga cukup „menyedot‟ perhatian. Kasus korupsi yang melibatkan mantan
pejabat ternyata sudah ada sejak era Orde Lama.

ISU KORUPSI DI ERA ORDE BARU
Memasuki era Orde Baru, di bawah kepemimpinan Presiden Suharto, pemerintah masih
memiliki kendali sepenuhnya atas dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara, termasuk
kehidupan persnya. Terdapat intervensi dari pemerintah Orde Baru dalam pemberitaan. Intervensi
dari pemerintah berupa budaya telepon yang berisi himbauan dimuat atau tidaknya sebuah berita
(Susilastuti, 2000). Hal tersebut membuat harian Suara Merdeka lebih berhati-hati dalam membuat
pemberitaan tentang isu korupsi, terlebih jika ada kasus korupsi yang terkait dengan pemerintah/
pejabat negara. Sehingga headline-headline isu korupsi Suara Merdeka era Orde Baru hanya dapat
mengungkap beberapa hal seperti kinerja Komisi-4 (komisi pemberantasan korupsi bentukan
pemerintah) dan beberapa kasus korupsi yang kurang mendalam. Himbauan yang terdapat di era
Orde Lama masih berlanjut pada Orde Baru, ada satu headline yang berisi himbauan dan beberapa
headline tentang kasus korupsi yang disisipi himbauan. Berikut contoh kutipan beberapa himbauan
pemerintah:
 “Dijelaskan, penyelewengan penyelewengan di atas tidak akan terjadi apabila ada sikap
mental dan tata kerja yang baik dari seluruh karyawan,” ujar Gubernur Jateng H. Soepardjo
(dalam headline 1359 Orang Karyawan Pemda Di Jawa Tengah Ditindak).
 “Fraksi ABRI dalam DPR RI berpendirian, masalah korupsi yang merupakan musuh rakyat
yang sedang membangun perlu ditanggulangi secara serius, berencana dan berlanjut.”
(dalam headline Masalah Korupsi Perlu Ditanggulangi dengan Serius).
 “Titik sentral penyebab timbulnya korupsi, menurut Fraksi ABRI, terletak pada sikap
mental manusia pelaksana pembangunan tanpa mengesampingkan . . .” (dalam headline
Masalah Korupsi Perlu Ditanggulangi dengan Serius).

The frame of law and regulation pada masa Orde Baru terkandung dalam UU khusus Tipikor
di tahun 1971, dalam UU No. 3 tahun 1971, UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi sebagai penyempurnaan kembali perumusan tindak pidana korupsi dalam UU
3/1971 (korupsi aktif dan korupsi pasif), Undang-Undang No.28 tahun 1999 tentang

Penyelenggaraan Negara yang Bersih, Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, sekaligus Keppres
RI No.81 Tahun 1999 tentang Pembentukan Komisi Pemeriksa Kekayaan Negara. Jauh
sebelum itu, pemerintah Orde Baru juga membentuk beberapa lembaga pemberantasan korupsi,
yakni Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) akhir 1967, Komisi-4 sekitar tahun 1970, Komisi Anti
Korupsi (KAK) pada tahun 1970, dan Operasi Penertiban (OPSTIB) di tahun 1977 (Mudzakkir,
2011). Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) dibentuk berdasarkan Kepres No. 228/1967, dasar
hukumnya masih tetap UU 24/1960. Para anggota tim ini merangkap jabatan lain seperti Jaksa
Agung, Kapolri, Menteri Kehakiman, dan Panglima ABRI (Mudzakkir, 2011).
Tidak satupun the frame of law and regulation yang dimunculkan dalam pemberitaan sebagai
keterangan tambahan terkait landasan hukum. Hal ini disebabkan oleh kurang maksimalnya
implementasi UU dan lembaga pemberantasan korupsi. Tim OPSTIB menjadi vakum, satu per satu
lembaga pemberantasan korupsi yang dibentuk oleh pemerintah bubar, tidak bertahan lama. TPK
bubar karena adanya tumpang-tindih jabatan dalam keanggotaannya. Para anggota TPK merangkap
jabatan lain seperti Jaksa Agung, Kapolri, Menteri Kehakiman, dan Panglima ABRI. Jelas saja,
dalam menunaikan tugasnya, TPK tidak dapat berlaku obyektif, karena para anggotanya dari
kalangan petinggi negara (Mudzakkir, 2011). Pemerintah masih terkesan pemilih dalam menangani
kasus korupsi. Intervensi pemerintah terhadap lembaga-lembaga pemberantasan korupsi juga
disinyalir menjadi penyebab ketidakmaksimalan implementasi the frame of law and regulation.
Tetapi ada satu lembaga pemberantasan korupsi yang berhasil mencuri perhatian masyarakat
dan menjadi buruan pemberitaan, yaitu Komisi-4. Komisi-4 merupakan sebuah komisi/ lembaga
bentukan Presiden Suharto tahun 1970 yang memiliki hak memberi pertimbangan obyektif pada
Presiden untuk mengambil langkah efektif dalam upaya pemberantasan korupsi. Awal terbentuknya
Komisi-4 dapat dikatakan booming, karena begitu terbentuk komisi ini menjadi sorotan media,
termasuk Suara Merdeka. Komisi 4 menjadi the market frame kala itu, berita tentang Komisi-4
dapat menjadi komoditas yang menarik bagi pemberitaan. Tiga diantara tujuh headline isu korupsi
Orde Baru harian Suara Merdeka berisi tentang Komisi-4. Padahal di tahun yang bersamaan,
pemerintah Orde Baru juga membentuk Komisi Anti Korupsi (KAK) yang terdiri dari aktivis
mahasiswa eksponen 66 (Mudzakkir, 2011).
Euforia terbentuknya Komisi-4 melebihi lembaga-lembaga pemberantasan korupsi lainnya. Di
tengah-tengah „ketenarannya‟ di berbagai media, termasuk Suara Merdeka, Komisi-4 juga disambut
oleh antusiasme para mahasiswa lewat sebuah aksi berjudul “Mahasiswa Menggugat”. Dalam aksi
“Mahasiswa Menggugat” tersebut, para Mahasiswa mengucapkan selamat kepada Presiden Suharto
atas kesigapannya menanggapi kasus korupsi demi kepentingan rakyat. Berikut beberapa kalimat
yang menunjukkan adanya dukungan mahasiswa kepada Komisi-4:

 “ ,,Mahasiswa Menggugat‟‟ menilai Komisi Empat sebagai uluran tangan Presiden Suharto
jang simpatik sekali, . . .” (dalam headline Tanpa Tindakan2 Konkrit ,,Komisi 4” Semuanja
Akan Sia2 Belaka).
 “MM melihat bahwa dengan adanja keputusan ini, maka terbukti bahwa pak Harto adalah
seorang Presiden jang mau mendengarkan suara rakjat ketjil. . .” (dalam headline Tanpa
Tindakan2 Konkrit ,,Komisi 4” Semuanja Akan Sia2 Belaka).
 “MM menilai Komisi Empat Sebagai saluran tangan (gestare) Presiden Soeharto jg
simpatik sekali.” (dalam headline Tanpa Tindakan2 Konkrit ,,Komisi 4” Semuanja Akan
Sia2 Belaka).

Dalam headline-nya, Suara Merdeka mencantumkan informasi sejelas-jelasnya, mulai tentang
anggota, tujuan, wewenang, hingga rapat perdana Komisi-4. Beberapa kalimat di bawah ini memuat
info-info tentang Komisi-4:
 “Komisi-4 ini diketuai oleh Wilopo SH dengan anggauta I.J.Kasimo, Prof. Ir. Johannes,
dan Anwar Tjokroaminoto.” (dalam headline Komisi-4 Untuk Berantas Korupsi Diketuai
Oleh Wilopo SH).
 “Tugas utama komisi itu adalah untuk meneliti dan menilai langkah jang telah diambil oleh
pemerintah selama ini dan untuk mengefektifkan lagi pemberantasan korupsi.” (dalam
headline Komisi-4 Untuk Berantas Korupsi Diketuai Oleh Wilopo SH).
 “Pemerintah memberikan wewenang sepenuhnja kepada komisi ini untuk meminta bahan
bahan keterangan dan bantuan jang diperlukan dari semua pihak, semua instansi sipil
maupun ABRI dan perusahaan2 negara dlm rangka melaksanakan tugasnja.” (dalam
headline Komisi-4 Untuk Berantas Korupsi Diketuai Oleh Wilopo SH).
Dari kutipan headline di atas poin terakhir menunjukan bahwa Komisi-4 mempunyai kedekatan
dengan pemerintah. Asumsi peneliti tersebut dipertegas oleh pernyataan Presiden Soeharto, “Saja
perlu menegaskan”, demikian Kepala Negara “bahwa komisi ini bukan merupakan lembaga baru
dalam rangka ketatanegaraan kita, melainkan merupakan “pembantu Presiden” untuk menjelidiki
masalah2 chusus, dalam hal ini pemberantasan korupsi,” (dalam headline Komisi-4 Untuk Berantas
Korupsi Diketuai Oleh Wilopo SH). Presiden Soeharto langsung menyampaikan keterangan bahwa
Komisi-4 ialah “pembantu presiden”. Sebagai “pembantu presiden”, sudah tentu terdapat intervensi
tinggi dari presiden dalam komisi-4. Komisi-4 tunduk di bawah perintah Presiden Soeharto.
Di era Orde Baru, citra penegak hukum masih tetap terkonstruksi positif. Kesan „pahlawan‟
yang ditimbulkan oleh konstruksi di media juga masih melekat. Terlebih masyarakat disuguhi
headline tentang Komisi-4 secara terus menerus (3x berturut-turut), seolah-olah membuat
masyarakat yakin bahwa para penegak hukum bekerjasama dengan lembaga/ komisi pemerintah

memberantas korupsi dengan baik. Keyakinan masyarakat tersebut diperkuat dengan terungkapnya
beberapa kasus korupsi, mulai dari tingkat daerah, hingga tingkat nasional, seperti kasus skandal
penyelundupan daftar anggota keluarga, kasus Abu Kiswo (pejabat Bea Cukai Tanjung Priok), dan
kasus korupsi Pertamina oleh Ibnu Sutowo (Dirut Pertamina).
Dalam beberapa headline Suara Merdeka, ada kesan bahwa para penegak hukum bertindak
tegas dan cepat dalam menangani kasus korupsi. Hal tersebut tercantum dalam kalimat-kalimat
berikut ini:
 “Ditanja mengenai Dirut Pertamina Ibnu Sutowo apakah mungkin dipanggil, didjawab
oleh Wilopo “mungkin”.” (dalam headline Dirut Pertamina Ibnu Sutowo Mungkin
Dipanggil ,,Komisi - 4‟‟). Dalam kalimat tersebut, Wilopo sebagai ketua Komisi 4
menyatakan bahwa pihaknya kemungkinan memanggil Ibnu Sutowo untuk diperiksa lebih
lanjut.
 “Tetapi, menurut keterangan jang didapat “Antara”, jang sampai saat sekarang telah
ditindak barulah terbatas pada golongan “tjatjing tjan”-nja (jang ketjil2) sedangkan dari
golongan “tjatjing kalung”-nja (jg besar2) masih belum terbersihkan. Tetapi diharapkan
golongan terachirpun lambat-laun akan terkena djuga.” (dalam headline Skandal ,Sulap
Daftar Keluarga‟; Neg. Rugi Ratusan Djuta Rp.). Dalam kalimat tersebut dinyatakan
bahwa penegak hukum mengharapkan golongan yang besar-besar (atasannya) dapat
diperiksa dan terkena sanksi hukum juga.
 “Usaha membersihkan “parasit2” jang ada pada aparat pendidikan di Djawa Barat ini kini
masih terus dilakukan setjara intensip. Diharapkan pada achir bulan Maret jad. operasi
pembersihan ini sudah akan selesai seluruhnja.” (dalam headline Skandal ,Sulap Daftar
Keluarga‟; Neg. Rugi Ratusan Djuta Rp.). Pada kalimat di atas ada dua poin yang
ditegaskan, kalimat yang pertama menegaskan bahwa penegak hukum bekerja secara
sungguh-sungguh, bahkan secara intensif. Kalimat yang kedua menunjukkan bahwa
penegak hukum memiliki target waktu untuk menyelesaikan kasus tersebut.
 “. . . pihak Kejaksaan mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung dan minta supaya putusan
Pengadilan Tinggi tersebut dibatalkan dan Abu Kiswo ditahan kembali.” (dalam headline
Abu Kiswo Kini Masih Bebas; Perkaranya Akan Diperiksa Kembali). Kalimat di atas
menunjukkan bahwa pihak Kejaksaan menolak dengan tegas sikap yang diambil oleh
pihak Pengadilan Tinggi.
 “Kepala Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta Soegiri Tjokrodidjojo SH baru2 ini mengirim kurir
(utusan) ke Pengadilan Tinggi Jakarta, khusus untuk menanyakan tentang status Abu
Kiswo itu, karena Abu Kiswo setelah adanya putusan Mahkamah Agung itu masih bebas.”
(dalam headline Abu Kiswo Kini Masih Bebas; Perkaranya Akan Diperiksa Kembali).

Sikap yang diambil oleh Kepala Kejaksaan menegaskan bahwa pihak Kejaksaan menolak
putusan Pengadilan Tinggi, sampai mengirim kurir demi mendapatkan kejelasan dan
kebenaran status Abu Kiswo.
Peran penegak hukum yang ingin ditampilkan pada masa Orde Baru masih sama dengan masa Orde
Lama, yakni memiliki wibawa, terkesan sungguh-sungguh, tegas, dan cekatan dalam menangani
kasus korupsi.
Bentuk the frame of public responsibility Suara Merdeka di era Orde Baru adalah pemberitaan
„wabah‟ korupsi yang mulai menjangkiti petinggi BUMN, petinggi Bea Cukai, karyawan
Pemerintah Daerah, bahkan yang lebih memprihatinkan, korupsi menyerang aparat pendidikan di
Jawa Barat. Ada kasus yang menarik di era Orde Baru ini, yakni kasus Abu Kiswo. Menariknya
adalah hukuman yang diterima Abu Kiswo, sudah diputuskan oleh Pengadilan Negeri sebelumnya,
namun dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi. Tidak hanya sampai di situ saja, karena Kejaksaan
mengetahui adanya pembatalan hukuman tersebut, pihaknya mengajukan kasasi ke Mahkamah
Agung (MA). Akhirnya MA memutuskan menerima kasasi pihak Kejaksaan, hingga keputusan MA
yang terakhir menyatakan bahwa Abu Kiswo harus ditahan kembali, namun kenyataannya, Abu
Kiswo masih bebas. Pihak Pengadilan Tinggi pun tidak mampu memberikan kepastian dan
keterangan yang tegas terkait kejelasan status Abu Kiswo. Muncul kecurigaan bahwa Pengadilan
Tinggi telah diberi gratifikasi oleh Abu Kiswo.
Ada beberapa pendapat mengenai penyebab korupsi di era Orde Baru. Dan beberapa pendapat
tersebut mengerucut kepada satu faktor penyebab, yaitu sikap mental yang dimiliki oleh Sumber
Daya Manusia Indonesia sebagai pelaku pembangunan. Pernyataan tersebut tercantum dalam
kalimat-kalimat berikut ini:
 “Dijelaskan, penyelewengan penyelewengan di atas tidak akan terjadi apabila ada sikap
mental dan tata kerja yang baik dari seluruh karyawan,” menurut Gubernur Jawa Tengah
H. Sopardjo (dalam headline 1359 Orang Karyawan Pemda Di Jawa Tengah Ditindak).
 “Untuk hari hari selanjutnya akhirnya Gubernur mengingatkan, masih ada banyak sekali
masalah yang harus dihadapi para karyawan, untuk itu ditegaskan, agar dalam
melaksanakan tugas selalu dilandasi sikap mental yang baik,” menurut Gubernur Jawa
Tengah H. Sopardjo (dalam headline 1359 Orang Karyawan Pemda Di Jawa Tengah
Ditindak).
 “Titik sentral penyebab timbulnya korupsi, menurut Fraksi ABRI, terletak pada sikap
mental manusia pelaksana pembangunan tanpa mengesampingkan corak mental
lingkungan masyarakat yang dapat menentukan subur tidaknya penyakit korupsi tersebut.”
(dalam headline Masalah Korupsi Perlu Ditanggulangi Dengan Serius).

Pada beberapa kalimat di atas, Fraksi ABRI diberi wewenang untuk menyatakan pendapat.
Iya, Fraksi ABRI, bahkan di dalam perlemen pun, ABRI memiliki tenpat tersendiri, memiliki hak
istimewa untuk menghimbau masyarakat. Hal tersebut menunjukkan kedekatan pemerintah dengan
militer, bahkan ABRI memiliki wewenang yang setara dengan Gubernur dalam menghimbau
masyarakat. Sejatinya, sikap mental yang perlu dibenahi bukan hanya terletak pada masyarakat,
tetapi juga pada golongan pejabat tinggi negara. Kasus korupsi pejabat „kelas satu‟ pada masa ini
masih sulit dibongkar, karena ketatnya kontrol dan intervensi pemerintah kepada lembaga
pemberantasan korupsi dan pers.

ISU KORUPSI DI ERA REFORMASI
Era Reformasi merupakan era dimana kebebasan berpendapat dan bertindak dijunjung tinggi,
demokrasi harga mati, katanya. Jika pada era Orde Lama dan Orde Baru pemerintah dan Presiden
memiliki peran yang begitu dominan pada dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara, lain
halnya pada era Reformasi ini. Menurut peneliti, era Reformasi memiliki „warna‟ pemerintahan
yang agak berbeda. Rakyat diberi ruang untuk bebas berpendapat, mencari dan mendapat informasi
dari manapun. Di bawah pimpinan Presiden B.J. Habibie, rakyat mulai turut dilibatkan dalam
kehidupan bernegara. Presiden B.J. Habibie sedikit demi sedikit mulai menata konstitusi.
Peran pemerintah dan Presiden masih tetap dianggap penting di masa Reformasi. Namun,
posisi mereka tidak lagi aman, tidak seperti saat era Orde Lama dan Orde Baru. Aman yang
dimaksud adalah aman dari penyelidikan, terkait kasus korupsi. Selalu ada kemungkinan jika di
antara mereka (para pejabat pemerintahan) melakukan korupsi. Jika pada era Orde Lama dan Orde
Baru, pemerintah terkesan mengayomi, memberi himbauan di setiap kesempatan, entah pidato atau
sambutan kepada masyarakat untuk menghindari korupsi. Tidak hanya mantan Presiden yang
mungkin melakukan korupsi, bahkan Menteri yang sedang menjabat pun ternyata juga
melakukannya. Beberapa kalimat berikut membuktikan bahwa di era Reformasi, pemerintah bisa
melakukan korupsi dan masyarakat berhak mengawasi, bahkan menuntut:
 “Kami akan mendesak Presiden Habibie memeriksa Soeharto dan keluarganya untuk
membuktikan ada tidaknya penyelewengan selama menjabat sebagai Presiden,” tegas
Tosari Wijaya (dalam headline FPP Usulkan Soeharto Diperiksa). Ia adalah Sekjen DPP
PPP (Partai Persatuan Pembangunan) yang dalam sidang MPR berani menuntut Presiden
B.J Habibie mengusut mantan Presiden Suharto beserta keluarganya.
 “Pak Harto itu selesai ya selesai, tapi kan tidak hanya begitu saja. Hal-hal sekarang yang
kita rasakan berat ini harus dia pertanggungjawabkan. Masalah-masalah yang harus kita
reformasi sekarang ini, siapa yang harus bertanggungjawab kesalahannya?Masak MPR

diam saja?” (dalam headline FPP Usulkan Soeharto Diperiksa). Ungkapan di atas
merupakan ungkapan Tosari (Sekjen DPP PPP) yang menyatakan kritiknya kepada mantan
Presiden Suharto dan MPR.
 “. . . penyelidikan atas kekayaan dan perilaku politik juga harus dilakukan terhadap
pejabat-pejabat tinggi selama pemerintahan Orde Baru.” (dalam headline FPP Usulkan
Soeharto Diperiksa). Ada tuntutan untuk melakukan penyelidikan terhadap para pejabat
tinggi jaman Orde Baru.
 “. . . berdasarkan pengalaman masa lampau, baik yang berlangsung di negara kita maupun
negara-negara lain, kekuasaan pemerintah sering tergoda untuk menjadi mutlak dan
otoriter, apabila pemegang kekuasaan eksekutif mulai mengabaikan kritik, saran, dan
pengawasan.” (dalam headline FPP Usulkan Soeharto Diperiksa).
 “Gelombang pelarian uang dari Indonesia ke luar negeri awal tahun ini mendukung
dugaan, mantan Presiden Soeharto memindahkan uang miliaran dolar ke bank-bank
Austria, tidak lama sebelum mengundurkan diri sebagai Presiden.” (dalam headline
Soeharto Diduga Larikan Dana Ke Austria). Media bisa dengan bebasnya menulis asumsi/
dugaan pelarian dana mantan Presiden Suharto.

Di era Reformasi, baik pemerintah, siapapun itu memiliki peluang yang sama untuk
melakukan korupsi dan masyarakat atau pihak pemerintah sendiri punya hak untuk melakukan
pengawasan. Hal tersbut menegaskan bahwa pemerintah menaruh perhatian besar kepada isu
korupsi, tidak hanya mengenai sanksi pidana yang harus ditanggung koruptor tetapi juga mengenai
bagaimana mengembalikan kerugian negara yang diakibatkan oleh tindak pidana korupsi tersebut.
Demi menunjang kelengkapan landasan hukum sekaligus mengontrol dan mengawasi tindak
pidana korupsi, the frame of law and regulation yang dibentuk oleh pemerintah Reformasi, yaitu
UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsisebagai penyempurnaan
kembali perumusan tindak pidana korupsi dalam UU 3/1971 (korupsi aktif dan korupsi pasif),
karena UU No. 3 Tahun 1971 sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum
(Mudzakkir, 2011). Kemudian di tahun 1999 lahir Undang-Undang No.28 tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Negara yang Bersih, Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, sekaligus Keppres
RI No.81 Tahun 1999 tentang Pembentukan Komisi Pemeriksa Kekayaan Negara. Sebagai
implementasi dari peraturan-peraturan tersebut dibentuklah Komisi Pemeriksa Kekayaan
Penyelenggara Negara/ KPKPN dengan Keppres 127/1999 (Badjuri, 2011). Namun, banyak kasus
yang tidak ditindaklanjuti seperti kasus kepemilikan rumah dan tanah yang tidak dilaporkan milik
Jaksa Agung waktu itu (Mudzakkir, 2011). Sehingga KPKPN tidak dapat dipertahankan.

Dari sekian banyak lembaga/ komisi bentukan pemerintah dalam usaha memberantas korupsi,
menurut pengamatan peneliti, KPK lah yang paling efektif dalam tugasnya. Karena berdasarkan
ketujuh headline Suara Merdeka di Era Reformasi, hanya KPK yang menjadi the market frame
pemberitaan. KPK juga mampu bertahan hingga saat ini, sudah 12 tahun sejak awal terbentuknya,
melewati tiga periode Presiden sekaligus. “Komisi superbody yang memiliki 5 tugas dan 29
wewenang yang luar biasa ini dipimpin oleh Taufiqurahman Ruki, Sirajudin Rasul, Amien
Sunaryadi, Erry Riyana Harjapamengkas, Tumpak Hatorang. Belumgenap satu tahun berdiri, KPK
telah menerima 1.452 laporan masyarakat mengenai praktek korupsi,” (Mudzakkir, 2011, h.29).
Kinerja KPK dari tahun ke tahum semakin meningkat, terbukti dari makin banyaknya kasus korupsi
yang terungkap.
Tidak hanya KPK yang menjadi tumpuan utama dalam usaha memberantas korupsi, beberapa
masyarakat yang simpati terhadap usaha pemerintah tersebut turut membentuk sebuah lembaga
independen, guna membantu kinerja KPK. Salah satu lembaga independen (swadaya masyarakat)
tersebut yaitu Indonesian Corruption Watch atau yang lebih dikenal dengan ICW. ICW lahir atas
inisiatif beberapa orang untuk mengakomodir kebutuhan publikuntuk mendapat advokasi langsung
yang dirugikan oleh korupsi.ICW berbasis pada penelitian dari data-data yang mereka dapatkan. Di
kota Malang sendiri juga berdiri Malang Corruption Watch (MCW), sebagai bagian dari ICW di
daerah Malang.
Dalam headline harian Suara Merdeka, peran dan kinerja KPK-ICW tersorot jelas dan rinci,
berikut kalimat-kalimat yang membuktikannya:
 “Suap terhadap hakim Pengadilan Tipikor terungkap setelah KPK menagkap tangan dua
hakim ad hoc (sementara) Pengadilan Tipikor Semarang dan Pontianak, yakni Kartini
Juliana Magdalena Marpaung dan Heru Kusbandono.” (dalam headline Suap Hakim
Tipikor Merajalela).
 “Indonesia Corruption Watch mencatat, per 1 Agustus 2012 sedikitnya 71 terdakwa
korupsi telah dijatuhi vonis bebas atau lepas di Pengadilan Tipikor seluruh Indonesia.
Tujuh di antara vonis bebas itu dilakukan oleh Pengadilan Tipikor Semarang.” (dalam
headline Suap Hakim Tipikor Merajalela).
 “Hal ini menyusul Kartini yang tertangkap tangan oleh petugas Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) sesaat setelah menerima sejumlah uang yang diduga terkait penanganan
perkara.” (dalam headline Vonis Kartini Diminta Dibatalkan).
 “Anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch (ICW) Emerson Yuntho
mengatakan, pada tingkat kasasi, MA harus melakukan koreksi dan membatalkan putusan
bebas . . .” (dalam headline Vonis Kartini Diminta Dibatalkan).

 “KPK pun kini telah resmi menetapkan kedua hakim, Kartini Marpaung dan Heru
Kusbandono sebagai tersangka.” (dalam headline Vonis Kartini Diminta Dibatalkan).
Pada tahun 2009 lalu, di bawah kepemimpinannya, SBY juga membentuk pengadilan khusus
untuk mengadili tindak pidana korupsi, sepaket dengan UU Nomor 46 Tahun 2009. Menurut UU
Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) menyatakan
pengadilan Tipikor sebagai pengadilan khusus yang mengadili perkara tindak pidana korupsi.
Pemerintahan SBY menanggap perlunya hasil evaluasi terhadap praktekpemberantasan dan
penegakan hukum tindak pidana korupsi, sehingga dibentuklah pengadilan Tipikor. Hal ini telah
mendorong perubahan hukum pidana secara materiil dan pidana formil, perubahan tersebut telah
membawa implikasi hukum pada ketentuan undang-undang lain (Mudzakkir, 2011).
Di awal pemerintahan Reformasi, keterlibatan penegak hukum sebagai tersangka dalam
tindak pidana korupsi memang belum nampak. Penegak hukum masih berperan sesuai dengan
jalurnya, sesuai dengan namanya, yaitu menegakkan hukum. Saat awal Reformasi, tumpuan utama
pemberantasan korupsi masih berada di tangan para penegak hukum. Selain berharap kepada
pemerintah, masyarakat juga menaruh harapan dan kepercayaan kepada para penegak hukum untuk
memberantas korupsi. “Kalau hal itu nantinya sinkron dengan Jaksa Agung, mungkin Presiden akan
lebih menekankan ke Kejaksaan Agung karena ini perintah MPR, perintah rakyat,” ujar Tosari
Wijaya, Sekjen DPP PPP (dalam headline FPP Usulkan Soeharto Diperiksa). Dalam kalimat
tersebut, menunjukkan bahwa hasil yang diperoleh Jaksa Agung menjadi patokan penyelidikan/
pengusutan kekayaan mantan Presiden Soeharto. Di tangan para penegak hukum, masyarakat
berharap, para koruptor mampu mendapatkan hukuman yang seadil-adilnya.
Sejak dibentuknya KPK pada tahun 2002, posisi penegak hukum tidak lagi „aman‟, sama
halnya dengan posisi pemerintah. Muncul kemungkinan besar jika penegak hukum melakukan
tindak pidana korupsi, atau bahkan dengan sengaja memberi jalan kepada para pelaku. Peran
penegak hukum tidak lagi murni sebagai penegak hukum, hari-hari ini perannya bisa berganti
menjadi pelanggar hukum. Hal ini terbukti dari beberapa kasus korupsi yang menyeret para penegak
hukum, seperti kasus hakim Kartini (dalam headline Vonis Kartini Diminta Dibatalkan), kasus suap
hakim Tipikor (dalam headline Suap Hakim Tipikor Merajalela), bahkan yang paling mengejutkan
adalah kasus mantan ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Akil Mochtar (dalam headline PPATK:
Akil Cuci Uang Rp 100 M). Kinerja KPK membuat persepsi baru bagi masyarakat bahwa seorang
penegak hukum sangat bisa melakukan tindakan yang melanggar hukum.
Pada era Reformasi tidak hanya pemerintah yang memiliki posisi tidak aman, penegak hukum
juga mengalami hal serupa. KPK membuktikan kesungguh-sungguhannya dalam menjalankan

tugas, siapapun, dari golongan manapun yang melakukan korupsi harus diselidiki, tidak pandang
bulu. Dapat dikatakan bahwa di era ini, KPK lah yang menjadi „pahlawan‟ pemberantas korupsi,
mengalahkan posisi pemerintah, bahkan penegak hukum. KPK memang lembaga bentukan
pemerintah, namun mereka bergerak secara independen. Penegak hukum tidak lagi bisa dipercaya
untuk memberantas korupsi, karena beberapa di antara mereka ternyata juga melakukan korupsi.
Peran „pahlawan‟ itu kini bergeser, dari penegak hukum ke KPK.
Bentuk the frame of public responsibility Suara Merdeka di era Reformasi adalah pemberitaan tentang
kasus korupsi yang melibatkan petinggi penegak hukum, Menteri, dan lain-lain. Kasus korupsi yang

terungkap pada era Reformasi cenderung lebih kompleks. Kompleksitas kasus korupsi di era
Reformasi ini dapat dilihat dari jumlah orang yang terlibat dalam sebuah kasus.Hampir semua kasus
korupsi dalam headline-headline era Reformasi ini melibakan lebih dari satu tersangka. Contohnya,
dalam kasus suap hakim tipikor, memang pada awalnya yang berhasil terungkap hanya hakim
Kartini Marpaung, namun setelah diselidiki lebih lanjut, kasus tersebut melibatkan beberapa hakim,
seperti hakim Lilik Nuraini, Asmadinata, dan Heru Kusbandono. Ada keterkaitan antara tersangka
satu dengan tersangka lainnya. Berawal dari tertangkapnya hakim Kartini, membuat Mahkamah
Agung lebih mewaspadai hakim-hakim yang mengeluaarkan vonis bebas kepada tersangka tindak
pidana korupsi.
Kasus suap tersebut pada akhirnya membentuk sebuah circle yang melibatkan banyak
„pemain‟. Kecurigaan merebaknya praktik suap berawal dari banyaknya vonis bebas bagi para
tersangka tindak pidana korupsi. Kasus ini melibatkan 2 pihak, pihak yang menyuap dan pihak yang
disuap. Yang menyuap adalah mantan Ketua DPRD Grobogan. Ternyata mantan Ketua DPRD
Grobogan, M.Yaeni memiliki kedekatan pibadi dengan hakim Heru. Suap tidak secara langsung
diberikan oleh Yaeni kepada hakim Kartini, namun lewat seseorang bernama Sri Dartuti.Dari kasus
ini, dapat disimpulkan bahwa pada era Reformasi ini pemerintah berusaha menutupi korupsinya
lewat jalur kerjasama dengan para penegak hukum.
Kesimpulan tersebut tidak hanya berlaku bagi kasus suap hakim Tipikor saja, tetapi juga
berlaku bagi kasus mantan Ketua MK, Akil Mochtar. Akil Mochtar terlibat kasus suap dengan
beberapa calon kepala daerah dalam Pilihan Kepala Daerah (Pilkada), khususnya Provinsi
Banten.Seperti yang kita tahu, di media-media lain, ada beberapa kasus lagi yang mungkin tidak
tercantum dalam ketujuh headline Suara Merdeka era Reformasi, mengindikasikan adanya
kerjasama antara pemerintah daerah dan penegak hukum. Kasus korupsi pada era Reformasi tidak
hanya menyeret para penegak hukum ke balik meja peradilan, namun juga deretan nama
pemerintah, baik pemerintah daerah maupun pemerintah pusat.

DAFTAR PUSTAKA
Atmakusumah. (2009). Tuntutan Zaman Kebebasan Pers dan Ekspresi. Jakarta: Spasi & VHR book
bekerjasama dengan Yayasan Tifa.
Badjuri, Achmad. (2011). Peranan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Sebagai Lembaga Anti Korupsi
Di Indonesia. Jurnal Bisnis dan Ekonomi, Maret, 18(1), 84-96.
Diansyah, Febri. (2009). Senjakala Pemberantasan Korupsi; Memangkas Akar Korupsi Dari Pengadilan
Tipikor. Jurnal Konstitusi, Juli, 6(2), 7- 42.
Eriyanto. (2002). Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media. Yogyakarta: Lkis.
Hsieh & Shannon. (2005). Three Approaches to Qualitative Content Analysis. Qualitative Health Research
Jurnal, November, 15(9), 1277-1288
Kartodirdjo, Sartono. (2005). Sejak Indische sampai Indonesia. Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara.
Kriyantono, Rachmat. (2010). Teknik Praktis Riset Komunikasi. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Mallarangeng, Rizal. (2010). Pers Orde Baru: Tinjauan Isi Kompas dan Suara Karya. Jakarta: Kepustakaan
Populer Gramedia.
Mudzakkir. (2011). Laporan Akhir Tim Kompendium Hukum Tentang Lembaga Pemberantasan Korupsi.
Jakarta: Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia.
Taufik, Drs.I (1977). Sejarah dan Perkembangan Pers di Indonesia. Jakarta: PT. Triyinco.